Anda di halaman 1dari 9

Menguji Keampuhan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan

Bagian III

Oleh : Harisman Isa Mohamad

Dasar Hukum :

Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Sobat taxclo yang berbahagia, semoga dalam kondisi pandemi covid-19 yang masih berlangsung di negara
kita dan belahan negara dunia lainnya anda dalam keadaan sehat wal afiat , sehat jasmani , sehat rohani
dan tentunya juga sehat finansial, karena sekarang kesehatan finansial menjadi sesuatu yang paling
berharga di negara ini sampai – sampai akhirnya pemerintah kembali memperpanjang insentif fiskal atau
perpajakan bagi para wajib pajak yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung akibat pandemi
covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa semua sektor perekonomian belum terlihat menunjukkan aktivitas
kegiatan yang signifikan, dunia usaha masih mengalami kontraksi yang sangat dalam , sehingga
pemerintah berupaya terus memberikan berbagai insentif untuk para pelaku usaha di negeri ini, baik itu
perorangan maupun badan hukum. Bisa kita lihat table di bawah bagaimana negara berusaha sekuat
tenaga menahan laju kontraksi ekonomi lebih dalam dengan menambah anggaran belanja negara dalam
APBN 2021 untuk program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) mencapai lebih dari 600 Triliun yang
menurut analisis penulis angka ini masih bisa akan berubah menjadi lebih tinggi di tahun 2021 tergantung
dari keberhasilan program vaksinasi yang dijalankan oleh pemerintah untuk menahan laju penyebaran
infeksi covid-19 di negara ini. Dana PEN digunakan untuk lima (5) hal atau sektor yang paling pokok yakni
Kesehatan, Perlindungan Sosial (melalui program Bansos dan lainnya), Dukungan untuk sektor UMKM dan
korporasi, Insentif usaha dan insentif perpajakan dan program prioritas.
Maka tidak heran insentif perpajakan yang sudah diterapkan dari tahun 2020 kembali diterapkan pula di
tahun 2021 ini.

Dan seperti tulisan sebelumnya yang membahas tentang keampuhan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan
bagian pertama dan kedua maka dibagian ketiga ini , penulis akan membahas mengenai tujuan dibuatnya
UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan yang ketiga yaitu :

Memberikan atau Meningkatkan Kepastian Hukum

Ringkasannya sebagai berikut :


Sudah menjadi hal umum pajak adalah kebijakan paling ditakuti dan dihindari oleh kalangan pegiat
ekonomi di negara ini sekaligus yang paling diandalkan pemerintah dalam mengamankan penerimaan
negara. Dua sisi yang sangat berbeda, lantas bagaimana mengambil jalan tengahnya? Maka salah satu sisi
tersebut harus memahami keinginan dari sisi lainnya agar tercapai sebuah pemahaman dan kesepakatan
yang baru terhadap mekanisme pemungutan pajak di negeri ini. Salah satu yang menjadi cara untuk
membuat wajib pajak tidak semakin takut atau lari menghindar dari pajak adalah dengan memberikan
kepastian hukum bagi wajib pajak atas kewajiban perpajakannya yang telah diselesaikan atau belum
diselesaikan. Mari kita kupas satu persatu dan kita “uji” apakah kebijakan ini akan berdampak efektif pada
psikologis wajib pajak atau tidak.

Yang pertama ketentuan mengenai perubahan subjek pajak orang pribadi dalam negeri dan luar negeri :
Ada yang menarik dari perubahan aturan mengenai subjek pajak dalam negeri dan luar negeri untuk orang
pribadi yang pertama dengan menambahkan kata Warga Negara Indonesia dan Warga Negara dalam
subjek pajak orang pribadi dalam negeri untuk mempertegas bahwa negara tidak melihat status
kewarganegaraan seseorang bila syaratnya terpenuhi sebagai subjek pajak dalam negeri maka ditetapkan
sebagai subjek pajak orang pribadi dalam negeri. Jangan lupa status subjek pajak belum tentu menjadi
wajib pajak bila unsur objektif nya belum terpenuhi yakni Penghasilan. Tujuan dari penambahan ini terkait
dengan kebijakan berikutnya yakni pengenaan pajak untuk WNA yang berada di Indonesia hanya
berdasarkan penghasilan yang diterima di Indonesia yakni menggunakan asas domisili , dimana pada
ketentuan sebelumnya menggunakan asas sumber. Lebih menariknya lagi kriteria WNA yang
mendapatkan perlakuan ini harus memiliki “Keahlian tertentu dan bertempat tinggal di Indonesia selama
minimal empat (4) tahun pajak” memiliki makna negara kita sudah bersiap dengan kedatangan para
tenaga ahli asing. Apakah ini menjadi bagus bagi iklim kompetisi di dunia usaha khususnya profesi-profesi
di negara ini? Penulis membatasi untuk membahas tentang pekerja asing dengan pekerja domestik akibat
adanya regulasi ini, melainkan yang ingin penulis garis bawahi adalah perlakuan yang berbeda untuk
Warga Negara Indonesia yang masuk sebagai subjek pajak orang pribadi luar negeri tetap menggunakan
asas sumber dalam pengenaan pajaknya artinya penghasilan yang mereka (WNI) terima di luar negeri
harus juga diperhitungkan dengan penghasilan yang mereka terima di dalam negeri. Ada kekhawatiran
penulis memunculkan ketidakadilan perlakuan berusaha di negara ini, kebijakan kesetaraan perlakuan
pajak (level playing field) pada penerapan PPN untuk PMSE atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
yang dikenakan pada penyedia jasa luar negeri menjadi kurang adil pada saat bicara pelakunya adalah
subjek pajak orang pribadi. Belum lagi yang terlihat seperti malah tidak memberikan kepastian hukum
adalah penyematan kata keahlian tertentu bagi para pekerja asing di negara ini yang sifatnya sangat
subjektif dan bisa berubah-ubah sesuai dengan selera pemerintah. Masih harus ditunggu turunan dari
undang-undang ini dalam peraturan menteri keuangan apakah “keahlian tertentu” itu ditetapkan
berdasarkan sebuah kajian yang komprehensif atau merupakan ‘pesanan” dari pihak lain.

Berikutnya kepastian hukum ingin didapatkan dari masuknya batubara sebagai objek PPN dan penyerahan
BKP secara konsinyasi tidak termasuk dalam objek PPN, untuk pembahasan batubara masuk sebagai objek
PPN telah dibahas dalam edisi majalah taxclo oleh bapak Pandu Bestari Soepatmo, maka penulis hanya
membahas tentang penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) secara konsinyasi saja.

Seperti diketahui, dalam akuntansi komersial penyerahan barang secara konsinyasi bukan merupakan
penyerahan hak milik yang menyebabkan berpindahnya kepemilikan hak atas barang (transfer of title).
Artinya, bagi pihak penerima barang (consignee), status barang tersebut adalah barang titipan, bukan hak
miliknya, sehingga dalam pembukuan dia tidak boleh mencatat barang tersebut sebagai perolehan
barang. Sebaliknya bagi pihak yang menyerahkan barang, catatan atas harta/ persediaan itu masih ada
atau belum dikurangkan/ dihapuskan dari pembukuan.

Dalam penyerahan konsinyasi juga tidak ada unsur penyerahan penguasaan atas barang kepada pihak
lain. Ini mengandung arti bahwa segala risiko terhadap barang baik secara fisik maupun kepemilikan tetap
berada pada pihak yang menyerahkan barang (consignor).

Sebelumnya, ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf g UU PPN menyatakan bahwa penyerahan BKP secara
konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang terutang PPN. Memori penjelasan UU PPN
hanya menjelaskan bahwa dalam penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayarkan saat
menitipkan BKP dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak terjadinya penyerahan BKP
yang dititipkan tersebut.

Dalam hal BKP yang dititipkan tidak laku dijual atau dikembalikan, maka penjual yang menerima titipan
dapat membuat nota retur atas pengembalian itu. Ketentuan ini berlaku sebagai dasar yuridis pengenaan
PPN atas penyerahan BKP secara konsinyasi.

Ternyata rumusan penyerahan konsinyasi sebagai penyerahan kena pajak baru ada sejak 1 Januari 1995,
yaitu sejak berlakunya perubahan pertama UU PPN 1984. Artinya, selama kurun 10 tahun sebelumnya
tidak terdapat ketentuan yang mengatur pengenaan PPN atas transaksi konsinyasi ini.

Di samping itu, penjelasan dalam UU PPN juga bukan merupakan penjelasan yang bersifat substansi atas
alasan mengapa konsinyasi dikenakan pajak. Tetapi penjelasan ini hanya merupakan penjelasan teknis
mengenai aspek administrasi pajaknya saja.

Tampak bahwa UU PPN lebih mengedepankan asas revenue optimation dalam penetapan transaksi
konsinyasi sebagai penyerahan BKP. Di mana pengusaha yang menitipkan barang kepada pihak lain
dianggap telah mempunyai niat untuk menjual barang itu.

Padahal pada saat pemilik menitipkan barang bukan berarti penjualan telah terjadi. Ketentuan ini
menambah beban administrasi bagi pihak yang menitipkan barang karena harus memungut PPN dan
menerbitkan faktur pajak, melaporkannya dalam surat pemberitahuan masa PPN, serta harus
menyetorkan PPN jika terjadi kurang bayar di laporan pajaknya tadi.
Kebijakan tersebut juga tidak selaras dengan asas ease of administration dalam teori pemungutan pajak.
UU PPN hanya mengambil sisi praktisnya dengan mengenakan PPN dimuka atas penyerahan barang
konsinyasi.

Bila ternyata barang tersebut tidak laku terjual dan dikembalikan, PPN yang sudah dipungut dapat diminta
kembali dengan menerbitkan nota retur. Perlakuan ini tentunya kurang mengindahkan aspek keadilan
dari sisi pengusaha, serta tidak sesuai dengan prinsip akrual dalam akuntansi yang berlaku umum.

Dari sudut pandang pajak penghasilan (PPh), penyerahan secara konsinyasi tidak dicatat sebagai
penjualan yang menjadi objek pajak. Penghasilan (omset) baru dicatat jika barang tersebut benar-benar
telah terjual. Jadi dalam hal ini prinsip akuntansi sejalan dengan prinsip pengakuan hak milik dalam PPh
atas barang konsinyasi.

Dengan demikian penghapusan penyerahan secara konsinyasi dari pengertian penyerahan BKP oleh UU
Cipta Kerja telah mengembalikan pengaturan PPN ke kondisi sebelum tahun 1995.

Lagi pula untuk tujuan penerimaan negara, masih ada sektor-sektor bisnis dan jenis transaksi lainnya yang
lebih potensial menghasilkan pajak daripada transaksi konsinyasi ini.

Regulasi perpajakan seharusnya tetap mengedepankan asas keadilan (equity) dalam pemungutan pajak.
Dalam transaksi konsinyasi pemerintah mestinya cukup bersabar sebentar, toh jika memang telah terjadi
penjualan pada akhirnya pajak akan masuk juga ke kas negara.

Penghapusan ketentuan barang konsinyasi dari kelompok penyerahan BKP yang terutang PPN memang
sudah semestinya dilakukan. Sebab, selain terdapat cacat akademis, memasukkan konsinyasi sebagai
penyerahan yang terutang PPN hanya menguntungkan pemerintah dari sisi penerimaan pajak serta
kurang memperhatikan sisi keadilan bagi masyarakat. Mencabut ketentuan konsinyasi sebagai
penyerahan BKP yang terutang PPN berarti mengembalikan pengaturan PPN ke masa sebelum tahun
1995, yang pada dasarnya tidak ada isu yang krusial dalam penerimaan pajak.

Hal berikutnya mengenai relaksasi ketentuan PPN yakni pengkreditan pajak masukan PPN. Relaksasi
dalam hal pengkreditan pajak masukan PPN secara tidak langsung akan turut mewujudkan penghormatan
atas hak-hak wajib pajak. Menariknya, oleh IMF dan OECD (2017), penghormatan hak-hak wajib pajak
turut mendorong kepastian hukum dan meningkatkan investasi. Dan menurut hemat penulis
sebagaimana dijelaskan pada bagian kedua pengembalian pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan
menjadi dapat dikreditkan adalah angin segar bagi dunia usaha di negeri ini bahwa mereka mendapatkan
jaminan dari pemerintah bahwa atas hak-haknya dipenuhi dikemudian hari kelak.

Terakhir bicara kepastian hukum tentunya bicara tentang sanksi-sanksi perpajakan di dalamnya , baik itu
sanksi administrasi maupun sanksi pidana perpajakan.

Dengan menetapkan daluwarsa Surat Tagihan Pajak (STP) menjadi lima (5) tahun dimana pada aturan
sebelumnya tidak diatur menegaskan pemerintah tidak akan berupaya untuk terus menagih piutang
pajaknya kepada wajib pajak yang telah lampau masa penagihannya, yang dikarenakan jumlahnya yang
tidak signifikan, atau karena ada permasalahan administrasi perpajakan atau sebab-sebab lainnya, maka
STP tersebut dinyatakan gugur secara hukum.
Penerbitan STP untuk menagih kembali imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada WP,
untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi atas penagihan atas imbalan bunga
yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak yang selama ini pengaturannya belum jelas.

Demikian juga pengaturan mengenai pidana pajak yang telah diputus tetap dapat diterbitkan surat
ketetapan pajak DIHAPUS menurut penulis juga sangat memberikan kepastian hukum bagi para pelaku
pidana perpajakan, bukan bermaksud membela atau membenarkan sebuah kesalahan namun mendidik
wajib pajak yang telah berbuat salah dan mengakui kesalahannya untuk tidak mengulagi kesalahan itu di
masa akan datang dengan tidak menambahkan lagi beban sanksi di dalamnya.

Juga memberikan efek positif bahwa negara tidak “kemaruk” dengan terus membebankan sanksi
administrasi perpajakannya kepada wajib pajak, selain baik untuk mendidik juga baik untuk
menyederhanakan sistem administrasi perpajakan.
Dua hal terakhir di atas seolah pemerintah ingin menyatakan bahwa pajak bukan lagi sosok yang
menakutkan bagi wajib pajak dan masyarakatnya dengan sanksi-sanksi pidananya, namun menjadi sosok
yang lebih hunmanis dan mengedepankan pendekatan persuasif dalam melakukan pemungutan pajak
kepada para wajib pajak.

Anda mungkin juga menyukai