Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Insektisida
Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk
membunuh serangga. Insektisida dapat memengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon,
sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada
kematian serangga pengganggu tanaman. Insektisida termasuk salah satu jenis
pestisida.

B. Efek Penggunaan Insektisida


Pada tahun 1960, Rachel Carson menerbitkan buku yang sangat
berpengaruh dalam sejarah penggunaan insektisida berjudul Silent Spring
(Musim Sepi yang Sunyi). Buku tersebut menyorot penggunaan DDT yang
sangat marak di masa itu karena sangat efektif, sekaligus menyadarkan
manusia akan bahaya dari penggunaan pestisida berlebihan. Insektisida yang
dipakai seringkali menyerang organisme non target seperti burung dan
makhluk hidup lainnya, oleh karena itu, penggunaan insektisida juga
dikhawatirkan berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
Insektisida seringkali digunakan melebihi dosis yang seharusnya karena
petani beranggapan semakin banyak insektisida yang diaplikasikan maka akan
semakin bagus hasilnya.Beberapa petani bahkan mencampurkan perekat pada
insektisidanya agar tidak mudah larut terbawa air hujan. Namun, penggunaan
perekat ini justru mengakibatkan tingginya jumlah residu pestisida pada hasil
panen yang nantinya akan menjadi bahan konsumsi manusia.
Penggunaan insektisida sintetik juga dapat mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan insektisida tertentu dapat
tersimpan di dalam tanah selama bertahun-tahun, dapat merusak komposisi
mikroba tanah, serta mengganggu ekosistem perairan.
C. Pengertian Resistensi Insektisida
Menurut World Health Organization (WHO), pengertian resistensi adalah
berkembangnya kemampuan toleransi suatu spesies serangga terhadap dosis
toksik insektisida yang mematikan sebagian besar populasi. Resistensi
insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu dalam populasi yang
secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap hidup meski terpapar satu
atau lebih senyawa insektisida. Peningkatan individu ini terutama oleh karena
matinya individu-individu yang sensitif insektisida sehingga memberikan
peluang bagi individu yang resisten untuk terus berkembangbiak dan
meneruskan gen resistensi pada keturunannya.
Resistensi terhadap insektisida pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun
1914 oleh AL Melander. Penggunaan kapur sulfur untuk mematikan hama
pada anggrek pada satu minggu pertama percobaan. Namun ketika dilakukan
pengulangan perlakuan insektisida, 90% hama tetap hidup. Tingkat resistensi
serangga hama pada insektisida terus meningkat seiiring dengan kemunculan
dan pemakaian berbagai jenis insektisida sintetik pada tahun-tahun berikutnya.

D. Pengertian Uji Bioassay dan Uji Susceptibillity


Pengendalian vektor yaitu menerapkan bermacam-macam cara sehingga
vektor tidak menularkan penyakit dengan tidak menimbulkan
kerusakan/gangguan terhadap lingkungan. pengendalian vektor yg tepat guna
yaitu pengendalian secara tepat sasaran, tepat waktu, tepat insektisida, tepat
cara, dan tepat dosis. Pengendalian hayati yaitu Ilmu terapan yang
membicarakan pengendalian jasad pengganggu, menggunakan musuh-musuh
alaminya baik sebagai predator, parasit maupun patogen.
Uji Bioassay adalah suatu cara untuk mengukur efektivitas suatu
insektisida terhadap vektor penyakit. Ada 3 jenis Uji Bioassay yaitu :
1 Uji bioassay kontak langsung (residu)
2 Uji bioassay kontak tidak langsung (air bioassay) (residu)
3 Uji bioassay untuk pengasapan (fogging/ULV)
Uji Susceptibillity adalah uji untuk mengetahui kerentanan suatu serangga
terhadap insectisida. Suatu serangga yang diberi insectisida dapat mengalami
kerentanan, hal ini dapat diuji dengan uji Suspecbility. Untuk menilai dan
mengukur tingkat resistensi seranggga ini dapat dilakukan dengan melakukan
uji susceptibility. Pengujian ini digunakan untuk menguji resistensi nyamuk
terhadap insektisida. Uji ini menggunakan dosis insektisida sesuai standard
WHO. Secara garis besar metode penilaian uji, dilakukan dengan menghitung
jumlah nyamuk yang mati setelah terpapar insektisida. Sesuai standar ini,
terdapat tiga jenis kategori pembacaan yaitu rentan jika jumlah kematian lebih
dari 98%, toleran jika jumlah kematian antara 80%-98% dan resisten jika
kematian kurang dari 80%.

E. Resistensi Aedes Aegypti Terhadap Insektisida


Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan vektor
demam berdarah telah banyak dilakukan. Selain dengan menerapkan usaha
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), juga dilakukan fogging untuk memutus
mata rantai penularan DBD. Fogging dimaksudkan sebagai upaya membasmi
nyamuk dewasa (aedes aegyti). Di pasaran, saat ini, salah satu jenis insektisida
yang digunakan untuk memberantas vektor demam berdarah dengue adalah
malathion.
Malathion merupakan insektisida golongan organofosfat. Ciri khas dari
malathion, antara lain mampu melumpuhkan serangga dengan cepat dengan
mekanisme menyerang sistem saraf terutama pada sinapsis. Ciri malathion
lain, mempunyai toksisitas relatif rendah terhadap mammalia dan kurang
stabil terhadap vertebrata. Selain itu malathion bersifat korosif terhadap
logam, berbau khas, serta mempunyai rantai karbon yang pendek. Di pasaran
bentuk malathion adalah cair, biasa diaplikasikan dalam thermal fogging.
Mode of entry malathion adalah melalui kulit, pernafasan dan pencernaan.
Namun penggunaan insektisida (untuk memberantas`n nyamuk aedes
aegypti) yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi pada
nyamuk. Secara prinsip mekanisme resistensi ini akan mencegah insektisida
berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu untuk
mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai pada titik sasaran.
Sedangkan jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri meliputi tahap rentan,
toleran baru kemudian tahap resisten. Beberapa faktor yang mempengaruhi
mekanisme resistensi insektisida pada aedes aegypti ini, antara lain :
1. Faktor genetic. Faktor ini tergantung pada keberadaan gen resisten yang
mampu mengkode pembentukan enzim tertentu dalam tubun nyamuk.
Enzim inih akan menetralisir keberadaan insektisida (misalnya enzim
esterase).
2. Faktor biologis yaitu kecepatan regenerasi nyamuk aedes aegypti.
Kemampuan beradaptasi terhadap tekanan alam seperti pemberian
insektisida dan didukung kecepatan regenerasi yang tinggi menyebabkan
nyamuk cepat menurunkan generasi yang resisten.
3. Faktor operasional meliputi bahan kimia yang digunakan, cara aplikasi,
frekuensi, dosis dan lama pemakaian.
Laju perkembangan resistensi sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan
seleksi yang diterima oleh suatu populasi nyamuk Aedes aegypti Pada kondisi
yang sama populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan
berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat
dibandingkan dengan populasi yang menerima tekanan seleksi lebih lemah.
Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida pada serangga dapat
dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan
detoksifikasi insektisida, sehingga insektisida menjadi tidak beracun (hal ini
disebabkan pengaruh kerja enzim tertentu). Kemudian terjadi penurunan
kepekaan titik target insektisida pada tubuh, Tahap selanjut terjadi penurunan
laju penetrasi insektisida melalui kulit, sehingga menghambat masuknya
bahan aktif insektisida dan meningkatkan enzim detoksifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Beriajaya. 2006. Peranan Vektor Sebagai Penular Penyakit Zoonosis.


Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.

Djati, R.A.P. 2005. Bioassay Fogging di Desa Kalimendong


KecamatanPurwonegoro Kabupaten Banjarnegara.
Laporan Kegiatan Litbang P2B2 Banjarnegara.

Hadi, dkk. 2010. Efektifitas Pemanasan Kelambu Berinsektisida, Olyset


Terhadap Nyamuk Aedes Aegypti (Diptera: Culicidae). Jurnal Ekologi Ke
sehatan.Vol. 9 (4): 1333-1339.

Hariastuti, N. Ika. 2007. Tinjauan Hasil Penyemprotan IRS Melalui Bioassay

Suharyo., dkk. 2006. Dinamika A. Aegypti sebagai vektor


penyakit. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 2 (1). Sucipto, CD. Vektor
Penyakit Tropis. Gosyen Publishing. Yogjakarta

Yahya dan E. P. Astuti. 2013. Tingkat Kematian Anopheles vagus yang


TerpaparIsektisida Permethrin 2% (W/W) di Dalam Serat Benang
Kelambu. Jurnal Penelitian Penyakit Tular Vektor Aspirator. Vol 5 (1):
1 – 8

 yang Dilaksanakan Loka Litbang P2B2. Laporan Kegiatan.Balaba. Ed. 005(2):


11 – 12. Komariah, dkk. 2010. Pengendalian Vektor. Jurnal Kesehatan
Bina Husada. Vol6 (1): 34 – 43.

Anda mungkin juga menyukai