Anda di halaman 1dari 37

PERBANDINGAN PEMBERIAN KETAMIN DAN FENTANYL

TERHADAP PERUBAHAN KADAR GULA DARAH PADA


TRAUMA EKSTREMITAS BAWAH MENCIT
SEBAGAI HEWAN COBA

PROPOSAL TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Anestesi pada
Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
Oleh :

HUZAIVAL
NPM : 1807701080002

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS1 (PPDS-1)


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2022
LEMBAR PENGESAHAN

PERBANDINGAN PEMBERIAN KETAMIN DAN FENTANYL


TERHADAP KADAR GULA DARAH PADA TRAUMA
EKSTREMITAS BAWAH MENCIT
SEBAGAI HEWAN COBA

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan sebgai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Anestesi
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Oleh :
HUZAIVAL
NPM : 1807701080002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

DR. dr. Zafrullah Khany Jasa. Sp.An. KNA dr. Mujahidin. Sp.An. KAKV.MSc, FIPM
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum................................................................ 5
1.3.2 Tujuan Khusus............................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 6


2.1 Trauma Ekstremitas ................................................................ 8
2.1.1. Pengertian.....................................................................
2.1.2. Anatomi Ekstremitas Bawah........................................ 6
2.2 Kadar Gula Darah....................................................................
2.1.2. Faktor yang Menaikkan Kadar Gula Darah.................. 8
2.1.3. Faktor yang Menurunkan Kadar Gula Darah............... 8
2.1.3. Hubungan Tindakan Operatif dengan Kadar Gula Darah
2.1.4. Hubungan Tindakan Anestesi dengan Kadar Gula Darah
2.3 Konsep Ketamin...................................................................... 9
2.2.1. Pengertian Ketamin ..................................................... 9
2.2.2. Unsur Ketamin.............................................................. 9
2.2.3. Farmakokinetik Ketamin.............................................. 10
2.2.4. Farmakdinamik Ketamin.............................................. 10
2.2.5. Mekanisme Kerja Ketamin...........................................
2.2.6. Efek samping................................................................ 11
2.4 Konsep Fentanyl...................................................................... 12
2.2.1. Pengertian Fentanyl...................................................... 9
2.2.2. Unsur Fentanyl.............................................................. 9
2.2.3. Farmakokinetik Fentanyl.............................................. 10
2.2.4. Farmakdinamik Fentanyl.............................................. 10
2.2.5. Mekanisme Kerja Fentanyl...........................................
2.2.6. Efek samping................................................................ 11
2.5 Kerangka Teoritis ................................................................... 19
2.6 Hipotesa Penelitian.................................................................. 20
BAB 3 METODE PENELITIAN................................................................ 21
3.1 Desain Penelitian..................................................................... 21
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................. 21
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian............................................... 21
3.3.1 Populasi.......................................................................... 21
3.3.2 Sampel........................................................................... 22
3.4 Besar sampel........................................................................... 22
3.5 Kriteria sampel......................................................................... 23
3.6. Kriteria Droup Out.................................................................. 23
3.7 Kerangka Konsep.................................................................... 23
3.8 Variabel Penelitian.................................................................. 24
3.9 Definisi Operasional............................................................... 25
3.10 Alat, bahan dan cara kerja...................................................... 25
3.11. Prosudur Penelitian............................................................... 26
3.12. Analisa data........................................................................... 26
3.13. Etika Penelitian..................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Skematis Rancangan Penelitian........................................................ 20
Tabel 3.2 Definisi Operasional......................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Trauma ekstremitas merupakan trauma yang mengakibatkan luka pada salah
satu ekstremitas, trauma pada satu bagian sistem musculoskeletal atau trauma
ekstremitas ini dapat menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya dan struktur yang
dilindungi atau disangganya, akibat dari trauma tersebut maka pembedahan
merupakan salah satu cara untuk menyatukan trauma pada ekstremitas, namun
sebelum dilakukan pembedahan dokter anestesi sangat berperan dalam proses
terlaksananya operasi.1
Gula darah merupakan salah satu gula monosakarida sumber karbon utama
yang dimanfaatkan sebagai sumber energi yang diperoleh dari makhluk dan
tumbuhan. Glukosa adalah bahan bakar yang lengkap untuk sel-sel tubuh dan mengisi
sebagai batas untuk pencapaian pencernaan dalam tubuh. Kadar gula darah
merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam metabolisme tubuh.
Metabolisme senantiasa terjadi dalam tubuh dan sebagian besar bahan bakar untuk
metabolisme adalah kadar gula darah. Metabolisme gula darah juga terjadi saat
tindakan operatif dilakukan dan merupakan suatu tantangan dalam pengendaliannya
pada masa perioperatif.2
Hiperglikemia akut setelah cedera traumatis juga mendapat banyak perhatian.
Cedera traumatis menginduksi sekresi hormon stres, sebagian besar dimediasi oleh
glucagon kemudian mengakibatkan stres oksidatif dan resistensi insulin, akhirnya
terjadi hiperglikemia.3
Anestesi mengambil bagian penting dalam setiap operasi, dan sebagian besar
pembedahan dilakukan di bawah anestesi. Anestesi umum adalah suatu kondisi
reversibel yang mengubah status fisiologis tubuh, digambarkan dengan hilangnya
kesadaran (sedasi), hilangnya penderitaan (tidak ada rasa sakit), penurunan kognitif
(amnesia), dan relaksasi.4
Sebagian besar obat anestesi yang sering digunakan di rumah sakit dapat
mengganggu toleransi glukosa, meskipun efeknya berbeda. Mekanisme peningkatan
kadar glukosa darah sangat kompleks. Salah satu obat anestesi secara langsung
menekan sel beta pankreas melalui pelepasan katekolamin yang mengakibatkan
penurunan produksi insulin. Penurunan hormon insulin menyebabkan semua gula
(glukosa darah) yang dikonsumsi oleh tubuh tidak dapat diproses dengan sempurna,
sehingga kadar glukosa dalam tubuh akan meningkat.2
Peningkatan glukosa adalah interaksi yang dapat terjadi karena stres, cedera
dan selama prosedur medis. Ada juga beberapa faktor yang menyebabkan
peningkatan kadar glukosa selama prosedur medis termasuk prosedur medis, metode
obat penenang, cairan yang digunakan selama perioperatif serta penyakit penting
yang diderita oleh pasien yang akan menjalani prosedur medis akan menyebabkan
peningkatan kadar glukosa baik secara langsung atau tidak langsung.4
Ketamin adalah obat analgetik intravena utama, selain sebagai penghilang
rasa sakit yang kuat, juga berfungsi untuk meningkatkan sistem kardiovaskular,
meningkatkan denyut nadi, ketegangan peredaran darah, dan detak jantung. Puncak
dari peningkatan variabel ini terjadi 2-4 menit setelah pemberian bolus intravena dan
berkurang setelah 10-20 menit. Ketamin menggerakkan sistem kardiovaskular
melalui rangsangan sistem sensorik fokus dan kurang signifikan dengan menghalangi
pengambilan norepinefrin di terminal saraf yang bijaksana. Peningkatan epinefrin dan
norepinefrin plasma terjadi dalam 2 menit pertama setelah bolus intravena dan kadar
kembali ke tingkat dalam waktu kurang dari 15 menit.5
Ketamin merupakan obat analgetik yang dapat menyebabkan perubahan
pencernaan karbohidrat sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa. Ketamin
langsung melumpuhkan sel beta pankreas melalui pelepasan ketokolamin yang
menyebabkan produksi insulin berkurang. Menjelang awal prosedur medis yaitu
anestesi, ketamin meningkatkan kadar glukosa, kortisol plasma, dan prolaktin.
Setelah itu tidak ada perbedaan dalam sistem pencernaan dan endokrin.5
Menurut Stevenson C, 2015, obat anestesi pada dasarnya akan memberikan
efek simpatomimetik dan mempengaruhi sistem endokrin dalam tubuh manusia,
terutama pengaturan kadar glukosa darah. Mekanisme peningkatan kadar glukosa
darah sangat kompleks. Salah satu pendapat yang ada adalah obat anestesi secara
langsung menekan sel beta pankreas melalui pelepasan katekolamin dan
mengakibatkan penurunan produksi insulin.6
Ketamin memiliki efek ganda pada kadar gula darah, yang dapat
menyebabkan hipoglikemia dan hiperglikemia. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan pada penderita diabetes, ditemukan bahwa induksi ketamin 1 mg/kgBB IV
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Selain itu, terdapat laporan 2 kasus
kadar glukosa darah tinggi setelah induksi ketamin pada operasi caesar. Ketamin
adalah satu-satunya anestesi intravena yang selain sebagai analgesik kuat, juga
mampu merangsang sistem kardiovaskular, meningkatkan denyut jantung, tekanan
darah arteri, dan curah jantung. Peningkatan puncak pada variabel-variabel ini terjadi
2-4 menit setelah pemberian bolus intravena dan menurun secara perlahan setelah 10-
20 menit.7
Selain ketamin, fentanyl juga menghasilkan efek sedatif paling maksimum
dengan pelepasan reseptor yang lebih sedikit. Menurut Katzung, 2012, obat penenang
fentanyl dalam prosedur medis dapat menahan reaksi tekanan dengan mengurangi
hambatan katekolamin dan membatasi reaksi tekanan neuroendokrin sebelum
dipotong ke periode pasca operasi. Akibat dari trauma anestesi memberikan reaksi
neuroendokrin melalui reaksi pembakar di dekatnya dan tindakan saraf afferent
visceral. Karena reaksi tekanan, bahan kimia yang dikenal sebagai bahan kimia
neuroendokrin dikirim, khususnya: ADH, aldosteron, angiotensin II, kortisol,
epinefrin, dan norepinefrin.7
Fentanyl dalam penggunaannya juga berpengaruh dalam mengubah kadar
glukosa. Fentanyl dan ketamin dalam keadaan tertentu sering digunakan bersama-
sama. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa Fentanyl menurunkan kadar glukosa
atau secara umum akan menyebabkan hipoglikemia. Pemeriksaan lain juga dilakukan
dengan membandingkan Fentanyl dengan isofluran pada perubahan kadar glukosa,
isofluran akan meningkatkan kadar glukosa.8
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Sharma, dkk pada 100 pasien yang
menjalani prosedur medis di India, ditemukan bahwa pemberian ketamin 2 mg/kgBB
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Hal ini karena efek ketamin yang
memiliki efek simpatomimetik dan menyebabkan eksitasi kapasitas adrenokortikal.
Sementara itu, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Kaviani et al (2018),
disebutkan bahwa pengaturan fentanyl menyebabkan penurunan kadar glukosa darah.
Penelitian yang dipimpin pada kelinci oleh Naserr dan Husen pada tahun 2008
mengamati bahwa ada peningkatan glukosa darah pada kelinci setelah infus ketamin
50 mg/kg.9

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan: Bagaimana
perbandingan kadar gula darah yang diberikan ketamin dengan yang diberikan
fentanyl pada trauma ekstremitas bawah pada mencit sebagai hewan coba?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan kadar gula darah yang diberikan ketamin
dengan yang diberikan fentanyl pada trauma ekstremitas bawah pada mencit sebagai
hewan coba.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efek penggunaan ketamin terhadap kadar gula darah pada
trauma ekstremitas bawah pada mencit sebagai hewan coba.
2. Untuk mengetahui efek penggunaan fentanyl terhadap kadar gula darah pada
trauma ekstremitas bawah pada mencit sebagai hewan coba.
3. Untuk mengetahui perbandingan kadar gula darah yang diberikan ketamin dengan
yang diberikan fentanyl pada trauma ekstremitas bawah pada mencit sebagai
hewan coba.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan
tambahan dalam penelitian lanjutan pengaruh ketamin dan fentanyl terhadap
peningkatan kadar gula darah.
1.4.2. Manfaat Praktisi
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam
pemilihan obat anestesi umum pada pasien dengan hiperglikemia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trauma Ektremitas
2.1.1. Pengertian
Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik
maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka),
perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau
robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf. Cedera
dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi struktur disekitarnya dan
struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan muskuloskeletal
yang paling sering terjadi akibat suatu trauma adalah kontusio, strain, sprain,
dislokasi dan subluksasi.8
2.1.2. Anatomi Ekstremitas Bawah8
1. Pelvis terdiri dari sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang
pipih. Tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan
ischium. Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan
vertebra sakrum, ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis
terletak di bagian inferior-anterior-medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai
puncak iliac (iliac crest).
2. Femur yaitu bagian proksimal berartikulasi dengan pelvis dan dibagian distal
berartikulasi dengan tibia melalui condyles.
3. Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding
dengan fibula.
4. Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding
dengan tibia.
5. Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di proksimal
dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari)
terdapat 2 tulang sesamoid.
6. Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki. Terdapat dua tulang phalangs di ibu
jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi
pelana di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari
tangan.

2.2. Kadar Gula Darah


Glukosa merupakan salah satu bahan bakar penting dalam tubuh yang kaya
akan energi kemudian dipecah di dalam sel untuk menghasilkan energi dalam bentuk
adenosin trifosfat (ATP). ATP dibutuhkan dalam semua proses fisiologis tubuh. Gula
sederhana lainnya yang dapat menjadi sumber energi adalah fruktosa, sukrosa, dan
laktosa. Glukosa diperoleh dari bahan makanan, terutama yang kaya akan pati atau
polisakarida. Polisakarida seperti nasi, kentang, roti, pasta, dll dipecah oleh enzim di
saluran pencernaan menjadi molekul glukosa.9

Gambar 2.1 Organ Pengendali Kadar Glukosa Darah

Gambar 2.1 Organ Pengendali Kadar Glukosa Darah

Dalam sistem pencernaan usus halus, glukosa dipertahankan ke dalam aliran


dan dibawa ke hati melalui vena porta hepatika. Hepatosit menyimpan banyak
glukosa dan kemudian mengubahnya menjadi glikogen, suatu polimer glukosa yang
tidak larut. Glikogen disimpan di hati dan dalam kasus penurunan glukosa darah,
glikogen dapat dipisahkan menjadi glukosa. Semua sel dalam tubuh membutuhkan
energi dan sebagian besar sel menggunakan kekuatan seperti lipid. Meskipun
demikian, sel-sel neuron sepenuhnya tunduk pada glukosa untuk sumber energinya
dan dengan cara ini perlu mengikuti kadar glukosa darah agar sistem sensorik bekerja
dengan tepat.9
Kadar glukosa darah berubah-ubah karena konsumsi makanan seseorang
berubah dalam 24 jam. Setelah makan, tubuh berada dalam keadaan menelan karena
suplemen disimpan dari organ pencernaan. Kadar glukosa darah akan meningkat
diimbangi dengan kapasitas glukosa di hati. Ketika penyerapan selesai dan konsumsi
suplemen berkurang, tubuh berada dalam kondisi pasca-retensi dan tubuh
menggunakan glukosa untuk menghasilkan energi sehingga kadar glukosa darah
turun. Pankreas berperan penting dalam pedoman glukosa endokrin dan eksokrin.
Sebagai organ eksokrin, pankreas menciptakan beberapa senyawa terkait lambung
yang dibuang ke duodenum melalui saluran pankreas. Sebagai organ endokrin, maka,
pada saat itu, melepaskan berbagai bahan kimia untuk pedoman glukosa darah seperti
insulin, glukagon, dan somatostatin. Dalam ekspresi absorptif, peningkatan kadar
glukosa darah yang dikenali oleh sel beta langerhans pankreas menyebabkan
peningkatan kedatangan insulin ke dalam diseminasi. Insulin mengarahkan
homeostasis glukosa dalam keadaan postprandial sementara bahan kimia yang
berbeda mengontrol kadar glukosa darah selama keadaan puasa.9
Insulin menstimulasi, terutama sel adiposit dan sel otot, untuk mengambil
glukosa dari jalur. Untuk masuk ke dalam sel, glukosa membutuhkan pembawa trans
film yang disebut Pembawa Glukosa (Overabundance). Glukosa transporter 4
(GLUT4) adalah yang paling banyak dalam adiposit dan sel otot. Setiap kali insulin
berikatan dengan reseptornya di lapisan sel, sel dianimasikan untuk membangun
kelebihannya. Semakin banyak Overabundance, semakin banyak glukosa yang dapat
dikirim ke dalam sel sehingga kadar glukosa darah dapat berkurang. Hati dan sinapsis
tidak menggunakan kelebihan untuk mengambil glukosa dari jalur dan sepanjang
garis ini bebas dari insulin. Insulin juga berperan dalam kemajuan glikolisis, suatu
proses pemisahan glukosa untuk energi sel; kemajuan glikogenesis, suatu proses
pengubahan glukosa menjadi glikogen untuk kapasitas; pengekangan lipolisis, proses
pemisahan lipid menjadi energy.10
Efek zat anestesi terhadap metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein belum
dapat dijelaskan secara pasti. Hal ini disebut sebagai akibat peningkatan kadar
katekolamin, glucagon dan kortisol, sehingga terjadi mobilisasi karbohidrat dan
protein yang menyebabkan terjadinya hiperglikemi. Respon stress oleh endokrin
disebut dapat ditekan dengan tekhnik regional anestesi, general anestesi yang dalam
dan dengan menghambat selama operasi sebenarnya disebutkan bahwa banyak faktor
yang akan dapat menaikkan kadar glukosa darah. Misalnya, dengan pemberian ringer
laktat saja dikatakan akan terjadi pembentukan glukosa dari laktat oleh hepar.
Hormon stress kortisol, glukagon dan epinefrin meningkatkan pemecahan glikogen
menjadi glukosa, respon ini dengan cepat menurunkan cadangan glikogen setelah
cedera. Glukosa juga dihasilkan oleh glukoneogenesis dari alanine dan asam-asam
amino lainnya yang dilepaskan oleh pemecahan otot skelet. Oleh sebab itu,
pemecahan otot skelet pada keadaan stress juga mengkontribusi produksi glukosa
lebih besar. Glukosa dapat meningkat paling sedikit dua kali lipat. Karena
metabolisme anaerobik menonjol pada jaringan yang mengalami cedera, banyak
glukosa yang diubah menjadi laktat, laktat disikluskan kembali di liver pada siklus
cori, mengisi bahan bakar tambahan produksi glukosa.11

2.2.1. Faktor yang Menaikkan Kadar Gula Darah


Kadar gula darah dapat naik pada beberapa kondisi berikut ini:

a. Intake makanan yang banyak terutama yang mengandung karbohidrat


b. Kurang aktivitas fisik
c. Pada kondisi penyakit diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan obat
diabetes mellitus seperti insulin
d. Efek samping pengobatan seperti steroid dan obat anti psikotik
e. Kondisi stres atau nyeri yang menyebabkan pengeluaran hormon katekolamin
f. Periode menstruasi
g. Dehidrasi

2.2.2. Faktor yang Menurunkan Kadar Gula Darah


19
Kadar gula darah dapat turun pada kondisi berikut ini:
a. Intake makanan yang kurang
b. Penggunaan alkohol
c. Penggunaan insulin atau obat anti diabetes yang berlebihan
d. Aktivitas fisik yang berlebihan
e. Insulinoma
f. Endokrinopati, contohnya kegagalan hipofisis atau adrenal
g. Penyakit ginjal atau hepar kronik
h. Sepsis
i. Pembedahan gastrik menyebabkan transit yang cepat
j. Penyakit metabolik inheritan

2.1.3. Hubungan Tindakan Operatif dengan Kadar Gula Darah


Pembedahan dipertimbangkan sebagai suatu kombinasi antara faktor multipel
meliputi kerusakan jaringan, puasa, kehilangan darah, efek medikasi, dan perubahan
suhu didasarkan pada sudut pandang metabolik. Kombinasi dari seluruh faktor
tersebut dapat menyebabkan peningkatan respon stres. Respon stres terhadap
pembedahan dikarakteristikkan dengan peningkatan sekresi hormon hipofisis seperti
kortisol dan katekolamin dan aktivasi sistem saraf simpatis. Efek yang terjadi dari
perubahan endokrin adalah meningkatnya aktivitas katabolik oleh peningkatan
sekresi hormon katabolik seperti kortisol dan glukagon. Efek dari perubahan endokrin
dan metabolik tersebut dapat menyebabkan peningkatan neoglukogenesis,
glikogenolisis, proteolisis, lipolisis, ketogenesis, dan hiperglikemia.23

2.1.4. Hubungan Tindakan Anestesi dengan Kadar Gula Darah


Kadar glukosa darah dan insulin dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya adalah agen anestesi. Sebagian besar agen induksi intravena memiliki efek
relatif terhadap kadar glukosa darah. Aynsley-Green et al menemukan bahwa tikus
yang dipuasakan selama 24 jam mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa
dan kadar insulin secara signifikan setelah 30 menit terpapar dengan dietil eter.
Lamanya paparan terhadap agen anestesi dietil eter dapat mempengaruhi kadar
glukosa darah plasma dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Zardooz et al
dengan paparan dietil eter yang hanya 4 menit tidak ditemukan pengaruhnya terhadap
kadar glukosa plasma. Pada anestesi dengan menggunakan karbon dioksida, didapati
bahwa tikus yang tidak dipuasakan mengalami peningkatan kadar glukosa plasma
diduga sebagai akibat aktivitas sistem simpatoadrenal akibat paparan karbon
dioksida. Karbon dioksida dapat menginduksi sekresi kortikosteron.21
Tampak bahwa perubahan kadar glukosa darah akibat pilihan dari agen
anestesi yang digunakan masih belum dapat diketahui dengan jelas. Yang dapat
dikatakan adalah bahwa anestesi regional bahkan dengan adanya anestesi umum
tampak memperbaiki keseimbangan glukosa selama pembedahan dan secara
signifikan menurunkan respon hiperglikemia akibat respon terhadap stres
pembedahan. Agen tertentu tampak memiliki efek negatif yang kecil terhadap kontrol
glukosa darah. Isoflurane dan klonidine dapat menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah dalam derajat yang kecil namun tidak signifikan pada kelompok
individu yang sehat. Pada penyakit kritikal dimana hiperglikemia sering terjadi dan
memperburuk luaran, penggunaan agen-agen tersebut masih diperbolehkan. Namun
diperlukan pemantauan yang ketat terhadap kadar glukosa darah dan
mempertimbangkan penggunaan insulin pada awal pembedahan.22

2.3. Konsep Ketamin


2.3.1. Pengertian Ketamin
Ketamin adalah suatu “rapid acting non barbiturat general anesthethic”
termasuk golongan fenyl cyclohexylamine. Diperkenalkan paling pertama oleh
Domino dan Carsen pada tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgetik yang kuat
sekali akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan
keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi). Ketamin merupakan zat anestesi
dengan aksi satu arah yang berarti efek analgetiknya akan hilang bila obat itu telah
didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan.
Ketamin adalah satu-satunya anestesik intravena yang selain bersifat analgesik kuat
juga mampu merangsang kardiovaskuler, meningkatkan frekuensi jantung, tekanan
darah arteri, dan curah jantung.12

2.3.2. Unsur Ketamin


Ketamin, 2-(o-chlorophenyl) – -(methylamino) -cyclohexanonehydrochloride,
suatu arylcycloalkylamine yang secara struktural berhubungan dengan phencyclidine
(PCP) dan cyclohexamine. Ketamin hidroklorid adalah molekul yang larut dalam air,
dengan berat molekul 238 dan pKa 7,5. Walaupun larut dalam air, kelarutannya
dalam lemak sepuluh kali dibanding tiopenton, sehingga dengan cepat didistribusi ke
organ yang banyak vaskularisasinya, termasuk otak dan jantung, dan selanjutnya
diredistribusikan organ-organ yang perfusinya lebih sedikit. Keberadaan atom karbon
asimetris menghasilkan dua isomer optik dari ketamin yaitu S(+) ketamin dan R(-)
ketamin. Sediaan komersil ketamin berupa bentuk rasemik yang mengandung kedua
enantiomer dalam konsentrasi sama. Masing-masing enantiomer mempunyai potensi
berbeda. S(+) ketamin menghasilkan analgesia yang lebih kuat, metabolisme yang
lebih cepat dan pemulihannya, kurangnya sekresi saliva dan rendahnya kejadian
emergence reation ataupun mimpi buruk/halusinasi dibanding R(+) ketamin.

2.3.3. Farmakokinetik Ketamin


Ketamin dengan cepat disirkulasi, memasuki sistem sensorik fokal dan
melintasi plasenta. Kebanyakan ketamin digunakan oleh hati. Jalur metabolisme yang
signifikan adalah demetilasi ketamin oleh protein sitokrom P-450 menjadi
norketamin. Beberapa diubah menjadi campuran dinamis lainnya. Noreketamin
dihidroksilasi dan kemudian dihubungkan ke pelarut air, metabolit laten glukoronida.
Pada organisasi intravena, di bawah 4% dari porsi ketamin dapat ditemukan dalam
urin tanpa perubahan. Diazepam memperlambat pencernaan ketamin dan
menghilangkan efek obat. Ketamin memiliki waktu paruh 2,5 jam. Ketamin
dikeluarkan melalui ginjal. Dalam pemberian ketamin secara intravena, 4%
dikeluarkan melalui urin tanpa perubahan dan 5% dari porsi yang diinfuskan
dikeluarkan melalui kotoran.13

2.3.4. Farmakodinamik Ketamin


Obat Ketamin akan diabsobrsi dengan cepat setelah pemberian intramuskular,
walaupun pada dasarnya dapat diberikan baik secara intravena maupun
intramuskular. Ketamin didistribusi secara cepat, memasuki sistem saraf pusat dan
menembus plasenta. Sebagian besar ketamin dimetabolisme oleh hati. Jalur
metabolisme yang penting adalah demetilasi ketamin oleh enzim sitokrom P-450
menjadi norketamin. Sebagian dikonversi menjadi senyawa aktif lainnya.
Noreketamin adalah hydroxylated dan kemudian menghubungkan ke metabolit
glucoronide yang non-aktif dan dapat larut di dalam air. Pada pemberian secara
intravena, kurang dari 4% dosis ketamin dapat ditemukan dalam air seni tanpa 6
perubahan. Halotan dan diazepam memperlambat metabolisme dari ketamin dan
memperpanjang efek obat tersebut. Ketamin mempunyai waktu paruh 2,5 jam.12 13
Ketamin diekresikan melaui ginjal. Pada pemberian ketamin secara intravena 4%
dieskresikan melalui urin tanpa mengalami perubahan dan 5% dosis yang
diinjeksikan dieskresikan melalui feses.13
Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/KgBB IV atau 3-5 mg/KgBB IM. Tahap
depresi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mengimbangi sedasi dapat diberikan porsi
25-100 mg/kg/menit. Tahap kerja terjadi dalam 12-25 menit. Instrumen ketamin yang
berlangsung sebagai orang jahat yang tidak serius pada reseptor NMDA yang otonom
dari regangan akan mempengaruhi pembatasan ke situs pembatasan fensiklidin.
Reseptor NMDA adalah reseptor saluran partikel (untuk 8 partikel na+, ca2+, dan k+)
sehingga batang reseptor ini bermaksud bahwa secara bersamaan, ada penyumbatan
aliran partikel di sepanjang lapisan saraf, yang menyebabkan hambatan depolarisasi
saraf di SSP.14

2.4.5. Mekanisme Kerja Ketamin


Ketamin bekerja sebagai antagonis nonkompetitif pada reseptor NMDA (N-
metil-D-asparatat) yang tidak bergantung pada tegangan, ikatan pada tempat ikatan
fensiklidin. Reseptor NMDA adalah reseptor saluran kalsium. Agonis endogen dari
reseptor ini adalah sinapsis rangsang misalnya korosif glutamat, korosif aspartat, dan
glisin. Aktuasi reseptor menghasilkan pembukaan saluran partikel dan depolarisasi
neuron. Reseptor NMDA ini terkait dengan kontribusi taktil di tingkat tulang
belakang, talamus, limbik dan kortikal. Ketamin menekan atau menghalangi
kontribusi nyata untuk fokus yang lebih tinggi dari sistem sensorik fokus, di mana
ada reaksi antusias terhadap dorongan dan tempat untuk belajar dan mengingat.
Ketamin menahan berlakunya reseptor NMDA oleh glutamat, mengurangi
kedatangan glutamat prasinaptik. Ketamin juga berkomunikasi dengan reseptor
narkotik, delta dan kappa. Efek pereda nyeri ketamin mungkin dibawa oleh inisiasi
reseptor ini di tingkat fokal dan tulang belakang. Dampak yang berbeda ketamin
mungkin karena aktivitasnya pada kerangka katekolamin, dengan memperluas aksi
dopamin. Dampak dopaminergik ini mungkin terkait dengan dampak kegembiraan,
fiksasi, dan psikotomimetik ketamin. Aktivitas ketamin juga karena efek agonisnya
pada juga reseptor adrenergik, konsekuensi yang merugikan untuk reseptor mu
scarinic di sistem sensorik fokal, dan efek agonis pada reseptor.12
Mekanisme ketamin bekerja pada sistem saraf pusat dan memiliki kelebihan
juga pada anestesi lokal. Efek kerja dari ketamin ini dimediasi secara primer dengan
2+
antagonis non-kompetitif N-methyl- D- Aspartat reseptor, Ca channel blocker.
NMDA akan melakukan blok, sebagai salah satu fungsi utama dari anestesi dan efek
analgesik dari ketamin (pada sistem saraf pusat dan pada reseptor yang berada di
spinal cord). Disamping itu, ketamin juga mengurangi pelepasan glutamate presinaps.
Stuktur S(+) enatiomer pada ketamin memiliki efek tiga hingga empat kali dalam
ikatan dengan NMDA dibanding dengan struktur R (+).12

2.4.6. Efek samping Ketamin


Ketamin akan mempengaruhi sistem kardiovaskular melalui peningkatan
sistem saraf pusat dan kurang signifikan melalui penghambatan norepinefrin di
terminal saraf otak. Peningkatan denyut nadi sekitar 30% dan peningkatan
noradrenalin dalam tubuh. Ketamin juga sering digunakan untuk pasien anak karena
efek sedatif dan hilangnya rasa sakit dapat dicapai dengan infus intramuskular.
Ketamin juga dapat digunakan pada pasien geriatri yang berisiko tinggi mengalami
syok, karena dapat memberikan efek kardiovaskular. Meskipun demikian, dengan
organisasi ketamin, beberapa efek insidental telah diperhitungkan, termasuk: eritema
sementara, keadaan mimpi buruk, halusinasi, dan inkoherensi, yang mungkin
digabungkan dengan fonasi dengan sedasi ketamin yang rendah.13

2.4. Konsep Fentanyl


2.4.1. Pengertian Fentanyl
Fentanyl adalah salah satu obat analgetik yang paling umum digunakan dalam
praktik obat penenang saat ini karena memiliki awal aktivitas yang cepat dan durasi
aktivitas yang cukup singkat. Fentanyl pertama kali diperkenalkan dalam waktu yang
cukup lama, memiliki beberapa manfaat dalam penggunaannya, khususnya
menciptakan hilangnya rasa sakit paska operasi yang hebat, mengurangi kebutuhan
untuk bernapas pada spesialis sedatif yang mendorong pengurangan biaya dengan
tujuan pasti untuk mempercepat penyembuhan pasien.15

2.4.2. Unsur Fentanyl


Fentanyl adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya
adalah N-Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl) propanamide. Pertama kali
disintesa di Belgia pada akhir tahun 1950. Fentanyl memiliki besar potensi analgetik
80 kali lebih baik daripada Morfin, dikenalkan pada praktek kedokteran pada tahun
1960-an sebagai anestesi intravena dengan nama merek dagang Sublimaze®.
Kemudian dikenalkan juga analog dari Fentanyl yaitu alfentanyl (Alfenta®) dan
Sufentanyl (Sufenta®) di mana Sufentanyl memiliki potensi lebih baik daripada
Fentanyl yakni sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanyl ini biasanya digunakan di
dalam bedah jantung.15

2.4.3. Farmakokinetik Fentanyl


Fentanyl dosis tunggal yang diberikan secara intravena (IV) memiliki
permulaan yang lebih cepat dan jangka waktu aktivitas yang lebih terbatas daripada
morfin. Terlepas dari kesan klinis bahwa fentanyl menciptakan permulaan yang
cepat, ada penundaan yang jelas antara fiksasi fentanyl plasma atas dan deselerasi
puncak pada EEG. Penundaan ini menunjukkan musim keseimbangan fentanyl di
tempat aktivitasnya dalam darah dan pikiran, yaitu 6,4 menit. Kekuatan yang lebih
penting dan awal aktivitas yang lebih cepat mencerminkan solvabilitas lipid yang
lebih menonjol dari Fentanyl dibandingkan dengan morfin, yang bekerja dengan
masuknya melalui obstruksi otak-darah. Selanjutnya, pengelompokan plasma
Fentanyl (berbeda dengan morfin) terhubung dengan baik dengan fiksasi CSF.
Dengan cara yang sama, rentang aktivitas singkat dari bagian tunggal Fentanyl
mencerminkan realokasi cepat ke tujuan jaringan laten seperti lemak dan otot rangka,
dengan penurunan fokus obat plasma. Seperti yang ditampilkan pada gambar di
bawah ini. 16

2.4.4. Farmakodinamik Fentanyl


Opioid ini mengikat reseptor eksplisit yang terletak di seluruh sistem sensorik
fokus dan jaringan yang berbeda. Empat jenis dasar reseptor narkotik telah dibedakan
mu (μ, dengan subtipe 1 dan 2), kappa (κ), delta (δ), dan sigma (σ). Semua reseptor
narkotik digabungkan ke protein; Pembatasan agonis pada reseptor narkotik
menyebabkan hiperpolarisasi film. Dampak narkotik yang intens disela oleh
pengekangan adenilat siklase (penurunan fiksasi adenosin monofosfat siklik
intraseluler) dan aktuasi fosfolipase. Terlepas dari kenyataan bahwa opioid
memberikan beberapa tingkat sedasi dan pada spesies tertentu dapat memberikan
sedasi umum ketika diberikan dalam porsi besar, narkotika pada dasarnya digunakan
untuk menghilangkan rasa sakit.16

2.4.5. Mekanisme Kerja Fentanyl


Fentanyl merupakan opioid kuat yang terikat pada respetor spesifik sepanjang
sistim saraf pusat dan jaringan lain. 4 tipe reseptor opioid telah dapat diidentifiksi,
yaitu mu (-1 dan -2), kappa (), delta (), dan sigma (). Selain mempunyai efek
sedasi, opioid juga dapat memberikan efek analgesik. Efek farmakodinamik yang
ditimbulkan tergantung dari reseptor mana yang diikat, kuatnya ikatan dan apa yang
timbul dari aktivasi reseptor. Antagonis opioid (naloxone) bekerja dengan kompetisi
ikatan dengan reseptor opioid namun tidak menimbulkan aktivasi dari reseptor.4

Aktivasi dari reseptor opioid menghambat neurotransmitter eksitasi (mis.


Asetilkolin, substansi P) pada presinaps maupun post sinaps serabut saraf nyeri.
Secara selular, terjadi gangguan pada aliran ion kalium dan klorida sehingga
transmisi dari impuls nyeri terganggu. Hambatan impuls nyeri dapat terjadi pada
tingkat kornu posterior bila opioid diberikan secara epidural maupun intratekal.
Selain itu terjadi pula penghambatan descending inhibitory pathway melalui nucleus
raphe magnus ke kornu posterio medulla spinalis. 4

Klasifikasi Reseptor Opioid


Reseptor Efek Klinis Agonis
Mu Analgesia supraspinal Morfin
Depresi pernapasan Met-enkephalin
Ketergantungan fisik Beta-endorphin
Kekakuan otot Fentanyl
Kappa Sedasi Morfin
Kappa Analgesia spinal Nalbuphine
Butorphanol
Dynorphin
Oxycodone
Delta Analgesia Leu-enkephalin
Tingkah llaku Beta-endorphine
Epileptogenik
Sigma Disforia Pentazosin
Halusinasi Nalorphine
Stimulasi Respirasi Ketamin

2.4.6. Efek Samping Fentanyl


Efek yang dihasilkan oleh fentanyl menyebabkan ketergantungan, euphoria,
perlambatan EKG, miosis, mual dan muntah yang tergantung pada dosis. Efek
terhadap jantung minimal meskipun laju jantung dapat menurun akibat efek vagal dan
depresi nodus SA dan AV. Pemberian atropine sulfat dapat menurunkan kejadian
bradikardi, karena itu dianjurkan pemberiannya pada penggunaan dosis tinggi.2 4
Fentanyl menyebabkan depresi respirasi dan kekakuan otot rangka khususnya otot
thorak, abdomen dan ekstremitas terutama pada pemberian intravena cepat.
Mekanisme kekakuan otot belum jelas tetapi bukan karena efek langsung pada otot,
bukan karena efek pada konduksi neuromuskuler mauoun peningkatan keratin kinase.
Diduga kekakuan ini karena aktifitas sentral antara lain agonis pada reseptor µ.
Depresi napas dipengaruhi beberapa faktor antara lain dosis, cara pemberian, tingkat
kesadaran penderita dan obat-obat lain yang diberikan. Umumnya dengan dosis 1-2
mcg/kgbb tidak menimbulkan depresi nafas, depresi nafas terjadi pada pemberian
200mcg intravena. Pada penggunaan berulangulang depresi nafas terjadi sekunder
karena akumulasi. Depresi nafas sering menjadi masalah pada periode bedah,
mekanismenya belum jelas, diduga terjadi akibat sequestersi fentanyl kemudian
diabsorbsi dari usus halus yang lebih bersifat alkalis ke dalam sirkulasi, selanjutnya
meningkatnkan konsentrasi opioid dalam plasma dan menyebabkan depresi nafas.18
2.7. Kerangka Teoritis

Tindakan anestesi

Fentanyl
Ketamin

Menekan respon stres dengan Stimulasi sistem saraf Efek simpatomimetik pelepasan
mengurangi pelepasan katekolamin
simpatis
katekolamin

Mempengaruhi sistem endokrin

Meminimalkan respon stres Pankreas Pelepaan ketokolamin


neuroendokrin dan menekan sel beta pankreas

Kadar Gula Darah

Gambar 2.5. Kerangka Teori


2.6. Hipotesa Penelitian
1. Penggunaan anestesi ketamin dapat menurunkan kadar gula darah pada
trauma ekstremitas bawah mencit sebagai hewan coba.
2. Penggunaan anestesi fentanyl dapat menurunkan kadar gula darah pada
trauma ekstremitas bawah mencit sebagai hewan coba.
3. Terdapat perbedaan kadar gula darah yang diberikan ketamin dengan yang
diberikan fentanyl pada trauma ekstremitas bawah pada mencit sebagai hewan
coba.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan post-test
only control group design menggunakan mencit (Musmusculus) sebagai hewan coba.
Desain ini melibatkan dua kelompok perlakuan, yaitu kelompok I adalah mencit
yang diperlakuan dengan anestesi ketamin dan kelompok II mencit yang diberi
anestesi Fentanyl. Masing-masing kelompok diamati kadar gula darahnya sebanyak
2 kali yaitu 15 menit sebelum perlakuan dan 15 menit setelah perlakuan. Adapun
skematis rancangan penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1 Skematis Rancangan Penelitian

K1 Trauma GD Anestesi GD 2 A
1 Ketamin
S R Extremitass N
A A A
LI
M N K2 Trauma GD 1 Anestesi GD 2
Extremitass Fentanyln SI
P D S
E O
L M Tabel 3.1 Skematis Rancangan Penelitian

Keterangan :
S : Jumlah sampel mencit (Musmusculus)
R : Randomisasi sampel menjadi 2 kelompok
K1 : Kelompok 1 mencit trauma extremitas bawah yang diberi Anestesi Ketamin
K2 : Kelompok 2 mencit trauma extremitas bawah yang diberi Anestesi Fentanyl
GD1 : Pengamatan gula darah mencit trauma extremitas sebelum pemberian Ketamin atau Fentanyl (Pre-test)
GD2 : Pengamatan gula darah mencit trauma extremitas sebelum pemberian Ketamin atau Fentanyl (Post-
test)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di laboratorium Hewan Coba FK Universitas Syiah
Kuala. Penelitian ini direncanakan dilakukan pada bulan Maret 2022
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama.
Populasi dalam penelitian ini adalah hewan coba yaitu mencit (Musmusculus)
berjenis kelamin jantan berumur 3-4 bulan, dengan bobot badan 25-30 gram dalam
kondisi sehat.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah sejumlah mencit (Musmusculus) berjenis kelamin
jantan berumur 2-3 bulan, dengan bobot badan 20-25 gram dalam kondisi sehat yang
mengalami trauma ekstremitas bagian bawah (kaki kelakang).

3.4. Besar Sampel


Penentuan jumlah sampel tiap kelompok didasarkan pada rumus Federer,
yaitu: (r – 1) (t – 1)  15
Keterangan:
t = Jumlah perlakuan
r = Jumlah ulangan
Pada penelitian ini terdapat 2 kelompok perlakuan, sehingga:
(r – 1) (t – 1)  15
(r – 1) (2 – 1)  15
(r – 1) 1  15
r – 1  15
1r  15+ 1
r  16

Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel minimum yang adalah 16 (enam


belas) sampel per perlakuan. Untuk menghindari drop out sampel (ketidaklengkapan
data) selama penelitian, maka dilakukan koreksi dengan rumus sebagai berikut:
n’ = n/1-f
n’ = 16/ 1-0,1
n = 16/0,9
n = 17,78  18
Keterangan :
n’ = besar sampel setelah dikoreksi
n = besar sampel berdasarkan estimasi sebelumnya
f = prediksi presentasi drop out (nilai f = 0,05-0,1)
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka jumlah sampel minimal yang
diperlukan adalah 18 ekor mencit untuk setiap kelompok, sehingga total keseluruhan
sampel adalah sebanyak 2 x 18 = 36 ekor mencit (Musmusculus).

3.5. Kriteria sampel


3.5.1. Kriteria Inklusi
1. Mencit (Musmusculus) berjenis kelamin jantan
2. Berumur 3-4 bulan
3. Berat badan antara 20-25 gram
4. Mencit (Musmusculus) dalam keadaan sehat
3.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Hewan coba berjenis kelamin betina
2. Berumur > 4 bulan
3. Berat badan > 30 gram
4. Hewan percobaan yang mengalami trauma ekstremitas atas (kaki depan)

3.6. Kriteria drop out


1. Mencit (Musmusculus) jantan yang sakit atau mati pada saat pemberian
perlakuan Perilaku Mencit (Musmusculus) berubah saat penelitian (lemas dan
tidak lincah).

3.7. Kerangka Konsep

 Pemberian Anestesi
Ketamin Pemeriksaan Kadar
Glukosa darah sebelum
dan setelah perlakuan
anestesi
Mencit yang
mengalami
trauma bagian
extremitas  Pemberian anestesi
bawahki Fentanyl

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 3.1 kerangka konsep penelitian

3.8. Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel independen, dependen dan
variabel luar. Berikut penjabaran mengenai variabel penelitian ini :
1. Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini berupa
perlakuan pemberian anestesi ketamin dan Fentanyl.
2. Variabel dependen atau variabel terikat dalam penelitian ini berupa Kadar
Glukosa darah sebelum dan setelah perlakuan anestesi
3. Variabel kontrol atau variabel terkendali yaitu perlakuan anastesi, pakan, jenis
kelamin, umur, berat badan, dan temperatur ruangan.

3.9. Definisi Operasional


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik sehingga dapat
diamati atau diukur. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah

Tabel 3.2 Definisi Operasional


Variabel Definisi Cara Hasil Skala Ukur
Operasional Ukur Ukur
Trauma Mencit jantan yang Luka terbuka diukur mm Numeric
ekstremitas mengalami trauma dengan jangka
bawah yang mengakibatkan sorong
luka pada salah satu
eksremitas bawaah.
Pembuatan trauma
dilakukan dgn cara
penyatan
menggunakan skapel
steril sepanjang 5 mm
(pada 1/3 tengah
femur)
Kadar Gula banyaknya glukosa dilakukan dengan a. Normal Numeric
darah dalam darah yang menggunaan tes b. Naik
dihitung dalam glukosa dengan strip
c. Turun
mg/dl.

Ketamin adalah satu-satunya secara intravena a. Diberikan Numerik


anestetik intravena dengan dosis 1 b. Tidak
yang selain bersifat mg/KgBB.
diberikan
analgesik Hasil ukur mg/ml.
kuat juga mampu
merangsang sistem
kardiovaskuler sesuai
dengan dosis
pemberiannya.
Fentanyl agen sedasi dan secara intravena a. Diberikan Numerik
analgetik golongan dengan dosis 1 b. Tidak
opioid larut mcq/KgBB.
diberikan
lemak yang umum Hasil ukur mg/ml.
digunakan.

3.10. Alat, Bahan dan Cara Kerja


3.10.1 Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian meliputi :
1. Alat pemeriksaan gula darah (GlucoDr)
2. Spuit 1 dan 3 ml, (Terumo)( R)
3. Kanul vena 24G, infus set, threeway (Terumo)
4. Pencatat waktu (Jam)
5. Alat tulis dan formulir penelitian
6. Seperangkan kandang lengkap dengan tempat pakan dan minum
7. Alat persiapan pembuatan truma luka terdiri dari minor set,

3.10.2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian meliputi :
a. Obat-obatan induksi anestesi umum: ketamin dan fentanyl
b. Aquabidest pro injeksi, Cairan:ringer laktat, ringer asering, NaCl 0.9%
c. Alkohol 70 %
d. Sabun pencuci

3.11. Prosedur Penelitian


3.11.1. Persiapan hewan coba
Mencit (Musmusculus), jantan, berusia 3-4 bulan, diperoleh dari Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala sebanyak 36 ekor. Dilakukan
homogenisasi sampel penelitian dimana sebelum perlakuan mencit ditimbang, diukur
suhu rektal yang telah dilakukan adaptasi selama dua minggu dengan dipelihara di
dalam kandang. Suhu dalam kandang diatur pada suhu kamar (25 oC), Setiap harinya
mencit diberi makan berupa pelet sebanyak 10 gram dan air minum diberikan secara
ad libitum.
3.11.2 Pembuatan Trauma ekstremitas bawah (kaki belakang)
Pembuatan trauma ekstremitas bagian bawah (kaki belakang) dilakukan pada
hari ke 8 setelah tikus mengalami fase adaptasi.
1. Setelah mendapat persetujuan dari komisi etik untuk melakukan penelitian,
penelitian dimulai dengan mengumpulkan subyek penelitian sesuai kriteria
inklusi dan eksklusi
2. Selanjutnya mencit percobaan di lakukan trauma ekstremitas bawah berupa luka
terbuka pada kaki belakang sepanjang 5 mm yang dibuat dengan cara penyayatan
dengan scalpel steril. Sebelum dilakukan penyayatan mencit terlebih dahulu di
cukur bulu nya dan diolesi dengan desinpektan.
3. Selanjutnya semua mencit dilakukan pemeriksaan kadar gula darahnya sebagai
data awal penelitian
3.11.3 Pemberian perlakuan Anestesi Ketamin dan Fentanyl
Semua mencit percobaan yang sudah mengalami trauma ekstremitas bawah
dibagi dalam dua kelompok perlakuan. Perlakuan 1 (P1) kelompok mencit yang
trauma ekstremitas bawah di beri anestesi ketamin dosis umum yang diberikan pada
manusia adalah 1 mg/kgbb. Dan kelompok 1 (P2) kelompok mencit yang trauma
ekstremitas bawah di beri anestesi fentanyl dengan dosisi 1µg/ kgbb. Pemberian
pada mencit percobaan disesuaikan denga dosis konversi untuk manusia 70 kg
dikalikan konstanta uji terapi pada hewan coba mencit yaitu 0.0026, sehingga dosis
pada mencit (1mg/kgbb x 70 kg x 0.0026). Dosis yang diberikan pada mencit
perlakuan adalah 0.2 mg/ekor untuk ketamin dan 0,000182 µg/ekor untuk fentanyl.
Pemberin kedua jenis anestesi dilakukan dengan cara intramuskulus.
3.11.4 Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Mencit percobaan dimasukkan ke dalam kandang jepit yang dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga ekor berada di luar dan tidak mengadakan pergerakan.
Darah diambil dengan memotong 0,5 cm dari ujung ekor. Tetesan darah pertama
dibuang kemudian tetesan darah kedua diteteskan pada stick glukometer yang telah
terpasang pada glukometer digital, beberapa saat kemudian angka pada glukometer
digital (One Touch Lifescan) menunjukkan kadar gula darah. Pengambilan darah dan
pengukuran kadar glukosa darah dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
perlakuan anestesi ketamin dan fentanyl selang waktu 30 menit.

3.12. Analisa Data


Data kadar glukosa darah yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas dengan menggunakan uji Saphiro Wilk dan uji homogenitas menggunakan
uji Levene. Jika data berdistribusi normal, maka dilakukan analisis statistik dengan
uji-t tidak berpasangan dengan signifikansi p<0,05.

3.13. Etika Penelitian


Penelitian ini akan diikutsertakan dalam sidang etik untuk mendapatkan surat
kelaikan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) RSUDZA dan Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Peneliti mengikuti prinsip etik pedoman dan
standar etik penelitian dan pengembangan kesehatan nasional dalam Komisi Etik
Penelitian Kesehatan (KEPK,2017).

3.1. Alur Penelitian

Persiapan Mencit
(n = 36 ekor)

Trauma ekstremitas bawah

Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan


(n = 18) (n = 18)
Pemeriksaan Gula Pemeriksaan Gula
darah awal darah awal

Anestesi Ketamin Anestesi Fentanyl

Pemeriksaan kadar Gula darah akhir (30 menit setelah pemberian


anestesi)

DAFTAR PUSTAKA
1. Azlar, Karakteristik Gambaran X-RAY Konvensiona Pada Penderita Fraktur
Ektremitas Atas Di RSUP DR. Wahidin SudirohusodoO Makasar, 2017.
2. Arphad T. General Anasthesia. Fac Pharm Univ Debreem. 2014;14–7.
3. Luzio et.all. Stress Hyperglycemia and Complications Following Traumatic
Injuries in Individuals With/Without Diabetes: The Case of Orthopedic
Surgery.2020. Journal List Diabetes Metab Syndr Obes v.13; 2020 PMC6954837
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murry MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology. 3 th
ed.New York : Lange Medical Books/McGrew-Hill Medical Publishing Edition,
2002 : 127 – 51.
5. Brown EN, Lydic R, Schiff ND. General Anesthesia, Sleep, and Coma. Schwartz
RS, editor. N Engl J Med. 2010 Dec;363(27):2638–50.
6. Stevenson C. (2015) A Review Update in Anaesthesia.
7. Andila, Pengaruh Pemberian Ketamin Intravena Dosis Bertingkat Terhadap
Kadar Gula Darah Tikus Wistar,2014.Jurnal
8. Helmi ZN. Buku ajar gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
2011. p411-55
9. Triplitt CL. Examining the mechanisms of glucose regulation. Am J Manag Care
[Internet]. 2012 Jan [cited 2019 Mar 16];18(1 Suppl):S4-10. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22559855
10. Güemes M, Rahman SA, Hussain K. What is a normal blood glucose? Arch Dis
Child [Internet]. 2016 Jun [cited 2019 Mar 16];101(6):569–74. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26369574
11. Iswantoro. Perubahan kadar Gula darah Pasien pediatric yang di induksi anestesi
umum.2009. Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang
12. Rochman. 2014. PEengaruh Induksi Ketamin Dosis 2 MG/KgBB Dan
Deksametason DOosis 0,2 MG/KgBB Intravena Terhadap Kadar Glukosa darah
Tikus Wistar.
13. Senapathi. Pharmacology of Drug in Management Airway. Department
Anesthesiology and Intensive Care, Sanglah General Hospital, University of
Udayana, Denpasar.2016
14. De Kock M, Loix S, Lavand’homme P. Ketamin and Peripheral Inflammation.
CNS Neurosci Ther. 2013 Jun;19(6):403–10.
15. Sanri E, Karacabey S, Akoglu H, Kaya B, Guneysel O. Comparison of
ketamin/propofol (ketofol) and etomidate/fentanyl (etofen) combinations for
procedural sedation and analgesia in the emergency department: An
observational study. Turkish J Emerg Med. 2017 Sep;17(3):89–94.
16. Musizza B, Ribaric S. Monitoring the Depth of Anaesthesia. Sensors. 2010 Dec
3;10(12):10896–935.
17. Flood P, P. Rathmell J, Shafer S. Stoelting’s Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice. 5th ed. Vol. 115. New York: Wolters Kluwer Health; 2015.
18. Tolia G., Kumar A., Jain A., Pandey M. (2008). Low dose intrathecal
bupivacaine with fentanyl for secarean delivery. Journal of Anesthesia and
Clinical Pharmacology; 24(1):201-4.
19. Torabi, et all. Blood sugar changes and hospital mortality in multiple trauma.
National Library Of medicine. 2020
20. Paul, et.all. Correlation between serum glucose profiles and injury severity
among admitted trauma patients at Mulago hospital. Makeree University
Institutional Repository. 2019. http://hdl.handle.net/10570/7088
21. Pogatschnik C, Steiger E. Review of Preoperative Carbohydrate Loading. Nutr
Clin Pract [Internet]. 2015 Oct 21 [cited 2018 Oct 29];30(5):660–4. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26197803
22. Sudhakaran S, Surani SR. Guidelines for Perioperative Management of the Diabetic
Patient. Surg Res Pract [Internet]. 2015 [cited 2019 Mar 16] ; 2015:284063. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26078998
23. Reddy M, Jugnee N, El Laboudi A, Spanudakis E, Anantharaja S, Oliver N. A
randomized controlled pilot study of continuous glucose monitoring and flash
glucose monitoring in people with Type 1 diabetes and impaired awareness of
hypoglycaemia. Diabet Med [Internet]. 2018 Apr [cited 2019 Mar 16];35(4):483–
90. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29230878

Anda mungkin juga menyukai