Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS PERILAKU TEMAN SEBANGKU DAN KAITANNYA DENGAN

PEMBENTUKKAN KARAKTER PADA REMAJA

STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF DI SMA NEGERI 8 DEPOK

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

(disusun untuk memenuhi salah satu tugas bahasa Indonesia yang


dibimbing oleh: Riza Taufiq Rizki, S.Pd.)

Disusun oleh:

Alisha Khalis Zulaikha

Andira Qusnul Khotimah

Anida Rahayu Adawiyah

Ghandur Ghaaliy

Muhammad Gusti Alfianto

Nando Azriel Putra Wjatmoko

Kelas XI IPA 2

SMA NEGERI 8 DEPOK

DEPOK

TAHUN PELAJARAN 2018-2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini sebagai tugas yang
diberikan oleh Pak Riza Taufiq Rizki, S.Pd selaku salah satu guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia di SMAN 8 Depok. Kami berterima kasih kepada
pihak-pihak dari sumber isi makalah ini.
Makalah ini berisikan beberapa hal terkait dengan Perilaku Remaja yang
dapat dipengaruhi oleh Faktor Teman Sebangku. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman dan juga
berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Pada hakikatnya makalah ini masih banyak sekali kekurangan, kurangnya
sumber terpercaya yang dapat kami temukan. Oleh karena itu kami
mengharapkan segala masukan dan kritikan dari para pembaca kepada yang
dapat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Depok, Januari 2019  

Kelompok Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................i

i
DAFTAR ISI..............................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................1

A. Latar Belakang.......................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................1

C. Tujuan Penelitian....................................................2

BAB II LANDASAN TEORI...................................................3

A. Pengertian Menurut Para Ahli.........................................3

B. Proses Pembentukan Karakter..........................................4

C. Faktor – Faktor Pembentukan Karakter ...............................9

D. Peran Teman .........................................................

BAB III METODE PENELITIAN...............................................18

A. Metode Penelitian....................................................18

B. Lokasi Penelitian....................................................18

C Teknik Pengumpulan Data...............................................18

D. Sumber Data..........................................................19

E. Proses Penelitian....................................................19

F. Teknik Analisis Data.................................................19

G. Instrumen Penelitian.................................................21

DAFTAR PUSTAKA..........................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekolah merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan


karakter pada anak., di sekolah pergaulan remaja lebih bebas tetapi
terikat. Pergaulan didalam kelas sangat berpengaruh terhadap perilaku
sosial serta karakter seorang remaja.

Dimana dalam prosesnya tersebut melibatkan murid-murid dan seorang


guru yang terjadi dalam kelas. Pada umumnya kegiatan sekolah dimulai mulai
dari pagi hingga sore hari. Dengan begitu, sebagian besar waktu mereka
banyak digunakan di sekolah, terutama kegiatan belajar-mengajar dalam
kelas. Anak pun lebih sering bertemu dengan teman-temannya, terutama teman
sebangku. Saat itu, mereka akan lebih sering berkomunikasi dengan teman
sebangkunya, juga bertukar informasi. Menurut penelitian, sikap perilaku
baik maupun buruk seseorang bergantung pada informasi yang Ia terima. Dalam
ruang lingkup yang sempit seorang remaja dapat dengan cepat meniru ataupun
mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang di sekitarnya.

Oleh sebab itu, pergaulan yang ada di ruang lingkup kelas


sangat mempengaruhi perubahan karakter pada seorang remaja. Dalam hal ini,
yang akan kami jadikan sebagai objek penelitian adalah sebagian siswa SMA N
8 Depok.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran teman sebangku terhadap pembentukan karakter pada


remaja?
2. Bagaimana karakter remaja ketika dikelas? Apakah mirip atau sama
persis dengan teman sebangku?
3. Adakah pengaruh teman sebangku terhadap kebiasaan ?

1
C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan peran teman sebangku terhadap pembentukan karakter


2. Mendeskripsikan karakter remaja pada umumnya
3. Memaparkan pengaruh karakter teman sebangku

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Menurut Para Ahli

Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter


(character education) dalam konteks sekarang sangat relevan untuk
mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut
antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan
anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan
menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik
orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat
diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan
karakter.

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing),


sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior).
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik
didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik,
dan melakukan perbuatan kebaikan.

Menurut Soemarno Soedarsono, Karakter merupakan sebuah nilai yang sudah


terpatri di dalam diri seseorang melalui pengalaman,pendidikan,
pengorbanan, percobaan, serta pengaruh lingkungan yang kemudian
dipadupadankan dengan nilai-nilai yang ada pada diri seseorang dan menjadi
nilai intrinsik yang terwujud di dalam system daya juang yang kemudian
melandasari sikap, perilaku dan pemikiran seseorang.

1. Pendidikan Karakter Menurut Lickona

Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala


usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk
mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi
pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona
menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang

3
disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.

2. Pendidikan Karakter Menurut SuyantoSuyanto (2009) mendefinisikan


karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, maupun negara.

3. Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya, Karakter adalah ciri khas yang


dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan
mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan
“mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap,
dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010). Pendidikan Karakter Menurut Kamus
PsikologiMenurut kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau
dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan
biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982:
p.29)

B. Proses Pembentukan Karakter

Pembentukan karakter diklasifikasikan dalam 5 tahapan yang berurutan dan


sesuai usia, yaitu:

Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun. Tahapan
ini meliputi jujur, mengenal antara yang benar dan yang salah, mengenal
antara yang baik dan yang buruk serta mengenal mana yang diperintahkan,
misalnya dalam agama.

Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai 8
tahun. Tahapan ini meliputi perintah menjalankan kewajiban shalat, melatih
melakukan hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi secara mandiri, serta
dididik untuk selalu tertib dan disiplin sebagaimana yang telah tercermin
dalam pelaksanaan shalat mereka.

4
Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9sampai 10
tahun. Tahapan ini meliputi diajarkan untuk peduli terhadap orang lain
terutama teman-teman sebaya, dididik untuk menghargai dan menghormati hak
orang lain, mampu bekerjasama serta mau membantu orang lain.

Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 11 sampai 12 tahun.


Tahapan ini melatih anak untuk belajar menerima resiko sebagai bentuk
konsekuensi bila tidak mematuhi perintah, dididik untuk membedakan yang
baik dan yang buruk.

Tahap kelima adalah membentuk sikap bermasyarakat, pada usia 13 tahun ke


atas. Tahapan ini melatih kesiapan bergaul di masyarakat berbekal pada
pengalaman sebelumnya. Bila mampu dilaksanakan dengan baik, maka pada usia
yang selanjutnya hanya diperlukan penyempurnaan dan pengembangan
secukupnya. (Miya Nur Andina dalam Chacha.blog: 2013):

Pendidikan yang diajarkan oleh guru di sekolah merupakan proses untuk


membentuk karakter anak yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Sehingga
diusia sekolah anak harus selalu dikontrol dan diawasi dengan baik.
Sehingga pendidikan yang ia peroleh tidak disalahgunakan dan bisa
diterapkan serta diaplikasikan dengan baik dan benar. Unsur terpenting
dalam pembentukan karakter adalah pikirankarena pikiran/i9, yang di
dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya
(Rhonda Byrne, 2007:17). Program ini kemudian membentuk system kepercayaan
yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi
perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-
prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum
alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan.
Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
universal, maka perilkaunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan.
Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.

Menurut Muslich, (2011: 6) beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah


untuk membangun karakter bangsa, yaitu pertama menginternalisasikan
pendidikan karakter pada instansi pendidikan semenjak tingkat dini atau

5
kanak-kanak. Pendidikan karakter yang dilakukan di instansi pendidikan
dapat dilakukan dengan selalu memberikan arahan mengenai konsep baik dan
buruk sesuai dengan tahap perkembangan usia anak. Sebagai contoh, penerapan
pendidikan karakter di instansi pendidikan dapat mengikuti pilot project
SBB dan TK Karakter milik Indonesia Heritage Foundation.

Kedua, menanamkan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan bersama


generasi muda, yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat
dan bangsa terhadap upaya nihilisasi pihak luar terhadap nilai-nilai budaya
positif bangsa Indonesia. Upaya ini memerlukan andil generasi muda sebagaai
subjek program karena para generasi muda adalah penerus bangsa yang akan
menetukan masa depan dan integritas bangsa Indonesia.

Ketiga, Meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan


IPTEK. Menurut Porter (dalam Rajasa, 2007 dalam Muslich, 2011), pemahaman
daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas
dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul diera ke-21
sekarang ini. Peran daya saing dalam mewujudkan suatu entitas lebih unggul
dibandingkan lainnya yang sebenarnya suatu keniscayaan semenjak masa
lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat
luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi menurut Porter, hanya
sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan
keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.

Keempat, menggunakan media massa sebagai penyalur upaya


pembangunan karakter bangsa. Menurut Oetama, 2006 peran media ada tiga,
yaitu sebagai penyampai informasi, edukasi dan hiburan. Peran strategis ini
hendaknya dapat diberdayakan pemerintah bekerjasama dengan pemilik media
dalam penayangan informasi yang positif dan mendukung terciptanya karakter
bangsa yang kompetitif.

Untuk membentuk karakter pada anak memerlukan waktu dan proses yang tepat,
agar anak mampu memahami dan mengimplementasikan dengan tepat juga. Untuk
membentuk karakter seseorang juga melalui proses yang panjang. Segala
sesuatu memang memerlukan proses dan tata cara yang tepat dan benar. Anak-

6
anak bukanlah komputer yang apabila kita klik dan kita perintah langsung
mengikuti apa yang kita perintahkan. Anak-anak ibarat masakan yang apabila
kita memasak dan mengolahnya dengan baik dan benar serta kita bisa mengukur
kematangannya, masakan itu akan menjadi makanan yang enak dan lezat. Proses
pembentukan karakter pada anak bukanlah suatu proses sehari dua hari, namun
bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Misalnya, seorang anak asal
Indonesia yang mempunyai karakter buruk tinggal di Malaysia menyusul orang
tuanya selama tiga tahun dengan harapan apabila ia kembali pulang ke
Indonesia karakternya berubah menjadi anak yang baik, tetapi ternyata
setelah tiga tahun dan kembali ke Indonesia karakter buruknya belum
berubah. Hal ini membuktikan bahwa untuk merubah atau membentuk karakter
baik pada anak membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

1. Pengenalan

Pengenalan merupakam tahap pertama dalam proses pembentukan karakter. Untuk


seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter yang baik melalui
lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pertama tempat
anak belajar dan membentuk kepribadiannya sejak kecil. Apabila anggota
keluarga memberi contoh yang baik, maka anak juga akan meniru perbuatan
yang baik pula. Akan tetapi, apabila keluarga memberi contoh yang tidak
baik maka anak juga akan meniru yang tidak baik pula. Misalnya, orang tua
memberi contoh selalu disiplin dan tepat waktu dalam segala hal, maka
secara tidak langsung si anak akan meniru dan melakukan hal yang sama
seperti orang tuanya, selalu tepat waktu dan bersikap disiplin dalam segala
hal. Akan tetapi apabila orang tua memberi contoh kepada anak untuk selalu
menunda-nunda pekerjaan, maka anak juga akan selalu menunda-nunda apa yang
akan ia kerjakan. Maka dari itu keluarga mempunyai peran penting dalam
perkembangan kepribadian anak. Melalui tahap inilah seorang anak akan
mengenal kebiasaan.

2. Pemahaman

Tahap pemahaman berlangsung setelah tahap pengenalan. Setelah anak mengenal


dan melihat orang tuanya selalu disiplin dan tepat waktu, bangun pagi pukul

7
lima, selalu sarapan setiap pagi, berangkat ke sekolah atau kerja tepat
waktu, pulang sekolah atau kerja tepat waktu, dan shalat lima waktu sehari
dengan waktu yang tepat dan sebagainya, maka anak akan mencoba berpikir dan
bertanya, “Mengapa kita harus melakukan semuanya dengan baik dan tepat
waktu?” Setelah anak bertanya mengenai kebiasaan orang tuanya, kemudian
orang tuanya menjelaskan, “Apabila kita melakukan sesuatu dengan tepat
waktu maka berarti kita menghargai waktu yang kita miliki, kita akan diberi
kepercayaan oleh orang lain, dapat diandalkan, dan tidak akan mengecewakan
orang lain. Misalnya kalau ayah biasanya pulang kerja pukul empat dan ayah
sebelumnya sudah berjanji setelah ayah pulang kerja kita akan diajak jalan-
jalan, tetapi pada saat itu ayah pulang kerja tidak seperti biasanya pukul
empat melainkan pukul tujuh malam dan kita tidak jadi jalan-jalan bersama,
perasaan adik bagaimana? Sedih dan kecewa kan! Maka dari itu kita tidak
boleh menyia-nyiakan waktu.” Dengan penjelasan yang baik dan pelan-pelan
maka si anak akan berpikir apabila dia pulang sekolah terlambat akan
membuat orang tuanya khawatir dan panik, sehingga ia akan berusaha tidak
menyia-nyiakan waktu. Dengan begitu pemahaman telah ia dapatkan melalui
penjelasan orang tuanya.

3. Penerapan

Melalui pemahaman yang telah ia dapatkan dari orang tuanya maka si anak
akan mencoba menerapkan dan mengimplementasikan hal-hal yang telah
diajarkan oleh orang tuanya. Pada awalnya anak hanya sekedar melaksanakan
dan meniru kebiasaan orang tuanya. Anak belum menyadari dan memahami bentuk
karakter apa yang ia terapkan.

4. Pengulangan/Pembiasaan

Didasari oleh pemahaman dan penerapan yang secara bertahap ia lakukan, maka
secara tidak langsung si anak akan terbiasa dengan kedisiplinan yang
diajarkan oleh orang tuanya..Setelah setiap hari dia melakukan hal tersebut

8
hal itu akan menjadi kebiasaan yang sudah biasa ia lakukan bahkan sampai
besar nanti. Pembiasaan ini juga harus diimbangi dengan konsistensi
kebiasaan orang tua. Apabila orang tua tidak konsisten dalam mengajarkan
pembiasaan, maka anak juga akan melakukannya dengan setengah-setengah.
Apabila anak sudah tebiasa, maka hal apapun jika tidak ia lakukan dengan
tepat waktu maka dalam hatinya ia akan merasakan kegelisahan.

5. Pembudayaan

Apabila kebiasaan baik dilakukan berulang-ulang setiap hari maka hal ini
akan membudaya menjadi karakter. Terminologi pembudayaan menunjukkan ikut
sertanya lingkungan dalam melakukan hal yang sama. Kedisiplinan seakan
sudah menjadi kesepakatan yang hidup di lingkungan masyarakat, apalagi di
lingkungan sekolah. Ada orang yang senantiasa mengingatkan apabila
seseorang telah melanggar peraturan. Sama halnya dengan masalah
kedisiplinan di dalam keluarga, apabila salah satu anggota keluarga tidak
disiplin sesuai peraturan yang ditetapkan, maka anggota keluarga lain
mengingatkan dan saling menegur. Tidak jauh berbeda di lingkungan sekolah,
misalnya seorang siswa datang terlambat ketika guru sudah menerangkan
pelajaran panjang lebar, kemudian siswa tersebut masuk kelas dengan keadaan
gugup dan takut apabila dimarahi oleh gurunya, belum lagi disorakin oleh
teman-temannya. Setelah itu gurunya mengingatkan dan memberi peringatan
kepada siswa agar tidak datang terlambat lagi. Akhirnya dia akan berusaha
agar ia tidak datang terlambat lagi.

6. Internalisasi

Tahap terakhir adalah internalisasi menjadi karakter. Sumber motivasi untuk


melakukan respon adalah dari dalah hati nurani. Karakter ini akan semakin
kuat apabila didukung oleh suatu ideology atau believe. Si anak percaya
bahwa hal yang ia lakukan adalah baik. Apabila ia tidak disiplin maka ia
akan menjadi anak yang tidak bisa menghargai waktu dan susah di komtrol.

9
C. Faktor – Faktor Pembentukan Karakter

Pembentukan kepribadian seseorang berlangsung dalam suatu proses yang disebut dengan
sosialisasi, yaitu suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah-dagingkan-
internalize) norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga muncullah dirinya yang
“unik”. (Horton, 1993). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian
sebagai proses sosialisasi mencakup:

1) warisan biologis,

2) lingkungan fisik,

3) kebudayaan,

4) pengalaman kelompok, dan

5) pengalaman unik (Horton, 1993).  

1. Warisan Biologis

Semua manusia yang normal dan sehat mempunyai persamaan biologis tertentu, seperti
mempunyai dua tangan, panca indera, kelenjar seks, dan otak yang rumit. Persamaan biologis
ini membantu menjelaskan beberapa persamaan dalam kepribadian dan perilaku semua
orang. Setiap warisan biologis seserang juga bersifat unik, yang berarti, bahwa tidak seorang
pun (kecuali anak kembar) yang mempunyai karakteristik fisik yang hampir sama.

Beberapa orang percaya bahwa kepribadian seseorang tidak lebih dari sekedar penampilan
warisan biologisnya. Karakteristik kepribadian seperti ketekunan, ambisi, kejujuran,
kriminalitas, kelainan seksual, dan ciri yang lain dianggap timbul dari kecenderungan-
kecenderungan turunan Bahkan ada yang beranggapan, melalui tampilan fisik dapat diketahui
bagaimana kepribadian orang tersebut. Contoh dalam hal ini dapat dilihat dalam buku-buku
primbon Jawa, mulai dari fisik, rambut, kulit, bentuk muka, hingga tahi lalat.

Dewasa ini tidak banyak lagi yang masih mempercayai anggapan ini. Pandangan sekarang ini
menyatakan bahwa kepribadian seseorang dibentuk oleh pengalaman. Sebenarnya perbedaan
individual dalam kemampuan, prestasi, dan perilaku hampir semuanya berhubungan dengan
lingkungan, dan bahwa perbedaan individu dalam warisan biologis tidak begitu penting
(Whimby, 1975).

Fenomena kontradiktif ini, antara "bawaan dan asuhan", berlangsung cukup lama, dan
masing-masing memiliki penganut yang cukup besar. Suatu penelitian terhadap 2.500 anak
kembar siswa SLTA merupakan salah satu langkah untuk mencari derajat kebenaran dari
masing-masing anggapan dikemukakan oleh Nichols (1977), hasilnya menyimpulkan bahwa
hampir setengah variasi di antara orang-orang dalam spektrum ciri-ciri psikologis yang luas
adalah akibat dari perbedaan karakteristik genetis, sedangkan setengahnya lagi adalah akibat
lingkungan.

10
Penelitian lain dilaksanakan Medico-genetical Institute di Moskow, yang memisahkan seribu
pasangan anak kembar ketika masih bayi dan menempatkan mereka dalam lingkungan yang
terkendali untuk diamati selama 2 tahun. Hasilnya mendukung dengan jelas suatu dasar
keturunan dalam beberapa ciri, termasuk perbedaan kecerdasan. (Hardin, 1959, dalam
Horton, 1993).

Masalah warisan biologis/keturunan versus lingkungan pada dasarnya bukan hanya masalah
ilmiah, tetapi juga politis. Seperti gusarnya golongan Marxis (penganut ajaran Marx) melihat
bukti bahwa ada perbedaan dalam kecakapan bawaan, kalangan konservatif (kolot, konven-
sional, tradisional) yang dengan senang hati menggunakan bukti kecakapan warisan yang
berbeda untuk memperoleh hak yang berbeda.

Perbedaan individual dalam warisan biologis adalah nyata, terlepas dari apakah kenyataannya
demikian menyebabkan seseorang bahagia atau tidak. Untuk beberapa ciri, warisan biologis
lebih penting daripada yang lain. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa IQ anak
angkat lebih mirip dengan IQ orang tua kandungnya dari pada dengan orang tua angkatnya
(Horton, 1993).

Namun, meskipun perbedaan individual dalam IQ tampaknya lebih banyak ditentukan oleh
keturunan daripada oleh lingkungan, banyak perbedaan yang lainnya ditentukan oleh
lingkungan. Suatu studi baru-baru ini menemukan bukti bahwa faktor keturunan berpengaruh
kuat terhadap keramah-tamahan, perilaku kompulsif (memaksa) dan kemudahan dalam
pergaulan sosial, tetapi faktor keturunan tidak begitu penting dalam kepemimpinan,
pengendalian dorongan impulsif (cepat bertindak), sikap, dan minat (Horn, 1976, dalam
Horton, 1993).

Kesimpulannya, bahwa warisan biologis penting dalam beberapa ciri kepribadian dan kurang
penting dalam hal-hal lain. Tidak ada kasus yang dapat mengukur pengaruh keturunan dan
lingkungan dengan tepat, tetapi banyak ilmuwan sependapat bahwa apakah potensi warisan
seseorang berkembang sepenuhnya, sangat dipengaruhl oleh pengalaman sosial orang yang
bersangkutan.

Beberapa orang berpandangan bahwa orang gemuk adalah periang, bahwa orang dengan
kening yang lebar cerdas, bahwa orang berambut merah berwatak mudah meledak/marah,
bahwa orang dengan rahang lebar mempunyai kepribadian yang kuat. Banyak keyakinan
umum seperti itu telah terbukti tidak benar ketika diuji secara empiris, meskipun kadang-
kadang ditemukan beberapa hubungan yang absah.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Bar (1977) dengan membandingkan kelompok
sampel berambut merah dengan suatu kelompok kendali yang terdiri dari orang-orang dengan
berbagai warna rambut dan melaporkan bahwa watak si rambut merah umumnya memang
lebih sering meledak-ledak dan agresif. la mengemukakan adanya hubungan genetis antara
karakteristik fisik (rambut merah) dengan karakteristik kepribadian (mudah meledak,
agresif).

11
Penjelasan lain menyatakan bahwa setiap karakteristik fisik didefinisikan secara sosial dan
kultural dalam setiap masyarakat (Horton, 1993). Misalkan, gadis gemuk dikagumi di
Dahomey. Suatu karakteristik fisik dapat menjadikan seseorang cantik dalam suatu
masyarakat dan menjadi "anak bebek buruk rupa" dalam masyarakat lain. Oleh karena itu,
karakteristik fisik tertentu menjadi suatu faktor dalam perkembangan kepribadian sesuai
dengan bagaimana ia didefinisikan dan diperlakukan dalam masyarakat dan oleh kelompok
acuan seseorang.

Kalau orang berambut merah diharapkan mudah meledak dan dibenarkan kalau marah, tidak
mengherankan bila mereka menjadi pemarah. Sebagaimana dinyatakan diatas, orang
menanggapi harapan perilaku dari orang lain dan cenderung menjadi berperilaku seperti yang
diharapkan oleh orang lain tersebut. Sebagai kesimpulan, karakteristik fisik jarang
menghasilkan sifat-sifat perilaku tertentu, harapan sosial dan kulturallah yang
menyebabkannya demikian.

2. Lingkungan Fisik

Sorokin (1928) menyimpulkan teori beratus-ratus penulis dari Conficius, Aristoteles, dan
Hipocrates sampai kepada ahli geografi Ellsworth Huntington, yang menekankan bahwa
perbedaan perilaku kelompok terutama disebabkan oleh perbedaan iklim, topografi, dan
sumber alam. Teori tersebut sesuai benar dengan kerangka etnosentris (pandangan yang
menyatakan anggota badan kita lebih baik dibandingkan dengan lainnya, karena geografi
memberikan keterangan yang cukup baik dan jelas objektif terhadap kebajikan nasional dan
sifatsifat buruk orang lain.

Pada umumnya diakui bahwa lingkungan fisik mempengaruhi kepribadian. Bangsa


Athabascans memiliki kepribadian yang dominan yang menyebabkan mereka dapat bertahan
hidup dalam iklim yang lebih dingin daripada daerah Arctic (Boyer, 1974). Orang pedalaman
Australia harus berjuang dengan gigih untuk tetap hidup, padahal bangsa Samoa hanya
memerlukan sedikit waktu setiap harinya untuk mendapatkan lebih banyak makanan daripada
yang bisa mereka makan. Malah sekarang beberapa daerah hanya dapat menolong sebagian
kecil penduduk yang tersebar sangat jarang, dan kepadatan penduduk mempengaruhi
kepribadian.

Suku Ik dari Uganda sedang mengalami kelaparan secara perlahan, karena hilangnya tanah
tempat perburuan tradisional, dan menurut Turnbull (1973) mereka menjadi sekelompok
orang yang paling tamak, paling rakus di dunia; sama sekali tidak memiliki keramahan, tidak
suka menolong atau tidak mempunyai rasa kasihan, malah merebut makanan dari mulut anak
mereka dalam perjuangan mempertahankan hidup.

Suku Quolla dari Peru digambarkan oleh Trotter (1973) sebagai sekelompok orang yang
paling keras di dunia, dan ia menghubungkan hal ini dengan hipoglikemia (menurunnya
kandungan glukosa darah) yang timbul karena kekurangan makanan. Namun, dari lima faktor

12
tersebut di atas, lingkungan fisik merupakan faktor yang paling tidak penting, jauh kurang
pentingnya dari faktor kebudayaan, pengalaman kelompok, atau pengalaman unik.

3. Kebudayaan

Beberapa pengalaman umum bagi seluruh kebudayaan, dimana bayi dipelihara atau diberi
makan oleh orang yang lebih tua, hidup dalam kelompok, belajar berkomunikasi melalui
bahasa, mengalami hukuman dan menerima imbalan/pujian dan semacamnya, serta
mengalami pengalaman lain yang umum dialami oleh jenis manusia. Setiap masyarakat
sebenarnya memberikan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain
kepada anggotanya.

Dari pengalaman sosial yang sebenarnya yang umum bagi seluruh anggota masyarakat
tertentu, timbullah konfigurasi kepribadian yang khas dari anggota masyarakat tersebut.
DuBois (1944) menyebutnya sebagai "modal personality" (diambil dari istilah statistis
"mode" yang mengacu pada suatu nilai yang paling sering timbul dalam berbagai seri).
Beberapa contoh dari pengaruh unsur kebudayaan terhadap kepribadian, sebagaimana kasus
suku Dobu di Melanisia (Horton, 1993).

Anak suku Dobu yang lahir ke dunia hanya pamannya yang mungkin menyayanginya,
terhadap siapa ia akan menjadi ahli warisnya, Ayahnya yang lebih tertarik kepada anak-anak
saudara perempuannya biasanya membencinya, karena si ayah harus menunggu sampai anak
tersebut disapih untuk dapat melakukan hubungan seksual dengan ibunya. Sering juga ia
tidak diharapkan oleh ibunya dan tidak jarang terjadi pengguguran.

Hidup suku Dobu diatur oleh ilmu sihir, penyebab kejadian bukan berasal dari alam; semua
gejala dikendalikan oleh ilmu sihir yang telah dikenakan terhadap seseorang dan
menyebabkan balas dendam dari keluarganya. Bahkan mimpipun diinterpretasikan sebagai
sihir. Malah nafsu seksual tidak akan muncul apabila tidak menanggapi penyihiran cinta
orang lain, yang membimbingnya menuju kepadanya, sementara daya sihir cinta seseorang
menunjukkan keberhasilannya.

Setiap orang Dobu selalu merasa takut akan diracun. Makanan dijaga dengan waspada pada
waktu dimasak dan hanya dengan beberapa orang tertentulah orang Dobu bersedia makan
bersama. Setiap saat setiap desa melindungi diri dari semua pasangan yang berkunjung dari
desa lain, dan semua tamu ini tidak dapat dipercayai oleh yang punya rumah dan para tamu
sendiri tidak saling percaya. Sungguh tidak seorang pun dapat dipercaya penuh; para suami
cemas terhadap sihir isterinya dan takut terhadap mertua.

Sepintas lalu, hubungan sosial di Dobu adalah cerah dan sopan meskipun keras dan tanpa
humor. Pertentangan hanyalah sedikit, karena menghina atau bermusuhan berbahaya. Namun,
teman-teman juga berbahaya. Persahabatan mungkin merupakan awal pengracunan atau
pengumpulan bahan (rambut, kuku tangan) yang berguna untuk menyihir.

13
Kepribadian yang berkembang dalam kebudayaan semacam itu? setiap orang Dobu bersifat
bermusuhan, curiga, tidak dapat dipercaya, cemburu, penuh rahasia, dan tidak jujur.

Sifat-sifat ini merupakan tanggapan yang rasional, karena orang Dobu hidup dalam dunia
yang penuh kejahatan, dikelilingi musuh dan tukang sihir. Pada akhirnya mereka yakin akan
dihancurkan. Walaupun mereka melindungi diri dengan sihir mereka, tetapi mereka tidak
pemah merasakan perlindungan yang nyaman. Mimpi buruk mungkin menyebabkan mereka
terkapar di tempat tidur berhari-hari. dan ini adalah suatu hal yang nyata, benar bukan
hayalan/irasional.

Contoh kasus lain adalah yang terjadi pada suku Zuni di Meksiko, yang diidentifikasikan
sebagai bangsa yang tenang dalam lingkungan yang sehat secara emosional. Kelahiran anak
disambut dengan hangat, diperlakukan dengan kemesraan yang lembut dan banyak mendapat
kasih sayang. Tanggung jawab dalam mendidik anak sungguh besar dan menyebar; seorang
anak akan ditolong atau diperhatikan oleh setiap orang dewasa yang ada. Menghadapi
benteng orang dewasa yang terpadu, anak-anak jarang berperilaku salah; dan sekalipun
mungkin dikata-katai, tetapi jarang dihukum.

Rasa malu adalah alat kendali yang paling utama yang sangat sering ditimbulkan di depan
orang lain. Berkelahi dan perilaku agresif sangat tidak disetujui dan orang Zuni dididik untuk
mengendalikan nafsu mereka pada usia muda. Pertengkaran terbuka hampir tidak tampak.
Nilai-nilai orang Zuni menekankan hormat, kerja sama dan ketiadaan persaingan, agresivitas
atau keserakahan. Ketidak wajaran dalam segala bentuk ditolak, dan alkohol umumnya
ditolak karena mendorong perilaku yang tidak wajar.

Harta dinilai untuk penggunaan langsung, bukan untuk prestise atau simbol kekuasaan.
Walaupun orang Zuni tidak ambisius, mereka memperoleh kekuasaan melalui pengalaman
dalam upacara, nyanyian, dan fetis agama. Seorang yang "miskin" bukanlah orang yang tidak
memiliki harta, tetapi orang yang tidak memiliki sumber dan hubungan yang bersifat upacara
(seremonial). Kehidupan upacara memenuhi setiap segi kehidupan orang Zuni.

Kerja sama, perilaku yang wajar dan minimnya individualisme meresap dalam perilaku orang
Zuni. Milik pribadi tidaklah penting dan siap untuk dipinjamkan pada orang lain. Anggota
rumah tangga yang bersifat matrilineal bekerja bersama sebagai suatu kelompok dan hasil
tanaman disimpan dalam gudang umum. Setiap orang bekerja untuk kepentingan kelompok,
bukan untuk kepentingan pribadi.

Peran pemimpin jarang dicari tetapi harus dipaksakan pada seseorang. Isyu dan perselisihan
 diselesaikan secara wajar bukan dengan permohonan pada penguasa atau dengan
mempertunjukkan kekuasaan atau dengan perdebatan yang berkepanjangan, tetapi dengan
diskusi yang lama dan sabar. Keputusan mayoritas sederhana tidak menyelesaikan persoalan
secara menyenangkan, kesepakatan (konsensus) perlu dan kesepakatan bulat diharapkan.

Bagaimana perkembangan kepribadian orang Zuni? sangat bertentangan dengan kepribadian


normal di antara orang Dobu. Bila bangsa Dobu bersifat curiga dan tidak dapat dipercaya,

14
bangsa Zuni mempunyai kepercayaan diri dan dapat dipercaya; bila bangsa Dobu cemas dan
merasa tidak aman, bangsa Zuni merasa aman dan tentram. Bangsa Zuni umumnya memiliki
watak yang suka mengalah dan pemurah, sopan dan suka bekerja sama.

Bangsa Zuni adalah orang-orang konformis yang tanpa pikir, karena menjadi seseorang yang
nyata-nyata berbeda dari orang lain dapat menyebabkan seseorang atau kelompok itu sangat
cemas. Hal ini membantu mengendalikan perilaku tanpa perasaan berdosa dan bersalah yang
banyak ditemukan dalam banyak masyarakat. Bertolak dari contoh di atas, dapat diketahui
ada beberapa segi dari kebudayaan yang mempengaruhi proses perkembangan kepribadian,
yaitu norma-norma kebudayaan masyarakat dan proses sosialisasi diri (Horton, 1993).

Norma-norma kebudayaan yang ada dalam lingkungan masyarakat mengikat manusia sejak
saat kelahirannya. Seorang anak diperlakukan dalam cara-cara yang membentuk kepribadian.
Setiap kebudayaan menyediakan seperangkat pengaruh umum, yang sangat berbeda dari
masyarakat ke masyarakat. Linton (1985) mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan
serangkaian pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan
masyarakat.

Pengaruh-pengaruh ini berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain, tetapi semuanya
merupakan denominator pengalaman bagi setiap orang yang termasuk ke dalam masyarakat
tersebut. Penelitian dalam soal perkembangan kepribadian dalam kebudayaan juga telah
gagal dalam membuktikan teori Freud tentang hasil cara mengasuh anak yang khusus (Eggan,
1943, Dai, 1957 dalam Horton, 1993).

Dimana hasilnya menunjukkan bahwa suasana lingkungan keseluruhan merupakan hal


penting dalam perkembangan kepribadian, bukan cara tertentu yang spesifik. Apakah seorang
anak diberi susu ASI atau susu botol, tidaklah penting; yang penting adalah apakah cara
pemberian susu itu dilakukan dalam kondisi yang merupakan suasana mesra dan penuh kasih
sayang dalarn dunia yang hangat dan aman; atau kejadian biasa yang terburu-buru dalam
situasi yang tanpa perasaan, kurang tanggap dan tidak akrab.

Seorang bayi lahir ke dunia ini sebagai suatu organisme kecil yang egois yang penuh dengan
segala macam kebutuhan fisik. Kemudian ia menjadi seorang manusia dengan seperangkat
sikap dan nilai, kesukaan dan ketidaksukaan, tujuan serta maksud, pola reaksi, dan konsep
yang mendalam serta konsisten tentang dirinya. Setiap orang memperoleh semua itu melalui
suatu proses yang disebut sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses dengan mana seseorang
menghayati (mendarah dagingkan-internalize) norma-nonna kelompok di mana ia hidup
sehingga timbullah "diri" yang unik.

4. Pengalaman Kelompok

Pada awal kehidupan manusia tidak ditemukan apa yang disebut diri. Terdapat organisme
fisik, tetapi tidak ada rasa pribadi. Kemudian bayi mencoba merasakan batas-batas tubuhnya,
mereka mulai mengenali orang. Kemudian beranjak dari nama yang membedakan status
menjadi nama yang mengidentifikasi individu, termasuk dirinya. Kemudian mereka

15
menggunakan kata "saya" yang merupakan suatu tanda yang jelas atas kesadaran diri yang
pasti. Suatu tanda bahwa anak tersebut telah semakin sadar sebagai manusia yang berbeda
dari yang lainnya.

(Horton, 1993). Dengan kematangan fisik serta akumulasi pengalaman-pengalaman sosialnya


anak itu membentuk suatu gambaran tentang dirinya. Pembentukan gambaran diri seseorang
mungkin merupakan proses tunggal yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian.
Pengalaman sosial merupakan suatu hal penting untuk pertumbuhan manusia. Perkembangan
kepribadian bukanlah hanya sekedar pembukaan otomatis potensi bawaan. Tanpa
pengalaman kelompok, kepribadian manusia tidak berkembang.

Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia membutuhkan pengalaman kelompok yang intim
bila mereka ingin berkembang sebagai makluk dewasa yang normal. Keberadaan kelompok
dalam masyarakat merupakan suatu hal penting dalam perkembangan kepribadian seseorang,
karena kelompok-kelompok ini merupakan model untuk gagasan atau norma-norma perilaku
seseorang. Kelompok semacam itu disebut kelompok acuan (reference group).

Mula-mula kelompok keluarga adalah kelompok yang terpenting, karena kelompok ini
merupakan kelompok satu-satunya yang dimiliki bayi selama masa-masa yang paling peka.
Semua yang berwenang setuju bahwa ciri-ciri kepribadian dasar dari individu dibentuk pada
tahun-tahun pertama ini dalam lingkungan keluarga. Kemudian, kelompok sebaya (peer
group), yakni kelompok lain yang sama usia dan statusnya, menjadi penting sebagai suatu
kelompok referens.

Kegagalan seorang anak untuk mendapatkan pengakuan sosial dalam kelompok sebaya sering
diikuti oleh pola penolakan sosial dan kegagalan sosial seumur hidup. Apabila seorang belum
memiliki ukuran yang wajar tentang penerimaan kelompok sebaya adalah sulit, kalau tidak
dapat dikatakan mustahil, bagi seorang untuk mengembangkan gambaran diri yang dewasa
sebagai seorang yang berharga dan kompeten.

Kelompok acuan ini dalam perkembangannya mengalami pergantian seiring dengan usia dan
aktifitas individu yang bersangkutan. Hanya perlunya disadari bahwa dari ratusan
kemungkinan kelompok referens yang menjadi penting bagi setiap orang dan dari evaluasi
kelompok ini gambaran diri seseorang secara terus-menerus dibentuk dan diperbaharui. Oleh
karena itu, tidaklah salah kalau dikatakan bahwa setiap individu bisa menjadi acuan atau
referens bagi individu lainnya dalam pembentukan kepribadian yang bersangkutan, demikian
juga sebaliknya.

Masyarakat yang kompleks/majemuk memiliki banyak kelompok dan kebudayaan khusus


dengan standar yang berbeda dan kadangkala bertentangan. Seseorang dihadapkan pada
model-model perilaku yang pada suatu saat dipuji sedang pada saat lain dicela atau disetujui
oleh beberapa kelompok dan dikutuk oleh kelompok lainnya. Dengan demikian seorang anak
akan belajar bahwa ia harus "tangguh" dan mampu untuk "menegakkan haknya", namun pada
saat yang sama ia pun harus dapat berlaku tertib, penuh pertimbangan dan rasa hormat.
Dalam suatu masyarakat di mana setiap orang bergerak dalam sejumlah kelompok dengan

16
standar dan nilai yang berbeda, setiap orang harus mampu menentukan cara untuk mengatasi
tantangan-tantangan yang serba bertentangan.

5. Pengalaman Yang Unik

Mengapa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sama sedemikian
berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang
sama? Masalahnya adalah karena mereka tidak mendapatkan pengalaman yang sama; mereka
pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam
beberapa hal lainnya. Setiap anak memasuki suatu unit/kesatuan keluarga yang berbeda.

Anak yang dilahirkan pertama, yang merupakan anak satu-satunya sampai kelahiran anak
yang kedua, kemudian akan mempunyai adik lak-ilaki atau perempuan dengan siapa ia dapat
bertengkar. Orang tua berubah dan tidak memperlakukan sama semua anak-nya. Anak-anak
memasuki kelompok sebaya yang bebeda, mungkin mempunyai guru yang berbeda dan
berhasil melampaui peristiwa yang berbeda pula.

Sepasang anak kembar mempunyai warisan (heredity) yang identik dan (kecuali bila
dipisahkan) lebih cenderung memperoleh pengalaman yang sama. Mereka berada dalam
suatu keluarga bersama-sama, seringkali mempunyai kelompok sebaya yang sama, dan
diperlakukan kurang lebih sama oleh orang lain; akan tetapi bahkan anak kembar pun tidak
mengalami bersama seluruh peristiwa dan pengalaman.

Karena pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada persamaannya. Pengalaman
sendiripun tidak ada yang secara sempurna dapat menyamainya. Suatu inventarisasi dari
pengalaman sehari-hari berbagai anak-anak dalam suatu keluarga yang sama akan
mengungkapkan banyaknya perbedaan. Maka setiap anak (terkecuali anak kembar yang
identik) mempunyai warisan biologis yang unik, yang benar-benar tidak seorang pun dapat
menyamainya, dan demikian pula halnya suatu rangkaian pengalaman hidup yang unik tidak
dapat benar-benar disamai oleh pengalaman siapa pun.

Pengalaman tidak lah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Kepribadian tidak lah
dibangun dengan menyusun suatu peristiwa di atas peristiwa lainnya sebagaimana
membangun tembok bata. meniru satu sama lainnya, akan tetapi mereka juga berusaha untuk
memiliki identitas sendiri. Anak-anak yang lebih muda seringkali menolak kegiatan yang
telah dikerjakan dengan baik oleh kakak-kakaknya, dan mencari pengakuan melalui kegiatan-
kegiatan lainnya.

D. Peran Teman

1. Hubungan pertemanan menjadi sebuah medan pembelajaran dan pelatihan berbagai


keterampilan social seperti negosiasi, persuasi, kerjasama, kompromi, kendali
emosional, dan penyelesaian konflik.

17
2. Teman sebaya memberikan dukungan social, moral, dan emosional. Teman sebaya
dapat dijadikan sumber rasa nyaman dan aman karena teman sebaya bisa menjadi
sebuah kelompok tempat mereka dapat belajar bersama, aman dari anak-anak
berandalan; bahkan pada saat memasuki masa pubertas, teman sebaya sering kali
menjadi andalan, mengalahkan orang tua sendiri, terutama ketika mengalami masa
krisis atau kebingungan

3. Teman sebaya berperan terhadap perkembangan pribadi dan social, yaitu dengan
menjadi agen sosialisasi yang membantu membentuk perilaku dan keyakinan mereka.
Dalam hal ini teman sebaya menentukan pilihan tentang cara menghabiskan waktu
senggang, misalnya dengan belajar bersama.

4. Dengan teman sebaya, anak mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk


bersosialisasi dan menjalin keakraban, Anak mampu meningkatkan hubungan dengan
teman, anak mendapatkan rasa kebersamaan. Selain itu, anak termotivasi untuk
mencapai prestasi dan mendapatkan rasa identitas. Anak juga mempelajari
keterampilan kepemimpinan dan keterampilan berkomunikasi, bekerja sama, bermain
peran, dan membuat atau menaati aturan.
5. Teman sebaya menjadi model atau contoh tentang cara berperilaku terhadap teman-
teman sebaya. Kelompok teman sebaya menyediakan sumber informasi dan
perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik
tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya dan belajar
tentang dunia di luar keluarga mereka.

18
19

BAB III
MENTODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor
dalam Moloeng (2007 hlm. 4) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati dari fenomena yang terjadi. Lebih lanjut Moleong
(2007 hlm. 11) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif menekankan pada data berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka yang disebabkan oleh adanya penerapan
metode kualitatif.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian terutama


dalam menangkap fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang
diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat.
Lokasi yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan sengaja yang dilakukan
di SMA Negeri 8 Depok. Dengan berbagai pertimbangan dan alasan antara lain:
1. Pertimbangan tenaga, biaya dan waktu
Keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti dalam hal tenaga, biaya dan waktu
menjadi salah satu pertimbangan pemilihan lokasi.
2. SMA Negeri 8 Depok merupakan …

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. menurut Sugiyono
(2007:209) bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik
pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi, wawancara, angket dan
dokumentasi. Namun dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh
peneliti adalah dengan melalui tiga metode, yaitu:
1. Wawancara
Esterberg dalam Sugiyono (2007:211), mendefinisikan wawancara sebagai pertemuan
dua orang atau lebih untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga
dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tersebut. Dengan wawancara, maka
peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang informan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa
ditemukan melalui observasi. Dalam melakukan wawancara, peneliti menyiapkan
instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk diajukan, dan
mencatat apa yang dikemukakan oleh informan, oleh karena itu jenis jenis wawancara
yang digunakan oleh peneliti termasuk kedalam jenis wawancara terstruktur.
2. Observasi
Observasi bertujuan untuk mengamati subjek dan objek penelitian, sehingga peneliti
dapat memahami kondisi yang sebenarnya.
3. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental seseorang (Sugiyono, 2007 hlm. 213).

D. Sumber Data
Menurut Lofland dalam Moleong (2007:165), sumber data utama dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

Dalam penelitian ini data yang diperlukan antara lain hasil wawancara dari berbagai
karakter siswa di SMAN 8 Depok.

E. Proses Penelitian

Proses penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan beberapa
wawancara yang dari berbagai pihak siswa/siswi di SMAN 8 Depok yang berkaitan
dengan materi yang dibahas dalam karya tulis ilmiah ini.
F. Teknik Analisis Data
Aktivitas dalam menganalisis data kualitatif yaitu antara lain:
1. Reduksi Data
Diartikan sebagai peroses pemilihan, pemisahan, perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis
dilapangan.
2. Penyajian Data
Dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah peneliti dalam melihat gambaran
secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian. Penyajian data dilakukan
dengan cara mendeskripsikan hasil wawancara yang dituangkan dalam bentuk uraian

20
dengan teks naratif, dan didukung oleh dokumen-dokumen, serta foto-foto maupun
gambar sejenisnya untuk diadakanya suatu kesimpulan.
3. Penarikan Kesimpulan
Peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari pola, tema, hubungan persamaan,
hal-hal yang sering timbul

21
G. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini istrumen yang digunakan yakni daftar pertanyaan yang akan
dijadikan data yang diambil dari narasumber terkait. Berikut merupakan pertanyaan yang
dapat mewakili rumasan masalah pada penelitian ini.

1. Bagaimana pendapatmu tentang pergaulan sehari-haari


2. Apa yang kamu ketahui tentang pengaruh teman
terhadap perubahan perilaku manusia
3. Apakah dampak pergaulan selalu positif?
4. Bagaimana cara menghindari dampak negatif dari
pergaulan

22
DAFTAR PUSTAKA

Pengertian :https://DosenPsikologi.com/

https://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/

Proses :Afid Burhanuddin https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/proses-pembentukan-


karakter-3/

Faktor –faktor : http://materipelajaranterbaruips.blogspot.com/2016/02/faktor-faktor-pembentuk-


karakter.html?m=1

Peran teman http://arofahmeymey.blogspot.com/2013/12/pengaruh-teman-sebaya-terhadap.html?


m=1

23

Anda mungkin juga menyukai