Anda di halaman 1dari 7

PAPER HIV AIDS PADA MASA NIFAS

Disusun oleh kel 2:

 Ratu Diana Khoirunnisa (2001013)

 Rifdah Nur Aulia (2001014)

 Rindiani Suryana (2001015)

 Vanesa Soraya Putri (2001016)

 Ade Afrila M (2001017)

 Alfina Rahmah (2001018)

 Alika Septiyanda (2001019)

 Fitha Rosita Dewi (2001020)

 Fitria Handayani (2001021)

 Fitriah Deasy (2001022)

PRODI D3 KEBIDANAN POLTEKKES AISYIYAH BANTEN

TAHUN 2021-2022

BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus khas yang menyebabkan
penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). HIV menyerang sel-sel darah
putih yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit. Akibatnya,
seseorang yang terinfeksi virus ini mengalami penurunan kekebalan alami tubuh. Kumpulan
gejala penyakit yang ditimbulkan akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh itulah yang disebut
AIDS (Gallant, 2010). HIV dapat ditularkan melalui hubungan seks, tranfusi darah,
penggunaan jarum suntik bergantian dan penularan dari ibu ke anak (perinatal).

Indonesia tergolong sebagai negara yang paling cepat tingkat perkembangan


HIV/AIDSnya. Jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan dari tahun ke tahun
cenderung meningkat dan pada tahun 2016 dilaporkan sebanyak 41.250 kasus. Pengidap HIV
terbesar di Indonesia saat ini terjadi pada usia reproduktif yaitu usia 25-49 tahun (69,3%),
dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja. Estimasi dan proyeksi jumlah orang
dengan HIV/AIDS pada umur ≥15 tahun di Indonesia pada tahun 2016 adalah sebanyak
785.821 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 90.915 orang dan kematian sebanyak
40.349 orang (Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016, Kemenkes
RI)

Jumlah kasus baru HIV di Jawa Tengah tahun 2016 sebanyak 1.867 kasus, lebih
tinggi dibandingkan dengan penemuan kasus HIV tahun 2015 sebanyak 1.467. Penemuan
kasus HIV pada laki-laki lebih banyak dibandingkan pada perempuan (55,6%). Bila dilihat
berdasarkan umur maka penderita HIV dapat menimpa umur dari usia dini hingga umur tua.
Perderita HIV terbanyak berturut-turut sebagai berikut : umur 25-49 tahun sebesar 67,33%,
kemudian umur 20-24 tahun sebesar 16,01% dan umur diatas 50 tahun 9,48% . Sedangkan
kasus AIDS tahun 2016 sebanyak 1.402 kasus, lebih banyak dibanding tahun 2015 yaitu
1.296 kasus. Berdasarkan kelompok umur, jumlah kasus terbanyak pada umur 25-49 tahun
71,90% (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2017).

Betancourt et al (2010) mengatakan jika 2/3 ibu HIV positif yang hamil di negara
berkembang tidak memiliki akses pada pengobatan untuk mencegah penularan HIV dari ibu
ke bayi (mother-to-child HIV transmission/MTCT). Masalah tersebut mengakibatkan
370.000 kasus HIV baru di antara bayi setiap tahun. Dari 1,5 juta ibu hamil dengan HIV di
negara berkembang setiap tahunnya, hanya kurang dari 1/3 menerima terapi ARV selama
kehamilan (Agadjanian dan Hayford, 2009).
Penderita HIV/AIDS di Cilacap dari tahun 2014-2017 sejumkah 209 orang sebanyak
33 adalah ibu bersalin (VCT RSUD Cilacap, 2017). Tingginya ibu bersalin yang mengalami
HIV membawa konsekuensi bagi bayi dan masa nifasnya. Ibu yang menderita HIV bisa
mengalami kecemasan yang lebih tinggi dalam masa nifas nya. Kecemasan yang ada bisa
meliputi kesehatan fisiknya, kondisi bayi dan juga rasa sakit yang dialami setelah melahirkan.
Oleh karena itu dukungan atau perhatian dari keluarga sangat penting sekali dalam masa ini.
Kurangnya perhatian dari pasangan atau keluarga kepada ibu yang terinfeksi HIV menjadi
masalah yang sering terjadi seperti yang terungkap dalam penelitian oleh Maman, Moodley
dan Groves (2011) di Durban Afrika Selatan terhadap perbedaan dukungan suami selama dan
setelah kehamilan dari perspektif ibu dengan HIV positif dan negative, kebanyakan ibu HIV
positif kurang memperoleh dukungan dari pasangannya pada masa-masa tersebut. Dukungan
mempunyai peran penting untuk meningkatkan koping adaptasi seseorang terhadap keadaan
yang sedang dihadapinya.

Dukungan keluarga berupa dukungan emosional, dukungan informatif, dukungan


penghargaan, dukungan instrumental dan spiritual. Dari hasil penelitian Edwards (2006) dan
Warren (2007) didapatkan sebagian besar dukungan yang paling sering di dapatkan adalah
dukungan emosional. Ibu nifas yang terinfeksi HIV sangat membutuhkan dukungan keluarga.

Penelitan yang dilakukan oleh Warren (2007) dengan desain kuantitatif


menggambarkan bahwa sebagian besar ibu (76%) menganggap suami/ pasangan dan ibunya
sendiri adalah orang yang paling banyak membantu dalam semua bentuk dukungan.

Dukungan yang diberikan pada ibu yang terdeteksi HIV tidak hanya terhenti setelah
melahirkan saja. Ibu tersebut akan menjalani hiduo dengan HIV ditubuhnya, menjalankan
perannya sebagai ibu yang harus merawat anaknya, menghadapi masalah stigma dan
diskriminasi dari masyarakat terhadap ODHA (Kemenkes RI. 2011)

Sebagian besar penelitian pada ibu yang terinfeksi HIV selama masa nifas banyak
ditujukan pada pengobatan dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi, tetapi penelitian
tentang identifikasi ibu yang terinfeksi HIV tentang dukungan keluarga selama masa nifas
masih belum banyak yang meneliti. Oleh karena itu, peneliti ingin mengidentifikasi
bagaimana dukungan keluarga selama masa nifas pada ibu yang terinfeksi HIV.

BAB II

PEMBAHASAN
Ketakutan akan ketidakmampuan dalam merawat bayinya serta takut bayinya tertular
HIV membuat ibu nifas merasakan kecemasan setelah melahirkan. Kecemasan tentang
penularan HIV ke bayinya ada sampai dengan kepastian bahwa bayinya tidak tertular HIV
dan ini bias berlangsung selama 2 tahun. Selain respon psikologi cemas, ibu yang terinveksi
HIV juga menunjukkan respon spiritual dalam menghadapi masa setelah melahirkan dengan
tetap berdoa terhadap kesehatan diri dan bayinya dan menyerahkan kepada Allah. Keyakinan
terhadap agama memberikan perasaan tenang dan damai serta harapan. Seseorang menjadi
lebih tenang menghadapi suatu peristiwa dengan memasrahkannya kepada Allah. Spiritual
yang dimiliki seseorang memungkinkan individu untuk mencintai, memiliki keyaninan dan
harapan, menemukan makna hidup dan menjaga hubungan dengan orang lain. Pemahaman
spiritual yang dimiliki individu dapat menjadi hal yang signifikan mempengaruhi bagaimana
seseorang beradaptasi terhadap perubahan akibat dari penyakitnya. Pemahaman spiritual ini
memungkinkan seseorang mempunyai keyakinan yang lebih kuat yang membuat individu
tersebut lebih baik dan memiliki semangat hidup (Potter & Perry, 2005)

Ibu nifas yang terinfeksi HIV mendapatkan stigma baik dari keluarga dan masyarakat.
Perlakuan dijauhi oleh keluarga karena takut tertular yaitu stigma yang muncul. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Carter (2009) bahwa bentuk stigma dari keluarga yang paling
mengganggu karena keluarga tidak dapat dipilih dan sering dianggap sebagai sumber kasih
saying dan dukungan tanpa syarat.

Dukungan keluarga merupakan sumber dukungan yang sangat efektif dalam proses
pemulihan ibu setelah melahirkan atau dalam masa nifas yang terinfeksi HIV karena
dukungan ini bersifat apa adanya, berakar pada hubungan yang telah berakar lama, memiliki
keragaman dalam penyampaian, sesuai dengan norma yang berlaku tentang kapan dukungan
harus diberikan dan terbebas dari beban psikologis (Kuntjoro, 2002).

Sumber dukungan keluarga merupakan dukungan yang mudah diperoleh dan sesuai
dengan nilai dan norma sehingga pemberiannya dapat dilakukan kapan dan dimanapun. Hasil
penelitian dari Tchamba (2008) pada 26 wanita yang terinfeksi HIV dengan desain kualitatif
27% wanita memperoleh dukungan emosional berupa disayangi dan dirawat dari ibunya,
19% wanita mendapatkan dukungan dorongan semangat dari kakak perempuannya, 19%
wanita mendapatkan semua dukungan dari suami/pasangan sedangkan yang lain tidak
mendapatkan dukungan.
Bentuk dukungan yang diterima ibu nifas berupa dukungan emosional yaitu
pendampingan dan pemberian motivasi yang ditunjukkan dengan memberi semangat dan
menguatkan. Bentuk lain yang diterima ibu nifas adalah dukungan spiritual yaitu didoakan
agar sehat dan dianjurkan untuk memasrahkan semuanya kepada Allah. Menurut Djauzi dan
Purwanti (2006) peran spiritual sangat penting dalam proses penerimaan karena memberikan
pengaruh positif yang ditandai dengan berkurangnya depresi, peningkatan kualitas hidup.
Mengurangi ketakutan menghadapi kematian dan menumbuhkan semangat untuk tetap hidup.

Dukungan fisik yang didapatkan oleh partisipan adalah membantu partisipan dalam
pemulihan pada masa nifas seperti pemenuhan kebutuhan fisik dan menyamanan lainnya
seperti membantu mobilisasi, eliminasi dan makan serta membantu dalam perawatan bayiya.

Dukungan finansial juga merupakan bentuk dukungan yang diberikan keluarga


kepada ibu yang terdeteksi HIV. Bantuan dari keluarga berupa pembiayaan obat dan bantuan
lainnya dalam keperluan bayi dan masa nifas dapat mengurangi stress sehingga ibu juga
terhindar dari depresi postpartum. Hasil penelitian Basanti Nomathemba (2010)
menggambarkan bahwa salah satu dukungan yang dibutuhkan ODHA untuk menjalani
perawatan adalah dukungan keuangan. Dukungan informasi dari keluarga tentang aktivitas
setelah melahirkan dan penjelasan mengenai penularan HIV dari bayi ke ibu juga diberikan
sehingga ibu mengetahui hal apa saja yang harus dihindari dan dijalankan selama masa nifas
adalah cemas dan respon spiritual yang muncul adalah pasrah dan berdoa terhadap
keselamatan diri dan bayinya. Dukungan keluarga terhadap ibu selama masa nifas didapatkan
dari suami, orang tua dan keluarga dalam bentuk dukungan emosional yaitu mendampingi
dan memberikan motivasi, spiritual yaitu mendoakan agar sehat selalu dan pasrah, dukungan
fisik yaitu membantu ibu dalam menjalani masa nifas dan merawat bayinya, dukungan
finansial berupa pemberian uang serta dukungan informasi berupa nasehat dari keluarga
tentang aktivitas masa nifas dan pencegahan penularan ke bayinya.

BAB III

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan kedua partisipan terinfeksi HIV
mengalami respon psikososioal spiritual. Respon spikologis yang menonjol.

SARAN

Hasil penelitian ini tentunya harus mampu memberikan sesuatu yang berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, instansi atau Lembaga serta berbagai pihak yang
berhubungan dengan penelitian ini.
a. Institusi Pendidikan
Dapat memberikan seminar dan materi perkuliahan tentang ibu nifas dengan HIV/AIDS lebih
mendalam khususnya mengenai dukungan keluarga pada ibu nifas dengan HIV.

b. Instansi Pelayanan Kesehatan

Diharapkan mampu memberikan pendampingan yang lebih intens khususnya pada ibu nifas
yang terinfaksi HIV.

c. Keluarga

Diharapkan keluarga dapat menerima para ODHA dan memberikan dukungan khususnya
pada saat masa nifas agar tidak ada lagi diskriminasi dan stigma negative kepada para
penderita HIV/AIDS.

DAFTAR PUSTAKA

Ariati, Jati. 2010. Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja pada
Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Jurnal
Psikologi Undip Vol.8, No.2, Oktober 2010).

Bobak, Lowdermilk, & Jensen. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4. Jakarta :
EGC

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016.
Semarang

Carter, M. 2009. Bentuk stigma tertentu sangat menyakitkan hati


ODHA.http://spiritia.or.id/news/baca news.php?nwno=1743, diakses tanggal 25 Januari
2018.
Edwars, L., P. 2006. Perceived social support and HIV/AIDS medication adherence smong
African women. Journal Johns Hopkins University Bloomberg School of public Helath. 16.5

Fatimah, S. 2010. Hubungan dukungan suami terhadap kejadian postpartum blues di RS


Tugurejo Semarang. Skripsi. Unpublished. Semarang. Universitas Diponegoro

Fiore, S., Newell, M L., Thorne, C. 2004. Higher rates of post-partum complications in HIV-
infected in women irrespective of mode of delivery. AIDS, 18(6):933-8

Anda mungkin juga menyukai