Anda di halaman 1dari 2

Palembang, 09 Juli 2020

“DEMOKRASI BUKAN BARANG MURAHAN!!”

Akhir-akhir ini saya jadi sangat tertarik dengan fenomena Pilkada yang menggelitik hati dan
pikiran ini. Bagaimana tidak menggelikan, namanya juga politik yang penuh dengan intrik hingga
membuat kita bisa mengkritik sampai ada yang tak berkutik. Meratapi situasi ini, ada yang duduk diam
dan tak perduli. Ada yang menangis karena mematikan suara nurani. Adapula yang murka karena
diberikan janji kosong tentang indahnya demokrasi. Nah, bisa menjadi Demo – Crazy!! Gawat ga tuh?
Tetapi jangan lupa, ada juga yang masih punya spirit untuk mengungkap kejernihan berpikir dengan
membangun forum diskusi tanpa miras (minuman keras) dengan berpikir keras. Ini namanya kelompok
intelek yang mulai melek tentang gaduh atau bobroknya sistem demokrasi di sebagian daerah karena
terlihat kaderisasi yang rapuh. Ibarat tangkai pohon dan daun yang layu, ia tidak berkembang dan
memberikan aroma yang tidak harum di sekitarnya. Haduh, memang namanya juga manusia, selalu ada
saja yang dibahas dan bisa jadi isu yang heboh ketika sudah sampai dunia maya dan dunia dalam berita
(Surat kabar dan Warung Online).

Saya bukan mau memberitakan kehebohan, tetapi mau membuka cakrawala kita dan
mengingatkan kembali tentang pakta integritaslah, kontrak kerjalah, janji kerja, dan lain sebagainya.
Bukan menjadi rahasia, mendengarkan berbagai omongan janji dari warung kecil, warung sedang,
warung besar, tempat pertemuan besar, hingga berskala nasional. Wow, kita bisa saja terkejut:
Mengapa ya sampai “Skala Nasional”? Padahal yang saya tahu, skala itu ukuran kecil yang bisa kita ukur
hanya dengan jari tangan yang ada di kedua tangan kita. Masihkah anda ingat? Ada yang mengatakan
kalau dunia ini bisa dikuasai dalam genggaman tangan saja? Kalau saya dengan perkataan itu, ngeri-
ngeri sedap. Masa seluas itu dunia hanya dalam genggaman tangan aja, padahal organ tubuh kita itu
bukan Cuma tangan. Iya kan? Kembali ke titik janji tadi: janji itu cuma buah tangan atau harapan saja
ketika bola keberuntungan itu diucapkan dengan manis kepada anda. Janji belum menyentuh aspek
kesadaran untuk menggapai mimpi yang otentik (asli) dimana dia mewariskan harapan agar pesta
demokrasi menghasilkan kesejahteraan dan memberitakan kedamaian bagi masyarakat.

Kesejahteraan dan Kedamaian adalah dua unsur yang tidak terpisahkan dalam memeriahkan
kontestasi politik. Saya lebih suka slogan: “Membangun Persahabatan Yang Harmonis Lewat Pesta
Demokrasi”. Pertamanya sungguh baik, terjadilah suasana yang baru dan dapat membuat kejutan bagi
orang yang dijumpai. Saking terkejutnya: mereka tidak tau siapa yang datang kemudian langsung
bercakap-cakap dengan penuh keramahtamahan. Atau, adapula yang sudah mengalami sebelumnya:
dahulunya kontra dan tidak sepaham tetapi karena dibangun atas dasar misi yang besar maka terjadilah
percakapan yang menjurus ke masa depan. Inilah Persahabatan itu yang sudah dimulai dan telah
dirasakan oleh banyak pihak. Tetapi, bagaimana narasi “Kesejahteraan dan Kedamaian” itu belanjut?

Saat –saat seperti inilah yang amat sangat dirindukan oleh banyak pihak terutama seluruh
masyarakat yang sudah tahu efek positif dan negatifnya Pilkada. Saya mau mengutip perkataan Bung
Karno tentang Pemilu dan sudah barang tentu ada hubungannya dengan Pilkada saat ini. Salah satu yang
pernah dikatakannya pada Tahun 1955 adalah “Pemilu Jangan Jadi Tempat Pertempuran”. Mengapa
dikatakan seperti ini, karena prediksinya adalah dapat menjadi preseden buruk ketika pesta demokrasi
ini dijadikan untuk kepentingan golongan atau partai. Terjadilah pertempuran partai politik dan
masyarakat yang tidak masuk dalam kepentingan partai politik. Lagi-lagi ini menjadi wacana yang besar
bagi kita semua dalam memahami Kontestasi Politik yang selalu meresahkan setiap periodenya.
Seharusnya kepentingan yang paling utama adalah mensejahterakan dan menghadirkan pemerintahan
yang adil dan beradab bagi masyarakatnya. Permasalahannya bisa saja segala usaha yang diperlihatkan
mereka menjadi kesia-siaan karena pemerintah yang antikritik dan tidak memberikan kedaulatan
kepada masyarakatnya untuk menyuarakan kegelisahannya tentang pemimpinnya. Mekanisme
pemilihan yang termaktub dalam undang-undang seolah-olah hanyalah dipandang sebagai informasi
yang sudah sangat sempurna padahal masih ada yang harus diperbaiki.

Gegana: Gelisah, Galau, dan Merana menjadi bom waktu bagi mereka yang memandang
rendah suara hati nurani masyarakat dalam merangkul kepentingan segelintir kelompok. Saat ini, waktu
dan tempat dimana kita berpijak menjadi landasan berfikir ke depan memaknai yang akan terjadi.
Demokrasi bukanlah suara individual dan membuat kita langsung terkenal bahkan populer. Justru,
demokrasi merupakan sistim pemerintahan yang kita rasakan di mana semua warga negara memiliki hak
setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup warganya. Oleh karena itu, warga
bisa menilai apa yang baik dan buruk yang telah dilakukan kepada mereka. Jangan salah menilai
masyarakat, apabila sanksi sosial terjadi bagi mereka yang menjadikan DEMOKRASI barang murahan.
Saya prihatin ketika “Demokrasi” berubah menjadi “Democrazy”, dimana perilaku pejabat pemerintahan
tidak menciptakan kesejahteraan dan kedamaian. Warganya selalu gusar, pusing, dan bahkan sudah
apatis terhadap perilakunya. Alhasil, timbullah sebuah keinginan saat pemilihan berlangsung tidak akan
memilihnya dan itu datang dari hati nuraninya yang mengharapkan perubahan. Artinya, rasa kecewa
tidak pernah bisa dibayar dengan uang dan kepentingan partai politik. Apabila sudah menggunakan itu,
maka kita sama saja menghapus mimpi perubahan dan menghilangkan harapan kepada generasi yang
berikutnya.

Kita terkadang lupa dan tidak mau menoleh ke belakang tentang segala hal yang pernah terjadi
demi perbaikan sistim demokrasi ini. Saya mengamati, selalu saja ada Fenomena “KOTAK KOSONG”
dimanapun daerahnya. Sepintas dalam pikiran atau bayangan kita mengartikannya, kotaknya saja yang
kosong. Seperti itukah kita memahaminya? Sebetulnya tidak, kotak itu tetap bisa terisi walaupun yang
kita pilih tidak sesuai dengan hati nurani kita. Hanya 1 pasangan yang ada wajah, kemudian yang 1 lagi
tidak ada. Lalu bagaimana memutuskannya? Mari, jernihlah dan milikilah konsep yang jelas tentang
calon pemimpin harapanmu. Selagi masih bisa berdiskusi, minum kopi, teh manis, kita perlu
membangun kesepahaman tentang sistim demokrasi ini. Memang apa yang sudah termaktub dalam
undang-undang belum bisa berubah, tetapi anda perlu mewariskan paradigma berfikir yang kritis untuk
mengetahui kepentingan setiap orang yang menginginkan jabatan dimanapun mereka berada.
Bertarung secara Ide dan gagasan cemerlang tentang kemajuan daerah itu lebih hebat, daripada kita
melihat orang-orang yang bertarung demi kepentingan pribadi, golongan, atau kelompoknya.
Sesungguhnya masyarakat saat ini, sangat mudah mendapatkan akses informasi tanpa harus
diintimidasi. Teknologi yang sudah ada sekarang dapat membangun jaringan yang kuat dan
menyuarakan pembaharuan dalam demokrasi kita. Supaya DEMOKRASI tidak menjadi DEMOCRAZY,
maka anda jangan hanya duduk, diam, dan dengar. Inilah momentum bagi anda semua untuk melakukan
pembaharuan dalam Sistim Demokrasi kita, karena DEMOKRASI BUKANLAH BARANG MURAHAN dalam
kontestasi politik. BERSUARALAH, BERGERAKLAH DAN BIJAKSANALAH! (RBN)

Anda mungkin juga menyukai