Materi Presentasi PKN
Materi Presentasi PKN
Apatis berasal dari Bahasa Inggris yaitu Apathy yang berarti tanpa perasaan.
Apatis mempunyai makna dari segi bahasa yaitu acuh tak acuh atau tidak peduli. Acuh tak
acuh dalam hal ini yaitu tidak mempedulikan segala apa yang ada disekitarnya. (KBBI)
Apathy adalah istilah psikologikal untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh; di mana seseorang
tidak tanggap atau “cuek” terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik. Kemudian
kita dapat artikan bahwa apatisme adalah hilangnya rasa simpati masyarakat terhadap
lingkungannya. Padahal masyarakat pada hakekatnya adalah sebuah kesatuan yang saling
berikatan, sesuai dengan definisi masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu
yang berada dalam kelompok tersebut.
Masyarakat Apatis adalah masyarakat yang masa bodoh dan tidak mempunyai minat atau
perhatian terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala sosial terhadap lingkunganya.
Masyarakat kota besar khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sudah terbentuk
dari kehidupan modern yang mementingkan karir. sehingga mereka hanya sibuk dengan
urusan-urusan privat mereka terkait dengan akumulasi kekayaan, maupun pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini memang tidak bisa disalahkan. Dengan kondisi
perekonomian sekarang ini, keselamatan diri dan keluarga dekat memang dianggap sebagai
prioritas utama.
Akan tetapi, apa akibat dari mentalitas dan cara berpikir privat semacam itu. Jawabannya
sederhana saja hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama dalam bentuk solidaritas dan
keadilan pun juga terabaikan. Solidaritas sosial dan keadilan tidak menjadi prioritas, dan
bahkan mungkin tidak lagi terpikirkan sama sekali. Inilah apatisme yang perlahan-lahan akan
menghancurkan kehidupan publik di Indonesia.
SLIDE 5 :
2. Apatisme dalam berpolitik atau kehidupan Bernegara
Tingginya angka golput pada pemilu legislatif merupakan cerminan apatisme rakyat terhadap
pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri)
Palembang, Alfitri Msi, mengatakan “Golput juga merupakan bentuk perlawanan rakyat
terhadap pelaksanaan pemilu yang dinilai tidak akan mampu merubah negara ini menjadi
lebih baik,”. (Sriwijaya Post – Sabtu, 11 April 2009). Masalah apatisme publik yang mulai
akut menyangkut partisipasi politik di negeri ini. Sepanjang tahun lalu di berbagai pemilihan
kepala daerah (pilkada), angka golput mendominasi hasil penghitungan dari seluruh potensi
suara di tiap daerah pemilihan.
Penyebab mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu tidak terlepas dari pengalaman di
masa lalu. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak tanduk para pejabat yang
dianggap tidak menyentuh di hati rakyat sehingga menjadi pelajaran bagi rakyat. Keadaan
saling menguntungkan yang terjalin antara rakyat dan wakil rakyat belum pernah secara nyata
ditemui masyarakat. Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu
adalah rasa jera, hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan untuk
menyalurkan aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena
tindak-tanduk sebagian besar abdinya. Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya
perubahan lewat proses pemilu karena suasana yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda
dengan masa-masa sebelumnya. Saat-saat seperti ini semua pihak merasa dan mengklaim diri
sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat terpilih janji yang terucap seakan
menguap sesaat setelah sumpah diucapkan.
SLIDE 6 :
1. Ekonomi.
Faktor ekonomi mempengaruhi tingkat apatis seseorang karena mereka merasa hanya dengan
bekerjalah mereka bisa sejahtera yg di priroritaskan hanya untuk membahagiakan orang
orang terkasih¸ tanpa mempedulikan dengan keadaan negara yang butuh generasi.
Contoh : Seorang mahasiswa, dia kuliah dengan biayanya sendiri, bekerja membanting
tulang. Untuk memenuhi kebutahan nya “ Dan dia memutuskan untuk menjadi apatis karena
keadaan ekonomi”.
2. Arus Globalisasi
Globalisasi memang membawa angin segar untuk berbagai sektor kehidupan di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Akan tetapi, sudah bukan rahasia lagi bahwa satu hal kecil pun
memiliki dua sisi yang berlainan, globalisasi pun begitu. Selain membawa dampak positif
berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi berdampak buruk bagi
kehidupan sosial manusia. Dulu, manusia harus saling bersemuka untuk bisa berkomunikasi
satu sama lain, namun berkat sebuah proses bernama globalisasi ini, tidak perlu lagi ada
semuka untuk bisa melakukan komunikasi, cukup dengan membuka internet, klik sana klik
sini, seseorang sudah bisa berkomunikasi dengan orang yang jaraknya pun belum tentu
diketahui.
Sedikit banyak globalisasi telah “membisukan” mulut manusia yang secara alamiah berfungsi
untuk berbicara. Pada akhirnya kondisi tersebut akan menggiring manusia untuk tidak lagi
menggunakan insting sosialnya. Itulah alasan mengapa globalisasi sangat berpengaruh
terhadap sikap apatis yang melanda generasi muda di seluruh Indonesia.
Pengaruh perkembangan informasi dan era globalisasi yang mulai merebak di negara kita
juga menjadi ancaman yang sangat menakutkan bagi generasi muda. Mereka sudah mulai
meninggalkan kebudayaannya yang menbjadi jati dirinya dan itu diperkuat lagi dengan
semangat globalisasi yang begitu kental dan digelorakan oleh pihak asing.
Generasi muda seakan telah meninggalkan jati diri bangsanya dan mulai terpengaruh dengan
budaya-budaya asing yang mulai menunjukkan taji-nya dan sekaligus telah menguasai
seluruh aspek kehidupan di negara kita.
3. Ketidaktahuan
Seringkali kita tidak mau melakukan sesuatu karena tidak tahu manfaatnya. Kita cenderung
menutup diri dengan problematika masalah disekitarnya, entah itu sosial, lingkungan atau
apa. Contoh : kita tidak tahu apa manfaatnya kalau kita menjadi aktivis kampus. Padahal
belum menjalani bahkan tau secara detailnya apa yg kita dapat tapi kita sudah dapat
menyimpulkan bahwa kita hanya buang buang waktu saja. Kita menganggap itu perbuatan
yang sia-sia.
4. Sifat Bawaan
Sifat bawaan yang dimaksud disini bisa berasal dari faktor internal seperti keluarga. Contoh
dalam keluarga, sang ayah menyuruh anaknya untuk bekerja dikantor karna sang ayah sudah
merasakan nikmatnya bekerja dikantor dan melarang anaknya untuk bergulat dengan politik
karna sang ayah menganggap bahwa berpolitik tidak penting dan hanya menyita waktu dan
pikiran tanpa menghasilkan apapun. Sifat seperti inilah yang akan berdampak pada lunturnya
semangat kaum muda untuk berpolitik guna memperbaiki indonesia.
5. Terpengaruh Orang Lain
Terpengaruh disini mencakup bukan satu atau dua orang saja, tapi bisa lebih, misal
terpengaruh komunitas atau kelompok. Sering kali kita memiliki rencana yang baik untuk
merubah atau memperbaiki suatu keadaan agar lebih baik dari sebelumnya, tapi ketika proses
yang sedang kita lakukan tersebut mendapat cemohan atau mendapat kritikan yang membuat
kita down, seakan akan mereka tidak mendukung langkah kita yaitu terjadinya perubahan,
sehingga kita merasa bahwa kalau kita melanjutkan akan mendapatkan tindakan yang lebih
tidak baik. Contoh saja ketika kita ikut demonstrasi untuk menyalurkan aspirasi rakyat, terus
kemudian teman kita bilang bahwa dengan seperti itu kita hanya buang-buang tenaga, panas-
panasan lah, gak ada manfaatnya. Mending ngerjain tugas dari pada ikut gituan yang belum
tentu dapat respon malah nanti berujung bentrok. Mati deh !
6. Hilangnya Kepercayaan
Hilang kepercayaan disini mengacu pada para pejabat publik, kita ambil contoh saja para
wakil rakyat. Ketika kita percaya bahwa langkah-langkah, program-program,dan
kebijakannya mampu membuat perubahan, dan kita selaku masyarakat mendukung penuh
dan siap terjun utk bergotong royong membangun perubahan. Tapi kemudian para wakil
rakyat mengingkari dan tidak melaksanakan, kita sebagai masyarakat yg penuh semangat
membangun perubahan tapi kemudian yg menjadi pilihan kita ternyata tak sesuai yang
diharapkan, membuat kita seakan-akan tak harus lagi untuk mempercayai anggota wakil
rakyat yang lain. Karna semuanya hanya sama saja.
kehidupan yang berubah menjadi individualis pun memperparah keadaan, pemuda menjadi
sosok yang tidak mau lagi bergerak ,tidak peduli dengan keadaan sekitar, bagaimana pun
kondisinya selama dirinya sendiri tidak merasa dirugikan maka akan tetap diam.
Kecenderungan ini muncul ketika norma-norma sosial yang selama ini disepakati dan
dijabarkan dalam suatu masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan
fungsinya yang efektif. Golput bukanlah pilihan tepat dan cenderung mendorong masyarakat
menjadi apatis. Kondisi ini bisa menciptakan rendahnya legitimasi pemerintah serta
mendorong munculnya masyarakat yang antipati (ketidaksukaan untuk sesuatu atau
seseorang), terhadap perkembangan politik. Dampaknya akan mendorong lemahnya sarana-
sarana politik formal yang ada saa
Kejahatan dan penderitaan sudah menjadi hal-hal biasa. Hal-hal negatif itu sudah menjadi
makanan sehari-hari kita, sehingga tidak lagi mengenalinya sebagai sesuatu yang kejahatan
dan nista. Dalam bahasa filsuf perempuan Jerman, Hannah Arendt, kejahatan telah menjadi
banal. Kejahatan tidak lagi dikenali sebagai kejahatan, tetapi hanya sebagai rutinitas
kehidupan sehari-hari. Banalitas ( atau kata lain pemwajaran) kejahatan itulah yang membuat
kita menjadi apatis dan tidak peduli. Banalitas kejahatan itulah yang membunuh kepekaan
hati nurani terhadap ketidakadilan dan kejahatan, yang terjadi setiap detiknya di depan mata
kita. Tidak berhenti disitu, kejahatan dan ketidakadilan bukan hanya menjadi hal yang biasa,
tetapi justru menjadi hal yang normatif, “yang seharusnya”. Melanggar lalu lintas bukan lagi
hal biasa, tetapi menjadi sebuah “kewajiban” yang harus dilakukan. Jika kita tidak melanggar
lalu lintas, kita akan menjadi korban dari struktur. Sekali lagi yang sering kita dengar
“peraturan ada untuk dilanggar”.
Potensi-potensi yang seharusnya dimiliki oleh pemuda saat ini tidaklah nampak
kecuali hanya sedikit saja. Krisis sosial, krisis moral serta arogansi yang tinggi inilah yang
justru menjangkit pemuda saat ini. Kasus tawuran antar pelajar menjadi sebuah daftar hitam
yang tak kunjung selesai.
Dilain sisi mahasiswa bagian dari kamu muda banyak menciptakan budaya massa dan
budaya instan yang menyebabkan mereka datang ke kampus bukan untuk mencari ilmu,
namun sekedar untuk mendapatkan gelar.
Begitu juga masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya terlihat betapa lunturnya nilai-nilai
luhur bangsa ini yang tercermin baik dalam orasinya, spanduk/poster yang dibentangkan
maupun tingkah laku yang tidak santun. Pernah terjadi pada suatu peristiwa demonstrasi,
mereka menginjak injak dan membakar gambar/foto presiden yang nota bene sebagai
lambang negara dan harus dihormati oleh seluruh anak bangsa. Perilaku lain yang sangat
mengkuatirkan generasi tua atau para orang tua adalah adanya kebiasaan atau budaya yang
banyak melanggar norma-norma agama dan sosial pada generasi muda.
Masyarakat Indonesia yang sudah tidak bangga dengan produknya sendiri, dan juga kasus di
Bali yang 70 persen siswa tidak lulus gara-gara bahasa Indonesia, sudah cukup jelas bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam nasionalisme atau semangat nasionalisme di indonesia
sudah mulai terkikis dan luntur.
1. Peng-Indonesia-an Kembali
Peng-indonesia-an kembali adalah satu cara jitu yang diharapkan bisa menumpas apatisme
dan kembali menumbuhkan rasa nasionalisme di lubuk hati pemuda-pemudi Indonesia.
Layaknya penghijauan kembali hutan gundul, peng-indonesia-an kembali juga butuh waktu
dan proses. Pendidikan karakter adalah salah satu jalan yang paling mungkin ditempuh untuk
melancarkan peng-indonesia-an kembali ini. Pendidikan sebagai sarana sosialisasi terbaik
selain keluarga, sangat mungkin juga mampu menjadi sarana penumbuhan nasionalisme.
Tujuan umum sebuah sekolah memang menciptakan lulusan yang hebat di iptek dan kuat di
imtaq, tetapi pasti lebih baik bila nasionalisme juga dijadikan tujuan sekolah dengan tingkat
prioritas yang sama dengan dua tujuan pokok di atas.
2. Pendidikan karakter
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki
nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis,
produktif dan kreatif . Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam
masyarakat. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan
seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik
yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa.
Berbagai alternatif penyelesaian diajukan dan yang banyak dikemukakan untuk mengurangi
masalah budaya dan karakter bangsa tersebut itu adalah pendidikan.
3. Saling Terbuka
Keterbukaan berasal dari kata dasar terbuka yang berarti suatu kondisi yang di dalamnya
tidak terdapat suatu rahasia, mau menerima sesuatu dari luar dirinya, dan mau berkomunikasi
dengan lingkungan di luar dirinya. Adapun keterbukaan dapat diartikan sebagai suatu sikap
dan perasaan untuk selalu bertoleransi serta mengungkapkan kata-kata dengan sejujurnya
sebagai landasan untuk berkomunikasi. Dengan demikian, keterbukaan berkaitan erat
dengan komunikasi dan hubungan antarmanusia. Keterbukaan sangat penting dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial karena keterbukaan merupakan prasyarat bagi
adanya komunikasi.
Keterbukaan berarti bahwa setiap warga negara berhak untuk mengeluarkan pendapat, ide-
ide, maupun gagasan sebagai wujud dari aspirasinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Namun demikian, warga masyarakat juga harus menerima pendapat, saran, dan pembaruan
dalam masyarakat demi tercapainya kemajuan bersama. Masyarakat harus sadar bahwa
menutup diri hanya akan menghambat kemajuan. Budaya menutup diri membuat manusia
cenderung berpikir picik dalam memandang suatu masalah, serta tidak mau menerima saran,
kritik maupun pembaruan. Keterbukaan juga diperlukan bagi pemerintah terutama mengenai
kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.
keterbukaan merupakan langkah pertama mengurangi sifat ini.
Kita sepakat dan yakin allah maha pema'af, keterbukaan kita akan membuat orang
berperilaku sesuai keinginan kita, jika tidak bisa maka dia sendiri akan menjauh dan
membatasi diri. Kata ma'af aja sulit diucapkan orang karena kita tidak terbuka hal mana yang
membuat kita sakit hati. ya itu deh.. jika kita kita sudah benci kan semua yang dilakukan
orang tersebut akan kita nyatakan salah dan justru malah menambah tingkat apatisme
terhadap orang tersebut. semua bisa diselesaikan dengan BICARA cuman memang banyak
cara untuk memulainya. kita sepakati bahwa Perilaku/Sikap menimbulkan berjuta persepsi
tapi Ucapan bermakna satu dan sama.
4. Pembinaan Masyarakat
Harus dilakukan upaya penyadaran kepada masyarakat dengan cara melakukan pembinaan
masyarakat tentang politik secara benar. Menjelaskan kepada masyarakat fakta buruknya
penerapan politik, menjelaskan penyebab utama terjadinya keburukan tersebut (sistem atau
pelaksana), menjelaskan solusi berikut metode solusi dalam menyelesaikan perkara yang
menjadi sumber masalah