Anda di halaman 1dari 287

RELIGIUSITAS

&
ADVERSITY QUOTIENT
Studi Kasus Jama’ah Majelis Zikir Az-Zikra bogor

Eko Oktapiya Hadinata

Penerbit YPM
2015
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Judul buku

RELIGIUSITAS & ADVERSITY QUOTIENT


Studi Kasus Jama’ah Majelis Zikir Az-Zikra bogor

Penulis
Eko Oktapiya Hadinata

ISBN 978-602-7775-34-3
xiv + 220 hlm + lampiran .; ukuran buku 22 x 15 cm

© Hak Cipta Eko Oktapiya Hadinata, 2015


Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim.
Dilarang mengkopi sebagian atau seluruh isi buku ini dengan
cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin
fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.

Young Progressive Muslim


Jl. Talas II Pondok Cabe Ilir
Pamulang Rt.05 Rw.01
Tangerang Selatan 15418
Prakata

Segala puji syukur bagi Allah Swt., yang telah memberikan pelbagai
karunia dan anugerah kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw. dan para sahabatnya.
Al-Hamdulillah, dengan segala pertolongan-Nya tesis ini
dapat diselesaikan dan diterbitkan setelah melalui pelbagai proses
ujian dan persetujuan dari para penguji. Namun demikian, hasil ini
pada dasarnya tidak terlepas dari pelbagai faktor seperti, saran-saran
dari para penguji-khususnya pembimbing dan pelbagai motivasi dari
rekan-rekan.
Pertama, saran-saran dari penguji. Penulisan tesis ini pada
dasarnya berawal dari kegelisahan akademik. Dalam arti, adanya
kesenjangan antara kebebasan manusia dengan kehendak Tuhan.
Dengan demikian, pelbagai saran dari para penguji-menyangkut
penelitian ini-penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Dalam hal ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada: Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta beserta pada Deputi Direktur, Prof. Dr.
Didin Saepuddin, MA. Dr. JM. Muslimin yang telah memberikan
wawasan kepada penulis di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA. Prof. Dr. Suwito, MA. Dr. Yusuf
Rahman, MA. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA. Dr. Asef Saepuddin
Jahar, MA. Suparto, M. Ed, Ph.D. Prof. Dr. Said Agil Husin Al-

i
Munawar, MA. Dr. Arskal Salim, Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Si dan Prof. Dr. M. Atho Mudzhar,
MSPD. Kemudian, tidak mungkin terlupakan adalah jasa baik dan
bersahaja yang penuh wibawa Bambang Suryadi, Ph.D sebagai
pembimbing sekaligus pendidik. Hanyalah ucapan terima kasih dan
do’a dari penulis semoga diberikan umur yang panjang, keberkahan
dan pelbagai nikmat yang akan didapatkan nanti.
Kedua, pelbagai motivasi dari rekan-rekan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa, tesis ini dapat diselesaikan karena faktor
motivasi. Untuk itulah, penulis ucapkan terimakasih kepada rekan-
rekan yang bersedia menjadi teman diskusi yang pada akhirnya
memberikan motivasi untuk terus berkarya. Namun yang terpenting
adalah, penulis ucapkan terimakasi kepada orang tua saya,
Ayahanda Pitoyo, S. Pd. I dan Ibunda Yaniwati, S. Pd. Juga kedua
mertua saya Alm. Ayahanda Syukri dan Ibunda Ratna serta seluruh
keluarga yang selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan
karya ini. Terkhusus, Istri tersayang, Andrayani, S.Pd.I atas segala
dukungannya lahir dan batin dan kesabaran sebagai konsekuensi
dari penulisan karya ini, dan kepada putra terkasih, Lukman Hakim
yang baru lahir pada tanggal 3 Oktober 2015 yang dalam masa
penantiannya selalu mendo’akan penulis dan mendatangkan
keceriaan di jiwaku. Terakhir, ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada keluarga besar Amir Amirullah Nasution, yang
dengan tulus memberikan motivasi kepada penulis-dapat dikatakan
sebagai keluarga baru dalam perantauan-semoga Allah selalu
memberikan keberkahan dalam hidup, Amin Ya Rab al-‘Alamin.

ii
Mengingat masih banyaknya kekurangan dan cacat baik dari
sudut isi maupun metodologi, maka berbagai saran dan kritik untuk
perbaikan karya ini sangat penulis harapkan.

Eko Oktapiya Hadinata


Ciputat

iii
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam


karya ilmiah inia dalah sebagai berikut:

A. Konsonan

b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ؼ‬

t = ‫ت‬ s = ‫س‬ q = ‫ؽ‬

th = ‫ث‬ sh = ‫ش‬ k = ‫ؾ‬

j = ‫ج‬ s{ = ‫ص‬ l = ‫ؿ‬

h{ = ‫ح‬ d{ = ‫ض‬ m = ‫ـ‬

kh = ‫خ‬ t{ = ‫ط‬ n = ‫ف‬

d = ‫د‬ z{ = ‫ظ‬ h = ‫ق‬

dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ w = ‫ك‬

r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ y = ‫م‬

B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Nama
Latin
َ Fath}ah A A
ِِ َ Kasrah I I
ُ D}ammah U U

v
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

‫َل‬... Fath}ah dan Ai a dan i


ya
‫َك‬... Fath}ah dan Au a dan w
wau

Contoh:
‫ُح َسني‬ : H}usain ‫َح ْول‬ : h}aul

C. Maddah
Tanda Nama Huruf Nama
Latin
‫ػ ػَػا‬ Fathah dan alif a> a dan garis di
atas
‫ػ ػِي‬ Kasrah dan ya i> i dan garis di atas
‫ػ ػُو‬ D}amah dan wau u> u dan garis di
atas

D. Ta’Marbu>t}ah (‫)ة‬
Transliterasi ta’ marbu>t}ah ditulis dengan ‚h‛ baik dirangkai
dengan kata sesudahnya maupun tidak contoh mar’ah (‫)مرأة‬
madrasah (‫(مدرسة‬
Contoh:
‫املدينةاملنورة‬ : al-Madi>nat al-Munawwarah

E .Shaddah
Shaddah /tashdi>d pada transliterasi ini dilambangkan
dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah
itu.

vi
Contoh:
‫ّنزل‬ : nazzala

F. Kata Sandang
Kata sandang ‚‫ ‛الـ‬dilambangkan berdasarkan huruf yang
mengikutinya, jika diikuti huruf shamsiyah maka ditulis sesuai
huruf yang bersangkutan, dan ditulis ‚al‛ jika diikuti dengan huruf
qamariyah. Selanjutnya ‫ ال‬ditulis lengkap baik menghadapi al-
Qamariyah, contoh kata al-Qamar (‫ )القمر‬maupun al-Shamsiyah
seperti kata al-Rajulu (‫)الرجل‬
Contoh:
‫الشمس‬ : al-Shams ‫القلم‬ : al-Qalam

vii
viii
DAFTAR ISI

PRAKATA .............................................................................. i
PEDOMAN TRANSLITRASI ................................................v
DAFTAR ISI .......................................................................... ix
DAFTAR TABEL ..................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................ xiii
DAFTAR SINGKATAN ....................................................... xiv

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................1
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan ..........13
C. Metodologi Penelitian ...............................17

BAB II: ADVERSITY QUOTIENT DAN RELIGIUSITAS


A. Adversity Quotient ....................................25
1. Pengertian Adversity Quotient ............25
2. Aspek-Aspek Adversity Quotient .......32
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Adversity Quotient ..............................34
4. Pengukuran Adversity Quotient ..........39
B. Religiusitas ...............................................42
1. Pengertian Religiusitas .......................42
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Religiusitas .........................................52
3. Aspek-Aspek Religiusitas...................61
4. Pengukuran Religiusitas .....................67

C. Adversity Quotient Perspektif Al-Qur’an .69


1. Peran Agama dalam Mengatasi
Masalah...............................................69
2. Agama: Ada Kemudahan
Setelah Kesulitan ................................91
3. Agama dan Kecerdasan
Bagi Manusia .....................................103

ix
BAB III: MAJELIS ZIKIR AZ-ZIKRA
A. Majelis Zikir ............................................ 121
B. Profil dan Sejarah Majelis
Zikir Az-Zikra Bogor .............................. 123

BAB IV: ADVERSITY QUOTIENT BERBASIS


RELIGIUSITAS
A. Religiusitas Jamaah Majelis Zikir
Az-Zikra Bogor ....................................... 127
B. Adversity Quotient Jamaah Majelis Zikir
Az-Zikra Bogor ....................................... 149
C. Analisis Religiusitas dan Adversity Quotient
Jamaah Majelis Zikir Az-Zikra Bogor .... 160
D. Pengaruh Setiap Dimensi Religiusitas dan
Sumbangannya Terhadap
Adversity Quotient ................................... 163

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................. 191
B. Saran-Saran ............................................. 195

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 197


GLOSARIOM....................................................................... 209
INDEKS ................................................................................ 216

LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................... 1
Lampiran I Skala Psychology Measure of Islam Religiousness
(PMIR) ........................................................... 1
Lampiran II Adaptasi Skala Psychology Measure of Islam
Religiousness (PMIR) .................................... 6
Lampiran III Skala Adversity Respone Profile(ARP) Quick
Take ................................................................ 9
Lampiran IV Adaptasi Skala Adversity Response Profile (ARP)
Quick Take .................................................... 14
Lampiran V Validitas Dengan Metode CFA
(Confirmatory Factor Analysis) .................... 21

x
Lampiran VI Nilai T-Score .................................................40
Lampiran VII Uji Hipotesis ..................................................43
Lampiran VIII Kontribusi Religiusitas Terhadap Adversity
Quotient .........................................................43
Lampiran IX Analisis Regresi Dimensi Religiusitas Terhadap
Adversity Quotient .........................................43
Lampiran X Kontribusi Dimensi Religiusitas Terhadap
Adversity Quotient .........................................44
Lampiran XI Deskriptif Statistik .........................................44
Lampiran XII Deskriptif Statistik Adversity Quotient ............ 44
Lampiran XIII Nilai Kategorisasi Tinggi dan Rendah ...........45

xi
DAFTAR TABEL

Tabel I Distribusi Variabel Religiusitas Dalam


Instrumen Penelitian.............................. 19
Tabel II Distribusi Variabel Adversity Quotient Dalam
Instrumen Penelitian............................... 21
Tabel III Kata al-‘Aql dalam al-Qur’an................. 122
Tabel IV Aktivitas Zikir Majelis Zikir Az-Zikra Bogor 125
Tabel V Deskripsi Statistik................................... 130
Tabel VI Pedoman Interpretasi Skor...................... 131
Tabel VII Distribusi Kategori Skor Islamic Dimensions 131
Tabel VIII Distribusi Kategori Skor Islamic Religious
Conversion.............................................. 134
Tabel IX Distribusi Kategori Skor Islamic Positive
Religious Coping..................................... 137
TabelX Distribusi Kategori Skor Islamic Negative
Religious Coping..................................... 139
Tabel XI Distribusi Kategori Skor Islamic Religious
Struggle.................................................... 141
Tabel XII Distribusi Skor Islamic Religious Internalization-
Identification............................................ 142
Tabel XIII Distribusi Kategori Skor Islamic Religious
Internalization-Introjection...................... 145
Tabel XIV Distribusi Kategori Skor Islamic Religious
Exclusivism............................................... 147
Tabel XV Distribusi Frekuensi Adversity Quotient Jamaah
Majelis ZikirAz-Zikra Bogor.................... 149
Table XVI Kategorisasi Skor Adversity Quotient Jamaah
Majelis Zikir Az-Zikra Bogor................... 150
Tabel XVII Uji Hipotesis............................................. 161
Tabel XVIII Hasil Regresi Dimensi Religiusitas Terhadap
Adversity Quotient.................................... 183
Tabel XIX Sumbangan Religiusitas Terhadap Adversity
Quotien....................................................... 180

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar I Perbandingan Tingkat Hadir Antara AQ Tinggi


dengan AQ Rendah................................. 28
GambarII Tiga Tingkat Kesulitan ........................... 31
Gambar III Pohon Kesuksesan.................................. 35
Gambar IV The Main Thinking of The Conventional
Measurements of Religiosity................... 66
Gambar V Perbedaan AQ Tinggi dan Rendah......... 175
Gambar VI Kebutuhan Dasar Manusia..................... 185

xiii
SINGKATAN

AQ Adversity Quotient
APA American Psychological Association
ARP Adversity Response Profile
CFA Confirmatory Factor Analysis
CO2RE Control, Origin, Ownership, Reach and Endurance
DUREL The Duke University Religion Index
EQ Emotional Quotient
IQ Intelligence Quotient
PMIR Psychology Measure of Islam Religiousness
QOL Quality of Life
SWB Subjective Well-Being
SQ Spiritual Quotient
WHO World Health Organization

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan, manusia dipastikan akan mengalami
pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup. Untuk
mengatasi pelbagai kesulitan, manusia harus memiliki
ketangguhan untuk mengatasinya. Karena, manusia tidak akan
terlepas dari ujian hidup, baik itu ujian yang menyangkut
keluarga, lingkungan kerja, ekonomi dan lain sebagainya.
Sejatinya ujian adalah sunnatullah, dalam arti setiap manusia
pasti akan menghadapi ujian selama hidup di dunia dan Tuhan
telah memberikan jalan kebebasan pada manusia untuk
menghadapi ujian tersebut berupa jalan keimanan maupun jalan
kekufuran.1 Kebebasan memilih jalan akan membawa
konsekuensi pada tanggung jawab atas apa yang dipilih oleh
manusia, karena pada dasarnya manusia telah dianugerahi oleh
Tuhan berupa desain kejiwaan yang sempurna.2
Kompleknya permasalahan cenderung membuat manusia
merasa frustasi. Kesulitan yang silih berganti menerpa dalam
kehidupan, membawa konsekuensi pada struktur pribadi
manusia, dalam arti sanggup atau tidaknya seseorang
menanggulangi kesulitan, ujian dan cobaan.3 Manusia mampu
menghadapi ujian karena Tuhan telah menganugerahkan beragam
macam potensi, dengan anugerah tersebut idealnya manusia

1
Abdul Qodir Abu Faris, Ujian Cobaan Fitnah dalam Da’wah,
terj. Abu Fahmi, Ibnu Marjan, Judul Asli, al-Ibtila’ wal Mih}an fi> al-
Da’wa>t (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1992), 19-24.
2
Sebagai tanda kejiwaan yang sempurna berupa kelengkapan
psikologis untuk menilai suatu keburukan atau kebaikan, berfikir, merasa,
berkehendak, menangkap stimulus, mempersepsi, mempertimbangkan, dan
mengambil keputusan. Sehingga makna yang tepat untuk ah}sani taqwi>m
adalah struktur psikologis yang paling prima, karena ayat ini
menggunakan kata insa>n bukan kata bashar. Lihat Achmad Mubarok,
Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa
(Jakarta: Bina Rena Pariwara, Cet. I, 2005), 21-28.
3
Yuliah Singgih D. Gunarsah dan Singgih D. Gunarsah, Psikologi
Untuk Keluarga (Jakarta: Libri, cet. I, 2012), 125-126.

1
mampu untuk menghadapi ujian dengan baik. Karena ujian tidak
hanya menghampiri pada hal-hal yang bersifat tidak
menyenangkan, namun juga sebaliknya. Sebagai contoh adalah
Qarun, pada saat miskin justru baik namun ketika berada di
puncak keberhasilan dan kesuksesan malah gagal dan jatuh pada
kekafiran.4 Dengan demikian, betapapun banyak permasalahan
yang ada pasti dapat dilalui dengan baik sepanjang manusia
memiliki jiwa yang kuat, akal sehat dan perasaan tawakal kepada
Tuhan.5
Betapapun besar cobaan ataupun kesulitan yang dihadapi
pada dasarnya sedikit jika dibandingkan dengan potensi yang
Tuhan anugerahkan kepada manusia. Idealnya, manusia
bersyukur atas segala potensi tersebut dan dituntut untuk
berjuang dan bersabar dalam mengatasi segala macam kesulitan,
cobaan dan ujian. Seperti ujian berupa ketakutan, kegagalan,
kekurangan harta dan jiwa, karena Tuhan akan memberikan
petunjuk untuk mengatasi kesulitan serta petunjuk jalan
kebahagiaan dunia dan akhirat.6 Hal ini senada dengan Musawi,
bahwa untuk menyingkirkan segala halangan, permasalahan dan
kesulitan haruslah memupuk kesabaran serta menarik inspirasi
dari sistem proses penciptaan.7
Di era modern sekarang, manusia dihadapkan pelbagai
persaingan hidup yang cenderung menimbulkan beragam
permasalahan. Permasalahan yang mendatangkan kesulitan
cenderung membuat manusia kehilangan makna hidupnya (The
Hollow Man), resah dan tidak tahu jalan mana yang harus

4
Lihat Muhammad Thochah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius
(Jakarta: Listafariska Putra, 2000), 143-151.
5
Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m; Juz ‘Amma
(Kairoh Mesir, Mathab al-Ami>riyah, 1322 H), 115.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, cet ke IV, 2002),
341-344.
7
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Etika dan Pertumbuhan Spiritual,
terj. Muhammad Hasyim Assegaf, judul asli: Ethics and Spiritual Growth
(Jakarta: Lentera, Cet. I, 2001),183-184.

2
ditempuh untuk mengatasi segala problematika kehidupan.8
Menurut Rollo May, manusia di dalam batasan takdir dalam
kehidupan mempunyai kemampuan kebebasan untuk memilih,
pilihan akan mengisyaratkan tindakan, tindakan akan mendatang-
kan tanggung jawab, tanpa tindakan pilihan akan menjadi sebuah
harapan saja. Individu yang sehat akan menyambut kebebasan
dan tanggungjawab, walaupun terkadang tindakan untuk memilih
dan bertanggung jawab akan sering menyakitkan, mencemaskan
dan menemui kesulitan.9
Mengoptimalkan segala potensi yang ada merupakan
indikasi seseorang memiliki kecerdasan,10 karena kecerdasan
merupakan keunggulan manusia untuk memahami, meng-
antisipasi dan mampu mengatasi atau menyikapi keadaan.11
Dengan demikian, manusia yang maksimal mengoptimalkan
segala potensi, apapun permasalahan maupun kesulitan akan
mampu dihadapi dengan bijak dan menjadikan beragam kesulitan
tersebut sebagai daya untuk melatih diri agar lebih baik dalam
menyikapi kehidupan, optimis dan berserah diri sepenuhnya
kepada Tuhan. Hal ini selaras dengan Abduh, dengan petunjuk
yang benar dan dalil yang kuat manusia akan mengetahui bahwa
semuanya bersandar kepada Tuhan sehingga manusia akan tetap
optimis berusaha mencapai kesuksesan.12 Individu yang mampu
bertahan dalam kesulitan untuk mencapai kesuksesan dalam
hidup adalah individu yang cerdas mengatasi beragam macam

8
Achmad Mubarok, Psikologi Qur‟ani (Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet. I, 2001), 16-20.
9
Jess Feist and Gregory J. Feist, Theoris of Personality, Sevent
Edition (New York: McGraw-Hill, 2009), 343.
10
Kecerdasan diartikan, 1. Kemampuan menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. 2.
Kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif. 3. Kemampuan
memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali. J.P Chaplin,
Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul asli, Dictionary of
Psychology (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 253.
11
Achmad Mubarok, Psikologi Qur‟ani, 71.
12
Muhammad Abduh, Teologi Rasional, terj. Makrum Kholil,
buku asli, Risa>lah al-Tauh}id (Jakarta: CV Misaka Galiza, cet ke. I. 2005),
54.

3
kesulitan, cobaan, ujian dan masalah dalam hidup (adversity
quotient).13 Kecerdasan mengatasi masalah pada dasarnya sangat
dibutuhkan oleh manusia. Dengan kecerdasan ini, manusia
diharapkan mampu untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi yang lebih baik dan berlomba-lomba dalam hal kebaik-
an.14 Hal inilah yang menurut Frankl, bahwa meskipun setiap
individu tunduk pada kondisi-kondisi dari luar yang mem-
pengaruhi kehidupannya, individu tersebut bebas mengambil
sikap untuk mengatasi keadaan-keadaan dan nasib, karena kodrat
manusia dibangun atas tiga pilar; the freedom of will, the will to
meaning, and the meaning of life.15
Menurut Stoltz, individu yang mempunyai IQ
(intelligence quotient) dan EQ (emotional quotient) tidak men-
jamin untuk sukses dalam kehidupan, melainkan dua kecerdasan
ini hanya memainkan suatu peran, karena banyak individu yang
mempunyai nilai IQ dan EQ tinggi namun gagal untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada.16 Hal senada juga
disampaikan oleh Zohar dan Marshall bahwa, “Neither IQ nor
EQ, separately or in combination, is enough to explain the full
complexity of human intelligence nor the vast richness of the
human soul and imagination”.17 Dengan demikian, untuk
memahami manusia secara totalitas kecerdasan intelektual dan
emosional tidaklah cukup untuk memberkan kapasitas

13
Adversity Quotient merupakan faktor kunci bagi kesuksesan,
faktor yang dapat menentukan bagaimana jadi atau tidaknya, dan sejauh
mana sikap, kemampuan, dan kinerja akan terwujud di dunia. lihat Paul G.
Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, terj. T.
Hermaya, judul asli Adversity Quotient; Turning Obstacles into
Opportunities, cet ke 7 (Jakarta: PT Grasindo, 2007).
14
Lihat al-Qur’a>n s. al-Baqarah/2:148.
15
Duane Schultz, Growth Psychology; Models of The Healthy
Personality (New York: D. Van Nostrand Company, 1977), 108.
16
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 13-16.
17
Danah Zohar and Ian Marshall, Spritual Intelligence: The
Ultimate Intelligence (London: Bloomsbury Publishing Plc, 2000), 5.

4
kesempurnaan manusia.18 Lebih lanjut menurut Stoltz, beberapa
faktor pendukung kesuksesan seseorang meliputi; kinerja, bakat
dan kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika, pen-
didikan dan keyakinan. Namun, walaupun seseorang memiliki
semua faktor tersebut tidak ada jaminan untuk tetap berdiri tegak
ditengah badai kesulitan, karena hanya adversity quotient
(manusia itu sendiri) yang menjadi dasar untuk meraih kesukses-
an dalam hidup.19 Dengan demikian, apapun faktor pendukung
untuk menggapai kesuksesan termasuk faktor keyakinan atau
keimanan, tidaklah menjamin seseorang untuk bertahan dari
segala kesulitan, cobaan dan ujian dalam hidup. Tentu hal ini
bertolak belakang dengan pendapat Najar, bahwa agama-yang
melahirkan keimanan adalah bagian dari kebutuhan manusia
yang pokok dan menjadi sumber keamanan, kedamaian serta
ketentraman jiwa. Lebih tepatnya-manusia yang tidak menjadi-
kan agama dan keimanan dalam hidup akan mengembalikan
segala urusannya kepada dirinya sendiri (kesulitan, musibah dan
bencana) yang pada akhirnya menciptakan hidup dalam
kebingungan berpikir, langkah yang tidak jelas dan
ketidaktenteraman jiwa bahkan bunuh diri.20 Hal senada juga
disampaikan oleh Syauqi Nawawi, bahwa iman menurut al-
Qur‟an merupakan hal sangat mendasar dalam kesempurnaan

18
Tiga istilah digunakan al-Qur’a>n untuk menjelaskan manusia
secara totalitas baik fisik maupun psikis. Pertama kata al-Bashar: terdapat
36 kali dalam al-Qur’a>n berbentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk
muthanna>. Kedua kata al-Insa>n yang meliputi kata al-Ins (terulang
sebanyak 18 kali dalam al-Qur’a>n), al-Una>s (terulang sebanyak 5 kali), al-
Insa>n (terulang sebanyak 65 kali), dan al-Na>s (terulang sebanyak 243 kali).
Ketiga kata bani> adam: terdapat 7 kali dalam al-Qur’a>n. untuk lebih jelas
lihat Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami; Studi tentang Elemen
Psikologi dari Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2, 2007), 63-
88.
19
Baca Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 41-47
20
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik; dalam Kehidupan Modern,
terj. Ija Suntana, judul asli, at-Tas}awwuf an-Nafsi (Jakarta: Hikmah, cet.
ke I, 2004),141-151.

5
hidup manusia.21 Menurut Ellwood, agama merupakan alat
(instrument) yang kuat bagi manusia untuk menghadapi realitas
kehidupan dan agama menjadi nilai yang ideal bagi manusia
dalam merespon kehidupan.22
Menurut Sangkan, individu yang menjalankan fitrahnya
pasti akan menemukan kesejatian agamanya dan tentu jiwa
manusia memiliki potensi kefitrahan yang seirama dengan firman
Tuhan, karena potensi keagamaan tidak hanya sebatas menjalan-
kan perintah-Nya tetapi sekaligus memberdayakan rasa
keberagamaan kedalam jiwa.23 Dengan beragama seseorang bisa
bersikap tunduk dan taat serta memperoleh balasan dan
ganjaran.24 Agama adalah jalan, bukan tujuan, dengan agama
diharapkan manusia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan
yang diaktualisasikan dengan amal kebajikan dalam kehidupan
sehari-hari.25 Agama juga merupakan bagian dari kebutuhan
manusia yang pokok dan sumber bagi segala hal serta me-
mungkinkan membentuk falsafah hidup setiap individu.26 Dengan
demikian, sebagaimana manusia yang telah dianugerahi berupa
fitrah keagamaan (sebagai kebutuhan pokok),27 maka setiap ada
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup idealnya adalah

21
Rifaat Syauqi Nawawi, Konsep Manusia menurut Al-Qur‟an
dalam Metodologi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
16.
22
Charless A. Ellwood, “The Social Function of Religion,”
American Journal of Sociology Vol. 19 No. 3 (1913), 289-307.
23
Abu Sangkan, Berguru Kepada Tuhan: Menghidupkan
Kecerdasan Emosional dan Spritual (Jakarta: Yayasan Bukut Thursina,
Cet. 2, 2003), 19-22.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, cet, ke IV, 2002),
48.
25
Komaruddin Hidayat, The Wisdom Of Life: Menjawab
Kegelisahan Hidup dan Agama (Jakarta: Kompas, 2008), 3.
26
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik; dalam Kehidupan Modern ,
141-144.
27
Menurut Pargament, religion as a process, a search for
significance in ways related to the sacred. Kenneth I. Pargament, The
Psychology of Religion and Coping: Theory, Research, Practic (New
York: The Guilford Press, 1997), 32.

6
keterpaduan antara peran agama (seperti do‟a) dan usaha. Karena
agama merupakan fitrah dasar bagi manusia-dengan agama
manusia termotivasi untuk menjalani proses kehidupan.28 Hal ini
selaras dengan isyarat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa agama
merupakan fitrah dan jika ditimpa pelbagai ujian, cobaan dan
kesulitan dalam hidup idealnya manusia berpikir positif bahwa
segalanya kembali kepada Tuhan.29
Menurut Nottingham yang dikutip oleh Arifin, agama
dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna
serta mempengaruhi terhadap masalah kehidupan sehari-hari baik
secara individu maupun masyarakat luas.30 Data tahun 2009 dari
WHO (world health organization) menyatakan, bahwa setiap
tahun hampir 1 juta orang bunuh diri, sekitar 1,5% dari semua
kematian membuat bunuh diri penyebab utama ke-10 kematian
secara global.31 Kemudian, Gicub Morino, seorang psikolog
Amerika melakukan bunuh diri di usia 70 tahun pada bulan Mei
1975, Najar meyakini bahwa rahasia bunuh diri yang dilakukan
tersebut merujuk kepada sebab asasi yaitu hilangnya kepercayaan
kepada Tuhan.32
Menurut Najati, manusia dilahirkan dengan membawa
fitrah (agama) yang berpotensi untuk mentauhidkan Tuhan,
dengan fitrah tersebut manusia cenderung berbuat baik dan
mencari ketenangan jiwa.33 Menurut Loewenthal, bahwa agama

28
People often turn on religious and spiritual resources to cope
with live stressors. Peter C. Hill, Measurement Assessment and Issues in
the Psychology of Religion and Spirituality dalam Handbook of The
Psychology of Religion and Spirituality, Edited by Raymond F. Paloutzian,
Crystal L. Park (New York: The Guilford Press, Second Edition, 2013), 63.
29
al-Qur’a>n s. al-Ru>m/30:30 dan al-Qur’a>n s. al-Baqarah/2:156
30
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama (Bandung: Pustaka
Setia, Cet, 1, 2008), 142-143.
31
www.who.int/entity/mental_health/prevention/suicide/wspd_200
9_statement.pdf?ua=1 diakses pada tanggal 9 Mei 2014 pukul 14.53.
32
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik; dalam Kehidupan
Modern,135.
33
Muhammad Utsman Najati, The Ultimate Psychology;
Psikologi Sempurna ala Nabi Saw, terj. Hedi Fajar, buku asli; Al-Hadits

7
dapat mempengaruhi pola stres, karena mekanisme aktivitas
religius memberikan pemahaman akan adanya kontrol Tuhan
pada kehidupan dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan
yang terbaik.34
Menurut Badri, aktivitas ritual keagamaan serta me-
ngamalkan subtansi nilai-nilai keagamaan dalam setiap sisi
kehidupan akan memberikan dampak positif bagi manusia,
seperti berzikir dan bertafakur yang mampu memberikan respon
positif ketika dilanda kesedihan, kegelisahan dan kesulitan.35
Melakukan ritual keagamaan serta penghayatan terhadap-Nya
adalah sebuah manifestasi dari rasa syukur dan cara ber-
komunikasi kepada Tuhan dari seorang hamba. Karena pada
dasarnya, seseorang yang mampu berkomunikasi dengan Tuhan
berupa kepatuhan dan ketaatan adalah wujud dari kecerdasan
akalnya.36 Hal ini senada dengan Huizinga yang dikutip oleh
Dupre, bahwa individu yang memperbanyak dan menikmati
upacara keagamaan akan mendapatkan kembali konsentarasinya,

an-Nabawi wa ‘ilm an-Nafs (Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I 2008), 295-


297.
34
Lihat, Kate Miriam Loewenthal and others, eds. “A Gift that
Lasts? A Prospective Study of Religion, Cognition, Mood and Stress
Among Jews and Protestants,” World Cultural Psychiatry Research Review
6 (1) (2011), 42-51.
35
Malik B. Badri, Tafakur: Perspektif Psikologi Islam, terj. Usman
Syihab Husnan, judul asli, al-Tafakkur min al-Mushadah ila al-Shuhud:
Dirasah al-Nafsiyah al-Islamiyah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.
1, 1996), 83. Hal ini selaras dengan pernyataan dari beberapa jamaah,
bahwa sebelum mengikuti kegiatan zikir-beragam macam kesulitan, ujian
dan cobaan cenderung membuat jiwa rentan gelisah, tidak tenang, pesimis,
segala usaha terasa gagal untuk mengatasi pelbagai kesulitan. Namun,
setelah rutin mengikuti zikir, segala bentuk kesulitan, ujian dan cobaan
dalam hidup direspon positif, optimis, berd‟oa dan berusaha dengan
maksimal-yang pada akhirnya sukses dalam menjalani kehidupan
sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan wawancara terhadap jamaah
majelis zikir Az-Zikra Bogor di Masjid Az-Zikra pada tanggal 2 Februari
2015.
36
Baca Azhari Aziz Samudra, Setia Budi, Hakekat Akal Jasmani
dan Rohani: Menguak Fenomena yang tak Terpecahkan Selama 14 Abad
(Bekasi: Yayasan Majelis Ta‟lim HDH, 2004), 114-118.

8
hal ini langkah yang penting untuk menjaga eksistensinya setiap
saat.37 Dalam kaitannya antara kecerdasan mengatasi kesulitan
(adversity quotient) dengan rasa keberagamaan dalam Islam
adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang yang
sadar bahwa Tuhan selalu bersamanya38 berkeyakinan bahwa
setiap ada kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup pasti ada
kemudahan, sehingga mampu untuk diatasi. Hal inilah selaras
dengan isyarat al-Qur‟an:
39
         
Artinya:“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.”

Islam kaya akan praktik-praktik ibadah, seperti praktik


ibadah salat, zakat, haji, membaca al-Qur‟an, zikir dan lain
sebagainya. Praktik-praktik yang demikian itu pada dasarnya
merujuk pada seberapa tingkat kepatuhan seorang muslim yang
telah dianjurkan oleh agamanya.40 Tentunya,jika praktik-praktik
ini dikerjakan dengan penuh kesadaran tanpa adanya paksaan
akan membawa ketenangan psikologis terhadap seseorang,
apalagi sedang dilanda kesulitan. Seperti zikir, karena orientasi
dari zikir adalah pada penataan hati, hati memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia, baik atau buruknya aktivitas
manusia sangat tergantung pada kondisi hati.41
Zikir yang dilakukan oleh manusia (umat Islam) bisa
dilakukan secara pribadi ataupun berjamaah. Dalam kontek ini,
37
Louis Dupre, Religious Mystery and Rational Reflection:
Excursions in the Phenomenology and Philosophy of Religion (Cambridge:
Wm. B. Eerdmans Publishing Co, 1998), 78.
38
al-Qur’a>n s. al-Qa>f/50:17.
39
al-Qur’a>n s. al-Inshirah/94:5-6
40
Djamaludin Ancok, Fuat Nashori Suroso, Psikologi Agama:
Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. VII, 2008), 80.
41
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, cet. I, 2006),
87-88.

9
zikir yang dilakukan secara berjamaah dan menjadi populer pada
saat ini pada dasarnya tidak terlepas dari pelbagai pengaruh.
Pertama, pengaruh dari tasawuf modern (neo-sufism) yang
memandang keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Kedua, sebagai bentuk eskapisme masyarakat terhadap kerancuan
hidup di era modern. Karena, Kehidupan modern cenderung
melahirkan pribadi-pribadi yang dituntut untuk memenuhi segala
kebutuhan agar mampu bertahan hidup, yang demikian ini
cenderung membuat manusia jauh dari Tuhan. Dengan demikian,
tuntutan kehidupan di era modern cenderung membuat manusia
tidak sadar akan pentingnya nilai-nilai agama yang pada akhirnya
akan menyadari bahwa betapa pentingnya kehadiran Tuhan
dalam setiap dimensi kehidupan. Merasakan kehadiran Tuhan
dalam diri manusia yang diekspresikan melalui pengamalan nilai-
nilai keagamaan, seperti zikir. Dengan berzikir seseorang akan
merasakan ketentraman hati, kebahagiaan, ketenangan dan
mampu untuk mengintrospeksi atas segala pikiran dan tindakan
yang dilakukan.
          

42
 
Artinya:“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tentram dengan mengingat Tuhan,
ingatlah, hanya dengan mengingat Tuhan hati menjadi
tentram”.

Betapa urgensinya zikir pada seseorang sebagai respon


dari kehadiran Tuhan menjadikan manusia bertambah semangat,
optimis dan termotivasi untuk lebih baik lagi dalam menyikapi
kehidupan dan menjadikan Tuhan sebagai tempat yang terbaik
untuk memohon bantuan dalam menghadapi segala persoalan
hidup, di samping usaha yang maksimal dari manusia itu

42
al-Qur’a>n s. ar-Ra’d/13:28

10
sendiri.43 Zikir merupakan salah satu bentuk dari ritual-ritual
ibadah yang ada dalam Islam. Pada dasarnya setiap ibadah
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan manusia. Setiap ibadah mampu memberikan pengaruh
positif dalam menyikapi kehidupan jika dipahami dengan benar
dan penuh kesadaran dan yang terpenting adalah bagaimana
komunikasi dengan Tuhan tidak pernah lepas setiap saat, yang
nantinya kebahagiaan dan kesuksesan mampu diraih oleh
manusia.
        

44
 
Artinya:“…… laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Tuhan, Tuhan telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa peran


keagamaan pada seseorang mampu memberikan solusi yang
terbaik sebagai langkah awal untuk mengatasi kesulitan. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian bahwa
religiusitas merupakan hal yang mendasar untuk mengatasi
segala kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup. Terkait dengan
itu, penulis memilih kasus pada jama‟ah majelis zikir Az-Zikra
Bogor dengan beberapa alasan.
Pertama, Misi yang diemban oleh majelis zikir Az-Zikra
adalah membangun pribadi yang membawa kedamaian dan
keselamatan dunia akhirat dengan sabar yang menjadi strategi
untuk menjalani proses kehidupan. Kedua, Majelis zikir Az-Zikra
merupakan majelis yang yang disetiap zikir senantiasa diisi
dengan tausiyah. Dengan harapan, jamaah yang mengikuti

43
Keyakinan terhadap Tuhan adalah aspek pertama (yang
terpenting) barulah peran manusia secara maksimal untuk mengatasi segala
bentuk kehidupan. Berdasarkan wawancara terhadap ketua yayasan Az-
Zikra Bogor pada tanggal 20 Januari 2015 di Kantor Yayasan Az-Zikra
Bogor.
44
al-Qur’a>n s. al-Ah}za>b/33:35

11
majelis ini mampu mengembangkan wawasan keilmuan dan
menambah keimanan. Namun yang terpenting adalah, majelis
zikir Az-Zikra menekankan pada pemahaman, penghayatan dan
pengamalan ibadah yang dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari.45 Ketiga, menurut ketua yayasan Majelis Zikir Az-Zikra
Bogor, setiap tahunnya para jamaah meningkat dan cenderung
antusias untuk mengikuti zikir akbar yang diselenggarakan secara
rutin, setiap bulan pada minggu pertama.46 Keempat, para jamaah
memberikan respon yang positif terhadap rutinitas zikir akbar ini.
Dalam arti, ada perkembangan yang signifikan dalam merespon
segala kesulitan, permasalahan, ujian dan cobaan dalam hidup.
Jika sebelumnya tidak pernah mengikuti zikir akbar, pelbagai
kesulitan dan ujian dalam hidup cenderung membuat jiwa terasa
tertekan, tidak bahagia, pesimis dan putus asa. Namun, setelah
mengikuti zikir akbar secara rutin, ada perubahan yang positif
dalam merespon pelbagai kesulitan dan ujian dalam hidup.47
Kelima, asumsi dasarnya adalah bahwa setiap manusia pasti
mengalami hal-hal yang sulit dalam hidup, penuh dengan
permasalahan, rintangan dan cobaan dalam hidup. Hal ini
didasarkan pada wawancara penulis dengan beberapa jamaah
zikir yang telah rutin mengikuti majelis zikir.48 Sehingga, dengan
adanya praktik-praktik keagamaan ini diharapkan mampu
memberikan solusi dalam mengatasi segala kesulitan, ujian dan
cobaan dalam hidup yang demikian ini merupakan keintegrasian
antara aspek lahir dan batin, do‟a dan usaha. Dengan demikian,

45
Diakses pada tanggal 1 Juni 2015 melalui: http://azzikra.com/
46
Berdasarkan wawancara dengan Pak Khotib Kholil, ketua
yayasan Az-Zikra Bogor pada tanggal 20 Januari 2015 di Kantor Yayasan
Az-Zikra Bogor.
47
Berdasarkan wawancara terhadap beberapa jamaah majelis zikir
yang telah mengikuti zikir minimal dua kali pada tanggal 2 Februari 2015
di masjid Az-Zikra Bogor.
48
Seorang jamaah mengakui, bahwa setiap kesulitan yang ada
cenderung membuat jiwa merasa tertekan, pesimis, seakan-akan kesulitan
selalu hadir setiap saat dalam hidup. Namun, setelah mengikuti zikir ini,
respon terhadap kesulitan cenderung berubah, dari pesimis menjadi
optimis. Berdasarkan wawancara terhadap jamaah Majelis Zikir Az-Zikra
Bogor pada tanggal 2 Februari 2015 di masjid Az-Zikra Bogor.

12
berdasar-kan beberapa alasan tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengkajinya dan laik untuk diteliti apakah ada pengaruh
religiusitas terhadap adversity qotient pada jamaah majelis zikir
Az-Zikra Bogor.
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis
mengidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian seperti,
adanya perbedaan yang sangat mendasar antara konsep adversity
quotient dengan al-Qur‟an. Faktor-faktor apa saja yang ber-
kontribusi untuk mengatasi pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan
dalam hidup. Adanya kesenjangan antara adversity quotient
dengan fakta dilapangan (jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor).
Bagaimana peran agama terhadap kehidupan masyarakat modern.
Apakah zikir hanya berorientasikan pada kehidupan akhirat saja
dan bagaimana pengaruh religiusitas terhadap adversity quotient
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh
religiusitas terhadap adversity quotient pada jamaah majelis zikir
Az-Zikra Bogor?

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Beberapa penelitian terdahulu yang relevan, sejauh ini
hanya ada satu yang menurut penulis relevan dengan penelitian
ini. Selebihnya tidak secara spesifik membahas antara pengaruh
religiusitas terhadap adversity quotient, karena pada dasarnya
penelitian ini hanya melihat pengaruh religiusitas terhadap
adversity quotient.
Penelitian terdahulu yang relevan adalah: penelitian Dona
Eka Putri dan Dina Nur Amalia, religiousity and adversity
quotient of Muslim in Poor Community. Penelitian ini mengguna-
kan pendekatan kuantitatif dengan 60 orang yang dijadikan
subjek penelitian. Untuk mengungkap religiusitas pada
masyarakat muslim yang miskin, peneliti menggunakan skala
PMIR (Psychology Measure of Islamic Religiousness) dari
Hisham Abu Raiya. Kemudian untuk adversity quotient, peneliti
menggunakan skala adversity quotient yang telah diadaptasi ke
dalam bahasa Indonesia. Dari hasil penelitian ini, religiusitas
berpengaruh positif terhadap adversity quotient pada masyarakat

13
muslim yang miskin, dengan nilai Sig. < 0,01.49 Penelitian ini
pada dasarnya hanya melihat apakah ada pengaruh religiusitas
terhadap adversity quotient atau tidak. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini tidak memberikan peluang atau perhatian khusus
tentang teori yang digunakan. Dalam arti, penelitian ini tidak
membahas bahwa religiusitas merupakan hal yang mendasar
dalam kecerdasan mengatasi kesulitan, ujian dan cobaan dalam
hidup.
Kemudian, peneliti cenderung kurang bijak mengadaptasi
teori, adversity quotient. Konsep kecerdasan mengatasi kesulitan,
ujian dan cobaan dalam hidup pada dasarnya adalah manusia
yang paling berperan untuk mewujudkan segala harapan yang
akhirnya mampu meraih kesuksesan setelah melewati pelbagai
rintangan, kesulitan. Faktanya, tidak semua harapan dapat
terwujud, ketika kesulitan, ujian dan cobaan datang, manusia
cenderung stres, frustasi bahkan bunuh diri. Dengan agamalah
yang meyakini bahwa Tuhan selalu menolong hambanya dan
memberikan pengaruh positif sehingga mampu keluar dari rasa
putus asa dan pesimis. Dengan demikian, penelitian ini hanya
melihat ada tidaknya pengaruh religiusitas terhadap adversity
qotient. Sedangkan dalam penulisan ini, tidak hanya melihat
apakah ada pengaruh positif pada religiusitas terhadap adversity
quotient namun dilihat juga bahwa peran keagamaan merupakan
dasar bagi manusia untuk menghadapi sekaligus mengatasi segala
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup. Oleh karena itu, untuk
melihat apakah ada pengaruh antara religiusitas terhadap
adversity quotient dan apakah religiusitas merupakan dasar bagi
manusia untuk mengatasi segala kesulitan, ujian dan cobaan
dalam hidup penulis menyertakan dua pendekatan sekaligus
dalam penelitian ini, berbeda dengan penelitian Eka Putri-hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif-dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan kuantitatif sekaligus kualitatif (mixed

49
Dona Eka Putri and Dina Nur Amalia, “Religiosity and
Adversity Quotient of Muslims in Poor Community,” International
Proceedings of Economic Development and Research 73 (2014), 14-18.

14
method) disertai juga dengan pendekatan Confirmatory Factor
Analysis (CFA).50
Kemudian ada beberapa penelitian yang tidak spesifik
dengan penelitian penulis, karena pada dasarnya penulis
menggabungkan antara religiusitas dan adversity quotient.
Namun menurut penulis hal ini cukup penting untuk dimasukkan
kedalam kajian penelitian terdahulu yang relevan dengan
menimbang pelbagai hal: pertama, melihat dan mencerna teori-
teori yang dikemukakan, yang kemudian penulis adaptasi untuk
digunakan dalam penulisan ini. Kedua, melihat pelbagai macam
aspek dan dimensi dari kedua variabel dan kemudian penulis
mencoba untuk memilih serta mengadaptasi yang sesuai dengan
keadaan latarbelakang subjek penelitian penulis.
Beberapa penelitian terhadulu yang tidak spesifik dengan
penelitian penulis diantaranya: Pertama, penelitian dari Musthofa
dan Djamaludin Ancok,51 hubungan antara bias keputusan
dengan adversity quotient dan anchor dalam pengambilan
keputusan. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa nilai
adversity quotient pada diri individu dapat mengantisipasi
pengaruh anchor terhadap bias pengambilan keputusan.
Kedua, penelitian dari Pao-Ling Chin dan Min-Li Hung
dalam Psychological Contract Breach And Turnover Intention:
The Moderating Roles of Adversity Quotient and Gender,
hasilnya bahwa psychological Contract Breach And Turnover

50
Pendekatan melalui CFA pada dasarnya dilakukan untuk
menguji validitas konstruk dimana akan diperoleh informasi mengenai
unidimensionalitas dari model pengukuran serta fit atau tidaknya model
ketika social desirability dilibatkan sebagai salah satu faktor. Untuk lebih
jelasnya lihat, Bina Ciptadi dan Jahja Umar, “Metode Alternatif untuk
Mendeteksi Bias Respons Social Desirability pada Item-item Tes
Kepribadian,” Jurnal Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia
Vol. 1 No. 1 (2012), 16.
51
Musthofa, Djamaludin Ancok, “Hubungan Antara Bias
Keputusan dengan Adversity Quotient dan Anchor dalam Pengambilan
Keputusan,” Sosiosanins 18 (2) (2005), 190.

15
Intention berpengaruh signifikan terhadap adversity quotient, dan
tidak dipengaruhi oleh faktor gender.52
Ketiga, penelitian dari Tazeem Ali Shah Bukhari dan
kawan-kawan, mengungkapkan bahwa adversity quotient
mempengaruhi hubungan antara psikologis pemutusan kontrak
dengan hasil kerja karyawan. Karyawan yang tinggi kecerdasan
adversitasnya akan menghadapi pemutusan kontra dengan baik
daripada mereka yang rendah dalam kecerdasan adversitas.53
Keempat, penelitian dari Vibhawari dan Megha tentang
adversity quotient dan pertahanan diri mengungkapkan bahwa,
siswa tidak harus menggunakan pertahanan diri. Siswa harus
mempunyai kemampuan yang lebih baik, sehingga mereka dapat
mengatasi tantangan dalam hidup.54
Adapun penelitian terdahulu yang hanya berkaitan
dengan religiusitas meliputi: Pertama, penelitian dari Kasen dan
kawan-kawan “Religosity and resilience in person at high risk for
major depression” dengan kesimpulan, greater religiosity may
contribute to development of resilience in certain high-risk
individuals.55
Kedua, penelitian dari Ahmed M. Abdel-Khalek, bahwa
ada hubungan yang signifikan antara quality of life (QOL),
subjective well-being (SWB), dan religiosity. Lebih lanjut,

52
Pao-Ling Chin and Min-Li Hung, “Psychological Contract
Breach And Turnover Intention: The Moderating Roles Of Adversity
Quotient And Gender,” Social Behavior And Personality 41 (5) (2013),
843.
53
Tazeem Ali Shah Bukhari and others, eds. “The effect of
psychological contract breach on varios employees level outcomes: The
moderating role of Islamic work ethic and adversity quotient,”African
Journal of Business Management 5 (21) (2011), 8397.
54
Vibhawari B. Nikam, Megha M. Uplane, “Adversity Quotient
and Defense Mechanism of Secondary School Students,” Universal
Journal of Educational Research 1 (4) (2013), 307.
55
S. Kasen and others, eds. “Religiosity and Resilience in Person
at High Risk for Major Depression,” Psychological Medicine 42 (2012),
509.

16
menurut Abdel-Khalek bahwa keyakinan dan praktik ibadah
berpotensi sebagai psikoterapi bagi muslim.56

C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah jenis penelitian campuran (Mixed Method Research).57
Jenis penelitian Mixed Method Research menggunakan strategi
penelitian yang melibatkan pengumpulan data baik berupa skala
(kuantitatif) maupun wawancara dan observasi (kualitatif). Pada
dasarnya penelitian campuran adalah penelitian yang
meminimalisir pelbagai kelemahan yang terjadi dalam penelitian
dan memperkuat hasil penelitian yang didapatkan.58
Dalam penelitian ini penulis menggunakan variabel bebas
(independent) dan variabel terikat (dependent). Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah religiusitas, dengan pelbagai
dimensinya yang penulis adaptasi dari Hisham Abu Raiya yaitu:
Islamic dimension, Islamic religious conversion, Islamic positive
religious coping, Islamic negative religious coping, Islamic
religious struggle, Islamic religious internalization-
identification, Islamic religious internalization-introjection,
Islamic religious exclusivism.59 Kemudian, variabel terikat dalam
penelitian ini adalah adversity quotient, dengan pelbagai
dimensinya yang penulis adaptasi dari Paul G. Stoltz; control,

56
Ahmed M. Abdel-Khalek, “Quality of Life, subjective well-
being, and religiosity in Muslim college student,” Quality of life
ResearchVol. 19. No. 8 (2010), 1133.
57
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan
Kualitatif (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 26-28.
58
Gail D. Caruth, “Demystifying Mixed Methods Research
Design: A Review of the Literature,” Mevlana International Journal of
Education (MIJE) Vol. 3 (2013), 113.
59
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity
(Dissertation the Graduate College of Bowling Green State University,
2008), 27.

17
origin and ownership, reach, endurance atau disebut dengan
CO2RE.60
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai sumber data primer adalah instrumen pengumpulan data
berupa skala religiusitas yang penulis adaptasi dari Hisham Abu
Raiya61 dan skala adversity quotient yang penulis adaptasi dari
Mark W. Williams.62 Adapun sumber sekundernya dalam
penelitian ini berupa wawancara dan observasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh jamaah
majelis zikir Az-Zikra Bogor yang berjumlah lebih kurang
10.000 dengan karakteristik, telah mengikuti majelis zikir Az-
Zikra sebanyak tiga kali, telah berkeluarga, minimal lulusan
SMA/Madrasah Aliyah dan telah bekerja.
Adapun sampel dalam penelitian ini berjumlah 140
jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor. Pertimbangan penulis
mengambil sampel tersebut karena, pertama; Semakin besar
ukuran sampel, maka cenderung semakin kecil kekeliruan dalam
penarikan kesimpulan. Kedua; pertimbangan dari segi waktu,
usaha dan dana.63 Teknik sampel yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah teknik sampel bertujuan (purposive
sample).64
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan skala religiusitas yang penulis adaptasi dari

60
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 140.
61
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 27.
62
Mark W. Mark W. Williams, The Relationship Between
Principal Response to Adversity and Student Achievement (Dissertation
The Cardinal Stritch University, 2003).
63
Sudarwan Danim, Metode Penelitian Untuk Ilmu-Ilmu Perilaku
(Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. III, 2004), 90-91.
64
Ciri sampling ini adalah penilaian dan upaya cermat untuk
memperoleh sampel representatif dengan cara meliputi wilayah-wilayah
atau kelompok-kelompok yang diduga sebagai anggota sampelnya. Fred N.
Kerlinger and Howard B. Lee, Foundations of Behavioral Research, Fourth
Edition (US: Thomson Learning, 2000), 179.

18
Hisham Abu Raiya,65 skala adversity quotient yang penulis
adaptasi dari Mark W. Williams66 dan wawancara serta observasi.
Hal ini dilakukan karena pengumpulan data yang hanya berupa
skala cenderung tidak menggambarkan fakta yang sebenarnya.
Oleh karena itu, penulis menyertakan wawancara dan observasi
sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua skala
sebagai alat pengumpulan data. Pertama, skala religiusitas yang
penulis adaptasi dari Hisham Abu Raiya67 yang diukur dengan
menggunakan jenis skala Likert. Skala religiusitas berisi 62
pernyatan dengan 5 alternatif jawaban, sangat sesuai (SS) diberi
niliai 5, sesuai (S) diberi niliai 4, agak sesuai (AS) diberi niliai 3,
tidak sesuai (TS) diberi niliai 2 dan sangat tidak sesuai (STS)
diberi niliai 1. Untuk pernyataan yang tidak mendukung
(unfavorable) akan diberi bobot nilai kebalikan dari pernyataan
mendukung. Jawaban sangat sesuai (SS) diberi nilai 1,sesuai(S)
diberi nilai 2, agak sesuai (AS) diberi nilai 3, tidak sesuai (TS)
diberi nilai 4 dan sangat tidak sesuai (STS) diberi nilai 5.

Tabel 1
Distribusi Variabel Religiusitas Dalam Instrumen Penelitian
Item
JumlahI
No Variabel Indikator No Item No Item tem
Pernyataan Pernyataan
Positif Negatif
Keyakinan 1,2,3,4,5 5
Praktik 6,7,8,9,10 5
Perilaku yang
11,12,13,14,15 5
harus dilakukan
Islamic
1 Perilaku yang
dimension
tidak harus 16,17,18,19,20 5
dilakukan
Keuniversalan
21,22,23,24
Islam 4

65
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 27.
66
Mark W. Mark W. Williams, The Relationship Between
Principal Response to Adversity and Student Achievement.
67
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 27.

19
Islamic Adanya
2 religious perubahan 25,26,27,28,29 5
conversion terhadap agama
Islamic
positive Perasaan aman 30,31,32,33,34,
3 6
religious terhadap Tuhan 35
coping
Islamic
Perasaan tidak
negative
4 aman terhadap 36,37,38,39,40 5
religious
Tuhan
coping
Islamic Yakin terhadap
religious Tuhan saat
5 41,42,43,44,45 5
struggle mendapat
kesulitan
Islamic
religious
Keyakinan agama
internalizati
6 sebagai nilai 46,47,48,49,50 5
on-
pribadi
identificatio
n
Islamic
religious Adanya motif
7 internalizati lain serta rasa 51,52,53,55 54 5
on- bersalah
introjection
Islamic Pendekatan diri
56,57,59 58 4
religious terhadap agama
8
exclusivism Pengetahuan
61 60,62 3
akan agama
Jumlah 48 14 62

Kedua, skala adversity quotient yang penulis adaptasi


dari Mark W. Williams.68 Skala adversity quotient (Adversity
Response Profile Quick Take) berisi 60 pernyatan dengan
alternatif jawaban yang bervariasi.

68
Mark W. Mark W. Williams, The Relationship Between
Principal Response to Adversity and Student Achievement.

20
Tabel 2
Distribusi Variabel Adversity Quotient Dalam Instrumen
Penelitian
Item
No Item No Item Jumlah
No Variabel Indikator
Pernyataan Pernyataan Item
Positif Negatif
Respon
1a, 8a, 19a,
terhadap 10a, 27a. 7
26a, 29a.
kesulitan
1 Control Kendali
terhadap 6b, 9a, 16a,
17a, 23a, 13a. 8
kesulitan yang 18a, 28a.
dihadapi
Menganggap
8b, 19b, 9b,
kesulitan 17b, 10b. 6
Origin and 28b.
2 berasal dari luar
Ownership
Bertanggung 1b, 16b, 29b,
27b, 23b, 13b. 9
jawab 6b, 18b, 26b.
Sejauh mana
kesulitan 4a, 11a, 14a,
3a, 30a. 7
menjangkau 15a, 22a.
kehidupan lain
Menganggap
peristiwa buruk
bukan sebagai
3 Reach
bencana yang
merusak 2a, 4a, 7a,
5a, 20a, 25a. 8
kebahagiaan 12a, 21a, 24a.

Menganggap
kesulitan tidak
4b, 7b, 14b,
akan 5b, 25b.
21b, 22b. 7
berlangsung
lama
4 Endurance
Menganggap
penyebab
2b, 11b, 12b,
kesulitan tidak 3b, 20b, 30b. 8
15b, 24b.
berlangsung
lama
Jumlah 20 40 60

21
b. Wawancara
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
wawancara tidak terstruktur.69 Dalam hal ini, penulis akan
mewawancarai 10 jamaah70 majelis zikir Az-Zikra Bogor dengan
karakteristik; telah mengikuti majelis zikir Az-Zikra sebanyak
tiga kali selama tahun 2014, telah berkeluarga, minimal lulusan
SMA/madrasah Aliyah dan telah bekerja.

c. Observasi
Jenis obeservasi yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah observasi dengan partisipasi pura-pura (quasi
participant observation),71 dalam observasi ini penulis akan
mengamati sekaligus mencatat fenomena-fenomena yang terjadi
saat ritual zikir pada jamaah majelis zikirAz-Zikra Bogor.

d. Uji Validitas
Uji validitas konstruk pada skala religiusitas dan
adversity quotient dalam penelitian ini, penulis menggunakan
metode CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan bantuan
program Lisrel 8.80.
Metode CFA (Confirmatory Factor Analysis) dilakukan
dengan asumsi bahwa hasil pengukuran self-report mengandung
dua faktor, faktor konstruk yang hendak diukur dan faktor

69
Wawancara tak terstruktur yaitu pedoman wawancara yang
hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan, kreativitas pewawancara
dalam hal ini sangat diperlukan dan hasilnya banyak tergantung dari
pewawancara. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan
Praktik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 270.
70
Tidak ada kriteria baku mengenai berapa jumlah responden yang
harus di wawancarai, sebagai aturan umum peneliti berhenti melakukan
wawancara sampai data menjadi jenuh. Dedi Mulyana, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial
Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003), 182.
71
Sutrisno Hadi, Metodologi Research: Untuk Penulisan Paper,
Skripsi, Thesis, dan Disertasi (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, Cet. X. Jilid II, 1980), 141-142.

22
desirability sebagai faktor lain yang ikut terukur dan tidak ada
kaitannya dengan konstruk yang hendak diukur.72

e. Teknik Analisa Data


Untuk teknik analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini, penulis menggunakan teknik regresi berganda.
Melalui regresi berganda ini akan diperoleh R2, yaitu koefisien
determinasi yang menunjukkan besarnya proporsi varian variabel
terikat yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel bebas.

72
Bina Ciptadi dan Jahja Umar, “Metode Alternatif untuk
Mendeteksi Bias Respon Social Desirability pada Item-item Tes
Kepribadian” JurnalPengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia
(JP3I) Vol. 1. No. 1 (2012), 4.

23
24
BAB II
ADVERSITY QUOTIENT DAN RELIGIUSITAS

A. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient
Kecerdasan diartikan sebagai kemampuan menghadapi
dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan
efektif, kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif,
kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan
cepat sekali.1 Menurut Mubarok, kecerdasan merupakan ke-
unggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain, dengan
kecerdasan tersebut manusia bisa memahami dan mengantisipasi
segala sesuatu dengan baik.2 Pada mulanya kecerdasan hanya
berkaitan dengan akal atau bersentuhan dengan kognitif saja
seperti ungkapan beberapa psikolog “Human differences have
enormous social and political implications, intelligence is one of
the most important human differences, and tests reveal them”,3
namun pada perkembangannya kecerdasan mendapatkan tempat
tersendiri pada aspek emosional, spiritual dan agama karena
kehidupan manusia tidak hanya bertumpu pada struktur akal
saja.4
Setiap manusia tentu memiliki permasalahan dalam
hidupnya, baik itu masalah yang bersifat internal maupun
eksternal. Kesulitan yang datang cenderung memberikan rasa
pahit, emosi yang cenderung labil dan lain sebagainya.5 Menurut

1
J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono,
judul asli, Dictionary of Psychology (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 253.
2
Achmad Mubarok, Psikologi Qur‟ani (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), 71.
3
Stephen Murdoch, IQ: A Smart History of a Failed Idea (Canada:
John Wiley & Sons, Inc, 2007), 171.
4
Dalam bahasa Inggris kecerdasan disebut intelligence, dalam
bahasa Arab disebut al-Dzaka>. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-
Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke. I,
2001), 318-319.
5
Adversity strikes without warning. It attacks with intense anger
through trial, heartache or an emotional setback. Lihat Lea Daradal
Canivek, Principals‟ adversity quotient: styles, performance and practices

25
Stoltz, adversity quotient memberi tahu seberapa jauh anda
mampu bertahan untuk menghadapi kesulitan, meramalkan siapa
yang mampu mengatasi kesulitan, meramalkan siapa yang akan
melampaui potensi kinerjanya, dan meramalkan siapa yang akan
menyerah dan siapa yang bertahan.6 Menurut Ancok, adversity
quotient menjelaskan tentang kemampuan seseorang untuk
bertahan dalam kesulitan.7 Sementara Venkatesh menyatakan,
adversity quotientis a new conceptual framework for
understanding and enhancing all facets of success.8
Adversity adalah, kesulitan yang muncul dari beragam
aspek kehidupan seseorang atau masyarakat.9 Dalam kaitannya
dengan ketahanan dalam mengatasi kesulitan, peran pengalaman
emosi yang positif akan meningkatkan kesehatan fisik dan psikis
serta kesejahteraan.10 Hal ini senada dengan Anthony dan rekan-
rekannya, bahwa emosi yang positif adalah indikasi dari ketahan-

(Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of


Master of Arts in Education: Universityof the Philippines Diliman, Quezon
City, 2010), xvii.
6
Lihat Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, terj. T. Hermaya, judul asli Adversity Quotient; Turning
Obstacles into Opportunities,cet ke 7 (Jakarta: PT Grasindo, 2007), 7.
7
Musthofa dan Djamaludin Ancok, “The Correlation Between
Decision Bias with Adversity Quotient and Anchor in Decision Making,”
Sosiosains Vol. 18 No. 2 (2005), 180.
8
J. Venkateshand others, eds. “Adversity Quotient and Resilient
HR Culture: A Succes Strategy for Organizations,” Intenationl Journal of
Scientific Research and Management (IJSRM) Vol. 2 Issue. 8 (2014),1237.
9
Anronette R. Lazaro-Capones, Adversity Quotient and the
Performance Level of Selected Middle Managers of the Different
Departments of the City of Manila as Revealed by the 360-Degree
Feedback System (For Presentation in the Special Session: Workshop for
Prospective Scholars, International Industrial Relations Association (IIRA),
5th Asian Regional Congress to be held on June 23-26, 2004, Seoul,
Korea), 5.
10
Michele M. Tugadeand others, eds. “Psychological Resilience
and Positive Emotional Granularity: Examining the Benefits of Positive
Emotions on Coping and Health,” Journal of Personality Vol. 72 No. 6
(2004), 1161-1190.

26
an psikologis yang akan bermanfaat dalam kehidupan.11 Menurut
Grandy, adversity quotient berkorelasi dengan faktor kesehatan,
hidup dan pekerjaan.12 Dengan demikian, adversity quotient
adalah salah satu bentuk kecerdasan manusia yang mampu
memberikan pengaruh positif dalam hal menyikapi dan
mengatasi pelbagai ujian, kesulitan dan cobaan dalam hidup.
Manusia yang memiliki kecenderungan untuk
mengoptimalkan pelbagai potensi, idealnya mampu mengatasi
pelbagai kesulitan, cobaan dan ujian dalam hidup sekaligus
mampu mengembangkan kepribadian yang lebih baik seperti,
optimis dalam merespon dan bertindak, bersabar terhadap segala
kesulitan, ujian dan cobaan, sadar akan asal-usul dan tujuan
hidup dan yang terpenting adalah bagaimana menjalin
komunikasi dengan Tuhan serta merealisasikan kehendak-Nya
dalam setiap sendi kehidupan, baik dalam kehidupan secara
pribadi maupun kehidupan secara bermasyarakat. Di bawah ini
ada tabel yang mendeskripsikan, bahwa seseorang yang memiliki
kecerdasan mengatasi pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam
hidup yang tinggi lebih baik jika dibandingkan dengan seseorang
yang memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan, ujian dan cobaan
dalam hidup yang rendah.13

11
Anthony D. Ongand others, eds. “ Psychological Resilience,
Positive Emotions, and Successful Adaption to Stress in Later Life,”
Journal of Personality and Social Psychology Vol 91 No. 4 (2006),745-
746.
12
Jerilee Grandy, Psychometric Properties and Analysis of the AQ
Profile Online Version 8.1. Retrieved from Peak Learning, Inc. Diakses
pada tanggal 20-11-2014.
http://www.peaklearning.com/documents/PEAK_AQP_technicalSuppleme
nt.pdf
13
Jerilee Grandy, Psychometric Properties and Analysis of the AQ
Profile Online Version 8.1. Retrieved from Peak Learning.

27
Gambar 1
Perbandingan Tingkat Hadir antara AQ Tinggi dengan AQ
Rendah

Setiap manusia pasti mempunyai permasalahan dan


kesulitan tersendiri dalam hidup, baik itu masalah yang
menyangkut ekonomi, rumah tangga, sosial, dari skala kecil
hingga skala besar. Sehingga tidak bisa dipungkiri, ada individu
yang sanggup mengatasi semua permasalahan dan ada juga
individu yang gagal. Kesanggupan manusia dalam mengatasi
pelbagai kesulitan dan permasalahan dalam hidup mengindikasi-
kan bahwa pelbagai potensi yang telah Tuhan berikan dioptimal-
kan dengan maksimal, sehingga mampu menyeimbangkan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Demikianpun sebaliknya, kegagal-
an manusia dalam mengatasi pelbagai persoalan dalam hidup
dikarenakan kurangnya keseimbangan dalam menyelaraskan
kehidupan dunia dan akhirat. Hal inilah yang diisyaratkan dalam
al-Qur‟an bahwa perlunya keseimbangan antara kehidupan dunia
dan akhirat.

28
          

14
 .
Artinya:”Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan
apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu, tetapi
janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia”.

Individu yang mampu mengatasi kesulitan adalah


individu yang memiliki adversity quotient yang tinggi, dalam arti
kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi setiap
permasalahan dan kesulitan hidup.15 Islam sebagai agama yang
universal telah mengajarkan kepada pemeluknya untuk tangguh,
kuat, sabar dan optimis dalam menghadapai pelbagai kesulitan,
ujian dan cobaan dalam hidup, termasuk ujian kesengsaraan
maupun kesenangan. Hal ini diisyaratkan dalam sebuah hadis;

‫ « ال ُْم ْؤِم ُن‬-‫صلى اهلل عليو وسلم‬- ‫ول اللَّ ِو‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ض َي اللّوُ َع ْنوُ ق‬ ِ ‫َعن أَبِى ُىري رَة ر‬
َ ََْ ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ُّ ‫الْ َق ِو‬
‫ك‬ َ ُ‫ص َعلَى َما يَ ْن َفع‬ ْ ‫احر‬ ْ ‫ب إلَى اللو َع َّز َو َج َّل م َن ال ُْم ْؤم ِن الضَّعيف َوفى ُك ٍّل َخ ْي ٌر‬ ُّ ‫َح‬
َ ‫ى َخ ْي ٌر َوأ‬
ِ ِ
‫ َولَك ْن قُ ْل قَ َد ُر اللَّو َوَما‬.‫ْت َكا َن َك َذا َوَك َذا‬ ِ ِ ‫و‬
ُ ‫ك َش ْىءٌ فَالَ تَ ُق ْل ل َْو أَنِّى فَ َعل‬ َ َ‫َصاب‬َ ‫استَع ْن َوالَ تَ ْعج ْز َوإِ ْن أ‬ْ َ
16 ِ ِ
َّ َّ
.‫اء فَ َع َل فَإن ل َْو تَ ْفتَ ُح َع َم َل الش ْيطَان‬َ ‫َش‬
Artinya:“…Bersemangatlah terhadap sesuatu yang
memberikan manfaat kepadamu, dan berlindunglah
kepada Tuhan dan janganlah kamu merasa lemah….”.

Ada dua isyarat yang disampaikan oleh Rasulullah


berkenaan hadist di atas, pertama, memohon perlindungan,
meminta bantuan dan berniat hanya karena Tuhan setiap akan
melaksanakan aktivitas sehari-hari. Isyarat kedua, jangan merasa

14
Lihat al-Qur’a>n s. al-Qas}as}/28: 77.
15
Rahmat Aziz, “Pengaruh Kepribadian Ulul Albab Terhadap
Kemampuan Menghadapi Tantangan,” El-Qudwah (04) (2007), 5.
16
al-H>>{a>fiz} al-Mundhiri, Mukhtas}ar S{ahi>h} Muslim, ditah}qi>q oleh
Muhammad Na>s}ir al-Di>n al-Ba>ni> (Kuwait: Wiza>rah al-Awqa>f wa al-Shuu>n
al-Isla>miyah al-Tura>th al-Isla>mi>, al-T}ab’ah al-Tha>lithah, 1979), 246.

29
lemah dengan keadaan yang mendatangkan kesulitan, karena
sesungguhnya setiap ada kesulitan pasti ada atau disertai dengan
kemudahan17 dan jangan bersedih hati disaat kesulitan terus
datang menerpa18 serta juga jangan lemah karena Tuhan sangat
dekat dengan manusia.19 Dengan demikian, antara faktor
kebebasan “the freedom of will” dan faktor yang bersifat
transendental mesti sejalan atau seimbang. Hal inilah yang
menghantarkan setiap individu untuk tetap menjaga niat karena
Tuhan, bermujahadah, sabar, ikhlas dan berdo‟a setiap
melakukan aktivitas.
Menurut Stoltz, ada tiga tantangan yang dihadapi oleh
setiap individu dalam hidup ini, setiap tantangan tersebut saling
mempengaruhi; kesulitan di masyarakat, kesulitan di tempat kerja
dan kesulitan pada individu itu sendiri.20 Dengan demikian,
individu yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional
tidak menentukan kesuksesan seseorang, karena banyak individu
yang memiliki kecerdasan tersebut namun gagal menunjukkan
kemampuannya, karena EQ (emotional quotient) tidak
mempunyai tolak ukur dan metode yang jelas sehingga sulit
untuk dipahami.21 Tiga tingkat kesulitan yang cenderung dialami
oleh manusia dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

17
Lihat al-Qur’a>n s. al-Ishira>h}/:5-6.
18
Lihat al-Qur’a>n s. ‘Ali-‘Imra>n/139. Baca juga al-Qur’a>n s. al-
Tawbah/40.
19
Lihat al-Qur’a>n s. al-Baqarah/186. Baca juga al-Qur’a>n s. al-
Wa>qi’ah/85. Baca juga al-Qur’a>n s. al-Qa>f/16.
20
Stoltz mengambarkan ketiga kesulitan tersebut dalam bentuk
piramida, tingkat kesulitan ini dimulai dari atas hingga mempengaruhi
kesulitan yang paling bawah. Sedangkan untuk mengatasinya dimulai dari
bawah hingga ke atas. Baca Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Turning
Obstacles into Opportunities (USA: John Wiley & Sons, Inc., 1997), 51.
21
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities, 12.

30
Gambar 2
Tiga Tingkat Kesulitan

Untuk menggapai kesuksesan tidaklah semudah seperti


membalikkan telapak tangan, setiap melangkah menuju kebaikan
pastinya ada kesulitan yang akan datang. Dengan demikian,
setiap individu mesti optimis dan bersabar dalam mengatasi
setiap kesulitan,22 rasa optimis sangat diperlukan karena
sesungguhnya manusia telah dianugerahkan beberapa potensi
untuk mengatasi kesulitan. Dengan adanya peran sabar,
diharapkan setiap individu mampu menjaga hal-hal yang
nantinya akan berdampak negatif, karena kunci kesabaran
sesungguhnya adalah kesadaran atas tujuan yang ingin dicapai.23
Menurut Stoltz, ada tiga karakter manusia dalam
merespon setiap kehidupan, Quitters, Campers dan Climbers.24
Pertama, karakter manusia untuk menghindari kewajiban,
mundur dan berhenti dalam pendakian (Quitters). Pada dasarnya,
manusia cenderung untuk memperbaiki hidup, fitrah kehidupan.
Sehingga, ketika badai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup-
idealnya mampu diatasi namun, manusia yang memiliki karakter

22
Sikap optimis pada diri seseorang akan menginspirasi
pemecahan masalah dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan. Lihat
Monica Brannon Johnson, Optimiss, Adversity and Performance:
Comparing Explanatory Style and AQ (The Faculty of the Department of
Psychology San Jose State University, 2005), 4.
23
Achmad Mubarok, Psikologi Qur‟ani, 75.
24
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities, 18-39

31
Quitters memilih untuk meninggalkan segala harapan, cita dan
cinta dan impian karena tidak ingin menjalani kehidupan yang
sifatnya sulit, penuh tantangan. Akibat dari ini adalah, manusia
yang memiliki karakter Quitters cenderung sinis, murung,
pemarah dan frustasi.
Kedua, karakter manusia yang berkemah (Campers).
Manusia yang memiliki karakter ini cenderung mencari tempat
dan hidup yang nyaman, tidak mampu untuk mendaki lebih jauh
lagi dan merasa lebih baik untuk hidup dengan keadaan yang
dimilikinya sekarang. Ketiga, karakter manusia yang mengabdi-
kan dirinya pada pendakian, Climbers. Manusia yang memiliki
karakter ini cenderung tidak menghiraukan latar belakang,
untung dan rugi, nasib buruk atau baik-mereka tetap mendaki
hingga ajal menjemput. Pelbagai rintangan, hambatan, ujian,
kesulitan dan cobaan dalam hidup akan diatasi dengan baik
sehingga, apa yang diharapkan dapat terwujud yang berakhir
pada kesuksesan.

2. Aspek-aspek Adversity Quotient


Adversity quotient terdiri atas empat aspek; control,
origin-ownership, reach dan endurance (CO2RE).25 Control atau
kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan
terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan.26 Senada
dengan Venkatesh, bahwa control atau kendali adalah the
perception of the degree of control one has over an adverse
event. Control begins with the perception that something,
anything can be done.27 Dengan demikian, individu yang
memiliki kendali yang baik terhadap kesulitan, akan berdampak

25
lihat Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, terj. T. Hermaya, judul asli Adversity Quotient; Turning
Obstacles into Opportunities,cet ke 7 (Jakarta: PT Grasindo, 2007), 140.
26
Kata kunci pada control atau kendali ini adalah merasakan. Lihat
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan Menjadi
Peluang, 141
27
Venkatesh J. and others, eds. “The Modern Drift: Significance of
Adversity Quotient and Challenges faced by the Indian Banking Sector,”
International Research Journal of Business and Management Volume No –
VII. Issue. 8 (2014), 72.

32
positif bagi kehidupannya. Demikian pun sebaliknya, individu
yang cenderung kurang memiliki kendali yang baik akan
berdampak negatif bagi kehidupannya dan tentu berpengaruh
pada setiap aspek kehidupan.
Kemudian aspek origin-ownership atau asal usul dan
pengakuan. O2 mempertanyakan dua hal; apa yang menjadi asal
usul kesulitan? dan sampai sejauh mana pengakuan terhadap
akibat kesulitan tersebut?.28 Menurut Ying Shen, makna dari asal
usul dan pengakuan adalah Cause and responsibility of adversity;
to undertake the responsibility of adversity instead of blaming
oneself.29 Kemudian menurut Le Thi, aspek pengakuan
menjelaskan peran tanggungjawab seseorang atas kesulitan yang
datang.30 Kemudian aspek reach atau jangkauan. Menurut Stoltz,
aspek ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan
menjangkau bagian lain dari kehidupan.31 Hal ini senada dengan
Venkatesh, bahwa aspek jangkauan ini mengevaluasi seberapa
jauh kesulitan masuk dalam bagian kehidupan yang lain.32
Dengan demikian, individu yang memiliki kecerdasan mengatasi
masalah yang tinggi akan lebih bijak dalam mengendalikan dan
mengatasi kesulitan yang ada. Begitupun sebaliknya, individu
yang cenderung memiliki kecerdasan mengatasi masalah yang
rendah akan berpengaruh negatif dalam menyikapinya dan
tentunya akan menjangkau kedalam aspek hidup yang lainnya.
Aspek yang terakhir adalah endurance atau daya tahan. Aspek ini

28
lihat Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 146-147.
29
Chao-Ying Shen, “The Relative Study of Gender Roles, and Job
Stress and Adversity Quotient,” The Journal of Global Business
Management Vol. 10 No. 1 (20014), 22.
30
The dimension Ownership explains the role of accountability.
Lihat Elizabeth Le Thi, Adversity Quotient In Predicting Job Performance
Viewed Through The Perspective Of The Big Five (Thesis University Of
Oslo, 2007), 17.
31
Lihat Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 158.
32
Venkatesh J, “Indian Banks: Bulding Resilience Through
Adversity Quotient in The Global Best HR Practices,” International
Journal of World Research Vol. 1 Issue VIII (2014), 56.

33
mempertanyakan dua hal yang saling berkaitan, berapa lama
kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan
itu akan berlangsung.33
Dari beberapa uraian tentang aspek-aspek adversity
quotient di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia tidak
akan terlepas dari beragam macam kesulitan dalam kehidupan,
tentunya diperlukan niat yang kuat, optimis dan tanggung jawab
untuk mengatasi setiap kesulitan yang ada. Dengan demikian,
betapa besarnya kesulitan dan permasalahan dalam hidup, tidak
akan menjadikan hal tersebut sebagai penghalang untuk meraih
kesuksesan dalam hidup, kesuksesan dunia dan akhirat.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient


Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient
menurut Stoltz meliputi kinerja, bakat dan kemauan, kecerdasan,
kesehatan, karakter, genetika, pendidikan dan keyakinan.34 Jika
semua faktor ini ada pada diri manusia, ketika ada badai kesulitan
yang menerpa, maka semua faktor ini tidak akan menjamin
seseorang untuk tetap tegak ketika badai kesulitan datang.35
Beberapa faktor yang mempengaruhi adversity quotient dapat
diilustrasikan dengan sebuah gambar pohon dibawah ini.36

33
Lihat Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 162.
34
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities, 30-34.
35
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities, 34
36
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities, 30.

34
Gambar 3
Pohon Kesuksesan

Gambar di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut:


Tanah Manusia (sebagai zat hara sebagai
faktor kunci)
Akar Genetika, Pendidikan dan Keyakinan
Batang Kecerdasan, Kesehatan dan Karakter
Cabang Bakat dan Kemauan
Daun Kinerja

Hal yang harus dicermati dalam gambar ini adalah faktor


kunci bagi kesuksesan dalam mengatasi pelbagai kesulitan, ujian
dan cobaan dalam hidup yaitu manusia.37 Menurut penulis,
pelbagai faktor yang diilustrasikan oleh Stoltz ekuivalen dengan
Psikologi Humanistik yang optimistik-kreatif-aktif. Hal ini
selaras dengan Baharuddin, bahwa menjadi persoalan jika
manusia menjadi satu-satunya dimensi yang menentukan sikap
manusia. Karena, ada dimensi lain yang berperan dalam
menentukan sikap manusia, dimensi ruh dan fitrah.38 Oleh karena
itu, pelbagai faktor tersebut idealnya yang menjadi zat hara
adalah keimanan. Dengan iman yang kuat, tulus, totalitas dan

37
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 40-48.
38
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen
Psikologi dari Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 295.

35
sadar manusia mampu mengoptimalkan pelbagai potensi yang
telah Tuhan anugerahkan, hal ini mengindikasikan adanya
hubungan yang sangat erat sekali antara Tuhan dengan manusia.
Kemudian, diketahui bahwa faktor genetik mempunyai
peran atau mempengaruhi kecerdasan intelektual seseorang39 dan
antara satu pribadi dengan pribadi lain berbeda karena ada
pengaruh dari faktor genetik.40 Menurut Bouchard, bahwa
kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik.41 Dengan
demikian, faktor genetik memberikan andil yang cukup signifik-
an dalam mempengaruhi kecerdasan seseorang. Begitupun juga
dengan pendidikan, menurut Tripathi bahwa faktor pendidikan
dapat mempengaruhi kecerdasan seseorang.42 Dengan demikian,
seluruh faktor yang mempengaruhi adversity quotient bersumber
pada manusia itu sendiri, yang diilustrasikan sebagai tanah (zat
hara).
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi adversity
quotient di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan
mengatasi masalah tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja,
namun dipengaruhi oleh pelbagai faktor. Dengan demikian,
integrasi antara satu faktor dengan faktor lain akan memberikan
satu kesatuan yang komprehensif pada manusia untuk mengatasi
setiap kesulitan yang ada. Kemudian, dari beberapa faktor yang
mempengaruhi adversity quotient yang telah dipaparkan di atas,
maka dalam penelitian ini penulis hanya menekankan pada faktor
keimanan. Karena dalam pandangan Stoltz, faktor keimanan
tidak menjamin seseorang untuk berdiri tegak ketika badai

39
Richard E. Nisbett,” Intelligence: New Finding and Theoretical
Developments,” American Psychologis Association Vol. 67 No. 2 (2012),
149.
40
Wendy Johnson, “Understanding the Genetics of Intelligence:
Can Height Help? Can Corn Oil?,” Current Directions in Psychological
Science 19 (2010), 181.
41
Thomas J. Bouchard, “ Genetic Influence on Human
Intelligence: How Much?,” Annals of Human Biology Vol.36 No. 5 (2009),
532.
42
Lihat Susan Tripathi, Use of Adversity Quotient in Creating
Stong Business Leaders of Tomorrow (Thesis to SNDT Women‟s
University Mumbai, 2011), 39.

36
kesulitan datang. Dengan demikian, secara tidak langsung Stoltz
mengenyampingkan faktor yang seharusnya menjadi dasar dari
semuanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient
memang sangat memberikan kontribusi yang baik, namun
menurut penulis, jika keimanan tidak dijadikan sebagai dasar dari
faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient maka
cenderung membuat manusia jauh dari Tuhan.
Faktor keimanan (religiusitas dan spiritualitas) akan
membuat individu merasa hidup lebih bermakna, hidup yang
memuaskan, bertujuan dan mampu menghadapi permasalahan
yang buruk dalam kehidupan.43 Masalah keimanan, tidak lepas
dari identitas agama seseorang, selama manusia hidup maka
agama tidak akan pernah hilang. Dengan demikian, keimanan
yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku keagamaan yang
disadari akan memberikan efek yang positif, kehidupan yang
bermakna dan mampu untuk menghadapi setiap permasalahan
dalam setiap waktu.44 Karena agama adalah fitrah, sebagai fitrah
dari manusia, maka fitrah tersebut dijalankan dengan kesadaran
dan diimani dengan kuat akan membawa kesehatan dalam
kehidupan seseorang.45 Oleh karena itulah, keimanan seseorang
akan sangat mempengaruhi jasmani, rohani dan juga dalam
menghadapi segala permasalahan dan kesulitan hidup.
Menurut Azad yang dikutip oleh Mohsen dan rekan-
rekannya, bahwa kurangnya keyakinan terhadap agama dan
keimanan akan menyebabkan atau mendukung permasalahan,
kesulitan, kecemasan dan ketidakbahagiaan pada manusia.46

43
Robert A. Emmons, “Striving for the Sacred: Personal Goals,
Life Meaning, and Religion,” Journal of Social Issues Vol. 61 No. 4
(2005), 742.
44
Michele Dillon and Paul Wink, Relgiousness and Spirituality:
Trajectories and Vital Involment in Late Adulthood . Edited by Michele
Dillon, Handbook of the Sociology of Religion (USA: Cambridge
University Press, 2003), 187.
45
Michael E. McCullough and Timothy B. Smith, Religion and
Health: Depressive Symptoms and Mortality as Case Studies, 203.
46
Mohsen Darbanyanand others, eds. “Investigating the
Relationship between Gratitude and Depression in Woman and Men,”

37
Menurut Sangkan, agama mempunyai dasar yang sangat
sempurna meliputi Islam, Iman, dan Ihsan.47 Keimanan atau
kepercayaan merupakan satu konsep sangat dasar yang menjadi
padanan dalam setiap aspek kehidupan Muslim, dengan dasar
tersebut seyogyanyalah setiap individu senantiasa tidak
menyekutukan Tuhan.48 Setiap kesulitan datang pastinya se-
seorang akan mengalami kegelisahan, kecemasan, ketakutan dan
frustasi. Dengan keadaan seperti itu, seseorang cenderung akan
meminta pertolongan kepada Dzat yang lebih kuat sebagai
tempat bersandar yang paling kokoh, realitas sejati. Untuk itulah
kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa tidak bisa dilepaskan
dalam setiap aspek kehidupan.
Keimanan kepada Tuhan akan dimanifestasikan dalam
ritual-ritual yang diyakininya, karena dengan mengadakan ritual
tersebut akan memberikan stimulus dan respon yang baik dalam
kesulitan yang sedang dihadapi. Tentunya, rasa keberagamaan ini
tidak terlepas dari seberapa jauh individu ini mengaktualisasikan
nilai-nilai ajaran yang diyakininya dalam kehidupan sehari-hari,
jika ritual-ritual keagamaan selalu dijalankan tanpa adanya
pemaknaan secara ritual formal, maka agama tidak menjamin
kesulitannya akan diringankan lebih-lebih dihilangkan.49
Keberagamaan yang disadari dengan baik akan memberi-
kan dampak yang baik pula untuk mengatasi setiap kesulitan,
dalam arti agama tidak hanya dipandang sebagai fungsional
belaka.50 Dalam hal kecerdasan, keagamaan atau keimanan tidak
mendapatkan tempat yang laik dalam kajian ilmiah. Hal ini bisa

International Journal of Psychology and Behavioral Research Vol. 1 No. 2


(2014), 632.
47
Abu Sangkan, Berguru Kepada Tuhan: Menghidupkan
Kecerdasan Emosional dan Spritual, 54.
48
Nur Farhana Abdul Rahman, “Pemahaman Konsep Tauhid Asas
Keharmonian Kepelbagaian Agama,” International Journal of Islamic
Thought Vol. 1 (2012), 34-35.
49
Rusdin, “Problem Insider dan Outsider dalam Studi Agama
Perspektif Russel T. McCutcheon,” Jurnal Studia Islamika Vol. 9 No. 2
(2012), 192.
50
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), 81-81.

38
diidentifikasi dari kecerdasan spiritual. Menurut Zohar dan
Marshall, SQ has no necessary connection to religion. For some
people, SQ may find a mode of expression through formal
religion, but being religious doesn‟t guarantee high SQ.51 Hal ini
lah yang dinilai oleh Mujib, bahwa kecerdasan beragama atau
bertuhan perlu ditambahkan karena dalam spirituality psikologi
Barat kontemporer tidak mesti mengandung konotasi agama.52
Hal ini senada dengan Samudra, bahwa hakikat kecerdasan
manusia adalah individu atau seseorang yang mampu mengguna-
kan akalnya untuk mendekat dan mencari hidayah Tuhan.53
Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa
faktor keimanan sangat vital peranannya dalam mengarungi
kehidupan. Dengan keimanan seseorang akan mampu menjaga
eksistensinya, optimis dalam menjalankan kehidupan, sabar
ketika pelbagai cobaan dan musibah datang, menjalin hubungan
yang baik dengan Tuhan, sesama manusia, binatang, alam
semesta dan secara terus-menerus memperbaiki kualitas pribadi
secara holistik.

4. Pengukuran Adversity Quotient


Beberapa peneliti pada umumnya menggunakan
pengukuran adversity quotient yang mengadobsi sekaligus
mengadaptasi dari teori Stoltz, namun ada juga beberapa peneliti
yang mencoba untuk mengembangkan sesuai dengan keadaan
subyek penelitian. Oleh karena itu, dibawah ini penulis
mendeskripsikan beberapa alat pengukuran adversity quotient

51
Danah Zohar and Ian Marshall, Spritual Intelligence: The
Ultimate Intelligence (London: Bloomsbury Publishing Plc, 2000), 8-9.
52
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi
Islam, 325. Menurut Hendrawan, antara kecerdasan spiritual dengan
kecerdasan profetik haruslah dibedakan. Karena kecerdasan profetik
sebenarnya adalah kecerdasan spiritual plus (SQ+), kata plus ini merujuk
kepada agama yang benar. Sanerya Hendrawan, Spritual Management:
From Personal Enlightenment Toward God Corporate Governance
(Bandung: Mizan, cet I, 2009), 170.
53
Baca Azhari Aziz, Setia Budi. Hakekat Akal Jasmani dan
Rohani: Menguak Fenomena yang tak Terpecahkan Selama 14 Abad.
Bagian 1 (Bekasi: Yayasan Majelis Ta‟lim HDH, 2004), 114.

39
yang telah digunakan oleh beberapa peneliti. Selanjutnya penulis
akan memilih salah satu pengukuran yang dianggap sudah baku
dan telah memiliki validitas yang tinggi serta laik untuk diguna-
kan dalam penelitian.
Pertama, dalam penelitian Alfiadiningrum, alat ukur
adversity quotient dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan
dimensi adversity quotient (control, origin dan ownership, reach,
endurance (CO2RE), kemudian dilakukan dua kali uji coba di
rumah sakit yang berlainan. Setelah diuji coba, skala adversity
quotient yang terdiri dari 44 item terdapat 41 item yang valid dan
3 item yang gugur. Item adversity quotient yang valid memiliki
koefisien validitas 0,291-0,781 dengan tingkat signifikan 0,000-
0,040 dan memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,950.54
Kedua, penelitian dari Mark W. Williams tentang
hubungan antara respon kesulitan dengan prestasi siswa.
Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara adversity
quotient dengan prestasi siswa di sekolah dan kontrol guru
terhadap murid-murid yang mempengaruhi prestasi siswa. Alat
ukur adversity quotient yang digunakan dalam penelitian ini
berupa ARP (Adversity Response Profile) dengan model skala
likert. Jumlah pertanyaan dalam alat ukur ini berjumlah 60
dengan nilai alpa cronbach: control = 0.77, ownership = 0.78,
reach = 0.83, endurence = 0.86 dan AQ = 0.86.55
Ketiga, penelitian dari Puspitasari yang mengukur
adversity quotient menggunakan skala Likert berdasarkan empat
aspek yang dikemukakan oleh Stoltz (control, origin dan
ownership, reach, endurance (CO2RE). Dari keempat aspek
tersebut, setiap aspek akan memiliki skor tinggi dan rendah
sesuai dengan respon yang diberikan subjek penelitian. Setelah
dilakukan uji coba validitas, maka skala adversity quotient yang

54
Diyah Arfidianingrumand others, eds. “Hubungan antara
Adversity Quotient dengan Work-Family Conflict Pada Ibu yang Bekerja
Sebagai Perawat,” Developmental and Clinical Psychology Vol.2 No.2
(2013), 16.
55
Lihat Mark W. Williams, The Relationship Between Principal
Response to Adversity and Student Achievement (Dissertation The Cardinal
Stritch University, 2003).

40
terdiri dari 30 item, sebanyak 21 item yang valid dan sebanyak 9
item yang tidak valid. Dengan demikian, pengukuran adversity
quotient hanya 21 item saja yang bisa digunakan dalam penelitian
ini. Kemudian, berdasarkan uji reliabilitas ditemukan dari
keseluruhan indikator sebesar 0,842, sehingga skala memiliki
kehandalan yang cukup tinggi.56
Keempat, pengukuran adversitiy quotient dari Grandy
yang meneliti tentang hubungan adversity quotient dengan
meninggalkan pekerjaan. Dalam penelitian ini Grandy
menggunakan pengukuran berdasarkan aspek-aspek adversity
quotient (Adversity Response Profile, ARP) meliputi control
dengan nilai alpha cronbach 0.82, ownership dengan nilai alpha
cronbach 0.83, reach dengan nilai alpha cronbach 0.84 dan
endurance dengan nilai alpha cronbach 0.80.57
Dari keempat alat ukur adversity quotient di atas, dalam
penelitian ini penulis akan mengadaptasi alat ukur adversity
quotient versi Mark W. Williams dari bahasa Inggris ke
Indonesia, penulis juga menggunakan semua item pernyataan alat
ukur (Adversity Response Profile, ARP) dalam penelitian Mark
W. Williams yang berjumlah 60.58 Menurut penulis, alat ukur ini
memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang tinggi dan tentunya
mengukur respon setiap individu terhadap kesulitan, sehingga
laik untuk dijadikan alat ukur adversity quotient dalam penelitian
ini.
Alat ukur adversity quotient yang penulis adaptasi dari
Mark W. Williams berupa bahasa Inggris yang nantinya akan
diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, karena disesuaikan dengan
subjek penelitian.59 Dengan demikian, alat ukur adversity
quotient laik untuk digunakan dalam penelitian ini.
56
Ratna Tri Puspitasari, “Adversity Quotient dengan Kecemasan
Mengerjakan Skripsi Pada Mahasiswa,” Jurnal Online Psikologi Vol. 01
No.02 (2013), 305.
57
Jerilee Grandy, Psychometric Properties and Analysis of the AQ
Profile Online Version 8.1. 6.
58
Mark W. Williams, The Relationship Between Principal
Response to Adversity and Student Achievement, 118.
59
Alih bahasa alat ukur adversity quotient telah dikonsultasikan
kepada Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA. Kemudian, untuk

41
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Agama menjadi titik sentral dalam kehidupan manusia.
Segala ajaran yang terkandung di dalamnya membawa kebaikan
bagi seluruh manusia. Idealnya, nilai-nilai agama itu menjadikan
tolak ukur untuk merespon, merasa dan bertindak dalam
menyikapi pelbagai situasi dalam proses kehidupan. Oleh karena
itu, manusia yang dianugerahkan Tuhan pelbagai potensi
sekaligus menjadi mandataris Tuhan di Bumi, seharusnya mampu
menginternalisasi nilai-nilai agama ke dalam jiwa secara sadar
dan mampu memberikan efek positif serta memantul dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini senada dengan Deradjat, bahwa
agama dirasakan dengan hati, pikiran dan dilaksanakan dalam
tindakan serta memantul dalam sikap dan cara menghadapi
hidup.60
Manusia yang menjalankan agama secara sadar dalam
kehidupan sehari-hari adalah manusia yang taat dan tunduk
sepenuhnya terhadap Tuhan. Taat dan tunduk kepada Tuhan
diartikan sebagai kemampuan manusia untuk menjalankan
pelbagai perintah dan menjauhi segala larangan secara sadar
(tanpa paksaan), karena akal dan hati tidak akan pernah berselisih
dengan hukum-hukum Tuhan. Sehingga, dalam memahami dan
menjalankan segala ajaran Tuhan, manusia harus tunduk dan taat
sepenuhnya dan mampu merealisasikan kehendak Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari. Menginternalisasikan pelbagai ajaran
agama ke dalam jiwa secara sadar dan mampu merealisasikannya
dalam kehidupan nyata, mengindikasikan manusia itu memiliki
tingkat religiusitas yang baik. Bagaimana seseorang memahami
dan menjalankan pelbagai perintah Tuhan secara sadar, idealnya
memberikan kontribusi yang positif, baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain. Oleh karena itulah, religiusitas pada
dasarnya berasal dari akar kata agama.

pemeriksaan konten alat ukur adversity quotient telah dikonsultasikan


kepada Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si.
60
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
II, 1972), 11.

42
Dalam perspektif Islam, agama adalah ٍ‫ دي‬yang berarti
tunduk, taat, perhitungan, balasan dan karena agama manusia
bersikap tunduk dan taat. Dengan kata lain, agama ditandai oleh
penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan.61 Hal senada juga
disampaikan oleh Hamka, bahwa ٍ‫ دي‬adalah tunduk dan balasan.
Dalam operasionalnya, agama adalah perintah yang dibebankan
oleh shara‟ kepada manusia yang telah baligh (mukallaf).62
Dengan demikian, agama pada dasarnya memberikan pengaruh
yang positif dalam kehidupan manusia, dengan beragama,
manusia secara sadar mampu bersikap tunduk, pasrah dan taat
sepenuhnya kepada Tuhan tanpa adanya paksaan-merespon,
merasakan dan bersikap secara cerdas terhadap segala apa yang
Tuhan perintahkan yang pada akhirnya mampu merasakan
pelbagai kebahagiaan, ketenangan, ketentraman sekaligus
kesuksesan dalam hidup.
Pada dasarnya, manusia tidak bisa lepas dari campur
tangan Tuhan. Bagaimana manusia hidup, bernapas, berjalan,
berpikir, merespon dan bertindak adalah salah satu faktor dari
campur tangan Tuhan. Oleh karena itu, campur tangan atau
ikatan terhadap Tuhan merupakan hal mendasar dalam kehidupan
sehari-hari terutama dalam menjalankan agama. Hal inilah yang
mengindikasikan bahwa agama mengandung makna ikatan,
tunduk dan patuh terhadap suatu kekuatan yang lebih tinggi dari
manusia, yaitu satu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap
dengan pancaindra, Tuhan.63
Ajaran yang terkandung di dalam agama mengindikasi-
kan keterikatan manusia terhadap Tuhan. Keterikatan dalam arti
ada beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan, karena jika
61
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur‟an, Volume, 2 (Jakarta: Lentera Hati, Cet. V, 2011), 48.
62
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 3 (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1982), 130.
63
Untuk itulah kata liya‟budu>n lebih tepat diartikan dengan kata
tunduk dan patuh. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Pelbagai
Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), 2-33. Bandingkan
juga kata liya’budu>n dari Ulil Abshar-Abdallah dalam pengantar Ijtihad
Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yang Dinamis (Jakarta:
Jaringan Islam Liberal, 2005).

43
dilakukan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan
manusia. Oleh karena itulah, agama dalam perspektif Eropa kata
agama atau religion berakar dari asal kata religare, mengikat (to
bind fast).64 Mengikat para pemeluknya untuk berhati-hati dalam
menjalankan kehidupan agar mampu melahirkan energi yang
positif dan sudah barang tentu dalam merespon, merasa dan
bertindak idealnya mengacu pada aturan-aturan agama. Pelbagai
aturan agama, terkhususnya Islam, yang menyangkut beragam
aspek kehidupan berimplikasi pada respon dan perilaku manusia
untuk menghadapi beragam fenomena kehidupan. Menjalankan
perintah Tuhan seperti, salat, haji, zakat dan lain sebagainya pada
dasarnya mengisyaratkan akan keterikatan manusia terhadap
Tuhan, dengan menjalankan segala perintah tersebut dan juga
meninggalkan pelbagai bentuk larangan yang disertai dengan
kesadaran tinggi mengindikasikan keterikatan manusia dan di
saat yang sama manusia juga memiliki kebebasan untuk
merespon dan bertindak sesuai dengan kadar pengetahuan setiap
individu.
Pada dasarnya, dengan beragama seseorang sedang
mencari jalan yang mampu memberikan kebahagiaan, ketenang-
an dan ketentraman. Sehingga dalam menyikapi pelbagai proses
kehidupan, agama mampu memberikan pengaruh yang positif.
Hal ini senada dengan Pargament, agama adalah as a process, a
search for significance in ways related to the sacred.65 Jalan yang
suci, atau jalan yang mampu memberikan petunjuk untuk
mendapatkan ketenangan jiwa. Sebuah proses panjang yang
harus dilakukan manusia jika ingin mendapatkan kebahagiaan
yang sebenarnya. Sehingga, dalam kajian teoritis, agama
cenderung sulit untuk didefinisikan karena kecenderungan akan
pengaruh dari subjektivitas dan keyakinan sosial. Namun yang
pasti, agama tidak terlepas dari sistem kepercayaan terhadap
Tuhan dan melaksanakan pelbagai praktik-praktik ibadah,

64
William L. Reese, Dictiniory of Philosophy and Religion: Estern
and Western thought (USA: Humanity Books, 1999), 647.
65
Kenneth I. Pargament, The Psychology of Religion and Coping
(New York: Guilford Press, 1997), 32.

44
religion is an organized system of beliefs, practices, and ritual of
a community.66
Manusia tidak hanya sekedar percaya kepada Tuhan dan
melakukan pelbagai ritual ibadah. Tapi bagaimana kepercayaan
kepada Tuhan dan rangkaian ritual tersebut mampu direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari dan dilakukan secara sadar serta
membekas dalam jiwa manusia. Untuk itulah, keseimbangan
dalam berkomunikasi antara Tuhan dengan realitas sosial harus
dijaga. Hal ini senada dengan pernyataan Hidayat, bahwa
religiusitas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap
hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang
diyakininya.67 Dengan demikian, kesadaran dalam menjalankan
segala perintah Tuhan dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari adalah kunci utama bagi manusia untuk merasakan hidup
yang sesungguhnya, kesadaran yang tinggi.
Kesadaran merupakan hal yang sangat penting dalam
setiap aspek kehidupan manusia. Sadar terhadap tanggungjawab,
sadar terhadap kesalahan yang dilakukan, sadar terhadap tujuan
hidup dan pelbagai bentuk sadar lainnya yang mengindikasikan
kesadaran yang membawa kebaikan. Begitu juga dengan nilai-
nilai yang terkandung di dalam ajaran agama, idealnya harus
direspon dan dilakukan secara sadar. Asumsi dasarnya adalah,
manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai
yang terkandung di dalam ajaran agama, mampu menjalani
proses kehidupan dengan baik, tentram, damai bahagia dan
sukses dunia akhirat. Senada dengan Ancok, bahwa religiusitas
bukan sekedar terjadi ketika melaksanakan praktik ritual saja,
atau hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak saja, namun
juga dari segi aktivitas-aktivitas lain yang didorong oleh

66
Haroldf G. Koenig, Faith and Mental Health: Religious
Resources For Healing (London: Templeton Foundation Press, 2005), 44.
67
Komaruddin Hidayat, The Wisdom Of Life: Menjawab
Kegelisahan Hidup dan Agama (Jakarta: Kompas, 2008), 3-4.

45
kekuatan supranatural serta berkaitan dengan aktivitas yang tidak
tampak.68
Mengaktualisasikan pelbagai nilai-nilai agama secara
sadar baik itu yang bersifat tampak atau yang tidak tampak pada
dasarnya berpotensi untuk meraih kehidupan yang baik. Karena,
mengaktualisasikan pelbagai nilai agama dengan baik akan
mendapatkan pengaruh yang positif, pahala dan surga, begitupun
dengan sebaliknya.69 Senada dengan Gregory dan kawan-kawan,
bahwa individu yang memiliki religiusitas yang tinggi akan
berkorelasi dengan kesehatan fisik dan menurunkan tingkat
bunuh diri.70 Kesehatan fisik dan menurunkan tingkat bunuh diri
pada manusia merupakan bagian kecil dari manfaat yang belum
terlihat. Dengan meningkatkan religiusitas, potensi untuk men-
dapatkan manfaat yang jauh lebih bermakna dan mampu
memberikan rasa ketenangan dan kedamaian dalam hidup.
Kecenderungan manusia yang hanya ingin beribadah tanpa me-
ngamal-kan subtansi nilai yang terkandung di dalamnya
cenderung lebih banyak jika dibandingkan dengan manusia yang
memiliki kesadaran untuk beribadah secara totalitas, yakni
mampu merealisasikan subtansi nilai-nilai yang terkandung di
dalam pelbagai ritual ibadah. Sehingga, keseimbangan untuk
beribadah dan merealisasikan pelbagai kehendak Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan baik.
Salah satu indikasi bahwa seseorang itu mampu me-
nyeimbangkan antara ritual-ritual ibadah yang dilakukan dengan
pengamalan subtansi agama adalah memiliki pandangan yang
optimis dan positif terhadap hidup serta memiliki rasa kepuasan
dalam menjalani kehidupan. Hal ini senada dengan hasil peneliti-
an dari Gull dan Dawood, bahwa religiusitas positif meramalkan
68
Djamaludin Ancok, Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami:
Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. VII, 2008), 76.
69
Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 200), 1.
70
Gregory S. Paul and others, eds. “Cros-National Correlations of
Quantifiable Societal Health with Popular Religiosity and Secularism in the
Prosperous Democracies,” Journal of Religion and Society Vol. 7 (2005),
3.

46
akan kepuasan dalam hidup seseorang.71 Sikap taat dan tunduk
sepenuhnya kepada Tuhan serta mampu merealisasikan pelbagai
kehendak Tuhan dalam kehidupan, yang itu semua mampu
menghantarkan manusia ke dejarat yang tinggi dan lebih baik
daripada manusia yang memiliki kecenderungan kurang me-
mahami pelbagai kehendak Tuhan. Cenderung kurang memahami
pelbagai kehendak Tuhan merupakan fenomena yang sangat
banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, ritual
salat dan zakat serta ibadah haji yang pada hakikatnya mampu
berkontribusi positif bagi manusia dan masyarakat sekitar namun,
karena memiliki kecenderungan kurang memahami kehendak
Tuhan yang sesungguhnya, maka ritual-ritual tersebut sejatinya
cenderung tidak memberikan manfaat secara holistik. Fenomena
ini yang seharusnya dicermati dengan baik, agar tidak memberi-
kan kesan negatif terhadap manusia yang melakukan ritual-ritaul
ibadah.
Menurut Hernandez, religiusitas adalah sebagai keyakin-
an dan praktik yang terkait dengan suatu ikatan keagamaan atau
kepada Tuhan.72 Suatu ikatan dan keyakinan serta melakukan
praktik-praktik ibadah pada umumnya banyak dilakukan oleh
manusia. Namun tidak sedikit, manusia yang melakukan pelbagai
ritual tersebut kurang mampu merealisasikannya dalam ke-
hidupan bermasyarakat. Salat yang sejatinya mencegah dari
perbuatan jahat tidak memberikan efek yang positif, puasa yang
sejatinya mengajarkan hidup untuk sederhana, saling menghargai
dan membantu sesama kurang memberikan daya positif dalam
kehidupan. Segala ritual ibadah cenderung dilakukan hanya
untuk menggugurkan kewajiban, tidak lebih. Padahal, religiusitas
bound up with attitudes, behavior and values.73 Senada dengan
71
Fouzia Gull and Saima Dawood, “Religiosity and Subjective
Well-Being amongst Institutionalized Elderly in Pakistan,” Health
Promotion Perspective Vol. 3 No. 1 (2013), 128.
72
Brittany C. Hernandez, The Religiosity and Spirituality Scale
For Youth: Development and Initial Validation (Dissertation the Lousiana
State University, 2011), 2.
73
Siobhan McAndrew and David Voas, Measuring Religiosity
Using Surveys (University of Manchester, 2011), 2. Accesed 13 November
2014

47
Shafranske, bahwa religiusitas berarti kepatuhan seseorang
terhadap praktik-praktik keagamaan dan keyakinannya.74 Oleh
karena itu, manusia yang memiliki religiusitas tinggi cenderung
berupaya untuk taat, tunduk, percaya, melakukan pelbagai ritual
ibadah secara sadar dan mampu merealisasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Sehingga nilai-nilai yang terkandung
di dalam setiap ajaran agama, khususnya Islam mampu ber-
kontribusi secara positif
Menurut Koenig, religiusitas merupakan salah satu
bagian kesehatan secara sosial dan mampu meningkatkan
stabilitas kejiwaan.75 Dengan merealisasikan pelbagai subtansi
ajaran yang terkandung di dalam agama diharapkan mampu
memberikan kontribusi yang positif seperti yang diungkapkan
oleh Koenig. Dengan demikian, nilai-nilai agama (baca Islam)
pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum alam dan
hukum kemanusiaan dan memiliki kecenderungan nilai-nilai
yang universal bagi seluruh umat manusia.
Manusia yang memiliki religiusitas baik cenderung
mampu memahami ajaran agama secara komprehensif. Dengan
memahami ajaran Islam secara komprehensif, manusia cenderung
bersikap optimis, bahagia, damai, tentram, berpikir secara logis,
mengoptimalkan pelbagai potensi dan beberapa hal yang lainnya.
Jika dibandingkan dengan religiusitas keadaan yang sekarang
dengan religiusitas pada era Rasulullah, tentu memiliki per-
bedaan yang signifikan. Religiusitas juga dapat diartikan sebagai
keyakinan seseorang terhadap Tuhannya, yang ditandai dengan

melalui:
http://surveynet.ac.uk/sqb/topics/religion/sqb_religion_mcandrew_voas.pdf
74
Petruta Paraschiva and Maria Nicoleta, “Ways of Approaching
Religiosity in Psychological Research,” The Journal of International Social
Research Vol. 4 Issue: 18, (2011), 354.
75
Magid Kagimu and others, eds. “Religiosity for Promotion of
Behaviors Likely to Reduce New HIV Infections in Uganda: A Study
Among Muslim Youth in Wakiso District,” Journal of Religion and Health
Vol. 48 No. 1 (2009).

48
kesalehan dan semangat keagamaan, religious zeal.76 Dalam
konteks Islam, keyakinan terhadap Tuhan didasari pada keyakin-
an dan praktik keagamaan, seperti bersabar dalam setiap kesulit-
an, ujian dan cobaan dalam hidup, melaksanakan salat lima
waktu dan memohon bantuan serta bimbingan kepada Tuhan.77
Rasa keberagamaan (religiusitas) pada dasarnya berkaitan
erat dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti
pengaruh hereditas dan lingkungan. Dengan adanya pengaruh
tersebut, individu cenderung memberikan respon yang berlebihan
tanpa adanya daya kritis yang mengkristal dalam jiwanya. Dalam
arti, keagamaan yang dipengaruhi oleh faktor hereditas maupun
lingkungan pada dasarnya hanya sebagian menyumbang dalam
tataran kehidupan Hal ini dikarenakan bahwa keagamaan itu pada
dasarnya adalah fitrah dasar manusia, yang menurut Sangkan, ruh
manusia itu sendiri yang merupakan agama, sebab ruh manusia
secara apriori telah mendapatkan amar suci.78 Sedangkan
menurut Najar, beragama merupakan bagian dari fitrah yang
mempunyai beragam macam bentuk, kuat dan lemah. Dalam arti,
hal ini tidak terlepas dari pengaruh faktor pertumbuhan, keadaan
psikis, sosial, ekonomi dan lingkungan.79
Religiusitas yang ada pada setiap pribadi pada dasarnya
suatu manifestasi dari keyakinan yang idealnya harus diaplikasi-
kan dalam setiap tataran kehidupan, baik itu pada tataran politik,
ekonomi, budaya maupun lingkungan sosial. Hal ini tidak
terlepas bahwa setiap manusia dilahirkan berbekal fitrah
keagamaan yang meliputi mengenal Tuhan dan mengesakan-

76
Muhammad Syukri Salleh, “Religiosity in Development: A
Theoretical Construct of an Islamic-Based Development,” International
Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 14 (2012), 266.
77
Ashraf Al-Hadethe, “Cross-Cultural Validation and
Psychometric Propertiesof the Arabic Brief Religious Coping Scale (A-
BRCS),” Journal of religion and Health Vol. 53. No. 5 (2014).
78
Abu Sangkan, Berguru kepada Tuhan: Menghidupkan
Kecerdasan Emosional dan Spiritual (Jakarta: Yayasan Bukit Thursina,
Cet. II, 2003), 14. Lihat juga al-Qur’a>n s. al-Isra>/17:85.
79
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik: dalam Kehidupan Modern,
terj. Ija Suntana, Judul Asli, at-Tas}awwuf an-Nafsi (Jakarta: Hikmah, Cet.
I, 2004), 137.

49
Nya.80 Dengan demikian, fitrah keagamaan tersebut jika di-
optimalkan dengan baik serta dilandasi dengan penuh kesadaran,
maka akan lahir niat dan perilaku yang tidak keluar dari fitrah itu
sendiri serta ada perasaan gembira dalam jiwa.81 Menurut Salleh,
terlepas dari agama, memahami religiusitas serta mengukurnya
merupakan tugas yang kompleks, karena religiusitas tidak hanya
multi-dimensi namun juga multi-facted.82
Topik antara religiusitas dan spiritualitas saat ini menjadi
hal yang menarik bagi kajian Psikologi, hal ini terlihat banyaknya
penelitian-penelitian yang dikaitkan antara religiusitas dan
spiritualitas. Terbukti mulai tahun 2008 APA (American
Psychological Association) mempublikasikan jurnal Psychology
of Religion and Spirituality.83 Hal ini juga bisa dilihat pada tahun
2001 hampir 1.200 yang telah meneliti hubungan agama dengan
kesehatan, kemudian 10 tahun terakhir lebih dari 2.000 studi
kuantitatif tambahan yang telah diterbitkan.84 Namun demikian,
ada beberapa perdebatan seputar religiusitas dan spiritualitas.
Menurut Purwakania, spiritualitas merupakan kesadaran
terhadap pribadinya tentang asal, tujuan dan nasib. Sedangkan
religiusitas merupakan serangkaian praktik ibadah tertentu yang
dikorelasikan dengan kepercayaan yang dianut.85 Menurut Hood,

80
Muhammad Utsman Najati, al-Qur‟an wa „Ilm an-Nafs (Beirut:
Da>r al-Shuru>q, Cet. V, 1992), 50-51. Lihat juga Muhammad Utsman
Najati, The Ultimate Psychology: Psikologi Sempurna ala Nabi Saw , trj.
Hedi Fajar, Judul Asli, Al-Hadits an-Nabawi wa ‘Ilm an-Nafs (Bandung:
Pustaka Hidayah, Cet. I, 2008), 30-31.
81
Religion is reality is joy in fellowship, warmth and belonging.
Lihat Benjamin Beit-HTuhanmi and Michael Argyle, The Psychology of
Religious Behaviour, Belief and Experience (London: Routledge, 1997), 1.
82
Muhammad Syukri Salleh, “Religiousity in Development: A
Theoretical Construct od an Islamic-Based Development, 269.
83
Hepi Wahyuningsi, “Validitas Konstruk Alat Ukur Spirituality
Orientation Inventory (SOI),” Jurnal Psikologi Vol.36 (2) (2009).
84
Lihat Harold G. Koenig and Arndt Bussing, “The Duke
University Religion Index (DUREL): A Five-Item Measure for Use in
Epidemological Studies,” Religions (2010), 79.
85
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami:
Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga
Pascakelahiran (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 294-295.

50
spiritualitas bersifat pribadi dan subjektif, sedangkan religiusitas
bagian dari spiritualitas, yang berarti bahwa keberagamaan selalu
melibatkan spiritualitas.86 Menurut Ellens, spritualitas adalah
pengalaman subjektif yang melahirkan perasaan yang kuat untuk
memaknai kehidupan.87 Kemudian McIntosh mendefinisikan
religiosity as participation in religious social structures and
spirituality as the subjective, individual, lived-out commitment to
spiritual or religious beliefs.88
Menurut Reich, ada empat identifikasi terhadap hubungan
antara religiusitas dengan spiritualitas. Kemungkinan pertama
adalah religiusitas dan spiritualitas merupakan sinonim. Kedua,
merupakan sub bagian dari istilah yang lain. Ketiga, religiusitas
dan spiritualitas merupakan hal yang berbeda. Keempat,
religiusitas dan spiritualitas adalah hal yang berbeda namun ada
overlaping antara keduanya.89 Terlepas dari itu semua, baik
religiusitas ataupun spiritualitas memiliki efek yang positif bagi
kesehatan mental dan tentu dalam kehidupan manusia.90

86
Ralph W. Hood, JR, The Psychology of Religion: An Empirical
Approach (New York: Guilford Press, 2009), 11.
87
Lihat Itai Ivtzan and others, eds. “Linking Religion and
Spirituality with Psychological Well-being: Examining Self-actualisation,
Meaning in Life, and Personal Growth Initiative,” Journal of Religion and
Health Vol. 48. No. 1 (2009).
88
Daniel N. McIntosh and others, eds. “The distinct roles of
Spirituality and Religiosity in Physical and Mental Health After Collective
Trauma” A National Longitudinal Study of Responses to The 9/11
Attacks,” Journal of Behavioral Medicine Vol. 34 Issue 6 (2011), 500.
89
They are separate domains, they are distinct but overlapping
domains, they are synonymous, one is a subdomain of the other. Lihat
Trevor Moodley, The Relationship Between Coping and Spiritual Well-
Being During Adolescence (ThesisUniversity of the Free State
Bloemfontein, 2008), 2. Lihat juga Hepi Wahyuningsi, “Validitas Konstruk
Alat Ukur Spirituality Orientation Inventory (SOI), 118.
90
Ellen Idler, “The Psychological and Physical Benefits of
Spiritual/Religious Practices,” Sprituality in Higher Education Newsletter
Vol. 4 Issue 2 (2008), 4. Lihat juga Margreet R. De Vries-Schot and others,
eds. “Mature Religiosity Scale: Validity of a New Questionnaire,”
European Journal of Mental Health 7 (2012), 58.

51
Dengan demikian, religiusitas dapat diartikan sebagai
internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam segala aspek kehidupan.
Keberagamaan bukan hanya sekedar melakukan praktik-praktik
ibadah saja, namun lebih didasari oleh kesadaran seseorang untuk
mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam setiap aktivitas sehari-
hari.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas


Beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas sudah
banyak dikaji oleh para ahli. Menurut Thouless, faktor-faktor
yang mempengaruhi keagamaan meliputi faktor sosial, faktor
pengalaman, faktor kebutuhan dan faktor intelektual.91 Kemudian
menurut Najar, bahwa keagamaan tidak terlepas dari pengaruh
faktor pertumbuhan, keadaan psikis, sosial, ekonomi dan
lingkungan.92 Menurut Mazida bahwa faktor yang melatar-
belakangi terjadinya religiusitas adalah bertemunya antara tradisi
keagamaan dengan perubahan sosial yang terjadi.93 Menurut
Arifn, religiusitas ditentukan oleh faktor internal dan faktor
eksternal.94 Faktor internal meliputi faktor hereditas, tingkat usia,
kepribadian dan kondisi kejiwaan. Sedangkan faktor eksternal
meliputi lingkungan keluarga, lingkungan institusional dan
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, penulis hanya me-
ngelompokkan dan menguraikan secara umum dari beberapa
faktor yang telah diterangkan.

91
Lihat Robert H. Thouless, An Introduction to The Psychology of
Religion (London: Cambridge University Press, Cet, I, 1971), 16-17.
92
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik: dalam Kehidupan Modern,
137.
93
Nur Mazidah, “Relijiusitas dan Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Industri” Jurnal Sosiologi Islam, Vo. 1, No. 1 (2011), 32.
94
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama (Bandung: Pustaka
Setia, Cet. 1, 2008), 78.

52
1. Faktor Hereditas
Dalam keberagamaan seseorang, faktor hereditas mampu
mempengaruhi kemampuan intelektual dan kepribadian.95 Dalam
pandangan Islam, faktor hereditas tercermin dalam Hadis:

“Menikahlah kalian dengan sumber yang baik, karena


sesungguhnya hal itu akan menurun kepada anak-
anaknya”.96

Jika suami istri memiliki kualitas keagamaan yang baik,


maka dapat dipastikan atau cenderung memiliki anak-anak yang
serupa dengan orangtuanya. Oleh karena itulah, sebelum me-
lanjutkan ke jenjang pernikahan Nabi Muhammad telah meng-
isyaratkan dalam sebuah Hadis bagaimana mencari kualitas
pendamping hidup.

‫يد َع ْن أَبِ ِيو َع ْن‬ٍ ‫ال ح َّدثَنِى س ِعي ُد بن أَبِى س ِع‬


َ ُْ َ
ِ ِ
َ َ َ‫َحدَّثَنَا ُم َس َّد ٌد َحدَّثَنَا يَ ْحيَى َع ْن عُبَ ْيد اللَّو ق‬
‫ال النَّبِ ِّى صلى اهلل عليو وسلم تُ ْن َك ُح ال َْم ْرأَةُ أل َْربَ ٍع لِ َمالِ َها َولِ َح َسبِ َها‬ َ َ‫أَبِى ُى َريْ َرةَ رضى اهلل عنو ق‬
97.
‫اك‬
َ ‫ت يَ َد‬ ِ ‫ولِجمالِها ولِ ِدينِها فَاظْ َفر بِ َذ‬
ْ َ‫ات الدِّي ِن تَ ِرب‬ ْ َ َ َ ََ َ

Artinya: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal,


yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia”.

Faktor hereditas mampu mempengaruhi kemampuan


intelektual seseorang dalam berfikir, bersikap atau berperilaku
akan melahirkan kepribadian yang mampu membedakan hal yang
95
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami,
47.
96
H.R. Muslim.
Lihat Ah{mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>: al-
97

Juz al-Ta>si’ (al-Qa>irah: Da>r al-Mat}ba’ah al-Salafiyah, al-T}ab’ah al-


Tha>lithah, 1407 Hijriyah), 35. Lihat juga dalam al-H>a>{ >fiz} al-Mundhiri,
Mukhtas}ar S{ahi>h} Muslim, ditah}qi>q oleh Muhammad Na>s}ir al-Di>n al-Ba>ni>
(Kuwait: Wiza>rah al-Awqa>f wa al-Shuu>n al-Isla>miyah al-Tura>th al-Isla>mi>,
al-T}ab’ah al-Tha>lithah, 1979), 207.

53
buruk dan hal yang baik. Hal ini senada dengan Thouless, bahwa
faktor intelektual merupakan keberhasilan manusia yang
diharapkan mampu mempengaruhi sikap keagamaannya.98 Faktor
hereditas ini sangatlah penting bagi tumbuh dan kembangnya
keberagamaan pada anak, orangtua sebagai guru pertama akan
memberikan nilai-nilai yang baik tentang nilai-nilai agama yang
dianutnya. Begitupun sebaliknya, jika orangtua bersikap apatis
terhadap tumbuh dan kembangnya nilai-nilai keberagamaan pada
anaknya, maka anak tersebut cenderung menampilkan perilaku-
perilaku yang tidak baik pada proses perkembangan selanjutnya.
Menurut Bradshaw, dalam penelitiannya mengenai faktor genetik
yang mempengaruhi religiusitas, bahwa setiap bagian dari
delapan faktor tentang religiusitas dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan.99

2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan dalam membentuk keberagamaan
seseorang sangat cukup mempengaruhi, jika seseorang tinggal
ditempat yang suasananya kurang baik, maka individu tersebut
cenderung akan terpengaruh, demikian pun juga dengan suasana
ataupun lingkungan yang baik akan memberikan dampak positif
bagi individu.

‫ قال رسول هللا صلّى هللا‬: ‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه انه كان يقول‬
‫ مامن مولود إال يولد على الفطرة فأبواه يهوّ دانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه‬: ‫عليه وسلّم‬
100
‫كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسّون فيها من جدعاء‬

98
Robert H. Thouless, An Introduction to The Psychology of
Religion, 65.
99
Aspek-aspek religiusitas tersebut adalah; Organizational
involvement (Religious or spiritual service attendance), Personal
religiosity and spirituality (Childhood religiosity, Religion salience,
Spirituality, Daily guidance and coping), Conservative ideologies (Biblical
literalism, Exclusivist beliefs), Transformations and commitment (Born-
again/religious or spiritual commitment). Lihat Matt Bradshaw and
Christopher G. Ellison, “Do Genetic Factors Influence Religious Life?
Finding from a Behavior Genetic Analysis of Twin Siblings,” Journal for
the Scientific Study of Religion Vol. 45 Issue. 4 (2008), 540.
100
al-H>>{a>fiz} al-Mundhiri, Mukhtas}ar S{ahi>h} Muslim, 249.

54
Artinya: “Tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci,
orangtuanyalah yang membuat ia Yahudi, Nasrani, atau
Majusi. Seperti binatang yang lahir sempurna, adakah
engkau melihat mereka terluka pada saat lahir?”.

ِ ‫اعيل حدَّثَنا عب ُد الْو‬


َ َ‫اح ِد َحدَّثَنَا أَبُو بُ ْر َد َة بْ ُن َع ْب ِد اللَّ ِو ق‬ ِ ِ ِ
‫ت‬ُ ‫ال َس ِم ْع‬ َ ْ َ َ َ َ ‫وسى بْ ُن إ ْس َم‬ َ ‫َح َّدثَنى ُم‬
« - ‫ صلى اهلل عليو وسلم‬- ‫ول اللَّ ِو‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫ ق‬- ‫ رضى اهلل عنو‬- ‫وسى َع ْن أَبِ ِيو‬ َ ‫أَبَا بُ ْر َدةَ بْ َن أَبِى ُم‬
‫ك ِم ْن‬ َ ‫ الَ يَ ْع َد ُم‬، ‫َّاد‬ِ ‫ وكِي ِر الْحد‬، ‫ك‬ ِ ‫ب ال ِْمس‬ ِ ‫السوِء َكمثَ ِل ص‬
ِ ‫اح‬ ِ ِ‫ْجل‬ ِ َّ ‫يس‬ ِ ِ‫ْجل‬
َ َ ْ َ َ ْ َّ ‫يس‬ َ ‫الصال ِح َوال‬ َ ‫َمثَ ُل ال‬
ِ ِ ِ ‫ وكِير الْحد‬، ‫ أَو تَ ِج ُد ِريحو‬، ‫ك إِ َّما تَ ْشت ِر ِيو‬ ِ ‫ب ال ِْمس‬ِ ‫اح‬ِ‫ص‬
ً ‫ك أ َْو تَج ُد م ْنوُ ِر‬
‫يحا‬ َ َ‫ك أ َْو ثَ ْوب‬ َ َ‫َّاد يُ ْح ِر ُق بَ َدن‬ َ ُ َ َُ ْ َ ْ َ
101 ِ
.ً‫َخبيثَة‬

Artinya: “Persamaan teman yang baik dan teman yang


buruk seperti pedagang minyak kasturi dan peniup api
tukang besi. Pedagang minyak kasturi mungkin akan
member kepadamu, atau engkau membeli kepadanya,
atau setidaknya engkau dapat memperoleh bau yang
harum darinya. Sedangkan, peniup api tukang besi
mungkin akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu
akan mendapatkan bau yang tidak sedap dari padanya”.

Redaksi hadis di atas mengisyaratkan bahwa, faktor


lingkungan berkontribusi untuk mempengaruhi pola hidup
seseorang secara umum dan dalam mengaktualisasikan ke-
beragamaan khususnya. Namun demikian, hal yang perlu diingat
adalah bahwa, manusia diberikan potensi kebebasan. Jika
lingkungan cenderung kurang memberikan daya positif, maka
manusia berhak dan bebas untuk menghadapinya dengan baik-
merespon lingkungan yang kurang baik dengan cerdas, sehingga
mampu mengaktualisasikan diri dengan baik dan menjaga
eksistensinya sebagai hamba Tuhan yang taat.
Faktor lingkungan dalam mempengaruhi tingkat
keagamaan seseorang cenderung kuat, jika lingkungan tidak
mendukung untuk mengaktualisasikan diri dengan \baik, maka

101
Ah{mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, 379.

55
tingkat kegagalannya cenderung tinggi. Karena lingkungan akan
mempengaruhi seseorang tersebut, baik atau buruk.102

3. Faktor Individu
Manusia adalah makhluk yang unik, karena manusia bisa
menjadi subyek sekaligus sebagai obyek kajian, menurut Sri
Madhava yang dikutip oleh Darwis, pertanyaan selalu muncul
“what is man?” namun setiap jawaban tidak memberikan
jawaban secara tuntas “the question has been asked times and
again, but it is hard to find a comprehensive answer”.103 Begitu
juga dengan aliran-aliran psikologi seperti Psikoanalisa,
Behaviorisme dan Humanistik yang hanya menjadikan satu-
satunya dimensi yang berperan dalam jiwa manusia dan
menafikan dimensi al-Ru>h dan al-Fit}rah.104 Menurut Baharuddin,
al-Qur’an memberikan pandangan tentang manusia secara
komprehensif, meliputi aspek jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
Dalam konsep Psikologi Barat (Psikologi Fisiologi, Psikoanalisa,
Behaviorisme, Humanistik dan Psikologi Transpersonal) sama

102
Patty Van Cappellen and others, eds. “Beyond Mere
Compliance to Authoritative Figures: Religious Priming Increases
Conformity to Informational Influence Among Submissive People,” The
Internasional Journal for the Psychology of Religion 21 (2011), 102.
103
M. Darwis Hude, Emosi Manusia dalam al-Qur’an; Telaah
Melalui Pendekatan Psikologi (Disertasi UIN Syarif Hiadayatullah
Jakarta:2004), 1-2. Begitu juga pernyataan dari Carrel, Man is an
indivisible whole of extreme complexity. No simple representation of him
can be obtained. Alexis Carrel, Man The Unknown (Nobel Prize Winner,
Harper and Brothers, 1939).
104
Dalam hal ini, jika Psikologi Islami dibandingkan dengan
Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanistik, maka terdapat perbedaan
yang besar dan hanya sedikit persamaan. Oleh karena itu, Psikologi Islami
tidak menolak dan juga tidak membenarkan semua teori-teori tentang
konsep manusia. Lihat Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi
tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
cet. ke. II, 2007). Menurut Badri, Psikologi modern tidak selalu Barat,
dalam arti, sikap apatis terhadap teori Psikologi Barat tidaklah bijak,
karena di dalamnya terdapat permata yang perlu dibersihkan agar permata
tersebut lebih indah. Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim
Psychologists (London: MWH London Publishers, 1979), 72-73.

56
sekali tidak menyentuh aspek ruhaniah. Sebagai contoh, aspek
spiritual dalam pandangan Psikologi Transpersonal tidak
mengenal akan aspek ketuhanan karena Psikologi Transpersonal
bersifat subjektif-transendental. Lain halnya dengan Psikologi
Islami yang bersifat subjektif-objektif-transenden, dalam hal ini
Psikologi Islami ada dimensi Tuhan sebagai pengejawantahan
hubungan antara manusia-alam-Tuhan.105
Dalam perspektif Psikologi Islam, manusia dilihat dari
tiga sudut, al-jasad, al-ru>h, al-nafs. Walaupun pada dasarnya
ketiga dimensi ini berlawanan, namun pada prinsipnya saling
membutuhkan.106 Sementara menurut Purwanto, manusia pada
dasarnya benda yang memiliki karakter jasadi yang kemudian
ditiupkan al-ru>h sesuai kehendak Tuhan.107 Kemudian, menurut
Shaleh manusia itu terdiri dari penggabungan atas sifat material
dan immaterial. Sifat material hanya terdiri dari sistem yang
sudah teratur di saat yang sama membawa potensi hawa. Sedang-
kan sifat immaterial menjadikannya dinamis, namun tidak bisa
mengaktualkan potensi dinamisnya tersebut. Oleh karena itu,
agar kedua sifat ini membentuk kesatuan yang harmonis, maka
dibutuhkan semacam energi atau daya hidup: ru>h}, ri>h}, rauh},
rayh}an, rah}a.108
Manusia tidak hanya sekedar mengandung seluruh unsur
alam semesta (mikrokosmos), namun juga terkandung unsur
spiritual.109 Oleh karena itu, manusia dalam kedudukannya

105
Aspek Jismiah meliputi organ tubuh dan biologis manusia
beserta segala perangkatnya (bersifat determenistik dan mekanistik). Aspek
nafsiah meliputi al-Nafs, al-„Aql, dan al-Qalb. Sedangkan aspek ruhaniah
meliputi al-Ruh dan al-Fitrah. lihat Baharuddin, Aktualisasi Psikologi
Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 57-88.
106
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007), 56-57.
107
Yadi Purwanto, Psikologi Kepribadian: Intergrasi Nafsiyah dan
„Aqliyah Perspektif Psikologi Islami (Bandung: PT Refika Aditama, Cet. II,
2011), 59-60.
108
Abdul Rahman Shaleh, Psikologi: Suatu Pengantar dalam
Perspektif Psikologi Islam (Jakarta: Kencana, Cet. 3, 2008), 57.
109
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, Cet. II, 2005), 48.

57
dengan makhluk-makhluk lain mempunyai perbedaan yang
sangat signifikan.110 Dengan demikian, manusia tidak hanya
sebatas memberikan respon terhadap stimulus dari lingkungan
seperti binatang111 namun manusia juga memiliki beberapa
potensi untuk tetap menjaga eksistensinya di jagad raya ini,
seperti anugerah berupa akal, hati dan lain sebagainya. Menurut
Purwanto, satu sisi manusia mampu untuk mengetahui
pengetahuan dan kebenaran karena manusia memiliki modalitas,
disisi lain ada bagian-bagian rahasia yang tidak diketahui oleh
kapasitas modalitas tersebut. Modalitas pada manusia meliputi
pancaindera (idra>k al-h}awa>s), proses akal (ta’aqqul), hati (qalb)
dan wahyu (khabar sa>diq/maklumat).112
Manusia adalah makhluk yang bercorak Theosentris atau
Tuhan-sentris, hal ini terlihat pada proses penciptaan Adam
dengan tanah dan kemudian Tuhan meniupkan ruh ilahi (bukan

110
Pada pembagian pertama, ar-Razi mengklasifikasikan
“makhluk” pada empat tingkatan. Pertama: makhluk yang memiliki
kapasitas berfikir, pemahaman, hikmah yang tidak disertai sifat dasar dan
syahwat, Malaikat. Kedua: tidak memiliki kapasitas berfikir, pemahaman,
hikmah namun mempunyai sifat dasar dan syahwat, bangsa binatang.
Ketiga: tidak memiliki kapasitas berfikir, pemahaman, hikmah, sifat dasar,
dan syahwat, benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhan. Keempat: makhluk
yang memiliki kapasitas berfikir, pemahaman, hikmah, sifat dasar, dan juga
syahwat, manusia. Lihat Muhammad ibnu „Umar ar-Razi, Ruh dan Jiwa:
Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam, trj. Mochtar Zoerni dan Joko S.
Kahhar. Judul asli, Imam Razi‟s „Ilmu al-Akhlak (Surabaya: Risalah Gusti,
2000), 47-48.
111
We do not need to try to discover what personalities, states of
mind, feeling, traits of character, plans, purposes, intentions, or the other
perquisites of autonomous man really are in order to get on with a
scientific analysis of behavior. Lihat B.F. Skinner, Beyond Freedom and
Dignity (England: Penguin Books, 1971), 17.
112
Idra>k al-hawa>s meliputi pendengaran, melihat, perasa,
penciuman, indera keenam, daya ingat/memori, daya imajinasi, dan daya
estimasi. Ta’aqqul meliputi, nalar dan alur pikir. Qalb meliputi,
menangkap pesan ghaib, isyarat-isyarat ilahi, ilh}am, fath}, kashf. Lihat
Yadi Purwanto, Epistimologi Psikologi Islami: Dialektika Pendahuluan
Psikologi Barat dan Psikologi Islami (Bandung: PT Refika Aditama,
2007), 126-128.

58
nafs al-hayati) barulah kemudian berkembang fungsi-fungsi
kejiwaan. Kedua unsur ini tidak terpisahkan selama manusia
hidup, penciptaan dari tanah menunjukkan, bahwa manusia
secara sadar berpotensi terjerumus ke derajat yang paling rendah,
dan juga berpotensi meraih derajat yang setinggi-tingginya. Hal
ini mengindikasikan adanya the freedom of will pada manusia,
manusia bebas untuk mendekatkan diri kepada ruh ilahi, dan juga
bebas untuk mendekatkan diri kepada tanah. Dengan demikian,
manusia sama sekali bukan makhluk yang bercorak
anthroposentris atau homosentris.113
Oleh karena itu, al-Qur‟an menggambarkan manusia
sebagai makhluk pilihan, sebagai khalifa di bumi, makhluk yang
semi-samawi dan semi-duniawi, cenderung ke arah baik maupun
jahat, bergerak dari lemah menuju kuat, rasa tanggung jawab,
bebas dan di dalam diri manusia telah ditanamkan sifat untuk
mengakui Tuhan.114 Al-Qur‟an menggunakan tiga istilah untuk
menjelaskan manusia secara totalitas,115 yang kesemuanya ini

113
Tentang kebebasan pada manusia, bukanlah kebebasan secara
mutlak, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap pada situasi yang
dihadapi. Lihat Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan
Islam: Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV,
2005), 61-71.
114
Rifaat Syauqi Nawawi and others, edc. Metodologi Psikologi
Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 11.
115
Tiga istilah digunakan al-Qur’a>n untuk menjelaskan manusia
secara totalitas baik fisik maupun psikis. Pertama kata al-Bashar: terdapat
36 kali dalam al-Qur’a>n berbentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk
muthanna>. Kedua kata al-Insa>n yang meliputi kata al-Ins (terulang
sebanyak 18 kali dalam al-Qur’a>n), al-Una>s (terulang sebanyak 5 kali), al-
Insa>n (terulang sebanyak 65 kali), dan al-Na>s (terulang sebanyak 243 kali).
Ketiga kata bani> adam: terdapat 7 kali dalam al-Qur’a>n. untuk lebih jelas
lihat Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami; Studi tentang Elemen
Psikologi dari Al-Qur’an, 63-88. Manusia disebut al-insa>n karena sering
pelupa sehingga perlu teguran dan peringatan. Manusia disebut al-Bashar
karena cenderung emosional sehingga perlu untuk didamaikan. Manusia
disebut bani> A<dam karena menunjukkan asal-usul manusia yang bermula
dari Nabi Adam, sehingga manusia sadar dan tahu akan hakikat dirinya.
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, Cet. III, 2005), 106-107.

59
menunjukkan bahwa manusia bisa dipahami secara subjektif
sekaligus obyektif. Dalam surah al-T{i>n ayat 4:
      
Menurut Mubarok, makna yang tepat untuk ah}sani
taqwi>m adalah struktur psikologis yang paling prima, karena
ayat ini menggunakan kata insa>n bukan kata bashar.116
Kesempurnaan struktur psikologis yang hanya ada pada manusia
seharusnya mampu memberikan kontribusi tersendiri bagi
individu untuk menyikapi segala aspek dalam kehidupan. Namun
terkadang manusia cenderung kurang mengoptimalkan beberapa
potensinya, akal dan kalbu.117 Mengoptimalkan pelbagai potensi
yang telah Tuhan anugerahkan pada dasarnya mensyukuri atas
segala nikmat-Nya. Jika demikian, manusia yang tidak meng-
optimalkan pelbagai potensi cenderung tidak merespon secara
positif terhadap nikmat Tuhan. Padahal, dengan mengoptimalkan
segala potensi tersebut-secara pasti dapat dikatakan bahwa segala
harapan yang tidak bertentangan dengan agama mampu diwujud-
kan dengan baik, jika pun terdapat rintangan, kesulitan, ujian dan
cobaan hal itu semua tidak mengurangi bahkan mematahkan
semangat manusia untuk mengatasi pelbagai kesulitan dan fokus
terhadap tujuan yang pada akhirnya meraih kesuksesan. Dengan
demikian, segala bentuk harapan dan keinginan, selama itu tidak
bertentangan dengan kehendak Tuhan (hukum Tuhan) idealnya,
manusia mampu mewujudkannya dalam kehidupan ini dan
bermanfaat bagi makhluk lainnya. Hal ini senada dengan William
James yang dikutip oleh Goble, rata-rata manusia hanya meng-
gunakan kira-kira 10% dari potensinya.118

116
Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah
Hingga Keluarga Bangsa (Jakarta: Bina Rena Pariwara, Cet. I, 2005), 21-
28.
117
Yadi Purwanto, Psikologi Kepribadian; Integrasi Nafsiyah dan
„Aqliyah Perspektif Psikologi Islami (Bandung, PT Refika Aditama, cet.
Ke- 2, 2011), 305.
118
Frank G. Goble, Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik
Abraham Maslow, terj. A. Supratinya, daru buku The Third Force, The

60
Dengan demikian, dari pelbagai faktor yang
mempengaruhi religiusitas tersebut dapat disimpulkan bahwa
agama ataupun rasa keberagamaan dalam diri seseorang
sesungguhnya telah ada pada saat sebelum ataupun sesudah
kelahirannya. Dalam arti, keberagamaan tersebut adalah fitrah
dasar manusia. Fitrah ini akan mempengaruhi segala aspek dalam
kehidupan seseorang, terlepas dari pengaruh lingkungan dan
hereditas. Oleh karena itu, faktor-faktor yang berkontribusi untuk
mempengaruhi religiusitas idealnya dipertahankan bahkan
diperbaiki agar menjadi lebih baik.

3. Aspek-aspek Religiusitas
Mengenai aspek religiusitas, ada beberapa teori yang
menyumbangkan pelbagai aspek religiusitas. Hal ini dikarenakan
bahwa, agama sebagai identitas seseorang cenderung sulit untuk
diukur, untuk itulah diperlukannya aspek-aspek keagamaan yang
mencoba mengukur keberagamaan seseorang.
Pertama, aspek-aspek religiusitas yang dikemukakan oleh
Glock dan Stark melalui pendekatan sosiologi agama, aspek-
aspek tersebut adalah keyakinan (belief). Asumsi dasarnya adalah
keyakinan seseorang terhadap doktrin-doktrin ajaran agamanya.
Setelah yakin terhadap doktrin-doktrin agama, tentu segala
perintah agamanya harus dilakukan. Oleh karena itulah pelbagai
bentuk praktik-praktik ibadah yang telah diperintahkan (formal
religious acts) akan dilaksankan dengan penuh ketaatan
(devotion). Dengan melaksanakan segala perintah agamanya,
maka dapat dikatakan seseorang yang telah menaati perintah
agamanya cenderung mendapatkan pengalaman spritual. Sebagai
contoh, seseorang akan merasakan kehadiran Tuhan setiap
melakukan ritual-ritual ibadah, experiences. Seseorang yang
melakukan pelbagai ritual ibadah dan kemudian dalam
melakukan ritual tersebut ada pengalaman spiritual yang
didapatkan-hal itu semua karena seseorang yang melakukan
pelbagai ritual dan mendapatkan pelbagai pengalaman spiritual
tidak terlepas dari pengetahuan akan asumsi dasar dari

Psychology of Abraham Maslow (Yogyakarta: Kanisius, cet. 15, 2010),


249.

61
pengamalan terhadap segala bentuk ibadah yang telah
dilakukannya, knowledge. Dengan berbekal aspek-aspek
sebelumnya, maka pada tahap terakhir adalah bagaimana nilai-
nilai agama yang dianutnya dapat memberikan pengaruh yang
positif dalam kehidupan sehari-hari, consequences.119
Kedua, aspek-aspek religiusitas dari Fetzer yang terdiri
dari duabelas aspek.120 Aspek pertama, pengalaman beragama
sehari-hari (daily spiritual experience). Aspek ini pada dasarnya
mengukur secara langsung pengaruh keberagamaan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah, domain dari
dimensi ini adalah persepsi seseorang terhadap Tuhan, bersifat
transenden. Aspek kedua, kebermaknaan hidup dengan beragama
(religion meaning). Asumsi dasarnya adalah proses pencarian
seseorang akan makna hidupnya. Dengan proses tersebut,
manusia akan mengetahui urgensi dari kebermaknaan untuk
hidup. Aspek ketiga, mengekspresikan nilai keagamaan (value).
Aspek ini lebih menekankan pada nilai-nilai agama yang
dianutnya, dari nilai-nilai itulah (ajaran agama) yang memberikan
intervensi dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Asumsi
dasarnya, bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah
ajaran agama yang dianut oleh seseorang mampu mempengaruhi
dalam setiap multidimensi kehidupan. Aspek keempat,
keyakinan (belief). Aspek ini memberikan kebebasan kepada
manusia untuk berkecenderungan setuju atau tidaknya terhadap
agama yang diyakininya, ada peran kognitif dari kebebasan
tersebut. Dengan demikian, hak manusia untuk mempercayai atau
tidaknya suatu ajaran yang telah diyakininya. Aspek kelima,
memaafkan (forgiveness). Aspek ini memiliki lima ranah.
Pertama, pengakuan (confession). Kedua, perasaan diampuni oleh

119
Stefan Huber and Odilo W. Huber, “The Centrality of
Religiosity Scale (CRS),” Religions Vol.3 (2012), 711. Lihat juga Rodney
Stark and Charles Y. Glock, American Piety: The Nature of Religious
Commitment (Berkeley Los Angeles London: University of California
Press, 1970), 14-16.
120
Lihat John E. Fetzer, Multidimensional Measurement of
Religiousness / Sprituality for Use in Health Research (Institute and
National Institute on Aging Working Group, 2003).

62
Tuhan (feeling forgiven by God). Ketiga, perasaan dimaafkan
oleh orang lain (feeling forgiven by others). Keempat,
memaafkan orang lain (forgiving others). Kelima, memaafkan
diri sendiri (forgiving oneself). Aspek keenam, menyendiri dalam
melakukan praktik agama (private religious practice). Aspek ini
ingin melihat bagaimana keberagamaan seseorang atau
melakukan ritual-ritual ibadah yang dilakukannya secara sendiri
atau bersama keluarga, bukan secara kolektif atau formal.
Aspek ketujuh, agama sebagai coping (religious/spiritual
coping). Aspek ini pada dasarnya hanya mengukur dua pola,
positive religious coping dan negative religious coping. Oleh
karena itulah, secara umum coping religious ini memiliki tiga
jenis. Pertama, deffering style, berusaha mengatasi segala
permasalahan dengan cara berdoa. Kedua, colaborative style,
memohon bantuan kepada Tuhan diiringi dengan usaha yang
maksimal. Ketiga, self-directing style, bertanggung jawab secara
sendiri dalam melakukan coping. Aspek kedelapan, dukungan
sesama penganut agama (religious support). Asumsi dasar dari
aspek ini adalah hubungan sosial (social relationship), dengan
adanya hubungan sosial maka akan lahir sikap saling mendukung
antar sesama. Aspek kesembilan, sejarah keberagamaan
(religious/spiritual history). Sejarah keberagamaan dalam aspek
ini pada intinya adalah bagaimana seseorang dapat mengembang-
kan nilai-nilai keberagamaannya dari sebelumnya, ada unsur
konversi agama. Aspek kesepuluh, komitmen (commitment).
Asumsi dasar dari aspek ini, menjaga komitmen dengan baik
terhadap keyakinan yang dianutnya, sehingga apapun yang akan
terjadi-tidak akan mempengaruhi keyakinannya. Aspek ke-
sebelas, ikut serta kegiatan keagamaan (organizational
religiousness). Aspek ini lebih menekankan pada sikap dan
perilaku. Dalam arti, bagaimana keterlibatan seseorang secara
langsung terhadap kegiatan keagamaan, apapun kegiatan itu.
Aspek keduabelas, yakin terhadap pilihan agamanya (religious
preference). Aspek ini memiliki kecenderungan untuk memberi-
kan kebebasan kepada seseorang untuk mengidentifikasi suatu
agama tertentu, atau secara sadar mengikuti suatu kegiatan

63
keagamaan-baik itu sebagai anggota atau hanya sebagai partisi-
pan.
Ketiga, aspek-aspek religiusitas dari Hisham Abu
Raiya121 (Psychological Measure of Islamic Religiousness,
PMIR) meliputi;
1. Islamic dimensions. Dimensi Islam ini terdiri dari keyakinan,
praktik-praktik ibadah, perilaku yang harus dilakukan,
perilaku yang tidak harus dilakukan dan keuniversalan nilai
Islam.
2. Islamic religous conversion. Konversi agama, yang dimaksud
dengan koversi agama adalah persepsi seseorang yang
menjadi lebih baik terhadap agama dari sebelumnya. Dengan
demikian, seseorang yang telah mengalami konversi agama
cenderung akan memberikan reaksi yang positif terhadap
keyakinannya dan bertambah menjadi lebih baik perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Islamic positive religious coping, respon seseorang terhadap
segala persoalan hidup yang dihadapinya melalui pendekatan
agama, melalui pendekatan ini-seseorang akan merasa aman
terhadap Tuhan, yang pada akhirnya melahirkan ketentraman
hati.
4. Islamic negative religious coping, menganggap Tuhan tidak
adil terhadap dirinya, pelbagai persoalan dalam hidup
direspon secara negatif dan mengira bahwa Tuhan telah
memberikan hukuman yang berat.
5. Islamic positive religious struggle, pelbagai konflik dalam
jiwa seseorang terhadap keyakinannya adalah sebuah proses
untuk menemukan makna yang sesungguhnya dalam
menjalankan segala perintah agamanya.
6. Islamic religious internalization-identification, asumsi
dasarnya adalah bagaimana setiap tindakan yang dilakukan
dalam setiap aspek kehidupan berdasarkan pada nilai-nilai
agama yang diyakininya.

121
Lihat Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity
(Dissertation the Graduate College of Bowling Green State University,
2008).

64
7. Islamic religious internalization-introjection, inti dari aspek
ini adalah, setiap perintah agama yang dilakukan seseorang
dilakukan secara terpaksa, jika tidak dilakukan maka Tuhan
akan memberikan azab, keterpaksaan.
8. Islamic religious exclusivism, inti dari aspek ini adalah, agama
yang dianut oleh seseorang merupakan agama yang terbaik
bagi hidupnya untuk menjalani proses kehidupan.

Beberapa aspek religiusitas di atas yang mencoba untuk


mengukur seberapa besar rasa keberagamaan pada individu dan
kelompok, telah banyak dilakukan dan dikembangkan sesuai
dengan kebudayaan masyarakat suatu tempat. Oleh karena itu,
keberagamaan yang sebelumnya tabu untuk diteliti menjadi
sesuatu hal yang telah banyak dilakukan oleh para peneliti.
Dengan demikian, besar dan kecil rasa keberagamaan seseorang
atau kelompok tertentu bisa dilihat dan diamati sesuai dengan
pendekatan penelitian. Beberapa penelitian pada umumnya telah
memberikan hasil yang signifikan, bahwa religiusitas mem-
pengaruhi keadaan jiwa dan lingkungan sosial. Sebagai seorang
muslim, pemahaman terhadap religiusitas bukan hanya sekedar
melakukan segala bentuk ritual keagamaan tanpa kesadaran yang
utuh terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Idealnya
adalah, seseorang yang taat dengan Tuhan akan memberikan
pengaruh yang sangat positif dalam berinteraksi dengan
masyarakat sekitarnya, toleransi, saling menghargai, saling me-
nyayangi dan pelbagai bentuk positif lainnya. Dengan demikian,
ketaatan terhadap Tuhan dengan menjalankan segala bentuk
perintah dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya seyogyanya-
lah memberikan pengaruh yang positif dalam setiap multidimensi
kehidupan. Sehingga, kesalehan terhadap Tuhan bukan sekedar
hanya untuk diri sendiri namun, mampu merealisasikan
kesalehan itu dalam lingkungan masyarakat yang luas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
religiusitas pada umumnya adalah suatu usaha peneliti untuk
mencoba memahami manusia sebagaimana adanya. Dalam arti,
agama sebagai identitas manusia seharusnya mampu menjadi
pelita dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, baik itu dalam

65
lingkungan sosial, ekonomi maupun politik namun, yang lebih
difokuskan dalam kajian ini adalah rasa keberagamaan seseorang
(manusia) idealnya mampu memberikan konstribusi yang positif
untuk mengatasi segala kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa penghayatan secara sadar
terhadap nilai-nilai agama mampu menjadi landasan utama bagi
manusia untuk mengatasi pelbagai persoalan hidup yang nantinya
berkontribusi pada kesuksesan. Dalam tabel di bawah ini,
beberapa aspek pengukuran religiusitas yang banyak diadobsi
dan diadaptasi oleh para peneliti. Tabel ini penulis adobsi dari
Syukri Salleh.
Gambar IV
The Main Thinking of The Conventional Measurements of
Religiosity

66
4. Pengukuran Religiusitas
Pengukuran religiusitas sudah banyak digunakan oleh
para peneliti untuk melihat kecenderungan tinggi atau rendahnya
rasa keberagamaan seseorang atau suatu kelompok tertentu.
Pengukuran religiusitas yang digunakan oleh para peneliti tidak
terlepas dari teori yang digunakan, dengan teori tersebut para
peneliti mencoba untuk mengadobsi dan mengembangkan alat
ukur menjadi lebih baik dan sesuai dengan kebudayaan suatu
masyarakat tertentu.
Alat ukur religiusitas yang pertama adalah pengukuran
religiusitas yang diadaptasi dari Springfield Religiousness Scale
(SRS) oleh Bettencourt. Pengukuran religiusitas ini terdiri dari
delapan pernyataan, yang menurut Koenig, pengukuran ini
memprediksi pengaruh pengalaman keberagamaan pada setiap
individu. Pengukuran Springfield Religiousness Scale ini
mempertanyakan seputar iman, agama, Tuhan dan kekuasaan
Tuhan. Alat ukur ini memiliki nilai alpha cronbach 94 bagi
pemuda dan orang dewasa serta nilai 93 bagi lansia.122
Kedua, pengukuran religiusitas dari Raiya, Psychological
Measure of Islamic Religiousness (PMIR). Alat ukur ini
mempunyai delapan aspek; Islamic dimension (Belief, nilai alpha
cronbach 97. Practices nilai alpha cronbach 92. Ethical
Conduct-Do nilai alpha cronbach 95-97. Ethical Conduct-Don‟t
nilai alpha cronbach 98. Islamic Universality nilai alpha
cronbach 91), Islamic religious conversion nilai alpha cronbach
92, Islamic Positive Religious Coping nilai alpha cronbach 95,
Islamic Negative Religious Coping nilai alpha cronbach 74,
Islamic positive religious struggle nilai alpha cronbach 90,
Islamic relgious internalization-identification nilai alpha
cronbach 84, Islamic religious internalization-introjection nilai

122
Kathryn E. Fitzpatrick Bettencourt and others, eds. “Older and
Younger Adult‟ Attitudes Toward Feminism: The Influence of Religiosity,
Political Orientation, Gender, Education, and Family,” Sex Roles Vol.1
Nol. 64 (2011),866.

67
alpha cronbach 80 dan Islamic religious exclusivism nilai alpha
cronbach 93.123
Ketiga, pengukuran religiusitas dari Koenig dan Bussing,
The Duke University Religion Index (DUREL). Diterbitkan
pertama kali dalam American Journal of Psychiatry pada tahun
1997 dan telah dirancang untuk memenuhi kebutuhan penelitian.
Pengukuran ini, mengintegrasikan antara agama dengan
kesehatan yang menilai tiga dimensi utama religiusitas; kegiatan
organisasi keagamaan, kegiatan non-organisasi keagamaan dan
religiusitas intrinsik. Ada lima Item dalam DUREL, alat ukur ini
mempunyai nilai relibialitas 0.91, alpha cronbach 0.78-0.91 dan
nilai validitas sebesar 0.71-0.86. Alat ukur ini telah digunakan
lebih dari 100 penelitian di seluruh dunia dan tersedia dalam 10
bahasa.124
Dari ketiga alat ukur religiusitas di atas, dalam penelitian
ini penulis akan mengadaptasi alat ukur religiusitas dari Raiya
(Psychological Measure of Islamic Religiousness, PMIR) dalam
konteks bahasa (Inggris-Indonesia), dan menghapus satu item
pernyataan dalam Islamic dimensions karena pernyataan tersebut
ditujukan kepada perempuan (which type of hijab do you wear),
sedangkan objek dalam penelitan ini semuanya laki-laki serta
beberapa item yang penulis adaptasi. Dengan demikian, jumlah
item yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 62. Menurut
penulis, alat ukur ini mengukur secara komprehensif tentang
keberagamaan seseorang berdasarkan ajaran Islam, tidak seperti
alat ukur yang diatas. Dalam arti, alat ukur yang diatas hanya
menyentuh sebagian dari ajaran Islam secara universal.
Kemudian, alat ukur religiusitas ini memiliki kehandalan dan
validitas sebagai pengukuran ilmiah dalam studi Psikologi
Islam.125

123
Lihat Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 28-32.
124
Lihat lebih lanjut Harold G. Koenig and Arndt Bussing, “The
Duke University Religion Index (DUREL): A Five-Item Measure for Use
in Epidemological Studies,” Religions Vol.1 No.1 (2010), 78-85.
125
Lihat Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 58.

68
Alat ukur religiusitas yang penulis adaptasi dari Hisham
Abu Raiya berupa bahasa Inggris yang nantinya akan diadaptasi
ke dalam bahasa Indonesia, karena disesuaikan dengan subjek
penelitian.126 Dengan demikian, alat ukur religiusitas laik untuk
digunakan dalam penelitian ini.

C. Adversity Quotient Perspektif Al-Qur’an


1. Peran Agama dalamMengatasi Kesulitan
Dengan beragama, seseorang akan taat, tunduk dan patuh
terhadap Tuhan. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan itulah yang
nantinya menjadi pedoman bagi manusia untuk berpikir,
merespon, bertindak dan berperilaku sesuai dengan ajaran-ajaran
yang telah diperintahkan oleh-Nya. Segala macam bentuk
perintah, baik itu anjuran ataupun larangan, pada dasarnya untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri seperti, larangan agar jangan
berputus asa dan bersabar terhadap segala hal127 dan pelbagai
bentuk lainnya. Manusia dalam menjalani kehidupannya dapat
dipastikan akan merasakan segala permasalahan dan kesulitan.
Kehidupan yang penuh makna, ketentraman, kedamaian dan
kebahagiaan adalah keinginan yang paling dibutuhkan oleh setiap
manusia. Dalam hal ini, antara kesulitan dan kebahagiaan adalah
satu kesatuan yang tidak terpisahkan-tidak ada yang bersifat
permanen-selalu silih berganti menyapa manusia. Karena respon
manusia terhadap segala realitas yang ada tidak menetap, dengan
keadaan tersebut antara kesulitan dan kebahagiaan juga tidak
akan menetap, tergantung apa yang direspon oleh manusia.
Konteks pelbagai kesulitan dalam hidup manusia dengan agama
adalah satu bagian yang idealnya tidak terpisahkan, karena pada
dasarnya pengamalan ajaran-ajaran yang terkandung dalam

126
Untuk alih bahasa alat ukur religiusitas telah dikonsultasikan
kepada Suparto, M. Ed, Ph.D. Kemudian, untuk pemeriksaan konten alat
ukur religiusitas telah dikonsultasikan kepada Dr. Abdul Rahman Shaleh,
M.Si.
127
Lihat al-Qur’a>n s. Yu>suf/12:87. Lihat juga, al-Qur’a>n s.
Luqma>n/31:17.

69
agama berpengaruh terhadap kepuasan hidup.128 Asumsi
dasarnya adalah, jika manusia merasa puas terhadap hidupnya,
maka segala permasalahan ataupun kesulitan dalam hidup tidak
menjadikan manusia untuk berkecil hati atau berputus asa.
Kesulitan yang cenderung membuat seseorang menjadi
rentan untuk berputus asa dan pesimis adalah sikap yang biasa
atau lumrah. Namun, untuk kembali pada jalan yang lebih baik
lagi-mengatasi secara perlahan segala kesulitan-dan meraih
kesuksesan harus membutuhkan tekad yang kuat dan memaafkan
diri sendiri terhadap respon negatif akan kesulitan yang dihadapi
sebelumnya. Jalan yang cukup relevan untuk kembali optimis,
memaafkan diri sendiri akan respon negatif sebelumnya adalah
dengan agama.129 Dengan agama, seseorang mampu untuk
kembali bangkit dari rasa keputusasaan dan bersedia memaafkan
kesalahan atas dirinya sendiri.
Menurut Ancok dan Suroso, konsep religiusitas pada
umat Islam idealnya harus dipraktikkan dalam pelbagai dimensi
kehidupan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Oleh karena itu,
religiusitas dalam konsep Islam mencerminkan keintegrasian
antara akidah, syariah dan akhlak.130

128
Cydney J. Van Dykeand others, eds. “The Relationship of
Religious Coping and Spirituality to Adjusment and Psychology Distress in
Urban Early Adolexcents,” Mental Health, Religion and Culture Vol. 12
No. 4 (2009), 369-383.
129
Don E. Davisand others, eds. “Research on Religion/Spirituality
and Forgiveness: A Meta-Analytic Review,” Psychology of Religion and
Spirituality Vol. 5 No. 4 (2013), 233-241. Lihat juga Jehad Alaedein-
Zawawi, “Religious Commitment and Psychological Well-Being:
Forgiveness as A Mediator,”.European Scientific Journal Vol. 11 No. 5
(2015), 117-136.
130
Konsep religiusitas dari Glock dan Stark menurut Ancok dan
Suroso ekuivalen dengan konsep akidah, syariah dan akhlak walaupun
tidak sepenuhnya sama. Lihat, Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori
Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 78-80.

70
1. Akidah
Menurut Ancok, konsep religiusitas dalam kontek akidah
mencerminkan seberapa tingkat keyakinan atau keimanan
seorang muslim terhadap seluruh ajaran Islam terutama yang
bersifat fundamental dan dogmatik131 seperti, keyakinan terhadap
rukun iman yang sifatnya ghaib dan abstrak. Cukup sulit untuk
mempercayai sekaligus meng-imani secara totalitas tentang apa
yang dikehendaki Tuhan, butuh kesadaran yang besar untuk
mempercayainya. Sejarah telah mencatat bagaimana Abu Bakar
secara spontan mempercayai bahwa Muhammad telah melakukan
perjalanan dalam semalam dari masjid al-Haram ke masjid al-
„Aqsa. Hal ini mengindikasikan bahwa kepercayaan sekaligus
keimanan terhadap ajaran Islam terkhusus segala hal yang
bersifat ghaib di dalam al-Qur‟an mencerminkan bagaimana
tingkat keyakinan dan keimanan seseorang, tinggi atau rendah.
Jika ini ditarik dalam kehidupan sekarang, era modern.
Tidak banyak manusia untuk mempercayai dan meng-
imani pelbagai ajaran Islam itu sendiri, jika pun mempercayai,
cenderung kurang membekas dalam jiwanya dan efeknya tidak
akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh,
isyarat al-Qur‟an yang menyatakan “setiap ada kesulitan ada
kemudahan” pernyataan ini sampai diulang hingga dua kali di
dalam al-Qur‟an. Isyarat ini mengindikasikan bahwa, jika
seseorang percaya, beriman secara totalitas dan penuh kesadaran
maka apapun bentuk dan ragam macam kesulitan, ujian,
permasalahan dan cobaan dalam hidup baik itu dalam keluarga,
sekolah, masyarakat, ekonomi, politik dan permasalahan yang
ada di dalam negara dapat diatasi secara baik karena, selain
didasari keimanan yang kuat juga mengoptimalkan pelbagai
potensi yang telah Tuhan berikan. Sehingga, pernyataan yang
diisyaratkan oleh al-Qur‟an pada dasarnya memberikan
kemaslahatan bagi manusia secara universal. Dengan demikian,
pelbagai bentuk tingkat keyakinan dan keimanan seseorang
dalam merespon dan bersikap terhadap seluruh ajaran agamanya

131
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami:
Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, 80.

71
mengindikasikan seberapa besar dan rendah tingkat keyakinan
dan keimanan seseorang.
Dalam bagian lainnya, orang-orang ateis memandang
fenomena keagamaan adalah fenomena neurosis.132 Seperti
ungkapan Freud yang menyatakan bahwa Religion would thus be
the universal obsessional neurosis of humanity.133 Namun, jika
dicermati dengan baik dengan menggunakan kacamata sejarah,
apa yang tejadi dibalik fenomena tersebut sehingga Freud
menyatakan agama memberikan pengaruh negatif. Menurut
Quthb, hal ini bermula dari perselisihan antara pihak gereja
dengan para ilmuan, bertepatan dengan datangnya jaman
pencerahan (renaissance) yang kemudian timbulnya pertentangan
antara agama dan ilmu pengetahuan.134 Dengan demikian,
seluruh ajaran Islam pada dasarnya memberikan pengaruh yang
positif bagi kehidupan manusia secara universal dan tidak akan
bertentangan dengan nilai-nilai intelektual sehingga, keimanan
dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan sebuah nilai-nilai
yang mampu memberikan respon, perilaku dan tindakan yang
positif dalam menyikapi pelbagai dimensi kehidupan, kehidupan
secara totalitas.
Dimensi kepercayaan dan akidah dalam perspektif
religiusitas ekuivalen dengan konsep iman yang meliputi; iman
kepada Tuhan, iman kepada para malaikat, iman kepada kitab-
kitab, iman kepada para rasul, iman kepada hari kiamat dan iman
kepada takdir. Menurut Mujib, terdapat tiga domain untuk
melihat pengertian iman. Pertama, domain afektif yang
pembenarannya melalui struktur kalbu, karena kalbu merupakan
struktur nafsani yang mampu menerima keimanan yang meta
empiris, informasi wahyu dan supra-rasional. Kedua, domain
132
Untuk lebih jelasnya lihat, Amir An-Najar, Psikoterapi
Sufistik; dalam Kehidupan Modern, terj. Ija Suntana, judul asli, at-
Tas}awwuf an-Nafsi (Jakarta: Hikmah, cet. ke I, 2004),176-177.
133
Sigmund Freud, The Future of an Illusion. Terj. Die Zukunft
einer Illusion. James Strachey (New York: W.W. Norton Company.Inc,
1961), 43.
134
Untuk lebih jelasnya lihat, Sayyid Quthb, Keadilan Sosial
dalam Islam. Diterjamahkan dari al-‘Adalah al-Ijtim’iyyah fi al-Isla>m.
Oleh, Afif Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984), 8-9.

72
kognitif yang pembenarannya melalui ucapan (lisan). Kuncinya
adalah ucapan dua kalimat syahadat. Ketiga, domain
psikomotorik yang pembenarannya melalui pengamalan yang
berimplikasi pada setiap dimensi kehidupan.135 Dengan demikian,
konsep religiusitas dalam perspektif akidah idealnya mampu
memberikan kesadaran yang penuh dalam merespon, bersikap
dan bertindak untuk merealisasikan pelbagai nilai-nilai ketuhanan
yang bersifat universal.

2. Syariah
Menurut Ancok dan Suroso, dimensi syariah menunjuk
pada seberapa taat dan patuh seorang muslim dalam mengerjakan
pelbagai ritual keagamaan.136 Dalam operasionalnya, bagaimana
serangkaian ritual-ritual keagamaan ini mampu memberikan efek
yang positif bagi manusia-bukan hanya bersifat perorangan, tapi
pengaruhnya bersifat holistik. Untuk itulah, pelbagai ritual
keagamaan yang ada di dalam ajaran Islam seperti; salat, zakat,
haji, zikir dan lain sebagainya idealnya berkontribusi positif bagi
diri sendiri dan berkontribusi pada masyarakat sekitar.
Segala praktik ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim
pada dasarnya memberikan pengaruh yang positif. Tidak hanya
sebagai melepas kewajiban terhadap perintah-perintah Tuhan,
namun secara tersirat ada nilai positif yang terkandung di
dalamnya, seperti kepuasan, kebahagiaan, meningkatkan
komitmen bekerja, kepuasan kerja, meningkatkan keseimbangan,
konsentrasi, kesehatan dan kesejahteraan.137 Dengan demikian,
segala bentuk perintah baik itu wajib atau pun sunah, pada
dasarnya mampu memberikan efek yang positif bagi manusia.

135
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi.186-187.
136
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami:
Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, 80.
137
Fadila Grineand others, eds. “Islamic spirituality and
entrepreneurship: A case study ofwomen entrepreneurs in Malaysia,” The
Journal of Happiness & Well-Being Vol. 3. No. 1 (2015), 44.

73
Sebagai contoh, para sarjana muslim telah mengamati
bahwa salat memberikan efek yang positif pada orang sakit.138
Kemudian puasa, puasa bukan hanya sekedar bermanfaat bagi
rohani, tapi juga bermanfaat bagi fisik, psikologis, sosial dan
kesehatan.139 Begitu juga dengan praktik-praktik ibadah yang
lainnya. Adanya manfaat ini mengindikasikan bahwa ada
manfaat yag besar untuk manusia terhadap praktik-praktik ibadah
tersebut jika dilakukan dengan maksimal dan penuh kesadaran.
Segala praktik ini nantinya akan memberikan dampak positif,
berupa ketenangan jiwa, dengan keadaan jiwa yang tenang segala
kesulitan, hambatan dan rintangan dalam hidup guna menuju
gerbang kesuksesan dapat dengan baik dihadapi. Hal ini tersirat
dalam al-Qur‟an;
          

140
.  
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan meningat Allah.Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

138
Salih Yucel, Prayer and Healing in Islam: with addendum of 25
Remedies for the Sick by Said Nursi (New Jersey: Tuhgra Books), 9.
139
Efeks fisiologis dari puasa adalah menurunkan gula darah,
menurunkan kolestrol, menurunkan tekanan darah, pengobatan obesitas
dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Sand others, eds.
“Psycho-Social Behaviour and Health Benefits of Islamic Fasting During
the Month of Ramadan,” Journal of Community Medicine and Health
Education Vol. 2 Issue.9 (2012), 1-4.
140
Pengertian zikir mencakup makna keagungan Tuhan, surga dan
neraka-Nya, rahmat dan siksa-Nya, perintah dan larangan-Nya dan juga
wahyu-wahyu-Nya. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur‟an, 271. Menurut Hamka, iman menyebabkan
seseorang untuk ingat kepada Tuhan. Zikir dapat menghilangkan segala
macam kegelisahan, putus asa, ketakutan, kecemasan dan keraguan.
Hamka, Tafsir al-Azhar, 93. Lihat juga al-Qur’a>n s.al-Anfa>l/8:2. al-
Zuma>r/39:23. .

74
Selaras dengan Badri, bahwa aktivitas ritual keagamaan
serta mengamalkan subtansi nilai-nilai keagamaan dalam setiap
sisi kehidupan akan memberikan dampak positif bagi manusia,
seperti berzikir dan bertafakur yang mampu memberikan respon
positif ketika dilanda kesedihan, kegelisahan dan kesulitan dalam
kehidupan.141 Hal ini juga selaras dengan pendapat Najati, bahwa
zikir kepada Tuhan dapat membebaskan seseorang dari perasaan
berdosa, gundah dan gelisah.142 Dengan demikian, konsep
religiusitas dalam perspektif syariah yang menekankan pada
ritual-ritual keagamaan idealnya selain berpengaruh positif
terhadap diri sendiri juga berpengaruh pada lingkungan sekitar,
sesama manusia, binatang dan alam semesta.

3. Akhlak
Menurut Ancok dan Suroso, dimensi ini merujuk kepada
seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku yang dimotivasi
oleh ajaran agamanya.143 Idealnya, manusia yang memandang
agama sebagai pedoman hidup akan merespon, berpikir, ber-
perilaku, bertindak dan bersikap sebagaimana yang telah
diajarakan oleh agamanya, apapun agama yang dipeluknya.
Terutama Islam, sebagai agama yang diakui keuniversalannya,
umat Islam idealnya berperilaku dan bersikap sesuai dengan
pedoman hidup, al-Qur‟an dan Hadis. Dengan berpedoman
terhadap al-Qur‟an dan Hadis, seorang muslim mampu me-
realisasikan dan mengaktualisasikan pelbagai hal yang ter-
kandung di dalamnya dan membantu manusia menuju jalan yang
dikehendaki oleh Tuhan. Hal ini selaras dengan Mujib yang
menyatakan bahwa, aktualisasi diri akan membentuk jati diri dan

141
Malik B. Badri, Tafakur: Perspektif Psikologi Islam, terj.
Usman Syihab Husnan, judul asli, al-Tafakkur min al-Mushadah ila al-
Shuhud: Dirasah al-Nafsiyah al-Islamiyah (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet. 1, 1996), 83.
142
Muhammad Utsman Najati, The Ultimate Psychology;
Psikologi Sempurna ala Nabi Saw, terj. Hedi Fajar, buku asli; Al-Hadits
an-Nabawi wa ‘ilm an-Nafs (Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I 2008), 388.
143
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami:
Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, 80.

75
harga diri yang benar-benar islami.144 Dalam kontek ini, al-
Qur‟an telah mengisyaratkan bagaimana berperilaku dan bersikap
idealnya mengacu kepada Rasulullah yang memiliki akhlak yang
baik, sehingga misi yang paling mendasar adalah memperbaiki
akhlak.
145
.     
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung”.

Dengan demikian, dimensi akhlak atau dimensi


pengamalan dalam religiusitas lebih mengacu kepada respon,
perilaku dan sikap manusia dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan pada al-Qur‟an dan Hadis.
Seorang yang dapat dikatakan taat dalam beragama
(devotion) adalah selalu memberikan ruang spiritual dalam
kehidupan sehari-hari, berdoa dan pelbagai hal yang lainnya.146
Konsep inilah yang diharapkan nanti mampu melahirkan energi
yang positif, mampu mengatasi segala kesulitan-yakin bahwa
kesuksesan akan dapat diraih dan paham dengan bijak bahwa
tidak ada yang menetap sifatnya, kesulitan dan kebahagiaan.
Dengan demikian, apa yang dianggap baik dan mampu memberi-
kan rasa ketenangan hati, dengan sendirinya akan mempengaruhi
segala aktivitas kegiatan manusia sehari-hari.
Umumnya, agama merupakan pilar utama dalam setiap
dimensi kehidupan manusia. Seluruh rangkaian yang ada dalam
agama adalah seperangkat nilai-nilai yang universal dan
cenderung cocok dengan pelbagai zaman. Hal inilah yang
menyebabkan manusia untuk terus berupaya mengikuti segala
apa yang diperintah dan dilarang dalam agamanya. Karena
keyakinan terhadap agama yang dianut telah memberikan
perspektif yang positif terhadap dunia. Bahkan, agama telah

144
Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi.123-124.
145
al-Qur’a>n s. al-Qalam/68:4.
146
Yasemin El-Menouar, “The Five Dimensions of Muslim
Religiosity. Results of an Empirical Study,” Methods, Data, Analyses Vol.
8 No. 1 (2014), 61.

76
memberikan sumbangsih yang besar, terutama penyatuan
pelbagai budaya dan peradaban manusia.147 Dengan demikian,
agama merupakan pendekatan yang cukup relevan bagi manusia
dalam menghadapi segala kehidupan dunia, terutama dalam
menyikapi pelbagai persoalan kehidupan, kebahagiaan dan
kesulitan.
Data yang didapat oleh penulis,148 berkaitan dengan
agama dan pelbagai persoalan hidup, kesulitan. Seluruh jamaah
menyatakan bahwa agama dan penghayatan terhadap nilai-
nilainya merupakan faktor yang sangat penting dalam menyikapi
pelbagai kesulitan. Bukan berarti, hanya berdo‟a dan mengharap-
kan Tuhan akan membantu-namun usaha yang maksimal harus
dilakukan untuk mengatasi segala pelbagai kesulitan, berdo‟a dan
berusaha. Hal ini senada dengan Green dan Elliott, bahwa
keterlibatan dalam agama berhubungan dengan kesehatan fisik
sekaligus kesejahteraan secara psikologis.149
Beragam praktik ibadah yang ada di dalam agama,
khususnya Islam-seperti salat, zikir dan beragam bentuk lainnya-
jika dioptimalkan secara sadar, dapat mempengaruhi pelbagai
aspek dalam kehidupan. Pengaruh ini pada dasarnya tidak
terlepas dari respon manusia itu sendiri, optimis bahwa Tuhan
akan menolongnya selagi usaha yang maksimal dilakukan, ada
hukum kausalitas. Sikap optimis terhadap pelbagai persoalan
hidup yang sedang dihadapi adalah manifestasi dari kebesaran
jiwa seseorang, peran optimis inilah yang terbukti mampu
menjadikan manusia kuat dan tangguh dalam menghadapi
kehidupan dan mampu berinteraksi dengan alamnya serta
berpengaruh positif terhadap kepuasan hidup manusia.150 Oleh

147
Shahzadi Pakeeza and Ali Asghar Chishti, “Globalization and
Religion: Islamic Perspective,” Academic Research Internasional Vol. 2
No. 3 (2012), 729-730.
148
Hasil wawancara terhadap 10 jamaah majelis zikir Az-Zikra
pada tanggal 2 Maret dan 5 April 2015 di Masjid Az-Zikra Bogor.
149
Morgan Green and Marta Elliott, “Religion, Health and
Psychological Well-Being,” Journal of Religion and Health Vol. 49 No. 2
(2010), 149-163.
150
Necla Acun Kapikiran, “Positive Andrayani Negative
Affectivity as Mediator and Moderator of the Relationship between

77
karena itu, sikap optimis yang diajarkan oleh agama hakikatnya
adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri-optimis mampu
mempengaruhi sikap dalam merespon pelbagai kesulitan dan
dengan demikian, kepuasan dalam hidup akan didapatkan.
Beragam persoalan dalam hidup yang dihadapi oleh
manusia cenderung memberikan beragam respon yang negatif.
Kesulitan, kesengsaraan, permasalahan yang dianggap tidak
pernah bisa diselesaikan akan menjadikan beban tersendiri bagi
manusia, bahkan kecenderungan untuk melarikan diri dari
persoalan tersebut dengan melakukan bunuh diri sangat bisa
terjadi. Kenyataannya, bahwa disamping manusia memiliki
pelbagai potensi yang telah ada, manusia juga dibekali dengan
norma-norma agama yang dianggap mampu untuk memberikan
perasaan yang tentram. Hal inilah yang diharapkan, bahwa peran
agama mampu untuk mencegah bahkan mengobati manusia dari
perasaan putus asa dan mencegah manusia untuk bunuh diri.151
Dengan demikian, perjuangan hidup manusia untuk menjaga
eksistensinya sebagai mandataris Tuhan dapat diseimbangkan
dengan cara mengoptimalkan pelbagai potensi yang ada dan
menaati pelbagai norma-norma yang ada di dalam agama.
Agama memberikan sumbangsi yang signifikan terhadap
segala proses kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk yang
memiliki pelbagai potensi untuk dapat merespon dengan baik
terhadap persoalan hidup. Idealnya adalah, hati sebagai pusat
sentral152 dalam sistem keseluruhan harus menjadi kendali yang
baik-dengan hati inilah segala persoalan hidup mampu diatasi
dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, al-Qur‟an telah
mengisyaratkan beberapa pontensi tersebut yang terintegrasi

Optimism and Life Satisfaction in Turkish University Students,” An


International and Interdisciplinary Journal for Quality-of-Life
Measurement (2012), 333-341.
151
Karl Kralovecand others, eds., “Religion and Suicide Risk in
Lesbian, Gay and BisexualAustrians,” Journal of Religion and Health 53
(2014), 413.
152
Hisham Abu Raiya, “Western Psychology and Muslim
Psychology in Dialogue: Comparisons Between a Qura‟nic Theory of
Personality and Freud‟s and Jung‟s Ideas,”. Journal of Religion and Health
53 (2014), 329

78
dengan delapan konsep kepribadian; nafs, nafs ammarah bi al-
Su>’, al-Nafs al-lawwamah, ru>h, al‟Aql, al-Qalb, al-Nafs al-
Mut}mainnah dan al-Nafs al-Mari>d}.153 Pelbagai bekal ke-
sempurnaan manusia inilah nantinya akan membantu manusia
untuk melalui pelbagai rintangan, kesulitan, musibah, fitnah dan
ujian dalam hidup. Jika semuanya dapat dioptimalkan secara
maksimal dan mampu berinteraksi dengan baik terhadap Tuhan,
maka setiap permasalahan dalam hidup dapat diatasi dengan
pikiran yang jernih dan hati yang tenang-pada akhirnya manusia
akan mengetahui bahwa tidak ada yang bersifat abadi dalam
kehidupan.
Pelbagai penelitian tentang agama banyak didapati
pengaruh positifnya terhadap manusia dalam menyikapi pelbagai
fenomena kehidupan. Seperti agama berpengaruh positif terhadap
eksistensi dan kesejahteraan hidup manusia. Kemudian, agama
berpengaruh positif terhadap manusia berkaitan dengan perasaan
trauma. Trauma yang terjadi pada setiap pribadi pada dasarnya
akan memberikan pengaruh yang negatif dalam menyikapi
realitas kehidupan. Betapa tidak, pengalaman yang memberikan
efek negatif cenderung memberikan pengaruh negatif juga
terhadap kejiwaannya. Oleh karena itu, tidak sedikit manusia
beralih kepada agama guna mengatasi trauma.154 Dalam peneliti-
an lain, agama juga efektif dalam membantu seseorang dalam
keadaan tertekan, atau menderita.155 Kesadaran menjalankan
pelbagai bentuk perintah dalam agama mengindikasikan se-
seorang tersebut cerdas berkomunikasi dengan Tuhan dan
mampu merealisasikan pelbagai bentuk perintah dan larangan
dalam agama.

153
Kata al-Nafs dalam al-Qur‟an sebanyak 266, kata al-Ru>h
sebanyak 26 dan hati sebanyak 125. Lihat, Hisham Abu Raiya, “Towards a
systematic Qura‟nic theory of personality” Mental Health, Religion and
Culture.Vol. 15. No. 3 (2012), 217-233.
154
Christian Gostecˇnik, “Trauma and Religiousness,” Journal of
Religion and Health Vol. 53 Issue 3 (2012), 700.
155
Eric Y. Liuand others, eds. “Religiousness, Spirituality, and
Psychological Distress in Taiwan,” Review of Religious Research Vol. 53
Issue. 2 (2011), 137-159.

79
Dalam wawasan ilmiah, agama cenderung sulit untuk
didefinisikan. Ada yang mendefinisikan agama sebagai perasaan
subjektif pribadi, agama sebagai objektif dan agama sebagai
subjektif sekaligus objektif, karena tindakan yang dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari merupakan manifestasi dari
keyakinan masing-masing. Dalam konteks ini, penulis cenderung
sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa agama
bersifat subjektif sekaligus objektif.156 Dengan kerangka berpikir
inilah, sebuah keyakinan yang dimiliki akan menjadikan dasar
untuk merespon dan bertindak dalam menghadapi segala
persoalan dalam hidup. Seperti, agama (religious coping) dapat
meningkatkan kualitas psikologis dan kehidupan sosial.157
Penelitian ini memberikan isyarat, bahwa antara faktor subjektif
dan objektif sangat memberikan nilai positif dalam kehidupan
manusia. Dengan demikian, agama adalah peran yang cukup
relevan dan signifikan dalam setiap multidimensi kehidupan
manusia, termasuk bagaimana cara seseorang untuk merespon
dan bagaimana bertindak sesuai dengan norma-norma yang telah
diajarakan.
Menurut Pargament, fungsi mendasar dari agama adalah
spiritual. Dengan konsep seperti itu, maka seseorang akan ter-
motivasi untuk menemukan, mempertahankan dan merubah
hubungan dengan sesuatu yang sakral dalam kehidupan
seseorang.158 Jika dibandingkan dengan Islam, maka spiritual
yang dikemukakan oleh Pargament adalah fitrah, akidah tauhid.

156
Agama sebagai subjektif dikemukakan oleh William James,
agama sebagai objektif dikemukakan oleh Emile Durkheim dan agama
sebagai objektif sekaligus subjektif dikemukakan oleh Gordon Allport.
Untuk lebih Jelasnya Lihat, Stephen W. Krauss and Ralph W. Hood,JR “A
New Approach to Religious Orientation: The Commitment-Reflectivity
Circumplex,” Journal of Religon and Health 53 (2014), 631.
157
Lihat, Penny Pei Minn Chaiand others, eds. “Stress and Quality
of life in International and Domestic University Students: Cultural
Differences in the Use of Religious Coping,” Mental Health, Religion and
Culture Vol. 15 No. 3 (2012), 265-277.
158
Kenneth I. Pargament, “Spirituality as an Irreducible Human
Motivation and Process,” The International Journal for the Psychology of
Religion 23 (2013), 271–281.

80
Dengan fitrah (tauhid) manusia akan menjalani hidup sesuai
dengan tujuan Tuhan.159 Tujuan dan kehendak Tuhan bagi
manusia adalah refleksi dari kemampuan manusia itu sendiri
sebagai manusia yang disebut manusia yang sempurna-manusia
yang mampu memikul tanggung jawab. Kesempurnaan yang
dimiliki oleh manusia idealnya adalah bagaimana merespon dan
bertindak sebagaimana harusnya. Merespon dan bertindak yang
tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan adalah sebuah
struktur yang dinamis dalam tataran kehidupan, keseimbangan
antara hati dan akal, keselarasan antara ibadah dan usaha dan
keseimbangan antara kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial-
semua keseimbangan ini pada dasarnya merupakan nilai-nilai
keuniversalan Tuhan dan kehendak Tuhan.
Segala praktik ibadah yang dilakukan, baik itu yang
bersifat wajib atau sunah idealnya mampu memberikan nilai-nilai
yang positif untuk merespon dan bertindak sekaligus menjadikan
motivasi untuk tetap tegar, teguh, kuat dan mampu bertahan dari
segala kesulitan. Pemahaman inilah yang dapat membentuk
kepribadian yang berintegritas, mampu mengintegrasikan antara
pemahaman terhadap nilai-nilai ibadah dengan persoalan yang
ada di sekitarnya. Optimis terhadap segala rintangan, ujian
maupun cobaan yang datang-mampu diatasi dengan baik yang
pada akhirnya akan berdampak positif terhadap manusia. Dengan
demikian, pencegahan terhadap depresi akan mudah diantisipasi
dan tentunya mampu meningkatkan kualitas hidup manusia.160
Pencegahan dini terhadap depresi pada dasarnya akan mem-
bentuk suatu kepribadian yang sehat secara holistik. Pelbagai
keadaan hidup yang cenderung keras tidak akan mampu
membuat seseorang tunduk terhadap keputusasaan dan perasaan

159
Lihat, Muhammad Utsman Najati, The Ultimate Psychology:
Psikologi Sempurna ala Nabi Saw, trj. Hedi Fajar, Judul Asli, Al-Hadits
an-Nabawi wa ‘Ilm an-Nafs (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. I, 2008), 30-
34.
160
Penelitian dilakukan pada orang tua di Korea. Lihat, Yoo Sun
Moon and Do Hoon Kim, “Association Between Religiosity/Spirituality
and Quality of Life or Depression among Living-Alone Elderly in a South
Korean City,” Asia-Pacific Psychiatry 5 (2013), 293-300.

81
pesimis, karena bangunan pondasi (tauhid) telah menjadi bagian
yang terpenting dan mampu memberikan perasaan tentram bagi
manusia. Lain halnya, jika manusia telah terperangkap dalam
keadaan yang penuh ketidakberdayaan-kecenderungan untuk
bangkit dari keterpurukan tidak semudah apa yang diharapkan
dan berprasangka buruk terhadap Tuhan. Namun demikian,
manusia adalah makhluk yang unik, dinamis tidak statis seperti
binatang. Dalam keadaan terpuruk, peran antara hati dan akal
akan selalu bersinergi. Ada motivasi yang kuat atau perasaan
emosional untuk keluar dari keterpurukan dan berusaha dengan
baik untuk menggapai kesuksesan. Keadaan inilah yang dinilai
oleh Halama dan koleganya bahwa individu yang merasa tidak
nyaman, aman dan tentram akan menjalin hubungan dengan
Tuhan, terjadi konversi agama yang didorong oleh perasaan
emosional.161
Jika ditarik ke belakang, konteks peranan agama
(religious conversion) terhadap manusia setidaknya ada dua
pengaruh yang cukup signifikan. Pengaruh dari budaya
lingkungan dan lingkungan sosial, macro. Kemudian, pengaruh
dari keluarga, suku, agama masyarakat setempat dan lingkungan
sekitar, micro.162 Pengaruh micro terhadap manusia akan
menyebabkan kembalinya individu kepada keyakinannya karena
merasa kebingungan dan keterasingan (alienasi), sedangkan
pengaruh micro dapat memberikan efek yang signifikan terhadap
pengaruh dari kontek macro. Dengan demikian, keadaan hidup
yang penuh dengan kerancuan ditambah lagi dengan banyaknya
permasalahan hidup telah melahirkan manusia yang bisa

161
Peter Halama and others, eds. “Relationship Between
Attachment Styles and Dimensions of The Religious Conversion Process,”
Studia Psychologica 55. 3 (2013), 205. Menurut Steigenge, konversi agama
merupakan proses berkelanjutan yang selalu berinteraksi dengan institusi
keagamaan, budaya dan lain sebagainya. Lihat, Timothy J. Steigenga,
“Religious Conversion in the Americas: Meanings, Measures, and
Methods,” International Bulletin of Missionary Research 34.2 (2010), 77-
82.
162
Lewis R. Rambo and Steven C. Bauman, “Psychology of
Conversion and Spiritual Transformation,” Pastoral Psychology Vol. 61
Issue 5-6 (2012), 882.

82
dikatakan sebagai manusia yang sadar terhadap realitas yang
paling tinggi dan mampu memberikan rasa keamanan,
ketentraman, kebahagiaan dan perasaan optimis untuk tetap
hidup dalam kehendak-Nya.
Berkaitan antara religiusitas dengan kehidupan manusia,
tidak sepenuhnya memberikan efek yang positif. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa tidak
ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas terhadap bunuh
diri dan depresi.163 Hasil penelitian ini tentunya bertolak
belakang dengan hasil penelitian dari Fadden dan Kozberg yang
menyatakan bahwa memberikan ruang spiritualitas dalam
kehidupan sehari-hari pada manusia akan memberikan semangat
untuk menjadikan hidup lebih baik lagi.164 Hal senada juga
disampaikan oleh Martos, bahwa religiusitas dapat berpengaruh
pada kognisi, emosi dan terkadang juga menghambat kesejahtera-
an individu.165 Kesenjangan terhadap pengaruh positif atau
tidaknya peran agama bagi manusia khususnya dalam menyikapi
segala persoalan hidup adalah sebuah bagian dari dinamika
kehidupan itu sendiri. Religiusitas tidak akan berpengaruh ter-
hadap kehidupan manusia, selama pemahaman akan nilai-nilai
agama tidak direalisasikan dengan penuh kesadaran, hanya
mementingkan kesalehan diri sendiri dan tidak me-nganggap
penting akan kesalehan sosial. lain halnya, jika kesadaran akan
nilai-nilai agama yang dianutnya direalisasikan bukan hanya
sekedar untuk dirinya sendiri dan Tuhan, melainkan kesalehan
terhadap dunia sekitar pun dapat dikembangkan.
Keberagamaan seseorang akan dilihat pada perilaku
hidupnya sehari-hari. Kecenderungan untuk berbuat baik pada
sesama pada dasarnya hasil dari pemahaman terhadap nilai-nilai
163
Ramon Florenzanoand others, eds. “Suicidal Risk, Depression,
and Religiosity: A Syudy of Women in A General Hospital in Santiago de
Chile,” Asia-Pacific Psychiatry6 (2014), 23-27.
164
Susan McFadden and Rabbi Cary Kozberg, “Religious and
Spiritual Supports for Late-Life Meaning,” Generations Vol. 32 No. 2
(2008), 10.
165
Tamas Martosand others, eds. “Everyday Goals, Religious
Motivations, and Well-Being: The Mediating Role of Emotions,” Studia
Psychologica 55. 3 (2013), 226.

83
agama yang dianutnya. Tidak berhenti hanya pada dirinya dan
Tuhan, namun bagaimana menyeimbangkan dan menselaraskan
segala struktur keberagamaan itu dengan proporsional.
Pemahaman akan nilai-nilai agama yang dianut pada dasarnya
tidak terlepas dari bagaimana pengalaman beragama seseorang
setiap harinya. Jika nilai-nilai agama itu mampu memberikan rasa
ketenangan, kebahagiaan dan mampu berintenteraksi dengan
keadaan sosial, maka kecenderungan untuk melakukan pelbagai
aktivitas lainnya akan semakin meningkat. Hal inilah yang
diindikasikan oleh Hoffman, bahwa pengalaman beragama
seseorang (religious experience) sangat rentan dipengaruhi oleh
faktor personal dan budaya. Seperti, perkembangan psikologis
dan spiritual memainkan peranan penting terhadap pengalaman
beragama seseorang.166 Dengan demikian, keberagamaan se-
seorang akan dapat bernilai ibadah sekaligus mampu me-
nyeimbangkan antara kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial
dan berusaha dengan baik agar segala permasalahan atau
kesulitan dapat diatasi dengan pertolongan Tuhan dan dengan
usaha sendiri.
Antara religiusitas dengan mengatasi beragam macam
kesulitan berhubungan secara signifikan. Dalam arti, segala
praktik ibadah yang dilakukan disertai dengan pemahaman yang
baik akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya idealnya
mampu memberikan efek yang positif bagi manusia terkait
dengan beragam macam kesulitan yang sedang dihadapi. Mulai
dari percaya sepenuhnya kepada Tuhan, bahwa segala kesulitan
pasti ada solusinya, praktik-praktik dalam ibadah akan memberi-
kan rasa ketenangan dan kedamaian dalam jiwa manusia
sehingga baik untuk berpikir dan merenung sejenak tentang
beragam kesulitan yang ada dan di saat yang sama solusi untuk
kesulitan akan datang. Nilai-nilai yang terkandung lainnya seperti
berperilaku baik terhadap sesama dan berusaha dengan maksimal
untuk meninggalkan pelbagai larangan yang telah Tuhan isyarat-
kan serta merealisasikan bentuk nilai-nilai yang universal.

166
Louis Hoffman, “Religious Experience, Development, and
Diversity,” Pastoral Psychology Vol. 61 Issue 5-6 (2012), 1033.

84
Asumsinya adalah, religiusitas berpengaruh signifikan terhadap
adversity quotien, kecerdasan mengatasi masalah.167
Bagaimana manusia merespon pelbagai kesulitan secara
positif sebagai anjuran dari nilai-nilai agama dan juga disertai
dengan penuh kesadaran maka kesulitan yang sedang dihadapi
akan mampu diatasi dengan baik. Hal inilah yang diisyaratkan
oleh al-Qur‟an bahwa, kebahagiaan dan kesuksesan idealnya
saling terintegrasi, kesuksesan di dunia dan kesuksesan di
akhirat.
          

168
. 
Artinya:“....Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa neraka”

Perjuangan untuk menggapai kesuksesan ibarat mendaki


gunung, butuh kerja keras untuk sampai ke atas puncaknya,
terkadang lambat dan penuh dengan penderitaan.169 Begitulah
kehidupan di dunia, butuh daya juang yang kuat, tangguh dan
penuh kesabaran, segala rintangan dan kesulitan tidak akan
pernah hilang dari kehidupan manusia selama nafas kehidupan
itu masih ada. Terkadang apa yang diinginkan dan diharapkan
sesuai dengan kehendak, namun terkadang apa yang diharapkan
tidak sesuai dengan yang dikehendaki karena ada kesulitan dan
rintangan yang sedang menghadang. Oleh karena itu, harapan
yang diinginkan harus diusahakan dengan sebaik-baiknya,
pelbagai macam bentuk rintangan dan kesulitan pun idealnya
harus diatasi dengan usaha yang keras dan penuh kesabaran.

167
Dona Eka Putri and Dina Nur Amalia, “Religiosity and
Adversity Quotient of Muslims in Poor Community,” International
Proceedings of Economic Development and Research 73 (2014), 14-18.
168
al-Qur’a>n s. al-Baqarah/2:201.
169
Paul G. Stoltz, “Do You Know Your AQ?,” Workforce 77.12
(1998), 58-59.

85
Sudah hukum alam, bahwa setiap manusia pasti
mendapatkan kesulitan. Manusia butuh kekuatan untuk meng-
hadapinya, kekuatan inilah yang nantinya membawa manusia
pada ketangguhan dan ketahanan terhadap segala kesulitan
sehingga setiap kesulitan yang datang mampu dihadapi. Karena
pada dasarnya, ketangguhan dan ketahanan terhadap segala
kesulitan dapat dipelajari dan ditingkatkan menjadi lebih baik.170
Kesabaran terhadap segala kesulitan, cobaan dan ujian pada
dasarnya adalah melatih manusia untuk tangguh dan kuat
terhadap segala persoalan yang ada.
          

171
.        
Artinya:“Hai anakku, Dirikanlah salat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka)
dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

Isyarat al-Qur‟an ini telah memberikan pelajaran bagi


manusia secara umum, terkhusus umat Islam bahwa segala
macam bentuk rintangan idealnya harus dihadapi dengan penuh
kesabaran. Karena sabar berarti tabah hati tanpa pernah berkeluh
kesah terhadap segala rintangan dalam menggapai tujuan
hidup.172 Jadi, perjalanan hidup di dunia bagi manusia adalah
170
Paul G. Stoltz, “Building Resilience for Uncertain Times,”
Leader to Leader 31 (2004), 16-20
171
al-Qur’a>n s. Luqma>n/31:17.
172
Karena sabar merupakan satu di antara maqamat agama yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu, hakikat
sabar berbeda-beda tergantung obyeknya. 1. Ketabahan menghadapi
musibah, ujian dan kesulitan disebut sabar, kebalikannya adalah gelisah
dan berkeluh kesah. 2. Sabar menghadapi kenikmatan hidup. 3. Sabar
dalam peperangan disebut pemberani kebalikannya pengecut. 4. Sabar
menahan marah disebut santun. 5. Sabar terhadap bencana disebut lapang
dada, kebalikannya “dadanya sempit”. 6. Sabar dalam mendengar gosip
disebut mampu menjaga rahasia. 7. Sabar terhadap kemewahan disebut

86
serangkaian proses untuk selalu bersabar terhadap segala kendala
yang akan dihadapi. Individu yang cenderung sabar dalam
merespon dan menyikapi segala persoalan dalam hidup dianggap
individu yang dekat dengan Tuhannya, begitupun sebaliknya.
Tidak ada yang sifatnya permanen dalam hidup, baik itu dalam
hal kebahagiaan ataupun penderitaan. Semuanya bersifat
sementara, ketika dalam kehidupan menghadapi pelbagai macam
persoalan, pada dasarnya ada kebahagiaan yang tersirat dalam
aspek lainnya walaupun itu nilainya sedikit. Ada nilai universal
di sana, bahwa setiap sifat sementara pasti akan ada akhirnya.
Kebahagiaan dan ketenangan pasti ada kesedihan dan kegundah-
an, kesengsaraan dan kesulitan pasti bersamaan dengan rasa
ketenangan dan kebahagiaan, selama manusia menyadari dengan
baik bahwa proses kehidupan di dunia tidak ada yang bersifat
permanen. Keyakinan tersebut pada akhirnya mampu memberi-
kan kekuatan, ketahanan dan ketangguhan dalam setiap me-
nyikapi pelbagai jalan yang menghalangi untuk sukses di dunia
dan akhirat. Hal ini selaras dengan isyarat al-Qur‟an;
              

173
. 
Artinya: “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir.”

Isyarat al-Qur‟an di atas memberikan pengajaran kepada


manusia bahwa orang yang beriman akan selalu bersikap optimis
dan berusaha dengan baik (tidak berputus asa), karena ke-
putusasaan identik dengan kekufuran yang besar.174 Kesabaran

zuhur, kebalikannya serakah atau loba. 8. Sabar dalam menerima yang


sedikit disebut kaya hati, kebalikannya tamak atau rakus. Lihat, Achmad
Mubarok, Psikologi Qur‟ani.73-74.
173
al-Qur’a>n s. Yu>suf/12:87.
174
Kata (‫ )روح‬di dalam surat Yu>suf ada yang memahaminya
dengan makna napas. Karena, kesedihan dan kesusahan menyempitkan
dada dan menyesakkan napas. Ada juga yang memahami kata(‫ )روح‬seakar

87
individu dalam menjalankan serangkain proses kehidupan
umumnya adalah jalan untuk menggapai apa yang diharapkan
sehingga terwujud dan dapat dinikmati dengan penuh rasa
kebahagiaan. Untuk itulah, peran agama dalam menyikapi hal ini
tidak dapat dipandang negatif karena agama mampu memberikan
sumbangsih yang positif dalam setiap dimensi kehidupan
manusia. Kesabaran ekuivalen dengan ketahanan. Dalam arti,
sabar atau tahan dengan segala kesulitan, cobaan dalam hidup
untuk menggapai sebuah kesuksesan. Sehingga, ketahanan
(resilience) terhadap segala persoalan hidup telah diakui sebagai
kemampuan untuk bangkit dari keterpurukkan dan menjadi
individu lebih sehat.175 Mampu memberikan motivasi untuk
bangkit dari keterjatuhan dan tentunya berpengaruh pada
kesehatan secara holistik. Tujuan ini yang pada intinya ingin
diharapkan oleh setiap manusia, berupa motivasi yang kuat, sehat
secara jasmani dan rohani.
Menurut Yan Tian, Kesulitan, cobaan dan ujian pada
dasarnya mengacu pada peristiwa, kondisi atau keadaan yang
tidak bersahabat, malang, keadaan yang dirasa terus menerus
memberikan kesulitan.176 Segala macam bentuk kesulitan, cobaan
dan ujian yang terjadi pada manusia pada dasarnya kecil jika
dibandingkan dengan serangkaian kenikmatan dan anugerah yang
diberikan Tuhan kepada manusia. Pelbagai bentuk kesulitan,
cobaan dan ujian dalam setiap kehidupan setidaknya memberikan
peringatan atau ujian dari Tuhan kepada manusia, individu mana
yang merespon secara positif dan individu mana yang merespon
secara negatif.

dengan kata ‫ إسحراح‬yakni hati beristirahat dan tenang. Untuk lebih jelasnya
lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur‟an, Volume, 6 (Jakarta: Lentera Hati, Cet. V, 2011),
163-164.
175
Gisela van Kessel, “The Ability of Older People to Overcome
Adversity: A Review of the Resilience Concept,” Geriatric Nursing Vol.
34 Issue 2 (2013),122-127.
176
Yan Tian and Xiuzhen Fan, “Adversity Quotient,
Environmental Variables and Career Adabtability in Student Nurses,”
Journal of Vocational Behavior Vol. 85 Issue. 3 (2014), 252.

88
         

177
..
Artinya:“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi?.”

Respon positif atau negatif dari keadaan tersebut


merupakan refleksi dari kecerdasan seseorang. Menurut Masoud,
kecerdasan adalah kemampuan mental yang sangat penting dalam
memilih dan beradaptasi dengan lingkungan.178 Beragam macam
kecerdasan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi
dengan Tuhan dan mampu menjalankan pelbagai kehendak
Tuhan dalam setiap kehidupan. Dengan demikian, beragam
potensi yang telah dianugerahkan tersebut idealnya harus
digunakan secara maksimal, guna merespon dan menyikapi
pelbagai keadaan di sekitarnya serta mampu mengatasinya
dengan mengoptimalkan pelbagai potensi yang telah ada.Pontensi
berupa kecerdasan, baik itu kecerdasan intelektual, emosional,
spiritual, mengatasi masalah atau pelbagai macam bentuk
kecerdasan lainnya yang pada dasarnya adalah membentuk setiap
individu untuk arif dan bijaksana dalam menyikapi realitas
kehidupan dan mampu menyikapi segalanya dengan sikap
optimis.179 Optimis apa yang sedang dihadapi, mampu untuk
177
al-Qur’a>n s. al-Ankabu>t/29:2.
178
Taheri Lari Masoud and Ahmadian Elaheh, “Spiritual Quotient
and Entrepreneurship (A Case Study),” Interdisciplinary Journal of
Contemporary Research In Business Vol. 4 No. 5 (2012), 882.
179
Menyikapi tentang kecerdasan, ada beberap aspek yang cukup
signifikan berbeda dalam perspektif Islam. Menurut Mujib, kecerdasan
yang digunakan oleh Barat jauh atau terkesan tidak memberikan warna
keagamaan. Kemudian, kecerdasan Multiple Intelligences tidak sesuai
dengan budaya Islam. Menurut Akpunar, ada beberapa aspek mengapa
kecerdasan ini tidak cocok dengan budaya Islam. Pertama, kecerdasan ini
berlandaskan materialisme. Kedua, berdasarkan pada teori evolusi yang
tidak mempercayai adanya pencipta. Ketiga, tidak memiliki tujuan yang

89
mengatasinya dan mampu memprediksi keberhasilan yang telah
diniatkan oleh setiap individu. Hal ini selaras dengan pendapat
Juan Carlos, bahwa optimis, tahan banting dan resourcefulness
adalah dimensi dari ketahanan (resilience) yang pada akhirnya
membantu untuk memprediksi keberhasilan seseorang.180
Tuhan memberikan isyarat kepada manusia untuk
bersabar dan mengerjakan salat agar jiwa merasa tenang dan
tentram dari pelbagai macam cobaan dan kesulitan yang ada
dapat dengan mudah diatasi dengan baik. Dalam penelitian
Henry, bahwa salat dapat menghasilkan energi spiritual yang
mampu memberikan pengaruh positif terhadap psikologis
manusia. Seperti, coping stres, sensitif terhadap lingkungan
sosial, kepuasan hidup dan lain sebagainya.181 Dengan demikian,
segala bentuk praktik ibadah yang terkandung dalam ajaran
agama (Islam) pada dasarnya mampu memberikan pengaruh yang
sangat positif bagi manusia dalam menjalani proses kehidupan.
Betapa tidak, harapan tidak selalu terwujud dalam kehidupan.
Terkadang ada ujian, kesulitan dan cobaan dalam hidup untuk
dilalui agar harapan itu dapat dinikmati. Di sinilah peran agama
mampu memberikan pengaruh positif-optimis, motivasi tinggi,
tidak berputus asa dan berusaha dengan maksimal agar harapan
untuk menjadi sukses di dunia dan akhirat dapat terwujud.
Idealnya, peran agama menjadi titik sentral dalam kehidupan
manusia untuk menjalani setiap proses kehidupan, barulah

jelas dalam meningkatkan potensi manusia. Keempat, tidak sesuai dengan


keadaan atau budaya Islam, karena kecerdasan ini berpahamkan materialis
dan berdasarkan teori evolusi. Lihat, Burhan Akpunar and Yunus Dogan,
“Deciphering The Teory of Multiple Intelligences: An Islamic
Perspective,” International Journal of Business and Socal Science Vol. 2
No. 11 (2011), 230.
180
Juan-Carlos Ayala and Guadalupe Manzano, “The Resilience of
the Entrepreneur. Influence On the Success of the Business. A Longitudinal
Analysis,” Journal of Economic Psychology Vol. 42 (2014), 126.
181
Hani. M Henry, “Spiritual Energy of Islamic Prayers as a
Catalyst for Psychotherapy,” Journal of Religion and Health Vol. 54 Issue.
2 (2015), 387-398. Lihat juga Zeenat Ismail and Soha Desmukh,
“Religiosity and Psychological Well-Being,” International journal of
Business and Social Science Vol. 3 No. 11 (2012), 20.

90
kemudian usaha yang maksimal dengan mengoptimalkan segala
potensi yang Tuhan berikan.
Dengan demikian, peran agama merupakan titik sentral
dalam kehidupan manusia dan mampu memberikan motivasi dan
optimis ketika manusia mengalami pelbagai kesulitan, ujian dan
cobaan dalam hidup. Namun, agama (religiusitas) tidak akan
mampu memberikan kontribusi yang positif bagi manusia,
selama manusia belum mampu memahami secara baik akan
agama dan cenderung belum mampu merealisasikan apa yang
dikehendaki oleh agama itu sendiri. Oleh karena itu, idealnya,
pemahaman terhadap agama dan merealisasikan nilai-nilai
keagamaan yang terkandung di dalamnya mampu memberikan
pengaruh yang positif serta menjadi titik sentral dalam kehidupan
manusia untuk menggapai harapan dan kesuksesan-disertai
dengan usaha yang maksimal.

2. Agama: Ada Kemudahan Setelah Kesulitan


Agama merupakan sumber primer dalam kehidupan
manusia. Dengan agama, manusia akan merespon dan bertindak
sesuai dengan tuntunan agamanya. Sehingga, apa yang
diperintahkan dan dilarang oleh agama akan ditaati sesuai kadar
kemampuan manusia. Namun, seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi (zaman modern) agama merupakan
hal yang kurang menjadi inspirasi bagi manusia dalam
menghadapi kehidupan.182
Namun yang terpenting adalah, Islam sebagai agama
yang memiliki landasan al-Qur‟an telah memberikan pelbagai
inspirasi bagi manusia, khususnya dalam menyikapi kehidupan.
Seperti isyarat al-Qur„an bahwa setiap kesulitan pasti ada
kemudahan.
183
.          

182
Menurut Witoszek, agama sudah lama menjadi isu hangat
dalam konteks kehidupan modern. Nina Witoszek, “Introduction: Religion
and Ecomodernity,” Nature and Culture Vol. 8 Issue. 3, (2013), 237.
183
al-Qur’a>n s. al-Inshirah}/94:5-6. Menurut Shihab, Kata ‫ انؼسر‬al-
„Usr terulang di dalam al-Qur‟an sebanyak 4 kali, sedangkan dalam

91
Artinya:“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.”

Isyarat ini merupakan hukum kausalitas, bahwa setiap


ada kesulitan pasti ada kemudahan atau setiap ada kesulitan
bersamaan dengan kemudahan. Dalam konteks ini, Tuhan telah
memberikan beragam macam solusi kepada manusia karena
manusia diketahui telah memiliki pelbagai potensi yang
dengannya itu mampu untuk mengatasi segala macam kesulitan,
cobaan dan ujian dalam hidup. Menurut Hamka, isyarat yang
terkandung dalam ayat ini pada dasarnya menekankan keimanan,
pelbagai rintangan dan kesulitan harus diatasi dengan baik dan
yang terpenting adalah bahwa iman merupakan dasar untuk
mengatasi segala kesulitan, rintangan, ujian dan cobaan dalam
hidup, sehingga dalam mengatasi pelbagai kesulitan tidak akan
dihantui oleh perasaan pesimis dan putus asa.184 Hal ini juga
senada dengan Abduh, bahwa segala rintangan dan kesulitan
pada dasarnya mampu untuk diatasi selama manusia mengguna-
kan segala potensi yang ada dengan optimal dan yang terpenting
adalah bagaimana manusia mampu merespon positif dan berserah
diri sepenuhnya kepada Tuhan.185
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa, tidak ada
sesuatu hal yang bersifat permanen, menetap, statis dalam
kehidupan ini, ada kemudahan setelah kesulitan. Manusia
cenderung tidak akan mendapatkan hidup bahagia sebelum
melalui pelbagai kesulitan yang dihadapi. Dengan adanya
kesulitan, permasalahan, cobaan dan ujian dalam hidup, manusia
akan menyadari bahwa kebahagiaan, ketenangan dan ketentram-

pelbagai bentuknya terulang sebanyak 12 kali. Kata ini digunakan untuk


sesuatu yang sangat keras atau sulit atau berat. Lihat, M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Volume, 15
(Jakarta: Lentera Hati, Cet. V, 2011), 416.
184
Lihat lebih lanjut,Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 30 (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1982), 199.
185
Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m; Juz ‘Amma
(Kairoh Mesir, Mathab al-Ami>riyah, 1322 H), 115.

92
an tidak akan diperoleh sebelum melalui tahap-tahap kesulitan.
Disinilah peran agama, pelbagai kesulitan, cobaan dan ujian
dalam hidup harus dilalui dengan penuh kesabaran, berpikir
positif, optimis dan berusaha dengan maksimal. Agama
memberikan solusi kepada manusia berupa peran sabar. Dengan
sabar, idealnya manusia mampu mengatasi pelbagai kesulitan,
rintangan dan ujian dalam hidup yang pada akhirnya mampu
memperoleh kesuksesan dalam hidup. Hal ini senada dengan
Rounding dan kawan-kawan, bahwa agama meliputi konsep
moralitas,186 dalam arti-segala bentuk pikiran dan perilaku
idealnya berdasarkan pada ajaran agama, Islam. Dengan
demikian, agama mampu memberikan solusi yang terbaik
sekaligus memberikan petunjuk pada manusia untuk menjalani
kehidupan.
Menjalani proses kehidupan di dunia merupakan bagian
dari kehendak Tuhan bagi manusia. Bagaimana merespon dan
bertindak terhadap segala persoalan hidup pada dasarnya
mengoptimalkan segala potensi yang telah Tuhan berikan.
Berkaitan dengan kesulitan, ujian dan cobaan yang selalu dialami
oleh manusia-agama telah memberikan isyarat kepada manusia
untuk memilih jalan yang terbaik. Dengan demikian, segala
bentuk kesulitan dan ujian dalam hidup pada dasarnya sebuah
proses untuk menjadi manusia yang sempurna, manusia yang
mampu mengoptimalkan segala potensi yang ada dan tetap
berkomunikasi dengan Tuhan sebagai tanda rasa syukur. Hal ini
senada dengan Ancok, bahwa esensi Islam adalah tauhid-segala
bentuk respon dan tindakan manusia harus berlandaskan berupa
nilai kepercayaan kepada Tuhan.187 Manusia memiliki beragam
kebutuhan, seperti kebutuhan yang bersifat fisiologis, psikologis
dan spiritual. Namun, kebutuhan yang paling mendasar adalah
kebutuhan spiritual, motivasi beragama-dengan memenuhi
kebutuhan spiritual tersebut maka ketenangan dan kebahagiaan

186
Kevin Rounding, “Religion Replenishes Self-Control,”
Psychological Science. Vol. 23 No. 6 (2012), 635.
187
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami
(Yogyakarta: Pustaka Pelajara, Cet. VII, 2008), 79.

93
akan terwujud dalam setiap kehidupan manusia.188 Asumsi
dasarnya adalah, jika kebutuhan ini dipertahankan dan dipenuhi
secara proporsional maka segala bentuk kesulitan, ujian dan
cobaan dalam hidup dapat diatasi dengan baik. Senada dengan
Koenig, bahwa religiusitas dapat meningkatkan stabilitas
kejiwaan.189
Antara kesuksesan dan kesulitan, pada dasarnya satu
kesatuan yang tidak akan pernah hilang dalam kehidupan.
Manusia yang mampu mengatasi segala kesulitan, cobaan dan
ujian dalam hidup akan mendapatkan pahala, baik itu pahala
yang bersifat materi maupun pahala yang bersifat immateri dan
optimis terhadap segala kesulitan.190 Demikian pun sebaliknya,
manusia yang gagal mengatasi kesulitan dan semakin terjerumus
dalam lembah kehinaan akan mendapatkan dosa, dosa dalam arti
kesengsaraan hidup di dunia karena cenderung tidak meng-
optimalkan pelbagai potensi yang Tuhan berikan. Dengan
demikian, manusia yang mampu mengatasi segala kesulitan,
ujian dan cobaan dalam hidup adalah manusia yang berusaha
untuk menginginkan hidup dengan penuh kebermaknaan.
Menurut Bastaman, ada tiga nilai yang menjadi sumber makna
hidup.191 Pertama. Creative values (nilai-nilai kreatif), bekerja
dan berkarya dengan penuh tanggung jawab. Menurut Bastaman,
inti dari makna hidup bukan pada perihal bekerja dan berkarya,
namun pada sikap dan cara kerja seseorang. Bekerja dan berkarya
hanyalah sebagai sarana. Dengan demikian, bagaimana seseorang
berkerja dan berkarya dengan penuh tanggung jawab mampu
memberikan manfaat pada kehidupan orang lain, poin inilah yang

188
Muhammad UtsmanNajati, The UltimatePsychology; Psikologi
Sempurna ala Nabi Saw16-30.
189
Magid Kagimu and others, eds. “Religiosity for Promotion of
Behaviors Likely to Reduce New HIV Infections in Uganda: A Study
Among Muslim Youth in Wakiso District,” Journal of Religion and Health
Vol. 48 No. 1 (2009).
190
Optimism is a broad spectrum force for good in your life. Lihat,
Price Pritchett, Hard Optmism: How to Succeed in a World Where Positive
Wins (New York: McGraw-Hill, 2007), 8.
191
Hanna Dhumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam
(Yogyskstys: Pustaka Pelajar, Cet. IV, 2005), 195-196.

94
nantinya akan melahirkan perasaan hidup yang bermakna pada
manusia. Dalam konteks ini, al-Qur‟an memberikan isyarat
kepada manusia untuk saling tolong menolong dalam hal
kebaikan.
192
.           
Artinya: “,,,,,dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Isyarat ini merupakan anjuran Tuhan bagi manusia untuk


saling tolong menolong dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Dengan kesadaran dan keikhlasan diharapkan mampu
memberikan rasa kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman
dalam hidup.
Kedua, experiental values (nilai-nilai penghayatan).
Meyakini dan menghayati pelbagai bentuk nilai-nilai positif,
termasuk dalam kategori ini adalah bagaimana menghayati
dengan penuh kesadaran terhadap realitas mutlak, Tuhan.
Meyakini dan menghayati serta beriman kepada Tuhan berarti
menjalankan segala bentuk perintah dan larangan dalam proses
kehidupan. Tuhan mengisyaratkan agar bersabar ketika badai
kesulitan datang menerpa, optimis dalam menyikapi kehidupan,
bersyukur atas segala anugerah dan menjalin kasih sayang
dengan sesama makhluk di dunia. Reprensentasi inilah yang
idealnya memberikan pengaruh positif dalam kehidupan manusia
dan tentu memberikan kebermaknaan hidup bagi manusia yang
secara sadar menjalankan segala bentuk perintah Tuhan.
Ketiga, attitudinal values (nilai-nilai bersikap). Respon
seseorang terhadap realitas kehidupan, kebahagiaan atau
penderitaan. Hal ini selaras dengan peran manusia sebagai
khalifah atau mandataris Tuhan, kebebasan untuk bersikap
terhadap situasi yang sedang dihadapi. Jadi, setiap penderitaan
ataupun kesulitan tidak akan memberikan pengaruh yang negatif
bagi manusia selama respon dan sikap optimis dipertahankan.

192
al-Qur’a>n s. al-Ma>’idah/5:2.

95
Selalu ada hikmah setiap kesulitan, ujian dan cobaan serta ada
pengalaman hidup yang bermakna untuk terus berkembang
menjadi manusia yang bijaksana. Dengan demikian, kebebasan
menyikapi situasi dengan penuh kesadaran yang berdasarkan hati
dan akal mampu memberikan kebermaknaan dalam hidup,
terlebih lagi dalam menghadapi kehidupan di era modern
sekarang.
Beragama merupakan fitrah bagi manusia secara
keseluruhan. Dengan beragama, manusia mampu menjaga
eksistensinya dalam menjalankan proses kehidupan. Idealnya,
manusia akan meraih segala yang menjadi harapannya dengan
segala potensi yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Namun
terkadang, harapan tidak sesuai dengan hasil yang dicapai. Ada
banyak rintangan, kesulitan, ujian dan cobaan dalam meraih hal
tersebut. Semakin tinggi manusia mendaki gunung, maka
semakin kuat angin berhembus. Begitulah kehidupan, manusia
pasti berhadapan dengan segala bentuk kesulitan. Sudah menjadi
hukum Tuhan, dalam mewujudkan harapan pasti ada manusia
yang gagal dan manusia yang sukses dalam meraih apa yang
diharapkannya. Kegagalan bukan berarti akhir dari semua, tapi
awal dari pencapaian tujuan yang tertunda. Dalam konteks ini,
hubungan antara kegagalan dengan agama sangat erat sekali.
Dalam arti, dengan agama, manusia akan termotivasi untuk
bangkit dari kegagalan dan mampu mengambil hikmah dari
sebuah kegagalan tersebut.193
Ada kemudahan setiap kesulitan dalam hidup. Optimis
terhadap segala keadaan yang cenderung tidak menyenangkan
mengindikasikan bahwa manusia mampu menyerap nilai-nilai

193
Tamas Martosand others, eds. “Religious Motivations for
Everyday Goals: Their Religious Context and Potential Consequences.”
Motivation and Emotion Vol. 35 Issue. 1 (2011), 85. Agama juga mampu
memberikan motivasi kepada manusia untuk menyikapi keadaan yang
sedang terjadi, mampu menyesuaikan diri secara psikologis. Lihat, Kevin
S. Masters and Andrea Knestel, “Religious Motivation and Cardiovascular
Reactivity Among Middle Aged Adults: Is Being Pro-Religious Really that
Good for You?.” Journal of Behavioral Medicine Vol. 34 Issue. 6 (2011),
449-461.

96
agama dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.194
Karena pada dasarnya, agama berarti tunduk dan taat terhadap
Tuhan. Dengan demikian, pelbagai macam bentuk kesulitan,
ujian dan cobaan harus dihadapi dengan kesabaran sebagai bukti
bahwa manusia tunduk dan taat terhadap segala ketetapan-Nya.
Menurut Kasen dan koleganya, religiusitas berkontribusi untuk
meningkatkan ketahanan seseorang terhadap depresi.195 Dalam
menjalani proses kehidupan, manusia dihadapkan beragam
macam kesulitan. Manusia yang mampu merespon dengan
positif, cenderung mampu untuk mengatasinya, demikianpun
sebaliknya. Usaha yang maksimal merupakan representasi dari
motivasi, optimis dan kesadaran untuk hidup bahagia
sebagaimana yang diisyaratkan oleh agama. Dengan demikian,
keberagamaan seseorang, mampu memberikan pengaruh yang
positif, optimis terhadap kenyataan hidup yang dinamis. Tidak
hanya sekedar melakukan praktik-praktik ibadah saja, namun
mampu merealisasikan nilai-nilai agama yang tersirat untuk
menghadapi kehidupan sekarang dan kritis terhadap kehidupan
yang akan datang. Manusia yang memiliki pelbagai potensi,
idealnya mampu untuk bersabar, bersyukur dan mampu menjalin
hubungan dengan sesama makhluk di dunia dengan penuh kasih
sayang,196 sehingga apa yang diharapkannya (hal-hal yang tidak
melanggar peraturan agama) terwujud dan memberikan
kehidupan yang bahagia.
Kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup pada dasarnya
tidak seberapa jika dibandingkan dengan semua potensi yang
telah Tuhan berikan. Hanya saja, manusia yang memiliki rasa
keluh kesah, kecintaan terhadap dunia dan syahwat telah
menghantarkan kepada hal-hal yang bersifat berlebihan,
194
Darpan Kaur Mohinder Singh and Shaunak Ajinkya,
“Spirituality and Religion in Modern Medicine.” Indian Journal of
Psychological Medicine Vol. 34 Issue. 4 (2012), 400-401.
195
S. Kasenand others, eds. “Religiosity and Resilience in Persons
at High Risk for Major Depression.” Psychological Medicine Vol. 42
(2012), 509-519.
196
Azim F. Shariff and Ara Norenzayan, “Mean Gods Make Good
People: Different Views of God Predict Cheating Behavior.” International
Journal for the Psychology of Religion 21 (2011), 86.

97
egosentris. Sehingga, ketika harapan tidak tercapai sesuai yang
diinginkan maka kecenderungan untuk berputus asa dan pesimis
semakin besar. Agama tidak melarang manusia untuk mencapai
apa yang menjadi harapannya, namun ketika harapan itu didasari
dengan ketamakan dan kerakusan maka hal ini yang menjadi
tolak ukur manusia untuk gagal meraih kesuksesan atau harapan
yang hakiki. Hal ini senada dengan Khalek, bahwa agama
berhubungan positif dengan kebahagiaan manusia.197 Dengan
demikian, agama tidak melarang manusia untuk meraih segala
harapan dengan batas-batas kewajaran, tidak terjebak dengan
keindahan dunia, harapan yang terwujud dan mampu memberi-
kan manfaat kepada orang lain serta menjalin komunikasi dengan
Tuhan lebih baik-itu semua pada akhirnya memberikan
kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan keindahan dunia
beserta isinya, kebahagiaan yang hakiki.
Menurut Mutahhari, dalam proses kehidupan di dunia
mengandung pelbagai macam bentuk penderitaan, kegagalan,
kesedihan, kesulitan, ujian, cobaan dan kekecewaan. Hal itu
semua pada dasarnya dapat dicegah bahkan diatasi dengan
berusaha sekuat tenaga, berharap agar segala macam bentuk
kesulitan dapat diatasi. Namun, ada beberapa peristiwa di dunia
yang tidak bisa diatasi, menjadi tua dan kematian, hal ini
mengindikasikan bahwa manusia pada dasarnya atau pada titik
tertentu lemah, tidak berdaya. Dengan keyakinan keagamaan,
segala bentuk kesulitan, penderitaan, kesedihan, kekecewaan,
ujian dan cobaan dalam hidup dapat ditahan dan mampu
menjadikannya sebagai respon positif.198 Agama mampu
memberikan pelbagai hal yang bersifat positif dalam kehidupan
manusia. Sehingga, kebebasan dalam bertindak pada dasarnya
197
Ahmed M. Abdel-Khalek, “Religiosity, Subjective Well-Being,
and Depression in Saudi Children and Adolescents.” Mental Health,
Religion and Culture Vol. 12 No. 8 (2009), 803-815.
198
Karena, manusia yang beriman sadar bahwa Tuhan adalah
tempat berlindung dan memohon pertolongan yang paling baik. Lihat,
Murtahda Mutahhari, Perspektif Al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama.
Penyunting, Haidar Bagir. Diterjemahkan dari beberapa buku berbahasa
Arab dan Inggris karangan Murtahda Muthahhari (Bandung: Mizan. Cet. 3.
1989), 82-93.

98
bukan kebebasan mutlak seperti kebebasan Tuhan. Kebebasan
manusia untuk merespon setiap kejadian yang ada, baik itu
bersifat kebahagiaan ataupun penderitaan. Hal ini senada dengan
Aisyah, bahwa berkehendak (ira>dah) dalam pengertian makhluk
berbeda dengan kehendak Tuhan. Berkehendak dalam pengertian
makhluk adalah bersifat terbatas, tidak mutlak. Karena kehendak
manusia didahului oleh keinginan dan pemikiran.199 Segalanya
manusia yang menetapkan, jika manusia bertindak berdasarkan
beberapa potensi yang ada, maka kecenderungan untuk menjadi
lebih baik semakin terbuka. Demikianpun sebaliknya, manusia
yang merespon sekaligus bertindak tidak berdasarkan beberapa
potensi yang ada kecenderungan untuk merugi semakin kuat.
Manusia, agama dan kehidupan merupakan satu kesatuan
yang idealnya terintegrasi dalam satu struktur yang dinamis.
Manusia merespon dan bertindak terhadap kehidupan idealnya
berpegang teguh pada prinsip-prinsip keagamaan yang sifatnya
universal. Namun demikian, manusia pada dasarnya memiliki
segi positif dan negatif. Sehingga peran agama yang menjadi
fitrah cenderung mengikuti kondisi kejiwaan manusia. Menurut
Syauqi Nawawi, manusia di dalam al-Qur‟an berulang kali
diangkat derajatnya karena mengaktualisasikan jiwa secara
positif, sebaliknya berulang kali juga manusia direndahkan
karena aktualisasi jiwa yang negatif.200 Lebih tinggi derajatnya

199
Aisyah Binti Syati, Maqa>l fi> al-Insa>n, Dira>sah Qur’aniyah (al-
Qa>hirah: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 109.
200
Segi positif manusia berdasarkan al-Qur‟an: 1. Manusia sebagai
mandataris Tuhan, khalifah (al-Baqarah,2: 30, al-An‟a>m, 6: 165). 2.
Memiliki kecerdasan yang tinggi dibandingkan dengan makhluk lain (al-
Baqarah, 2: 31-33). 3. Memiliki fitrah keagamaan (al-‘Ara>f, 7:172, al-
Ru>m, 30:43). 4. Memiliki unsur-unsur surgawi yang terintegrasi dengan
alam nyata (al-Sajadah, 32: 7-9). 5. Manusia merupakan makhluk pilihan
(T{a>ha>, 20: 122). 6. Memiliki kebebasan bertindak untuk menyikapi
keadaan (al-Ah}za>b, 33: 72, al-Insa>n, 76: 2-3). 7. Memiliki pelbagai potensi
dan bermartabat (al-Isra>, 17: 70). 8. Memiliki kesadaran moral (al-Shams,
91: 7-8). 9. Memiliki jiwa yang selalu terhubungan dengan Tuhan,
sehingga manusia tidak akan pernah damai kecuali dengan mengingat
Tuhan (al-R’ad, 13:28, al-Inshiqa>q, 84: 6). 10. Segala ada yang di dunia
diciptakan untuk kepentingan manusia dan berhak memanfaatkannya

99
dibandingkan dengan makhluk lain termasuk malaikat jika
jiwanya diaktualisasikan dengan positif, disaat yang sama, akan
lebih rendah derajat manusia dibandingkan binatang jika jiwanya
diaktualisasikan dengan negatif. Mengaktualisasikan jiwa secara
positif pada dasarnya memberikan pengaruh yang baik untuk
menjalani proses kehidupan yang di dalamnya terdapat banyak
beragam macam kesulitan, permasalahan, ujian dan cobaan.
Manusia dengan segala potensinya akan berusaha untuk
memahami arti kehidupan yang pada akhirnya menghantarkan
manusia pada kesuksesan. Dengan segala potensi yang ada,
manusia bebas berkehendak (bukan bebas secara mutlak) untuk
menyikapi segala hal kehidupan. Kebahagiaan, ketenangan,
ketentraman dan lain sebagainya adalah beberapa indikator dari
kebermaknaan hidup. Dengan kebermaknaan hidup tersebut,
manusia akan mampu mengatasi segala macam bentuk ujian atau

dengan cara yang baik (al-Baqarah, 2: 29, al-Ja>siyah, 45: 13). 11. Memiliki
tanggung jawab untuk menyembah, tunduk dan patuh terhadap Tuhan (al-
Za>riya>t, 51: 56). 12. Manusia tidak akan mampu untuk memahami dirinya
sendiri kecuali dengan sujud kepada Tuhan dan mengingat-Nya (al-H{ashr,
59: 19). 13. Setelah meninggal, segala realitas yang tersembunyi akan
dihadapkan kepada manusia (Qa>f, 50: 22). 14. Manusia tidak hanya
tersentuh motivasi yang bersifat dunia saja (al-Fajr, 89: 27-28). Adapaun
segi negatif manusia berdasarkan al-Quran: 1. Manusia sebagai makhluk
yang sangat bodoh dan zalim (al-Ah}za>b, 33: 72). 2. Manusia sebagai
makhluk yang sombong dan congkak (al-Nisa>’, 4: 36). 3. Mengingkari
nikmat-nikmat yang Tuhan berikan (al-H{aj, 22: 66). 4. Manusia memiliki
karakter iri hati (al-Baqarah, 2: 109). 5. Manusia suka melampaui batas
karena merasa sudah cukup (al-‘Alaq, 96: 6-7). 6. Manusia memiliki sifat
tergesa-gesa (al-Isra>, 17: 11). 7. Memiliki watak sangat kikir (al-Isra>, 17:
100). 8. Kecenderung suka gelisah dan berkeluh kesah (al-Ma’a>rij, 70: 19-
20). 9. Memiliki watak suka membanggakan diri, suka kegembiraan yang
temporer (Hu>d, 11: 10). 10. Mudah putus asa dan pesimistik (Fus}s}ilat, 41:
49, al-Isra>, 17: 83). 11. Manusia diciptakan berwatak paling banyak
membantah (al-Kahfi, 18: 54). 12. Manusia cenderung tidak konsisten
(Yu>nus, 10: 12). Rifaat Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islami.
Penyunting Rendra K. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 5-13.

100
kesulitan dalam hidup.201 Realitas kehidupan yang selalu
berubah, ada kesedihan, kesulitan, ujian dan cobaan sekaligus
kegembiraan, kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman sangat
mempengaruhi struktur kejiwaan manusia. Kecenderungan untuk
berkeluh kesah dengan beragam kesulitan dan ujian hidup
merupakan hal yang pada dasarnya sifat manusia. Hal ini
diisyaratkan oleh al-Qur‟an
           

202
.   
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir.Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia
amat kikir.”

Kecenderungan manusia untuk berkeluh kesah jika


ditimpa beragam kesulitan, kesusahan, ujian, rintangan dan
cobaan dalam hidup dan jika memperoleh apa yang
diharapkannya kecenderungan untuk kikir, lupa dengan Tuhan
dan terlena dengan segala harapan yang didapatkan. Tidak dapat
dipungkiri, bahwa kesulitan dan cobaan dalam hidup pasti akan
ada. Sebagai manusia yang pada dasarnya memiliki beragam
potensi, idealnya mampu untuk mengatasinya dengan tidak
berkeluh kesah, jikapun berkeluh kesah-itu hanyalah bersifat
sementara dan menjadikan agama sebagai motivasi untuk
mengatasi pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup
karena agama adalah dasar bagi manusia dalam menjalani proses
kehidupan. Hal ini senada dengan Jung yang dikutip oleh Rambo,
bahwa agama merupakan pokok sentral dalam kehidupan

201
Yung-Jong Shiahand others, eds. “Religion and Health:
Anxiety, Religiosity, Meaning of Life and Mental Health,” Journal of
Religion and Health Vol. 54 Issue. 1 (2015), 42.
202
al-Qur’a>n s. al-Ma’a>rij/70:19-21.

101
manusia.203 Dengan demikian, agama yang menjadi dasar bagi
manusia dalam menjalani proses kehidupan di dunia, segala
kesulitan, ujian, cobaan dan pelbagai bentuk kehidupan yang
lainnya mampu untuk diatasi secara cerdas.
Antara agama dengan proses kehidupan yang dijalani
manusia pada dasarnya bertalian erat, tidah terpisahkan. Manusia
yang sedang mengalami gejolak jiwa, dengan agama, hati
menjadi tentram dan jiwa menjadi tenang. Pelbagai proses
kehidupan yang cenderung membuat manusia menjadi pesimis
dan putus asa, dengan agama juga, pesimis berubah menjadi
optimis dan putus asa menjadi motivasi. Karena pada dasarnya,
agama merupakan pondasi yang kuat bagi manusia, selama nilai-
nilai agama dipahami dan direalisasikan secara optimal. Hal ini
senada dengan Gedicks, bahwa agama mampu menawarkan
kepada setiap individu untuk hidup penuh makna dan agama
berhubungan positif dengan kepuasan hidup seseorang.204
Dengan demikian, agama merupakan bagian yang pada
dasarnya tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dengan
agama yang disertai dengan pemahaman yang baik dan
pengamalan yang optimal (sesuai yang dikehendaki Tuhan)
segala bentuk kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup mampu
diatasi dengan baik. Karena agama merupakan fitrah dasar bagi
manusia. Manusia yang sudah terpenuhi segala kebutuhan
fisiologis cenderung kurang memaknai setiap proses kehidupan.
Sebaliknya, manusia yang cenderung kurang terpenuhi kebutuhan
fisiologis namun secara spiritual (agama/religiusitas) teroptimal-
kan maka kecenderungan untuk meraih kebahagiaan, kesuksesan
dan harapan hidup yang lebih baik akan dicapai. Fitrah dasar

203
Lewis R. Rambo and others, eds. “Psychology of Religion:
Toward a Multidisciplinary Paradigm,” Pastoral Psychology Vol. 61
(2012),713.
204
Frederick Mark Gedicks, “Religion, Meaning, Truth, Life.” San
Diego Law Review Vol. 51 (2014), 1069-1078. Lihat, Chaeyoon Lim and
Robert D. Putnam, “Religion, Social Network, and Life Satisfaction,”
American Sociological Review Vol. 75 No. 6 (2010), 914-933. Lihat juga,
Varapa Rakrachakarn and others, eds. “Materialism and Life Satisfaction:
The Role of Religion,” Journal of Religion and Health Vol. 54 (2013),
413-426.

102
inilah yang harus diprioritaskan bagi manusia. Bagaimana
manusia untuk memelihara kualitas fitrah ini agar selalu hidup
dalam jiwa setiap manusia dan mampu memberikan kontribusi
yang positif. Dengan agama, manusia tidak hanya dituntut cerdas
untuk berkomunikasi dengan Tuhan, tapi dituntut cerdas untuk
melihat realitas kehidupan, mampu memahami dan mengamalkan
nilai-nilai keagamaan dengan baik, keseimbangan antara nilai-
nilai ketuhanan dengan nilai-nilai kemanusian.

3. Agama dan Kecerdasan Bagi Manusia


Dalam merespon dan menyikapi pelbagai macam
kehidupan, agama merupakan hal yang terpenting bagi manusia.
Dengan agama, manusia mampu bertahan untuk berpikir positif
dan optimis dalam keadaan sulit. Bahkan, agama mampu
memberikan kesejahteraan, kepuasan hidup, optimis dan lain
sebagainya. Tidak diragukan, faktor agama merupakan dasar bagi
manusia untuk merespon dan menyikapi pelbagai proses
kehidupan. Oleh karena itu, manusia yang mampu menjalankan
fungsi agama dan merealisasikan pelbagai nilai yang terkandung
di dalamnya adalah manusia yang memiliki kecerdasan
akalnya.205 Kecerdasan dipahami sebagai kemampuan untuk
merespon dan bertindak dengan cepat sesuai kontek yang sedang
dihadapi, mampu membedakan mana yang baik dan buruk,
kecerdasan inilah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain
manusia, kesempuranaan manusia.206 Hal senada juga disampai-
kan oleh Bagheri dan kawan-kawan, bahwa kecerdasan adalah
kemampuan individu untuk menyesuaikan diri terhadap situasi
untuk menggapai tujuan.207

205
Azhari Aziz Samudra, Setia Budi, Hakekat Akal Jasmani dan
Rohani: Menguak Fenomena yang tak Terpecahkan Selama 14 Abad
(Bekasi: Yayasan Majelis Ta‟lim HDH, 2004), 114-118.
206
Achmad Mubarok, Psikologi.71. Lihat juga,J.P Chaplin, Kamus
Lengkap Psikologi. 253.
207
Ghodratolah Bagheriand others, eds. “The Spiritual Intelligence
(SI) component from the perspective of Islam and West,” International
Research Journal of Applied and Basic Sciences Vol. 4 (2013), 3544.

103
Beragam macam potensi yang ada pada manusia idealnya
mampu memberikan pengaruh yang positif dalam setiap dimensi
kehidupan. Hal inilah, yang menyebabkan manusia memiliki
derajat yang tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya,
bagaimana manusia mampu bertanggungjawab memikul amanat
sebagai mandataris Tuhan dan mampu merealisasikan beragam
macam potensi yang telah dianugerahkan-Nya. Kesempurnaan
pada manusia memberikan peluang untuk selalu berkompetisi,
mampu mengatasi segala medan kesulitan, mampu merealisasi-
kan nilai-nilai agama ke lingkungan sosial, berkepribadian baik
dan pada intinya mampu berkomunikasi dengan baik dengan
Tuhan. Asumsi dasarnya, agama merupakan dasar dari kecerdas-
an manusia-dengan beragama manusia mampu berkomunikasi
dengan Tuhan dengan baik dan mampu menerjemahkan ke-
hendak Tuhan dalam kehidupan sendiri maupun kehidupan
sosial.
Namun demikian, agama yang pada dasarnya memberi-
kan kontribusi kepada manusia tidak sepenuhnya mendapatkan
tempat yang laik dalam kecerdasan-sebagai contoh kecerdasan
spiritual. Menurut Zohar dan Marshall, SQ has no necessary
connection to religion. For some people, SQ may find a mode of
expression through formal religion, but being religious doesn‟t
guarantee high SQ.208 Kecenderungan tidak ada pengaruh positif
agama (merealisasikan segala perintah agama) dengan struktur
kecerdasan pada dasarnya ketidakmampuan manusia untuk
memahami dengan baik hal-hal yang terkandung di dalam nilai-

208
Danah Zohar and Ian Marshall, Spritual Intelligence: The
Ultimate Intelligence (London: Bloomsbury Publishing Plc, 2000), 8-9.
Bandingkan dengan Mujib, bahwa kecerdasan beragama atau bertuhan
perlu ditambahkan karena dalam spirituality psikologi Barat kontemporer
tidak mesti mengandung konotasi agama. Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001), 325. Kemudian, menurut Hendrawan, antara kecerdasan
spiritual dengan kecerdasan profetik haruslah dibedakan. Karena
kecerdasan profetik sebenarnya adalah kecerdasan spiritual plus (SQ +), kata
plus ini merujuk kepada agama yang benar. Sanerya Hendrawan, Spritual
Management: From Personal Enlightenment Toward God Corporate
Governance (Bandung: Mizan, cet I, 2009), 170.

104
nilai agama. bagaimana seharusnya agama memberikan pesan
positif cenderung tidak direspon dengan baik oleh manusia.
Kecenderungan manusia hanyalah memperhatikan diri sendiri,
egosentris. Padahal Tuhan menghendaki untuk memperhatikan
setiap makhluk yang ada di dunia; kasih sayang, saling mem-
bantu, menghargai, mengingatkan dan pelbagai bentuk positif
lainnya. Manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan
diri sendiri, beribadah untuk diri sendiri dan pelbagai bentuk nilai
negatif yang ada dalam nilai-nilai keuniversalan Islam. Dalam
realitasnya, tidak semua manusia memiliki karakter tersebut,
manusia memiliki visi dan misi yang berdasarkan nilai-nilai
katuhanan dan mampu memahami nilai-nilai keagamaan yang
terkandung di dalamnya, bukan sekedar untuk diri sendiri,
melainkan nilai keuniversalan Islam atau agama yang lebih di-
prioritaskan. Sehingga, dalam memahami konteks nilai
keuniversalan Islam (agama) dalam realitas kehidupan sehari-hari
peran agama mampu menjadi dasar yang pada akhirnya
membentuk kepribadian yang sehat dan cerdas secara holistik.
Kecerdasan idealnya adalah memberikan tempat yang
laik untuk Tuhan, understanding God‟s presence in ordinary
life.209 Cerdas secara holistik, bagaimana manusia mengembang-
kan pelbagai potensi dan mampu merealisasikannya dalam
menyikapi situasi serta mampu untuk berkomunikasi dengan
Tuhan dengan baik. Senada juga dengan Fallah dan kawan-
kawan, bahwa seorang muslim idealnya selalu mendekatkan diri
kepada Tuhan dalam menyikapi segala problem kehidupan.210
Kesuksesan dan kesejahteraan manusia cenderung diperoleh dari
keintegrasian antara mengoptimalkan pelbagai potensi dan selalu
menyertakan kehadiran Tuhan dalam setiap proses kehidupan,
terutama dalam menyikapi setiap situasi. Namun, antara agama

209
Ghodratolah Bagheri and others, eds. “The Spiritual
Intelligence (SI) component from the perspective of Islam and
West,”International Research Journal of Applied and Basic Sciences Vol.
4 (2013), 3547.
210
Vahid Fallah and others, eds. “Development of Emotional
Quotient and Spiritual Quotient: The strategy of Ethics Development,”
International Letters of Social and Humanistic Sciences Vol. 49 (2015), 44.

105
dengan kecerdasan tidak sepenuhnya memberikan kontribusi
yang positif, ada hubungan dan efek yang negatif antara
kecerdasan dengan religiusitas.211 Hubungan yang negatif ini
pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan.
Idealnya adalah, antara agama (bagaimana mengamalkan nilai-
nilai agama dalam kehidupan sehari-hari) dengan kecerdasan
saling bersinergi. Bagaimana manusia berkomunikasi dengan
Tuhan dan merealisasikan segala bentuk perintah-Nya adalah
wujud dari kecerdasan yang dimiliki oleh manusia.212 Dengan
demikian, kecerdasan manusia dalam menyikapi pelbagai macam
situasi kehidupan tidak akan ideal jika terpisahkan dari esensinya,
Tuhan.
Ada beberapa isyarat al-Qur‟an dalam konteks
kecerdasan. Seperti, mengingat (tadhazakkur), refleksi
(tadabbur), berpikir (tafakkur) dan pemahaman (tafaqquh).213
Mengingat, merefleksi, berpikir dan memahami dengan baik
setiap proses kehidupan yang telah terjadi akan memberikan nilai
positif bagi kehidupan manusia. Karena, indikasi kecerdasan
manusia pada dasarnya sedang dioptimalkan untuk menjaga
keseimbangan hidup dan merespon pelbagai proses kehidupan
yang dihadapi. Mengingat, bagaimana seseorang mengambil
hikmah atau pelajaran ketika sedang menghadapi pelbagai
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup-dengan mengingat,
manusia diharapkan mampu untuk mengatasi pelbagai kesulitan
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Berpikir, potensi

211
Miron Zuckerman and others, eds. “The Relation Between
Intelligence and Religiosity: A Meta-Analysis and Some Proposed
Explanations,” Personality and Social Psychology Review Vol.17 No. 4
(2013), 325-354. Lihat juga, Yoav Ganzach and Chemi Gotlibovski,
“Intelligence and Religiosity: Within Families and Over Time,”
Intelligence Vol. 41 Issue. 5 (2013), 546-552.
212
Azhari Aziz Samudra, Setia Budi, Hakekat Akal Jasmani dan
Rohani: Menguak Fenomena yang tak Terpecahkan Selama 14 Abad. 114-
118.
213
Siddig Ahmad, “Generic Skills forn Quranic Perspective,”
International Journal of Islamic Thought Vol. 1 (2012), 47. Lihat al-
Qur’a>n s. al-An’a>m/6:152 (‫)لعلّكم تذ ّكرون‬. al-Qur’a>n s. al-Baqarah/2:219 ( ‫لعلّكم‬
‫)تتف ّكرون‬. al-Qur’a>n s. al-An’a>m/6:65 (‫)لعلّهم يفقهون‬.

106
yang telah Tuhan anugerahkan kepada manusia berupa akal-
dengan akal tersebut manusia mampu berpikir. Berpikir
bagaimana cara untuk memenuhi segala kebutuhan hidup,
berpikir bagaimana mengatasi segala kesulitan yang sedang
dihadapi bahkan, berpikir bagaimana cara Tuhan membantu
manusia lain yang sedang mengalami pelbagai kesulitan, ujian
dan cobaan dalam hidup. Dengan berpikir secara logis dan
sistematis diharapkan mampu mengatasi segala kesulitan, ujian
dan cobaan dalam hidup yang sedang dihadapi. Dengan
demikian, akal yang merupakan salah satu bagian dari proses
berpikir adalah anugerah yang sangat besar yang telah diberikan
Tuhan kepada manusia-dengan berpikir, segala bentuk perintah
Tuhan idealnya mampu direalisasikan dengan baik dalam setiap
dimensi kehidupan.
Manusia memiliki kecerdasan yang berasal dari Tuhan.
Setiap ciptaan-Nya memiliki kecenderungan untuk menyerupai
dan bersifat apa yang diciptakan oleh Tuhan. Binatang diciptakan
sebagai makhluk yang statis. Karena ketidakdinamisan tersebut,
peradaban binatang tidak pernah mengalami perkembangan yang
maju seperti manusia. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang
statis sekaligus dinamis. Statis dalam arti, tidak adanya
perubahan ke arah yang lebih baik setelah mengalami pelbagai
fakta-fakta. Dinamis, adanya perubahan yang sistematis ataupun
perubahan secara spontanitas dan mampu memberikan kontribusi
yang positif. Kedinamisan manusia pada dasarnya mengikuti
segala bentuk apa yang terjadi pada ketetapan Tuhan. Manusia
memiliki potensi yang sempurna dibandingkan dengan makhluk
lain. Dengan demikian, segala bentuk potensi tersebut juga
mengalami perkembangan yang signifikan. Seperti kecerdasan
yang akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah manusia
itu sendiri. Intelligences are not static, kecerdasan yang
dimiliki oleh manusia bersifat dinamis, tidak statis.214
Segala bentuk persoalan hidup yang cenderung memiliki
potensi positif sekaligus negatif bagi manusia menuntut

214
Dita Handayani, “Multiple Intelligences Learning-Based For
IslamicTeaching In The Elementary School,” International Journal of
Scientific and Technology Research Vol. 2 (2013), l60.

107
keseriusan manusia untuk mengoptimalkan pelbagai potensi yang
telah Tuhan anugerahkan. Karena pada dasarnya, manusia
memiliki kecerdasan secara holistik; kecerdasan yang dinamis,
selain memberikan hikmah bagi diri sendiri juga mampu
berkomunikasi dengan Tuhan secara optimal dan mampu
menjalin hubungan sesama manusia atau makhluk lain dengan
baik.215 Sehingga, kecerdasan yang dimiliki oleh manusia tidak
akan keluar dari ketetapan Tuhan dan memiliki keseimbangan
yang natural dengan alam. Namun demikian, kunci dari
kecerdasan pada manusia itu pada dasarnya terletak di hati.
Bagaimana manusia mengoptimalkan peran hati dengan baik
yang pada akhirnya berperan dalam mengatasi segala macam
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup.216

a. Isyarat al-Qur‟an dan Hadis Tentang Kecerdasan Manusia


Al-Qur‟an dan Hadis merupakan pedoman yang sentral
dalam kehidupan manusia, khususnya umat Islam. Bagaimana
merespon, berpikir, bertindak dan berperilaku idealnya
berdasarkan kepada pedoman tersebut. Hal ini selaras dengan
pernyataan Jabali the Qur‟an is the most important source of all
Islamic teaching.217 Termasuk dalam memahami pelbagai isyarat
yang terkandung di dalamnya, seperti isyarat kecerdasan yang
ada pada manusia. Karena manusia diketahui memiliki pelbagai
potensi yang membuat dirinya mampu menjalankan khalifah di
bumi sebagai mandataris Tuhan, salah satu potensi itu adalah
kecerdasan.

215
Benaouda Bensaid and others, eds. “A Qur‟anic Framework for
Spiritual Intelligence,” Religions Vol. 5 (2014), 196.
216
Manusia yang memiliki kercerdasan hati, berpotensi untuk
mendapatkan inspirasi dari Tuhan. Fatimah Abdullah, “Teaching Islamic
Ethics and Ethical Training: Benefiting From Emotional and Spiritual
Intelligence,” International Journal of Humanities and Social Science Vol.
2 No. 3 (2012),227.
217
Fu‟ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of
Geographical Distribution and Political Alignments (Leiden: Brill, 2003),
42.

108
Menurut Mubarok, ada tujuh tanda seseorang yang
memiliki kecerdasan akal.218 Pertama, mampu memahami hukum
kausalitas. Hal ini senada dengan isyarat al-Qur‟an.
         

219
. 
Artinya: “Dan dialah yang menghidupkan dan
mematikan, dan dialah yang (mengatur) pertukaran
malam dan siang. Maka apakah kamu tidak
memahaminya?”.

Isyarat yang terkandung di dalamnya merupakan adanya


hukum kausalitas, pelbagai fenomena yang ada pada dasarnya
ada yang mengaturnya. Sehingga, seseorang yang mampu
memahami hukum kausalitas mengindikasikan kecerdasan
akalnya, begitupun dengan sebaliknya, seseorang yang tidak
mampu memahami hukum kausalitas (pelbagai fenomena yang
ada) cenderung kurang memiliki kecerdasan akalnya. Kedua,
mampu memahami adanya sistem jagad raya. Al-Qur‟an
mengisyaratkan.
220
.          
Artinya: “Musa berkata: "Tuhan yang menguasai timur
dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah
Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal".

Menurut Mubarok, isyarat ini merupakan dialog panjang


yang terjadi pada Musa dengan Fir‟aun-ketidakmampuan akal
Fir‟aun memahami fenomena jagad raya ini yang dibalik itu
semua ada yang mengatur, Tuhan. Ketiga, mampu berpikir
Distinktip, mampu memilih permasalahan sekaligus menyusun
pelbagai fenomena secara sistematis.

218
Achmad Mubarok, Psikologi Qur‟ani, 61-64.
219
al-Qur’a>n s. al-Mu’minu>n/23:80.
220
al-Qur’a>n s. al-Shu’ara>’/26:28.

109
        

          

221
.         
Artinya: “Dan di bumi Ini terdapat bagian-bagian yang
berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-
tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang
tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. kami
melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas
sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Keempat, mampu berargumentasi secara logis. Hal ini


sesuai dengan isyarat al-Qur‟an.
        

222
.       
Artinya: “Hai ahli kitab, Mengapa kamu bantah
membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan
Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim.
apakah kamu tidak berpikir?”.

Kelima, mampu berpikir secara kritis. Berpikir secara


kritis pada dasarnya harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan
demikian, segala bentuk pernyataan, gagasan dan pendapat
idealnya memiliki referensi yang laik. Hal ini diisyaratkan oleh
al-Qur‟an.

221
al-Qur’a>n s. al-Ra’du/13:4.
222
al-Qur’a>n s. ‘Ali-‘Imra>n/3:65.

110
            

223
.           
Artinya: “Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan
adanya bahi>rah, sa>’ibah, was}i>lah dan h}a>m. akan tetapi
orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap
Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti”.

Keenam, mampu mengatur strategi sehingga tidak


terjebak pada strategi lawan. Hal ini selaras dengan isyarat al-
Qur‟an.
          

            

224
.        
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang
yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-
hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka
menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.
sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya”.

Ketujuh, mampu mengambil hikmah atau pelajaran dari


pengalaman. Pelbagai kendala, kesulitan, ujian dan cobaan yang
dihadapi manusia pada dasarnya sedikit jika dibandingkan
dengan pelbagai potensi dan anugerah yang Tuhan berikan. Salah
satunya adalah potensi untuk berpikir dan mengambil hikmah
setiap ada kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup. Sehingga,
223
al-Qur’a>n s. al-Ma>’idah/5:103.
224
al-Qur’a>n s. ‘Ali-‘Imra>n/3:118.

111
setiap kesulitan mampu untuk diatasi dengan baik dan
bermanfaat bagi kehidupan di masa mendatang, pengalaman. Hal
ini selaras dengan isyarat al-Qur‟an tentang kemampuan untuk
mengambil hikmah dari suatu pengalaman.225 Hal ini juga selaras
dengan isyarat al-Qur‟an.
          

226
.        

Artinya: “Allah menganugerahkan Al hikmah


(kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah)”.

Kemudian, al-Qur‟an juga mengisyaratkan tentang


kecerdasan manusia. Kecerdasan yang dituntut untuk mengguna-
kan pikiran, gagasan dan kemauan.227
              

228
 .            
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka
225
al-Qur’a>n s. al-‘Ara>f/7:164-169. Akhir ayat 169 ditutup dengan
kalimat ‫ أفال تعقلون‬yang mengindikasikan untuk memahami pelbagai hikmah
yang terkandung dari setiap pengalaman yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.
226
al-Qur’a>n s. al-Baqarah/2:269.
227
Rifaat Syauqi Nawawi, Konsep Manusia menurut Al-Qur‟an
dalam Metodologi Psikologi Islami. 15.
228
al-Qur’a>n s. al-Ra’du/13:11.

112
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia”.

Menurut Najati, kontek kecerdasan manusia diisyaratkan


oleh al-Qur‟an229 menurutnya, ada lima langkah untuk memecah-
kan permasalahan yang ada pada manusia pertama; ‫انشؼىر بىجىد‬
‫( يشكهة‬menyadari adanya masalah), kedua; ‫جًغ بيبَبت حىل يىضىع‬
‫( انًشكهة‬menghimpun data), ketiga; ‫( وضغ انفروض‬menghimpun
hipotesis), keempat; ‫( جقىيى انفروض‬menilai hipotesis), kelima; ‫انححقق‬
‫( يٍ صحة انفرض‬membuktikan kebenaran hipotesis).230
Tingkat kecerdasan setiap manusia pada dasarnya
berbeda. Hal ini diisyaratkan dalam hadis.

‫ فَ َكا َن ِم ْن َها‬، ‫ضا‬ ً ‫اب أ َْر‬َ ‫َص‬


ِ ِ ِ ِِ ِ
َ ‫َمثَ ُل َما بَ َعثَنى اللَّوُ بِو م َن ال ُْه َدى َوالْعل ِْم َك َمثَ ِل الْغَْيث الْ َكثي ِر أ‬
ِ ِ ‫ت ِم ْن ها أ‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ فَ نَ َف َع اللَّو‬، ‫اء‬
َ ‫ب أ َْم َس َكت ال َْم‬ ُ ‫َجاد‬َ َ ْ َ‫ َوَكان‬، ‫ب الْ َكث َير‬ َ ‫ فَأَنْ بَتَت الْ َكألَ َوالْعُ ْش‬، ‫اء‬َ ‫نَقيَّةٌ قَبلَت ال َْم‬
َ‫ َوال‬، ‫اء‬ ً ‫ك َم‬ ُ ‫ إِنَّ َما ِى َى قِ َيعا ٌن الَ تُ ْم ِس‬، ‫ت ِم ْن َها طَائَِفةً أُ ْخ َرى‬ َ ‫ َوأ‬، ‫ فَ َش ِربُوا َو َس َق ْوا َوَزَرعُوا‬، ‫َّاس‬
ْ َ‫َصاب‬ َ ‫ب َها الن‬
ِ
ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ‫ فَ َذل‬، ً‫ت َكأل‬ ُ ِ‫تُ ْنب‬
ْ ‫ َوَمثَ ُل َم ْن ل‬، ‫ فَ َعل َم َو َعلَّ َم‬، ‫ك َمثَ ُل َم ْن فَق َو فى دي ِن اللَّو َونَ َف َعوُ َما بَ َعثَنى اللَّوُ بو‬
‫َم‬
‫ال إِ ْس َحا ُق َوَكا َن‬ َ َ‫ال أَبُو َع ْب ِد اللَّ ِو ق‬
َ َ‫ ق‬. » ‫ْت بِ ِو‬ ُ ‫َم يَ ْقبَ ْل ُى َدى اللَّ ِو الَّ ِذى أ ُْر ِسل‬
ْ ‫ َول‬، ‫ْسا‬ ً ‫ك َرأ‬ َ ِ‫يَ ْرفَ ْع بِ َذل‬
231
.‫ض‬ِ ‫ف ال ُْم ْستَ ِوى ِم َن األ َْر‬ ُ ‫ص‬ َ ‫الص ْف‬
َّ ‫ َو‬، ُ‫ قَاعٌ يَ ْعلُوهُ ال َْماء‬. ‫اء‬ ِ ِ
َ ‫م ْن َها طَائ َفةٌ قَ يَّ لَت ال َْم‬
ِ

Artinya: ”Sesungguhnya perumpamaan hidayah dan ilmu


yang diberikan Tuhan kepadaku seperti hujan yang
membasahi permukaan bumi. Diantaranya ada tanah
yang subur. Tanah itu mau menyerap air sehingga bisa
menumbuhkan banyak tumbuhan dan rumput. Diantara
permukaan bumi ada yang gersang namun masih bisa
menyimpan cadangan air. Maka Tuhan memberikan
manfaat kepada manusia melalui tanah tersebut. Orang-
orang bisa minum dan bisa mengairi dan menggembala.

229
al-Qur’a>n s. al-An’a>m/6:76-79.
230
Lihat Muhammad Usman Najati, al-Qur’an wa ‘Ilmu an-Nafsi
(Qahirah: Da>r al-Shuru>q, 1992), 140-142.
231
Muhammad bin Isma‟i>l bin Ibrahi>m bin al-Mughirah al-
Bukha>ri>, al-J>a>mi’ al-S{ah}i>h}: Kita>b Bada’u al-Wah}yi (al-Qa>hirah: Da>r al-
Shu’ub, 1987), 30

113
Ada juga hujan yang membasahi tanah jenis lain, yaitu
tanah tandus yang sama sekali tidak bisa meyimpan air
dan tidak pula mampu menumbuhkan tanaman. Tanah
jenis pertama ibarat orang yang mengerti agama Tuhan
dan ganjaran yang diberikan Tuhan kepadaku. Agama
dan ajaran Tuhan itu bisa bermanfaat baginya, sehingga
ia bisa mengetahui dan sekaligus mengajarkannya.
Tanah jenis kedua ibarat orang yang tidak mengangkat
kepalanya. Dan tanah jenis ketiga ibarat orang yang
tidak menerima hidayah Tuhan yang dengannya aku
diutus.”

Menurut Najati, berdasarkan kontek hadis ini, maka


tingkat kecerdasan pada manusia dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama, manusia yang memiliki kecerdasan seperti tanah yang
subur. Dengan demikian, manusia mampu untuk menyerap ilmu,
menghapal, mengamalkan dan mengajarkan kepada orang lain.
Sehingga, bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bermanfaat bagi
orang lain. Kedua, manusia yang memiliki kecerdasan seperti
tanah gersang yang masih bisa menyimpan cadangan air.
Tingkatan ini mengindikasikan bahwa seseorang mampu untuk
memahami ilmu sekaligus mengamalkannya namun cenderung
tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Ketiga, manusia yang
memiliki kecerdasan seperti tanah yang tandus, sama sekali tidak
bisa menyerap air. Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang
cenderung tidak bisa memahami ilmu dan juga cenderung tidak
bisa mengajarkan kepada orang lain.232
Lebih lanjut, Menurut Najati beberapa ayat al-Qur‟an
yang mengindikasikan adanya perbedaan setiap individu
(kecerdasan) hal ini terjadi karena adanya pengaruh keturunan
dan lingkungan.233 Beberapa ayat al-Qur‟an yang mengindikasi-
kan adanya perbedaan dalam kecerdasan tersebut adalah.

232
Muhammad Utsman Najati, The Ultimate Psychology;
Psikologi Sempurna ala Nabi Saw. 304-307.
233
Muhammad Utsman Najati, Al-Qur‟an dan Psikologi, terj. Tb.
Ade Asnawi Syihabuddin, buku asli; al-Qur‟an wa „Ilmu al-Nafs (Jakarta:
Aras Pustaka, 2005), 202.

114
        

            

234
.
Artinya: ”Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-
penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
      

235
.       
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang Mengetahui”.
          

           

236
.     
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami
Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian

234
al-Qur’a>n s. al-An’a>m/6:165.
235
al-Qur’a>n s. al-Ru>m/30:22.
236
al-Qur’a>n s. al-Zukhruf/43:32.

115
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

          

237
. 
Artinya: “Perhatikanlah bagaimana kami lebihkan
sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). dan
pasti kehidupan akhirat lebih Tinggi tingkatnya dan lebih
besar keutamaannya”.

        

238
.           
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun”.

Kemudian, isyarat kecerdasan pada manusia juga


diisyaratkan dalam hadis.
239 ِ ‫الْ َكيِّس من َدا َن نَ ْفسوُ و َع ِمل لِما ب ْع َد الْمو‬
.‫ت‬ َْ َ َ َ َ َ َْ ُ

237
al-Qur’a>n s. al-Isra’/17:21.
238
al-Qur’a>n s. al-Fa>t}ir/35:28.
239
Muh}ammad bin ‘I>sa> Abu> ‘I>sa> al-Tirmizi> al-Sulami>, al-Ja>mi’ al-
S{ah}i>h} Sunan al-Tirmizi> (Bayru>t: Da>r Ih}ya al-Tura>s al-‘Arabi>), 638. Lihat
juga di Muhammad bin ‘Abdullah Abu ‘Abdullah al-H{a>kim al-Naysa>bu>ri>,
al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>hayni, Kitab al-I<ma>n (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Alamiyah, 1990), 125.

116
Artinya: “Orang yang cerdasa adalah orang yang
merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan
sesudah mati”.

Beberapa isyarat kecerdasan dalam al-Qur‟an dan Hadis,


kata „aql dan qalb menjadi term yang cukup signifikan dalam
mendeskripsikan kecerdasan manusia. Namun, dalam konteks
hadis menjadi perdebatan yang cukup serius.240
‫ْج َس ُد‬ ْ ‫ َوإِذَا فَ َس َد‬، ُ‫ْج َس ُد ُكلُّو‬
َ ‫ت فَ َس َد ال‬ َ ‫صلَ َح ال‬
َ ‫ت‬
ْ ‫صلَ َح‬ ْ ‫ْج َس ِد ُم‬
َ ‫ضغَ ًة إِذَا‬
ِ
َ ‫أَالَ َوإِ َّن فى ال‬
.‫ْب‬ ِ ُّ
ُ ‫ أَالَ َوى َى الْ َقل‬. ُ‫ُكلو‬
241

Artinya: “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada


segumpal daging, apabila daging itu baik maka baik pula
seluruh diri dan amal perbuatan manusia, dan apabila
daging itu rusak maka rusaklah seluruh amal perbuatan
manusia tersebut. Ingatlah, ia adalah hati.

Semua kata al-„Aql di dalam al-Qur‟an dipakai sebagai


kata kerja sebanyak 49 kali242 dan kata al-Qalb ditemukan

240
Menurut Pasiak, kontek kalimat tersebut harus dilakukan tafsir
ulang, karena makna yang tepat pada kalimat qalb adalah otak spiritual,
bukan hati-hal ini didukung oleh penelitian mutakhir yang membuktikan
bahwa otak manusia memiliki tiga fungsi. 1. Fungsi rasional-logis. 2.
Fungsi emosional-intuitif. 3. Fungsi spiritual. Taufiq Pasiak, Revolusi
IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur‟an dan
Neurosains Mutakhir (Bandung: Mizan, 2008), 271. Pernyataan ini
mendapat kritikan keras dari Mujib, pendapat Pasiak tersebut mengikuti
paham materialism, karena qalb seharusnya dipahami secara spiritualitas.
Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi. 148. Lain halnya dengan
Baharuddin, seluruh kata al-„Aql dalam al-Qur‟an tidak pernah digunakan
dalam bentuk kata benda-hal ini menunjukkan bahwa al-„Aql bukanlah
suatu subtansi yang bereksistensi. Lihat, Baharuddin, Paradigma Psikologi
Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran. 118.
241
Muhammad bin Isma‟i>l bin Ibrahi>m bin al-Mughirah al-
Bukha>ri>, al-J>a>mi’ al-S{ah}i>h}, 20. Lihat juga, Ah}mad bin Al-H{usayn bin ‘Ali>
bin Mu>sa> Abu> Bakar al-Bayhaqi>, Sunan al-Bayhaqi> al-Kubra>, Ba>b T{alabu
al-H{alal wa al-Ijtina>bu al-Shubha>t (Makkah al-Mukarramah: Maktabah
Da>r al-Ba>zi, 1994), 264.

117
sebanyak 122 kali dalam 122 ayat dan dalam 45 surat.243 Untuk
lebih jelasnya, seluruh kata al-„Aql di dalam al-Qur‟an dapat
dilihat pada tabel di bawah ini yang penulis adobsi dari Taufik
Pasiak.244
Tabel 3
Kata al-‘Aql dalam al-Qur’an

No Penyebutan Jumlah
1 ‫ػقهة‬ 1
2 ٌ‫ثؼقهى‬ 24
3 ‫َؼقم‬ 1
4 ‫يؼقههب‬ 1
5 ٌ‫يؼقهى‬ 22
Jumlah 49

Konsep al-„Aql dan al-Qalb dalam al-Qur‟an


mengindikasikan keintegrasian dari kecerdasan manusia secara
holistik. Bagaimana manusia mengoptimalkan segala potensi
yang telah Tuhan anugerahkan dan mampu memberikan efek
yang positif dalam kehidupan sehari-hari. Selain berdo‟a,
manusia juga harus berusaha untuk mengatasi segala kesulitan,
ujian dan cobaan dalam hidup serta mewujudkan pelbagai hal
yang positif dalam menjaga eksistensinya. Dalam kontek ini, al-
Qur‟an telah mengisyaratkan.
            

245
.         

242
Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia
Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur‟an dan Neurosains Mutakhir, 273.
243
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen
Psikologi dari Al-Quran, 411-412.
244
Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia
Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur‟an dan Neurosains Mutakhir, 273.
245
al-Qur’a>n s. al-Najm/53:39-42.

118
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya. Dan
bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan
balasan yang paling sempurna, Dan bahwasanya kepada
Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)”.

Dengan demikian, kecerdasan yang diisyaratkan dalam


al-Qur‟an pada dasarnya mengacu seberapa optimal manusia
untuk menggunakan pelbagai potensi yang telah ada. Dengan
pelbagai potensi itu, idealnya mampu memberikan kontribusi
yang positif bagi manusia dalam menghadapi pelbagai persoalan
hidup, kesulitan, ujian dan cobaan. Sehingga, pelbagai kesulitan
itu mampu diatasi dan apa yang diharapkan dapat terwujud,
meraih kesuksesan. Namun, hal yang paling penting adalah,
selain mengacu kepada manusia agar mengoptimalkan pelbagai
potensi yang ada, peran iman kepada Tuhan merupakan hal yang
paling mendasar dalam merespon, merasa dan bertindak. Dapat
dikatakan, bahwa keimanan kepada Tuhan merupakan sifat yang
paling mendasar dan peran manusia merupakan tanda syukur
sebagai hamba-mampu merealisasikan kehendak Tuhan dalam
berinteraksi dengan kehidupan sebagai daya kecerdasan manusia.

119
120
BAB III
MAJELIS ZIKIR AZ-ZIKRA BOGOR

A. Majelis Zikir
Zikir, mengingat (remember) atau menganjurkan untuk
selalu mengingat Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.1 Dalam
hal ini, mengingat Tuhan dimanifestasikan dalam bentuk Asma>‟
al-H{usna> dan ayat-ayat al-Qur‟an. Zikir kepada Tuhan pada
dasarnya mencermati kehidupan ini dengan baik dan menerima
segala takdir yang telah digariskan oleh Tuhan; hukum
kausalitas.
Mengingat Tuhan setiap saat dalam kehidupan adalah hak
setiap manusia, dalam operasionalnya pun beragam. Ada yang
mengingat Tuhan dalam setiap usaha yang dilakukan manusia,
ada yang mengingat Tuhan ketika sedang dilanda kesulitan dan
ada yang mengingat Tuhan secara berjamaah. Asumsi dasarnya
adalah zikir memberikan fasilitas pengalaman spiritual bagi
setiap pribadi yang menjalankannya.2 Pengalaman spiritual ini
diharapkan mampu menjadi penerang dalam segala usaha yang
dilakukan. Dengan demikian, zikir sebagai bagian dari
religiusitas bukan hanya sekedar ritual semata, namun lebih dari
itu; bagaimana ritual ini mampu memberkan efek yang positif
bagi seluruh kehidupan secara holistik. Kegiatan zikir yang
tengah semarak di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan
tasawuf modern (neo-sufism), hal ini berimplikasi pada
innerdetachment untuk mencapai realisasi spiritual yang
maksimal.3 Jika dicermati dengan seksama, kegiatan zikir yang
tengah semarak ini tidak terlepas dari pengaruh zaman modern.
Dalam arti, manusia merasa haus akan nilai-nilai spiritual karena
1
Arif Zamhari and Julia Day Howell, “Taking Sufism to the
Streets: Majelis Salawat as new Venues for Popular Islamic Piety in
Indonesia,” Review of Indonesia and Malaysian Affairs Vol. 46 No. 2
(2012), 49.
2
Martin Van Bruinessen and Julia Day Howell, Sufism and the
Modern in Muslim (New York: I.B. Tauris, 2007), 218.
3
Mumuh Muhsin Z. Perkembangan Tasawuf Modern di Jawa
Barat (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional (Perkembangan
Thoriqoh Tijaniyyah di Indonesia: Jawa Tengah, 2010), 3.

121
kesibukan bekerja setiap saat. Dengan adanya majelis-majelis
zikir, rasa haus akan nilai spiritual memberikan solusi yang baik.
Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang
penuh dengan ketenangan. Keinginan hidup yang tenang akan
memberikan motivasi dalam hidup dan berkeinginan untuk terus
berprestasi. Pada kenyataanya, keinginan itu tidak selalu dapat
terwujud dalam kehidupan, beragam kesulitan dan permasalahan
secara perlahan dan pasti memberikan perasaan yang kurang
menyenangkan. Mulai dari kesulitan ekonomi, masalah keluarga,
masalah di sekolah dan beragam masalah serta kesulitan yang
lain. Keadaan yang demikian itu, telah membawa kesadaran bagi
masyarakat modern untuk menselaraskan antara dunia kerja yang
selalu menantang dengan dorongan batin yang merindukan
ketenangan spiritual. Salah satu faktor yang sangat efektif untuk
menselaraskan hal ini adalah majelis zikir.4 Dengan demikian,
zikir yang dilakukan secara bersama-sama (majelis zikir)
memberikan nilai yang positif, apalagi dengan keadaan zaman
yang semakin terus berkembang dengan pesat.
Majelis zikir yang ada pada dasarnya bagaimana
mengajak setiap manusia untuk cerdas dalam menghadapi
kehidupan dan mencari kehidupan yang tenang. Khawatir tentang
kehidupan yang sedang dijalani, kecemasan yang sangat
berlebihan adalah beberapa faktor yang dihadapi setiap pribadi.
Ketika kekhawatiran dan kecemasan semakin meningkat dalam
menghadapi kehidupan, secara sadar manusia akan kehilangan
makna dalam hidup, segala yang dilakukan seakan menjadi sia-
sia dan terperangkap dalam jiwa yang terbelenggu. Untuk
mengatasi hal yang demikian ini, fenomena majelis zikir cukup
relevan untuk memberikan solusi bagi masyarakat, karena
dengan berzikir, seseorang akan merasa tentram dan damai dari
pelbagai faktor yang menyebabkan rasa khawatir dan kecemasan
(anxiety).5

4
Achmad Mubarok, Psikologi Qur‟ani (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), 126.
5
Husni Mohd Radzi and others, eds. “The Influence of God
Consciousness and Religiosity in Coping with Anxiety at Workplace

122
B. Profil dan Sejarah Majelis Zikir Az-Zikra Bogor
Salah satu majelis yang sering masyarakat datangi adalah
majelis zikir Az-Zikra Bogor, Arifin Ilham. Pertama kali majelis
ini diperkenalkan oleh Arifin Ilham pada tahun 1997 di daerah
Depok, Jawa Barat. Namun, sejak tahun 2009 majelis zikir ini
secara resmi pindah ke kawasan perumahan Bukit Az-Zikra dan
sejak itulah majelis zikir bulanan digelar secara rutin yang
didorong oleh semangat untuk berdakwah. Misi yang diemban
oleh majelis zikir Az-Zikra adalah membangun pribadi yang
membawa kedamaian dan keselamatan dunia akhirat dengan
sabar yang menjadi strategi untuk menjalani proses kehidupan.
Majelis zikir Az-Zikra merupakan majelis yang disetiap zikir
senantiasa diisi dengan tausiyah. Dengan harapan, jamaah yang
mengikuti majelis ini mampu mengembangkan wawasan
keilmuan dan menambah keimanan. Namun yang terpenting
adalah, majelis zikir Az-Zikra menekankan pada pemahaman,
penghayatan dan pengalaman ibadah yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari.6 Zikir akbar diselenggarakan satu bulan
sekali pada minggu pertama, para masyarakat pun berdatangan
dari luar daerah; Palembang, Kalimantan, Jambi dan lain
sebagainya akan menginap di masjid Az-Zikra. Para jamaah
sangat antusias untuk menghadiri zikir akbar yang dilakukan satu
bulan sekali ini. Betapa tidak, ketika zikir akbar ini dimulai pada
pagi hari, secara umum Arifin Ilham akan mengajak para
jamaahnya untuk respect God and human being.7 Fenomena yang
seperti inilah nantinya diharapkan mampu memberikan perasaan
yang tenang, tentram, damai dan bahagia bagi para jamaah.
Segala beban fikiran, kesulitan yang sebelumnya dirasa sangat
sulit diatasi akan membawa hasil yang positif, jamaah merasa

among Malaysian Muslim Professionals,”International Journal of Social


and Humanity Vol. 4.No. 4 (2014), 316-318.
6
Diakses pada tanggal 1 Juni 2015 melalui: http://azzikra.com/
7
Andi Faisal Bakti, Islamic Religious Learning Groups and Civil
Society: How Do Muslims Contribute to Civil Society in Japan and the
Philippines?.Dalam Confluences and Challenges in Building the Asian
Community in the Early 21st Century; The Work of the 2008/2009 API
Fellows (Japan: The Nippon Foundation, 2009), 52.

123
bahwa segala kesulitan yang ada sebelumnya hanyalah satu
bentuk ujian untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan,
ketika jiwa seakan merasa dekat dengan-Nya beragam nilai
positif yang akan didapati sekaligus ada motivasi yang kuat untuk
tetap terus berusaha dengan sebaik-baiknya.8 Dengan demikian,
untuk mencari ketenangan jiwa, kedamaian dan kebahagiaan,
masyarakat (jamaah) akan berdatangan dari pelbagai daerah guna
mendapatkan pengaruh positif, dengan berzikir.
Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa sikap
eskapisme masyarakat modern sekarang dari semerautnya
kehidupan yang sedang dihadapi menuju pelbagai hal-hal yang
bisa memberikan rasa ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan,
perjalanan spiritual. Dengan mengikuti pelbagai majelis zikir,
pengaruh positif akan memberikan nilai tambah dan itu yang
menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat yang
mengikuti zikir. Melalui majelis zikir para jamaah mempunyai
pandangan hidup yang bijak terhadap pengaruh zaman modern.
Kehadiran majelis zikir di Indonesia menurut penulis tidak
terlepas dari dua faktor. Faktor pertama, pengaruh dari tasawuf
modern (neo-sufisme) yang memandang dunia sekarang sebagai
satu kesatuan dari dunia akhirat, jadi untuk dapat bahagia di
kehidupan akhirat maka harus berusaha untuk hidup bahagia di
dunia. Faktor kedua, eskapisme masyarakat terhadap pengaruh
negatif dari zaman modern.
Dari hasil observasi penulis, seluruh jamaah majelis zikir
Az-Zikra Bogor memiliki kecenderungan yang kuat untuk
mengikuti aktivitas zikir yang dilaksanakan satu bulan sekali
pada minggu pertama.9 Hal ini dapat diidentifikasi dengan
keikutsertaan keluarganya (mengajak istri dan anak-anak).
Selama aktivitas zikir ini berlangsung para jamaah cenderung
antusias untuk mengikutnya, suara zikir dan tangisan terdengar
secara jelas. Hal ini mengindikasikan bahwa, aktivitas zikir yang
dilakukan oleh para jamaah berlangsung dengan baik. Dibawah

8
Hasil wawancara dengan Bapak Bakri, salah satu jamaah majelis
zikir Az-Zikra Bogor pada tanggal 5 April di Masjid Az-Zikra Bogor.
9
Berdasarkan hasil observasi terhadap jamaah majelis zikir Az-
Zikra Bogor mulai bulan Februari hingga April 2015.

124
ini ada serangkaian agenda atau aktivitas zikir akbar yang
dilakukan para jamaah berdasarkan hasil observasi.

Tabel 4
Aktivitas Zikir Majelis Zikir Az-Zikra Bogor
No Kegiatan Keterangan
Disampaikan oleh Ustadz
1 Tausiah
Arifin Ilham
2 Shalawat: ‫يب حبيب سالو ػهيك‬ Diiringi para jamaah
3 Do‟a Secara berjamaah
Zikir: ‫الانه ااال اَث سبحُك اَي كُث‬
4 ٍ‫ يٍ انظب نًي‬dan Secara berjamaah
‫اسحغفرهللا انؼظيى‬
Dipimpin oleh Ustadz
Arifin Ilham. Dalam
keadaan ini, mayoritas
Do‟a sekaligus
jamaah menangis karena
5 mengucapkan ‫اَث انرحًٍ اَث‬
diperintahkan untuk
‫انرحيى يب رحًٍ يب رحيى‬
membayangkan
pengorbanan dan kasih
sayang orang tua.
Zikir: ‫اَث سالو‬ ‫ انههى‬Dipimpin oleh Ustadz
6 seterusnya dan dilanjutkan Arifin Ilham
doa
7 Melafazkan ‫اسًبء انحسُى‬ Secara berjamaah
8 Melafazkan ‫اية انكرسي‬ Secara berjamaah
Diperintahkan untuk
berdo‟a sendiri-sendiri.
9 Do‟a
Beberapa jamaah masih
ada yang menangis
Secara berjamaah yang
10 Do‟a dipimpin oleh Ustadz
Arifin Ilham
Melafazkan ‫سبحان هللا والحمد هللا‬
11 Secara berjamaah
‫وال اله اال هللا‬
12 Secara berjamaah
Doa

125
13 Melafazkan ‫انههى اَب َسئهك‬ Secara berjamaah
‫رضك وانجُة‬
11 Melafazkan ‫انههى اَك ػفى كريى‬ Secara berjamaah
11 Do‟a Secara berjamaah
16 Shalawat: ‫صهي هللا ػهى يحًد‬ Secara berjamaah
‫صهي هللا ػهيه وسهى‬
Secara berjamaah diiringi
17 Melafazkan ‫يب َىر‬ do‟a oleh Ustadz Arifin
Ilham
18 Melafazkan Syahadat Secara berjamaah
19 Do‟a Secara berjamaah
20 Melafazkan ‫انه اال هللا‬ ‫ ال‬Secara berjamaah
sebanyak 30 X
21 Do‟a Secara berjamaah
22 ‫انفب جحة‬ Acara selesai

126
BAB IV
ADVERSITY QUOTIENT BERBASIS RELIGIUSITAS

A. Religiusitas Jamaah Majelis Zikir Az-Zikra Bogor


Segala ritual yang ada pada Islam pada dasarnya
mengajarkan bagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
bisa menjadikan motivasi untuk berfikir, merespon dan
berperilaku sesuai yang diajarkan dalam al-Qur‟an dan Hadis
dalam setiap dimensi kehidupan. Baik itu dalam tataran politik,
ekonomi, masyarakat, keluarga dan lain sebagainya. Dengan
begitu, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Tuhan, berupa
kedamaian seluruh dunia akan tercipta dan itu akan menjadi lebih
baik jika manusia sadar tentang kehidupan sekarang dan
kehidupan yang akan datang.
Keuniversalan nilai agama yang terkandung di dalamnya,
menjadikannya sebagai pembentukkan pribadi (personality) yang
tidak keluar dari ajaran Tuhan. Salah satu pribadi yang
dikehendaki oleh Tuhan adalah bagaimana memandang alam dan
sesama makhluk lainnya dengan penuh rasa syukur dan saling
menghargai. Dengan kehendak Tuhan tersebut, apapun yang
terjadi dalam perjalanan hidup manusia idealnya adalah
meresponnya dengan positif, respon ini yang pada akhirnya
membawa manusia pada derajat yang tinggi. Ketika beragam
macam ritual keagamaan hanya direspon sebagai menggugurkan
kewajiban atau hanya sekedar mencari ketenangan sesaat-disaat
yang sama sedang mengalami kesulitan, berkeluh kesah. Apapun
ritual yang dilaksanakan tidak akan memberikan pengaruh yang
positif, karena respon pertama kali hanyalah sebagai tempat
pelarian, tentu respon ini tidak akan memberikan efek yang
cukup baik untuk melahirkan perilaku yang positif.
Pada dasarnya, esensi Islam adalah tauhid. Jadi, segala
perilaku tidak akan memiliki nilai tanpa berlandaskan
kepercayaan kepada Tuhan.10 Perlu diketahui bahwa segala ritual
keagamaan yang dilakukan oleh seseorang tidak mempunyai
makna tanpa didasari oleh kesadaran, dengan kesadaran yang

10
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami
(Yogyakarta: Pustaka Pelajara, Cet. VII, 2008), 79.

127
kuatlah, nilai-nilai tersebut akan diperoleh dan mampu menjadi
lentera dalam setiap tindakan. Nilai-nilai keagamaan yang
terkandung di dalamnya dan korelasinya dengan kesadaran ketika
sedang melakukan ritual dan setelahnya; berinteraksi dengan
alam, idealnya mampu melahirkan perilaku-perilaku yang
dikehendaki oleh Tuhan,11 jika tidak demikian-berarti ada sesuatu
yang salah di dalamnya. Oleh karena itulah, agama merupakan
bagian dari kebutuhan manusia yang pokok dan menjadikan
sumber ketentraman jiwa.12 Dengan demikian, asumsi dasarnya
adalah bahwa agama yang dijalankan oleh setiap manusia akan
memberikan pengaruh yang positif (salah satunya adalah coping
stress) selama pribadi tersebut sadar tentang apa yang
dilakukannya dan sadar bahwa tempat kembali dari segalanya
adalah Tuhan.13
Ketika manusia dilahirkan ke dunia, setiap manusia pada
dasarnya telah memiliki potensi untuk mengenal dan beriman
kepada Tuhan, yaitu potensi untuk bertauhid.14 Potensi tersebut
akan bertahan relatif, dalam arti, kekuatan potensi mengenal
Tuhan sangat besar jika dibandingkan dengan potensi untuk
mengingkarinya, namun pengaruh negatif dalam kehidupan
seseorang akan lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh positif.
Kecenderungan manusia adalah dekat dengan Tuhan ketika
11
Sebagai contoh zikir. Dengan berzikir manusia akan selalu ingat
asal-usulnya dan sadar akan kemana tujuan akhir hidupnya. Syahda
Aghnia, “Meneladani Syaikh Yusuf Al-Makassari: Mursyid Tarekat dan
Sosok Pejuang,” HARMONI: Jurnal Multikultural dan Multireligius Vol. 8
No.30 (2009), 194.
12
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik; Dalam Kehidupan Modern.
Terj. Al-Tasawwuf al-Nafsi oleh Ija Suntana (Jakarta: Hikmah, 2004), 141.
13
Religion is more than a way of coping with stress. Untuk lebih
jelasnya lihat Kenneth I Pargament, The Psychology of Religion and
Coping (New York: The Guilford Press, 1997), 142. Kemudian bandingkan
dengan pernyataan dari Freud, Religion would thus be the universal
obsessional neurosis of humanity. Sigmund Freud, The Future of an
Illusion. Terj. Die Zukunft einer Illusion. James Strachey (New York:
W.W. Norton Company.Inc, 1961), 43.
14
Muhammad Utsman Najati, The Ultimate Psychology; Psikologi
Sempurna ala Nabi Saw. Terj. al-Hadisal-Nabawi wa „Ilmal-Nafs, Hedi
Fajar (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), 30.

128
banyaknya masalah dalam hidup. Apapun masalah yang sedang
dihadapi cenderung melakukan ritual-ritual ibadah sebagai
manifestasi kegelisahan yang di alami, dan ketika segala
kesulitan dan permasalahan telah hilang tidak sedikit manusia
akan kembali lupa dengan Tuhan. Hal ini bukanlah sesuatu yang
sebenarnya diharapkan, kecenderungan untuk dekat dengan
Tuhan di saat mendapatkan kesulitan dan lupa ketika mendapat-
kan kesenangan adalah bentuk dari pribadi yang tidak sadar
dalam menghayati nilai-nilai ritual ibadah yang dilakukannya.15
Begitulah kecenderungan manusia dalam menyikapi hidup.
Padahal jika direnungkan dengan baik, pada dasarnya
penghayatan terhadap nilai-nilai agama itu merupakan Plays a
major part in the life of an individual, penghayatan terhadap
nilai-nilai agama merupakan landasan utama bagi setiap
pribadi.16
Tidak dipungkiri lagi, bahwa agama merupakan landasan
bagi setiap manusia. Dengan beragama, seseorang mampu
membangun visi dan misinya dalam menjalani sekaligus
menghadapi kehidupan. Apakah memilih jalan yang sesat,
ataukah memilih jalan yang penuh dengan hakikat kebahagiaan.
Pilihan tersebut adalah hak manusia, dengan kebebasan untuk
memilih tersebut manusia menerima konsekuensinya, pahala dan
dosa. Identitas hamba yang melekat pada manusia bagi Tuhan
adalah bentuk lain dari ketergantungan dan pengharapan manusia
agar selamat menjalani kehidupan dunia dan akhirat.
Keselamatan di dunia ditentukan dari apa yang dipikirkan dan
diperbuat oleh manusia itu sendiri. Jika pikiran cenderung tidak
tenang, penuh dengan keresahan dan kecemasan dalam

15
Lihat al-Qur‟an Surah al-Ma‟a>rij ayat 19-20. Kata ‫ ههىػب‬berasal
dari kata ‫ ههغ‬berarti cepat gelisah atau rakus. Menurut Hamka, keluh kesah
tersebut tidak akan mendatangkan ketenangan hati dan selalu cemas serta
menyebabkan sakit jiwa. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, Vol. 14. Cet. 4.
2011), 319. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1985), 111.
16
Shobhna Joshi and others, eds. “Religious Belief and Its Relation
to Psychological Well-being,” Journal of Indian Academy of Applied
Psychology Vol. 34 No. 2 (2008), 346.

129
menghadapi hidup, maka hidup cenderung tidak akan merasa
bahagia. Lain halnya jika pikiran penuh dengan hal-hal yang
positif, beribadah akan menjadi tenang, kesulitan yang besar
dirasakan kecil yang pada akhirnya jiwa akan tentram.17 Asumsi
dasarnya adalah, jika jiwa terasa tenang apapun yang dianggap
sebagai kesulitan hidup, mampu dihadapi dengan baik. Dengan
demikian, perasaan cemas, khawatir yang berlebihan merupakan
representasi dari ketidaktenangan jiwa yang itu semua akan
menggangu keseimbangan dalam memandang dunia.
Berkaitan dengan tingkat religiusitas pada jamaah majelis
zikir Az-Zikra, berdasarkan hasil penelitian, maka penulis
mendeskripsikan hasil data statistik yang berkaitan dengan tinggi
dan rendahnya religiusitas pada jamaah majelis zikir Az-Zikra
Bogor yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5
Deskripsi Statistik Variabel Penelitian
Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
Adversity Quotient 140 26,55 73,47 50,0000 9,00635
Islamic Dimensions 140 26,45 62,87 50,0000 9,13299
Islamic Religious
140 2,63 56,07 50,0000 8,89498
Conversion
Islamic Positive Religious
140 -28,00 55,33 50,0000 9,31939
Coping
Islamic Negative
140 17,23 56,96 50,0000 8,40747
Religious Coping
Islamic Religious
140 8,85 55,19 50,0000 9,54769
Struggle
Islamic
Religious Internalization- 140 -4,21 56,87 50,0000 9,39712
Identification
Islamic
Religious Internalization- 140 23,89 58,75 50,0000 7,09968
Inrojection
Islamic
140 25,26 58,17 50,0000 8,24652
Religious Exclusivism
Valid N (listwise) 140

17
Agama memberikan pengaruh positif setiap harinya. Lihat Aliah
B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami; Menyingkap
Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 296-297.

130
Skor yang digunakan dalam analisis statistik pada
penelitian ini adalah skor murni (t-score) yang merupakan hasil
dari proses konversi dari raw score. Proses ini dilakukan untuk
memudahkan dalam melakukan perbandingan antar skor hasil
penelitian variabel yang diteliti. Dengan demikian, semua raw
score pada setiap variabel harus diletakkan pada skala yang
sama. Hal ini dilakukan dengan menstransformasikan raw score
menjadi z-score. Agar nilai z-score menjadi positif, maka perlu
dilakukan perhitungan T-score = 50 + 10.z.
Untuk dapat mengkategorisasikan tinggi atau rendah
religiusitas yang ada pada tabel deskripsi di atas, maka harus ada
pedoman untuk mendapatkan norma kategorisasi tersebut.
Kategorisasi ini berdasarkan pada standar deviasi dan mean dari
skala T. Pedoman yang dimaksud dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 6
Pedoman Interpretasi Skor
Norma Rentang Interpretasi
T > 50 > 50 Tinggi
T < 50 < 50 Rendah

1. Islamic Dimensions
Tabel 7
Distribusi Kategori Skor Islamic Dimensions
Kategori Rentang Responden Presentase
Tinggi ≥ 50 74 53%
Rendah < 50 66 47%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah


majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki islamic
dimensions pada kategori tinggi 74 jamaah atau sebesar 53%.
Dimensi Islam dalam skala ini meliputi keyakinan, praktik
ibadah, perilaku yang harus dilakukan, perilaku yang tidak harus
dilakukan dan keuniversalan nilai-nilai Islam. Serangkaian
praktik-praktik ibadah yang dilaksanakan setiap hari; salat,

131
zikir,18 membaca al-Qur‟an, puasa sunah dan lain sebagainya,
merupakan praktik keagamaan yang mengacu pada ekspresi
keimanan seseorang.19 Bagaimana seseorang menjalankan ritual
keagamaan dengan penuh kesadaran, idealnya mempengaruhi
segala bentuk perilaku yang diperbuat dalam kehidupan sehari-
hari. Praktik ibadah salat misalnya, seseorang dituntut secara
maksimal untuk merefleksikan nilai-nilai salat tersebut dalam
perilaku kesehariannya. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-
Qur‟an:
          

            

20
.
Artinya:”Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu,
yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah salat.
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.

Jika demikian, bahwa salat tidak akan mencegah


seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Lalu muncul
pertanyaan, mengapa orang yang sering melakukan ritual salat
namun dalam kesehariannya-salat tersebut tidak memberikan
pengaruh yang positif terhadap pikiran dan perilaku. Oleh karena
itulah, dalam beberapa praktik ibadah, baik itu yang bersifat

18
Fenomena yang cukup menarik adalah zikir merupakan metode
utama dalam menyelesaikan pelbagai masalah kesehatan, sufi healing.
Untuk lebih jelasnya lihat M. Amin Syukur, “Sufi Healing: Terapi dalam
Literatur Tasawuf,” Walisongo Vol. 20 No. 2 (2012), 392.
19
Zahra Alghafli and others, eds. “Religion and Relationship in
Muslim Families: A Qualitative Examination of Devout Married Muslim
Couples,”Religions Vol. 5No. 3 (2014), 315.
20
Lihat al-Qur’a>ns. al-Ankabu>t/29:45.

132
wajib atau pun sunnah, jika tidak di dasari pada kesadaran maka
segala praktik-praktik tersebut tidak akan memberikan dampak
positif sedikit pun seperti puasa-hanya mendapatkan rasa haus
dan lapar. Dengan demikian, segala perbuatan, atau pun
melaksanakan pelbagai praktik ibadah tanpa memiliki kesadaran
yang tinggi, dapat dikatakan segala praktik yang dilakukan
cenderung tidak memberikan manfaat yang signifikan.
Asumsi dasarnya adalah, seseorang yang beragama
idealnya memiliki jiwa dan raga yang sehat, kehormatan
pribadinya selalu dijaga, perilaku dan tutur katanya mencermin-
kan seseorang yang berkepribadian muslim.21 Kesehatan jasmani
dan rohani tidak akan bisa terjadi dengan sendirinya, tapi ada hal-
hal yang harus dilakukan agar menjadi sehat. Analoginya, jika
ingin sehat jasmani, maka harus mengkonsumsi makan-makanan
yang baik dan sehat, bepikir positif dan olahraga yang teratur.
Demikian pun halnya dengan kesehatan rohani, ada hal-hal yang
harus dilakukan agar rohani menjadi sehat. Pada era modern
sekarang, tingkat stres pada seseorang semakin tinggi karena
persaingan yang semakin ketat. Keadaan stres yang dialami oleh
seseorang akan melahirkan gejala-gejala kejiwaan, untuk
mengantisipasi perihal tersebut, beberapa dari manusia cenderung
untuk mencari penawarnya, meng-intensitaskan ritual-ritual
keagamaan. Karena tradisi keagamaan (salat, puasa dan lain-lain)
tetap relevan dengan kondisi sekarang, zaman modern.22
Tuhan memberikan pelbagai kewajiban dan sunah kepada
manusia pada dasarnya untuk kebaikan manusia itu sendiri. Jika
dilakukan dengan maksimal dan penuh kesadaran, dapat dipasti-
kan pribadi tersebut akan memperoleh kemenangan, ketenangan
jiwa dan masih banyak lagi yang lainnya. Kemenangan inilah
yang seharusnya di cari oleh manusia, apalagi dengan keadaan
zaman sekarang, manusia dituntut untuk terus bekerja setiap saat
agar dapat memenuhi kebutuhannya. Seiring waktu, bekerja

21
Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama; Menjadikan Hidup
Lebih Ramah dan Santun (Jakarta: Hikmah, 2010), 24.
22
Daniel Winchester, “Embodying the Faith: Religious Practice
and the Making of a Muslim Moral Habitus,”.Social Forces Vol. 86 No. 4
(2008), 1773.

133
setiap saat telah menimbulkan pelbagai macam kejenuhan dan
gejolak dalam jiwa, rasa bosan yang pasti dirasakan oleh setiap
manusia. Jika keadaan ini dibiarkan saja tanpa adanya ber-
keinginan sejenak untuk beribadah kepada Tuhan, jiwa-jiwa
tersebut cenderung melemah, gersang dan hati tidak merasa
tentram. Dengan demikian, perlunya beribadah untuk me-
nyeimbangkan dan menetralisir pelbagai pengaruh negatif. Oleh
karena itu, jiwa-jiwa akan rindu terhadap Tuhan, dengan
melakukan serangkaian praktik-praktik ibadah yang dilakukan
dengan penuh kesadaran, sadar akan asal-usul dan tujuan hidup.23
Dari pelbagai pernyataan di atas, maka dimensi Islam
yang terdiri dari beberapa rangkaian, jika dilaksanakan dengan
penuh kesadaran dan semata-mata hanyalah untuk mengabdikan
diri kepada Tuhan, segala perilaku berlandaskan norma-norma
yang telah diisyaratkan oleh al-Qur‟an dan Hadis maka
kehidupan yang tenang dan bahagia akan diperoleh. Bukan hanya
sekedar praktik yang dilakukan setiap saat tanpa adanya
kesadaran, namun ibadah-apapun bentuk ibadah itu, harus
dilakukan dengan sadar yang pada akhirnya melahirkan
pandangan yang baik serta perilaku yang tidak keluar dari ajaran
Tuhan.

2. Islamic Religious Conversion


Tabel 8
Distribusi Kategori Skor Islamic Religious Conversion
Kategori Rentang Responden Presentase
Tinggi ≥ 50 93 66%
Rendah < 50 47 34%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah


majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki konversi

23
Yang dimaksud sadar akan usul adalah segala struktur
kepribadian telah diciptakan dan diatur di alam perjanjian, dan sadar akan
tujuan maksudnya adalah segala tindakan manusia hanya untuk
merealisasikan perjanjian Tuhan. Lihat Abdul Mujib, Kepribadian dalam
Psikologi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 118.

134
agama pada kategori tinggi sebanyak 93 jamaah atau sebesar
66%. Konversi agama berasal dari kata conversion yaitu
berlawanan arah, jadi konversi agama adalah terjadinya suatu
perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan
sebelumnya.24 Menurut Bhardwaj, The fundamental meaning of
conversion originates from religious change or change in faith.25
Konversi agama bukan hanya sekedar seseorang yang
sebelumnya beragama tertentu, kemudian pindah ke agama yang
lain, namun konversi lebih pada sudut pandang dan berpengaruh
pada perilaku setiap harinya. Seseorang yang sebelumnya apatis,
penuh kegelisahan dalam hidup, tidak tahu arah yang ingin
dikehendaki dan tidak mempunyai pandangan yang positif
terhadap kehidupan akan menyadari bahwa segala yang sedang
dihadapi hanyalah reaksi negatif dari persepsinya sendiri. Dengan
demikian, jiwa-jiwa tersebut akan kembali pada jalan yang
diyakininya sebagai kebenaran dan berkomitmen untuk tidak
terjebak ke dalam situasi sebelumnya.
Menjalani hidup yang penuh dengan tantangan cenderung
membuat manusia akan menghadapinya dengan baik. Apapun
latar belakang agamanya, ketika dihadapkan dengan kerancuan
dalam hidup, sebagian manusia akan berlindung dengan
Tuhannya. Hal ini mencerminkan bahwa manusia itu pada
dasarnya lemah. Jika ini sudah dilakukan dan tidak memiliki
pengaruh positif, peran konversi agama itulah yang nantinya akan
memberikan keyakinan yang baru atau semangat baru. Jika
ditelaah sejenak, konversi agama yang terjadi karena manusia itu
lemah. Kelemahan manusia adalah bagian dari fitrah, dengan
kelemahan tersebut-naluri untuk beragama akan semakin tampak

24
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
2. 1972), 111.
25
Prem R. Bhardwaj, “Dynamics of Religious Conversion in
Himachal Pradesh (HP) Paradox of Manufactured Uncertainties,”
International Journal of Sociology and Anthropology Vol. 3 No. 8. (2011),
261.

135
sebagai refleksi dari kebutuhan akan suatu kekuatan yang mampu
untuk menolongnya.26
Konversi dipahami, perubahan agama atau perubahan
orientasi keagamaan yang melibatkan “a turning around” ke arah
kehidupan.27 Jadi, konversi bukan hanya perubahan dari satu
agama ke agama lain, namun perubahan yang sangat signifikan-
keyakinan, respon dan perilaku jadi lebih baik lagi dari
sebelumnya. Antara ritual ibadah yang dilakukan menjadi output
atau menjadi saleh dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
kesalehan seseorang karena konversi agama menjadikan saleh
dalam menjalankan ritual ibadah dan saleh dalam setiap dimensi
kehidupan.
Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa konversi
agama memiliki pengaruh negatif. Menurut Peter Halama,
Konversi memang membawa perubahan. Namun, ada segi negatif
menurut Halama dan Lacna, konversi akan melahirkan keraguan
akan perubahan yang dialami yaitu dengan menyesuaikan
ajarannya dengan ajaran baru, penyesuaian inilah yang nantinya
menjadi sumber stres.28

26
Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa fitrah manusia itu lemah ‫وخهق‬
‫( اإلَسبٌ ضؼيفب‬al-Qur’a>n s. al-Nisa>/4:28). Diisyaratkan juga bahwa manusia
memiliki naluri beragama ‫( وإذا يسا اإلَسبٌ ض ار دػب رباه يُيبب انيه‬al-Qur’a>n s. al-
Zumar/39:8). Yadi Purwanto, Psikologi Kepribadian; Integrasi Nafsiyah
dan „Aqliyah Perspektif Psikologi Islami (Bandung: PT Refika Aditama.
Cet. 2, 2011), 114-122.
27
Malcolm L. Rigsby, “Religious Conversion in Prison: Prosocial
V. Anti Social Identities,”.International Journal of Education and Social
Science Vol. 1 No. 4 (2014), 62.
28
Peter Halama and Maria Lacna, “Personality Change Following
Religious Conversion: Perceptions of Convert and their Close
Acquaintances,” Mental Health, Religion and Culture Vol. 14 No. 8
(2011), 757-758.

136
3. Islamic Positive Religious Coping
Tabel 9
Distribusi Kategori Skor Islamic Positive Religious Coping
Kategori Rentang Responden Presentase
Tinggi ≥ 50 96 69%
Rendah < 50 44 31%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah


majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki positif
religious coping pada kategori tinggi sebanyak 96 jamaah atau
sebesar 69%. Islam adalah salah satu agama yang memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih. Kebebasan untuk
hidup dengan tenang, damai atau kebebasan untuk memilih gaya
hidup yang cenderung materialistis dan instan adalah beberapa
pilihan yang harus dipilih oleh manusia. Sejarah kehidupan
sebelumnya telah memberikan gambaran kepada manusia,
bagaimana pengaruh atas pilihan yang dikehendaki. Karena,
kebebasan ini pada dasarnya telah diberikan jalan oleh Tuhan,
jalan keimanan atau jalan kekafiran.29
Dalam konteks kehidupan yang penuh dengan kerancuan,
manusia dituntut untuk memilih jalan yang dapat membuat
jiwanya merasa tenang. Apapun jalan yang dipilih adalah bukti
bahwa manusia bebas memilih apa yang dikehendakinya, pada
akhirnya, respon positif terhadap segala macam kerancuan dalam
hidup dapat diatasi dengan baik. Kerancuan hidup yang dialami
oleh manusia pada dasarnya di awali persepsi terhadap masalah.
Bagaimana cara seseorang mempersepsikan suatu permasalahan
dengan positif, dapat memberikan efek yang baik juga dalam
kehidupan. Asumsi dasarnya adalah, segala macam kesulitan dan
permasalahan pada dasarnya tidaklah membahayakan, tetapi
persepsi akan kesulitan dan permasalahan itu yang membuat
manusia merasa cemas dan sedih.30 Dengan demikian, segala
persoalan hidup yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan Tuhan,
29
al-Qur’a>n s. al-Kahfi/18:29
30
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah (Bandung: Mizan,
Cet. I. 2012), 230.

137
maka persepsi itu sendiri yang mempengaruhi seseorang untuk
terjerumus ke dalam lubang bahaya, demikianpun sebaliknya.
Apa yang terjadi dalam setiap dimensi kehidupan, peran
problem solving sangat membantu permasalahan yang sedang
dihadapi manusia. Salah satu bentuk mengatasi masalah yang
cukup relevan dengan keadaan sekarang adalah dengan
mendekatkan diri secara sadar kepada Tuhan, melalui ritual-ritual
keagamaan yang dilakukan.31 Menetralisir dan mengatasi
permasalahan dengan cara berusaha dan beribadah kepada Tuhan
adalah bentuk keseimbangan antara jasmani dan rohani.
Seseorang yang mencoba untuk mengatasi masalah yang
ada tanpa agama adalah melanggar fitrah manusia itu sendiri,
lemah. Begitupun sebaliknya, manusia yang hanya beribadah saja
dengan mengharapkan segala permasalahan yang ada akan hilang
juga melanggar fitrah manusia itu sendiri, karena potensi yang
ada dan itu cukup untuk membantu menyelesaikan permasalahan
tidak difungsikan secara maksimal. Peran agama (ritual-ritual
keagamaan) bagi sebagian orang dipandang sebagai hal yang
tidak empiris, konsekuensinya-sebagian orang itu tidak akan
menyelesaikan permasalahan yang ada melalui pendekatan
agama. Padahal, pelbagai ritual keagamaan tersebut mampu
menjadi hal yang positif dalam jiwanya. 32 Dengan demikian,
ajaran-ajaran agama terutama praktik-praktik ibadah yang ada di
dalamnya mampu menjadi agen untuk menetralisir dan
membantu untuk menyelesaikan beragam macam permasalahan
dalam hidup.

31
Triantoro, “Peran Religious Coping Sebagai Moderator dari Job
Insecurity Terhadap Stres Kerja Pada Staf Akademik,” Humanitas Vol. 8
No. 2. (2011), 156-166.
32
Thomas Moore, Care of the Soul; A Guide for Cultivating Depth
and Sacredness in Everyday Life (New York: Harper Perennial, 1994), 223.

138
4. Islamic Negative Religious Coping
Tabel 10
Distribusi Kategori Skor Islamic Negative Religious Coping
Kategori Responden Presentase
Tinggi 93 66%
Rendah 47 34%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah


majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki negatif
religious coping pada kategori tinggi sebanyak 93 jamaah atau
sebesar 66%. Negative religious coping adalah respon negatif
terhadap Tuhan, a tenuous and ominous view of the world.33
Perasaan atau respon yang negatif terhadap Tuhan terkadang
muncul dalam pikiran ketika sedang dilanda pelbagai kesulitan,
ujian dan cobaan dalam hidup yang pada akhirnya seseorang
tidak cukup kuat untuk menahan segalanya, stres. Dalam keadaan
seperti ini, manusia akan merasa bingung, kehilangan makna
dalam hidup (The Hollow Man); Tuhan dirasa tidak adil dengan
dirinya. Persepsi tentang ketidakadilan Tuhan terhadap dirinya
sangatlah kurang tepat, karena disaat kesulitan dan permasalahan
silih berganti datang dan berdo‟a agar kesulitan dan permasalah-
an bisa diatasi. Masalah ini adalah hak preoregatif Tuhan, namun
yang pasti setiap do‟a yang tidak dikabulkan sama besar
manfaatnya dengan do‟a yang dikabulkan.34
Persepsi akan Tuhan tidak adil terhadap dirinya
mengimplikasikan tingkat stres yang sedang dihadapi. Persepsi
ini secara perlahan akan merusak keyakinan dan pikiran manusia,
kehidupan yang dianggap selalu menyiksa karena permasalahan
hidup yang tidak terselesaikan, belum selesai dengan satu
masalah datang lagi masalah yang lain, sehingga cenderung tidak

33
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity
(Dissertation the Graduate College of Bowling Green State University,
2008), 13.
34
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (United
States of America: The University of North Carolina Press, 1975), 159.

139
tahu arah dan tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan pelbagai
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup. Padahal, al-Qur‟an telah
mengisyaratkan untuk jangan berputus asa dalam menyelesaikan
segala persoalan hidup.
             

35
.  
Artinya:“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir".

Faktanya, tidak semudah apa yang dibayangkan. Segala


ibadah yang dilakukan dirasa tidak membantu dalam
menyelesaikan pelbagai persoalan hidup. Hidup dalam keputus-
asaan, dunia terasa kejam dan Tuhan tidak cukup adil terhadap
dirinya. Sehingga, tidak jarang manusia yang memiliki
karakteristik tersebut akan berfikir dan melakukan hal-hal yang
negatif seperti, bunuh diri. Bermula dari fikiran yang negatif,
kemudian diaplikasikan dalam bentuk perilaku-seseorang
cenderung tidak cukup kuat untuk memutus tali keputus-asaan,
kecuali hidayah. Dalam beberapa penelitian, negative religious
coping berhubungan dengan stres dan depresi.36 Dengan

35
Lihat al-Qur’a>ns. Yu>suf 12/87
36
Untuk lebih jelasnya lihat Dariusz Krok, “The Mediating Role of
Coping in the Relationship between Religiousness and Mental Health”.
Archives of Psychiatry and Psychotherapy.Vol. 2 (2014), 12. Lihat juga
Thomas P. Carpenter and others, eds. “Religious Coping, Stress, and
Depressive Symtoms among Adolescents: A Prospective Study”.
Psychology of Religion and Spirituality. (2011), 1-10. Diakses pada tanggal
9 April 2015melalui
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&
cad=rja&uact=8&ved=0CEgQFjAF&url=http%3A%2F%2Fspu.edu%2Fde
pts%2Fspfc%2Fclinicalpsych%2Ftraining-research%2Ffaculty-research-
teams%2Face-
lab%2Fdocuments%2FCarpenter_Laney_Mezulis_2011.pdf&ei=m-
8lVbDrCY2MuASsqoDQBw&usg=AFQjCNEc_KzU2p_bW52uDSjGxu0
e-2ioAQ&sig2=zE6UBtwSK3aYVqWczaZhyA&bvm=bv.90491159,d.c2E

140
demikian, persepsi37 negatif terhadap segala persoalan hidup
yang dihadapi oleh setiap manusia akan membawa pengaruh
negatif juga dalam menyikapi pelbagai realitas kehidupan.

5. Islamic Religious Struggle


Tabel 11
Distribusi Kategori Skor Islamic Religious Struggle
Kategori Responden Presentase
Tinggi 100 71%
Rendah 40 29%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah


majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki islamic
religious struggle pada kategori tinggi sebanyak 100 jamaah atau
sebesar 71%. Islamic religious Struggle adalah to find and
conserve significance in life, yaitu untuk menemukan dan
melestarikan makna hidup.38 Mencari sekaligus menemukan
makna hidup adalah sebuah proses yang harus dilakukan oleh
manusia. Dalam pencarian itu ada pelbagai rintangan dan
kesulitan yang harus dihadapi dengan baik agar hidup yang
diimpikan akan terwujud. Tidak semua manusia memperoleh
kehidupan yang sesuai dengan apa yang diimpikannya.
Kecenderungan untuk berputus asa adalah salah satu faktor yang
menyebabkannya gagal dalam menghadapi segala kesulitan dan
impian untuk hidup dengan baikpun menjadi gagal.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa segala yang didapatkan
dalam mencari kehidupan adalah buah dari kerja keras seseorang,
di dalamnya ada unsur hukum kausalitas, sebab akibat. Jika gagal

37
Perception is a set of internal sensational cognitive processes
of the brain at the subconscious cognitive function layer that detects,
relates, interprets, and searches internal cognitive information in the mind.
Lihat Yingxu Wang, “On the Cognitive Processes of Human Perception
with Emotions, Motivations, and Attitudes,” International Journal of
Cognitive Informatics and Natural Intelligence Vol. 1 No. 4 (2007), 1-2.
38
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 13.

141
dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan dalam hidup
maka cenderung atau bisa dikatakan akan gagal untuk mem-
peroleh apa yang diinginkan. Sebaliknya, orang yang mampu
menguasai diri, kerja keras, berdo‟a dan bersyukur kecenderung-
an untuk hidup apa yang diharapkannya akan terwujud. Nilai-
nilai yang terkandung dalam Islam pada dasarnya mengacu atau
sesuai dengan hukum kausalitas, ada timbal balik. Manusia yang
berislam tidak secara ka>ffah, maka dalam proses kehidupan akan
cenderung memberikan efek yang kurang baik. Dalam kasus ini,
al-Qur‟an telah mengisyaratkan:
        

39
.        
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam keseluruhan”.

6. Islamic Relgious Internalization-Identification


Tabel 12
Distribusi Kategori Skor Islamic Relgious Internalization-
Identification
Kategori Responden Presentase
Tinggi 83 59%
Rendah 57 41%
Jumlah 140 100%

39
Lihat al-Qur’a>ns. al-Baqarah/2:208. Menurut Hamka, kalimat
ka>fah merujuk kepada pengakuan secara totalitas akan kebenaran Islam
sebagai agama yang berpedomankan kepada al-Qur‟an dan Hadis. Hamka,
Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas), 157. Sedangkan menurut
Shihab, kalimat ka>fah lebih menekankan kepada orang yang beriman untuk
masuk ke dalam wadah kedamaian atau ‫ انساهى‬sehingga, seseorang mampu
berdamai dengan dirinya sendiri, keluarga, seluruh manusia, binatang dan
tumbuh-tumbuhan serta alam raya. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Volume, 1 (Jakarta: Lentera Hati,
Cet. V, 2011), 544.

142
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah
majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki Islamic
religious internalization-identification pada kategori tinggi
sebanyak 83 jamaah atau sebesar 59%. Identification represents
adoption of beliefs as personal values and is characterized by
greater volition. Singkatnya, menjadikan keyakinan sebagai nila-
nilai kepribadian.40 Keyakinan terhadap Tuhan adalah fitrah
manusia. Al-Qur‟an dan Hadis adalah sebagian dari petunjuk
Tuhan untuk manusia. Dengan al-Qur‟an dan Hadis manusia
mampu menafsirkan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan
mengetahui apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Dengan keyakin-
an ini jugalah, manusia akan merefleksikan nilai-nilai dalam
kehidupan bermasyarakat sekaligus menjadi pondasi dasar dalam
menyikapi segala hal dalam kehidupan. Nilai-nilai yang diadobsi
dari keyakinan kepada Tuhan tidak akan malahirkan ke-
cenderungan-kecenderungan untuk menyimpang dari jalan yang
lurus.41 Jika tampak kecenderungan untuk keluar dari jalan yang
dikehendaki, berarti ada rangkaian yang salah dalam memahami
makna nilai-nilai ketuhanan tersebut. Kesalahan dalam me-
mahami nila-nilai ini akan berdampak pada persepsi dan
berperilaku dalam kehidupan. Tuhan menghendaki adanya
keselarasan antara keimanan dan kesalehan dalam bermasyarakat.
Bukan saja kesalehan yang diperoleh untuk diri sendiri, melain-
kan kesalehan dalam memandang realitas hidup yang sesungguh-
nya. Sikap intolerensi, fatalism, putus asa, eksklusivism dan lain
sebagainya adalah serangkaian fakta yang terjadi dalam
kehidupan ini dan tentunya melahirkan keadaan dan kondisi

40
Ryan RMand others, eds. “Two Types of Religious
Internalization and their Relations to Religious Orientations and Mental
Health,” Journal of Personality and Social Psychology 65.3 (1993), 586-
59.
41
Jalan yang lurus adalah segala jalan yang dapat menghantarkan
manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Beberapa jalan yang dirasa
mampu menghantar kebahagiaan dunia dan akhirat pada manusia seperti;
harta kekayaan yang halal, ilmu pengetahuan, kekuasaan, kesehatan dan
ibadah kepada Tuhan baik itu bersifat pasif atau aktif. Lihat, M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, cet ke IV, 2002), 80-81.

143
dalam masyarakat yang cenderung tidak harmonis, penuh
pertentangan, kasih sayang menjadi redup antar sesama, ke-
egosentrisan setiap individu dan masyarakat serta fakta-fakta
sekarang yang mengindikasikan kesalahan dalam mempersepsi
nilai-nilai ketuhanan.
Ada ungkapan bahwa religiusitas yang paling baik dan
yang pernah terjadi adalah ketika pada zaman Rasulullah,
Muhammad saw. Segala persoalan dalam hidup berpedoman
kepada al-Qur‟an dan Hadis. Keadaan sekarang terbalik apa yang
ada pada zaman Rasulullah, tingkat stres yang dialami oleh
masyarakat sekarang akibat dari perkembangan zaman modern
yang semakin meningkat, karena stres adalah bagian dari aspek
kehidupan modern itu sendiri.42 Manusia cenderung tidak sadar
terhadap nilai-nilai ketuhanan yang itu semua seharusnya
menjadi pegangan dalam hidup. Kenyataannya, zaman modern
yang cenderung tidak cukup kuat untuk dihadapi oleh manusia
cenderung memberikan pengaruh yang negatif pada kehidupan
manusia. Tidak jarang, untuk memenuhi segala kebutuhan hidup,
manusia akan berusaha untuk bekerja setiap saat yang pada
akhirnya, kebutuhan yang paling mendasar dari manusia itu
sendiri cenderung terabaikan. Sehingga, ketika dilanda pelbagai
problem dalam kehidupan segalanya terasa hancur dan secara
otomatis dapat menyebabkan stres, Stress is a negative
consequence of modern living.43 Konsekuensi dari kehidupan
modern inilah yang nantiya akan memberikan kesadaran bagi
manusia untuk melihat kembali nilai-nilai ketuhanan yang
cenderung diabaikan. Dengan nilai-nilai tersebutlah, manusia
akan menyadari bahwa keyakinan terhadap Tuhan merupakan
suatu keharusan untuk diimani dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

42
Lihat Ahmad. M. Thawabieh and Lama. M. Qaisy, “Assesing
Stress among University Students,” American International Journal of
Contemporary Research Vol 2 No. 2 (2012), 110.
43
Revati C. Deshpande, “A Healthy way to Handle work place
stress through Yoga, Medidation and Soothing Humor,” International
Journal of Environmental Sciences Vol. 2. No. 4 (2012), 2143.

144
7. Islamic Religious Internalization-Introjection
Tabel 13
Distribusi Kategori Skor Relgious Internalization-Introjection
Kategori Responden Presentase
Tinggi 71 51%
Rendah 69 49%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah


majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki islamic
religious internalization-introjection pada kategori tinggi
sebanyak 71 jamaah atau sebesar 51%. Introjection represents a
partial internalization of beliefs and is characterized by self- and
other-approval-based pressures, perilaku yang didorong oleh
rasa cemas, rasa bersalah dan kehilangan harga diri.44 Dengan
demikian, sebuah respon yang negatif, kemudian muncul perilaku
yang disebabkan oleh respon tadi-perilaku sehari-hari dalam
menjalankan kewajiban agama yang didasarkan pada kecemasan
dan rasa bersalah. Ada unsur keterpaksaan dan ketidaksadaran
dalam mengamalkan segala kewajiban dalam beragama. Seperti
ungkapan, saya melakukan salat karena jika tidak saya lakukan,
maka Tuhan akan memandang saya sebagai hamba yang tercela.
Perilaku yang demikian ini pada dasarnya tidak dilakukan
semata-mata karena Tuhan, ada indikasi hanya menggugurkan
kewajiban dan ingin dikatakan oleh orang lain sebagai orang
yang taat.
Kewajiban dan ketaatan dalam menjalankan proses ritual-
ritual ibadah akan menjadi daya yang efektif bagi manusia jika
dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanpa adanya rasa
bersalah, cemas dan lain sebagainya. Rasa cemas dan bersalah
jika tidak melakukan kewajiban atau perintah agama adalah
indikasi dari keterpaksaan dalam menjalankan perintah Tuhan.
Faktanya, banyak orang yang melakukan ritual-ritual keagamaan,
baik itu sifatnya wajib atau sunnah, tidak memberikan daya
44
Ryan RM and others, eds. “Two Types of Religious
Internalization and their Relations to Religious Orientations and Mental
Health,”586-59.

145
positif dalam kehidupan. Praktik ibadah tidak lebih untuk
menggugurkan kewajiban. Idealnya adalah, bagaimana kewajiban
tersebut dilaksanakan dengan penuh kesadaran tanpa adanya rasa
cemas, takut dan dari ritual itulah nantinya akan memperoleh
kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman dalam hidup, karena
segala praktik tersebut yang mengindikasikan keimanan kepada
Tuhan harus dipraktikan dalam setiap multidimensi kehidupan.45
Menurut Raiya, perilaku yang didorong oleh keterpaksa-
an ini berhubungan dengan kecemasan dan depresi.46 Tuhan telah
memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan hal
yang ingin diperbuat, termasuk kebebasan ketika sedang
melakukan ibadah kepada Tuhan, kebebasan dalam berfikir;
bahwa niat untuk melakukan beribadah hanyalah kepada Tuhan,
bukan karena terpaksa. Kebebasan dalam bertindak; apa yang
diperbuat adalah manifestasi dari rasa keimanan yang kuat dan
tidak diintervensi oleh pelbagai perasaan, seperti rasa bersalah,
perasaan cemas, khawatir dan yang lainnya. Kebebasan inilah
yang membuat manusia tinggi derajatnya dibandingkan dengan
makhluk lainnya, namun jauh lebih rendah derajatnya dari
makhluk lain, jika kebebasan ini dipraktikkan dengan tidak
maksimal dan tidak bijaksana. Asumsi dasarnya adalah, manusia
yang melakukan segala praktik ibadah dengan penuh kesadaran,
tanggung jawab dan kebebasan akan memberikan efek yang
sangat positif bagi tumbuh dan kembangnya jiwa seseorang dan
kehidupan yang dijalani pada masa sekarang dan di masa depan
selalu berorientasikan hanya kepada Tuhan.

45
Yasmeen Mahnaz Faruqi, “Islamic View of nature and values:
Could these be the answer to building bridges beetween modern science
and Islamic science,” International Education Journal Vol. 8. No. 2
(2007), 461.
46
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 9.

146
8. Islamic Religious Exclusivism
Tabel 14
Distribusi Kategori SkorIslamic Religious Exclusivism
Kategori Responden Presentase
Tinggi 82 59%
Rendah 58 41%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah


majelis zikir Az-Zikra Bogor lebih banyak memiliki islamic
religious exclusivism pada kategori tinggi sebanyak 82 jamaah
atau sebesar 59%. Menurut Pargament, religious Exclusivism
reflects the assumption that there is an absolute reality and a
single way to approach it, mencerminkan bahwa ada realitas
yang mutlak dan hanya ada satu cara untuk mendekatinya.47
Intinya adalah, bahwa hanya pemeluk agama tertentu yang
memiliki kebenaran mutlak, sedangkan pemeluk yang lain
salah.48 Pandangan dan pemikiran yang seperti ini yang nantinya
melahirkan sikap intolerensi dalam bermasyarkat dan bernegara.
Pandangan ini pada dasarnya tidak terlepas dari dua faktor.
Pertama, sikap fanatik terhadap sebuah ideologi. Kedua, karena
kerancuan hidup yang dinilai kurang memihak kalangan
mayoritas dari suatu masyarakat.
Ketidakbijaksanaan dalam mempersepsi suatu ajaran
Tuhan akan melahirkan sikap fanatik, terlebih lagi fanatik
terhadap agama, hanya agama sendirilah yang paling baik di
bandingkan dengan agama yang lainnya. 49 Dasar pemikiran ini,

47
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 32.
48
Ahmad Khairul Fata, “Menguak Islam Eksklusif yang Toleran,”
ISLAMICA Vol. 6 No. 1 (2011), 15. Lihat juga, Kevin Meeker, “Pluralism,
Exclusivism, and the Theoretical Virtues,” Religious Studies Vol. 42 Vo. 2
(2006), 194.
49
Seperti ungkapan my religion is the only true one, the rest are
false. Keyakinan ini yang nantinya cenderung untuk intolerensi dan
kecenderungan fundamentalism. Lihat Jorge N. Ferrer, “The Plurality of
Religions and the Spirit of Pluralism: A Participatory Vision of the Future

147
jika hidup dalam bermasyarakat tentunya berpeluang terjadinya
konflik antar agama. jika konflik terjadi, bukan kebahagiaan,
ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan yang didapatkan oleh
masyarakat, melainkan sebaliknya. Kenyaataan ini pada dasarnya
telah melanggar nilai-nilai ketuhanan. Bukankah Tuhan bertujuan
untuk menjadikan manusia sebagai khalifah (mandataris) tidak
lebih hanyalah untuk membawa nilai-nilai ketuhanan yang
universal dan penuh kebahagiaan? Jika faktanya demikian,
manusia sendiri tentu harus menjadi pribadi yang saling
menghargai, menghormati dan penuh kasih sayang.
Realitas yang mutlak adalah Tuhan semesta alam.
Manusia adalah hamba yang harus patuh dan tunduk dalam
segala hal. Patuh terhadap segala perintah-Nya dan tunduk
terhadap segala larangan-Nya. Adapun kebebasan manusia
terletak bagaimana mempersepsikan dan berperilaku dalam setiap
kehidupan. Mencari kebenaran dalam hidup tidak terlepas pada
apa yang diyakini oleh setiap manusia, al-Qur‟an dan Hadis
menjadi cerminan Tuhan bagi umat Islam untuk merespon,
berfikir dan berperilaku. Karena Tuhan telah menciptakan
manusia dengan penuh kasih sayang dan memberikan manusia
beragam potensi untuk mencari kebenaran (kecerdasan) tentang
realitas yang ada, Tuhan.50 Dalam pencarian kebenaran terhadap
realitas yang satu adalah hak manusia, namun Islam telah
memberikan beberapa referensi tentang itu. Kebenaran atas apa
yang diyakini oleh manusia pada dasarnya memberikan nilai
tambah dan bukan untuk mengatakan bahwa apa yang diyakini
adalah kebenaran mutlak, sedangkan keyakinan yang lain adalah
salah.
Beberapa bagian dari dimensi religiusitas di atas,
merupakan satu konsep yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Setiap bagian mempunyai pengaruh yang signifikan bagi jamaah

of Religion,” International Journal of Transpersonal Studies 28


(2009),140.
50
Mohammad Safehian, “Salvation and Redemption in the
Eexclusivist and Inclusivist Views and Islamic Thougt,” International
Research Journal of Applied and Basic Sciences Vol. 4 No. 12 (2013),
3865.

148
majelis zikir. Pengaruh positif yang dijadikan sebagai bahan
perenungan dan ditingkat lagi secara maksimal dapat memberi-
kan respon, persepsi, motivasi sekaligus keyakinan terhadap
Tuhan untuk lebih memfokuskan apa yang dikehendaki oleh
Tuhan. Dengan demikian, religiusitas-penghayatan terhadap
nilai-nilai agama bukan hanya sekedar dilakukan untuk
menggugurkan kewajiban, namun lebih dari itu, ada sebuah nilai
yang positif jika benar dilakukan secara sadar. Dapat dikatakan,
bahwa Tuhan tidak akan menzalimi para hambanya. Apa yang
terjadi dalam hidup, bahagia atau menderita-itu semua merupa-
kan hak manusia sepenuhnya untuk memilih. Jika dalam
kehidupan, ritual ibadah dipandang hanya sebagai menggugurkan
kewajiban, tentu nilai positif tidak akan diperoleh. Di lain pihak,
seseorang yang secara sadar, yakin dan optimis dalam melakukan
praktik-praktik keagamaan; tidak sekedar menggugurkan
kewajiban-apapun kesulitan dalam hidup, permasalahan yang
selalu datang menyapa tidak menggoyahkan kepribadiannya
untuk berpaling dari Tuhan dan berperilaku serta mengamalkan
apa yang dikehendaki oleh Tuhan.

B. Adversity Quotient Majelis Zikir Az-Zikra Bogor

Tabel 15
Distribusi Frekuensi Adversity Quotient Jamaah Majelis Zikir
Az-Zikra Bogor
Kategori Rentang Responden Presentase
Tinggi 198-219 18 12,85%
Sedang 175-197 103 73,57%
Rendah 174-155 19 13,57%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity


quotient jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor berada pada
kategori sedang sebanyak 103 jamaah atau sebesar 73,57%.
Namun demikian, jika menggunakan skor murni (t-score), maka
jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor masuk dalam kategori

149
rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.

Tabel 16
Kategorisasi SkorAdversity Quotient Jamaah Majeliz Zikir
Az-Zikra
Kategori Rentang Responden Presentase
Tinggi ≥ 50 69 49%
Rendah < 50 71 51%
Jumlah 140 100%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity


quotient jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor berada pada
kategori rendah sebanyak 69 jamaah atau sebesar 49%. Dalam
setiap aspek kehidupan, antara do‟a dan usaha tidak bisa
dipisahkan. Seseorang yang dikatakan sukses dalam hidupnya
ialah seseorang yang telah berusaha secara maksimal dan penuh
harap (do‟a) serta mampu bersyukur dalam setiap usahanya.
Menurut Stoltz, adversity quotient mempunyai tiga bentuk.51
Pertama, sebagai kerangka kerja konseptual yang baru untuk
memahami sekaligus meningkatkan kesuksesan. Sebagai contoh,
IQ (intelligence quotient) dan EQ (emotional quotient) bukanlah
penentu kesuksesan seseorang-kecerdasan emosi tidak
mempunyai tolak ukur yang sah dan metode yang jelas, sehingga
sulit untuk dipahami.
Kedua, untuk mengetahui respon terhadap kesulitan.
Sebagai karya yang disusun berdasarkan pelbagai riset dan
mengkombinasikan antara psikologi kognitif, psiko-neuro-
imunologi dan neuro-fisiologi, maka untuk mengetahui respon
seseorang terhadap kesulitan digunakanlah satu tolak ukur (skala)
yang valid dan kehandalannya telah dicoba lebih dari 7.500
responden seluruh dunia. Dengan mengisi skala tersebut
(Adversity Respone Profile, ARP) dapatlah dilihat bagaimana
tingkat kecerdasan mengatasi masalah pada seseorang.
51
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang. Terj. Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities, T. Hermaya (Jakarta: PT Grasindo,Cet. 7. 2007), 9.

150
Ketiga, adversity quotient adalah serangkaian peralatan
yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap
kesulitan. Dasar ilmiah ini meliputi psikologi kognitif,
psikoneuroimunologi dan neurofisiologi.
Kehidupan manusia di dunia pada dasarnya tidak akan
pernah lepas dari beragam cobaan hidup. Persepsi dan usaha
yang dilakukan itu lah nantinya akan memberikan kesuksesan
dalam menghadapi beragam macam cobaan. Terkadang manusia
mampu untuk mengatasi kesulitan dalam hidup, namun di sisi
lain, ada beberapa manusia yang mampu menghadapi segala
macam cobaan itu setelah terjerumus dalam lubang yang curam
lagi dalam. Terjerumusnya ke dalam lubang tersebut, akhirnya
menghantarkan manusia pada kehidupan yang penuh dengan
kebaikan, motivasi hidup bertambah karena tidak ingin
mengalami cobaan itu di kemudian hari, jika cobaan itu pun
nantinya datang-maka bekal dan pengalaman hidup sebelumnya
menjadi pelajaran. Segala macam kesulitan itu pada dasarnya
ingin membentuk manusia untuk menjadi lebih baik. Tidak ada
manusia yang sukses dalam kehidupan dunia dan akhirat jika
tidak mengalami beragam macam kesulitan, ujian dan cobaan
dalam hidup. Indikasi kesulitan yang terus datang dan selalu
menyapa setiap harinya merupakan esensi dari kehadiran Tuhan.
Tuhan selalu ingin memberikan kebahagiaan pada hambanya
setiap saat, yang pada akhirnya nanti, manusia lah yang akan
merespon kehadiran Tuhan tersebut. Ada beragam nikmat dan
kebahagiaan yang tersirat dalam beberapa kesulitan yang ada.
Kendatipun kebahagiaan secara umum dan dirasakan oleh
manusia hanyalah bersifat materi (yang tampak saja), manusia
akan sadar pada waktunya nanti, kesuksesan dan kebahagiaan
yang hakiki bukan hanya bersifat materi.
Kecerdasan seseorang dalam mengatasi kesulitan sangat
erat sekali hubungannya dengan seberapa dekat manusia dengan
Tuhan. Dekat dengan Tuhan bukan semata-mata hanya dilihat
dari keseringannya dalam beribadah saja, namun bagaimana
ibadah yang telah dilakukan itu dapat menjadi nilai untuk
berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa jadi,
sebelumnya-seseorang yang ditimpa beragam kesulitan

151
cenderung tidak mampu untuk mengatasinya, namun sekarang-
setelah memperhatikan dan merealisasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam beragam praktik ibadah telah menjadikan
seseorang tersebut kuat dan mampu untuk menghadapi segala
tantangan hidup, kesulitan.
Dalam konteks ini, kecerdasan mengatasi kesulitan pada
jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor melalui hitungan statistik,
terkategorikan hanya tinggi dan rendah. Namun yang perlu di
pahami, secara keseluruhan religiusitas berpengaruh signifikan
terhadap kecerdasan mengatasi masalah. Kecerdasan mengatasi
masalah pada jamaah mejelis zikir Az-Zikra yang terkategorikan
tinggi sebanyak 49 % dan kategori rendah sebanyak 51%. Namun
di sisi lain, dalam wawancara dengan beberapa jamaah, mereka
berasumsi bahwa ritual-ritual agama yang dijalankan berdampak
positif dalam mengatasi segala kesulitan. Jika sebelumnya, untuk
mengatasi kesulitan itu sangalah sulit, namun ketika mengetahui
urgensi dari praktik-praktik ibadah yang dilakukannya, segala
beban kesulitan hidup dapat dihadapi dengan baik.52
Dari hasil penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan
bahwa keyakinan terhadap Tuhan dan melaksanakan segala
macam bentuk ritual ibadah yang dilakukan dengan penuh
kesadaran dan berkeyakinan terhadap nilai-nilai yang tersirat
dalam praktik tersebut, merupakan dasar untuk mengatasi
pelbagai macam kesulitan, permasalahan, cobaan, ujian dan
musibah dalam hidup. Sehingga, berbekal dengan keimanan yang
kuat, mengendalikan kesulitan, bertanggung jawab terhadap
kesulitan, meminimalisir pelbagai kesulitan agar jangan men-
jangkau kehidupan lain dan merespon positif setiap kesulitan-
maka kesulitan, permasalahan, ujian dan cobaan dalam hidup
akan dihadapi dengan baik.

52
Wawancara terhadap jamaah majelis zikirAz-Zikra Bogor pada
tanggal 5 Maret 2015 di Masjid Az-Zikra Bogor.

152
1. Control
Kata kunci dari control atau kendali yang dimaksud
adalah merasakan.53 Setiap kesulitan yang ada pada dasarnya
untuk dikendalikan dan dirasakan secara sadar, yang dengan
demikian rasa optimis untuk mengatasi kesulitan menjadi faktor
yang penting. Dalam kehidupan nyata, seseorang terkadang
mampu untuk mengatasi pelbagai kesulitan yang ada, namun
ketika hidup telah sukses-secara tidak sadar terjerumus dalam
hidup yang kurang bermakna. Banyak orang yang dari segi
materi dipandang sudah cukup; hal ini karena orang tersebut
sukses dalam setiap mengatasi kesulitan, sehingga materinya
berlimpah, namun dalam kehidupannya penuh dengan rasa
kekhawatiran, kecemasan, hidup terasa hampa dan kehilangan
makna dalam hidup. Hal ini mengisyaratkan bahwa kecerdasan
untuk mengatasi kesulitan tidak dapat berdiri sendiri tanpa peran
yang sangat sentral, agama.
Output dari dimensi control atau kendali ini adalah
optimis. Segala bentuk kesulitan yang dihadapi, keyakinan akan
mampu untuk mengatasinya adalah kunci dari keberhasilan dan
kesuksesan. Setiap manusia memiliki cara pandang yang berbeda,
bahkan anak kembar pun tidak akan sama. Dengan prinsip yang
demikian, dalam mengatasi segala kesulitan yang berkaitan
dengan optimis, bisa dibagi menjadi dua bagian, penuh dengan
keyakinan dan tidak memiliki keyakinan.
Pribadi yang memiliki keyakinan, memiliki ketangguhan
dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Kendali yang dirasakan
terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Bagaimana
seseorang berusaha dengan maksimal untuk mengendalikan
setiap gejala-gejala yang nantinya bisa saja menjadi kesulitan
dalam hidup. Jika pun tidak dapat dihindari, proses berfikir dan
bertanya terhadap diri sendiri merupakan solusi yang terbaik
untuk mengendalikan sesuatu yang menimbulkan kesulitan.54
Kendali terhadap setiap kesulitan merupakan hal yang tidak

53
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 141.
54
Siddig Ahmad, “Generic Skills from Qur‟anic Perspective,”
International Journal of Islamic Thought Vol. 1 (2012), 47.

153
mudah untuk dipraktikkan. Namun, sejauh seseorang merespon-
nya dengan positif, kesulitan yang sebelumnya menjadikan
masalah pada akhirnya menjadi optimis untuk mengatasinya. Hal
ini senada dengan Canivel yang menyatakan bahwa merespon
kesulitan dengan sederhana atau sementara dan penuh optimis
akan dengan mudah untuk mengatasinya.55
Dalam perspektif Islam, manusia dituntut untuk bersabar
dalam setiap hal. Bukankah al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa
Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu
sendiri yang merubahnya.
56
           
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri”.

Pernyataan ini jelas menggambarkan bahwa idealnya


manusia adalah berjuang, bersabar dan berani untuk mengatasi
segala macam kesulitan. Orang yang beriman akan bersabar,
tidak mengeluh, tawakal, berani dan berjuang untuk menjalani
hidup yang penuh dengan kesulitan.57 Dengan demikian, nilai-
nilai yang terkandung di dalam al-Qur‟an cenderung ekuivalen
dengan dimensi control dari adversity quotient, karena al-Qur‟an
merupakan pedoman bagi muslim dalam menjalani proses
kehidupan, the Qur‟an is the most important source of all Islamic
teaching.58

55
Lea Daradal Canivel, Principals‟ Adversity Quotient: Styles,
Performance and Practices (Submitted in Partial Fulfillment of the
Requirements for the Degree of Master of Arts in Education: University of
the Philippines, 2010), 22.
56
al-Qur’a>n s. al-Ra’d/13:11.
57
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Panjimas, Cet. 3. 2003), 70-
74.
58
Fu‟ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of
Geographical Distribution and Political Alignments (Leiden: Brill, 2003),
42.

154
2. Origin and Ownership
Pengertian dari kata origin dan ownership adalah asal-
usul dan pengakuan. Dimensi ini mempertanyakan dua hal; siapa
atau apa yang menjadi asal-usul kesulitan dan sampai sejauh
manakah akan mengakui akibat-akibat kesulitan itu.59 Setiap asal
dari kesulitan cenderung atau bisa dikatakan pasti menyebabkan
rasa bersalah pada manusia. Rasa bersalah karena kesulitan yang
datang dikarenakan kurangnya antisipasi sebelumnya. Perasaan
ini, rasa bersalah tidaklah selalu memberikan efek yang negatif.
Menjadi negatif jika rasa bersalah ini terlalu dilebih-lebihkan,
seakan-akan diri sendiri yang menjadi sebab timbulnya kesulitan.
Seperti ungkapan; ini semua kesalahan saya, saya bodoh, saya
memang orang yang gagal, saya terlanjur menjadi miskin dan
pelbagai ungkapan lainnya yang mengindikasikan berlebihan.
Perspektif lain adalah memandang rasa bersalah sebagai respon
yang positif. Dalam arti, rasa bersalah dijadikan sebagai
introspeksi terhadap diri sendiri. Ketika rasa bersalah direspon
dengan positif, perasaan optimis secara otomatis mengalir dalam
jiwanya. Jika dianalogikan dalam sebuah ungkapan sehari-hari;
waktunya tidak tepat, tidak ada yang mengetahui bahwa musibah
ini akan datang dan pelbagai ungkapan lainnya yang meng-
indikasikan rasa bersalah direspon dengan positif.
Jika asal-usul berorientasikan pada perasaan rasa
bersalah, maka pengakuan berorientasikan pada sikap tanggung
jawab atas kesulitan yang sedang dihadapi. Memiliki sikap
tanggung jawab idealnya harus dimiliki oleh setiap manusia. Baik
itu bertanggung jawab terhadap masyarakat sekitar, keluarga,
pekerjaan, tugas, diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap
perintah yang telah diinformasikan Tuhan melalui utusan-Nya.
Manusia yang cerdas adalah manusia yang bertanggung jawab
atas apa yang sedang dihadapinya, baik itu dalam keadaan susah
ataupun senang. Urgensi dari sikap tanggung jawab dalam meng-
hadapi setiap kehidupan adalah manifestasi dari keteraturan
dalam menjalankan ibadah. Sebab ibadah bukan hanya sekedar
dipahami sebatas melakukan ritual-ritual saja, namun lebih dari

59
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 146-147.

155
itu. Merespon dengan positif, bertindak dengan tepat dan penuh
kesadaran serta berbaik sangka adalah segilintir dari makna yang
terkandung dalam “bertanggung jawab”. Individu yang
bertanggung jawab adalah individu yang memaksimalkan segala
potensinya. Memiliki akal sebagai alat berpikir, hati untuk
memahami, nurani untuk introspeksi, syahwat sebagai penggerak
tingkah laku dan hawa nafsu sebagai tantangan.60 Semua potensi
tersebut adalah refleksi dari kesempurnaan manusia untuk
berjuang dalam hidup. Dengan demikian, adversity quotient
mengajarkan kepada manusia untuk meningkatkan rasa
tanggungjawab terhadap kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup
yang dihadapi. Di bawah ini ada gambar yang mengilustrasikan
tentang origin dan ownership.61
Gambar 5
Perbedaan AQ Tinggi dan Rendah

60
Achmad Mubarok, Psikolgi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah
Hingga Keluarga Bangsa (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005), 183.
61
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 146-151.

156
3. Reach
Secara bahasa reach berarti jangkauan. Dimensi ini
mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau
bagian dari kehidupan yang lain.62 Manusia memiliki
kecenderungan untuk hidup secara instan dan juga hidup yang
penuh dengan tantangan. Kecenderungan untuk hidup secara
instan akan membawa manusia hidup dalam sebuah perangkap
yang demikian itu butuh waktu cukup lama untuk keluar dari
perangkap tersebut. Salah satu karakteristik kehidupan modern
adalah hidup dengan cara serba instan. Cara pandang inilah
nantinya akan memberikan respon yang cenderung negatif ketika
apa yang diinginkan tidak tercapai sesuai dengan harapan.
Masalah dan kesulitan yang ada tentunya akan berdampak pada
sisi kehidupan yang lainnya. karena zaman modern telah
melahirkan manusia yang dinamakan oleh Wright Mills
“Cheerful Robots”.63
Sisi lain dari kehidupan manusia adalah kecenderung
untuk hidup dalam tantangan. Dengan tantangan, manusia akan
merasa sangat bermakna dalam hidupnya dan dengan tantangan
tersebut akan melahirkan motivasi untuk hidup bahagia dan
sukses. Kesulitan yang ada akan segera dihadapi dengan penuh
kebijaksanaan. Pribadi yang cerdas akan selalu ingat bahwa
segala apa yang di miliki hanyalah titipan Tuhan, ketika ada
sesuatu yang diambil kembali oleh Tuhan idealnya tidak perlu
untuk merasa sedih, karena hal itu semua hanya sebagian kecil
dari hal yang terbesar dimiliki oleh manusia, jiwa. 64 Dengan

62
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 146-159.
63
Pribadi yang berusaha melarikan diri dari kegelisahan jiwa
dengan cara melakukan wisata yang menyenangkan, melakukan pelbagai
pemainan, menenggelamkan diri dalam kenikmatan sensual yang dilakukan
tanpa sadar dan sepenuhnya tunduk pada rekaya psikologis (engineering of
consent). Jalaluddin Rakhmat, Makna Kejatuhan Manusia di Bumi. Dalam
Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Editor. Muhammad Wahyuni
Nafis (Jakarta: Paramadina, 1996), 134.
64
Untuk mengatasi kesulitan tersebut al-Kindi bergantung pada
penyadaran, pengenalan dan pemebelajaran tentang hakikat sebab-sebab
kesulitan serta membekali dengan pengetahuan yang membantu untuk

157
demikian, kesulitan dan permasalahan yang selalu datang dalam
kehidupan, tidaklah membuat kebahagiaan yang lainnya ikut
terusik. Karena seseorang yang tinggi kecerdasan mengatasi
kesulitan akan mampu membatasi jangkauan masalah tersebut
dan begitupun sebaliknya, rendahnya tingkat kecerdasan me-
ngatasi masalah pada seseorang-tidak akan mampu membendung
masalah tersebut pada jangkauan yang lainnya dan cenderung
merusak kebahagiaan yang lain. Hal ini selaras dengan Stoltz,
semakin jauh membiarkan kesulitan mencapai wilayah yang lain
dalam kehidupan, maka semakin merasa tidak berdaya dan
cenderung membuat seseorang menjadi stres.65 Dengan demikian,
jangkauan terhadap kesulitan pada dasarnya tidak terlepas dari
bagaimana seseorang merespon setiap masalah yang dihadapinya.

4. Endurance
Dari segi bahasa, endurance berarti daya tahan. Dimensi
ini mempertanyakan dua hal; berapa lamakah kesulitan akan
berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan
berlangsung.66 Dimensi ini pada dasarnya sikap seseorang
terhadap kesulitan. Ada pribadi yang memiliki sikap dalam
merespon setiap kesulitan hanya bersifat sementara dan ada juga
pribadi yang memiliki sikap dalam merespon kesulitan tersebut
bersifat selamanya. Orang pertama akan berfikir bahwa kesulitan
yang datang tidak akan selamanya menimpa dirinya kemudian,
berusaha untuk mengatasinya denga baik. Adapun orang kedua,
berfikir bahwa segala kesulitan dan permasalahan yang sedang
dihadapi tidak pernah bisa dihadapi, pada akhirnya membiarkan
diri larut dalam kesedihan.

mengatasi kesulitan tersebut. Lihat Muhammad Utsman Najati, Jiwa


dalam Pandangan Para Filosof Muslim. Terj. Al-Dira>sa>t al-Nafsa>niyyah
‘inda al-‘Ulama>’ al-Muslimi>n. Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah,
2002), 36-37.
65
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 146-161.
66
Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, 146-162.

158
Dalam Islam, al-Qur‟an dan Hadis adalah pedoman
dalam kehidupan manusia, khususnya umat Islam. Seseorang
yang mampu mengekspresikan nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Qur‟an mengindikasikan orang tersebut memiliki kesadaran
dalam beragama dan menyikapi kehidupan. Dengan demikian,
seorang muslim yang sejati adalah mampu merealisasikan pesan-
pesan yang terkandung di dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an meng-
isyaratkan bahwa janganlah merasa takut dan bersedih hati;
67
.          
Artinya: ”Dan janganlah kamu merasa lemah, dan
jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi
derajatnya, jika kamu orang beriman”.

Isyarat yang terkandung di dalam ayat tersebut adalah,


janganlah merasa takut dan bersedih hati dalam menghadapi
segalam macam rintangan kehidupan. Segala macam rintangan
itu pada dasarnya untuk membentuk pribadi yang kuat dan
tangguh serta pesan yang mengindikasikan untuk menggunakan
segala macam potensi yang telah Tuhan anugerahkan. Ada
makna yang tersirat, bahwa janganlah sekali-kali untuk bersedih
dan takut (melampaui batas) dalam merespon segala realitas
kehidupan. Nilai-nilai inilah yang sejatinya dan harus dilakukan
oleh manusia, khusunya umat Islam. Keyakinan terhadap Tuhan
idealnya melahirkan respon yang positif terhadap realitas
kehidupan ini, di saat kehidupan dirasakan tidak memberikan
kebahagiaan yang wajar-direspon dengan positif, bahwa keadaan
ini tidak akan selamanya bertahan dan untuk keluar dari kehidup-
an sebelumnya harus menggunakan segala potensi yang telah
Tuhan anugerahkan.

67
al-Qur’a>n s. Ali-‘Imra>n/3:139.

159
C. Analisis Religiusitas dan Adversity Quotient Jamaah
Majelis Zikir Az-Zikra Bogor
Agama mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
identitas seseorang.68 Religiusitas pada dasarnya bukan hanya
sekedar melakukan ritual-ritual ibadah; mempengaruhi fikiran
dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang
konsisten dengan ibadah-ibadah yang dilakukannya dan secara
maksimal mengamalkannya dalam setiap dimensi kehidupan,
maka orang itu lah yang pada dasarnya beragama. Asumsi
dasarnya, orang yang beragama adalah orang yang melaksanakan
segala bentuk ibadah-baik itu sifatnya wajib atau sunah dan
meninggalkan segala yang dilarang, dan mengaplikasikannya
dalam kehidupan sosial.
Penghayatan terhadap nilai-nilai agama adalah hal yang
seharusnya menjadi kepribadian dalam setiap manusia.
Mengimplementasikan nilai ibadah yang terkandung di dalamnya
dalam hal berpolitik, bermasyarkat, lingkungan kerja, ber-
keluarga dan merespon segala bentuk kesulitan yang ada. Respon
terhadap kesulitan adalah salah satu faktor yang dapat me-
ngembangkan rasa optimis untuk menggapai kesuksesan di dunia
dan akhirat. Setiap manusia dipastikan akan menghadapi setiap
kesulitan dalam hidup. Kesulitan dalam menghadapi masalah,
menggapai kesuksesan adalah bentuk dari bahwa hidup butuh
perjuangan yang keras. Dengan perjuangan tersebut, manusia
akan merasa hidupnya bermakna. Idealnya, seseorang yang
maksimal mengimplementasi-kan nilai-nilai ibadah yang dilaku-
kan akan mampu untuk menghadapi segala kesulitan dan
rintangan dalam hidup yang pada akhirnya kesuksesan dapat di
raih.
Dari hasil analisis statistik, bahwa ada pengaruh positif
yang signifikan religiusitas terhadap adversity quotient dengan
nilai Sig ,012, yang berarti nilai Sig. <0,05. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

68
Steward Harrison Oppong, “Religion and Identity,” American
International Journal of Contemporary Research Vol. 3 No. 6. (2013), 15.

160
Tabel 17
Uji Hipotesis
Sum of Mean
Model Squares Dr Square F Sig.
1 Regressi 2,57 ,012(
1531,180 8 191,398
on 3 a)
Residua
9743,707 131 74,379
l
Total 11274,887 139

Dengan demikian. Secara statistik ada pengaruh yang


signifikan religiusitas terhadap adversity quotient pada jamaah
majelis zikir Az-Zikra Bogor.
Penelitian ini ekuivalen dengan Dona Eka Putri dan Dina
Nur Amalia, religiosity and adversity quotient of Muslim in Poor
Community. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan 60 orang yang dijadikan subjek penelitian. Untuk
mengungkap religiusitas pada masyarakat muslim yang miskin,
peneliti menggunakan skala PMIR (Psychology Measure of
Islamic Religiousness) dari Hisham Abu Raiya. Kemudian untuk
adversity quotient, peneliti menggunakan skala adversity quotient
yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Dari hasil
penelitian ini, ternyata religiusitas berhubungan positif dengan
adversity quotient pada masyarakat muslim yang miskin, dengan
nilai Sig. < 0,01.69
Dari penelitian di atas dapat dikatakan bahwa religiusitas
mempengaruhi kecerdasan mengatasi kesulitan. Manusia tidak
akan pernah mengalami hidup tenang, tentram dan damai ketika
agama dikesampingkan. Agama dapat menjadi tuntunan dalam
hidup yang beberapa hal sifatnya irasional dan itu diyakini untuk
di imani. Dengan iman, manusia dapat merasakan hal-hal yang
sifatnya abstrak. Keberagamaan pada manusia dalam setiap
dimensi kehidupan telah melahirkan pribadi-pribadi yang

69
Dona Eka Putri and Dina Nur Amalia, “Religiosity and
Adversity Quotient of Muslims in Poor Community,” International
Proceedings of Economic Development and Research 73 (2014), 14-18.

161
memiliki rasa kasih sayang, optimis, jujur, empati dan simpati
terhadap lingkungan sosialnya. Hal inilah yang dinyatakan oleh
Gazi, bahwa religiusitas dan spiritualitas bersangkutan dengan
kualitas manusia yang baik.70 Keterkaitan antara pengaruh
religiusitas terhadap adversity quotient pada jamaah majelis zikir
Az-Zikra Bogor, penulis tidak sependapat dengan Stoltz yang
mengilustrasikan keimanan pada level dahan-sedangkan intinya
adalah tanah, manusia itu sendiri. Hal ini tentunya berbeda
dengan pendapat Najar, bahwa agama-yang melahirkan keimanan
adalah bagian dari kebutuhan manusia yang pokok dan menjadi
sumber keamanan, kedamaian dan ketentraman jiwa. Lebih
tepatnya-manusia yang tidak menjadikan agama dan keimanan
dalam hidup akan mengembalikan segala urusannya kepada
dirinya sendiri (kesulitan, musibah dan bencana) yang pada
akhirnya menciptakan hidup dalam kebingungan berpikir,
langkah yang tidak jelas dan ketidaktentraman jiwa bahkan
bunuh diri.71
Manusia tidak akan pernah tahu kualitas terbaik yang
terpendam dalam jiwanya. Apa yang diketahui oleh manusia
tentang dirinya adalah sebagian kecil dari yang telah Tuhan
berikan. Begitu kompleknya rangkaian manusia telah memberi-
kan kedudukan tersendiri di bandingkan dengan makhluk yang
lainnya. Pada tataran idealnya, manusia yang memiliki pelbagai
potensi dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan sosialnya,
bukan hanya untuk dirinya sendiri. Manusia memiliki ruh yang
tidak dimiliki oleh makhluk lain, mengacu pada kualitas unik-
hubungan dengan Tuhan, juga memiliki qalb (hati); dari
pengetahuan yang terdalam, juga nafs yang diberikan kapasitas
untuk merespon dan berperilaku. Dengan pelbagai potensi itulah,
manusia yang baik adalah manusia sesuai dengan fitrah,
melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan,

70
Gazi dan Faojah, Psikologi Agama: Memahami Pengaruh
Agama terhadap Perilaku Manusia (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 16.
71
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik; dalam Kehidupan Modern,
terj. Ija Suntana, judul asli, at-Tas}awwuf an-Nafsi (Jakarta: Hikmah, cet.
ke I, 2004),141-151.

162
memenuhi tanggung jawab kepada keluarga dan masyarakat pada
umumnya.72

D. Pengaruh Setiap Dimensi Religiusitas dan Sumbangannya


Terhadap Adversity Quotient
Untuk mengetahui pengaruh setiap dimensi religiusitas
terhadap adversity quotient maka asumsi dasarnya adalah, jika
Sig < 0,05, maka koefisien regresi yang dihasilkan berpengaruh
signifikan terhadap adversity quotient, demikian pun sebaliknya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 18
Hasil Regresi Dimensi Religiusitas Terhadap Adversity
Quotient
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
(Constant) 25,655 8,040 3,191 ,002
Islamic Dimensions ,184 ,092 ,187 2,010 ,046
Islamic Religious
,209 097 ,206 2,153 ,033
Conversions
Islamic Positive
-,254 106 -,263 -2,400 ,018
Religious Coping
Islamic Negative
,061 100 ,057 ,612 ,541
Religioius Coping
Islamic Religious
-,016 095 -,017 -,174 ,862
Struggle
Islamic Religious
Internalization- ,075 103 ,078 ,730 ,467
Identification
Islamic Religious
Internalization- ,189 111 ,149 1,706 ,090
Introjection
Islamic Religious
,040 104 ,036 ,382 ,703
Exclusivism

Dari delapan koefisien regresi, hanya tiga yang


berpengaruh signifikan terhadap adversity quotient yaitu dimensi
Islam (,046), dimensi konversi agama (,033) dan positif religus
coping (,018).

72
Robert Smither and Alireza Khorsandi, “The Implicit Theory of
Islam,”Psychology of Religion and Spirituality Vol. 1 No. 2 (2009), 81-96.

163
1. Dimensi Islam
Dimensi Islam memperoleh nilai koefisien regresi sebesar
0,187 dengan signifikansi 0,046 (Sig < 0.5) yang berarti dimensi
Islam secara positif mempengaruhi adversity quotient. Artinya,
semakin tinggi dimensi Islam maka semakin tinggi adversity
quotient jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor. Dimensi Islam
memiliki beberapa indikator; keyakinan terhadap Tuhan,
serangkaian praktik-praktik ibadah, perilaku yang harus
dilakukan, perilaku yang tidak harus dilakukan dan keuniversalan
Islam. Beberapa indikator ini jika dicermati dengan baik, maka
dapat dikatakan-dimensi ini merupakan dasar dari keberagamaan
seseorang. Seperti indikator keyakinan terhadap Tuhan, keyakin-
an terhadap Tuhan harus ada pada setiap manusia, Muslim.
Dengan keyakinan tersebut, segala persoalan baik itu bersifat
internal maupun eksternal-dapat diatasi dengan baik, Faith in
God is the gratification of human motivation.73
Keyakinan terhadap Tuhan dapat direfleksikan dalam
segala bentuk kehidupan. Keyakinan tersebutlah yang nantinya
akan memberikan petunjuk kepada manusia, di saat manusia
sedang mengalami pelbagai kesulitan dan dirasa tidak ada jalan
lagi untuk mengatasinya-dengan keyakinan terhadap Tuhan dapat
dipastikan bahwa segala problem dalam kehidupan pada dasarnya
tidak ada yang bersifat permanen. Asumsi dasarnya adalah, selalu
ada solusi di setiap permasalahan yang ada. Dengan demikian, al-
Qur‟an yang dijadikan oleh umat Islam sebagai pedoman dalam
kehidupan idealnya harus direspon dengan baik dan cerdas,
dalam arti, keyakinan seseorang terhadap Tuhan dapat me-
mahami asumsi-asumsi dasar dalam al-Qur‟an.74 Oleh karena
itulah, segala bentuk persoalan dalam hidup tidak akan memberi-
kan efek yang negatif selama manusia itu berkeyakinan terhadap

73
Khaidzir Ismail and others, eds. “Measurement of Self-Esteem:
Comparison between the Constructs of West and Islam,” International
Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 13 (2011), 199.
74
Nor „Adha Abdul Hamid and others, eds. “The Tawhidic Axis
and Oneness of Knowledge: A Reflection,” International Journal of
Academic Research and Reflection Vol. 3 No. 1(2015), 38.

164
Tuhan dengan penuh kesadaran dan diimbangi dengan usaha
yang optimal.
Segala praktik ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim
pada dasarnya memberikan pengaruh yang positif. Tidak hanya
sebagai melepas kewajiban terhadap perintah-perintah Tuhan,
namun secara tersirat ada nilai positif yang terkandung di
dalamnya, seperti kepuasan, kebahagiaan, meningkatkan
komitmen bekerja, kepuasan kerja, meningkatkan keseimbangan,
konsentrasi, kesehatan dan kesejahteraan.75 Dengan demikian,
segala bentuk perintah baik itu wajib ataupun sunah, pada
dasarnya mampu memberikan efek yang positif terhadap
manusia, terutama dalam menyikapi segala bentuk persoalan
hidup yang sedang dihadapi.
Islamic dimensions atau dimensi Islam memiliki lima
bagian. Keyakinan, praktik, perilaku yang harus dilakukan,
perilaku yang tidak harus dilakukan dan keuniversalan Islam.
Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh sumbangan sebesar
4,3 % terhadap adversity quotient. Keyakinan terhadap Tuhan
merupakan nilai yang sangat penting dalam membangun visi dan
misi kehidupan, tauhid. Kesadaran akan asal-usul dan sadar
tujuan akhirnya adalah Tuhan, telah memberikan dampak yang
cukup positif bagi perkembangan manusia dalam menyikapi
setiap hal yang ada.76 Keyakinan terhadap Tuhan memberikan
efek yang sangat kuat dalam memandang kehidupan ini.77 Selama
manusia yakin, berusaha, sabar dan berdo‟a dapat dipastikan
akan meraih kesuksesan. Oleh karena itulah, naluri dasar yang

75
Fadila Grine and others, eds. “Islamic spirituality and
entrepreneurship: A case study of women entrepreneurs in Malaysia,” The
Journal of Happiness & Well-Being Vol. 3. No. 1 (2015), 44.
76
Belief in supernatural agents is a hall mark of our species. Will
M. Gervais and Ara Norenzayan, “Like a Camera in the Sky? Thinking
about God Increases Public Self-awareness and Socially Desirable
Responding,”Journal of Experimental Social Psychology48 (2012), 298-
302.
77
Akpenpuun menyatakan, keyakinan dalam beragama (religious
faith) merupakan jalan menuju kesehatan. Akpenpuun Joyce Rumun,
“Influence of Religious Beliefs on Healthcare Practice,” International
Journal of Ecudation and Research Vol. 2 No. 4 (2014), 37.

165
ada pada setiap manusia adalah naluri untuk mengenal Tuhan.
Dengan begitu, kewajiban untuk memenuhi perintah-Nya adalah
sebuah bukti yang relevan untuk selalu taat kepada Tuhan.
Kewajiban yang diperintahkan Tuhan kepada manusia
baik itu berupa ritual-ritual ibadah ataupun dalam bentuk amal
sosial adalah hal yang harus dikerjakan secara konsisten. Seperti
praktik ibadah salat, puasa, zikir, haji, tolong-menolong dan lain
sebagainya; merupakan serangkaian praktik yang pada dasarnya
memberikan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Para sarjana
muslim telah mengamati bahwa salat memberikan efek yang
positif pada orang sakit.78 Kemudian puasa, puasa bukan hanya
sekedar bermanfaat bagi rohani, tapi juga bermanfaat bagi fisik,
psikologis, sosial dan kesehatan.79 Begitu juga dengan praktik-
praktik ibadah yang lainnya. Adanya manfaat ini mengindikasi-
kan bahwa ada manfaat yang besar bagi manusia dalam praktik-
praktik ibadah tersebut jika dilakukan dengan maksimal dan
penuh kesadaran. Segala praktik ini nantinya akan memberikan
dampak positif, berupa ketenangan jiwa, dengan keadaan jiwa
yang tenang segala kesulitan, hambatan dan rintangan dalam
hidup guna menuju gerbang kesuksesan dapat dengan baik
dihadapi. Hal ini tersirat dalam al-Qur‟an;

          

80
. 

78
Salih Yucel, Prayer and Healing in Islam: with addendum of 25
Remedies for the Sick by Said Nursi (New Jersey: Tuhgra Books), 9.
79
Efeks fisiologis dari puasa adalah menurunkan gula darah,
menurunkan kolestrol, menurunkan tekanan darah, pengobatan obesitas
dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad S and others, eds.
“Psycho-Social Behaviour and Health Benefits of Islamic Fasting During
the Month of Ramadan,” Journal of Community Medicine and Health
Education Vol. 2 Issue.9 (2012), 1-4.
80
Pengertian zikir mencakup makna keagungan Tuhan, surga dan
neraka-Nya, rahmat dan siksa-Nya, perintah dan larangan-Nya dan juga
wahyu-wahyu-Nya. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur‟an, 271. Menurut Hamka, iman menyebabkan

166
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan meningat Allah.Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”.

Dalam menggapai sebuah kesuksesan, ada beberapa hal


yang harus dilakukan dan beberapa hal yang tidak harus
dilakukan. Seperti, kesuksesan akan diperoleh dengan niat yang
kuat, optimis dan usaha yang keras. Sedangkan hal-hal yang tidak
harus dilakukan agar kesuksesan dapat tercapai adalah dengan
meninggalkan segala respon yang negatif, emosi yang negatif,
rasa pesimis, malas dan lain sebagainya. Demikian pun juga
dalam dimensi Islam ini, ada hal yang harus dilakukan dan ada
hal yang tidak harus dilakukan. Seperti hal yang tidak harus
dilakukan, bunuh diri. Menurut Stephen dan kawan-kawan,
bunuh diri yang terjadi pada orang tua karena disebabkan
depresi.81 Bunuh diri berasal dari bahasa latin suicidium “sui
caedere” yang berarti tindakan sengaja yang menyebabkan
kematian.82
Menurut WHO (World Health Organization), bunuh diri
sangat rentang dilakukan ketika seseorang menghadapi kesulitan
hidup. Bunuh diri termasuk dalam faktor budaya, kondisi
kejiwaan, biologi, genetika dan tekanan sosial, ada tujuh
kategorisasi yang rentan terhadap bunuh diri.83 Pertama, laki-laki
muda (umur 15-49). Kedua, orang tua (laki-laki). Ketiga,

seseorang untuk ingat kepada Tuhan. Zikir dapat menghilangkan segala


macam kegelisahan, putus asa, ketakutan, kecemasan dan keraguan.
Hamka, Tafsir al-Azhar, 93. Lihat juga al-Qur’a>n s.al-Anfa>l/8:2. al-
Zuma>r/39:23. .
81
Stephen M and others, eds.” Sucide among elders: a
Durkheimian Proposal,”International Journal of Ageing and Later Life
Vol. 6 No. 1. (2011), 59-79.
82
Mamta Jain and others, eds. “Work Place Stress and Suicide: A
Study with Reference to Public Sector Organisation,” International Journal
of Multidisciplinary Research Vol. 2 Issue. 7 (2012), 187.
83
World Health Organizationa, Preventing Suicide in Jails and
Prisons. Diakses pada tanggal 10 April 2015 melalui:
www.who.int/mental_health/prevention/suicide/resource_jails_pri
sons.pdf?ua=1

167
indigenous people. Keempat, seseorang yang mengidap penyakit
mental. Kelima, pengkonsumsi alkohol dan penyalah gunaan
obata-obatan. Keenam, pernah berusaha untuk bunuh diri
sebelumnya. Ketujuh, orang yang berada di dalam tahanan.
Pernyataan di atas yang perlu ditekankan menurut penulis adalah
bunuh diri-sangat rentan-menghadapi kesulitan hidup. Setiap
orang pernah mengalami hal serupa, kesulitan dalam hidup. Tapi
beberapa dari mereka berhasil menghadapinya dengan sukses.
Lain halnya dengan seseorang yang persepsi awalnya negatif,
kemungkinan untuk bunuh diri sangatlah besar. Karena pada
dasarnya, bagaimana seseorang merespon hidupnya akan
menentukan jalan yang akan dihadapi, sukses atau gagal.

2. Dimensi Konversi Agama


Konversi agama memperoleh nilai koefisien regresi
sebesar 0,206 dengan signifikansi 0,033 (Sig < 0.5) yang berarti
dimensi konversi agama secara positif mempengaruhi adversity
quotient. Artinya, semakin tinggi konversi agama maka semakin
tinggi adversity quotient jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor.
Tidaklah dikatakan manusia jika selama hidup tidak pernah
mengalami kesulitan. Tidak juga dikatakan sukses ketika segala
kesulitan dan hambatan dihadapi tanpa pernah bersyukur. Tapi,
kesuksesan yang sejati adalah bagaimana seseorang menghadapi
segala kesulitan dan hambatan dalam hidup dengan optimis dan
penuh rasa syukur, sebagai tanda terimakasih kepada Tuhan.
Krisis multidimensi dan multilevel yang di alami oleh
masyarakat sekarang, terutama masyarakat Indonesia. Tidak
sedikit yang meresponnya dengan respon negatif, sehingga
hilangnya makna hidup dan motivasi untuk terus menikmati
hidup seperti, keadaan iman; berkurang dan bertambah.
Maraknya pengajian secara berjamaah, majelis-majelis zikir dan
pesan-pesan agama yang disiarkan lewat media, mengindikasikan
bahwa masyarakat sekarang cenderung mencari perlindungan
dari dunia yang penuh dengan kerancuan. Sehingga tidak
dipungkiri bahwa ketenangan jiwa yang bersumberkan nuansa-
nuansa religius ditambah lagi dengan mengintensitaskan ritual-

168
ritual ibadah telah melahirkan kebahagiaan, ketenangan dan
menjadi inspirasi untuk menggapai kesuksesan.
Jika demikian yang terjadi, pengaruh positif dari
penghayatan terhadap nilai-nilai agama tidak bisa dipandang
secara irasional. Dengan menghayati pelbagai nilai-nilai agama,
manusia mampu untuk merespon segala kesulitan hidup dengan
baik, sabar dan terus berdo‟a. Bukan berarti apa yang sedang
dihadapi oleh manusia tidak bisa dihadapi dengan sukses, namun
butuh waktu, kesabaran dan terus menerus memanjatkan do‟a.
Dengan demikian, usaha dan do‟a tidak akan membuat manusia
menjadi pesimis dalam menghadapi segala kesulitan dan
hambatan. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa segala bentuk
ibadah yang telah diperintahkan pada dasarnya akan memberikan
dampak yang positif bagi kehidupan. Hal ini senada dengan
Farihah, bahwa religiusitas akan mempengaruhi rasa optimis,
pasrah dan lain sebagainya.84
Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh sumbangan
sebesar 1,7 % terhadap adversity quotient. Sebagai makhluk yang
memiliki beragam potensi, berfikir, merasa dan lain sebagainya
telah menghantarkan manusia pada derajat yang tinggi. Dengan
berpikir, manusia akan mengetahui kewujudan Tuhan yang
terhampar di seluruh jagad raya ini dan dengan berpikir manusia
juga bisa menilai sesuatu yang dianggapnya benar. Menurut
Kartanegara, setidaknya ada tiga konsep yang mengagumkan
tentang manusia. Pertama, manusia sebagai tujuan akhir dari
penciptaan. Kedua, manusia sebagai mikrokosmos. Ketiga,
manusia sebagai cermin Tuhan.85
Adanya perubahan sikap dan keyakinan dalam hidup
seseorang merupakan salah satu bentuk dari konversi. Menurut
Derajat, ada beberapa faktor yang menyebabkan konversi itu

84
Irzum Farihah, “Religiusitas Anak Jalanan di Kampung
Argopuro Desa Hadipolo Kabupaten Kudus,” Islam Empirik Vol. 5 No. 1
(2012), 153-161.
85
Konsep yang mengagumkan yang dinyatakan oleh Mulyadhi
Kartanegara tentang manusia ini terinspirasi dari Jalal al-Din Rumi dan Ibn
„Arabi. Untuk lebih jelasnya lihat Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas
Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan. Cet. 2, 2005), 44-54.

169
terjadi, salah satunya dan dianggap paling melatar belakangi
setiap konversi agama adalah adanya konflik jiwa.86 Dapat di
pastikan bahwa setiap manusia pernah mengalami konflik jiwa.
Konflik ini terjadi karena adanya kegelisahan baik di sadari
maupun tidak di sadari. Kegelisahan ini pada dasarnya akan
memberikan efek yang baik selama tidak di respon secara
berlebihan. Akibatnya fatal jika saja kegelisahan direspon secara
berlebihan. Kegelisahan yang menyangkut setiap permasalahan
hidup cenderung membuat jiwa seseorang merasa tidak damai,
tentram dan bahagia. Kegelisahan ini setiap saat menghantui
perasaan seseorang, apapun yang dikerjakan dirasa tidak
memberikan kesan yang positif. Hal inilah yang dinyatakan oleh
Stokols, bahwa krisis multidimensi yang terjadi saat ini dapat
menyebabkan kecemasan pada manusia.87 Kecemasan, kegelisah-
an dan penuh gejolak dalam diri manusia terhadap realitas alam
sekarang cenderung merindukan suasana yang religius. Sehingga,
di saat jiwa di penuhi dengan kegelisahan-kemudian terlihat dan
terdengar nuansa-nuansa yang berbau spiritual, seketika itu juga
jiwa merasakan kedamaian dan ketenangan. Krisisnya dari
pelbagai multidimensi kehidupan, sesaat telah membawa jiwa
manusia ke dalam jurang kecemasan, kekhawatiran dan penuh
gejolak yang pada akhirnya haus terhadap nilai-nilai spiritual,
ketentraman jiwa.
Kerancuan dalam hidup, telah melahirkan sikap pesimis
dan hanyut dalam keadaan tidak berdaya terhadap situasi yang
sedang dihadapi oleh manusia. Keterpurukan ini pada dasarnya
awal dari setiap konversi agama. Dengan demikian, kegersangan
nilai-nilai spiritual karena pengaruh dari pelbagai faktor, salah
satunya adalah daya persaingan hidup semakin ketat telah
melahirkan jiwa-jiwa yang penuh dengan kegelisahan, stres,
kecemasan yang berlebihan dan pelbagai hal lainnya. 88 Keadaan

86
Zakiah Daradjat, IlmuJiwa Agama, 136-141.
87
Lihat Daniel Stokols and others, eds. “Psychology in an Age of
Ecological Crisis From Personal Angst to Collective Action,” American
Psychological Association Vol. 64. No. 3 (2009), 181–193.
88
Salah satu penyebab terjadinya stres adalah daya saing karena
menghadapi krisis ekonomi. Untuk lebih jelasnya lihat, Haradhan Kumar

170
ini pada akhirnya akan memberikan kesadaran pada manusia
untuk mencari ketentraman jiwa, hakikat kebahagiaan dan penuh
dengan kedamaian.

3. Dimensi Positive Religious Coping


Positive religius coping memperoleh nilai koefisien
regresi sebesar -,263 dengan signifikansi 0,018 (Sig < 0.5) yang
berarti dimensi positif religious coping signifikan terhadap
adversity quotient. Artinya, semakin rendah positif religious
coping, maka semakin tinggi adversity quotient. Begitupun
sebaliknya, semakin tinggi positif religious coping, maka
semakin rendah adversity quotient. Namun demikian, dalam hasil
wawancara penulis terhadap jamaah majelis zikir Az-Zikra
Bogor, peran agama dalam menetralisir pelbagai pengaruh
negatif seperti kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup
berkontribusi positif dalam kehidupan sehari-hari.89
Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh sumbangan
sebesar 3,8 % terhadap adversity quotient. Menetralisir dan
mengatasi segala problem kehidupan adalah tugas yang harus
dilakukan oleh manusia agar dapat melakukan aktivitas
keseharian dengan penuh makna. Salah satu yang cukup relevan
dengan keadaan tersebut adalah melalui pendekatan diri dengan
Tuhan yang diaplikasikan dalam pelbagai bentuk ritual ibadah
dan tentunya harus dalam keadaan sadar, dalam arti mampu
memahami nilai-nilai yang tersirat dalam segala ritual tersebut
dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.90 Kesadaran

Mohajan, “The occupational stress and risk of it among the employees,”


International Journal of Mainstream Social ScienceVol. 2 No. 2 (2012),
17–34.
89
Sebagai contoh, dengan berzikir, berdoa dan membaca al-Qur‟an
mampu memberikan pengaruh yang sangat positif dalam menghadapi
pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup. Berdasarkan wawancara
terhadap 10 jamaah majelis zikri Az-Zikra Bogor pada tangga 5 April 2015
di masjid Az-Zikra Bogor.
90
Konsep al-Di>n dalam Islam mengisyaratkan bahwa segala
bentuk perilaku dalam kehidupan sehari berlandaskan pada prinsip-prinsip
ketauhidan, yang pada akhirnya nanti konsep ketauhidan ini akan
berpengaruh positif terhadap segala macam problem kehidupan. Untuk

171
dan kemampuan untuk mengaplikasikan nilai-nilai ibadah
memiliki makna tersendiri bagi setiap pribadi, sadar akan asal-
usul dan tujuan hidup serta merespon segala problem kehidupan
sebagai jalan menuju kepribadian yang lebih baik lagi. Segala
problem kehidupan yang sedang dihadapi maupun yang akan
terjadi pada dasarnya tidak akan berlangsung secara permanen,
pasti ada solusi untuk mengatasinya. Hal ini dapat dipastikan
selama manusia mampu mengoptimalkan pelbagai potensi yang
dianugerahkan Tuhan dan sudah menjadi hukum alam-setiap ada
kesulitan pasti ada kemudahan.91
Menyikapi pelbagai problem kehidupan adalah tugas
manusia yang memiliki kebebasan berkehendak untuk
menyikapi-nya. Sikap optimis dan berjuang dengan maksimal
yang disertai dengan keridhoan Tuhan. Sikap-sikap inilah yang
nantinya akan mempengaruhi keberhasilan dan kesuksesan
manusia untuk menghadapi segala persoalan hidup. Dalam
realitasnya, peran agama menjadi sangat penting, selain berusaha
dengan kuat. Agama yang diyakini akan memberikan motivasi
tersendiri bagi manusia untuk menghadapi segala persoalan hidup
dan kehadiran Tuhan yang direfleksikan dalam menyikapi
pelbagai hidup tentunya akan melahirkan sikap optimis, tidak
berputus asa, bertanggung jawab dan terhindar dari pikiran dan
perbuatan bunuh diri sebagai respon dari ketidakmampuan untuk
mengatasi pelbagai kesusahan.92
Faktanya, seseorang yang tidak mampu untuk me-
nanggulangi pelbagai persoalan hidup cenderung mengakibatkan
ketidakseimbangan dalam berpikir dan bertindak. Indikasi ini
tentu menjadi persoalan yang besar dalam ruang lingkup
masyarakat. Betapa tidak, jika masyarakat cenderung kurang

lebih jelasnya lihat Husni Mohd Radzi and others, eds. “Religious and
Spiritual Coping Used by Student in Dealing with Stress and Anxiety,”
International Journal of Asian Social Science Vol. 4 No. 2 (2014), 314-
319.
91
Lihat keterangan lebih lanjut al-Qur‟an s. al-Inshirah}/93:1-8.
92
Shaista Meer and Ghazala Mir, “Muslim and Depression: The
Role of Religious Beliefs in Therapy,” Journal of Integrative Psychology
and Therapeutics (2014), 3. Diakses melalui:
http://www.hoajonline.com/journals/pdf/2054-4723-2-2.pdf

172
mampu untuk mengatasi segala persoalan hidup-pada kenyataan-
nya tingkat stres dan kecenderungan untuk bunuh diri akan
meningkat. Solusi untuk fenomena ini pada dasarnya sudah ada,
berupa pengamalan akan nilai-nilai keagamaan. Bagaimana
mempersepsi dan merespon serta bertindak tidak lepas dalam
kerangka nilai-nilai agama yang dianutnya. Hal ini selaras dalam
penelitian Pargament, bahwa religious coping dapat mengatasi
stres, berhubungan dengan kesehatan fisik, kesehatan mental dan
lain sebagainya.93
Dengan demikian, intervensi nilai-nilai agama dalam
menghadapi pelbagai persoalan hidup sangatlah erat hubungan-
nya dengan apa yang akan diraih, kesuksesan. Kegagalan dalam
menghadapi pelbagai persoalan hidup akan menjadikan
kepribadian yang lemah dan sebaliknya, kesuksesan memahami
nilai-nilai agama dan merealisasikannya dalam menghadapi
segala problem kehidupan akan menjadikan kepribadian yang
kuat, tenang dan bahagia serta sukses.

4. Dimensi Negative Religious Coping


Negative religious coping memperoleh nilai koefisien
regresi sebesar ,057 dengan signifikansi ,541 (Sig > 0.5) yang
berarti dimensi negative religious coping tidak berpengaruh
signifikan terhadap adversity quotient. Kemudian, dari hasil
analisis yang dilakukan, diperoleh sumbangan sebesar 0,4 %
terhadap adversity quotient. Perasaan tidak aman terhadap Tuhan
adalah salah satu karakteristik dari negative religious coping.
Perasaan tidak aman ini tidak secara otomatis hadir dalam
kehidupan manusia namun terjadi dalam rentang kehidupan yang
telah dilaluinya; karena trauma, hidup menyendiri dan cenderung
terjadi pada wanita yang lebih tua.94 Faktor-faktor inilah yang
menjadi penyebab dari rasa ketidaknyamanan terhadap Tuhan.

93
Kenneth I. Pargament and others, eds. ”The Many Methods of
Religious Coping: Development and Initial Validation of the RCOPE,”
Journal of Clinical Psychology Vol. 56. No. 4 (2000), 519.
94
Christian Zwingmann and others, eds. “Positive and Negative
Religious Coping in German Breast Cancer Patients,” Journal of
Behavioral Medicine Vol. 29 No. 6 (2006), 542.

173
Pelbagai tekanan dalam hidup telah melahirkan manusia yang
memiliki tingkat stres tinggi. Kehidupan yang sedang dijalani
terasa membosankan, kemiskinan, ketidaknyamanan dan ketidak-
bahagiaan yang pada akhirnya muncul persepsi bahwa Tuhan
tidak adil, Tuhan telah memberikan hukuman dan pelbagai
persepsi negatif terhadap Tuhan karena kondisi yang pada
dasarnya tidak diharapkan.95
Pada dasarnya manusia tidak akan bisa lari dari keadaan
stres. Bagaimana merespon stres tersebut dan upaya apa yang
akan dilakukan sangat erat hubungannya dengan keberhasilan
mengatasi stres. Seseorang yang sedang mengalami stres dengan
penuh kewajaran dan berkeyakinan bahwa permasalahan yang
sedang dihadapi akan memberikan perasaan optimis dalam
kehidupan. Lain halnya dengan seseorang yang menganggap
stres itu sebagai musibah dan berburuk sangka terhadap Tuhan
akan melahirkan pelbagai penyakit seperti penyakit jantung,
depresi, hipertensi bahkan kanker.96 Dengan demikian, perasaan
tidak aman terhadap Tuhan sebagai reaksi atas persepsi
ketidakadilan Tuhan-selalu ada persoalan hidup yang terasa sulit,
kemiskinan dan lain sebagainya secara otomatis akan mencipta-
kan perasaan yang tidak tenang, damai, tentram yang pada
akhirnya akan menimbulkan pelbagai penyakit.
Perputaran roda kehidupan cenderung memberikan
dampak positif dan negatif bagi manusia. Tergantung persepsi
manusia itu sendirilah yang nantinya akan membangun
kehidupan yang diharapkannya. Jika persepsi itu selalu di jadikan
positif, pelbagai persoalan yang ada tidak akan menjadikannya
sulit untuk diatasi. Demikian pun halnya dengan pribadi yang
cenderung mempersepsi pelbagai persoalan secara negatif, bukan
dampak yang baik akan didapatkan, melainkan persoalan baru

95
Christian S. Chan and Jean E. Rhodes, “Religious Coping,
Posttraumatic Stress, Psychological Distress, and Posttraumatic Growth
Among Female Survivors Four Years After Hurricane Katrina,” Journal of
Traumatic Stress 26 (2013), 257-265.
96
Shadiya Mohamed S. Baqutayan, “An Innovative Islamic
Counseling,”. International Journal of Humanities and Social Science Vol.
1 No. 21 (2011), 178.

174
yang pasti akan muncul, keadaan tidak nyaman, stres, depresi dan
merasa Tuhan selalu memberikan ujian yang dirasa tidak
sanggup untuk dipikul.97 Kegagalan hidup di dunia pada dasarnya
hanyalah sesaat. Bagaimana persepsi manusia untuk bangkit dari
keterpurukan, disitulah awal dari keberhasilan untuk menggapai
kesuksesan. Manusia pasti bisa, selama ia berusaha dengan
optimal dan tidak henti-hentinya berdo‟a dan bersyukur.
Ketidaknyamanan terhadap Tuhan adalah salah satu bentuk dari
ketidakberdayaan manusia atas segala bentuk ujian hidup yang
sedang di alami. Idealnya, beragam bentuk ujian ataupun cobaan
dalam hidup tidak lebih hanyalah berupa teguran atau sebagai
bentuk rasa kasih sayang Tuhan kepada Manusia, apakah
ketaatan yang dilakukan hambanya akan bertahan dan bertambah
jika diberikan beberapa ujian hidup yang tidak menyenangkan.
Di sinilah letak ketaatan yang sejati. Kehidupan yang sebelumnya
dirasakan sangat membahagiakan, penuh ketentraman-di saat
yang sama Tuhan memberikan pelbagai ujian kepada hambanya.
Hal inilah yang dinyatakan oleh Othman dan kawan-kawan,
bahwa solusi yang relevan untuk mengatasi stres adalah dengan
berdo‟a, bersabar, saling membantu dan berzikir.98
Rasa nyaman maupun ketidaknyamanan dalam meng-
hadapi pelbagai persoalan hidup bersumber dari seberapa
ketaatan seseorang dalam melaksanakan segala macam kewajib-
an dan meninggalkan segala bentuk larangan. Kecenderungan
dalam mempersepsi segala persoalan hidup dengan
ketidaknyamanan adalah hal yang biasa dalam rentang kehidupan
manusia. Karena fitrah manusia adalah ingin hidup bahagia,
tanpa adanya ujian.

5. Dimensi Islamic Religious Struggle


Islamic religious struggle memperoleh nilai koefisien
regresi sebesar -,017 dengan signifikansi ,862 (Sig > 0.5) yang

97
Lihat al-Qur’a>ns. al-Baqarah/2:286.
98
Khatijah Othman and Sapora Sipon, “Researching Solution
Based on Islamic Views and Practice in Managing Financial and Work
Place Stress”. International Journal of Academic Research in Business and
Social Sciences. Vol. 2 No. 8 (2012), 248.

175
berarti dimensi islamic religious struggle tidak berpengaruh
signifikan terhadap adversity quotient. Kemudian, dari hasil
analisis yang dilakukan, diperoleh sumbangan sebesar 0 %
terhadap adversity quotient. Menurut Raiya, religious struggle
adalah refers to difficulties, doubts, and conflicts that the
individual experiences when adhering to a religious faith or
doctrine.99 Kesulitan, keraguan dan penuh konflik terhadap
agama yang dianutnya. Apakah agama yang dipercayainya
adalah sesuatu yang memiliki kebenaran secara universal atau
agama yang cenderung memiliki karakteristik sebagai agama
yang tidak toleran? Beberapa pertanyaan ini mengindikasikan
kebimbangan, konflik dan keraguan. Idealnya adalah agama
mengajurkan setiap manusia untuk saling menghargai, namun
faktanya-agama menjadikan konflik antar sesama. Fakta-fakta
inilah yang di alami oleh seseorang terhadap keyakinan agama
yang dianutnya. Oleh karena itu, kecenderungan manusia untuk
sulit dan penuh konflik terhadap fakta yang ada (agama) telah
sendirinya melahirkan pelbagai gejolak di dalam jiwanya.
Sehingga tidak jarang, seseorang yang memahaminya dengan
baik akan melahirkan nilai-nilai yang positif. Demikianpun
sebaliknya, manusia yang memahaminya dari sudut pandang
negatif, tentu melahirkan pandangan negatif juga terhadap
agama.
Keraguan yang ada dalam jiwa manusia terhadap agama
adalah salah satu bentuk dari ketidakselarasan terhadap apa yang
diyakininya dengan apa yang dipikirkannya. Kerancuan dalam
perspektif ini pada akhirnya melahirkan kepribadian yang
cenderung mendatangkan kesulitan, konflik dan keraguan
tersendiri terhadap realitas yang ada. Padahal Tuhan telah
memberikan petunjuk dan juga beragam potensi untuk me-
mahami agama yang dianutnya, itu semua adalah bentuk dari
kesempurnaan Tuhan untuk manusia agar mampu mengembang-
kan kepribadian yang baik, fitrah.100 Dengan demikian,

99
Lihat Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and Validity, 31.
100
AbdolbaghyRezaeitalarposhti and Abdolhady rezaeitalarposhti,
“Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Quran to

176
kecenderungan manusia untuk meragukan dan kesulitan serta
penuh konflik terhadap apa yang diyakininya adalah salah satu
jalan yang nantinya akan menuju pada pemahaman yang lebih
komprehensif terhadap agama.

6. Dimensi Islamic Internalization-Identification


Islamic internalization-identification memperoleh nilai
koefisien regresi sebesar,078 dengan signifikansi ,467 (Sig > 0.5)
yang berarti dimensi islamic internalization-identification tidak
berpengaruh signifikan terhadap adversity quotient. Kemudian,
dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh sumbangan sebesar
1,2 % terhadap adversity quotient. Menjadikan keyakinan sebagai
nilai-nilai dalam berinteraksi dengan alam adalah kepribadian
yang dinamis. Bagaimana praktik-praktik ibadah yang diyakini-
nya akan melahirkan nilai yang nantinya diharapkan mampu
mempengaruhi struktur kepribadian setiap manusia dalam ber-
perilaku dan berperan serta dalam menjunjung nilai-nilai
keuniversalan, karena pada dasarnya Tuhan telah memberikan
sejumlah potensi-pengetahun yang luas-yang itu semua pada
akhirnya memberikan nilai-nilai terhadap dirinya sendiri dan
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat.101 Apapun yang
dilakukan oleh manusia pada dasarnya adalah sebuah nilai yang
dianggapnya benar dari nilai-nilai tersebut yang melahirkan
persepsi dan perilaku harus dipertanggung jawabkan oleh
manusia itu sendiri. Kebebasan dalam merespon suatu keadaan
yang melahirkan tindakan adalah bukti nyata dari ketidak-
tergantungan manusia terhadap makhluk lain-konsekuensinya
adalah segala bentuk tindakan tersebut akan melahirkan tanggung
jawab yang harus dihadapi oleh manusia. Jika nilai-nilai agama
di pahami secara sempit-konsekuensinya adalah kerancuan dalam
berpikir dan bertindak, demikian pun dengan sebaliknya.

Contemporary Psychologists,” International Research Journal of Applied


and Basic Sciences Vol. 6 No. 11 (2013),1595.
101
Mehmet Sanver, “Upon The Features of Human Psychology in
the Qur'an,“.International Journal of Humanities and Social Science Vol. 3
No. 3(2013), 284.

177
Asumsi dasarnya, seseorang yang menjadikan keyakinan
sebagai nilai-nilai kepribadian dalam berpikir dan berperilaku
akan melahirkan respon yang optimis dalam menyikapi segala
permasalahan dalam kehidupan. Sehingga apapun yang terjadi
dalam kehidupan, dapat diatasi dengan baik berdasarkan nilai-
nilai yang didapatkan dari keyakinannya. Dengan demikian,
menjadikan keyakinan sebagai nilai-nilai kepribadian akan
membentuk sikap yang tangguh terhadap realitas kehidupan
sekarang dan kehidupan di masa mendatang, apapun yang terjadi
dalam kehidupan tidak akan menjadikan manusia melepaskan
keyakinannya yang telah memberikan pengaruh positif terhadap
dirinya sendiri.

7. Dimensi Islamic Internalization-Introjection


Islamic internalization-introjection memperoleh nilai
koefisien regresi sebesar,149 dengan signifikansi ,090 (Sig > 0.5)
yang berarti dimensi islamic internalization-introjection tidak
berpengaruh signifikan terhadap adversity quotient. Kemudian,
Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh sumbangan sebesar
2,1 % terhadap adversity quotient. Jika dimensi yang di atas
menekankan pada keyakinan yang dijadikan sebagai nilai dalam
berinteraksi dengan alam, lain halnya dengan dimensi
introjection. Dimensi ini cenderung berperilaku secara terpaksa.
Kebebasan dalam menentukan sikap cenderung tidak ada pada
diri seseorang. Segala bentuk perbuatan yang pada dasarnya baik
bagi dirinya sendiri, ternyata dilakukan dengan penuh perasaan
cemas dan keterpaksaan. Cemas jika tidak melaksanakan
kewajiban, maka Tuhan akan murka terhadap dirinya dan
pelbagai contoh yang mengindikasi keterpaksaan dan kecemasan
dalam bertindak. Padahal, Islam telah memberikan isyarat bahwa
manusia telah diberikan kebebasan untuk bertindak terhadap
segala realitas yang ada.102 Dengan demikian, kebebasan yang
ada pada manusia pada dasarnya salah satu potensi yang telah
dianugerahkan Tuhan untuk tidak merasa bersalah dan khawatir
dalam menjalankan segala perintah dan larangan-Nya dan

102
Sobhi Rayan, “Islamic Philosophy of Education,“.International
Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 19 (2012), 152.

178
tentunya kebebasan yang berdasarkan pada kebenaran dan
kesadaran untuk selalu mengatasi segala persoalan dalam hidup
dengan baik.

8. Dimensi Islamic Exclusivism


Islamic exclusivism memperoleh nilai koefisien regresi
sebesar,036 dengan signifikansi ,703 (Sig > 0.5) yang berarti
dimensi islamic exclusivism tidak berpengaruh signifikan
terhadap adversity quotient. Kemudian, dari hasil analisis yang
dilakukan, diperoleh sumbangan sebesar 1 % terhadap adversity
quotient. Keberagamaan secara eksklusiv adalah satu
kecenderung yang dimiliki oleh setiap manusia, apapun
agamanya. Menganggap keyakinannya sendiri yang paling benar,
sedangkan yang lainnya salah. Keberagamaan ini jika tidak
disikapi secara bijaksana, intolerensi antar sesama pemeluk
agama atau sesama masyarakat cenderung meningkat.
Menganggap kebenaran mutlak hanyalah agama yang di
yakininya, sehingga setiap dalam persoalan hidup harus mengacu
pada norma-norma yang diyakininya juga, sehingga tidak jarang
terjadi konflik antar sesama.
Merasa paling benar sendiri merupan sifat yang kurang
baik dalam bermasyarakat. Demikian pun juga ketika sedang
menghadapi segala persoalan hidup. Tidak selalu apa yang di
yakini suatu solusi bisa memberikan manfaat yang baik. Namun
lebih dari itu, hakikat nilai-nilai keagamaan yang diyakini
sebagai universal adalah solusi yang terbaik untuk memecahkan
pelbagai persoalan dalam hidup.
Adapun sumbangan religiusitas secara keseluruhan
terhadap kecerdasan mengatasi masalah, kesulitan, ujian dan
cobaan dalam hidup (adversity quotient) pada jamaah majelis
zikir Az-Zikra Bogor, setelah dilakukan analisis statistik,
diperoleh R Square ,136. Jadi, sumbangan religiusitas secara
keseluruhan terhadap adversity quotient sebesar 13,6%. Sedang-
kan sisanya sebesar 86.4% dipengaruhi oleh variabel lain selain
variabel independent (religiusitas) seperti kinerja, bakat,
kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika, pendidikan

179
dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 19
Sumbangan Religiusitas terhadap Adversity Quotient
Std. ChangeStatistics
R Adjuste
Mode Error of
R Squar dR
l the R
e Square F df Sig. F
Estimate Square df2
Change 1 Change
Change
,369(
1 ,136 ,083 8,62435 ,136 2,573 8 131 ,012
a)

Sumbangan ini mengisyaratkan bahwa, ada hal-hal yang


tidak bisa di hindari oleh seseorang untuk menggapai kesuksesan,
peran agama dan penghayatan nilai-nilainya. Karena pada
dasarnya, untuk menghadapi segala rintangan dan menggapai
kesuksesan tidaklah semudah apa yang diimpikan. Hal ini senada
dengan Taylor, bahwa jalan menuju sukses tidaklah mulus dan
kesulitan itu bisa saja di sebabkan oleh faktor internal maupun
eksternal.103 Dengan demikian. Apapun rintangan yang
menghalangi seseorang untuk sukses, idealnya memberikan
ruang yang sebesar-besarnya kepada hati untuk mengharapkan
rahmat dan ridha-Nya dan berusaha secara maksimal.
Agama merupakan pilar dalam kehidupan manusia.
Agama mengajarkan bagaimana merespon, merasa dan bertindak
sesuai dengan nilai-nilai yang universal. Begitupun di saat
manusia sedang mengalami pelbagai kesulitan, rintangan, ujian
dan cobaan dalam hidup. Keseimbangan antara doa dan usaha
menjadi sangat penting guna mengatasi pelbagai persoalan dalam
hidup. Dari hasil penelitian kuantitatif, dimensi religiusitas yang
signifikan terhadap adversity quotient hanya tiga yang dinilai

103
Faktor eksternal seperti kondisi yang sulit dan persaingan yang
keras. Sedangkan faktor internal seperti hilangnya motivasi, keyakinan
menurun, emosi negatif, tidak sabar dan mudah menyerah. Lihat Jim
Taylor, Memberi Dorongan Positif pada Anak agar Anak Berhasil dalam
Hidup. Terj. Rina Buntaran. Positive Pushing: How to Rise A Successful
and Happy Children (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. 2. 2005),
221-222.

180
memberikan sumbangsi, dimensi Islam, dimensi konversi agama
dan dimensi positif religious coping.104 Ketiga dimensi ini
berkontribusi pada jamaah majelis zikir Az-Zikra untuk
mengatasi segala macam kesulitan, permasalahan, ujian dan
cobaan dalam hidup. Singkatnya, kesulitan, cobaan, ujian dan
pelbagai permasalahan hidup dapat diatasi dengan meningkatkan
ketiga dimensi ini. Hal ini juga didukung dari hasil wawancara,
para jamaah memberikan respon positif terhadap ketiga dimensi
ini-bahwa peran Tuhan dan pelbagai bentuk ibadah lainnya
sangat membantu (disertai dengan usaha) dalam mengatasi
pelbagai kesulitan yang sedang dihadapi dan pada akhirnya
kesuksesan akan diraih.105 Oleh karena itu, berdasarkan
wawancara terhadap jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor, ada
empat indikasi seseorang akan berhasil dalam mengatasi pelbagai
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup; berdoa, berusaha,
optimis dan sabar.106

1. Berdoa
Salah satu indikasi manusia lemah adalah berdoa.
Manusia cenderung akan berkeluh kesah jika dihadapkan
pelbagai persoalan yang dinilai tidak memberikan kebahagiaan
dan keuntungan. Faktanya, seseorang akan berdo‟a sesuai dengan
keinginannya dan berharap, dengan berdo‟a Tuhan akan
memberikan pertolongan kepadanya yang pada akhirnya
memberikan kebahagiaan dan petunjuk. Berdasarkan pengamatan
penulis, para jamaah cenderung menghayati pelbagai do‟a yang
dipanjatkan secara bersama-sama dan tidak sedikit para jamaah
yang menangis karena berdoa.107 Dengan berdo‟a, segala

104
Nilai Sig. 0,12 (Sig. < 0,05).
105
Berdasarkan hasil wawancara kepada jamaah majelis zikir Az-
Zikra Bogor di Masjid Az-Zikra pada tanggal 5 Maret 2015.
106
Hasil wawancara terhadap 10 jamaah majelis Zikir Az-Zikra
Bogor di Masjid Az-Zikra Bogor pada tanggal 5 April 2015.
107
Menurut penulis, fenomena yang terjadi pada jamaah ketika
sedang berdoa (sambil menangis) dikarenakan dua faktor. Pertama,
pembawaan Ustadz Arifin Ilham yang cenderung membuat suasana
menjadi kondusif bagi para jamaah di masjid untuk menangis selama
berdoa. Kedua, karena kekhusyu‟an jamaah yang cenderung

181
kesulitan, ujian, cobaan dan permasalahan dalam hidup mampu
diatasi dengan baik.108 Hal ini senada dengan isyarat al-Qur‟an.
109
    
Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-
Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”.

Dengan isyarat tersebut, idealnya manusia mampu


berkomunikasi secara baik dan cerdas terhadap Tuhan. Dengan
demikian, berdo‟a kepada Tuhan mampu berkontribusi positif
bagi manusia, dalam arti, segala permasalahan, kesulitan, ujian
dan cobaan dalam hidup mampu diatasi dengan baik selama
manusia memohon pertolongan kepada Tuhan. Senada dengan
ungkapan salah satu jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor bahwa,
doa merupakan salah satu usaha yang sangat efektif bagi manusia
dan idealnya doa menjadi sebuah aktivitas yang dilakukan setiap
saat.110
Dengan berdoa, manusia akan merasa tenang, tentram
dan bahagia. Kebahagiaan pada manusia pada umumnya jika
telah terpenuhinya pelbagai kebutuhan dasar. Dengan terpenuhi-
nya pelbagai kebutuhan dasar, kecenderungan untuk merasa
bahagia sangat besar. Namun, jika salah satu atau segala kebutuh-
an dasar tidak terpenuhi kecenderungan manusia untuk tidak
merasakan kebahagiaan, segala harapannya tidak terpenuhi yang
pada akhirnya menimbulkan keluh kesah. Kebutuhan dasar
manusia dalam kontek ini sejalan dengan pandangan Maslow

menghayatinya dengan baik, dalam arti menyesali segala perbuatan negatif


yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil observasi pada jamaah majelis
zikir Az-Zikra Bogor mulai bulan Februari hingga April 2015.
108
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Suderajad, seorang
pensiunan yang berasal dari Jakarta dan telah mengikuti majelis zikir sejak
tahun 2000. Menurutnya, berdoa merupakan pilar utama bagi setiap
manusia untuk memohon pertolongan kepada Tuhan, baik itu dalam
keadaan bahagia ataupun sedang dilanda pelbagai kesulitan. Wawancara ini
dilakukan pada tanggal 5 April 2015 di Masjid Az-Zikra Bogor.
109
Lihat al-Qur’a>ns. al-Mu’min/40:60.
110
Berdasarkan wawancara terhadap satu keluarga yang mengikuti
zikir akbar pada tanggal 5 April di masjid Az-Zikra Bogor.

182
yang memberikan gambaran secara umum tentang pelbagai
kebutuhan dasar manusia seperti; the physiological needs, the
safety needs, the belongingness and love needs, the esteem needs
dan the need for self-actualization.111

1. The physiological needs, kebutuhan dasar fisiologis seperti


kebutuhan air, udara dan makanan.112 Dengan terpenuhinya
kebutuhan ini, kebutuhan manusia pada tahap awal
berkontribusi positif untuk mencapai tahap berikutnya.
2. The safety needs, kebutuhan akan keamanan, ketentraman dan
kedamaian including security and stability needs.113
3. The belongingness and love needs, kebutuhan akan kasih
sayang, baik itu dari keluarga maupun dari kelompoknya.114
4. The esteem needs, berupa kebutuhan akan harga diri. Dalam
arti, seseorang memerlukan penghormatan dan penghargaan
dari orang lain agar orang tersebut merasa percaya diri dan
berharga terhadap lingkungan di sekitarnya.115
5. The need for self-actualizatioan, hasrat individu untuk
menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain berdasarkan
potensi yang dimiliki.116

111
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality (New York:
NY: Harper, 1954), 35-47.
112
Benjamin F. Henwood and others, eds. “Maslow and Mental
Health Recovery: A Comparative Study of Homeless Programs for Adults
with Serious Mental Illness.” Administration and Policy in Mental Health
and Mental Health Services ResearchVol. 42 (2015), 220-228.
113
Huanhuan Cao and others, eds. “A Maslow‟s hierarchy of needs
analysis of social networking services continuance,” Journal of Service
Management Vol. 24 No. 2 (2013), 171.
114
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 43.
115
Nyameh Jeromeh, Application of the Maslow‟s hierarchy of
need theory; impacts and implications on organizational culture, human
resource and employee‟s performance,” International Journal of Business
and Management Invention Vol. 2 (2013), 42.
116
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen
Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ke. II, 2007),
304.

183
Oleh karena itu, kebutuhan dasar yang dicetuskan oleh
Maslow ini dapat diilustrasikan dengan sebuah bangunan. Sebuah
bangunan akan kuat jika pondasinya terlebih dahulu dikerjakan
sesuai dengan tingkat keamanan yang diinginkan, barulah
kemudian pelbagai bentuk yang diinginkan oleh pemiliknya, ada
tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tahap berikutnya agar
mendapatkan hasil yang baik. Hal ini senada dengan Bonvillain
yang menyatakan bahwa pada dasarnya teori ini lebih
menekankan pada kepuasan, dalam arti, kebutuhan tingkat yang
paling rendah harus terpenuhi sebelum mencapai tingkat
selanjutnya.117 Hal senada juga disampaikan oleh Maslow yang
dikutip oleh lester, kebutuhan ini dimulai dari tingkatan yang
paling bawah dan bergerak terus ke atas, jika urutan ini terpenuhi
dengan baik, maka manusia akan sehat secara psikologis.118
Dengan demikian, terpenuhinya tahapan awal (kebutuhan dasar)
akan memberikan jalan yang baik untuk melangkah ke tahap
selanjutnya, hingga mencapai tahap yang berpotensi untuk
mengaktualisasikan diri berdasarkan potensi yang dimilikinya
agar bermanfaat bagi orang lain. Di bawah ini ada gambar yang
mengilustrasikan suatu konsep atau bangunan kebutuhan dasar
manusia yang diungkap oleh Maslow, mulai tahap yang
mendasar hingga tahap yang paling tinggi.

117
Dorothy Guy Bonvillain, “Why Maslow?,” Military
Intelligence Professional Bulletin37.1 (2011), 28. lihat juga, Lioudmila V.
Karnatovskaia and others, eds.A holistic approach to the critically ill and
Maslow's hierarchy,” Journal of Critical 30 (2015), 210-211.
118
David lester, “Measuring Maslow‟s Hierarchy of Needs”
Psychological Reports: Mental & Physical Health Vol. 113 (2013), 15-17.

184
Gambar VI
Kebutuhan Dasar Manusia

2. Berusaha dan Optimis


Usaha dan optimis pada dasarnya terintegrasi dengan baik
dalam setiap aspek kehidupan. Keduanya memiliki andil yang
sangat besar bagi kehidupan manusia, dengan usaha manusia
mampu mewujudkan sebagian harapan yang diinginkannya dan
optimis sebagai obat yang positif bagi manusia disaat usaha yang
dilakukan cenderung tidak berhasil. Usaha yang dilakukan
idealnya memiliki pandangan yang mencerminkan sejauhmana
harapan akan terwujud di masa yang akan datang.119 Ada kata
kunci di sana, sebuah pandangan. Dengan memiliki pandangan
yang jauh dan realistis, kecenderungan untuk berhasil dapat
diramal dengan baik karena hukum kausalitas akan bermain dan
Tuhan akan selalu membantu hambanya. Berdasarkan hasil
wawancara, beberapa jamaah cenderung merespon kegiatan zikir
dengan positif, dalam arti, kegiatan zikir ini memberikan jalan
untuk bersikap optimis dan berusaha. Karena, sebelum mengikuti
zikir secara rutin, kecenderungan untuk bersikap optimis

119
Charles S. Carver and others, eds. “Optimism,” Clinical
Psychology Review Vol. 30 (2010), 879.

185
terhadap pelbagai kesulitan belum direspon secara positif. 120 Hal
ini senada dengan isyarat al-Qur‟an;
             

121
.  
Artinya: “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir.”

122
.          
Artinya:“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.”

Isyarat al-Qur‟an di atas memberikan pengajaran kepada


manusia bahwa orang yang beriman akan selalu bersikap optimis
dan berusaha dengan baik (tidak berputus asa), karena putus-asa
identik dengan kekufuran yang besar123 dan yakin bahwa setiap
ada kesulitan pasti ada kemudahan. Senada dengan hasil
wawancara penulis terhadap salah satu jamaah majelis zikir Az-
Zikra Bogor yang menyatakan bahwa setiap kesulitan pasti ada
solusinya. Lebih lanjut, menurutnya pelbagai kesulitan, ujian dan
cobaan dalam hidup yang sedang dihadapi sekarang lebih mudah
untuk diatasi.124 Menurut Saligmen, optimism in the liturgy also

120
Berdasarkan wawancara terhadap beberapa jamaah pada
tanggal 5 April 2015 di masjid Az-Zikra Bogor.
121
al-Qur’a>n s. Yu>suf/12:87.
122
al-Qur’a>n s. al-Inshirah/94:5-6
123
Kata (‫ )روح‬di dalam surat Yu>suf ada yang memahaminya
dengan makna napas. Karena, kesedihan dan kesusahan menyempitkan
dada dan menyesakkan napas. Untuk lebih jelasnya lihat, M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume, 6 (Jakarta: Lentera Hati, Cet. V, 2011), 163-164.
124
Wawancara terhadap jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor di
masjid Az-Zikra Bogor pada tanggal 5 April 2015.

186
may play a causal role, dengan beribadah maka perasaan optimis
akan muncul.125 Ada ruang spiritual dalam usaha dan optimis
ketika melakukan sebuah rangkaian kegiatan. Manusia dituntut
untuk berusaha dan optimis serta berdoa dalam melakukan setiap
aktivitas agar segala amalannya memberikan pengaruh yang
positif bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Dengan demikian,
serangkaian usaha, optimis dan peran Tuhan di dalamnya
menjadi satu kesatuan yang dinilai memiliki tingkat keberhasilan
dan kesuksesan bagi manusia untuk menggapai harapan-
harapannya.

3. Sabar
Menurut Subandi, konsep sabar bisa dikategorisasikan
sebagai salah satu topik kajian psikologi positif.126 Dengan sabar,
pelbagai persoalan hidup dapat direspon dengan baik, sehingga
manusia mampu untuk mengatasinya secara berkala. Berdasarkan
hasil wawancara, seluruh jamaah merespon secara positif tentang
konsep sabar sebagai senjata yang baik untuk mengatasi pelbagai
kesulitan, ujian, permasalahan dan cobaan dalam hidup.127
Kaitannya dengan hal ini, al-Qur‟an mengisyaratkan kepada
manusia untuk tetap bersabar terhadap pelbagai hal.
          

128
.        

125
Sheena Sethi and Martin E. P. Seligman, “Optimism and
Fundamentalism,” Psychological ScienceVol. 4 No. 4 (1993), 259.
126
Subandi, “Sabar: Sebuah Konsep Psikologi,” Jurnal Psikologi
Vol. 38 No.2 (2011), 215-227.
127
Menurut para jamaah, peran sabar harus dioptimalkan dengan
baik. Karena, tidak ada manusia yang tidak akan menemui kesulitan dalam
hidup, dengan bersabar setiap manusia akan berusaha sedikit demi sedikit
untuk menyelesaikan pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup.
Wawancara terhadap 10 jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor pada tanggal
5 April 2015 di masjid Az-Zikra Bogor.
128
al-Qur’a>n s. Luqma>n/31:17.

187
Artinya:“Hai anakku, Dirikanlah salat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka)
dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

Isyarat al-Qur‟an di atas telah memberikan pelajaran bagi


manusia secara umum, terkhusus umat Islam bahwa segala
macam bentuk rintangan idealnya harus dihadapi dengan penuh
kesabaran. Karena sabar berarti tabah hati tanpa pernah berkeluh
kesah terhadap segala rintangan dalam menggapai tujuan
hidup.129 Dalam al-Qur‟an, kata sabar banyak ditemukan, yang
itu semua, mengajarkan kepada manusia untuk bersabar dalam
menjalani setiap kehidupan. Karena, dalam setiap kehidupan
dapat dipastikan kesulitan, ujian, cobaan, fitnah dan permasalah-
an akan selalu hadir dalam hidup manusia. Selaras dengan hasil
wawancara terhadap jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor yang
menyatakan bahwa setiap manusia baik itu orang miskin atau
kaya dipastikan memiliki kesulitan, ujian dan cobaan dalam
hidup, keadaan tersebut menuntut manusia untuk berusaha
mengatasi pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup.130
Dengan demikian, peran sabar dalam menggapai kesuksesan dan
mengatasi pelbagai kesulitan hidup sangat berperan positif bagi
manusia.
Dengan demikian, sudah ketentuan Tuhan (takdir) bahwa
setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Tuhan telah
memberikan pelbagai potensi yang sangat baik untuk dioptimal-
kan dan Tuhan telah memberikan jalan (sebagai konsekuensi)
berupa jalan kebaikan atau jalan keburukan bagi manusia. Tuhan
telah mengisyaratkan sepenuhnya kepada manusia, bahwa ada
kemudahan setiap ada kesulitan. Manusia, diwajibkan untuk

129
Karena sabar merupakan satu di antara maqa>mat agama yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Lihat, Achmad Mubarok,
Psikologi Qur‟ani.73-74.
130
Berdasarkan wawancara terhadap jamaah majelis zikir Az-Zikra
Bogor pada tanggal 5 April 2015 di masjid Az-Zikra Bogor.

188
berdo‟a dan berusaha agar harapan yang diinginkan tercapai dan
menuju jalan kesuksesan dunia dan akhirat.
Dalam kehidupan sehari-hari pastinya setiap manusia
memiliki beragam macam permasalahan, ada yang sulit untuk
diatasi dan cenderung mudah untuk diatasi-inilah yang
dinamakan oleh Xuefu Wang sebagai life is eventful, hidup penuh
dengan peristiwa.131 Kecenderungan individu untuk merespon
pelbagai hal yang negatif lebih banyak jika dibandingkan dengan
individu yang meresponnya dengan positif. Kecenderungan-
kecenderungan ini pada dasarnya sangatlah tidak wajar, jika
respon negatif ini terlalu berlebihan, karena respon negatif yang
berlebihan akan memberikan dampak yang negatif bagi
kehidupan. Hal ini selaras dengan pengalaman jamaah majelis
zikir Az-Zikra Bogor, sebelum mengikuti zikir secara rutin,
kecederungan untuk merespon pelbagai kesulitan, ujian dan
cobaan dalam hidup secara berlebihan. Hati cenderung tidak
tenang, tidak damai, kurang bahagia karena banyaknya kesulitan
yang dihadapi, sehingga pelbagai respon dan aktivitas yang
cenderung negatif dilakukan seperti, kehidupan seakan tidak
memihak kepadanya, menyesali diri secara berlebihan, pesimis,
putus asa, bergabung dengan teman-teman hingga larut malam
(lupa waktu) dan lain sebagainya yang bersifat negatif. 132
Respon negatif terhadap banyaknya kesulitan,
permasalahan dan ujian dalam hidup pada dasarnya tidak akan
memberikan manfaat bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
manusia yang terlahir dalam keadaan fitrah, agama. sepatutnya
mampu memberikan ruang bagi agama untuk memberikan solusi
yang sedang dihadapi. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam
kontek agama, seseorang akan berhenti sejenak sambil meng-
introspeksi diri serta berdo‟a agar diberikan kemudahan dan
keberkahan dalam menyelesaikan pelbagai kesulitan yang ada.
Beberapa hal yang bisa dilakukan tersebut pada akhirnya akan
memberikan jawaban atau solusi serta merasakan kedamaian dan

131
Xuefu Wang, “On Becoming a Religious Therapist in Chinese
Culture,” Pastoral Psychology Vol. 61 Issue.5-6 (2012), 1014.
132
Berdasarkan wawancara terhadap jamaah majelis zikir Az-Zikra
Bogor di masjid pada tanggal April 2015.

189
ketenangan, dengan keadaan damai dan tentram pelbagai solusi
akan hadir. Oleh karena itulah, Agama dapat memberikan
sumbangsih terhadap kehidupan yang bermakna bagi manusia.133
Agama mampu memberikan rasa ketenangan, kedamaian dan
kebahagiaan pada manusia, pelbagai nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya akan memberikan efek yang positif bagi manusia-
jika dipahami dengan baik dan penuh kesadaran. Keterkaitan
antara beragam macam kesulitan pada manusia dengan
religiusitas adalah bagaimana seseorang mengambil pelajaran
dari apa yang telah dihadapinya, introspeksi terhadap terhadap
diri sendiri atas segala kesulitan, rintangan, ujian dan
permasalahan adalah salah satu faktor yang positif untuk keluar
dari lubang kesulitan yang pada akhirnya mampu menghantarkan
manusia pada tingkat kemenangan.134
Kesadaran manusia terhadap fungsi agama dalam
kehidupan dan mampu merealisasikan pelbagai nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya-seperti zikir; zikir tidak hanya sekedar
mengucapkan kalimat-kalimat baik, namun lebih dari itu,
bagaimana manusia mampu merespon dan mengintrospeksi diri
dalam kenikmatan berzikir. Sadar bahwa kehidupan ini tidak
selalu memberikan yang terbaik, ada rintangan untuk menggapai
kesuksesan dan cobaan yang silih berganti menghampiri, dengan
berzikir diharapkan mampu mencerna nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya dan merealisasikan nilai-nilai tersebut untuk
mengatasi segala kesulitan dan cobaan dalam hidup. Kenyataan-
nya, seseorang yang mampu merealisasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya mampu memberikan respon yang
positif, optimis dalam menyikapi pelbagai kesulitan dan cobaan
dalam hidup hingga akhirnya sukses, bahagia dan tentram dalam
menjalani kehidupan.135

133
Louis Hoffman, “An Existential-Phenomenological Approach
to the Psychology of Religion,” Pastoral Psychology Vol. 61 Issue. 5-6
(2012), 789.
134
Xuefu Wang, “Zhi Mian and Existential Psychology,” The
Humanistic Psychologist Vol. 39 Issue 3 (2011), 243.
135
Berdasarkan wawancara dengan jamaah majelis zikir Az-Zikra
bogor di Masjid Az-Zikra pada tanggal 5 bulan Maret 2015.

190
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan,
disimpulkan bahwa hipotesis mayor diterima yaitu ada pengaruh
yang signifikan religiusitas terhadap adversity quotient pada
jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor dengan hasil R2 sebesar
136, F= 2,573, df= 8, P= ,012 (< 0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa delapan aspek berkontribusi sebesar 13,6 % terhadap
adversity quotient, sedangkan 86,4 % dipengaruhi oleh variabel
atau faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.
Seperti kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter,
genetika, pendidikan dan lain sebagainya.
Kemudian, berdasarkan uji hipotesis minor diperoleh tiga
koefisien regresi yang signifikan yaitu, islamic dimensions= ,046,
islamic religious conversion= ,033 dan positive religious coping=
,018. Sedangkan lima koefisien regresi yang tidak signifikan (>
0.05). Dimensi Islam yang memiliki indikator kepercayaan
kepada Tuhan, praktik-praktik ibadah, perilaku-perilaku yang
harus dilakukan, perilaku-perilaku yang tidak harus dilakukan
dan keuniversalan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
Islam. Manusia sebagai khalifah di bumi, sebagai mandataris
Tuhan idealnya mampu menaati, menjalankan dan merealisasikan
kehendak Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
segala bentuk perintah dan larangan seharusnya ditaati. Seperti
percaya sepenuhnya kepada Tuhan bahwa setiap menjalani
proses kehidupan Tuhan pasti memberikan petunjuk selama
manusia berusaha dengan optimal. Karena esensi Islam adalah
tauhid jadi, perilaku tidak akan memiliki nilai tanpa berlandaskan
kepercayaan kepada Tuhan.136 Hal ini senada juga dengan
Rumun, bahwa keyakinan terhadap Tuhan memberikan efek yang

136
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami
(Yogyakarta: Pustaka Pelajara, Cet. VII, 2008), 79.

191
sangat kuat dalam memandang kehidupan.137 Dengan demikian,
manusia yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan
akan merespon dan berperilaku sesuai dengan kehendak Tuhan-
mampu menjalankan segala perintahnya tanpa ada paksaan,
sehingga dalam menyikapi pelbagai persoalan hidup
kecenderungan untuk tentram, bahagia, damai dan sukses akan
dirasakan dan didapatkan oleh manusia.
Selain menjaga kualitas percaya kepada Tuhan, segala
perintah Tuhan, baik itu bersifat wajib atau sunah idealnya
dilakukan dan mampu memberikan nilai-nilai positif untuk
berinteraksi dengan baik terhadap lingkungannya. Sejatinya,
penghayatan terhadap nilai-nilai agama merupakan Plays a major
part in the life of an individual, penghayatan terhadap nilai-nilai
agama merupakan landasan utama bagi setiap pribadi.138 Dengan
mengamalkan pelbagai praktik ibadah, tidak hanya mendatang-
kan ketentraman hati, namun berkontribusi bagi kesehatan
manusia secara holistik dan bermanfaat bagi kehidupan secara
sosial.139 Selaras dengan Badri, bahwa aktivitas ritual keagamaan
serta mengamalkan subtansi nilai-nilai keagamaan dalam setiap
sisi kehidupan akan memberikan dampak positif bagi manusia,
seperti berzikir dan bertafakur yang mampu memberikan respon
positif ketika dilanda kesedihan, kegelisahan dan kesulitan dalam
kehidupan.140 Hal ini juga selaras dengan pendapat Najati, bahwa
137
Akpenpuun Joyce Rumun, “Influence of Religious Beliefs on
Health care Practice,” International Journal of Ecudation and Research
Vol. 2 No. 4 (2014), 37.
138
Shobhna Joshi and others, eds. “Religious Belief and Its
Relation to Psychological Well-being,” Journal of Indian Academy of
Applied Psychology Vol. 34 No. 2(2008), 346.
139
Lihat, Salih Yucel, Prayer and Healing in Islam: with
addendum of 25 Remedies for the Sick by Said Nursi (New Jersey: Tuhgra
Books), 9. Ahmad S and others, eds. “Psycho-Social Behaviour and Health
Benefits of Islamic Fasting During the Month of Ramadan,” Journal of
Community Medicine and Health Education Vol. 2 Issue.9 (2012), 1-4.
140
Malik B. Badri, Tafakur: Perspektif Psikologi Islam, terj.
Usman Syihab Husnan, judul asli, al-Tafakkur min al-Mushadah ila al-
Shuhud: Dirasah al-Nafsiyah al-Islamiyah (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet. 1, 1996), 83. Hal ini selaras dengan pernyataan dari
beberapa jamaah, bahwa sebelum mengikuti kegiatan zikir ini-beragam

192
zikir kepada Tuhan dapat membebaskan seseorang dari perasaan
berdosa, gundah dan gelisah.141
Rasa keberagamaan pada manusia pada dasarnya tidak
terlepas dari proses perjalanan kehidupan manusia. Rentang
kehidupan yang telah dijalani oleh manusia telah memberikan
beragam macam pengalaman spiritual-yang sebelumnya individu
bersikap apatis terhadap agama namun, seiring waktu agama
memiliki daya pikat yang kuat bagi manusia. Benar, daya pikat di
saat manusia mengalami pelbagai kesulitan hidup tidak sedikit
manusia kembali kepada agama, dengan beragama sekaligus
merealisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah
memberikan dampak yang positif, terjadinya konversi agama.
Menurut Derajat, ada beberapa faktor yang menyebabkan
konversi itu terjadi, salah satunya dan dianggap paling me-
latarbelakangi setiap konversi agama adalah adanya konflik
jiwa.142 Keterkukungan dalam hidup yang cenderung materialis
dan hedonis belum lagi eskapisme masyarakat terhadap kerancu-
an hidup telah melahirkan pelbagai pribadi yang cenderung
mengalami pelbagai konflik, terutama konflik jiwa. Keadaan
hidup yang semeraut penuh dengan kerancuan ditambah lagi
dengan banyaknya persoalan hidup yang dianggap susah untuk
diatasi, sehingga manusia cenderung kehilangan pandangan
terhadap diri mereka sendiri dan cenderung tidak bisa mengambil
keputusan untuk menyikapi persoalan yang sedang dihadapi.
Keadaan ini selaras dengan pernyataan Rollo May, not being

macam kesulitan, ujian dan cobaan cenderung membuat jiwa rentan


gelisah, tidak tenang, pesimis, segala usaha terasa gagal untuk mengatasi
pelbagai kesulitan. Namun, setelah rutin mengikuti zikir ini, segala bentuk
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup direspon positif, optimis, berd‟oa
dan berusaha dengan maksimal-yang pada akhirnya sukses dalam
menjalani kehidupan sebagaimana yang diharapan. Berdasarkan
wawancara terhadap jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor di Masjid Az-
Zikra pada tanggal 2 Februari 2015.
141
Muhammad Utsman Najati, The Ultimate Psychology;
Psikologi Sempurna ala Nabi Saw, terj. Hedi Fajar, buku asli; Al-Hadits
an-Nabawi wa ‘ilm an-Nafs (Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I 2008), 388.
142
Zakiah Daradjat, IlmuJiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
II, 1972),136-141.

193
willing to make choices, they lose signt of hwo they are and
develop a sense of insignificance and alienation.143
Konflik jiwa yang dialami oleh manusia telah menghantar
mereka kepada keadaan yang cenderung memberikan nilai-nilai
positif, agama. Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa
konversi agama memiliki pengaruh negatif. Menurut Peter
Halama dan Lacnakonversi, konversi memang membawa
perubahan. Namun, segi negatif akan melahirkan keraguan akan
perubahan yang dialami yaitu dengan menyesuaikan ajarannya
dengan ajaran baru, penyesuaian inilah yang nantinya menjadi
sumber stres.144
Kemudian, dimensi positif religious coping. Menetralisir
dan mengatasi segala problem kehidupan adalah tugas yang harus
dilakukan oleh manusia agar dapat melakukan aktivitas
keseharian dengan penuh makna. Salah satu yang cukup relevan
dengan keadaan tersebut adalah melalui pendekatan diri dengan
Tuhan yang diaplikasikan dalam pelbagai bentuk ritual ibadah
dan tentunya harus dalam keadaan sadar, dalam arti mampu
memahami nilai-nilai yang tersirat dalam segala ritual tersebut
dan dimanifestasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.145
Kesadaran dan kemampuan untuk mengaplikasikan nilai-nilai
ibadah tersebut memiliki makna tersendiri bagi setiap pribadi,
sadar akan asal-usul dan tujuan hidup serta merespon segala
problem kehidupan sebagai jalan menuju kepribadian yang lebih

143
Jess Feist and Gregory J. Feist, Theoris of Personality, Sevent
Edition (New York: McGraw-Hill, 2009), 343.
144
Peter Halama and Maria Lacna, “Personality Change Following
Religious Conversion: Perceptions of Convert and their Close
Acquaintances,” Mental Health, Religion and Culture Vol. 14 No. 8
(2011), 757-758.
145
Konsep al-Di>n dalam Islam mengisyaratkan bahwa segala
bentuk perilaku dalam kehidupan sehari berlandaskan pada prinsip-prinsip
ketauhidan, yang pada akhirnya nanti konsep ketauhidan ini akan
berpengaruh positif terhadap segala macam problem kehidupan. Untuk
lebih jelasnya lihat Husni Mohd Radzi and others, eds. “Religious and
Spiritual Coping Used by Student in Dealing with Stress and Anxiety,”
International Journal of Asian Social Science Vol. 4 No. 2 (2014), 314-
319.

194
baik. Segala problem kehidupan yang sedang dihadapi maupun
yang akan terjadi pada dasarnya tidak akan berlangsung secara
permanen, pasti ada solusi untuk mengatasinya. Hal ini dapat
dipastikan selama manusia mampu mengoptimalkan pelbagai
potensi yang dianugerahkan Tuhan dan sudah menjadi hukum
alam-setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan.146
Menyikapi pelbagai problem kehidupan adalah tugas
manusia yang memiliki kebebasan berkehendak untuk me-
nyikapinya. Dalam realitasnya, peran agama menjadi sangat
penting, selain berusaha dengan kuat. Agama yang diyakini akan
memberikan motivasi tersendiri bagi manusia cenderung mampu
untuk menghadapi segala persoalan hidup dan kehadiran Tuhan
yang direfleksikan dalam menyikapi pelbagai hidup tentunya
akan melahirkan sikap optimis, tidak berputus asa, bertanggung
jawab dan terhindar dari pikiran dan perbuatan bunuh diri sebagai
respon dari ketidakmampuan untuk mengatasi pelbagai
kesusahan.147
Dengan demikian, manusia yang memiliki pelbagai
potensi idealnya memiliki respon, pandangan dan perilaku yang
segaris dengan kehendak Tuhan. Bagaimanapun bentuk
kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup, jika mengoptimalkan
aspek-aspek keislaman dan selalu memperbaiki diri maka
pelbagai kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup dapat diatasi
dengan baik dan meraih kesuksesan dunia akhirat.

B. Saran
Pertama, penelitian ini masih banyak variabel atau faktor
lain yang terkait dengan adversity quotient namun tidak
disertakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis
menyarankan agar peneliti selanjutnya tentang adversity quotient
dapat menggunakan variabel atau faktor lain Seperti kinerja,
bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika,

146
Lihat keterangan lebih lanjut al-Qur‟an s. al-Inshirah}/93:1-8.
147
Shaista Meer and Ghazala Mir, “Muslim and Depression: The
Role of Religious Beliefs in Therapy,” Journal of Integrative Psychology
and Therapeutics (2014), 3. Diakses melalui:
http://www.hoajonline.com/journals/pdf/2054-4723-2-2.pdf

195
pendidikan, spiritualitas (spirituality), kualitas hidup (quality of
life), kepuasan hidup (life satisfaction) dan kesehatan mental
(mental health).
Kedua, sampel yang digunakan dalam penelitian ini
cenderung masih sedikit. Oleh karena itu, bagi peneliti
selanjutnya agar menggunakan sampel yang lebih banyak lagi,
agar hasil yang diperoleh akan menjadi lebih baik.
Ketiga, dalam usaha meningkatkan adversity quotient
pada jamaah majelis zikir Az-Zikra Bogor hendaknya para
jamaah lebih meningkatkan pemahaman akan nilai-nilai yang
terkandung di dalam agama dan mampu merealisasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, segala kesulitan, ujian
dan cobaan dalam hidup mampu diatasi dengan baik yang pada
akhirnya mampu meraih kesuksesan di dunia dan akhirat, karena
kecerdasan mengatasi kesulitan, ujian dan cobaan dalam hidup
(adversity quotient) mampu memberikan kontribusi yang positif
bagi manusia. Seperti, produktivitas, inovasi, optimis dan
kemampuan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.148

148
Lihat, James Reed and Paul G. Stoltz, Put Your Mindset to
Work: The One Asset You Really Neet to Win and Keep the Job You Love
(New York: Penguin Group, 2011).

196
DAFTAR PUSTAKA

Abu Faris, Abdul Qodir. Ujian Cobaan Fitnah dalam Da’wah,


trj. Abu Fahmi, Ibnu Marjan, Judul Asli, al-Ibtila’ wal
Mih}an fi> al-Da’wa>t. Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I,
1992.
Adams, Sue K. and others, edc. “The Role of Parents‟
Medication Beliefs, Religious Problem-Solving, and
Risks for Treatment Nonadherence in Urban Families
with Asthma.” Health Services Insight (4) (2011).
Ah{mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>: al-Juz al-
Ta>si’. al-Qa>irah: Da>r al-Mat}ba’ah al-Salafiyah, al-T}ab’ah
al-Tha>lithah, 1407 Hijriyah.
al-H>a>{ >fiz} al-Mundhiri, Mukhtas}ar S{ahi>h} Muslim, ditah}qi>q oleh
Muhammad Na>s}ir al-Di>n al-Ba>ni>. Kuwait: Wiza>rah al-
Awqa>f wa al-Shuu>n al-Isla>miyah al-Tura>th al-Isla>mi>, al-
T}ab’ah al-Tha>lithah, 1979.
Abduh, Muhammad. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m; Juz ‘Amma.
Kairoh Mesir, Mathab al-Ami>riyah, 1322 H)
_____, Muhammad. Teologi Rasional, terj. Makrum Kholil,
buku asli, Risa>lah Al-Tauh}id. Jakarta: CV Misaka
Galiza, cet ke. I 2005.
Ancok, Djamaludn dan Fuat Nashori. Psikologi Islam: Solusi
Islam atar Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2008.
Anthony D. Ong and others, eds. “ Psychological Resilience,
Positive Emotions, and Successful Adaption to Stress in
Later Life.” Journal of Personality and Social
Psychology, Vol 91, No. 4 (2006),745-746.
Anronette R. Lazaro-Capones, Adversity Quotient and the
Performance Level of Selected Middle Managers of the
Different Departments of the City of Manila as Revealed
by the 360-Degree Feedback System (For Presentation in
the Special Session: Workshop for Prospective Scholars,
International Industrial Relations Association (IIRA), 5th
Asian Regional Congress to be held on June 23-26, 2004,
Seoul, Korea), 5.

197
Arifin, Bambang Syamsul. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka
Setia, Cet, 1, 2008.
Ashraf Al-Hadethe, “Cross-Cultural Validation and Psychometric
Propertiesof the Arabic Brief Religious Coping Scale (A-
BRCS).” Journal of religion and Health Vol. 53. No. 5
(2014).
Aziz, Azhari dan Setia Budi. Hakekat Akal Jasmani dan Rohani:
Menguak Fenomena yang tak Terpecahkan Selama 14
Abad. Bagian 1. Bekasi: Yayasan Majelis Ta‟lim HDH,
2004.
B. Nikam, Vibhawari and Megha M. Uplane. ‚Adversity
Quotient and Defense Mechanism of Secondary School
Students.‛ Universal Journal of Education Research, no.
4 (2013) : 307.
Badri, Malik B. The Dilema of Muslim Psychologists. London:
MWH London Publishers, 1979.
_____, Malik B. Tafakur: Perspektif Psikologi Islam, trj. Usman
Syihab Husnan, judul asli, al-Tafakkur min al-Mushadah
ila al-Shuhud: Dirasah al-Nafsiyah al-Islamiyah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. 1, 1996.
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
_________, Paradigma Psikologi Islami; Studi tentang Elemen
Psikologi dari Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam:
Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. IV, 2005.
Beit-Hallahmi, Benjamin and Michael Argyle, The Psychology of
Religious Behaviour, Belief and Experience. London:
Routledge, 1997.
Brittany C. Hernandez, The Religiosity and Spirituality Scale For
Youth: Development and Initial Validation (Dissertation
the Lousiana State University, 2011)
Carrel, Alexis. Man The Unknown. Nobel Prize Winner, Harper
and Brothers, 1939.

198
Chao-Ying Shen, “The Relative Study of Gender Roles, and Job
Stress and Adversity Quotient.” The Journal of Global
Business Management Vol. 10, No. 1 (20014), 22.
Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono.
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Chin, Pao-Ling and Min-Li Hung. “Psychological Contract
Breach And Turnover Intention: The Moderating Roles
Of Adversity Quotient And Gender.” Social Behavior
And Personality 41 (5) (2013), 843.
Ciptadi, Bina dan Jahja Umar , “Metode Alternatif untuk
Mendeteksi Bias Respon Social Desirability pada Item-
item Tes Kepribadian.” JurnalPengukuran Psikologi dan
Pendidikan Indonesia (JP3I) Vol. 1. No. 1 (2012), 4.
Cukur, Cem Safak and others, eds. “Religiosity, Values, and
Horizontal and Vertical Individualism-Collectivism: A
Study of Turkey, the United States, and the Philippines.”
The Journal of Social Psychology 144 (6) (2004), 629.
Daniel N. McIntosh and others, eds. “The distinct roles of
Spirituality and Religiosity in Physical and Mental Health
After Collective Trauma” A National Longitudinal Study
of Responses to The 9/11 Attacks.” Journal of Behavioral
Medicine Vol. 34, Issue 6 (2011), 500.
Danim, Sudarwan. Metode Penelitian Untuk Ilmu-Ilmu Perilaku.
Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. III, 2004.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
II, 1972.
Dillon, Michele and Paul Wink. Relgiousness and Spirituality:
Trajectories and Vital Involment in Late Adulthood .
Edited by Michele Dillon, Handbook of the Sociology of
Religion. USA: Cambridge University Press, 2003.
Dona Eka Putri and Dina Nur Amalia, “Religiosity and Adversity
Quotient of Muslims in Poor Community” International
Proceedings of Economic Development and Research. 73
(2014), 14-18.
Dister, Nico Syukur. Pengalaman dan Motivasi Beragama.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.

199
Diyah Arfidianingrum and others, eds. “Hubungan antara
Adversity Quotient dengan Work-Family Conflict Pada
Ibu yang Bekerja Sebagai Perawat.” Developmental and
Clinical Psychology Vol.2 No.2 (2013), 16.
Dupre, Louis. Religious Mystery and Rational Reflection:
Excursions in the Phenomenology and Philosophy of
Religion. Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing Co,
1998.
Elizabeth Le Thi, Adversity Quotient In Predicting Job
Performance Viewed Through The Perspective Of The
Big Five. Thesis University Of Oslo, 2007.
Ellen Idler, “The Psychological and Physical Benefits of
Spiritual/Religious Practices.” Sprituality in Higher
Education Newsletter Vol. 4, Issue 2 (2008), 4.
Feist, Jess and Gregory J. Feist, Theoris of Personality, Sevent
Edition. New York: McGraw-Hill, 2009.
Fetzer, John E. Multidimensional Measurement of Religiousness /
Sprituality for Use in Health Research. Institute and
National Institute on Aging Working Group, 2003.
Fouzia Gull and Saima Dawood, “Religiosity and Subjective
Well-Being amongst Institutionalized Elderly in
Pakistan.” Health Promotion Perspective Vol. 3, No. 1
(2013), 128.
Goble, Frank G. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham
Maslow, terj. A. Supratinya, dari buku The Third Force,
The Psychology of Abraham Maslow. Yogyakarta:
Kanisius, cet. 15, 2010.
Gregory S. Paul and others, eds. “Cros-National Correlations of
Quantifiable Societal Health with Popular Religiosity and
Secularism in the Prosperous Democracies.” Journal of
Religion and Society Vol. 7 (2005), 3.
Hamka, Tafsir Al Azhar Juz IX. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1982.
______, Tafsir Al Azhar Juz XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1982.
Haverkamp, Rita and others, edc. ‚Problem-Solving Treatment
for Complicated Depression in Late Live: A Case Study

200
in Primay Care.‛ Perspectives in Psychiatric Care 40 (2)
(2004).
Hepi Wahyuningsi, “Validitas Konstruk Alat Ukur Spirituality
Orientation Inventory (SOI).” Jurnal Psikologi Vol.36 (2)
(2009).
Hidayat, Komaruddin. The Wisdom Of Life: Menjawab
Kegelisahan Hidup dan Agama. Jakarta: Kompas, 2008.
Hisham Abu Raiya, A Psychological Measure Of Islamic
Religiousness Evidence For Relevance, Reliability and
Validity. Dissertation the Graduate College of Bowling
Green State University, 2008.
Harold G. Koenig and Arndt Bussing, “The Duke University
Religion Index (DUREL): A Five-Item Measure for Use
in Epidemological Studies.” Religions (2010), 79.
Hasan, Aliah B. Purwakania. Pengantar Psikologi Kesehatan
Islami. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Hasan, Muhammad Thochah. Dinamika Kehidupan Religius.
Jakarta: Listafariska Putra, 2000.
Hendrawan, Sanerya. Spritual Management: From Personal
Enlightenment Toward God Corporate Governance.
Bandung: Mizan, cet I, 2009.
Hill, Peter C. Measurement Assessment and Issues in the
Psychology of Religion and Spirituality dalam Handbook
of The Psychology of Religion and Spirituality, Edited by
Raymond F. Paloutzian, Crystal L. Park. New York: The
Guilford Press, Second Edition, 2013.
Hude, M. Darwis. Disertasi: Emosi Manusia dalam al-Qur’an;
Telaah Melalui Pendekatan Psikologi. Disertasi UIN
Jakarta:2004.
Itai Ivtzan and others, eds. “Linking Religion and Spirituality
with Psychological Well-being: Examining Self-
actualisation, Meaning in Life, and Personal Growth
Initiative.” Journal of Religion and Health Vol. 48. No. 1
(2009).
J,Venkatesh “Indian Banks: Bulding Resilience Through
Adversity Quotient in The Global Best HR Practices.”

201
International Journal of World Research Vol. 1. Issue
VIII (2014), 56.
J. Venkatesh and others, eds. “Adversity Quotient and Resilient
HR Culture: A Succes Strategy for Organizations.”
Intenationl Journal of Scientific Research and
Management (IJSRM) Vol. 2. Issue. 8 (2014),1237.
__________ and others, eds. “The Modern Drift: Significance of
Adversity Quotient and Challenges faced by the Indian
Banking Sector.” International Research Journal of
Business and Management Volume No – VII. Issue. 8
(2014), 72.
Jerilee Grandy, Psychometric Properties and Analysis of the AQ
Profile Online Version 8.1. Retrieved from Peak
Learning, Inc. Diakses pada tanggal 20-11- 2014.
http://www.peaklearning.com/documents/PEAK_AQP_technical
Supplement.pdf
Johnson, Monica Brannon. Optimiss, Adversity and
Performance: Comparing Explanatory Style and AQ. The
Faculty of the Department of Psychology San Jose State
University, 2005.
Kanjanakaroon, Jureeporn. ‚Relationship between Adversity
Quotient and Self-empowerment of Students in Schools
under the Jurisdiction of the Office of the Basic
Education Commission.‛ Internasional Journal of
LearningNo. 5 (2011), 349.
http://connection.ebscohost.com/c/articles/73027977/rela
tionship-between-adversity-quotient-self-empowerment-
students-schools-under-jurisdiction-office-basic-
education-commission (diakses pada tanggal 25
Desember, 2013)
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama
Filsafat Islam. Bandung: Mizan, Cet. II, 2005.
Kathryn E. Fitzpatrick Bettencourt and others, eds. “Older and
Younger Adult‟ Attitudes Toward Feminism: The
Influence of Religiosity, Political Orientation, Gender,
Education, and Family.” Sex Roles Vol.1 Nol. 64 Nos.12-
12 (2011),866.

202
Kasen and others, eds. “Religiosity and Resilience in Person at
High Risk for Major Depression.” Psychological
Medicine 42 (2012), 509.
Kerlinger, Fred N and Howard B. Lee, Foundations of
Behavioral Research, Fourth Edition. US: Thomson
Learning, 2000.
Koenig, Haroldf G. Faith and Mental Health: Religious
Resources For Healing. London: Templeton Foundation
Press, 2005.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. Etika dan Pertumbuhan Spiritual,
trj. Muhammad Hasyim Assegaf, judul asli: Ethics and
Spiritual Growth. Jakarta: Lentera, Cet. I, 2001.
Lea Daradal Canivek, Principals‟ adversity quotient: styles,
performance and practices. Submitted in Partial
Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master
of Arts in Education: Universityof the Philippines
Diliman, Quezon City, 2010.
Magid Kagimu and others, eds. “Religiosity for Promotion of
Behaviors Likely to Reduce New HIV Infections in
Uganda: A Study Among Muslim Youth in Wakiso
District.” Journal of Religion and Health Vol. 48, No. 1
(2009).
Margreet R. De Vries-Schot and others, eds. “Mature Religiosity
Scale: Validity of a New Questionnaire.” European
Journal of Mental Health 7 (2012), 58.
Mark W. Williams, The Relationship Between Principal Respone
To Adversity Ana Student Achievement. Dissertation The
Cardinal Stritch University, 2003.
Maslow, Abraham H. Motivation and Personality. New York:
NY: Harper, 1954.
Matt Bradshaw and Christopher G. Ellison, “Do Genetic Factors
Influence Religious Life? Finding from a Behavior
Genetic Analysis of Twin Siblings.” Journal for the
Scientific Study of Religion Vol. 45, Issue. 4 (2008), 540.
Michele M. Tugade and others, eds. “Psychological Resilience
and Positive Emotional Granularity: Examining the

203
Benefits of Positive Emotions on Coping and Health.”
Journal of Personality Vol. 72, No. 6 (2004), 1161-1190.
Mohsen Darbanyan and others, eds. “Investigating the
Relationship between Gratitude and Depression in
Woman and Men.” International Journal of Psychology
and Behavioral Research Vol. 1, No. 2 (2014), 632.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Cet ketigabelas, 2000.
Mubarak, Achmad. Psikologi Keluarga; Dari Keluarga sakinah
Hingga Keluarga Bangsa. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
2005
_______________, Psikologi Qur‟ani. Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet. I, 2001.
Muhammad Syukri Salleh, “Religiosity in Development: A
Theoretical Construct of an Islamic-Based Development.”
International Journal of Humanities and Social Science
Vol. 2 No. 14 (2012), 266.
Mujib, Abdul. Jusuf Mudzakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2002.
Mulyana, Dedi. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003.
Murdoch, Stephen. IQ: A Smart History of a Failed Idea.
Canada: John Wiley & Sons, Inc, 2007.
Musthofa, Djamaludin Ancok, “Hubungan Antara Bias
Keputusan dengan Adversity Quotient dan Anchor dalam
Pengambilan Keputusan.” Sosiosanins 18 (2) (2005), 190.
Muthahhari, Murtadha. Manusia Seutuhnya: Studi Kasus
Berbagai Pandangan Filsafat, Irfan, dan Teori Sosial
Modern, terj. Abdillah Hamid Ba‟abud, diterjemahkan
dari Insone Komil. Jakarta: Sadra Press, Cet. I, 2012.
Najar, Amir. Psikoterapi Sufistik; dalam Kehidupan Modern,
terj. Ija Suntana, judul asli, At-Tashawwuf An-Nafsi
Jakarta: Hikmah, cet. ke I, 2004.
Najati, Muhammad Usman. Al-Qur’an dan Psikologi terj. Tb.
Ade Asnawi Syihabuddin. Jakarta: Aras Pustaka, 2005.

204
_____, Muhammad Usman. al-Qur’an wa ‘Ilmu an-Nafsi.
Qahirah: Da>r al-Shuru>q, 1992.
_____, Muhammad Utsman.The Ultimate Psychology; Psikologi
Sempurna ala Nabi Saw, ter. Hedi Fajar. Bandung:
Pustaka Hidayah, 2008.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Nawawi, Rifaat Syauqi and others, edc. Metodologi Psikologi
Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Nur Farhana Abdul Rahman, “Pemahaman Konsep Tauhid Asas
Keharmonian Kepelbagaian Agama.” International
Journal of Islamic Thought Vol. 1 (2012), 34-35.
Nur Mazidah, “Relijiusitas dan Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Industri.” Jurnal Sosiologi Islam Vo. 1, No. 1
(2011), 32.
Pargament, Kenneth I. The Psychology of Religion and Coping:
Theory, Research, Practic. New York: The Guilford
Press, 1997.
Patty Van Cappellen and others, eds. “Beyond Mere Compliance
to Authoritative Figures: Religious Priming Increases
Conformity to Informational Influence Among
Submissive People.” The Internasional Journal for the
Psychology of Religion 21 (2011), 102.
Petruta Paraschiva and Maria Nicoleta, “Ways of Approaching
Religiosity in Psychological Research.” The Journal of
International Social ResearchVol. 4, Issue: 18, (2011),
354.
Purwanto, Yadi. Epistimologi Psikologi Islami: Dialektika
Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islami.
Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
_________,Yadi. Psikologi Kepribadian: Intergrasi Nafsiyah
dan „Aqliyah Perspektif Psikologi Islami. Bandung: PT
Refika Aditama, Cet. II, 2011.
Rahmat Aziz, “Pengaruh Kepribadian Ulul Albab Terhadap
Kemampuan Menghadapi Tantangan.” El-Qudwah (04)
(2007), 5.

205
Ratna Tri Puspitasari, “Adversity Quotient dengan Kecemasan
Mengerjakan Skripsi Pada Mahasiswa.” Jurnal Online
Psikologi Vol.01 No.02 (2013), 305.
Razi, Muhammad ibnu „Umar. Ruh dan Jiwa: Tinjauan Filosofis
dalam Perspektif Islam, trj. Mochtar Zoerni dan Joko S.
Kahhar. Judul asli, Imam Razi‟s „Ilmu al-Akhlak.
Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Reese, William L. Dictiniory of Philosophy and Religion: Estern
and Western thought. USA: Humanity Books, 1999.
Richard E. Nisbett,” Intelligence: New Finding and Theoretical
Developments.” American Psychologis Association Vol.
67. No. 2 (2012), 149.
Robert A. Emmons, “Striving for the Sacred: Personal Goals,
Life Meaning, and Religion.” Journal of Social Issues
Vol. 61, No. 4 (2005), 742.
Rusdin, “Problem Insider dan Outsider dalam Studi Agama
Perspektif Russel T. McCutcheon.” Jurnal Studia
Islamika Vol. 9, No. 2 (2012), 192.
Samudra, Azhari Aziz, Setia Budi. Hakekat Akal Jasmani dan
Rohani: Menguak Fenomena yang tak Terpecahkan
Selama 14 Abad. Bekasi: Yayasan Majelis Ta‟lim HDH,
2004.
Sangkan, Abu. Berguru Kepada Allah: Menghidupkan
Kecerdasan Emosional dan Spritual. Jakarta: Yayasan
Bukut Thursina, Cet. 2, 2003.
Schultz, Duane. Growth Psychology; Models of The Healthy
Personality. New York: D. Van Nostrand Company,
1977
Shaleh, Abdul Rahman. Psikologi: Suatu Pengantar dalam
Perspektif Psikologi Islam. Jakarta: Kencana, Cet. 3,
2008.
Shihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan,
1994.
______, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an volume 1 cet ke IV. Jakarta:
Lentera Hati, 2002.

206
______, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an Volume 4. Jakarta: Lentera Hati,
2002.
______, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an Volume 8. Jakarta: Lentera Hati,
2002.
______, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an Volume 10. Jakarta: Lentera Hati,
2002.
______,M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an volume 15 . Jakarta: Lentera Hati,
2002.
Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas
Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Penamadani, Cet. III, 2005.
Shivaranjani, “Adversity Quotient: One Stop Solution to Combat
Attrition Rate of Women in Indian it Sector.”
International Journal of Business and Administration
Research Review Vol. 1, Issue. 5 (2014), 184
Singgih D, Yuliah. Gunarsah dan Singgih D. Gunarsah. Psikologi
Untuk Keluarga. Jakarta: Libri, cet. I, 2012.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung:
Mizan, cet. I, 2006.
Skinner,B.F. Beyond Freedom and Dignity. England: Penguin
Books, 1971.
Stark, Rodney and Charles Y. Glock, American Piety: The
Nature of Religious Commitment. Berkeley Los Angeles
London: University of California Press, 1970.
Stefan Huber and Odilo W. Huber, “The Centrality of Religiosity
Scale (CRS).”Religions Vol.3, (2012) 711.
Stoltz, Paul G. Adversity Quotient; Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang, ter. T. Hermaya. Jakarta: PT Grasindo,
2007.
Stoltz, Paul G. Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities. USA: John Wiley & Sons, Inc., 1997.

207
Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta, Cet. 14,
2009.
Thomas J. Bouchard, “ Genetic Influence on Human
Intelligence: How Much?.” Annals of Human Biology
Vol.36, No. 5 (2009), 532.
Thouless, Robert H. An Introduction to The Psychology of
Religion. London: Cambridge University Press, Cet, I,
1971.
Trevor Moodley, The Relationship Between Coping and Spiritual
Well-Being During Adolescence (ThesisUniversity of the
Free State Bloemfontein, 2008)
W. Hood, Ralph JR.The Psychology of Religion: An Empirical
Approach. New York: Guilford Press, 2009.
Wendy Johnson, “Understanding the Genetics of Intelligence:
Can Height Help? Can Corn Oil?.” Current Directions in
Psychological Science 19 (2010), 181.
Zohar, Danah and Ian Marshall. Spritual Intelligence: The
Ultimate Intelligence. London: Bloomsbury Publishing
Plc, 2000.
www.who.int/entity/mental_health/prevention/suicide/wspd_20
09_statement.pdf?ua=1 diakses pada tanggal 9 Mei 2014
pukul 14.53.
http://azzikra.com/tentang-kami/majelis-az-zikra/

208
GLOSARIUM

A
 Adversity Quotient: suatu kecerdasan yang mengharuskan
seseorang untuk mengatasi pelbagai kesulitan, ujian dan
cobaan dalam hidup agar mampu mewujudkan kesuksesan.
Kecerdasan ini memberi tahu seberapa jauh anda mampu
bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk
mengatasinya. Mampu meramalkan siapa yang mampu
mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur. Meramalkan
siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan
potensi mereka serta siapa yang akan gagal dan meramalkan
siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.
 Agama: satu sistem yang komplek dari kepercayaan,
keyakinan, sikap-sikap dan upacara-upacara yang
menghubungkan individu dengan satu keberadaan atau
makhluk yang bersifat ketuhanan.
 Anxiety: perasaan campuran berisikan ketakutan dan
keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab
khusus untuk ketakutan tersebut
 „Aql atau akal: sebagai organ yang mengikat dan menahan.

B
 Behaviorism: satu pandangan teoretis yang beranggapan,
bahwa pokok persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa
mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran atau
mentalitas.
 Bebas berkehendak atau the freedon of will: Kebebasan
manusia untuk menentukan sikap terhadap pelbagai kondisi
lingkungan dan terhadap dirinya sendiri.
C
 Confirmatory Factor Analysis (CFA): metode yang selain
untuk menguji unidimensionalitas juga mampu digunakan
untuk membebaskan potensi ancaman dampak bias respon
social desirability dari hasil pengukuran self-report. Metode
ini pada dasarnya dilakukan untuk menguji validitas konstruk.

209
 Campers: adalah satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan
suffice = mencukupi). Manusia yang puas dengan
mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri.
 Climbers: sebutan untuk manusia yang seumur hidup
membaktikan diri untuk pendakian. Tidak menghiraukan latar
belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib
baik dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras,
cacat fisik atau mental atau hambatan lainnya untuk
menghalangi pendakiannya menuju kesuksesan.
 Control: kontrol atau kendali yang mempertanyakan berapa
banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa
yang menimbulkan kesulitan.

D
 Depresi: pada orang normal, merupakan keadaan kemurungan
(kesedihan, kepatahan semangat) yang ditandai dengan
perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan pesimis
menghadapi masa yang akan datang. Pada kasus patologis,
merupakan ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap
perangsang, disertai menurunnya nilai diri, delusi
ketidakpasan, tidak mampu dan putus asa.
 Dependent variable: satu variabel dengan perubahan-
perubahan yang konsekuen bergantung pada perubahan atau
pada kondisi yang mendahului pada variabel lain (variabel
eksperimental atau variabel bebas lain).

E
 Emotional Quotient: kemampuan seseorang untuk menerima,
menilai, mengelola serta mengontrol emosi dirinya dan orang
lain di sekitarnya.
 Emosi: dirumuskan secara bervariasi oleh pra psikolog dengan
orientasi teoretis yang berbeda-beda, namun dengan
persesuaian umum bahwa keadaan emosional merupakan satu
reaksi komplek yang mengait satu tingkat tinggi kegiatan dan
perubahan-perubahan secara mendalam, serta dibarengi
perasaan yang kuat, atau disertai keadaan afektif.

210
 Endurance: daya tahan. Bagian dari dimensi adversity
quotient yang mempertanyakan dua hal (saling berkaitan),
berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa
lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung.

F
 Fitrah: sebagai struktur psikis manusia bukan hanya memiliki
daya-daya, melainkan sebagai identitas esensial yang
memberikan bingkai kemanusiaan bagi jiwa agar tidak
bergeser dari kemanusiaannya.

G
 Genetik: berkaitan dengan asas-asas keturunan; meyangkut
asal mula dan perkembangan suatu organisme atau
keseluruhan spesies.

H
 Hereditas: totalitas sifat-sifat karakteristik yang dibawa atau
dioper dari orang tua ke anak keturunannya.
 Hedonisme: teori psikologis yang menyatakan bahwa individu
itu bertingkah laku sedemikian rupa untuk selalu mencari
kesenangan dan menghindari kesakitan atau penderitaan.

I
 Intelligence: kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Kemampuan
menggunakan konsep abstrak secara efektif dan kemampuan
memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat.
 Intelligence Quotient: satu indeks tingkat relatif
kecemerlangan anak, setelah id dibandingkan dengan anak-
anak lain yang seusia. Kecerdasan ini diperoleh dengan
membagi usia mental dengan usia kronologis, atau
diperkalikan dengan angka 100. Seorang anak atau orang
dewasa yang mendapatkan IQ 100, adalah normal atau rata-
rata bagi usianya. IQ di atas 100 adalah di atas angka rata-rata
statistik, dan IQ di bawah 100 adalah di bawah rata-rata
statistik.

211
 Independent variabel: variabel yang dikontrol oleh peneliti,
dan yang ditetapkan pada subjek untuk menentukan
dampaknya pada reaksi subjek. Dalam korelasi sederhana,
berupa variabel standar atau atau variabel kriteria, dengan
mana variabel yang telah diukur akan dikorelasikan.
 Instrument: sebarang alat atau perlengkapan yang digunakan
untuk mengukur atau mencatat data, seperti aparat,
perlengkapan, kronometer, tes dan sebagainya.

K
 Kehendak untuk hidup bermakna atau the will to meaning:
merupakan motivasi utama manusia untuk mencari,
menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidup.

L
 Logis: menyangkut logika yang dicirikan dengan penalaran
yang sehat, benar dan tepat.
 Logoterapi: satu bentuk psikoterapi eksistensial yang didasar-
kan atas analisis arti dari eksistensi seseorang.

M
 Motivasi: satu variabel yang ikut campur untuk menimbulkan
faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkit-
kan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah-
laku menuju satu sasaran.
 Makna hidup atau the meaning of life: makna hidup itu
sifatnya unik, spesifik dan personal. Oleh karena itu, makna
hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, tetapi harus
ditemukan sendiri.

N
 Nafs: bersifat na>su>tiyyah yang merupakan sinergi antara jasad
dan ruh. Sinergi psikofisik ini akan melahirkan tingkah laku,
baik tingkah laku lahir maupun tingkah laku batin.
 Neurofisiologi: bagian dari ilmu fisiologi yang mempelajari
studi fungsi sistem saraf.

212
O
 Objek: bagian dari lingkungan yang ditangkap oleh individu
dengan sadar berupa satu materi, sasaran dan benda yang
menyebabkan satu reaksi instingtif.
 Organ: satu struktur khusus di dalam tubuh yang terpolakan
untuk melaksanakan fungsi khusus.
 Organisme: makhluk hidup yang mampu melakukan fungsi
hidup, antara lain melaksanakan metabolisme, pernapasan,
pencernaan dan reproduksi.
 Origin: asal-usul. Tertuju ke arah atau titik awal suatu operasi.
 Ownership: pengakuan. Mengakui akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab.

P
 Psikologi Islam: ilmu yang berbicara tentang manusia,
terutama masalah kepribadian manusia yang bersifat filsafat,
teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari
sumber-sumber formal Islam (al-Qur‟an dan Hadis) dan akal,
indera serta intuisi.
 Psikologi Islami: perspektif Islam terhadap Psikologi modern
dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan Islam.
 Psikoanalisis: satu sistem psikologi diarahkan pada
pemahaman, penyembuhan, dan pencegahan penyakit-
penyakit mental. Seperti yang dipikirkan oleh Sigmund Freud,
psikoanalisis merupakan satu sistem dinamis dari psikologi,
yang mencari akar-akar tingkah laku manusia di dalam
motivasi dan konflik yang tidak disadari.
 Psikologi Kognitif: salah satu cabang dari psikologi dengan
pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia,
menerima, mempersepsi, mempelajari, menalar, mengingat
dan berpikir tentang suatu informasi.
 Psikoneuroimunolgi: sebuah bidang ilmu yang meneliti
hubungan antara stres, sistem imun dan kesehatan.
 Psikoterapi: penerapan teknik khusus pada penyembuhan
penyakit mental atau pada kesulitan-kesulitan penyesuaian diri
setiap hari.

213
Q
 Qalb: atau hati disebut sebagai alat untuk memahami realitas
dan nilai-nilai. Qalb atau hati hanya menampung hal-hal yang
disadari dan keputusan qalb mengandung implikasi pahala dan
dosa.
 Quitters: manusia yang menjalani kehidupan yang tidak
terlalu menyenangkan. Meninggalkan impian-impiannya dan
memilih jalan yang dianggap lebih datar dan lebih mudah.

R
 Ruh: merupakan nyawa, terikat oleh hukum jasmani yang
dapat disebut sebagai nafs dan ruh sebagai subtansi ruhani
yang berasal dari alam amar (alam perintah) dan sedikitpun
tidak terkait dengan alam khalq (alam penciptaan).
 Reach: jangkauan. Salah satu bagian dari dimensi adversity
quotient yang mempertanyakan sejauh manakah kesulitan
akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan.

S
 Skala: satu tes yang telah dianalisis untuk memastikan, bahwa
bermacam-macam itemnya telah mengandung satu nilai,
sesuai dengan satu prinsip atau satu aturan kerja.
 Statistik: hasil suatu seri operasi matematik yang mewakili
satu populasi atau satu sampel.
 Spiritual Quotient: kecerdasan jiwa yang membantu seseorang
untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
 Spiritualitas: berasal dari kata benda bahasa Latin Spiritus
yang berarti napas dan kata kerja Spirare yang berarti untuk
bernapas. Dengan kata lain, sesuatu yang memiliki kebenaran
abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia yang di
dalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan
supernatural seperti dalam agama namun lebih menekankan
kepada pengalaman pribadi.
 Skala psikologi: satu alat untuk membuat pengukuran dari
fungsi-fungsi psikologis, seperti sikap, pertimbangan artistik
atau kemampuan mental.

214
 Syahwat: sebagai motif penggerak
 Stres: satu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun
psikologis.

V
 Validitas: sifat suatu alat pengukur, bahwa alat-alat tersebut
bisa mengukur menurut kenyataannya seperti yang
dikehendaki untuk diukur.
 Variabel: satu kuantitas yang bisa bertambah dan berkurang
atau satu faktor yang bergantung pada faktor lain.
 Value: satu ukuran kuantitatif skor atau satu sasaran sosial
yang dianggap pantas dan berharga untuk dicapai.

W
 WHO: singkatan dari World Health Organization atau badan
kesehatan dunia.

215
INDEKS
Alireza Khorsandi · 163
al-Naysa>bu>ri · 116
A al-Qur’an · 2, 5, 6, 7, 9, 13, 28, 43,
50, 56, 59, 71, 74, 75, 76, 78, 79,
Abdul Mujib · 25, 39, 46, 57, 76, 85, 86, 87, 88, 91, 95, 99, 101,
104, 117, 134 106, 108, 109, 110, 111, 112,
Abdul Qodir · 1 113, 114, 117, 118, 119, 121,
Abdul Qodir Abu Faris · 1 127, 129, 132, 134, 140, 142,
Abdul Rahman Shaleh · 42, 57, 69 143, 144, 148, 154, 159, 164,
Abraham H. Maslow · 183, 203 166, 171, 172, 182, 183, 186,
Abu Sangkan · 6, 38, 49 187, 188, 195, 201, 205, 206,
Achmad Mubarok · 1, 3, 25, 31, 60, 207, 213
87, 103, 109, 122, 156, 188 al-Tirmizi · 116
adversity quotient · 4, 5, 9, 13, 15, Amir An-Najar · 5, 6, 7, 49, 52, 72,
16, 17, 18, 19, 20, 22, 25, 26, 27, 162
29, 34, 36, 39, 40, 41, 149, 150, Andi Faisal Bakti · 123
151, 154, 156, 160, 161, 162, Andrea Knestel · 96
163, 168, 171, 173, 176, 177, Annemarie Schimmel · 139
178, 179, 191, 195, 196 Anronette R. · 26
agama · 5, 6, 7, 10, 13, 20, 25, 29, Anthony D. Ong · 27
37, 38, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 48, Ara Norenzayan · 97, 165
49, 50, 52, 54, 60, 61, 62, 63, 64, Arif Zamhari · 121
65, 67, 68, 69, 70, 72, 75, 76, 77, Arifin Ilham · 123
78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 88, Arndt Bussing · 50, 68
90, 91, 93, 96, 97, 98, 99, 101, Ashraf Al-Hadethe · 49
102, 103, 104, 105, 114, 127, Azhari Aziz Samudra · 8, 103, 106
128, 129, 135, 136, 137, 138, Azim F. Shariff · 97
142, 145, 147, 149, 152, 153,
160, 161, 163, 168, 169, 170,
171, 172, 173, 176, 177, 179, B
180, 181, 188, 189, 190, 192,
193, 194, 195, 196, 214 B.F. Skinner · 58
Ahmad Khairul Fata · 147 Baharuddin · 5, 56, 57, 59, 117, 118,
Ahmad S · 74, 166, 192 183
Ahmad. M. Thawabieh · 144 Bambang Syamsul Arifin · 7, 52
Ahmadian Elaheh · 89 Benaouda Bensaid · 108
Ahmed M. · 16, 17, 98 Benjamin Beit · 50
Aisyah Binti Syati · 99 Benjamin F. Henwood · 183
Akpenpuun · 165, 192 Bina Ciptadi · 15, 23
al-‘Asqala>ni · 53, 55 Bogor · 8, 11, 12, 13, 18, 22, 75, 77,
al-Bayhaqi · 117 123, 124, 127, 130, 131, 134,
al-Bukha>ri · 113, 117 137, 139, 141, 143, 145, 147,
Alexis Carrel · 56 149, 150, 152, 162, 164, 168,
Ali Asghar Chishti · 77 179, 181, 191, 193, 196
Aliah B. Purwakania Hasan · 50, 53, Brittany C. Hernandez · 47
130 Burhan Akpunar · 90

216
C F
Chao-Ying Shen · 33 Fadila Grine · 165
Chaplin · 3, 25, 103 Faojah · 162
Charles S. Carver · 185 Fatimah Abdullah · 108
Charles Y. Glock · 62 Fouzia Gull · 47
Chemi Gotlibovski · 106 Frank G. Goble · 60
Christian Gostecˇnik · 79 Fred N. Kerlinger · 18
Christian S. Chan · 174 Frederick Mark Gedicks · 102
Christian Zwingmann · 173 Fu’ad Jabali · 108, 154
Christopher G. Ellison · 54 Fuat Nashori Suroso · 9, 46, 70, 71,
Confirmatory Factor Analysis · 15, 73, 75
22
Crystal L. Park · 7
Cydney J. Van Dyke · 70 G
Gazi · 158, 162
D Ghazala Mir · 172, 195
Ghodratolah Bagheri · 103, 105
Danah Zohar · 4, 39, 104 Gisela van Kessel · 88
Daniel N. McIntosh · 51 Gregory S. Paul · 46
Daniel Stokols · 170 Guadalupe Manzano · 90
Daniel Winchester · 133
Dariusz Krok · 140
Darpan Kaur Mohinder Singh · 97 H
David lester · 184
David Voas · 47 Hadis · 53, 75, 76, 108, 117, 127,
Dedi Mulyana · 22 134, 142, 143, 144, 148, 159, 213
Dina Nur Amalia · 13, 14, 85, 161 Hamka · 43, 74, 92, 129, 154, 166
Dita Handayani · 107 Hani. M Henry · 90
Diyah Arfidianingrum · 40 Hanna Djumhana Bastaman · 59
Djamaludin Ancok · 9, 15, 26, 46, Haradhan Kumar Mohajan · 171
93 Haroldf G. Koenig · 45
Do Hoon Kim · 81 Harun Nasution · 43
Don E. Davis · 70 Hepi Wahyuningsi · 50, 51
Dona Eka Putri · 13, 14, 85, 161 Hisham Abu Raiya · 13, 17, 18, 19,
Dorothy Guy Bonvillain · 184 64, 68, 69, 78, 79, 139, 141, 146,
Duane Schultz · 4 147, 161, 176
Huanhuan Cao · 183
Husni Mohd Radzi · 122, 172, 194
E
Elizabeth Le Thi · 33 I
Ellen Idler · 51
Emzir · 17 Ian Marshall · 4, 39, 104
Eric Y. Liu · 79

217
Irzum Farihah · 169
Islam · 8, 9, 11, 19, 25, 29, 38, 39,
L
43, 44, 46, 48, 52, 53, 56, 57, 58,
59, 64, 68, 70, 71, 72, 73, 74, 75, Lama. M. Qaisy · 144
77, 80, 86, 89, 90, 91, 93, 94, Lea Daradal Canivek · 25
103, 104, 105, 108, 127, 131, Lea Daradal Canivel · 154
134, 137, 139, 142, 147, 148, Lewis R. Rambo · 82, 102
154, 157, 159, 163, 164, 165, Louis Dupre · 9
166, 167, 169, 171, 178, Louis Hoffman · 84, 190
181,ꬰ183, 188, 191, 192, 194,
197, 198, 202, 204, 205, 206,
207, 213 M
Itai Ivtzan · 51
M. Amin Syukur · 132
M. Darwis Hude · 56
J M. Quraish Shihab · 2, 6, 43, 74, 88,
92, 129, 142, 143, 166, 186
J. Venkatesh · 26 Magid Kagimu · 48, 94
Jahja Umar · 15, 23 majelis zikir · 8, 11, 12, 13, 18, 22,
Jalaluddin Rakhmat · 137, 157 75, 77, 122, 123, 124, 130, 131,
Jean E. Rhodes · 174 134, 137, 139, 141, 143, 145,
Jerilee Grandy · 27, 41 147, 149, 150, 152, 162, 164,
Jess Feist · 3, 194 168, 179, 181, 190, 191, 193, 196
Jim Taylor · 180 Malcolm L. Rigsby · 136
John E. Fetzer · 62 Malik B. Badri · 8, 56, 75, 192
Jorge N. Ferrer · 147 Mamta Jain · 167
Juan-Carlos Ayala · 90 Maria Nicoleta · 48
Julia Day Howell · 121 Mark W. Williams · 18, 19, 20, 40,
Jusuf Mudzakir · 25, 39, 104 41
Marta Elliott · 77
Martin E. P. Seligman · 187
Martin Van Bruinessen · 121
K Matt Bradshaw · 54
Megha M. Uplane · 16
Karl Kralovec · 78 Mehmet Sanver · 177
Kartini Kartono · 3, 25 Michael Argyle · 50
Kathryn E. Fitzpatrick · 67 Michael E. McCullough · 37
Kenneth I. Pargament · 6, 44, 80, Michele Dillon · 37
173 Michele M. Tugade · 26
Kevin Rounding · 93 Min-Li Hung · 15, 16
Kevin S. Masters · 96 Miron Zuckerman · 106
Khaidzir Ismail · 164 Mohammad Safehian · 148
Khatijah Othman · 175 Mohsen Darbanyan · 37
Komaruddin Hidayat · 6, 45, 133 Morgan Green · 77
Muhammad ‘Abduh · 2, 92
Muhammad Syukri Salleh · 49, 50
Muhammad Thochah Hasan · 2

218
Muhammad Usman Najati · 113
Mulyadhi Kartanegara · 57, 169
R
Mumuh Muhsin · 121
Murtahda Mutahhari · 98 Rabbi Cary Kozberg · 83
Musthofa · 15, 26 Rahmat Aziz · 29
Ralph W. Hood · 51, 80
Ramon Florenzano · 83
Ratna Tri Puspitasari · 41
N Raymond F. Paloutzian · 7
Razi · 58
Necla Acun Kapikiran · 77 Religare · 44
Nina Witoszek · 91 Religion · 6, 39, 44, 45, 48, 49, 62,
Nor ‘Adha Abdul Hamid · 164 104, 147
Nur Farhana Abdul Rahman · 38 Religiosity · 13, 16, 17, 51, 54, 161
Nur Mazidah · 52 Religiousness · 13, 17, 18, 19, 62,
Nyameh Jeromeh · 183 64, 67, 68, 79, 139, 140, 141,
146, 147, 161, 176
Religiusitas · 11, 13, 14, 15, 16, 17,
O 18, 19, 22, 37, 42, 45, 46, 47, 48,
49, 50, 51, 52, 54, 61, 62, 64, 65,
Odilo W. Huber · 62 66, 67, 68, 69, 83, 84, 85, 91, 94,
97, 102, 106, 121, 130, 131, 144,
148, 149, 152, 160, 161, 162,
P 163, 169, 179, 190, 191
Revati C. Deshpande · 144
Richard E. Nisbett · 36
Pao-Ling Chin · 15, 16
Rifaat Syauqi Nawawi · 5, 59, 100,
Patty Van Cappellen · 56
112
Paul G. Stoltz · 4, 5, 17, 18, 26, 30,
Robert A. Emmons · 37
31, 32, 33, 34, 35, 85, 86, 150,
Robert H. Thouless · 52, 54
153, 155, 156, 157, 158, 196
Robert Smither · 163
Paul Wink · 37
Rodney Stark · 62
Penny Pei Minn Chai · 80
Rusdin · 38
Peter Halama · 82, 136, 194
Ryan RM · 143, 145
Petruta Paraschiva · 48
Prem R. Bhardwaj · 135
Price Pritchett · 94
S

Q S. Kasen · 16, 97
S{ahi>h} Muslim · 29, 53, 54
Said Aqil Siroj · 9
Qur’an · 5, 59, 69, 71, 75, 87, 92, 98,
Saima Dawood · 47
108, 109, 112, 114, 117, 118,
Salih Yucel · 74, 166, 192
129, 132, 136, 142, 143, 154,
Sanerya Hendrawan · 39, 104
159, 164, 188, 198, 204, 207
Sapora Sipon · 175
Sayid Mujtaba Musawi Lari · 2
Setia Budi · 8, 39, 103, 106

219
Shadiya Mohamed S. Baqutayan · Utsman Najati · 7, 50, 75, 81, 94,
174 114, 158, 193
Shahzadi Pakeeza · 77
Shaista Meer · 172, 195
Shaunak Ajinkya · 97 V
Sheena Sethi · 187
Shobhna Joshi · 129, 192 Vahid Fallah · 105
Siddig Ahmad · 106, 153 Vibhawari B. Nikam · 16
Sigmund Freud · 72, 128
Siobhan McAndrew · 47
Sobhi Rayan · 178
Soha Desmukh · 90 W
Stefan Huber · 62
Stephen Murdoch · 25 Wendy Johnson · 36
Stephen W. Krauss · 80 Will M. Gervais · 165
Steven C. Bauman · 82 William L. Reese · 44
Steward Harrison Oppong · 160
Subandi · 187
Sudarwan Danim · 18 X
Suharsimi Arikunto · 22
Susan McFadden · 83 Xiuzhen · 88
Susan Tripathi · 36 Xuefu Wang · 189, 190
Sutrisno Hadi · 22
Syahda Aghnia · 128
Y
T Yadi Purwanto · 57, 58, 60, 136
Yan Tian · 88
Taheri Lari Masoud · 89 Yasemin El-Menouar · 76
Tamas Martos · 83, 96 Yasmeen Mahnaz · 146
Taufik Pasiak · 118 Yingxu Wang · 141
Taufiq Pasiak · 117, 118 Yoav Ganzach · 106
Tazeem Ali Shah Bukhari · 16 Yoo Sun Moon · 81
Thomas J. Bouchard · 36 Yuliah Singgih D. Gunarsah · 1
Thomas Moore · 138 Yung-Jong Shiah · 101
Timothy B. Smith · 37 Yunus Dogan · 90
Timothy J. Steigenga · 82
Trevor Moodley · 51
Triantoro · 138
Z
ZahraAlghafli · 132
U ZakiahDaradjat · 42, 135, 170, 193
Zeenat Ismail · 90
Ulil Abshar · 43

220
Lampiran I
Skala Psychology Measure of Islam Religiousness (PMIR)

No
No Dimensi Pernyataan
Item
1 I believe in the existence of Allah
2 I believe in the Day of judgment
Islamic Dimensions
3 I believe in the existence of paradise and hell
1. Beliefs
4 I believe in the angels, the Jinn and Satan
Dimension
5 I believe in all the prophets that Allah sent and in the
sacred texts that were revealed
1 How often do you pray?
2 How often do you go to the masjid?
3 Except in prayers, how often do you read or listen to the
2. Practices
Holy Qur’an?
Dimensions
4 How often do you fast?
5 Except in prayers, how often do you engage in d’iker
and tasbih?
1 Islam is the major reason. Why I am a humble person.
2 Islam is the major reason. Why I honor my parents.
3. EthicalConduct 3 Islam is the major reason. Why I help my relatives and
Do neighbors.
Dimension 4 Islam is the major reason. Why I assist the needy and the
1
orphans.
5 Islam is the major reason. Why I am tolerant person.
1 Islam is the major reason. Why I do not eat pork.
2 Islam is the major reason. Why I do not drink alcohol.
3 Islam is the major reason. Why I do not have sex before
4. Ethical Conduct marriage or outside it.
Do Dimension 4 Islam is the major reason. Why I do not consider
committing suicide.
5 Islam is the major reason. Why I do not engage in
gossif.
1 I consider every Muslim in the world as my brother or
sister.
2 I identify with the suffering of every Muslim in the
5. Islamic
world.
Universality
3 One of my major sources of pride is being a Muslim.
Dimension
4 I would like to live in a world ruled by the Islamic laws.
5 I believe that brotherhood and sisterhood is one the basic
tenets of Islam.
1 Becoming more involved is Islam was a turning point in
my life.
Islamic Religious
2 2 Islam has moved from the outside to the very center of
Conversion
my life.
3 At one pont in my life, I realized that Islam is the

1
solution to all of my problems.
4 All it once, I felt that my life has no meaning without
Islam.
5 All at once, I felt that I am on the wrong path and that I
should follow the fath of Allah.
6 In comparison to the way I used to be, Islam touches
every aspect of mylife.
1 When I face a problem in life, I look for a stronger
connection with Allah.
2 When I face a problem in life, I consider that a test from
Allah to deepen my belief.
3 When I face froblem in life, I seek Allah’s love and
care.
Islamic Positive 4 When I face a problem in life, I read the Holy Qur’an to
3
Religious Coping find consolation.
5 When I face a problem in life, I ask for Allah’s
forgiveness.
6 When I face a problem in life, I remind my self that
Allah commanded me to be patient.
7 When I face a problem in life, I do what I can and put
the rest in Allah’s hands.
1 When I face a problem in life, I believe that I am being
punished for bad actions I did.
2 When I face a problem in life, I voice anger that Allah
did not answer my supplications.
Islamic negatif 3 When I face a problem in life, I feel punished by Allah
4
Religius Coping for my lack of devotion.
4 When I face a problem in life, I try to make sense of the
situation with no reference to Allah.
5 When I face a problem in life, I wonder what I did for
Allah to punish me.
1 I find my self doubting the existence of Allah.
2 I find some aspects of Islam to be unfair.
Islamic Religious 3 I find my self doubting the exixtence of after life.
5
Struggle 4 I think that Islam does not fit the modern time.
5 I doubt that theHoly Qur’an is the exact words of Allah.
6 I feel that Islam makes people in tolerant.
1 I pray because I enjoy it.
2 I pray because I find it satisfying.
3 I read the HolyQur’an because I feel that Allah is
Islamic Religious talking to me when I do that.
6 Internalization- 4 I read the Holy Qur’an because I find it satisfying.
Identification 5 I fast in Ramadan because when I fast I feel close to
Allah.

2
1 I pray because if I do not, Allah will disapprove of me.
2 I read theHoly Qur’an because I would feel guilty if I
did not.
Islamic Religious
3 I goto the masjid because one is supposed to go to the
7 Internalization-
masjid.
Interjection
4 I go to the masjid because others would disapprove of
me if I did not.
5 I fast in Ramadan because I would feel bad if I did not.
1 Islam is Allah’s complete unfailing guide to happiness
and salvation, which must be totally followed.
2 Of all the people on this earth, Muslims has a special
relationship with Allah because they believe the most in
his revealed truths and try the hardest to follow his laws.
3 Islam is the best way toWorship Allah, and should
never becom promised.
4 The basic cause of evil in this world is Satan, who is
still constantly and ferociously fighting against Allah.
5 It s more important to be a good person than to believe
Islamic Religious in Allah and the right religion.
8
Exclusivism 6 No one religion is especially close to Allah, nor does
Allah favors any particular believers.
7 Allah will punish most severely those who abandon his
true religion.
8 No single book of religious writings contains all the
important truths about life.
9 Satan is just the name people give to their own bad
impulses. There really is no such thing as Satan who
tempts us.
10 There is no body of teaching, or set of scriptures, which
is completely without error.

3
Kesediaan Mengisi Skala Penelitian

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan hormat,

Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir perkuliahan (tesis) di Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya bermaksud mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh Religiusitas
Terhadap Adversity Quotient Pada Jamaah Majelis Zikir al-Zikra Bogor”
Oleh karena itu, saya meminta kesediaan saudara-saudara untuk turut serta membantu
penelitian ini dengan mengemukakan pendapat yang sejujur-jujurnya. Segala pernyataan yang
diberikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian. Saya
mengharapkan agar saudara-saudara tidak melewatkan satupun pernyataan yang ada, demi
kelengkapan informasi yang diperoleh. Sebelum diserahkan, dimohon untuk memeriksa kembali
kelengkapan jawaban saudara-saudara. Saya juga berharap hasil dari partisipasi saudara-saudara
dapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi Islam
untuk masa yang akan datang.
Saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas partisipasi, keikhlasan dan
kerjasamanya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, 1 Februari 2015


Hormat saya,

Eko Oktapiya Hadinata, S.Psi.I

4
Petunjuk Pengisian Skala
Dalam hal ini, saya mohon bantuan saudara untuk mengisi skala penelitian di bawah ini.
Terdapat dua skala dalam lembaran ini, pada kolom samping kanan terdapat lima ( 5 ) pilihan
jawaban. Bacalah setiap pernyataan di skala penelitian dengan seksama, kemudian berikan
jawaban saudara sesuai dengan keadaan sesungguhnya yang saudara rasakan dengan cara
memberikan tanda silang (X) di dalam kolom yang tersedia, seperti di bawah ini:

Contoh Pengisian Skala I:

No Item Pernyataan Kode Pilihan Jawaban


SS S AS TS STS
1 Memohon pertolongan Allah setiap dalam 
kehidupan.

Contoh Pengisian Skala II:


No Item Pernyataan
1 Orang lain tidak tanggap terhadap usulan saya di suatu majelis.
Yang menyebabkan orang tidak tanggap terhadap usulan saya adalah sesuatu yang:

Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi


dengan seluruh aspek ini saja
kehidupan saya

Kode Jawaban Skala I:


SS : Jika pernyataan tersebut Sangat Sesuai dengan keadaan saudara
S : Jika pernyataan tersebut Sesuai dengan keadaan saudara
AS : Jika pernyataan tersebut Agak Sesuai dengan keadaan saudara
TS : Jika pernyataan tersebut Tidak Sesuai dengan keadaan saudara
STS : Jika pernyataan tersebut Sangat Tidak Sesuai dengan keadaan saudara

Biodata Subjek Penelitian:


Usia :
Hari/Tanggal Pelaksanaan :
Telah Mengikuti Mejelis Zikir Sebanyak:
Pekerjaan :

5
Lampiran II
Adaptasi Skala Psychology Measure of Islam Religiousness (PMIR)

Skala I1
Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap sesuai dengan keadaan saudara, dengan cara
memberikan tanda silang (X) pada kolom yang tersedia.

No Item Pernyataan Kode Pilihan Jawaban


SS S AS TS STS
1 Saya percaya bahwa Allah itu ada
2 Saya percaya pada hari pembalasan
3 Saya percaya bahwa surga dan neraka itu ada
4 Saya percaya bahwa malaikat, jin dan setan itu ada
5 Saya percaya bahwa Nabi dan kitab suci adalah utusan
Allah
6 Melaksanakan salat lima waktu tepat pada waktunya
7 Melaksanakan salat secara berjamaah di masjid
8 Membaca al-Qur’an ketika ada waktu luang
9 Melakukan zikir setiap saat
10 Menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan puasa sunah
11 Karena saya muslim, maka saya rendah hati
12 Karena saya muslim, maka saya menghormati orangtua
13 Karena saya muslim, maka saya menolong keluarga dan
tetangga saya
14 Karena saya muslim, maka saya membantu fakir miskin
dan anak yatim-piatu
15 Karena saya muslim, maka saya bersikap toleransi
16 Karena saya muslim, maka saya tidak makan daging
babi
17 Karena saya muslim, maka saya tidak minum minuman
beralkohol
18 Karena saya muslim, maka saya tidak melakukan seks
bebas
19 Karena saya muslim, maka saya tidak berniat untuk
bunuh diri
20 Karena saya muslim, maka saya tidak melakukan gosip
21 Saya merasa bersaudara dengan muslim yang lain

 Kode Jawaban Skala Religiusitas


SS : Sangat Sesuai
S : Sesuai
AS : Agak Sesuai
TS : Tidak Sesuai
STS : Sangat Tidak Sesuai

6
22 Merasakan penderitaan yang dialami oleh setiap muslim
di tempat lain
23 Saya bangga menjadi seorang muslim

24 Semua orang memiliki derajat yang sama dalam


kehidupan sosial
25 Menjalani hidup secara islami, adalah fokus dalam
kehidupan saya
26 Iman kepada Allah adalah pusat dalam kehidupan saya
27 Menjadi seorang muslim adalah solusi untuk semua
masalah
28 Merasa hidup saya tidak berarti tanpa Islam
29 Ibadah yang saya lakukan terasa berpengaruh dalam
setiap aspek kehidupan
30 Dalam kehidupan ini, saya memohon pertolongan Allah
31 Setiap ujian yang datang, saya anggap sebagai usaha
untuk memperkuat keyakinan kepada Allah
32 Mencari keridhoan Allah dalam kehidupan ini
33 Menentramkan jiwa dengan membaca al-Qur’an
34 Memohon ampun kepada Allah, ketika ada masalah
35 Bersabar dalam setiap keadaan
362 Saya merasa dihukum karena tindakan yang saya
lakukan
37 Saya merasa benci dengan Allah karena tidak
mengabulkan do’a saya
38 Saya merasa dihukum karena kurang beribadah
39 Saya mencoba untuk memahami segala permasalahan
tanpa petunjuk Allah
40 Ketika ada masalah, saya merasa dihukum Allah
41 Merasa ragu akan adanya Allah
42 Saya merasa beberapa aspek dalam ajaran Islam tidak
adil
43 Merasa ragu akan adanya kehidupan setelah mati
44 Saya merasa bahwa Islam tidak siap dengan keadaan
zaman modern
45 Saya merasa bahwa Islam tidak toleransi
46 Saya menikmati salat berjamaah di masjid

 Kode Jawaban Skala Religiusitas


SS : Sangat Sesuai
S : Sesuai
AS : Agak Sesuai
TS : Tidak Sesuai
STS : Sangat Tidak Sesuai

7
47 Menemukan kepuasan ketika sedang salat berjamaah di
masjid
48 Saya menganggap bahwa membaca al-Qur’an adalah
salah satu ritual untuk berkomunikasi dengan Allah
49 Menemukan kepuasan ketika membaca al-Qur’an
50 Menjalankan puasa Ramadhan menjadikan dekat dengan
Allah
51 Allah akan mencela saya jika tidak mendirikan salat
52 Merasa bersalah jika tidak membaca dan memahami al-
Qur’an
53 Pergi ke masjid untuk mendirikan salat secara
berjama’ah
54 Pergi ke masjid karena ingin dilihat orang
55 Merasa bersalah jika saya tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan
56 Hanya Islam yang memberikan jalan kebahagiaan dan
keselamatan
57 Menjadi lebih baik jika beriman kepada Allah
58 Tidak ada satu agama pun yang dekat kepada Allah, dan
tidak mendukung setiap orang untuk mempercayai
sesuatu
59 Allah akan menghukum orang yang keluar (murtad) dari
agama Islam
60 Tidak ada satu buku agama pun yang berisi kebenaran
dalam hidup
61 Setan hanya sebuah nama yang selalu mencoba
membisikan keburukan, karena tidak ada selain setan
yang menggoda manusia
62 Tidak ada satu pun kitab suci tanpa kesalahan

8
Lampiran III
Adversity Respone Profile
Quick Take

1. Your coworkers are not receptive to your ideas


The reason my coworkers are not receptive to my ideas is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The reason my coworkers are not receptive to my ideas is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 Other people or factors

2. People are unresponsive to your presentation at a meeting.


The reason people are unresponsive to my presentation is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
Aspects of my life to this situation
The reason people are unresponsive to my presentation will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

3. You make a lot of money from a major investment:


The reason I am making a lot of money is semothing that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
Aspects of my life this situation
The reason I am making a lot of money will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

4. You and your loved ones seem to be drifting further and further apart.
The reason we seem to be drifting further apart is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
Aspects of my life this situation
The reason we seem to be drifting further apart will:
Always exist 1 2 3 4 5 Nevers exist again

5. Someone you respect calls you for advice.


The reason this person called me for advice is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
Aspects of my life this situation
The reason this person called me for advice will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

6. You have a heated argument with your spouse (significant ather)


The reason we have a heated argument is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The outcome of this event is something for which I feel:
Not at all responsible 1 2 3 4 5 Completely responsible

9
7. You are required to relocate in order to keep your job.
The reason I am required to relocate is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
Aspecsts of my life this situation
The reason I am required to relocate will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

8. A valued friend doesn’t call on your birthday.


The reason my friend didn’t call me is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The reason my friend didn’t call me is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 other people or factors

9. A close friend becomes seriously ill.


The reason my friend is seriously is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The outcome of this event is something for which I feel:
Not at all responsible 1 2 3 4 5 Completely responsible

10. You are invited to an important event.


The reason I am being invited is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The reason I am being invite is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 Other people or factors

11. You are turned down for an important assignment.


The reason I am being turned down for this assignment is something that:
Relate to all 1 2 3 4 5 Just relates to
Aspects of my life this situation
The reason I am being turned down for this assignment will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

12. You receive some negative feedback from a valued coworker.


The reason I am receiving negative feedback is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates
aspects of my life this situation
The reason I am receiving negative feedback will:
always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

10
13. You receive a pay increase.
The reason I am receiving a pay increase is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The reason I am receiving a pay increase is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 Other people or factors

14. Someone close to you is diagnosed with cancer.


The reason he or she has cancer is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
aspects of my life this situation
The reason he or she has cancer will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

15. Your latest investment strategy backfires.


The reason my strategy is backfiring is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
aspects of my life this situation
The reason my strategy is backfiring will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

16. You miss your airplane flight.


The reason I missed my flight is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complate control
The reason I missed is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 Other people or factors

17. You are selected for an important project.


The reason I am being selected for this project is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The outcome of this is something for which I feel:
Not all responsible 1 2 3 4 5 Completely responsible

18. The project you are in charge of fails.


The reason the project is failing is something over which I have;
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The outcome of this event is something for which I feel:
Not at all responsible 1 2 3 4 5 Completely responsible

19. Your employer offers you 30 percent pay cut to keep your job.
The reason I am askrd to take the pay cut is something over which have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The reason I am asked to take the pay cut is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 Other people or factors

11
20. You receive an unexpected gift on your birthday.
The reason I received this gift is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
aspects of my life this situation
the reason I received this gift will:
always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

21. Your car breaks down on the way to an appointment:


The reason my car broke down is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
aspects of my life this situation
The reason my car broke down will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

22. Your doctor calls to tell you that your cholesterol level is too high.
The reason my cholesterol is too high is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
aspects of my life this situation
The reason my cholesterol is too high will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

23. You are chosen to lead a major project.


The reason I am being chosen is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The reason I am being chosen is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 Other people or factors

24. You place several phone calls to a friens, and not one of them is returned.
The reason my friend did not return my call is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
aspects of my life this situation
The reason my friend did not return my call will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

25. You are publicly praised for your work.


The reason I am being praised is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates
aspects of my life this situation
The reason I am being praised will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

12
26. At your physical exam, your doctor cautions you on your health.
The reason my doctor is cautioning me is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The outcome of this event is something for which I feel:
Not at all responsible 1 2 3 4 5 Completely responsible

27. Someone you respect pays a compliment.


The reason I was paid a compliment is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The outcome of this event is something for which I feel:
Not at all responsible 1 2 3 4 5 Completely responsible

28. You receive an unfavorable performance appraisal.


The reson I am receiving this appraisal is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The outcome of this event is something for which I feel:
Not at all responsible 1 2 3 4 5 Completely responsible

29. You do not receive a much-anticipated promotion.


The reason I did not receive a promotion is something over which I have:
No control 1 2 3 4 5 Complete control
The reason I did not receive a promotion is something that completely has to do with:
Me 1 2 3 4 5 Other people or factors

30. You are elected by your peers to head an important committee.


The reason I am being elected is something that:
Relates to all 1 2 3 4 5 Just relates to
aspects of my life this situation
The reason I am being elected will:
Always exist 1 2 3 4 5 Never exist again

13
Lampiran IV
Adaptasi Skala Adversity Response Profile (ARP) Quick Take

Skala II.
Instruksi.
Ada 30 peristiwa yang didaftar. Selesaikanlah pernyataan-pernyataan untuk setiap peristiwa
dengan cara sebagai berikut.
1. Bayangkanlah seolah-olah peristiwanya sedang terjadi, meskipun tampaknya tidak realistis.
2. Untuk kedua pernyataan yang mengikuti setiap peristiwa, lingkarilah angka 1 hingga 5 yang
merupakan jawaban Anda.

No Item Pernyataan

1 Rekan-rekan kerja tidak menerima ide-ide Anda.


Yang menyebabkan rekan kerja saya tidak menerima ide saya merupakan sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
penyebab rekan kerja saya tidak menerima ide saya sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

2 Orang lain tidak tanggap terhadap usulan Anda di suatu majelis.


Yang menyebabkan orang tidak tanggap terhadap usulan saya adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruh aspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab orang tidak tanggap terhadap usulan saya:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

3 Anda mendapatkan rezeki yang banyak dari usaha Anda.


Yang menyebabkan saya mendapatkan rezeki banyak adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab saya mendapatkan rezeki yang banyak:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

4 Hubungan anda dengan orang-orang yang Anda cintai tampaknya semakin jauh.
Yang menyebabkan hubungan kami tampaknya semakin jauh adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab hubungan kami yang tampaknya semakin jauh:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

14
5 Seseorang yang Anda hormati menelepon Anda untuk minta nasihat.
Yang menyebabkan orang tersebut menelepon saya untuk minta nasihat adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab orang tersebut menelepon saya untuk minta nasihat:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

6 Anda bertengkar hebat dengan pasangan hidup anda (orang lain yang penting)
Yang menyebabkan kami bertengkar hebat adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Hasil dari peristiwa ini adalah sesuatu yang saya rasa:
Bukan 1 2 3 4 5 tanggung jawab saya
tanggung jawab saya sama sekali sepenuhnya

7 Anda diminta untuk pindah jika Anda ingin tetap bekerja.


Yang menyebabkan saya diminta untuk pindah tempat adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab saya diminta untuk pindah tempat:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada
-
8 Seorang sahabat tidak memberikan ucapan selamat terhadap kesuksesan Anda.
Yang menyebabkan sahabat saya tidak memberikan ucapan selamat adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Penyebab teman saya tidak memberikan ucapan selamat sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

9 Seorang sahabat karib Anda sakit parah.


Yang menyebabkan sahabat saya sakit parah adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Hasil dari peristiwa ini adalah sesuatu yang saya rasa:
Bukan 1 2 3 4 5 Tanggung Jawab saya
tanggung jawab saya sepenuhnya
sama Sekali

15
10 Anda diundang ke sebuah peristiwa penting.
Alasan saya diundang adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Alasan saya diundang sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

11 Anda tidak mendapat penugasan yang penting.


Yang menyebabkan saya ditolak untuk penugasan tersebut adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab saya ditolak untuk penugasan tersebut:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

12 Anda mendapat respon yang negatif dari seorang teman kerja di Majelis.
Yang menyebabkan saya mendapat respon negatif adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab saya mendapat respon negatif itu:
Selalu ada 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi

13 Anda mendapat rezeki yang tak terduga.


Penyebab saya mendapat rezeki yang tak terduga adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Penyebab saya mendapat rezeki yang tak terduga sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

14 Seseorang yang dekat dengan Anda didiagnosis menderita kanker.


Yang menyebabkan dia mengidap kanker adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab dia mengidap kanker:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

16
15 Usaha yang dilakukan mendatangkan kerugian.
Yang menyebabkan usaha saya gagal adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab usaha saya gagal”
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada
16 Anda ketinggalan Bus.
Yang menyebabkan saya ketinggalan Bus adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Penyebab saya ketinggalan Bus sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

17 Anda terpilih untuk memimpin sebuah yayasan Islam.


Alasan saya dipilih untuk memimpin ini adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Hasil dari peristiwa ini adalah sesuatu yang saya rasa:
Bukan 1 2 3 4 5 Tanggung Jawab saya
tanggung jawab sayasepenuhnya
sama sekali

18 Usaha yang Anda tangani gagal


Yang menyebabkan usaha tersebut gagal adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Hasil dari peristiwa ini adalah sesuatu yang saya rasa:
Bukan 1 2 3 4 5 Tanggung Jawab saya
tanggung jawab saya sepenuhnya
sama sekali

19 Yayasan tempat Anda bekerja menawarkan pemotongan gaji Anda sebesar 30 persen
jika Anda ingin tetap bekerja
Yang menyebabkan saya diminta menerima pemotongan gaji adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Penyebab saya diminta menerima pemotongan gaji sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

17
20 Anda menerima bantuan tidak terduga pada saat membutuhkannya.
Yang menyebabkan saya menerima bantuan tersebut adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruh aspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab saya menerima bantuan tersebut:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

21 Kendaraan Anda mogok dalam perjalanan ke majelis zikir.


Yang menyebabkan kendaraan saya mogok adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab kendaraan saya mogok:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

22 Dokter Anda memberi tahu bahwa kadar kolesterol Anda terlampau tinggi.
Yang menyebabkan kolesterol saya terlampau tinggi adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab kolesterol saya terlampau tinggi:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

23 Anda terpilih untuk memimpin pondok pesantren.


Yang menyebabkan saya terpilih adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Penyebab saya terpilih sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

24 Anda menelepon dan SMS seseorang teman berkali-kali tapi tidak satu pun yang
dibalas.
Yang menyebabkan teman saya tidak menjawab telepon saya adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab teman saya tidak menjawab telepon saya:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

18
25 Perilaku Anda dipuji di depan umum.
Yang menyebabkan saya dipuji adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruhaspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab saya dipuji:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
ada

26 Saat pemeriksaan kesehatan, dokter Anda memperingatkan kesehatan Anda.


Yang menyebabkan dokter saya memperingatkan saya adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Hasil dari peristiwa ini adalah sesuatu yang saya rasa:
Bukan 1 2 3 4 5 Tanggung Jawab saya
tanggung jawab saya sepenuhnya
sama sekali

27 Seseorang yang Anda hormati memuji Anda.


Yang menyebabkan saya mendapat pujian adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Hasil dari peristiwa ini adalah sesuatu yang saya rasa:
Bukan 1 2 3 4 5 Tanggung Jawab saya
tanggung jawab saya sepenuhnya
sama sekali

28 Hasil penilaian kinerja Anda tidak menyenangkan.


Yang menyebabkan saya menerima penilaian seperti itu adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Hasil dari peristiwa ini adalah sesuatu yang saya rasa:
Bukan 1 2 3 4 5 Tanggung Jawab saya
tanggung jawab saya sepenuhnya
sama sekali

29 Anda belum mendapatkan rezeki yang sangat anda butuhkan


Yang menyebabkan saya tidak mendapat rezeki adalah sesuatu yang:
Tidak bisa 1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan
saya kendalikan sepenuhnya
Penyebab saya tidak mendapat rezeki sepenuhnya berkaitan dengan:
Saya 1 2 3 4 5 Orang lain atau faktor lain

19
30 Anda dipilih oleh rekan-rekan untuk memimpin sebuah pondok pesantren.
Yang menyebabkan saya dipilih adalah sesuatu yang:
Berkaitan 1 2 3 4 5 Berkaitan dengan situasi
dengan seluruh aspek ini saja
kehidupan saya
Penyebab saya dipilih:
Akan selalu 1 2 3 4 5 Tidak akan pernah ada lagi
Ada

20
Lampiran V
Validitas Dengan Metode CFA (Confirmatory Factor Analysis)

1. Validitas Variabel Religiusitas


a. Uji Validitas Skala Islamic Dimensions
Skala islamic terdiri dari 24 item, peneliti menguji apakah 24
item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur
islamic saja. Dari hasil perhitungan dengan CFA dengan model satu
faktor, diperoleh hasil Chi-Square=258.88 df=252, P-value=0.36948,
RMSEA=0.013 nilai tersebut menunjukkan bahwa model fit artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) Yaitu mengukur hanya
islamic saja. Maka, diperoleh model fit seperti gambar berikut:

21
Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau
tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

Muatan Faktor Item Islamic Dimensions


No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0,29 0.14 2.16 V
2 -0.16 0.14 -1.18 X
3 0.18 0.14 1.33 X
4 -0.22 0.14 -1.58 X
5 0.18 0.14 1.31 X
6 0.59 0.13 4.48 V
7 0.50 0,13 3.77 V
8 0.42 0.13 3.10 V
9 0.42 0.13 3.14 V
10 0.47 0.13 3.54 V
11 0.68 0.13 5.26 V
12 0.69 0.13 5.32 V
13 0.71 0.13 5.54 V
14 0.52 0.13 3.91 V
15 0.56 0.13 4.21 V
16 0.48 0.13 3.56 V
17 0.59 0.13 4.51 V
18 0.29 0.14 2.12 V
19 0.40 0.13 2.96 V
20 0.51 0.13 3.82 V
21 0.40 0.13 2.98 V
22 0.67 0.13 5.18 V
23 -0.31 0.14 -2.25 X
24 0.25 0.14 1.85 X
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa t-value bagi koefisien


muatan faktor item 1, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,
20, 21 dan 22 adalah signifikan (t-value > 1.96). Sedangkan muatan
faktor 2, 3, 4, 5, 23 dan 24 tidak signifikan (t-value < 1.96). Dengan
demikian, item 2, 3, 4, 5, 23 dan 24 didrop out. Artinya bobot nilai
22
item 2, 3, 4, 5, 23 dan 24 tidak ikut dianalisis dalam penghitungan
faktor skor.

b. Uji Validitas Skala Islamic Religious Conversion


Skala islamic religious conversion terdiri dari 5 item, peneliti
menguji apakah 5 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur islamic religious conversion saja. Dari hasil
perhitungan dengan CFA dengan model satu faktor, diperoleh hasil
Chi-Square=29.00 df=5, P-value=0.00002, RMSEA=0.186 nilai
tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit. Oleh karena itu
dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu dengan lainnya. Maka
diperoleh nilai Chi-Square=4.07 df=4, P-value=0.39597,
RMSEA=0.012 nilai tersebut menunjukkan bahwa model fit artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu mengukur hanya
islamic religious conversion saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau


tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

23
Muatan Faktor Item Religious Conversion
No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.60 0.08 7.78 V
2 0.85 0.07 11.39 V
3 0.92 0.07 13.05 V
4 0.82 0.07 11.55 V
5 0.66 0.08 8.72 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak terdapat item


yang tidak signifikan (t<1.96).

c. Uji Validitas Skala Positive Religious Coping


Skala positive religious Coping terdiri dari 6 item, peneliti
menguji apakah 6 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur positive religious coping saja. Dari hasil
perhitungan dengan CFA dengan model satu faktor, diperoleh hasil
Chi-Square=18.90 df=9, P-value=0.02604, RMSEA=0.089 nilai
tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit. Oleh karena itu
dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu dengan lainnya. Maka
diperoleh nilai Chi-Square=9.07 df=8, P-value=0.33618,
RMSEA=0.031 nilai tersebut menunjukkan bahwa model fit artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu mengukur hanya
positive religious coping saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

24
Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau
tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

Muatan Faktor Item Positive Religious Coping


No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.92 0.07 13.84 V
2 0.84 0.07 11.98 V
3 0.81 0.07 11.48 V
4 0.76 0.07 10.45 V
5 0.38 0.08 4.48 V
6 0.63 0.08 7.76 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak terdapat item


yang tidak signifikan (t<1.96).

d. Uji Validitas Skala Negative Religious Coping


Skala negative religious coping terdiri dari 5 item, peneliti
menguji apakah 5 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur negative religious coping saja. Dari hasil
perhitungan dengan CFA dengan model satu faktor, diperoleh hasil
Chi-Square=16.60 df=5, P-value=0.00533, RMSEA=0.129 nilai
tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit. Oleh karena itu
dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu dengan lainnya. Maka
diperoleh nilai Chi-Square=5.30 df=4, P-value=0.25782,
RMSEA=0.048 nilai tersebut menunjukkan bahwa model fit artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu mengukur hanya
negative religious coping saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

25
Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau
tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

Muatan Faktor Item Negative Religious Coping


No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.59 0.12 5.05 V
2 0.55 0.11 4.81 V
3 0.39 0.11 3.54 V
4 0.41 0.12 3.55 V
5 0.48 0.11 4.33 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak terdapat item


yang tidak signifikan (t<1.96).

e. Uji Validitas Skala Islamic Religious Struggle


Skala islamic religious struggle terdiri dari 5 Item. Peneliti
menguji apakah 5 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur islamic religious struggle saja. Dari hasil
perhitungan dengan CFA dengan model satu faktor, diperoleh hasil
Chi-Square=62.11 df=5, P-value=0.00000, RMSEA=0.287 nilai
tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit. Oleh karena itu

26
dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu dengan lainnya. Maka
diperoleh nilai Chi-Square=1.51 df=2, P-value=0.46984,
RMSEA=0.000 nilai tersebut menunjukkan bahwa model fit artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu mengukur hanya
islamic religious struggle saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau


tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

Muatan Faktor Item Islamic Religious Struggle


No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.81 0.07 11.51 V
2 0.95 0.06 14.77 V
3 0.78 0.07 10.87 V
4 0.92 0.07 13.78 V
5 0.93 0.06 14.36 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak terdapat item


yang tidak signifikan (t<1.96).

27
f. Uji Validitas Skala Islamic Religious Internalization-
Identification
Skala islamic religious internalization-identification terdiri
dari 5 Item. Peneliti menguji apakah 5 item yang ada bersifat
unidimensional, artinya benar hanya mengukur islamic religious
internalization-identification saja. Dari hasil perhitungan dengan CFA
dengan model satu faktor, diperoleh hasil Chi-Square=47.99 df=5, P-
value=0.00000, RMSEA=0.249 nilai tersebut menunjukkan bahwa
model tidak fit. Oleh karena itu dilakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu dengan lainnya. Maka diperoleh nilai Chi-
Square=5.12 df=3, P-value=0.16290, RMSEA=0.071 nilai tersebut
menunjukkan bahwa model fit artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) yaitu mengukur hanya islamic religious
internalization-identification saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau


tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

28
Muatan Faktor Item Islamic Religious Internalization-
Identification
No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.66 0.08 8.50 V
2 0.86 0.07 12.22 V
3 0.78 0.07 10.71 V
4 0.94 0.07 14.15 V
5 0.71 0.08 9.26 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak terdapat item


yang tidak signifikan (t<1.96).

g. Uji Validitas Skala Islamic Religious Internalization-


Introjection
Skala islamic religious internalization-introjection terdiri dari
5 Item. Peneliti menguji apakah 5 item yang ada bersifat
unidimensional, artinya benar hanya mengukur islamic religious
internalization-introjection saja. Dari hasil perhitungan dengan CFA
dengan model satu faktor, diperoleh hasil Chi-Square=12.57 df=5, P-
value=0.02775, RMSEA=0.104 nilai tersebut menunjukkan bahwa
model tidak fit. Oleh karena itu dilakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu dengan lainnya. Maka diperoleh nilai Chi-
Square=2.41 df=4, P-value=0.66120, RMSEA=0.000 nilai tersebut
menunjukkan bahwa model fit artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) yaitu mengukur hanya islamic religious
internalization-introjection saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

29
Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau
tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

Muatan Faktor Item Islamic Religious Internalization-Interjection


No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.48 0.12 4.12 V
2 0.48 0.14 3.41 V
3 0.52 0.14 3.63 V
4 -0.40 0.11 -3.62 X
5 0.30 0.11 2.75 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa t-value bagi koefisien


muatan faktor item 1, 2, 3 dan 5 adalah signifikan (t-value > 1.96).
Sedangkan muatan faktor 4 tidak signifikan (t-value < 1.96). Dengan
demikian, item 4 didrop out. Artinya bobot nilai item 4 tidak ikut
dianalisis dalam penghitungan faktor skor.

30
h. Uji Validitas Skala Islamic Religious Exclusivism
Skala islamic religious exclusivism terdiri dari 7 item. Peneliti
menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur islamic religious exclusivism saja. Dari hasil
perhitungan dengan CFA dengan model satu faktor, diperoleh hasil
Chi-Square=136.44 df=14, P-value=0.00000, RMSEA=0.251 nilai
tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit. Oleh karena itu
dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu dengan lainnya. Maka
diperoleh nilai Chi-Square=12.51 df=8, P-value=0.12997,
RMSEA=0.064 nilai tersebut menunjukkan bahwa model fit artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu mengukur hanya
islamic religious exclusivism saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau


tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

31
Muatan Faktor Item Islamic Religious Exclusivism
No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.36 0.09 3.96 V
2 0.60 0.10 6.01 V
3 0.41 0.09 4.47 V
4 1.00 0.12 8.23 V
5 0.32 0.09 3.63 V
6 -0.07 0.08 -0.84 X
7 0.06 0.08 0.76 X
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa t-value bagi koefisien


muatan faktor item 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah signifikan (t-value > 1.96).
Sedangkan muatan faktor 6 dan 7 tidak signifikan (t-value < 1.96).
Dengan demikian, item 6 dan 7 didrop out. Artinya bobot nilai item 6
dan 7 tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor.

2. Validitas Variabel Adversity Quotient


a. Uji Validitas Skala Control
Skala control terdiri dari 15 item. Peneliti menguji apakah 15
item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur
control saja. Dari hasil perhitungan dengan CFA dengan model satu
faktor, diperoleh hasil Chi-Square=129.03 df=90, P-value=0.00441,
RMSEA=0.056 nilai tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit.
Oleh karena itu dilakukan modifikasi terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
dengan lainnya. Maka diperoleh nilai Chi-Square=104.98 df=88, P-
value=0.10463, RMSEA=0.037 nilai tersebut menunjukkan bahwa
model fit artinya model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu
mengukur hanya control saja. Maka, diperoleh model fit seperti
gambar berikut:

32
Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau
tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:
Muatan Faktor Item Control
No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.46 0.10 4.68 V
2 0.47 0.10 4.84 V
3 0.29 0.10 2.86 V
4 0.30 0.10 2.96 V
5 0.44 0.10 4.52 V
6 0.34 0.10 3.29 V
7 0.18 0.10 1.78 X
8 0.14 0.10 1.38 X
9 0.43 0.10 4.27 V
10 0.26 0.10 2.60 V
11 0.01 0.11 0.09 X
12 0.04 0.10 0.37 X
13 0.27 0.10 2.68 V
14 0.47 0.10 4.81 V
15 0.40 0.10 4.08 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

33
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa t-value bagi koefisien
muatan faktor item 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 13, 14 dan 15 adalah
signifikan (t-value > 1.96). Sedangkan muatan faktor 7, 8, 11 dan 12
tidak signifikan (t-value < 1.96). Dengan demikian, item 7, 8, 11 dan
12 didrop out. Artinya bobot nilai item 7, 8, 11 dan 12 tidak ikut
dianalisis dalam penghitungan faktor skor.

b. Uji Validitas Skala Origin and Ownership


Skala origin and ownership terdiri dari 15 item. Peneliti
menguji apakah 15 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur origin and ownership saja. Dari hasil
perhitungan dengan CFA dengan model satu faktor, diperoleh hasil
Chi-Square=155.44 df=90, P-value=0.00002, RMSEA=0.072 nilai
tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit. Oleh karena itu
dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu dengan lainnya. Maka
diperoleh nilai Chi-Square=102.53 df=83, P-value=0.07193,
RMSEA=0.041 nilai tersebut menunjukkan bahwa model fit artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu mengukur hanya
origin and ownership saja. Maka, diperoleh model fit seperti gambar
berikut:

34
Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau
tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

Muatan Faktor Item Origin and Ownership


No Koefisien Standar Nilai t Signifikansi
Eror
1 0.63 0.09 7.19 V
2 0.38 0.10 3.96 V
3 0.47 0.09 5.13 V
4 0.33 0.09 3.48 V
5 0.38 0.09 4.10 V
6 0.43 0.09 4.68 V
7 0.39 0.09 4.12 V
8 0.52 0.09 5.82 V
9 0,23 0.09 2.42 V
10 0.28 0.09 2.99 V
11 0.25 0.10 2.58 V
12 0.31 0.10 3.17 V
13 0.36 0.09 3.86 V
14 0.02 0.10 0.23 X
15 0.48 0.09 5.22 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa t-value bagi koefisien


muatan faktor item 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan 15 adalah
signifikan (t-value > 1.96). Sedangkan muatan faktor 14 tidak
signifikan (t-value < 1.96). Dengan demikian, item 14 didrop out.
Artinya bobot nilai item 4 tidak ikut dianalisis dalam penghitungan
faktor skor.

c. Uji Validitas Skala Reach


Skala reach terdiri dari 15 item. Peneliti menguji apakah 15
item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur
reach saja. Dari hasil perhitungan dengan CFA dengan model satu
faktor, diperoleh hasil Chi-Square=153.85 df=90, P-value=0.00003,
RMSEA=0.071 nilai tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit.
Oleh karena itu dilakukan modifikasi terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
35
dengan lainnya. Maka diperoleh nilai Chi-Square=108.42 df=86, P-
value=0.05153, RMSEA=0.043 nilai tersebut menunjukkan bahwa
model fit artinya model dengan satu faktor (unidimensional) yaitu
mengukur hanya reach saja. Maka, diperoleh model fit seperti gambar
berikut:

Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau


tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:

36
Muatan Faktor Item Reach
No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.02 0.10 0.15 X
2 0.17 0.10 1.69 X
3 0.16 0.10 1.60 X
4 0.60 0.10 6.13 V
5 0.38 0.10 3.79 V
6 0.25 0.10 2.49 V
7 0.46 0.10 4.58 V
8 -0.05 0.10 -0.44 X
9 0.26 0.10 2.54 V
10 0.31 0.10 3.12 V
11 0.25 0.11 2.34 V
12 0.30 0.10 3.02 V
13 0.42 0.10 4.20 V
14 0.45 0.10 4.53 V
15 0.31 0.10 3.04 V
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa t-value bagi koefisien


muatan faktor item 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 adalah
signifikan (t-value > 1.96). Sedangkan muatan faktor 1, 2, 3 dan 8
tidak signifikan (t-value < 1.96). Dengan demikian, item 1, 2, 3 dan 8
didrop out. Artinya bobot nilai item 1, 2, 3 dan 8 tidak ikut dianalisis
dalam penghitungan faktor skor.

d. Uji Validitas Skala Endurence


Skala endurence terdiri dari 15 item. Peneliti menguji apakah
15 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya
mengukur endurence saja. Dari hasil perhitungan dengan CFA dengan
model satu faktor, diperoleh hasil Chi-Square=168.64 df=90, P-
value=0.00000, RMSEA=0.079 nilai tersebut menunjukkan bahwa
model tidak fit. Oleh karena itu dilakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu dengan lainnya. Maka diperoleh nilai Chi-
Square=99.86 df=83, P-value=0.10025, RMSEA=0.038 nilai tersebut
menunjukkan bahwa model fit artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) yaitu mengukur hanya endurence saja. Maka,
diperoleh model fit seperti gambar berikut:

37
Selanjutnya, kualitas item dapat dilihat dari signifikan atau
tidaknya item tersebut, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu digugurkan atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor pada setiap item dengan melihat nilai
t pada setiap koefisien muatan faktor, seperti terlihat dalam tabel
berikut:
Muatan Faktor Item Endurance
No Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
1 0.07 0.09 0.82 X
2 0.75 0.12 6.06 V
3 0.57 0.13 4.47 V
4 -0.06 0.09 -0.71 X
5 0.29 0.09 3.32 V
6 0.37 0.09 4.08 V
7 0.11 0.09 1.26 X
8 0.15 0.09 1.76 X
9 0.03 0.09 0.33 X
10 0.34 0.09 3.78 V
11 0.17 0.09 1.98 V
12 0.26 0.09 3.00 V
13 -0.13 0.09 -1.54 X
14 0.25 0.09 2.80 V
15 0.11 0.09 1.25 X
Keterangan: V = Signifikan (t > 1.96)
X = Tidak Signifikan
38
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa t-value bagi koefisien
muatan faktor item 2, 3, 5, 6, 10, 11, 12, dan 14 adalah signifikan (t-
value > 1.96). Sedangkan muatan faktor 1, 4, 7, 8, 9, 13 dan 15 tidak
signifikan (t-value < 1.96). Dengan demikian, item 1, 4, 7, 8, 9, 13 dan
15 didrop out. Artinya bobot nilai item 1, 4, 7, 8, 9, 13 dan 15 tidak
ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor.

39
Lampiran VI
Nilai T-Score

Islamic Islamic Positive Islamic Negative Islamic Islamic Religious Islamic Religious Islamic
Adversity Islamic
Religious Religious Religious Religious Internalization- Internalization- Religious
Quotient Dimensions
Conversion Coping Coping Struggle Identification Interjection Exclusivism
51,86 43,89 41,99 41,23 49,17 47,36 37,82 41,73 48,51
48,11 53,22 56,07 54,38 53,08 47,53 47,03 43,99 36,00
57,13 44,93 54,54 55,33 54,65 55,19 56,87 51,98 58,17
26,55 26,45 53,01 53,43 50,74 55,19 41,43 53,77 58,17
34,80 61,17 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 45,36 58,17
48,50 61,50 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 49,75 58,17
42,29 50,22 48,77 51,15 56,16 55,19 56,87 58,75 57,29
31,94 59,18 56,07 55,33 56,16 55,19 56,87 49,75 58,17
56,59 62,87 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 52,04 57,29
52,50 62,87 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 56,46 58,17
32,47 61,43 56,07 55,33 56,96 55,19 -4,21 23,89 52,54
33,59 42,25 38,89 32,72 42,00 40,58 41,60 40,85 42,48
39,61 46,84 25,54 40,13 38,65 40,58 41,60 49,75 42,54
52,52 57,78 44,28 55,03 53,89 55,19 39,91 50,69 45,60
47,77 27,47 21,71 25,32 56,16 55,19 48,46 49,35 46,08
50,12 49,84 51,06 55,33 31,56 40,58 48,91 57,40 41,39
55,33 54,49 56,07 55,33 49,06 46,06 56,87 56,46 50,37
35,23 34,78 47,24 55,33 51,41 40,58 46,14 56,46 52,79
54,32 39,55 38,89 53,48 53,89 55,19 45,17 42,64 36,66
51,20 58,29 56,07 54,38 45,75 55,19 56,87 56,06 58,17
44,59 47,22 56,07 54,38 26,74 23,46 56,87 58,75 56,20
47,54 53,76 56,07 54,38 51,41 55,19 56,87 56,46 58,17
41,11 41,77 44,28 44,99 23,49 55,19 45,80 47,56 45,60
41,26 48,64 23,62 45,94 41,30 48,80 49,11 41,79 58,17
48,41 48,45 53,78 50,25 56,26 50,04 55,01 55,12 58,17
63,28 48,65 53,78 48,76 38,05 51,16 28,19 53,86 51,17
62,63 54,77 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 45,33 41,58
56,51 51,98 56,07 53,48 53,18 55,19 56,87 47,47 56,04
36,57 32,72 54,54 53,18 55,42 55,19 56,87 58,75 58,17
36,25 61,28 2,63 40,73 56,96 55,19 47,58 43,05 54,67
59,89 48,36 56,07 55,33 37,95 40,58 41,60 52,04 50,18
45,50 44,61 52,25 47,50 53,08 55,19 41,60 53,86 41,21
44,95 39,64 56,07 38,76 41,86 55,19 47,05 50,69 54,22
61,49 43,94 36,07 29,90 53,82 32,92 36,19 48,41 51,35
72,66 61,47 56,07 54,38 54,72 55,19 51,23 50,69 58,17
50,86 27,18 41,48 33,25 36,44 55,19 47,03 57,40 54,76
50,96 44,80 54,54 53,48 54,72 55,19 56,87 58,75 39,96
43,42 45,71 56,07 55,33 54,76 55,19 56,87 34,99 58,17
33,77 52,39 47,24 42,29 42,00 14,60 36,31 44,78 34,21
40,89 57,29 56,07 55,33 49,80 55,19 54,55 48,50 44,80
44,61 50,74 53,01 55,03 46,02 55,19 48,91 57,40 46,96
53,02 42,65 49,53 43,74 36,51 45,03 56,87 47,56 30,96
49,17 62,31 56,07 54,38 55,42 55,19 56,87 58,75 48,69
43,87 39,11 56,07 54,08 45,85 43,56 53,15 58,75 49,01
41,15 51,78 49,53 53,48 53,11 55,19 56,87 57,40 54,57
50,95 38,78 54,54 54,08 54,02 55,19 48,91 58,75 58,17
43,90 49,94 53,78 52,48 54,72 55,19 56,87 57,40 43,37
50,65 32,31 49,53 55,33 45,15 55,19 56,87 49,75 57,18
59,24 42,90 54,54 52,93 56,26 55,19 51,29 56,46 54,22
41,46 53,18 52,25 52,18 37,22 42,35 48,91 47,47 40,65
53,50 53,83 54,54 53,78 53,22 55,19 56,87 40,44 54,22

40
48,12 60,06 56,07 55,33 51,41 55,19 56,87 34,99 44,54
38,62 29,34 35,68 47,61 40,46 31,78 41,14 58,75 49,93
65,37 62,87 56,07 55,33 52,52 55,19 56,87 53,86 58,17
57,89 54,80 51,06 55,03 56,26 55,19 54,99 58,75 54,22
69,19 50,92 56,07 53,43 56,96 55,19 56,87 54,18 54,22
43,16 53,73 51,06 54,43 56,96 55,19 36,31 43,05 56,04
55,54 62,87 56,07 55,33 50,00 55,19 56,87 45,33 51,35
58,61 44,86 45,81 53,43 37,25 40,58 43,46 48,41 48,05
53,25 50,39 50,72 54,08 44,31 52,69 53,30 40,35 38,79
50,35 42,85 54,54 44,19 17,23 34,60 30,09 55,12 32,35
41,70 51,35 43,52 34,80 41,20 11,36 45,34 50,63 33,11
48,92 49,13 38,89 34,50 56,96 55,19 41,60 47,56 42,38
41,85 46,44 56,07 54,38 40,29 39,29 52,69 40,85 34,16
48,52 62,87 39,26 54,38 49,17 55,19 54,55 57,40 43,68
54,38 52,47 56,07 54,13 53,18 55,19 56,87 31,92 58,17
39,45 41,59 38,89 34,50 38,65 55,19 41,60 47,15 45,60
69,32 62,87 56,07 55,33 52,41 52,69 56,87 55,20 58,17
65,33 47,60 53,78 47,72 50,00 48,74 56,87 47,06 52,63
50,14 43,78 40,43 34,50 54,62 40,58 30,73 47,47 34,47
69,95 53,09 56,07 50,20 54,72 55,19 49,09 57,40 58,17
51,75 50,23 52,97 47,24 33,90 53,57 45,60 42,64 58,17
55,06 47,24 56,07 55,33 54,76 55,19 50,36 43,05 49,65
41,64 47,55 23,15 49,90 54,72 55,19 47,05 49,35 47,87
62,78 37,86 41,99 42,11 54,72 37,04 41,60 43,99 54,34
53,25 40,47 47,00 51,68 53,11 55,19 49,35 47,06 54,76
48,53 59,00 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 49,75 55,21
65,57 44,81 37,55 -28,00 56,96 43,54 3,32 56,46 56,04
43,99 52,64 56,07 55,33 54,02 55,19 56,87 38,07 56,20
55,09 56,56 56,07 54,38 55,56 55,19 51,23 58,75 58,17
43,11 43,48 56,07 53,43 53,89 55,19 56,87 43,05 51,35
45,09 52,48 50,82 54,38 53,22 47,53 56,87 37,30 50,00
51,28 61,74 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 55,12 58,17
56,83 62,16 56,07 55,33 56,16 55,19 56,87 42,64 58,17
52,99 61,50 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 58,75 58,17
54,15 62,87 56,07 55,33 56,16 55,19 56,87 43,92 58,17
62,53 62,87 56,07 54,13 54,76 55,19 56,87 57,40 58,17
52,90 54,54 54,54 54,38 36,41 55,19 56,87 57,40 54,76
48,51 53,79 54,54 44,99 52,38 55,19 51,44 52,92 58,17
60,00 54,46 56,07 55,03 52,41 52,69 56,87 55,20 57,18
57,77 43,79 52,97 49,17 51,41 55,19 56,87 50,69 40,94
41,99 58,35 47,24 55,03 56,96 55,19 56,87 47,56 44,83
44,55 52,82 56,07 54,08 54,72 48,57 56,87 58,75 32,77
57,37 37,67 54,54 55,33 50,70 11,36 28,19 41,70 28,80
41,09 62,87 56,07 55,33 56,26 55,19 47,66 50,69 55,60
73,47 62,87 54,54 51,15 55,42 55,19 56,87 58,75 42,22
52,85 57,47 56,07 54,38 44,94 23,58 49,37 50,69 49,67
39,24 27,86 40,70 48,95 56,26 51,16 43,48 39,41 58,17
43,34 41,99 38,89 34,20 36,44 47,53 41,60 46,21 42,40
48,92 41,32 56,07 45,82 53,89 55,19 47,03 56,06 58,17
38,52 53,82 53,78 54,38 55,42 55,19 56,87 58,75 48,21
41,15 38,39 49,29 50,20 50,87 55,19 55,01 55,20 57,18
42,04 39,85 56,07 51,03 49,90 51,16 51,44 47,06 50,18
49,52 51,13 51,06 52,63 55,42 52,69 39,91 41,70 51,61
44,35 48,52 44,28 43,44 26,00 42,20 39,28 35,87 37,29
33,36 38,48 56,07 53,78 48,40 51,16 49,58 41,70 41,05
42,60 53,24 56,07 54,08 56,96 46,24 54,55 34,99 42,08
69,41 40,31 56,07 49,82 46,55 52,69 56,87 52,83 58,17
41
65,14 61,53 56,07 55,33 54,76 55,19 56,87 54,26 58,17
50,72 49,42 51,44 48,57 55,46 48,65 51,23 32,79 54,57
58,12 48,19 33,78 49,17 54,62 47,53 52,66 48,50 55,05
56,38 46,09 41,99 34,80 53,92 55,19 43,92 37,30 55,16
47,81 52,17 41,99 55,03 45,04 55,19 56,87 56,46 54,22
46,40 34,68 56,07 51,98 55,42 8,85 45,78 47,56 25,26
44,66 59,58 47,99 54,13 55,46 40,01 56,87 54,26 57,18
54,89 34,64 31,60 34,50 20,55 24,67 41,60 55,20 44,80
42,72 48,86 56,07 55,33 56,26 55,19 56,87 58,75 56,20
55,01 45,80 56,07 54,38 47,53 48,65 54,99 44,86 40,25
46,59 49,75 53,78 55,33 38,05 47,36 51,44 49,75 54,73
53,67 47,37 44,59 52,93 56,96 37,40 56,87 50,69 41,39
52,19 42,75 29,83 46,85 47,63 55,19 41,60 47,06 35,04
45,57 58,23 43,52 54,43 49,87 52,28 43,46 48,50 41,24
48,59 50,35 41,62 53,43 53,22 55,19 47,03 48,50 56,04
57,59 56,25 56,07 50,20 54,72 55,19 53,13 48,41 49,22
45,97 58,86 44,66 55,33 56,16 50,04 47,66 47,56 43,25
50,41 62,87 56,07 55,33 56,16 55,19 56,87 58,75 58,17
48,51 50,51 49,29 42,33 56,96 55,19 53,30 58,75 55,60
46,90 62,87 56,07 55,33 56,26 55,19 56,87 56,46 58,17
53,67 53,50 56,07 46,64 51,68 53,90 56,87 55,12 30,94
71,79 59,14 49,53 53,43 54,72 55,19 56,87 52,92 42,21
51,51 43,69 54,54 49,00 55,42 51,39 47,03 56,55 58,17
56,51 60,40 56,07 55,33 56,26 55,19 50,97 57,40 52,60
55,22 32,16 43,52 47,80 36,41 43,50 41,60 55,12 51,64
49,07 54,24 37,36 53,43 52,41 52,69 56,87 55,12 53,77
40,87 44,14 56,07 50,20 30,86 55,19 56,87 46,30 44,83
46,94 61,99 56,07 53,18 55,42 55,19 55,01 45,33 38,12
50,30 47,76 52,97 49,90 54,72 55,19 41,60 48,41 45,81
49,62 58,23 50,82 49,00 49,87 55,19 54,55 55,20 52,01
49,31 61,50 53,78 42,59 54,72 55,19 54,99 48,41 58,17
54,62 50,39 54,54 55,33 53,82 51,16 56,87 57,40 58,17

42
Lampiran VII
Uji Hipotesis

Sum of
Model Squares Dr Mean Square F Sig.
1 Regression 1531,180 8 191,398 2,573 ,012(a)
Residual 9743,707 131 74,379
Total 11274,887 139
a Predictors: (Constant), Reexclus, Posreco, Interintro, Nereco, Islamic, Reliconver, Restrug, Interiden
b DependentVariable: Adversity

Lampiran VIII
Kontribusi ReligiusitasTerhadap AdversityQuotient

Std. Error ChangeStatistics


R Adjusted
Model R Square R Square
of the
Estimate R Square Sig. F
F Change df1 df2
Change Change
,369
1 ,136 ,083 8,62435 ,136 2,573 8 131 ,012
(a)
a Predictors: (Constant), Reexclus, Posreco, Interintro, Nereco, Islamic, Reliconver, Restrug, Interiden

Lampiran IX
Analisis Regresi Dimensi Religiusitas Terhadap AdversityQuotient
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
(Constant) 25,655 8,040 3,191 ,002
Islamic Dimensions ,184 ,092 ,187 2,010 ,046
Islamic Religious Conversions ,209 097 ,206 2,153 ,033
Islamic Positive Religious Coping -,254 106 -,263 -2,400 ,018
Islamic Negative Religioius
Coping
,061 100 ,057 ,612 ,541
Islamic Religious Struggle -,016 095 -,017 -,174 ,862
Islamic Religious Internalization-
Identification
,075 103 ,078 ,730 ,467
Islamic Religious Internalization-
Introjection
,189 111 ,149 1,706 ,090
Islamic Religious Exclusivism ,040 104 ,036 ,382 ,703

a Dependent Variable: Adversity

43
Lampiran X
Kontribusi Dimensi Religiusitas Terhadap AdversityQuotient

Model Summary
R Adjusted Std. Error of
Model R Square R Square theEstimate ChangeStatistics
R Square F Sig. F
Change Change df1 df2 Change
1 ,207(a) ,043 ,036 8,84326 ,043 6,174 1 138 ,014
2 ,244(b) ,060 ,046 8,79700 ,017 2,455 1 137 ,119
3 ,312(c) ,097 ,077 8,65059 ,038 5,677 1 136 ,019
4 ,318(d) ,101 ,074 8,66518 ,004 ,542 1 135 ,463
5 ,318(e) ,101 ,068 8,69523 ,000 ,069 1 134 ,794
6 ,337(f) ,114 ,074 8,66885 ,012 1,817 1 133 ,180
7 ,367(g) ,135 ,089 8,59640 ,021 3,251 1 132 ,074
8 ,369(h) ,136 ,083 8,62435 ,001 ,146 1 131 ,703
a Predictors: (Constant), Islamic
b Predictors: (Constant), Islamic, Reliconver
c Predictors: (Constant), Islamic, Reliconver, Posreco
d Predictors: (Constant), Islamic, Reliconver, Posreco, Nereco
e Predictors: (Constant), Islamic, Reliconver, Posreco, Nereco, Restrug
f Predictors: (Constant), Islamic, Reliconver, Posreco, Nereco, Restrug, Interiden
g Predictors: (Constant), Islamic, Reliconver, Posreco, Nereco, Restrug, Interiden, Interintro
h Predictors: (Constant), Islamic, Reliconver, Posreco, Nereco, Restrug, Interiden, Interintro, Reexclus

Lampiran XI
Deskriptif Statistik

Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
Adversity Quotient 140 26,55 73,47 50,0000 9,00635
Islamic Dimensions 140 26,45 62,87 50,0000 9,13299
Islamic Religious Conversion 140 2,63 56,07 50,0000 8,89498
Islamic Positive Religious Coping 140 -28,00 55,33 50,0000 9,31939
Islamic Negative Religious Coping 140 17,23 56,96 50,0000 8,40747
Islamic Religious Struggle 140 8,85 55,19 50,0000 9,54769
Islamic Religious Internalization-
Identification
140 -4,21 56,87 50,0000 9,39712
Islamic Religious Internalization-
Inrojection
140 23,89 58,75 50,0000 7,09968
Islamic Religious Exclusivism 140 25,26 58,17 50,0000 8,24652
Valid N (listwise) 140

Lampiran XII
Deskriptif Statistik Adversity Quotient

Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
Adversity Quotient 140 155 219 186.34 11.852
Valid N (listwise) 140

44
Lampiran XIII
Nilai Kategorisasi T (Tinggi) dan R (Rendah)

DV IV 1 IV2 IV3 IV4 IV5 IV6 IV7 IV8


1
T 51,86 R 43,89 R 41,99 R 41,23 R 49,17 R 47,36 R 37,82 R 41,73 R 48,51
2 R T T T T R R R R
48,11 53,22 56,07 54,38 53,08 47,53 47,03 43,99 36
3
T 57,13 R 44,93 T 54,54 T 55,33 T 54,65 T 55,19 T 56,87 T 51,98 T 58,17
4 R R T T T T R T T
26,55 26,45 53,01 53,43 50,74 55,19 41,43 53,77 58,17
5
R 34,8 T 61,17 T 56,07 T 55,33 T 56,96 T 55,19 T 56,87 R 45,36 T 58,17
6 R T T T T T T R T
48,5 61,5 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 49,75 58,17
7
R 42,29 T 50,22 R 48,77 T 51,15 T 56,16 T 55,19 T 56,87 T 58,75 T 57,29
8 R T T T T T T R T
31,94 59,18 56,07 55,33 56,16 55,19 56,87 49,75 58,17
9
T 56,59 T 62,87 T 56,07 T 55,33 T 56,96 T 55,19 T 56,87 T 52,04 T 57,29
10 T T T T T T T T T
52,5 62,87 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 56,46 58,17
11
R 32,47 T 61,43 T 56,07 T 55,33 T 56,96 T 55,19 R -4,21 R 23,89 T 52,54
12 R R R R R R R R R
33,59 42,25 38,89 32,72 42 40,58 41,6 40,85 42,48
13
R 39,61 R 46,84 R 25,54 R 40,13 R 38,65 R 40,58 R 41,6 R 49,75 R 42,54
14 T T R T T T R T R
52,52 57,78 44,28 55,03 53,89 55,19 39,91 50,69 45,6
15
R 47,77 R 27,47 R 21,71 R 25,32 T 56,16 T 55,19 R 48,46 R 49,35 R 46,08
16 T R T T R R R T R
50,12 49,84 51,06 55,33 31,56 40,58 48,91 57,4 41,39
17
T 55,33 T 54,49 T 56,07 T 55,33 R 49,06 R 46,06 T 56,87 T 56,46 T 50,37
18 R R R T T R R T T
35,23 34,78 47,24 55,33 51,41 40,58 46,14 56,46 52,79
19
T 54,32 R 39,55 R 38,89 T 53,48 T 53,89 T 55,19 R 45,17 R 42,64 R 36,66
20 T T T T R T T T T
51,2 58,29 56,07 54,38 45,75 55,19 56,87 56,06 58,17
21
R 44,59 R 47,22 T 56,07 T 54,38 R 26,74 R 23,46 T 56,87 T 58,75 T 56,2
22 R T T T T T T T T
47,54 53,76 56,07 54,38 51,41 55,19 56,87 56,46 58,17
23
R 41,11 R 41,77 R 44,28 R 44,99 R 23,49 T 55,19 R 45,8 R 47,56 R 45,6

45

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
24 R R R R R R R R T
41,26 48,64 23,62 45,94 41,3 48,8 49,11 41,79 58,17
25
R 48,41 R 48,45 T 53,78 T 50,25 T 56,26 T 50,04 T 55,01 T 55,12 T 58,17
26 T R T R R T R T T
63,28 48,65 53,78 48,76 38,05 51,16 28,19 53,86 51,17
27
T 62,63 T 54,77 T 56,07 T 55,33 T 56,96 T 55,19 T 56,87 R 45,33 R 41,58
28 T T T T T T T R T
56,51 51,98 56,07 53,48 53,18 55,19 56,87 47,47 56,04
29
R 36,57 R 32,72 T 54,54 T 53,18 T 55,42 T 55,19 T 56,87 T 58,75 T 58,17
30 R T R R T T R R T
36,25 61,28 2,63 40,73 56,96 55,19 47,58 43,05 54,67
31
T 59,89 R 48,36 T 56,07 T 55,33 R 37,95 R 40,58 R 41,6 T 52,04 T 50,18
32 R R T R T T R T R
45,5 44,61 52,25 47,5 53,08 55,19 41,6 53,86 41,21
33
R 44,95 R 39,64 T 56,07 R 38,76 R 41,86 T 55,19 R 47,05 T 50,69 T 54,22
34 T R R R T R R R T
61,49 43,94 36,07 29,9 53,82 32,92 36,19 48,41 51,35
35
T 72,66 T 61,47 T 56,07 T 54,38 T 54,72 T 55,19 T 51,23 T 50,69 T 58,17
36 T R R R R T R T T
50,86 27,18 41,48 33,25 36,44 55,19 47,03 57,4 54,76
37
T 50,96 R 44,8 T 54,54 T 53,48 T 54,72 T 55,19 T 56,87 T 58,75 R 39,96
38 R R T T T T T R T
43,42 45,71 56,07 55,33 54,76 55,19 56,87 34,99 58,17
39
R 33,77 T 52,39 R 47,24 R 42,29 R 42 R 14,6 R 36,31 R 44,78 R 34,21
40 R T T T R T T R R
40,89 57,29 56,07 55,33 49,8 55,19 54,55 48,5 44,8
41
R 44,61 T 50,74 T 53,01 T 55,03 R 46,02 T 55,19 R 48,91 T 57,4 R 46,96
42 T R R R R R T R R
53,02 42,65 49,53 43,74 36,51 45,03 56,87 47,56 30,96
43
R 49,17 T 62,31 T 56,07 T 54,38 T 55,42 T 55,19 T 56,87 T 58,75 R 48,69
44 R R T T R R T T R
43,87 39,11 56,07 54,08 45,85 43,56 53,15 58,75 49,01
45
R 41,15 T 51,78 R 49,53 T 53,48 T 53,11 T 55,19 T 56,87 T 57,4 T 54,57
46 T R T T T T R T T
50,95 38,78 54,54 54,08 54,02 55,19 48,91 58,75 58,17
47
R 43,9 R 49,94 T 53,78 T 52,48 T 54,72 T 55,19 T 56,87 T 57,4 R 43,37
48 T R R T R T T R T
50,65 32,31 49,53 55,33 45,15 55,19 56,87 49,75 57,18
49
T 59,24 R 42,9 T 54,54 T 52,93 T 56,26 T 55,19 T 51,29 T 56,46 T 54,22
50 R T T T R R R R R
41,46 53,18 52,25 52,18 37,22 42,35 48,91 47,47 40,65
46

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
51 T T T T T T T R T
53,5 53,83 54,54 53,78 53,22 55,19 56,87 40,44 54,22
52
R 48,12 T 60,06 T 56,07 T 55,33 T 51,41 T 55,19 T 56,87 R 34,99 R 44,54
53 R R R R R R R T R
38,62 29,34 35,68 47,61 40,46 31,78 41,14 58,75 49,93
54
T 65,37 T 62,87 T 56,07 T 55,33 T 52,52 T 55,19 T 56,87 T 53,86 T 58,17
55 T T T T T T T T T
57,89 54,8 51,06 55,03 56,26 55,19 54,99 58,75 54,22
56
T 69,19 T 50,92 T 56,07 T 53,43 T 56,96 T 55,19 T 56,87 T 54,18 T 54,22
57 R T T T T T R R T
43,16 53,73 51,06 54,43 56,96 55,19 36,31 43,05 56,04
58
T 55,54 T 62,87 T 56,07 T 55,33 R 50 T 55,19 T 56,87 R 45,33 T 51,35
59 T R R T R R R R R
58,61 44,86 45,81 53,43 37,25 40,58 43,46 48,41 48,05
60
T 53,25 T 50,39 T 50,72 T 54,08 R 44,31 T 52,69 T 53,3 R 40,35 R 38,79
61 T R T R R R R T R
50,35 42,85 54,54 44,19 17,23 34,6 30,09 55,12 32,35
62
R 41,7 T 51,35 R 43,52 R 34,8 R 41,2 R 11,36 R 45,34 T 50,63 R 33,11
63 R R R R T T R R R
48,92 49,13 38,89 34,5 56,96 55,19 41,6 47,56 42,38
64
R 41,85 R 46,44 T 56,07 T 54,38 R 40,29 R 39,29 T 52,69 R 40,85 R 34,16
65 R T R T R T T T R
48,52 62,87 39,26 54,38 49,17 55,19 54,55 57,4 43,68
66
T 54,38 T 52,47 T 56,07 T 54,13 T 53,18 T 55,19 T 56,87 R 31,92 T 58,17
67 R R R R R T R R R
39,45 41,59 38,89 34,5 38,65 55,19 41,6 47,15 45,6
68
T 69,32 T 62,87 T 56,07 T 55,33 T 52,41 T 52,69 T 56,87 T 55,2 T 58,17
69 T R T R R R T R T
65,33 47,6 53,78 47,72 50 48,74 56,87 47,06 52,63
70
T 50,14 R 43,78 R 40,43 R 34,5 T 54,62 R 40,58 R 30,73 R 47,47 R 34,47
71 T T T T T T R T T
69,95 53,09 56,07 50,2 54,72 55,19 49,09 57,4 58,17
72
T 51,75 T 50,23 T 52,97 R 47,24 R 33,9 T 53,57 R 45,6 R 42,64 T 58,17
73 T R T T T T T R R
55,06 47,24 56,07 55,33 54,76 55,19 50,36 43,05 49,65
74
R 41,64 R 47,55 R 23,15 R 49,9 T 54,72 T 55,19 R 47,05 R 49,35 R 47,87
75 T R R R T R R R T
62,78 37,86 41,99 42,11 54,72 37,04 41,6 43,99 54,34
76
T 53,25 R 40,47 R 47 T 51,68 T 53,11 T 55,19 R 49,35 R 47,06 T 54,76
77 R T T T T T T R T
48,53 59 56,07 55,33 56,96 55,19 56,87 49,75 55,21
47

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
78 T R R R T R R T T
65,57 44,81 37,55 -28 56,96 43,54 3,32 56,46 56,04
79
R 43,99 T 52,64 T 56,07 T 55,33 T 54,02 T 55,19 T 56,87 R 38,07 T 56,2
80 T T T T T T T T T
55,09 56,56 56,07 54,38 55,56 55,19 51,23 58,75 58,17
81
R 43,11 R 43,48 T 56,07 T 53,43 T 53,89 T 55,19 T 56,87 R 43,05 T 51,35
82 R T T T T R T R R
45,09 52,48 50,82 54,38 53,22 47,53 56,87 37,3 50
83
T 51,28 T 61,74 T 56,07 T 55,33 T 56,96 T 55,19 T 56,87 T 55,12 T 58,17
84 T T T T T T T R T
56,83 62,16 56,07 55,33 56,16 55,19 56,87 42,64 58,17
85
T 52,99 T 61,5 T 56,07 T 55,33 T 56,96 T 55,19 T 56,87 T 58,75 T 58,17
86 T T T T T T T R T
54,15 62,87 56,07 55,33 56,16 55,19 56,87 43,92 58,17
87
T 62,53 T 62,87 T 56,07 T 54,13 T 54,76 T 55,19 T 56,87 T 57,4 T 58,17
88 T T T T R T T T T
52,9 54,54 54,54 54,38 36,41 55,19 56,87 57,4 54,76
89
R 48,51 T 53,79 T 54,54 R 44,99 T 52,38 T 55,19 T 51,44 T 52,92 T 58,17
90 T T T T T T T T T
60 54,46 56,07 55,03 52,41 52,69 56,87 55,2 57,18
91
T 57,77 R 43,79 T 52,97 R 49,17 T 51,41 T 55,19 T 56,87 T 50,69 R 40,94
92 R T R T T T T R R
41,99 58,35 47,24 55,03 56,96 55,19 56,87 47,56 44,83
93
R 44,55 T 52,82 T 56,07 T 54,08 T 54,72 R 48,57 T 56,87 T 58,75 R 32,77
94 T R T T T R R R R
57,37 37,67 54,54 55,33 50,7 11,36 28,19 41,7 28,8
95
R 41,09 T 62,87 T 56,07 T 55,33 T 56,26 T 55,19 R 47,66 T 50,69 T 55,6
96 T T T T T T T T R
73,47 62,87 54,54 51,15 55,42 55,19 56,87 58,75 42,22
97
T 52,85 T 57,47 T 56,07 T 54,38 R 44,94 R 23,58 R 49,37 T 50,69 R 49,67
98 R R R R T T R R T
39,24 27,86 40,7 48,95 56,26 51,16 43,48 39,41 58,17
99
R 43,34 R 41,99 R 38,89 R 34,2 R 36,44 R 47,53 R 41,6 R 46,21 R 42,4
100 R R T R T T R T T
48,92 41,32 56,07 45,82 53,89 55,19 47,03 56,06 58,17
101
R 38,52 T 53,82 T 53,78 T 54,38 T 55,42 T 55,19 T 56,87 T 58,75 R 48,21
102 R R R T T T T T T
41,15 38,39 49,29 50,2 50,87 55,19 55,01 55,2 57,18
103
R 42,04 R 39,85 T 56,07 T 51,03 R 49,9 T 51,16 T 51,44 R 47,06 T 50,18
104 R T T T T T R R T
49,52 51,13 51,06 52,63 55,42 52,69 39,91 41,7 51,61
48

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
105 R R R R R R R R R
44,35 48,52 44,28 43,44 26 42,2 39,28 35,87 37,29
106
R 33,36 R 38,48 T 56,07 T 53,78 R 48,4 T 51,16 R 49,58 R 41,7 R 41,05
107 R T T T T R T R R
42,6 53,24 56,07 54,08 56,96 46,24 54,55 34,99 42,08
108
T 69,41 R 40,31 T 56,07 R 49,82 R 46,55 T 52,69 T 56,87 T 52,83 T 58,17
109 T T T T T T T T T
65,14 61,53 56,07 55,33 54,76 55,19 56,87 54,26 58,17
110
T 50,72 R 49,42 T 51,44 R 48,57 T 55,46 R 48,65 T 51,23 R 32,79 T 54,57
111 T R R R T R T R T
58,12 48,19 33,78 49,17 54,62 47,53 52,66 48,5 55,05
112
T 56,38 R 46,09 R 41,99 R 34,8 T 53,92 T 55,19 R 43,92 R 37,3 T 55,16
113 R T R T R T T T T
47,81 52,17 41,99 55,03 45,04 55,19 56,87 56,46 54,22
114
R 46,4 R 34,68 T 56,07 T 51,98 T 55,42 R 8,85 R 45,78 R 47,56 R 25,26
115 R T R T T R T T T
44,66 59,58 47,99 54,13 55,46 40,01 56,87 54,26 57,18
116
T 54,89 R 34,64 R 31,6 R 34,5 R 20,55 R 24,67 R 41,6 T 55,2 R 44,8
117 R R T T T T T T T
42,72 48,86 56,07 55,33 56,26 55,19 56,87 58,75 56,2
118
T 55,01 R 45,8 T 56,07 T 54,38 R 47,53 R 48,65 T 54,99 R 44,86 R 40,25
119 R R T T R R T R T
46,59 49,75 53,78 55,33 38,05 47,36 51,44 49,75 54,73
120
T 53,67 R 47,37 R 44,59 T 52,93 T 56,96 R 37,4 T 56,87 T 50,69 R 41,39
121 T R R R R T R R R
52,19 42,75 29,83 46,85 47,63 55,19 41,6 47,06 35,04
122
R 45,57 T 58,23 R 43,52 T 54,43 R 49,87 T 52,28 R 43,46 R 48,5 R 41,24
123 R T R T T T R R T
48,59 50,35 41,62 53,43 53,22 55,19 47,03 48,5 56,04
124
T 57,59 T 56,25 T 56,07 T 50,2 T 54,72 T 55,19 T 53,13 R 48,41 R 49,22
125 R T R T T T R R R
45,97 58,86 44,66 55,33 56,16 50,04 47,66 47,56 43,25
126
T 50,41 T 62,87 T 56,07 T 55,33 T 56,16 T 55,19 T 56,87 T 58,75 T 58,17
127 R T R R T T T T T
48,51 50,51 49,29 42,33 56,96 55,19 53,3 58,75 55,6
128
R 46,9 T 62,87 T 56,07 T 55,33 T 56,26 T 55,19 T 56,87 T 56,46 T 58,17
129 T T T R T T T T R
53,67 53,5 56,07 46,64 51,68 53,9 56,87 55,12 30,94
130
T 71,79 T 59,14 R 49,53 T 53,43 T 54,72 T 55,19 T 56,87 T 52,92 R 42,21
131 T R T R T T R T T
51,51 43,69 54,54 49 55,42 51,39 47,03 56,55 58,17
49

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
132 T T T T T T T T T
56,51 60,4 56,07 55,33 56,26 55,19 50,97 57,4 52,6
133
T 55,22 R 32,16 R 43,52 R 47,8 R 36,41 R 43,5 R 41,6 T 55,12 T 51,64
134 R T R T T T T T T
49,07 54,24 37,36 53,43 52,41 52,69 56,87 55,12 53,77
135
R 40,87 R 44,14 T 56,07 T 50,2 R 30,86 T 55,19 T 56,87 R 46,3 R 44,83
136 R T T T T T T R R
46,94 61,99 56,07 53,18 55,42 55,19 55,01 45,33 38,12
137
T 50,3 R 47,76 T 52,97 R 49,9 T 54,72 T 55,19 R 41,6 R 48,41 R 45,81
138 R T T R R T T T T
49,62 58,23 50,82 49 49,87 55,19 54,55 55,2 52,01
139
R 49,31 T 61,5 T 53,78 R 42,59 T 54,72 T 55,19 T 54,99 R 48,41 T 58,17
140 T T T T T T T T T
54,62 50,39 54,54 55,33 53,82 51,16 56,87 57,4 58,17
T 69 T 74 T 93 T 96 T 93 T 100 T 83 T 71 T 82
R R R R R R R R R
71 66 47 44 47 40 57 69 58
Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase
T 49% T 53% T 66% T 69% T 66% T 71% T 59% T 51% T 59%
Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase
R 51% R 47% R 34% R 31% R 34% R 29% R 41% R 49% R 41%

50

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer

Anda mungkin juga menyukai