Anda di halaman 1dari 6

Menguji Keampuhan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan

Bagian I

Oleh : Harisman Isa Mohamad

Dasar Hukum :

Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Selesai sudah kontroversi yang berlarut dari digulirkannya RUU Cipta Kerja yang masyarakat menyebutnya
omnibus law. Drama dibalik pengesahan UU tersebut menjadi warna tersendiri yang membuat banyak
orang di negara bertanya tentang undang-undang tersebut. Pro dan kontra bermunculan dari para ahli
hukum, ekonomi, tata negara dan komponen masyarakat lainnya secara luas. Demonstrasi merebak
dimana-mana menjadi tambahan keseruan dari undang-undang ini. Penulis tidak akan larut dalam
pembahasan pro dan kontra yang akan mengaburkan esensi tulisan pada edisi kali ini, namun akan fokus
pada strategi dan tujuan pemerintah mengeluarkan regulasi ini, tentunya dengan berbagai sudut pandang
yang mudah-mudahan akan menjadi penambah wawasan para pembaca setia majalah pajak.

Nah, sebelum membahas hal itu ada baiknya penulis mau sampaikan pada pembaca semua, bahwa klaster
perpajakan ini secara substansi tidak menggantikan UU Perpajakan yang lama, yakni UU KUP, UU PPh dan
UU PPN dan PPnBM, melainkan hanya mengubah beberapa pasal saja dalam UU itu. Kenapa diubah tidak
diganti saja? Karena menurut pemangku kebijakan di negeri ini baik itu di legislatif maupun eksekutif fokus
UU Perpajakan masih relevan digunakan sampai saat ini sehingga cukup mengubah beberapa pasal
penting yang disesuaikan dengan Rumah Utamanya yakni CIPTA KERJA.

Sesuai Namanya CIPTA KERJA, tujuan utama menggabungkan banyak perundang-undangan atau regulasi
di negara kita tak lain dan tak bukan menciptakan iklim investasi yang ramah untuk para investor , Bahasa
penulis KEMUDAHAN BERUSAHA, dimana bila tujuan utama ini tercapai maka akan muncul rentetan
tujuan lainnya yang sangat ditunggu yakni seperti menciptakan lapangan pekerjaan baru, mendorong
pertumbuhan eknomi dan yang paling penting mengamankan penerimaan negara di sektor perpajakan.

Dari penjelasan di atas penulis akan sampaikan bahwa klaster perpajakan diharapkan menyumbang
penerimaan negara yang bisa diandalkan di bidang perpajakan , melalui

1. peningkatan jumlah investasi,


2. kepatuhan secara sukarela,
3. memberikan kepastian hukum dan
4. menciptakan keadilan dalam iklim berusaha.
Empat tujuan utama inilah adalah alasan kenapa klaster perpajakan diikutsertakan dalam UU CIPTA KERJA.

Nah bagian pertama edisi kali ini penulis akan mencoba menguji keandalan UU Cipta Kerja klaster
perpajakan ini pada tujuan yang pertama yakni peningkatan jumlah investasi di negara ini.

Sebentar kita tengok outlook perekonomian Indonesia di tahun 2021yang disusun oleh kementerian
koordinator bidang perekonomian dimana tahun 2021 ini tahun momentum kebangkitan ekonomi
nasional , sebuah optimisme yang sangat baik di tengah kondisi perekonomian global yang masih
mengalami kontraksi di banyak negara termasuk negara-negara besar dan maju.
Bisa kita lihat proyeksi ekonomi Indonesia di tahun 2021 menurut tiga lembaga internasional yakni OECD,
World Bank dan IMF negara kita berada pada posisi tiga besar dunia sebagai negara yang meningkat PDB
(Produk Domestik Bruto) nya di tahun 2021. Ada juga data lainnya yang menunjukkan optimisme tersebut
dengan mulainya rebound indeks konsumsi rumah tangga di kuartal tiga (Q3) tahun 2020 ini, dimana
sempat mengalami kontraksi sehingga menyebabkan Indonesia masuk ke dalam jurang resesi.
Namanya saja juga proyeksi tentu tidak bisa dipastikan hasil akhirnya 100% akurat, namun harus
dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan yang menyertainya. Salah satu kebijakan yang ditunggu dan
dijadikan game changer dalam menghadapi wabah pandemi covid-19 ini adalah sudah ditemukannya
vaksin anti covid dan direncanakan akan diberikan vaksinasi secara massal dan gratis kepada seluruh
warga negara Indonesia. Kemudian optimisme dari proyeksi ini juga dengan dilanjutkannya Program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang telah dituangkan dalam R-APBN 2021 yang oleh presiden telah
tertuang dalam Nota Keuangan 2021 yang dibacakan pada saat sidang tahunan MPR/DPR bulan agustus
2020 lalu. Dan tak kalah penting sesuai topik yang akan penulis bahas proyeksi ekonomi yang segera pulih
di tahun 2021 dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Dimana peningkatan investasi di negara ini menjadi
tujuan yang ingin dicapai.

Seperti apa sebenarnya regulasi perpajakan yang diubah dalam UU Cipta Kerja ini dapat dilihat dalam
pasal 111, 112 dan 113 undang-undang tersebut. Dimana untuk peningkatan investasi ada tujuh (7)
kebijakan di dalamnya yaitu :

1.Penurunan tarif PPh Badan secara bertahap 22% (2020 & 2021) dan 20% (2022 dst).

2.Penurunan tarif PPh Badan Wajib Pajak Go Public (tarif umum dikurangi 3%).

3.Penghapusan PPh atas Dividen dari dalam negeri.

4.Dividen dan laba setelah pajak dari Luar Negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di
Indonesia.

5.Non-objek PPh atas: a.Bagian laba/SHU koperasi,

b.Dana haji yang dikelola BPKH

6.Ruang untuk Penyesuaian Tarif PPh Pasal 26 atas Bunga.

7.Penyertaan modal dalam bentuk asset (imbreng) tidak terutang PPN

Dari tujuh kebijakan tersebut menyentuh pada regulasi pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan
nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN & PPnBM). Mari kita perdalam ketujuh kebijakan
tersebut :

1. Penurunan tarif PPh Badan yang sebelumnya adalah 25 % menunjukkan bahwa tarif pemajakan
atas penghasilan di negara kita relatif tinggi dan kalah bersaing dengan negara tetangga lainnya.
Adapun rata-rata tarif PPh Badan di berbagai kawasan dunia adalah sebagai berikut: dunia (23%),
Eropa (21,77%), OECD (23,59%), ASEAN (23,35%), Asia (20,95%), dan Afrika (28,20). Artinya di
negara ASEAN negara kita tarifnya masih tinggi dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN, ini
menjadi ukuran sederhana saja investor tentunya akan mencari tarif pajak yang lebih rendah
sebagai tempat destinasi investasinya. Oleh karena itu wajar bila kemudian tarif PPh Badan
berubah menjadi 22 % di tahun 2020 dan 2021 ini dan menjadi 20 % di tahun 2022. Dengan 22%
berarti dibawah rata-rata tarif negara ASEAN menunbuhkan optimism negara kita akan dilirik
menjadi tujuan investasi para investor luar negeri.

2. Tarif PPh Badan untuk wajib pajak yang terdaftar dalam pasar bursa nasional atau go public juga
mengalami penurunan sebesar 3% dari tarif umum, bila di tahun 2021 tarif umum adalah 22%
maka tarif WP go public menjadi 19% saja. Dan ditahun 2022 akan menjadi hanya 17% saja.
Menarik disimak regulasi berupa penurunan tarif WP go public sepertinya akan menjadi
penyemangat perusahaan dalam negeri untuk segera melakukan IPO (initial public offering)
karena akan mendapatkan insentif lebih rendah. Apa yang kita pahami? Menjadi perusahaan go
public artinya secara kualifikasi jauh lebih baik dan terpercaya, Bahasa kerennya akuntabel,
berarti perusahaan telah menggunakan sistem keuangan dan melalui proses audit yang baik
dalam menghasilkan laporan keuangan yang andal dan terpercaya sehingga risiko terjadinya
fraud kecil. Pemerintah tidak perlu usaha yang besar untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak
yang sudah IPO / go public ini.

3. Penghapusan PPh atas dividen dalam negeri juga sebagai upaya untuk menarik minat investor
dalam dan luar negeri karena tentunya berharap dividen atas hasil investasinya, nah dividen-
dividen tersebut tidak akan dikenai PPh bila memenuhi kondisi sebagai berikut :
Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh:
a. WP Orang Pribadi Dalam Negeri, sepanjang diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka
waktu tertentu, dan/atau
b. WP Badan Dalam Negeri, tidak dikenai PPh (dikecualikan dari objek pajak).

4. Kemudian juga Dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari BUT di
luar negeri tidak dikenakan PPh di Indonesia, dalam hal diinvestasikan atau digunakan untuk
mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu dan berasal dari:
Perusahaan go public di luar negeri atau perusahaan privat di luar negeri
Dengan Ketentuan untuk perusahaan privat di luar negeri :
a.Dividen yang diinvestasikan di Indonesia, tidak dikenai PPh
b.Bila yang diinvestasikan< 30% laba setelah pajak Badan Usaha Luar Negeri, selisih dari 30%
dikurangi realisasi investasi di Indonesia (yang kurang dari 30%), dikenai PPh
c.Sisa laba setelah pajak Badan Usaha Luar Negeri setelah dikurangi a & b, tidak dikenai PPh

5. Dikecualikan dari objek PPh atas:


- Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari
koperasi,perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif.
- Dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji(BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan
penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrument keuangan
tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
- Sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan keagamaan yang terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana social dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Aturan baru ini mengindikasikan negara memberi peluang yang sangat luas kepada komunitas ,
organisasi atau kelompok yang bergerak di bidang socal dan keagamaan untuk menjaring lebih
banyak konstituennya yang diharapkan menjadi alternatif solusi masalah-masalah
kemasyarakatan di negara ini dengan membebaskan pengenaan pajaknya atas penghasilan atau
sisa lebih operasi kegiatan mereka. Dan tentunya koperasi juga diberikan ruang lebih jauh
melakukan manuver usahanya terutama masuk ke UMKM karena setiap anggota koperasi atas
bagi hasil yang diterima tidak akan dikenai pajak oleh negara, artinya koperasi bisa menjadi
pemimpin UMKM dalam menyalurkan dana atau mengelola secara mandiri unit usahanya tanpa
adanya rasa khawatir dari para anggotanya akan munculnya pengenaan pajak atas laba yang
mereka peroleh yang mereka terima. Dengan kata lain negara ingin mengajak rakyatnya untuk
berani berinvestasi di badan hukum kopersi, firma, CV dan sejenisnya.

6. Adanya penurunan tarif PPh Pasal 26 atas Bunga yang selama ini diangka 20% dapat diturunkan
lebih rendah dengan peraturan pemerintah. Perluasan objek Bunga pun ditambah termasuk
premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Tarif 20%
tentunya sangat tinggi untuk sektor investasi produk keuangan ini, maka bila diturunkan sampai
15 atau lebih rendah lagi menjadi angin segar investor luar negeri melirik investasinya pada
lembaga-lembaga perbankan atau keuangan di Indonesia. Pasar keuangan dalam negeri menjadi
lebih kompetitif dan berani bersaing dengan pasar keuangan luar negeri.

7. Penyertaan modal dalam bentuk non saham atau dalam bentuk asset/aktiva tidak dikenai PPN
dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha
dengan syarat yang melakukan dan menerima pengalihan asset/aktiva tersebut adalah PKP. Ini
juga menjadi insentif menarik buat investor yang tidak memiliki uang tunai atau aktiva lancer
lainnya melainkan dalam bentuk asset atau aktiva untuk menjadi setoran modal investasinya
tanpa khawatir dikenai PPN sebesar 10%.

Penutup bagian I tulisan ini semua kebijakan pemerintah di atas dalam klaster perpajakan untuk tujuan
peningkatan investasi baik untuk menarik para investor dalam dan luar negeri menaruh investasinya di
negara ini patut disimak hasilnya dalam tahun 2021 dan tahun kedepannya,dengan catatan telah terbit
petunjuk teknisnya dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan sehingga dapat
dijadikan panduan di lapangan bagi para investor/wajib pajak dan fiskus dalam memanfaatkan semua
insentif dan fasilitas perpajakan ini.

Anda mungkin juga menyukai