Anda di halaman 1dari 2

ORANG SAKIT JIWA, BISAKAH DIKENAKAN SANGSI HUKUM ?

Oleh : dr. Liza Ariany, Sp.KJ – Psikiater RS Ernaldi Bahar Prov. Sumsel

Sedang marak pemberitaan tentang penganiayaan yang “katanya” dilakukan oleh para ODGJ
( Orang Dengan Gangguan Jiwa ) / orang sakit jiwa kepada orang-orang tertentu. Oleh
karenanya alangkah baiknya kita perlu memahami seputar masalah ini.
Gangguan Jiwa banyak jenisnya, dari sekedar gangguan tidur sampai gangguan
jiwa berat, misalnya Skzofrenia. Ada pemahaman yang berkembang di masyarakat, bahwa
sakit jiwa selalu identik dengan hilang akal, hilang kemampuan berpikir, hilang kemampuan
memahami atau menganalisa. Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena ternyata banyak ODGJ
masih mempunyai sisi kesadaran dan kemampuan berpikir, terlebih bila sudah mendapatkan
pengobatan dan mendapatkan respon pengobatan yang cukup baik. Tak jarang mereka
mampu berkarya dan berprestasi tak ubahnya orang normal, ada juga yang bisa melebihi
kemampuan orang normal kebanyakan. Bahkan para ODGJ dengan kriteria tertentu sudah
diberikan hak untuk berkontribusi dalam penentuan nasib bangsa dan negara dengan
dilibatkannya mereka dalam proses pemungutan suara ( mendapatkan hak pilih ) pada pemilu
/ pilpres di negeri ini
Memang pada penderita gangguan jiwa berat jenis Psikosis – Skizofrenia didapatkan
gejala halusinasi dan waham yang memungkinkan si penderita terdorong untuk melakukan
tindak kekerasan diluar kendali dirinya, tetapi di sisi lain masih banyak para ODGJ yang
masih mampu menggunakan akal pikiran dan kesadarannya untuk menimbang baik-buruk
suatu tindakan beserta akibat yang ditimbulkannya. Kita bisa mengambil sebuah contoh
kasus, misalnya seorang ODGJ mekukan tindak penganiayaan, dikarenakan adanya
halusinasi yang berisi suara-suara perintah untuk menciderai orang, atau adanya waham
paranoid yg menyebabkan perasaan curiga berlebihan sehingga merasa orang di sekitarnya
mengancam dan membahayakan jiwanaya, pada kasus ini perilaku kekerasan ODGJ didasari
atas penyakit jiwanya, yang menyebabkan gangguan persepsi patologis yang bersifat
subjektif. Di sisi lain bisa juga seorang ODGJ melakukan upaya penganiayaan yang
dilakukannya dengan kesadaran penuh, dan mampu menggunakan akal pikirannya, bahkan
juga tahu konskwensi dari tindakan yang dilakukannya, misalnya saja karena istrinya
direbut orang, atau terjadi konflik fisik lainya dimana sebabnya jelas dan secara objektif
memang benar - benar nyata adanya.
Merujuk pada kutipan sebagai berikut dijelaskan oleh R. Soesilo dalam
bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61). Terkait Pasal 44 KUHP, Soesilo menjelaskan bahwa
dalam praktiknya jika polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap diwajibkan
memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan
tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia
dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa. Pada praktiknya di persidangan, untuk
membuktikan seseorang mengalami gangguan kejiwaan, dihadirkan saksi ahli ( Ahli Jiwa )
terkait masalah tersebut.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa para ODGJ ini, dalam kriteria dan
batasan tertentu masih bisa dikenakan sangsi hukum atas tindakan pelanggaran / melawan
hukum yang telah dilakukannya.
Untuk bisa memastikan seseorang mengidap gangguan jiwa atau bukan tentu saja
diperlukan waktu dan serangkaian prosedur pemeriksaan secara cermat oleh pihak yang
berkompeten, yaitu Psikiater dan Psikolog Klinis ( Ahli Jiwa ).
Semoga tulisan ini mampu menambah dan membuka wawasan kita tentang peyakit
jiwa, dan keberadaan status hukum kaum ODGJ ini.
(Humas-Iwan )

Anda mungkin juga menyukai