Anda di halaman 1dari 9

1.

Pembelajaran Abad 21 Bagi Daerah Terpencil

Mengintergrasikan TIK kedalam pembelajaran di sekolah merupakan salah satu upaya


mencapai tujuan pendidikan abad 21. Namun, pengintegrasian ini memiliki tantangan bagi
sekolah daerah terpencil. Oleh karena itu, pembelajaran abad 21 di daerah terpencil
memerlukan perhatian khusus pemerintah.

Hasil analisis sekolah daerah terpencil di Kalimatan Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara
diperoleh hambatan untuk menerapkan pembelajaran abad 21. Hambatan tersebut berupa: (1)
fasilitas sarana dan prasarana, hambatan selain belum terpenuhinya fasilitas TIK adalah
perpustakaan. Beberapa sekolah belum memiliki ruang khusus dan kekurangan buku serta buku
yang tersedia tidak terbarukan. Buku terbarukan adalah solusi mendapatkan informasi tanpa
internet dan memotivasi siswa belajar mandiri; (2) keprofesionalan guru, tidak meratanya
sebaran guru ataupun kurangnya guru pelajaran tertentu menyebabkan guru mengajar bukan
berdasarkan disiplin ilmu. Mengganti kekosongan guru mengurangi fokus guru melahirkan ide-
ide kreatif dalam pelajaran yang diampunya; dan (3) kurikulum, menyamakan standar dan
perlakuan pembelajaran nasional tanpa menyamakan fasilitas sekolah memerlukan pengkajian
kembali. Informasi ini memberi titik terang apa yang harus dilakukan pemerintah dan guru
dalam mendukung pembelajaran abad 21.

Bagi pemerintah, untuk menyukseskan pendidikan abad 21 di daerah terpencil, perlu: (1)
mempercepat pemerataan fasilitas TIK pembelajaran diseluruh daerah tanpa terkecuali; (2)
membangun perpustakaan, menyediakan buku belajar baik fiksi maupun non fiksi untuk
mendorong budaya literasi siswa; (3) menyediakan alat peraga sebagai visualisasi materi ajar
guna mendukung pembelajaran tanpa teknologi; (4) melakukan kajian kurikulum khusus daerah
terpencil; (5) membentuk guru peneliti dari guru-guru daerah terpencil untuk merumuskan
strategi pembelajaran sesuai kondisi daerah; (6) memprogramkan pertukaran guru antara guru
daerah terpencil dengan daerah berkembang untuk menghasilkan ide-ide kreatif dalam
pembelajaran serta menyesuaikan kebutuhan guru di sekolah; (7) memfasilitasi pelatihan guru
untuk meningkatkan kualitasnya terkait pembelajaran abad 21 sesuai kondisi daerah; dan (8)
mempercepat program internet masuk ke daerah terpencil.
Bagi guru, pembelajaran dimulai dengan memperbarui pengetahuan bukan berarti
menitiberatkan pembelajaran pada alat TIK. Teknologi dan Informasi dan Komunikasi (TIK)
adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan bukanlah sebagai tujuan pendidikan abad 21.
Kualitas terbaik guru daerah terpencil menyeimbangkan ketidaksediaan alat TIK dalam
pembelajaran. Guru harus mampu menciptakan kegiatan pembelajaran yang aktif, kolaboratif,
efektif dan efisien serta membekali siswa dengan berbagai skill.

Kegiatan pembelajaran yang disusun menganut empat prinsip pokok pembelajaran abad 21
sebagaimana yang dirumuskan Jennifer Nichols dalam Rohim, Bima dan Julian (2016). Adapun
keempat prinsip tersebut yakni (1) pembelajaran berpusat pada siswa; (2) siswa mampu
berkolaborasi dengan teman ataupun orang lain; (3) pembelajaran diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari; dan (4) sekolah terintegrasi dengan masyarakat.

Dinamika Pembelajaran Abad 21 Bagi Daerah Terpencil dan Berkembang

Keempat prinsip pembelajaran abad 21 tersebut diadaptasikan kedalam pembelajaran oleh


guru dengan: (1) menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang menggambarkan
aktivitas siswa, guru, pemanfaatan media pembelajaran dan proses penilaian; (2) memperbarui
pengetahuan sesuai perkembangan zaman; (3) menerapkan berbagai strategi pembelajaran
untuk memberi variasi pengalaman belajar; dan (4) meningkatkan kreatifitas untuk
menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa selalu tertarik ke
sekolah. Mengembangkan keempat kegiatan pembelajaran tersebut mendorong guru
menciptakan pembelajaran berasaskan prinsip pembelajaran abad 21. Namun, para guru tetap
perlu untuk menguasai teknologi yang terkait langsung terhadap pembelajarannya. Hal ini
dikarenakan perubahan adalah sebuah kepastian sekarang ataupun nanti. Oleh karena itu,
pemerintah secara bertahap dan berkesinambungan mengupayakan pemerataan bantuan TIK
yang menjangkau seluruh daerah di Indonesia.

2. Pembelajaran Abad 21 Bagi Daerah Berkembang

Salah satu misi pendidikan abad 21 yakni membangun keterampilan melek TIK dan media pada
siswa. Misi ini dapat tercapai di daerah berkembang walaupun beberapa sekolah belum
memiliki fasilitas TIK pembelajaran. Kondisi ini tidak menghambat menerapkan pembelajaran
abad 21 karena internet sudah menjangkau daerah berkembang. Kemudahan mendapatkan
informasi melalui internet mendukung guru dan siswa membangun keterampilannya seperti
keterampilan TIK. Namun, perlu penguatan pendidikan karakter siswa agar pemanfaatan TIK
dilakukan dengan tepat.

Bagi pemerintah, solusi pembelajaran abad 21 adalah memanfaatkan portal yang


dikembangkan pusat teknologi informasi dan komunikasi pendidikan (pustekkom) serta
beberapa media lain. Salah satu portal pendidikan tersebut dikenal dengan "Rumah Belajar"
(https://belajar.kemdikbud.go.id). Rumah belajar menyediakan bahan pembelajaran yang
interaktif dan memfasilitasi komunikasi serta interaksi antar komunitas. Delapan fitur utama
rumah belajar yakni: (1) sumber belajar; (2) buku sekolah elektronik (BSE); (3) bank soal; (4)
laboratorium maya; (5) peta budaya; (6) wahana jelajah angkasa; (7) pengembangan
keprofesian berkelanjutan (PKB); dan (8) kelas maya. Selain itu, ada tiga fitur pendukung yakni:
(1) karya komunitas; (2) karya guru; dan (3) karya bahasa dan sastra. Kesebelas fitur tersebut
dirancang mendukung pembelajaran abad 21 yang diakses dimana saja, kapan saja dengan
siapa saja.

Bagi guru, selain memanfaatkan portal pendidikan pemerintah perlu memperbarui


pengetahuannya dari berbagai sumber. Penerapan pembelajaran abad 21 di daerah
berkembang harus menyesuaikan muatan pendidikan era revolusi industri 4.0 sehingga guru
harus melek digital. Muatan pembelajaran diharapkan mampu memenuhi keterampilan abad
21 yakni: (1) pembelajaran dan keterampilan inovasi meliputi penguasaan pengetahuan dan
keterampilan yang beraneka ragam, pembelajaran dan inovasi, berpikir kritis dan penyelesaian
masalah, komunikasi dan kolaborasi, dan kreatifitas dan inovasi; (2) keterampilan literasi digital
meliputi literasi informasi, literasi media dan literasi ICT; (3) karir dan kecakapan hidup meliputi
fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif, interaksi sosial dan budaya, produktifitas dan
akuntabilitas, dan kepemimpinan dan tanggung jawab (Trilling dan Fadel, 2009). Pada akhirnya
pendidikan menghasilkan generasi bangsa yang produktif sehingga permasalahan
pengangguran dan daya saing sumber daya manusia terminimalisasi.

3. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor yang paling utama dalam kehidupan. Melalui pendidikan, setiap
orang dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya (Astuti, 2015). Biaya pendidikan saat ini sering kali menjadi sebuah
problema bagi orangtua. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya di perguruan tinggi melainkan
juga biaya pendidikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas walaupun sekarang ini
sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS), namun semuanya itu masih
belum mampu menyelesaikan masalah yang ada.
Pendidikan di Indonesia masih merupakan investasi yang mahal sehingga diperlukan
perencanaan keuangan serta perlu kesiapan dana pendidikan sejak dini. Setiap keluarga harus
memiliki perencanaan keuangan karena dengan adanya perencanaan keuangan sejak awal,
maka pendidikan yang diberikan pada anak akan terus berlanjut sehingga anak tidak akan putus
sekolah. Tanggung jawab orangtua sangatlah berat karena harus membiayai anak sejak dia lahir
sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Mahalnya biaya pendidikan karena banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan
sehingga tidak memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya. Kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang dialami masyarakat menimbulkan kemiskinan (Suryono &
Wesa, 2014). Dampaknya yaitu membuat anak putus sekolah, anak tersebut hanya mendapat
pendidikan sampai pada jenjang sekolah dasar. Padahal pemerintah ingin menuntaskan wajib
belajar 12 tahun. Jika masalah ini tidak mendapat perhatian, maka program tersebut tidak akan
terealisasi. Banyak anak yang putus sekolah karena orangtua tidak mampu untuk
menyekolahkan anaknya. Permasalahan kemiskinan memang menjadi momok bagi negara
Indonesia, masyarakat ekonomi Asean (MEA) sendiri salah satu tujuannya adalah adanya
pengurangan angka kemiskinan dari negara-negara di ASEAN (Nugroho, 2016).

Kualitas pendidikan di Indonesia juga sangat memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dengan data
UNESCO tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174
negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan
ke-109 (1999).

Apa makna data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Jelas ada masalah dalam
sistem pendidikan Indonesia. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut memberi andil besar pada
HDI tersebut walau pendidikan hanya satu dari lima faktor yang menentukan peringkat HDI
(Dananjaya, 2005). Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis),
berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu: 1) masalah mendasar,
yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem
pendidikan. 2) masalah teknis penyelenggaraan, yaitu berbagai masalah yang berkaitan dengan
aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Mahalnya pendidikan masih menjadi perbincangan dan permasalahan masyarakat setiap kali
pergantian tahun ajaran, bukan hanya terjadi pada sekolah swasta tetapi juga sekolah yang
berstatus negeri. Orangtua siswa harus berpikir kembali untuk melanjutkan anaknya pada
jenjang yang lebih tinggi akibat semakin tingginya biaya pendidikan.
Padahal pendidikan adalah suatu bentuk hak asasi yang harus dipenuhi dari lembaga atau
institusi yang berkewajiban memenuhinya secara merata, sehingga semua masyarakat dalam
suatu bangsa tersebut dapat menikmatinya. Mengingat pentingnya pendidikan untuk semua
masyarakat, sehingga posisinya sebagai salah satu bidang yang mendapat perhatian serius
dalam oleh negara. Oleh karena itu, pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan yang
dapat dijangkau oleh semua kalangan dan bahkan gratis untuk masyarakatnya.

Dampak Tingginya Biaya Pendidikan

Mahalnya biaya pendidikan akan membawa dampak yang cukup besar dalam perkembangan
pembangunan manusia Indonesia. Pertama, sumber dayan manusia kita akan semakin endah
dan kalah bersaing. Salah satu sektor strategis dalam usaha pengembangan sumber daya
manusia (SDM) di Indonesia adalah sektor pendidikan. Pendidikan memberikan peran yang
sangat besar dalam menentukan kualitas dan standard SDM di Indonesia untuk membangun
Indonesia yang lebih baik. Permasalahan yang ikut membawa dampak sangat besar pada
pelajar adalah permasalahan mengenai mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Permasalahan
ini dinilai sebagai permasalahan klasik yang terus muncul kepermukaan dan belum selesai
hingga sekarang. Padahal, tingginya biaya pendidikan saat ini tidak sesuai dengan mutu atau
kualitas serta output pendidikan itu sendiri. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari masih
tingginya persentase pengangguran terdidik (sarjana).

Kedua, lemahnya taraf ekonomi masyarakat. Pendidikan memiliki daya dukung yang
representatif atas pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya pendidikan dapat meningkatkan
produktivitas kerja seseorang, yang kemudian akan meningkatakan pendapatannya.
Peningkatan pendapatan ini berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang
bersangkutan, untuk kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat
berpendapatan rendah. Pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan peserta
didik menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap dalam pekerjaannya yang akan
memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, sehingga yang secara tidak langsung akan
meningktakan pendapatan nasional. Permasalahan yang sering muncul ke permukaan adalah
jarang adanya integrasi yang kuat antara pekerjaan dan pendidikan yang dibutuhkan yang
mengakibatkan munculnya pengangguran terdidik dan terlatih. Oleh karena itu, pendidikan
perlu mengantisipasi kebutuhan tersebut. Ia harus mampu memprediksi dan mengantisipasi
kualifikasi pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja. Prediksi ketenagakerjaan sebagai dasar
dalam perencanaan pendidikan harus mengikuti pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan
kebijaksanaan sosial ekonomi dari pemerintah.
Upaya Apa yang Harus Dilakukan?

Besar kecilnya subsidi pemerintah itulah yang membuat mahal atau murahnya biaya pendidikan
yang harus dibayarkan oleh orangtua atau masyarakat. Kalau kita ingin biaya pendidikan tidak
mahal maka subsidi pemerintah harus besar. Usaha untuk menjadikan pendidikan tidak mahal
untuk dikonsumsi orangtua dan masyarakat sebenarnya sudah dilaksanakan pemerintah
indonesia, baik dengan meningkatkan subsidi maupun membangkitkan partisipasi masyarakat.
Dalam pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD. Seandainya
saja ketentuan UU tersebut direaalisasi maka sebagian permasalahan tentang mahalnya biaya
pendidikan di negara kita tentu akan teratasi.

Usaha lainnya yang dapat dilakukan pemerintah ialah membangkitkan peran serta masyarakat
melalui dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan komite sekolah/madrasah di tingkat
sekolah. Sebagaimana tertera dalam pasal 56 ayat (2) dan (3) dijamin eksistensi dan perlunya
dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah untuk membantu sekolah, termasuk
mengatasi mahalnya pendidikan bagi rakyat banyak.

4. Tingginya Angka Putus Sekolah

Membahas permasalahan pendidikan di Indonesia seolah tidak akan pernah ada usainya.
Karena setelah satu masalah ditangani, kemudian muncul masalah yang lain. Masalah-masalah
klasik yang sering muncul tersebut disebabkan oleh banyak faktor antara lain: 1) Faktor
ekonomi. Ketidakmampuan keluargadalam memberikan pembiayaan pendidikan kepada
anaknya yang disebabkan oleh kondisi ekonomi yang miskin dan sulit menjadikan mereka
memiliki penghasilan yang kecil akibatnya uang hasil dari pekerjaannya hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan makan minum saja, bukan untuk membiayai anaknya sekolah. 2) Faktor
kurangnya minat. Kurangnya minat pada anak juga menjadi masalah yang serius, karena ketika
pemerintah dan sekolah sudah melakukkan upaya untuk menekan angka putus sekolah tetapi
dari peserta didik atau siswa itu sendiri tidak memiliki ketertarikan untuk bersekolah, maka
usaha pemerintah dalam memfasilitasi menjadi sia-sia. Jika fasilitas ada tetapi peserta didik
tidak mau bersekolah maka kegiatan pembelajaran tidak dapat dilaksanakan. 3) Faktor
kurangnya perhatian orangtua. Kondisi ekonomi yang miskin dan sulit menjadikan rendahnya
pola pikir orangtua dan hanya berorientasi pada bagaimana caranya mendapatkan uang untuk
makan. 4) Faktor kurangnya sarana prasarana. Ketidaktersedian sarana prasara pendidikan
yang berupa gedung sekolah, kamar kecil, jembatan penghubung sekolah dan rumah, lapangan,
maupun perpustakaan menjadikan minat bersekolah seorang anak menurun. 5) Faktor fasilitas
belajar yang kurang memadai. Fasilitas belajar yang terdapat dalam sekolah kurang memadai,
misalnya buku-buku dan literatur belajar siswa sudah usang dan tidak diperbaharui, media dan
bahan ajar membosankan dan monoton.

Menggagas Sekolah Alternatif

Saat ini sekolah alternatif mulai banyak dikenal dan mulai disorot oleh masyarakat seiring
dengan perkembangan zaman. Selain itu, Sekolah alternatif ini merupakan sekolah bagi anak-
anak yang secara perilakunya cukup aktif, susah dikoordinasi, terlalu kreatif, tidak begitu suka
dengan rutinitas, maupun orang-orang yang tidak bisa menempuh pendidikan formal di sekolah
(Gati, 2015). Namun tidak hanya itu saja sekolah alternatif sebenarnya diperuntukkan bagi
semua orang yang membutuhkannya. Dalam sekolah alternatif kebanyakan yang diajarkan
adalah skill, sedangkan pelajaran kurikuler tidak diajarkan secara menyeluruh seperti di sekolah
umum.

Sebenarnya sekolah alternatif memiliki banyak macam dan jenisnya, antara lain: 1) lembaga
pendidikan umum. Lembaga ini adalah sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga dengan
dana dari negara namun program belajarnya berbeda dengan program belajar sekolah formal
pada umumnya. Sekolah jenis ini contohnya SMP Terbuka, pendidikan kesetaraan seperti Kejar
Paket A, B, dan C. Mengapa kejar paket digolongkan sekolah alternatif? Hal ini karena standard
kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi konten, konteks, metodologi, dan
pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih aplikatif. 2)
Lembaga/sekolah untuk siswa bermasalah. Peserta didik dalam sekolah ini bisa jadi anak-anak
yang memiliki masalah dalam kehidupannya, misalnya anak-anak yang direhabilitasi karena
kasus narkoba dan anak-anak penyandang disabilitas secara mental maupun fisik. 3) Sekolah
swasta. Sekolah ini terlepas dari pembiayaan negara melainkan dilakukan oleh pihak swasta.
Sekolah ini memiliki jenis, bentuk, dan program yang beragam. 4) Lembaga alternatif lainnya.
Beberapa di antaranya yaitu sekolah alam, sekolah anak jalanan, pesantren, sekolah untuk
kaum yang termarjinalkan, lembaga kursus, dan penitipan anak. 5) Pendidikan di rumah (home-
based schooling). Home schooling sebagai suatu situasi pembelajaran yang singkat atau lama, di
mana siswa dididik dengan beragam subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang
lain, teman-teman, atau orang yang ahli. Selain itu, home schooling dalam praktik
pembelajarannya menitikeratkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit
supervisi. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar
secara komprehensif, optimal, dan mengoptimalkan kreativitasnya.

Alasan yang mendasar orangtua memilih home schooling antara lain: 1) lebih fleksibel untuk
pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil belajar; 2) ruang gerak
sosialisasi peserta didik lebih mudah dikendalikan; 3) lebih sesuai untuk anak usia di atas
sepuluh tahun; 4) menggabungkan keluarga yang tinggal berjauhan melalui internet dan alat
informasi-komunikasi lainnya untuk tolak banding (benchmarking) termasuk untuk
standardisasi.

Lulusan Sekolah Alternatif

Lulusan dari sekolah alternatif tentunya masih dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Jika
peserta didik ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi maka ia harus mengikuti ujian
nasionaldengan jalan bergabung dengan sekolah lain yang telah diakui (sekolah negeri).
Sehingga, peserta didik dapat memiliki ijazah seperti sekolah pada umumnya. Hal ini berlaku
bagi semua sekolah alternatif misalnya sekolah terbuka, pendidikan kesetaraan, dan home
schooling. Tetapi hal ini tidak berlaku dalam kursus karena kursus ditujukan bagi mereka yang
membutuhkan skill tambahan atau skill lebih sesuai minat maupun bakat. Lembaga kursus akan
memberikan setifikat atau bukti kelulusan khusus bagi peserta didiknya melalui ujian yang
diselenggarakan sendiri oleh lembaga kursus tersebut.

Permasalahan Sekolah Alternatif

Banyak orang yang secara tidak sadar beranggapan bahwa sekolah yang mengedepankan nilai
dan rutinitas lebih penting ketimbang sekolah yang mengedepankan minat dan bakat anak. Hal
ini sangat berbeda jauh dengan kenyataan bahwa sekolah alternatif tidak dilakukan setiap hari
dan tidak mengedepankan nilai namun skill. Pertemuannya yang tidak setiap hari membuat
sekolah alternatif kurang dipercaya oleh orang tua.

Berikut adalah beberapa masalah yang sering muncul dalam sekolah alternatif: Pertama,
Sekolah bagi kaum termarginal. Sekolah jenis ini biasanya adalah sekolah yang bebas dari biaya,
sehingga pengajarnya adalah orang-orang yang sukarela mengajar di sekolah tersebut (Syifa,
2008). Ada banyak masalah yang dapat ditemukan dalam sekolah alternatif ini antara lain: 1)
Bagi sekolah yang tidak memiliki donatur tetap pastilah kurang memiliki fasilitas yang memadai.
Para pengelola harus mencari dana sendiri untuk melanjutkan keberadan sekolah tersebut. 2)
Sekolah yang bebas dari biaya umumnya peserta didiknya hanya datang saat tidak malas atau
sedang senggang. Hal ini terjadi karena mereka juga perlu membagi waktu dengan bekerja,
misalnya bagi para pengamen, mereka akan lebih untung jika bekerja daripada sekolah,
sehingga sekolah hanya dijadikan kegiatan sampingan. Selain itu, karena mereka bebas dari
biaya, maka ada kecenderungan untuk tidak ada wajib untuk datang dalam kegiatan
pembelajaran. 3) Pengajar seringkali datang dan pergi. Hal ini terjadi karena pengajar di sekolah
alternatif ini hanya mendapatkan gaji kecil atau bahkan tidak sama sekali atau suka rela. 4)
Pengakuan dari masyarakat dan pemerintah yang masih sangat minim.

Kedua, masalah lain yang muncul pada home schooling yaitu dikhawatirkan siswa yang
mengikuti metode pendidikan ini akan terasing dari lingkungan sosialnya sehingga potensi
kecerdasan sosialnya tidak muncul, begitu juga dengan hubungan sosialnya akan berkurang,
karena sistem pembelajarannya dilakukan secara individu (Syifa, 2008). Sehingga hubungan
sosial dengan anak-anak lainnya tidak akan terbangun. Sedangkan permasalahan yang muncul
pada sekolah umum antara lain: fasilitas sarana-prasarana yang kurang memadai, gaji
pendidiknya yang masih jauh dari layak, partisipasi masyarakat yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai