Anda di halaman 1dari 4

Menguji Keampuhan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan

Bagian IV

Oleh : Harisman Isa Mohamad

Dasar Hukum :

Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Bagaimana kabar sobat taxclo ? semoga dalam keadaan sehat wal afiat , edisi kali ini membahas bagian
keempat yang merupakan bagian terakhir dari tulisan tentang UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan, dimana
saat penulis menyelesaikan tulisan ini sudah terbit peraturan menteri keuangan tentang pelaksanaan UU
Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 karena itu penulis akan sedikit banyak menyinggung tentang petunjuk
teknis pelaksanaan undang-undang cipta kerja tersebut.

Bagian terakhir ini penulis akan membahas tentang tujuan keempat dari disahkannya UU Cipta Kerja
Klaster Perpajakan yakni Menciptakan Keadilan Iklim Berusaha di Dalam Negeri, dimana dengan cara :

1. Melakukan pemajakan atas transaksi eletronik


2. Mencantumkan NIK pembeli yang tidak memiliki NPWP saat dilakukan pembuatan Faktur Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak

Sudah kita pahami bersama bahwa selama ini sudah ada aturan main tentang Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik (PMSE) yakni dalam PMK No. 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut,
Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Dalam keterangan resminya, Otorita Pajak negara kita yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan,
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas produk digital akan dilakukan langsung oleh
perusahaan digital atau pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Selain itu bisa juga
melalui perwakilan di Indonesia yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak.

Adapun perusahaan digital yang memenuhi kriteria nilai transaksi atau jumlah traffic tertentu dalam 12
bulan akan ditunjuk Menkeu melalui Dirjen Pajak sebagai pemungut PPN. Sedangkan, pelaku usaha yang
telah memenuhi kriteria tetapi belum ditunjuk sebagai pemungut PPN dapat menyampaikan
pemberitahuan secara online kepada DJP.

DJP mengatakan, pemungutan PPN atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri merupakan bagian
dari upaya pemerintah untuk menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi semua pelaku
usaha. Khususnya antara pelaku usaha di dalam negeri maupun di luar negeri, serta antara usaha
konvensional dan usaha digital.

Dengan berlakunya ketentuan ini maka produk digital seperti langganan streaming music, streaming film,
aplikasi dan games digital, serta jasa online dari luar negeri akan diperlakukan sama seperti berbagai
produk konvensional yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari yang telah dikenai PPN.
Pemungutan PPN atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri merupakan bagian dari upaya
pemerintah untuk menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi semua pelaku usaha.
Khususnya antara pelaku usaha di dalam negeri maupun di luar negeri, serta antara usaha konvensional
dan usaha digital. Tentu ini menarik sesuai dengan judul atau tema tulisan yang dipilih. Karena itu harus
ada komparasi tentang penerapan pajak layanan digital di negara lainnya.

Melansir laporan dalam laman resmi konsultan pajak KPMG, Austria menetapkan pajak digital sebesar 5%
atas omzet layanan iklan yang diberikan penyedia layanan di sana mulai 1 Januari lalu. Pembayaran pajak
digital bulanan dilakukan pada hari ke-15 bulan kedua setelah bulan subjek. Misalnya, pembayaran pajak
digital untuk Januari 2020 akan jatuh tempo pada pertengahan Maret 2020.

Penyedia layanan digital yang menjadi subjek pajak adalah kelompok perusahaan yang memiliki omzet €
750 juta secara global dan omzet dari layanan iklan digital sebesar € 25 juta dari anak perusahaan di
Austria. Namun, setiap perusahaan bisa dikualifikasikan sebagai subjek pajak digital.

Aturan lain adalah, perusahaan yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Uni Eropa harus menunjuk
perwakilan fiskal Austria untuk keperluan pajak digital. Sementara bagi yang memiliki bentuk usaha tetap
di Uni Eropa dapat menunjuk perwakilan fiskal atau menggunakan layanan daring dari otoritas pajak untuk
mengembalikan pajak.

Selanjutnya, pemerintah Spanyol mulai 18 Februari telah menyetujui pemungutan pajak digital sebesar
3%. Secara umum aturan ini menetapkan subjek pajak adalah penyedia layanan digital yang memperoleh
pendapatan dari pengguna di Spanyol. Hal ini membuat penetapan PPN bagi setiap transaksi digital.

Kriteria khusus penyedia layanan bisa ditetapkan sebagai subjek pajak adalah memiliki pendapatan
sebesar € 750 juta secara global dan pendapatan sebesar € 3 juta di Spanyol. Selain itu, mereka tergolong
sebagai penyedia iklan digital, peneyedia layanan data, dan penyedia layanan perantara pertemuan antar
muka digital atau intermediary service.

Sama dengan Spanyol, Perancis menetapkan pajak layanan digital sebesar 3%. Namun negara yang
dipimpin Presiden Emmanuel Macron ini lebih dulu menetapkannya, yakni mulai 1 Januari 2019. Pajak
akan dikenakan untuk penyedia layanan intermediary dan penyedia layanan iklan digital. Dikecualikan
untuk penyedia layanan konten digital, layanan komunikasi, dan layanan pembayaran yang memenuhi
syarat dalam Pasal 314-1 peraturan moneter Perancis.

Pajak ini dikenakan kepada perusahaan domestik maupun asing yang mengambil manfaat dari pengguna
Perancis. Kriteria khususnya adalah yang memiliki omzet € 750 juta secara global dan omzet € 25 juta di
Perancis. Setidaknya 30 perusahaan digital multinasional terdampak kebijakan ini. 17 perusahaan di
antaranya adalah berbasis di AS.

Jadi Indonesia tidak sendirian dalam menerapkan aturan PPN atas layanan digital ini, toh penerapan PPN
ini tidak akan melanggar konsensus internasional yakni kekhawatiran adanya penerapan pajak berganda
karena PPN sifatnya adalah pajak atas konsumsi yang diterapkan pada pengguna akhir (Principle
Destination), tidak juga bersifat diskriminatif serta dalam transaksinya lintas yurisdiksi, dimana negara
lokasi dikonsumsinya barang atau jasa berhak memungut untuk PPN tersebut. Sehingga UU Cipta Kerja
No. 11 Tahun 2020 Klaster Perpajakan dirasa sangat tepat untuk memperkuat peraturan sebelumnya
dalam PMK No. 48 ini.
Terakhir menciptakan keadilan dalam iklim berusaha di dalam negeri dengan memberikan hak kepada
para wajib pajak yang belum menjadi PKP dan sudah memperoleh Faktur Pajak Masukan dari lawan
transaksinya untuk dapat mengkreditkannya pada saat dikukuhkan menjadi PKP, dimana pada aturan
sebelumnya tidak diperkenankan untuk melakukan hal ini.

Nah salah satu caranya agar Wajib Pajak dapat memanfaatkan fasilitas ini pada saat melakukan transaksi
dengan mencantumkan NIK atau Nomor Induk Kependudukan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, sehingga
dapat memanfaatkan faktur pajak yang diterimanya dari lawan transaksinya.
Dan aturan lainnya juga mengubah PKP pedagang eceran dengan menambahkan klausul perdagangan
eceran melalui sistem elektronik , sehingga nanti para penjual di marketplace atau menggunakan platform
e-commerce diperlakukan sebagai pedagang eceran yang dapat memungut PPN tanpa harus membuat
faktur pajak yang lengkap menggunakan faktur pajak elektronik (e-faktur)

Demikian tuntas sudah topik pembahasan mengenai uji keampuhan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan,
yang tentunya masih kita nantikan bagaimana implementasi teknis di lapangan apakah betul-betul Ampuh
ataukah hanya sekedar pemanis bibir saja.

Anda mungkin juga menyukai