Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan merupakan sebuah ruangan yang luas dengan tatanan perabot dan

asesoris yang begitu kompleks dan plural. Di dalamnya masuk berbagai kepentingan
dengan tendensinya masing-masing. Kepentingan tersebut adalah alasan mengapa
mereka memilih perabotan ini dan asesoris itu. Pilihan merekalah yang nantinya
menentukan arah dan jalan hidup mereka ke depan. Jalur sosialkah, politikkah,
ekonomikah, agamakah, budayakah, pendidikankah yang akan mereka lalui sebagai
jalan untuk mencapai tujuan mereka. Mengapa jalan? Karena semua yang kita kerjakan
di dunia ini haruslah menjadi jalan untuk menuai keridhoan Ilahi di Akhirat nanti. Jadi
apa sebenarnya tujuan kita? Adalah hidup dengan kebahagiaan jasmani dan rohani
dengan makna yang luas. Jadi jika ada diantara kita yang menjadikan segala hal yang
bersifat sekular menjadi tujuan, maka segera pikirkan kembali tujuan anda, benarkah
anda cukup dengan semua itu.
Kesalahan menempatkan sesuatu pada awalnya, menjadikan kita banyak melakukan
kesalahan pada prosesnya. Misalnya, memilih politik menjadi tujuan hidup, itu artinya
kita menuhankan kekuasaan. Manusia semacam ini akan rela melakukan apapun demi
tujuan yang dia inginkan. Tanpa mempedulikan hak-hak orang lain, membohongi orang
lain, dirinya dan Tuhan dengan berbagai aturan yang telah disampaikan-Nya dengan
berbagai tanda. Berbeda halnya dengan orang yang memilih kekuasaan sebagai jalan
untuk mencapai keridhoan Tuhan. Kekuasaan akan didapatkannya dari kepercayaan
banyak orang pada dirinya. Dalam prosesnya dia akan menggunakan kekuasaan
sebagai pemuas hasrat yang ia pimpin, kesejahteraan bagi banyak orang, dan amanah
bagi dirinya sendiri. Sehingga pada akhirnya, semua yang ia lakukan tidak akan keluar
dari jalur-jalur yang sudah disiapkan Tuhan untuk ia lalui sebagai penguasa.
Pandangan di atas bermula dari sebuah proses yang kerap kita dengar dengan nama
pendidikan. Sedangkan kecenderungan seseorang dalam melakukan sesuatu akan kita
sebut sebagai karakter. Seseorang yang cenderung jujur akan selalu berkata jujur
dalam keadaan apapun. Seseorang yang terbiasa disiplin akan terus membawa
kebiasaan itu dalam setiap pekerjaan yang dia lakukan. Begitu juga dengan malas,
pembohong, belas kasih, rajin, toleran dan banyak lagi lainnya. Karakter merupakan
watak, tabiat atau pembawaan seseorang. Atau dalam bahasa arab kita kenal dengan
akhlak yang dibagi menjadi dua, yaitu akhlak terpuji dan tercela. Memang dalam
defenisinya dikatakan bahwa akhlak atau karakter adalah sesuatu yang dilakukan tanpa
campur tangan otak, dalam arti reflek atau spontan. Bukan dalam maksud
menyamakan secara persis antara karakter dan akhlak, tetapi mencoba melakukan
pendekatan melalui gejala-gejala terbentuknya dua istilah ini dalam diri seseorang.
Kita sering mendengar bahwa ternyata tingkat reflektifitas seseorang itu dapat dilatih.
Pemain bola, pembalap, petinju misalnya, tujuan mereka banyak berlatih tentunya
supaya menang saat bertanding, tapi selain itu juga untuk meningkatkan reflektifitas
mereka. Reflek dalam uraian ini sama sekali berbeda dengan reflek yang saya maksud
dalam defenisi sementara dari akhlak ataupun karakter. Karena reflek dalam hal ini
lebih pada unsur-unsur jasmaniah atau gerakan tubuh. Sedangkan reflek dalam
defenisi akhlak atau karakter lebih mengarah pada prilaku jiwa seseorang dalam
melakukan atau menanggapi suatu kejadian.
Karakter atau akhlak seseorang memang dapat dilatih atau dibentuk. Medianya tentu
tidak seperti media jasmani seperti yang sudah diungkapkan di atas. Media
pembentukan karakter ini dapat kita jumpai dalam berbagai aktifitas. Misalnya,
pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya disebuah lokasi tertentu, pergaulan
dengan orang tua di rumah, pergaulan dengan guru di sekolah dan pergaulan dengan
teks. Tiga pergaulan pertama merupakan hasil interaksi seseorang dengan orang lain,
atau lebih dikenal dengan prilaku sosial. Berbeda halnya dengan pergaulan ke-empat,
pergaulan ini cenderung bersifat individual, karena hanya bergelut dengan literasi
semata. Pergaulan inilah yang akan kita bahas pada paragraph-paragraph berikutnya,
karena eratnya hubungan antara dunia literasi dengan pendidikan.

Pendidikan sejak dulu tak pernah lepas dari pentingnya tradisi membaca. Baik
membaca dalam arti luas ataupun dalam arti yang sempit. Membaca dalam arti luas
berarti peka, jeli dan kritis terhadap setiap realitas dan segala sesuatu yang
mengundang otak untuk melakukan analisis. Sedangkan dalam arti sempit, membaca
adalah bergaul secara inten dengan teks. Bergaul inten berarti bukan sekedar
membaca, namun lebih kepada kemampuan untuk menangkap setiap pesan yang
tersurat ataupun yang tersirat pada sebuah teks. Sehingga jauh setelah itu, pembaca
akan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap sebuah teks. Dan yang paling
penting, pemahaman dari hasil olah pikir ini mampu menjadi sesuatu yang hidup dalam
diri pembaca. Artinya, teks yang dibaca dapat memberikan pengaruh yang signifikan
bagi pembacanya.
Lalu apa korelasi antara pendidikan, membaca dan karakter? Secara singkatnya,
asumsi bahwa pendidikan merupakan salah satu wahana pembentukan karakter.
Kemudian membaca (dalam arti sempit) merupakan sesuatu yang sulit dipisahkan dari
proses pendidikan. Jadi, salah satu metode pembentukan karakter seseorang dalam
proses pendidikan adalah dengan menjalin hubungan secara intim dengan teks atau
bacaan. Proses seperti ini akan memberikan kebebasan kepada anak didik untuk
memilih karakter mana yang mereka sukai. Maka pendidik hanya perlu mengawasi
perkembangan mereka setiap saat, tentu saja dengan bimbingan yang tidak kalah inten
dengan semangat mereka membaca. Karena arahan para pendidik yang mencerahkan
akan senantiasa mereka nantikan saat kejenuhan mulai hinggap di sela-sela semangat
mereka untuk menemukan jati diri.
Namun masalah kembali timbul ketika ada pertanyaan tentang sejauh mana
antusianisme peserta didik untuk membaca. Masalah ini sama besarnya dengan
masalah kita selaku individu yang enggan membaca. Sementara kita tahu bahwa
membaca selalu terasa lebih berkualitas dan nikmat ketimbang menonton film. Pun
pula, pengaruhnya terasa lebih hidup dalam jiwa kita ketimbang saat menonton film
atau mendengarkan ceramah para guru yang terhormat di depan kelas. Misalnya saat
membaca novel, kita akan cepat hafal dan ingatan kita pada karakter tokoh novel yang
kita baca akan tertanam lebih dalam di benak kita dalam waktu yang lama. Ingatan
seperti inilah yang disebut sebagai teks yang senantiasa hidup dalam diri pembaca.
Jadi, alasan ini harus diketahui oleh para pemalas baca, paling tidak ini akan jadi
motivasi bagi mereka atau kita.
Lemahnya minat baca secara umum, baik anak didik, siswa, mahasiswa, guru dan
dosen berakibat pada banyak hal dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagi civitas
akademik, membaca merupakan kebutuhan pokok. Apabila kebutuhan membaca tidak
tercukupi, maka akan terjadi kegersangan intelektual yang luar biasa di dunia
pendidikan dalam skala luas. Kegersangan ini akan berakibat buruk bagi kualitas
pendidikan di Indonesia.
Ada beberapa hal yang mungkin mulai dilupakan oleh para pendidik secara umum.
Bahwa pendidikan karakter melalui teks mungkin akan lebih baik dan memiliki pengaruh
yang signifikan ketimbang program pemerintah tentang pendidikan karakter yang belum
jelas secara teknis. Semakin rumit lagi ketika kita semua tahu bahwa banyak dari
pemerintah dan guru sekalipun yang sudah jelas-jelas tidak memiliki karekter. Budaya
membaca mungkin akan sedikit membantu menyelesaikan masalah ini, meskipun ini
tidak mungkin tuntas. Tetapi paling tidak, dua bahaya laten berupa kegersangan
intelektual dan spiritual bisa kita hindari sedikit dan makin selesai.

Anda mungkin juga menyukai