Anda di halaman 1dari 4

TERIMALAH DIDIKAN YANG BAIK

Bahan khotbah kita Pengkhotbah 10:10-15, dalam bagian ini, kembali


terlihat ciri khas dari pengkhotbah sebagai seorang guru kebijaksanaan. Banyak
orang yang datang kepadanya lalu duduk di atas permadani (sebab orang
Yahudi tidak biasa duduk di kursi), dan bebas menanyakan segala sesuatu
mengenai masalah-masalah kehidupan. Inilah juga yang tampaknya menjadi
latar belakang Pengkhotbah pasal 10 yang seolah-olah meloncat-loncat dari
satu persoalan ke persoalan lainnya yang mencakup begitu banyak variasi dan
masalah. Kemungkinan, itu terjadi karena ia menjawab setiap pertanyaan yang
muncul yang tentunya tidak sistematis. Sekalipun demikian, tetap ada satu
benang merah atau tema yang mempersatukan seluruh macam variasi persoalan
itu. Benang merah itu adalah perbedaan yang tajam antara orang yang
berhikmat dan orang yang bodoh yang ingin diperlihatkan oleh Pengkhotbah.
Namun, bodoh di sini sekali lagi tidak berhubungan dengan masalah
kemampuan intelektual seseorang, tetapi sebagai lawan kata dari hikmat atau
bijaksana. Dalam bahan khotbah ini diperlihatkan orang yang bodoh sangat
berbahaya sebab ia tidak pernah bisa menilai dirinya sehingga tidak akan bisa
maju. Dia tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri karena memang ia selalu
menganggap bahwa dirinyalah yang benar seratus persen. Orang seperti itu
adalah orang yang paling malang karena bukan hanya tidak bisa maju,
melainkan juga mengalami kemunduran. Ayat 12-15 berbicara tentang mulut
atau pembicaraan orang bodoh. Jadi, fokus utama pembahasan pada bagian ini
adalah tentang orang bodoh. Oleh karena itu, nasihat yang sebenarnya mau
diberikan adalah jangan menjadi orang bodoh. Dalam ayat 12 disebutkan
perbedaan antara antara orang yang bodoh dan orang yang berhikmat. Menurut
Pengkhotbah yang membedakan keduanya adalah perkataannya. Perkataan
yang berhikmat menarik, sedangkan perkataan orang bodoh mencelakakan
dirinya sendiri. Kalau dikatakan bahwa perkataan orang berhikmat itu menarik,
maksudnya adalah perkataan orang berhikmat itu bisa membuat orang lain
menghargai atau menghormatinya. Sebenarnya dalam Bahasa Ibrani, kata
menarik di sini artinya penuh dengan kebaikan atau kemurahan hati. Jadi orang
yang bijaksana adalah orang yang perkataannya itu penuh dengan kebaikan.
Perkataan yang tidak pernah dimaksudkan untuk menghina, merendahkan,
mempermalukan, mengecam, dan menghancurkan orang lain. Jadi, kalau ada
orang yang dalam pembicaraannya selalu ingin menyalahkan dan merendahkan
1
orang lain, serta hanya membanggakan dirinya sendiri, ini jelas bukanlah orang
yang berhikmat, melainkan orang yang bodoh atau tidak bijaksana. Perkataan
orang bodoh hanya akan menjadi bumerang yang mencelakakan dirinya
sendiri. Dengan perkataannya, dia menyakiti orang lain dan membuat orang
lain tidak menyukainya. Lalu, orang akan menghindari dan membencinya. Jadi,
kalau kita ingin menjadi orang yang bijaksana, perhatikanlah perkataan kita.
Berpikirlah dahulu baik-baik sebelum kita berbicara atau sebelum kita
mengeluarkan perkataan. Ingatlah bahwa perkataan itu bisa jauh lebih
menusuk, melukai, dan menyakiti daripada pedang yang tajam. Ayat 14,
Pengkhotbah membicarakan tentang ciri-ciri lain dari kebodohan atau
ketidakbijaksanaan itu. Dalam ayat 14, ia mengatakan orang yang tidak
bijaksana adalah orang yang banyak bicaranya, meskipun sebenarnya ia tidak
tahu apa-apa. Orang yang tidak tahu apa-apa biasanya menjadi orang yang sok
tahu dan banyak bicara. Orang yang seperti itu tidak pernah tahu kapan ia harus
diam. Mereka terus-menerus bicara dan tidak mau mendengarkan orang lain.
Itu membuat orang lain menjadi lelah dan bosan. Karena itu, kita harus ingat
apa yang dikatakan Pengkhotbah 3 bahwa ada waktunya berbicara, tetapi juga
ada waktunya mendengarkan. Dalam ayat 15 dijelaskan orang yang tidak
bijaksana itu sering melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak penting.
Mungkin orang itu bisa terlihat sibuk atau lelah, tetapi sebenarnya tidak ada
satupun hal berarti yang dilakukannya, selain melelahkan dirinya sendiri. Dia
tidak tahu tentang tujuan dari setiap hal yang dilakukannya. Ungkapan dalam
ayat 15 ini kemungkinan berasal dari peribahasa orang Yahudi yang ingin
menyatakan tentang seseorang yang mengerjakan segala sesuatu secara salah.
Itu diibaratkan dengan orang yang tidak tahu jalan ke kotanya sendiri. Dia tidak
tahu bagaimana keadaan kotanya atau rumahnya sendiri. Apabila orang tidak
pernah tahu dan menyadari keterbatasannya sendiri, ia akan melakukan segala
sesuatu secara salah. Sebaliknya, orang yang bijaksana itu justru adalah orang
yang tahu kelemahan, keterbatasan, dan ketidaktahuannya, serta mau
mengakuinya. Dalam Alkitab, ada dua sikap yang sangat penting yang sering
dianjurkan untuk diteladani. Mengetahui kekurangan dan keterbatasan diri
sendiri sehingga bisa selalu rendah hati. Menyadari talenta atau karunia yang
Tuhan berikan supaya tidak rendah diri. Dua hal ini perlu kita lakukan secara
seimbang sebab hanya mengakui keterbatasan saja akan membuat seseorang
tidak mampu mensyukuri berkat Tuhan. Sebaliknya, hanya menyadari talenta
saja, hanya akan membuat seseorang menjadi tinggi hati.

2
III.         Refleksi
Belajar adalah proses di mana orang mengubah pandangan tentang dirinya
dan tentang lingkungannya, begitu kata teori Persepsi. Belajar adalah
mengkondisikan perilaku dengan dorongan dari lingkungan, begitu kata
teori Behavioristik.. Belajar adalah berubah. Apanya yang berubah? Ada
tiga hal yang berubah. Pertama, belajar adalah mengubah pikiran.
Kita mengubah pikiran dengan jalan menambah, menganalisis,
menilai, menata ulang dan mengaplikasi informasi yang ada di
pikiran kita. Kedua, belajar adalah mengubah perasaan. Yang
dimaksud dengan perasaan di sini bukanlah emosi atau impulse
melainkan sikap atau nilai-nilai hidup yang kita anut. Belajar adalah
mengubah sikap atau keengganan kita tentang gagasan, orang,
benda, dan keadaan. Belajar adalah mengubah komitmen kita pada
nilai-nilai hidup. Ketiga, belajar adalah mengubah perilaku. Belajar
adalah mengubah tindakan, cara kerja, gaya hidup dan praktik hidup
kita. Jadi, belajar adalah mengubah diri menjadi manusia yang lain
dan baru.

Sering kali kita mengira bahwa belajar hanya berarti menambah


pengetahuan, dari belum tahu menjadi sudah tahu atau dari sudah tahu menjadi
lebih tahu. Memang itu belajar, namun dalam arti yang sempit. Dalam arti yang
sempit itu kita belajar untuk hidup, sama seperti burung yang belajar terbang.
Dalam arti sempit ini belajar hanya bertujuan mendapat ijazah atau gelar.
Belajar hanya bertujuan menaiki anak tangga masyarakat yang lebih tinggi.
Belajar hanya bertujuan mencari karir, gengsi, kedudukan, kekuasaan atau
kekayaan. Dalam arti sempit ini belajar hanya terjadi sekian tahun. Begitu
tujuan tercapai orang berhenti belajar. Begitu berhenti sekolah, orang berhenti
baca buku.Akan tetapi, untunglah belajar juga mempunyai arti yang luas.
Dalam arti yang luas, belajar adalah mengembangkan mutu pemahaman dan
sikap hidup terhadap diri sendiri, orang lain, alam, benda, kehidupan serta
kematian dan tentunya juga terhadap Pencipta semua itu. Dalam arti luas ini,
kita hidup untuk belajar. Dalam arti luas ini, belajar tidak ada akhirnya.

Dalam hal mengajar juga ada yang berpikiran sempit ada juga yang
berpikiran luas. Mengajar dalam arti sempit adalah memberi pengetahuan.
Tetapi dalam arti luas mengajar adalah menolong orang bertumbuh dalam
pemahaman dan nilai-nilai hidup. Mengajar adalah menabur benih nilai-nilai
3
hidup.Kita belajar untuk hidup. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa
kita hidup untuk belajar. Sebab kalau kita hanya belajar untuk hidup, maka apa
bedanya kita dengan anak burung yang belajar terbang supaya bisa hidup. Arti
belajar dan arti hidup menjadi dangkal. Karena itu, kita perlu tahap berikutnya,
yaitu hidup untuk belajar. Belajar rupa-rupa hal. Belajar tahu diri dan mengenal
diri. Belajar tahu apa kekuatan kita lalu menjadikan kekuatan itu berkat bagi
banyak orang. Belajar tahu apa kelemahan kita lalu memperbaikinya. Belajar
mengenal orang lain. Belajar menerima orang lain sebagaimana dia adanya,
menempatkan diri pada perasaannya, mengagumi keunggulannya dan
memaklumi kelemahannya. Belajar berterima kasih atas pemberian dan
pertolongannya biar bagaimanapun kecilnya. Belajar menghadapi kesulitan
sebab jalan hidup ini tidak selalu datar dan mulus, melainkan turun naik,
mendung dan cerah, penuh tantangan dan persoalan. Belajar jujur. Sebab hidup
ini ibarat permainan atau pertandingan yang pada akhirnya diukur bukan
dengan menang atau kalah, melainkan dengan ukuran bagaimana cara kita
memainkan pertandingan itu. Belajar bijak, mengatur waktu, menjaga
kesehatan, bertanggung jawab, membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, menyuruh diri sendiri dan melarang diri sendiri. Belajar sabar,
mengalah, memaafkan dan menerima keadaan. Belajar berprakarsa,
memanfaatkan kesempatan bahkan menciptakan kesempatan, bekerja keras,
ulet, tangguh, tahan bantingan, hemat, rajin, dan tekun; sebab perbandingan
orang jenius adalah 1% inspirasi banding 99% transpirasi alias peras keringat.
Belajar berjiwa besar, menghargai perbedaan, mengagumi yang berhasil,
memuji yang berprestasi, membela yang kecil dan lemah, melindungi minoritas
dan mengikutsertakan kaum pinggiran. Belajar menjaga keseimbangan dan
keutuhan antara kesibukan dan keteduhan, antara banting tulang dan tidur
nyenyak, antara urusan vertikal dan horizontal, antara mengatur diri dan
mempercayakan diri. Juga antara iman dan ilmu, sebab iman tanpa ilmu adalah
picik sedangkan ilmu tanpa iman adalah pincang. Hidup. Selama Tuhan masih
memberi hidup, selama itu kita masih diberi kesempatan belajar. Belajar rupa-
rupa hal. Belajar setiap hari. Hidup itu belajar.

Anda mungkin juga menyukai