Anda di halaman 1dari 72

PELAYANAN PUBLIK

BAGI PENYANDANG
DISABILITAS

Penulis :
Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I

Nizamia Learning Center


2020
Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas
Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I

© Nizamia Learning Center 2020

Anggota IKAPI
Register 166/JTI/2016
All right reserved

Penulis :
Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I

Penyunting :
Dr. H. Fahruddin Ali Sabri, SHI., MA

Layout dan Desain Cover :


Rizki Janata
Mirta Dwi Lestari

Diterbitkan pertama kali oleh


Nizamia Learning Center Ruko
Valencia AA-15 Sidoarjo
Telepon (031) 8913874
E-mail: nizamiacenter@gmail.com
Website: www.nizamiacenter.net

Cetakan pertama, Agustus 2020 iv


+ 68 hlm; 15,5 x 23 cm
ISBN 978-623-265-333-7.

ii
Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah, saya haturkan ke hadirat Allah


SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga
buku dapat selesai dengan judul “Pelayanan Publik Bagi
Penyandang Disabilitas”. Buku ini disusun untuk memberi
jaminan terhadap kelompok rentan dalam mendapatkan
pelayanan publik, sebagai penerima layanan mereka
seharusnya diperlakukan adil dan non diskriminasi sebagai
wujud dari pelayanan inklusi. Ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan kontribusi pemikiran dan
motivasi. Pada kesempatan yang baik ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Diklat
Keagamaan Surabaya yang telah memberi dukungan atas
penyelesaian buku ini, keikhlasan, kearifan dan kebijaksanaan
beliau sehingga buku ini dapat selesai. Penulis menyadari
bahwa buku ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai
pihak demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya, semoga buku
ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat
kepada nusa, bangsa dan negara.

Akhirul kalam, semoga Allah SWT memberikan Rahmat,


HidayahNya dan meridhoi kepada semua pihak yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan buku ini.

Surabaya, 07 Agustus 2020

Hj. Qurrota A’yun, SE., MS.I

iii
Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................................... iii


Daftar Isi ..................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1


BAB II PELAYANAN PUBLIK.............................................. 7
A. Definisi Pelayanan Publik ............................................. 8
B. Pemikiran Dasar Dalam Pelayanan Publik ................ 13
C. Perilaku dan Kualitas Dalam Pelayanan Publik ....... 24

BAB III ETIKA PELAYANAN PUBLIK ............................... 38


A. Nilai dan Norma Pelayanan Publik ............................ 39
B. Etika Pelayanan Publik ................................................. 41

BAB IV PELAYANAN PUBLIK TERHADAP


PENYANDANG DISABILITAS PADA BALAI
PELATIHAN ............................................................................. 52
A. Prinsip Adil dan Non Diskriminasi ............................ 53
B. Mewujudkan Balai Pelatihan Inklusi .......................... 58

BAB V PENUTUP ..................................................................... 63


A. Kesimpulan ..................................................................... 64
B. Saran................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 66

iv
Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 1
I
nstitusi Pemerintah baik di Pusat, Daerah maupun di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik (yang
selanjutnya disebut dengan penyelenggara) harus menjadi garda
terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai
penerima pelayanan yang terdiri dari orang, masyarakat, instansi
pemerintah dan badan hukum. Keharusan ini merupakan upaya positif
dari penyelenggara sebagai pelayan publik dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penyelenggara ini dibekali standar-
standar pelayanan yang akan menjamin kepuasan dan keadilan
terhadap penerima pelayanan. Standar pelayanan yang nantinya
menjadi pedoman pelayanan yang bisa dijadikan sebagai cara untuk
melindungi dan memenuhi hak-hak penerima pelayanan
sebagaimana hak-hak dasarnya warga Negara.
Penyelenggara mampu berkomitmen dalam melakukan aktivitas
pelayanan publik, mereka akan memberikan bantuan secara signifikan
kepada penerima pelayanan yang dipengaruhi oleh konteks
kelembagaan di mana aktivitas ini ditanamkan. Penyelenggara akan
didukung partisipasi nyata, hal ini tercermin dalam sistem
penghargaan institusional baik dari dalam maupun dari luar institusi.
Penyelenggara melalui pranata-pranatanya yang menerima
penghargaan akan menganggap bahwa pelayanan publik ini sebagai
sarana pendukung yang bermanfaat dalam pekerjaan profesional.
Penyelenggara harus terlibat secara intensif dalam menjadikan
kebutuhan pelayanan publik ini sebagai sarana insentif dan motivasi,

2 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


di mana secara insentif pranata akan mendapatkan bonus atau
kompensasi yang diberikan oleh institusi penyelenggara, dan secara
motivasi akan menggerakkan pranata lain untuk memberikan
pelayanan terbaik dan maksimum terhadap penerima pelayanan.
Keterlibatan penyelenggara, penerima pelayanan dan pihak dari luar
yang berkaitan akan selalu membahas, memeriksa, memonitoring dan
mengevaluasi kelebihan dan kelemahan program pelayanan. Status
kinerja pelayanan pada instansi penyelenggara ini akan lebih tepat
dalam mencapai keseimbangan dengan tugas pelayanan, maka
seluruh pranata pelayanan yang ada di dalamnya harus
mendefinisikan ulang dalam hal misi yang seharusnya ada pada
pelayanan publik.

Penyelenggara harus bisa memastikan pelayanan publik ini


diberikan terhadap kelompok rentan secara setara, adil dan non
diskriminasi. Kelompok rentan ini di antaranya adalah orang lanjut
usia, anak-anak, fakir miskin, penyandang disabilitas, perempuan,
narapidana/tahanan, kelompok minoritas, pengungsi dalam negeri,
pekerja migran, masyarakat asli/adat,1 anak-anak migran (termasuk
anak-anak migran yang tidak memiliki dokumen resmi/tidak
berkewarga negaraan/tanpa pendamping, homoseksual dan
penyandang HIV/AIDS.2 Mereka ini rentan mengalami perlakuan

1
Tim Penyusun, Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas dan Rentan di Indonesia:
Laporan Tahunan Komnas HAM 2016 (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, 2017), 13.
2
Ingrid Nifosi-Sutton, The Protection of Vulnerable Groups under
International
Human Rights Law (New York: Routledge, 2017), 54.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 3


diskriminatif, tidak manusiawi, bahkan kehilangan untuk menikmati
hak-hak asasinya dalam menerima pelayanan publik.
Misalnya, ketika penyandang disabilitas yang merupakan bagian
dari kelompok rentan menjadi peserta pelatihan pada sebuah Balai
Pendidikan Pelatihan, maka sebagai kelompok rentan, dia selayaknya
mendapatkan pelayanan publik secara setara, adil dan non
diskriminasi dalam menerima pelayanan baik di bidang barang
maupun jasa. Penyelenggara akan memberikan perlindungan dan
pemenuhan hak-haknya sebagai peserta yang menyandang
disabilitas, di mana penyelenggara akan menyediakan sarana dan
prasarana yang mendukungnya sebagai peserta. Selain itu,
penyelenggara harus mampu menjauhkan penyandang disabilitas ini
dari tindak pelecehan dan diskriminasi. Ketika penyelenggara mampu
menyediakan semua ini, maka mereka akan mendapatkan kepuasan,
kesetaraan dan keadilan dalam menerima pelayanan publik.
Penyelenggara yang sudah menyediakan kebutuhan pada
penyandang disabilitas, maka dia akan mampu menilai hubungan
antara fungsi pelatihan dan pelayanan yang sebagian besar berasal
dari kemampuannya dalam mendefinisikan kebijakan dalam
penanganan tanggung jawab instansi dalam memberikan pelayanan.
Pada akhirnya, pelayanan akan diklaim sebagai komponen integral
dari misi instansi penyelenggara ini, instansi penyelenggara harus
mampu memberikan nilai yang setinggi-tingginya pada kinerja
pelayanan atau mendekatinya dengan tingkat komitmen yang sama
seperti yang mereka lakukan dalam melakukan pelatihan.
Penyelenggara akan meminta penilaian maupun evaluasi dari

4 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


penerima, maka panitia juga harus meminta penilaian dari peserta
yang hal ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana mereka telah
memberikan pelayanan terbaik.
Pada tahap ini, ketika penyelenggara bersama pranatanya
mendapatkan nilai baik dan ada legitimasi pelayanan publik, maka
mereka dapat dipertimbangkan secara sistem penghargaan untuk
mendapatkan penghargaan melalui sistem promosi, pengangkatan
kembali, masa jabatan dan kenaikan gaji-tunjangan. Sebaliknya, ketika
program pelayanan mendapat nilai buruk dan tidak menentu, maka
dapat dipertimbangkan sistem hukuman melalui sistem penundaan
promosi, penurunan jabatan, pengurangan masa jabatan dan
penundaan kenaikan gaji-tunjangan. Semuanya ini berangkat dari
keyakinan yang kuat bahwa pelayanan harus mendapat perhatian
lebih untuk kepentingan hubungan yang lebih seimbang dan setara
antara penyelenggara dan penerima pelayanan.
Studi ini memulai dari pertanyaan mendasar, yaitu apa
pelayanan publik dan siapa penyelenggaranya? Apa saja sistem nilai
yang seharusnya ada pada instansi pelayanan publik? Bagaimana
pelayanan publik di bidang pelatihan dapat dirasakan
kemanfaatannya oleh penyandang disabilitas?
Studi yang berjenis studi pustaka ini bertujuan untuk
memaparkan pentingnya keberpihakan terhadap kelompok rentan
dalam mendapatkan pelayanan publik yang setara, adil dan non
diskriminasi. Analisa ini akan menjadikan masalah yang muncul untuk
ditempatkan dalam perspektif demi memberi kesempatan studi lebih
lanjut bagi peneliti maupun penulis yang peduli dengan aspek

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 5


pelayanan publik terhadap kelompok rentan. Tujuan lainnya adalah
untuk memaparkan tampilan baru pada pelayanan dan implikasinya
bagi instansi. Semuanya ini dilakukan dalam rangka untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang peran pelatihan
dan pelayanan beserta masalah yang mengelilinginya.
Dari uraian di atas dapat diasumsikan bahwa kelompok rentan
akan mendapatkan jaminan perlindungan dan pemenuhan atas hak-
hak dasarnya dalam pelayanan publik. Kelompok rentan tidak boleh
didikriminasi dan diperlakukan tidak adil ketika mereka ingin
mendapatkan pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik
harus mampu menyediakan fasilitas sarana dan prasarana dalam
mendukung jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
kelompok rentan, yang dalam buku ini penyandang disabilitas
menjadi subjek pembahasan. Penyandang disabilitas yang akan
berurusan dengan birokrasi pemerintahan berbagai kebutuhan
layanan publik, perilaku birokrat dalam memberikan pelayanan akan
memperlihatkan keramahan, sopan, transparan, tepat waktu, biaya
murah, adil, dan non diskriminasi.

6 Pelayanan Publik Bagi Penyandang


Disabilitas
Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 7
A. Definisi Pelayanan Publik
Pelayanan Publik secara bahasa, berasal dari dua kata yaitu
pelayanan dan publik. Pelayanan berasal dari kata layan-melayani
yang berarti membantu menyiapkan (mengurus) apa-apa yang
diperlukan seseorang; meladeni: lebu sibuk melayani para tamu;
menerima (menyambut) ajakan (tantangan, serangan, dan
sebagainya): kita tidak perlu melayani kata-katanya; mengendalikan;
melaksanakan penggunaannya (senjata, mesin, dan sebagainya).
Sedangkan pelayanan adalah perihal atau cara melayani: selama leni
tamu-tamu hotel letu tidak mendapat pelayanan yang semestinya;
servis; jasa: yayasan letu bergerak di pemberian pelayanan jual beli
tanah, pelayanan umum pengabdian serta pelayanan kepada
masyarakat.3 Adapun kata publik bermakna orang banyak (umum);
sekalian orang yang datang (menonton, mengunjungi, dsb): publik
merasa puas melihat pertunjukan itu; di muka publik, di muka orang
banyak.4
Sedangkan secara istilah, definisi pelayanan publik menurut
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-

3
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), 891.
4
Ibid., 1222.

8 Pelayanan Publik Bagi Penyandang


Disabilitas
prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektivitas fungsi-
fungsi pemerintahan itu sendiri.
Konsep pelayanan publik berbeda dengan sektor publik. 5 Sektor
publik dimiliki atau setidaknya dikendalikan oleh pemerintah;
sedangkan pelayanan publik mungkin tidak. Beberapa pelayanan
publik dilembagakan, dikembangkan dan dioperasikan oleh
organisasi independen, sukarela dan nirlaba, misalnya: pengobatan
gratis dari organisasi X yang memberikan pelayanan kesehatan, hal ini
tentu berbeda dengan rumah sakit umum daerah yang telah melayani
masyarakat dengan baik selama beberapa generasi. Mereka telah
menyediakan pelayanan publik meskipun periode yang telah melihat
perubahan gaya hidup besar di masyarakat.
Sektor publik mencakup banyak aktivitas yang biasanya tidak
dianggap sebagai pelayanan publik. Contohnya dalam menjalankan
fungsi pemerintah (misalnya legislatif, pelayanan sipil atau
pengadilan), menghasilkan uang untuk pemerintah atau memberikan
pelayanan kepada lembaga pemerintah. Namun, itu tidak sama
dengan mengatakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan sektor
publik, pada prinsipnya, pelayanan publik adalah tanggung jawab
otoritas publik tentang kontrak pelayanan publik, atau pengadaan
pelayanan publik. Pelayanan publik bukanlah tentang penyediaan oleh
negara, atau penyediaan atas nama negara, tetapi penyediaan untuk
publik, baik dilakukan oleh otoritas publik maupun tidak. Mereka
mungkin terkait dengan kegiatan pemerintah, tetapi tidak terbatas

5
Norman Flynn, Public Sector Management, Edisi 7 (London: Sage Publications,
2016), 5.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 9


pada pemerintah, dan pemerintah tidak mencakup seluruh kegiatan
tersebut. Beberapa pelayanan publik berada di sektor publik,
beberapa independen, dan banyak yang berada di luar batas ada
interaksi yang kompleks dari pendekatan yang berbeda terhadap
regulasi, keuangan dan penyediaan. 6
Jenis pelayanan yang diidentifikasi di atas sebagai pelayanan
publik seperti kepolisian, pendidikan, pertahanan atau pembentukan
komunikasi di mana tampilan dan nuansa akan berbeda dari aktivitas
komersial. Pelayanan publik mungkin secara umum diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, identifikasi dengan
kesejahteraan itu agak canggung, hal itu mungkin menyiratkan bahwa
kegiatan seperti pertahanan adalah pelayanan publik ketika
meningkatkan kesejahteraan dan bukan pelayanan publik ketika
menurunkannya.
Peayanan untuk publik adalah layanan yang dikembangkan
untuk alasan kebijakan publik. Pelayanan publik dimaksudkan, bukan
untuk memenuhi tujuan atau preferensi konsumen atau produsen,
tetapi untuk tujuan lebih lanjut yang dianggap diinginkan oleh
pembuat kebijakan siapa pun pembuat kebijakan tersebut, karena
istilah tersebut mungkin tidak hanya mencakup pemerintah, tetapi
badan pengatur, organisasi sukarela , masyarakat mutualis, filantropis
dan lain-lain.
Pelayanan publik yang mengidentifikasikan mereka sebagai
pelayanan adalah pelayanan publik untuk melayani anggota

6
Rudolf Klein dan Michael O'Higgins (Ed.), The Future Of Welfare
(Oxford: Blackwell, 1985), 139.

10 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


masyarakat dengan menyediakan barang atau jasa untuk individu,
keluarga dan komunitas. Ini bukan tentang perbedaan antara produksi
jasa dan barang. Pelayanan publik dengan pelayanan profesional dan
pribadi adalah sama, di mana produk dan aktivitas produksinya
identik.7 Ide pelayanan terkandung dalam hubungan antara aktivitas
dan publik, bukan dalam bentuk produksinya. Ada kegiatan yang
disponsori publik yang tidak melakukan apa-apa secara langsung
untuk publik, seperti cagar alam yang melindungi spesies dengan
mengecualikan manusia. Mereka dapat dikatakan memberikan
keuntungan publik, tetapi apa yang mereka lakukan bukanlah
pelayanan kepada anggota masyarakat.
Nilai-nilai penyedia etos pelayanan publik sebagai elemen
karakteristik dalam penyediaan pelayanan publik. 8 Pelayanan publik
seharusnya dimotivasi oleh rasa tanggung jawab bersama sebagai
bentuk solidaritas.9 Perbedaan penting antara pelayanan publik dan
sosial adalah bahwa klien pelayanan sosial dianggap tergantung
dengan cara yang tidak berlaku untuk orang yang menerima
pelayanan publik. Pelayanan publik adalah model dari apa yang ia
sebut kesejahteraan institusional, di mana penyediaan kebutuhan
yang diakui secara sosial diterima sebagai bagian institusional dari
kehidupan sosial. Pola pelayanan publik mewakili ekspresi hadiah-

7
David McKevitt, Managing Core Public Services (Oxford: Blackwell, 1998), 8.
8
Norman Flynn, Public Sector Management, 8.
9
Paul Spicker, “The Nature of a Public Service”, International Journal of Public
Administration, vol. 32, no. 11 (September, 2009), 190-692.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 11


timbal balik dalam masyarakat melalui pengembangan ketentuan
universal.10
Salah satu klise yang berulang dalam klaim untuk pelayanan
publik itu bukan bisnis. Kuncinya adalah pelayanan publik bersifat
redistributif, dalam artian yang membayar belum tentu mereka yang
menerima. Sebuah perusahaan yang menjual sup kepada publik tidak
menyediakan pelayanan publik, meskipun sup itu sangat enak, tetapi
agen yang mendistribusikan sup kepada para tunawisma
menyediakannya. Jika pelayanan publik mengenakan biaya untuk
pelayanannya, biaya tersebut tidak dimaksudkan agar sebanding
dengan manfaatnya. Artinya manfaat yang diterima masyarakat
dibayar oleh orang lain, baik secara individu maupun kolektif.
Dalam istilah ekonomi, pembuat kebijakan yang bukan
konsumen adalah pembeli jasa, hal ini sangat bergantung pada
pemahaman tentang hubungan antara penawaran dan permintaan,
antara produsen dan konsumen. Namun dalam perkembangan
pelayanan publik, terdapat keterputusan antara elemen-elemen yang
berbeda tersebut. Sekolah, penjara, rumah sakit, dan panti jompo
sering kali dikembangkan dalam pasar semu, di mana mekanisme
yang pada awalnya mungkin tampak seperti operasi pasar tetapi
ditandai dengan pemutusan antara permintaan dan penerimaan
pelayanan. Pemutusan hubungan tersebut adalah salah satu alasan
mengapa begitu banyak pemerintah telah mengembangkan
ketentuan di bidang ini; mereka adalah area di mana, bahkan jika
pasar
beroperasi, itu tidak selalu beroperasi seperti yang dikatakan buku

10
Ibid.

12 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


teks bahwa pasar mungkin diharapkan bekerja. Sifat pelayanan publik
yang khas adalah bahwa pelayanan tersebut dioperasikan sebagai
kepercayaan.
Misalnya, mekanisme di mana A membayar B untuk
menyediakan pelayanan bagi C. Meskipun A dan B sering kali menjadi
bagian dari pemerintah, mekanisme ini tidak untuk pemerintah: ini
juga merupakan pola operasi standar untuk organisasi sukarela dan
amal. Contohnya termasuk rumah sakit sukarela, sekolah mandiri dan
berbagai latihan dalam tanggung jawab sosial perusahaan. Pelayanan
publik memiliki empat karakteristik yang menentukan, yaitu:
1. Adanya institusi penyelenggara pelayanan publik itu karena alasan
kebijakan;
2. Penyelenggara memberikan pelayanan kepada publik;
3. Pelayanan publik bersifat redistributif;
4. Penyelenggara bertindak untuk mendapatkan kepercayaan. 11

B. Pemikiran Dasar Dalam Pelayanan Publik


Pada dasarnya pelayanan publik adalah istilah yang cukup luas
yang mencakup instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah maupun mereka yang bekerja di
organisasi nonprofit. Artinya pelayanan publik ini adalah pekerjaan
lembaga administratif pemerintah dan non pemerintah,12 seperti Balai
Diklat Keagamaan Surabaya yang termasuk sebagai penyelenggara

11
Ibid.
12
Camilla Stivers, Governance in Dark Times: Practical Philosophy for Public
Service (Washington DC: Georgetown University Press, 2008), 11.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 13


pelayanan publik, instansi ini dekat dengan warga Negara karena
merupakan tempat diadakannya pelatihan, dan banyak masalah yang
menyentuh kehidupan orang biasa dijalankan.
Oleh karena itu, instansi ini memiliki potensi untuk mendorong
interaksi dan dialog langsung dalam menciptakan pelayanan publik
yang terawat maupun terabaikan.13 Birokrasi sering kali mengambil
tanggung jawab atas keterpencilan dan ketidakjelasan pemerintah,
tetapi pada kenyataannya orang berinteraksi langsung dengan badan-
badan administratif dengan cara yang jarang mereka lakukan dengan
legislator atau pengadilan. Lebih sering daripada tidak, ada kontak
yang produktif dan berhasil, seperti saat penerima pelayanan
mendapatkan Sertifikat Pelatihan yang tanpa harus menunggu terlalu
lama atau mengisi terlalu banyak formulir; Pegawai Balai Diklat
Keagamaan Surabaya yang dengan ramah menunjukkan lokasi
perpustakaan.
Sebaliknya, penerima pelayanan sering mengeluhkan pranata
pelayanan publik yang menjengkelkan atau mengecewakan, seperti
penerima pelayanan ditolak sebagai peserta pelatihan karena lupa
membawa surat tugas, hal ini semestinya dikonfirmasi ke instansi yang
mengirimnya, jika benar instansi tersebut mengirimnya maka instansi
bisa mengirimkan surat tugas tersebut melalui pos. Entah baik atau
buruk, pranata pelayanan publik harus melakukan sebagian besar
tugas pemerintahan, kegiatan langsung yang mengubah peraturan

13
David H. Rosenbloom dan Howard E. McCurdy (eds.), Revisiting Waldo’s
Administrative State: Constancy and Change in Public Administration (Washington,
D.C.: Georgetown University Press, 2006), 109.

14 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


dari sekadar kata-kata menjadi peristiwa dan pencapaian, atau
setidaknya mereka pernah melakukannya. Aspek penting dari
pentingnya pelayanan publik adalah kemampuannya untuk
berhubungan dengan warga negara. 14
Ide tentang pelayanan publik berakar pada penggunaan alasan
dengan tidak memikirkan kepatuhan terhadap perintah dari atas (top-
down). Pelayanan tidak pernah menyiratkan ketaatan seperti budak.
Sebagian besar pekerjaan pranata pelayanan publik membutuhkan
interpretasi perintah, apakah itu berasal dari atasan langsung atau
langsung dari peraturan itu sendiri. Pelayanan publik bergantung pada
penggunaan pertimbangan tentang aspek peraturan mana yang
relevan dalam kasus tertentu dan mengapa. Pranata pelayanan publik
diharapkan untuk menjawab keputusan mereka, untuk membuat
kasus yang beralasan untuk apa yang mereka lakukan. Bertahannya
penalaran kepentingan publik sebagai norma kehidupan publik
dibuktikan oleh rasa kemarahan yang kita rasakan ketika diabaikan,
misalnya, ketika seorang analis kepegawaian dicegah oleh atasannya
untuk membagikan informasi kenaikan golongan maupun jabatan,
atau ketika pejabat pada Kementerian Agama yang bertanggung
jawab atas pengadaan memberikan kontrak besar kepada perusahaan
yang telah menawarinya pekerjaan dan menoleransi putrinya yang
berkinerja rendah. Dalam percakapan publik kontemporer,
bagaimanapun, citra pranata pelayanan publik yang mengancam
dapat mengubah argument dari penerima layanan. Maka jika tidak
menggantikannya dengan yang lebih baik, maka alasan dan stereotip

14
Camilla Stivers, Governance in Dark Times, 11.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 15


tidak dapat menghilang. Jika penjelasan yang diberikan untuk
mengurung seseorang tanpa tuduhan dan tanpa akses, nasihatnya
adalah “kita harus melindungi diri kita sendiri dari mereka”. Semua ini
menunjukkan bahwa mungkin ada baiknya untuk melihat lebih dekat
pada pranata pelayanan publik masa kini. 15
Pelayanan publik adalah cara melihat satu demi satu setiap
masalah, di mana tidak perlu melihat jauh untuk menghadapi masalah.
Tetapi implikasinya adalah bahwa setiap situasi bermasalah itu unik.
Situasinya tidak akan menjadi masalah jika tidak ada masalah. Jika ada
warga yang mengalami hal yang sama sebelumnya, maka pranata
pelayanan publik akan dengan lancar bergerak melalui langkah-
langkah yang diperlukan tanpa banyak refleksi tentang apa yang harus
dilakukan.
Jadi, ketika terjadi sebuah masalah baru, maka harus
mengadakan penyelidikan dalam mengatasi masalah ini. Artinya, salah
satu cara untuk memulainya adalah dengan bersikap pragmatis dalam
kehidupan publik berada pada level masalah. Pranata pelayanan tidak
membutuhkan implementasi sistem secara luas untuk menjadi
pragmatis, dengan kata lain, mulailah proses penyelidikan. Fred Thayer
mengatakan: “Jangan pernah mencoba menyelesaikan masalah
dengan duduk sendirian di bilik Anda. Keluar dan bicara dengan orang
lain”.16
Beberapa pengertian pelayanan publik di atas, dapat
disimpulkan bahwa pelayanan publik ini merupakan upaya sebuah

15
Ibid., 27.
16
Ibid., 136.

16 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


organisasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang termasuk
di dalamnya adalah pelayanan terhadap perlindungan hak asasi
manusia, pemenuhan hak atas orang, masyarakat dan/atau organisasi
lain yang memiliki kepentingan dan kebutuhan pada organisasi
tersebut. Pelayanan ini berdasarkan pada aturan pokok dan tata cara
yang telah ditentukan dan nantinya ditujukan untuk memenuhi rasa
puas dari penerima layanan. Pelayanan publik memiliki tiga unsur
penting, yaitu organisasi pranata pelayanan publik, penerima
pelayanan dan kepuasan yang diterima oleh penerima layanan.
Pada pasal 25 ayat (4) Undang-Undang nomor 25 Tahun 2009
memuat prinsip-prinsip dalam pelayanan publik yang selalu
mengedepankan efektivitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan
berkesinambungan. Pada pasal 48 ayat (1) juga menyebutkan dalam
memeriksa materi pengaduan, penyelenggara wajib berpedoman
pada prinsip independen, nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak
memungut biaya.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63
Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, pranata pelayanan harus memenuhi beberapa aspek sebagai
berikut:
1. Kesederhanaan, yaitu prosedur pelayanan publik yang tidak
berbelit belit, mudah dipahami, dan dilaksanakan.
2. Kejelasan, yaitu mencakup kejelasan dalam hal.
3. Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 17


4. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian/ persoalan/ sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan publik.
5. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
6. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik dapat
diselesaiakan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7. Akurasi, yaitu produk pelayanan publik diterima dengan benar,
tepat dan sah.
8. Keamanan, yaitu proses dan produk pelayanan publik meberikan
rasa aman dan kepastian hukum.
9. Tanggungjawab, yaitu pimpinan penyelenggara pelayanan publik
atau pejabat yang dirujuk bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pelayanan dan penyesuaian keluhan/persoalan
dalam pelaksanaan pelayanan publik.
10. Kelengkapan sarana dan prasarana, yaitu tersedianya sarana dan
prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang
memadai termasuk penyedia sarana teknologi telekomunikasi
dan informatika (telematika).
11. Kemudahan akses, yaitu tempat dan lokasi serta sarana dan
pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan
dapat memanfaatkan teknologi telematika.
12. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yaitu pemberi pelayanan
harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta
memberikan pelayanan dengan ikhlas.
13. Kenyamanan, yaitu lingkungan pelayanan harus tertib, teratur,
disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan

18 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung
layanan, seperti tempat parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
Aspek-aspek di atas disusun untuk memenuhi kepuasan
penerima layanan. Penerima pelayanan harus ditempatkan sebagai
pihak yang harus diberi penghargaan atas kepercayaannya terhadap
pranata pelayanan publik. Mereka ditempatkan pada posisi ini karena
mereka merupakan pihak yang akan mendukung terwujudnya
pelayanan publik yang efisien dan efektif.
Undang-Undang nomor 25 Tahun 2009 memberi instruksi
kepada penyelenggara pelayanan publik agar:
1. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
2. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat
pelayanan;
3. Menempatkan pelaksana yang kompeten;
4. Menyediakan sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan
publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang
memadai;
5. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik;
6. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan;
7. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik;
8. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan;

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 19


9. Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung
jawabnya;
10. Bertanggung jawab dalarn pengelolaan organisasi penyelenggara
pelayanan publik;
11. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang
berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung
jawab atas posisi atau jabatan;
12. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan
pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi
pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Semua hal di atas merupakan prosedur yang harus dilaksanakan
demi menjaga kualitas pelayanan publik. Penerima pelayanan tidak
akan merasa dirugikan karena telah melihat pedoman dan prosedur
yang telah dibuat. Kepuasan penerima pelayanan ini harus terus
menerus dijaga dengan melakukan evaluasi dan monitoring, terumata
jika ada keluhan dari penerima pelayanan maka penyelenggara
pelayanan publik harus segera menyelidiki dan memperbarui
prosedur yang dibuat.
Standar pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang nomor
25 Tahun 2009 setidaknya memiliki beberapa komponen, yaitu:
1. Dasar hukum, yaitu peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar penyelenggaraan pelayanan.

20 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


2. Persyaratan, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan
suatu jenis pelayanan, baik persyaratan teknis maupun
administratif.
3. Sistem, mekanisme, dan prosedur, yaitu tata cara pelayanan yang
dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan, termasuk
pengaduan.
4. Jangka waktu penyelesaian, yaitu jangka waktu yang diperlukan
untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis
pelayanan.
5. Biaya/tarif, yaitu ongkos yang dikenakan kepada penerima
pelayanan dalam mengurus dan/atau memperoleh pelayanan
dari penyelenggara yang besarnya ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat.
6. Produk pelayanan, yaitu hasil pelayanan yang diberikan dan
diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
7. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, yaitu peralatan dan fasilitas
yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk
peralatan dan fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan.
8. Kompetensi pelaksana, yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh
pelaksana meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan
pengalaman.
9. Pengawasan internal, yaitu Pengendalian yang dilakukan oleh
pimpinan satuan kerja atau atasan langsung pelaksana.
10. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan, yaitu Tata cara
pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 21


11. Jumlah pelaksana, yaitu tersedianya pelaksana sesuai dengan
beban kerja.
12. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan
dilaksanakan sesuai dengan standard pelayanan.
13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk
komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan
risiko keragu-raguan, yaitu Kepastian memberikan rasa aman dan
bebas dari bahaya, risiko, dan keragu-raguan.
14. Evaluasi kinerja pelaksana yaitu penilaian untuk mengetahui
seberapa jauh pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standar
pelayanan.
Standar pelayanan publik merupakan standar pelayanan yang
wajib disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat. Adanya SPP
akan menjamin pelayanan minimal yang berhak diperoleh warga
masyarakat dari pemerintah. Komponen Standar Pelayanan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009,
dalam peraturan ini dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
1. Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses
penyampaian pelayanan (service delivery) yang meliputi:
a. Persyaratan,
b. Sistem, mekanisme,dan prosedur,
c. Jangka waktu pelayanan
d. Biaya/tariff
e. Produk pelayanan
f. Penanganan pengaduan, saran dan masukan

22 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


2. Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses
pengelolaan pelayanandi internal organisasi(manufacturing)
meliputi:
a. Dasar hukum
b. Sarana dan prasarana, dan/atau fasilitas
c. Kompetensi pelaksana
d. Pengawasan internal
e. Jumlah pelaksana
f. Jaminan pelayanan
g. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan
h. Evaluasi kinerja pelaksana
Dalam peraturan ini yang menjadi fokus dalam proses
penyusunan Standar Pelayanan adalah komponen Standar Pelayanan
yang terkait dengan penyampaian pelayanan. Bagian ini menjadi fokus
perhatian dalam penyusunan dikarenakan pada komponen ini pihak
penyelenggara pelayanan berhubungan dengan pengguna pelayanan.
Komponen Standar Pelayanan pada bagian ini wajib dipublikasikan.
Sedangkan untuk komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan
pengelolaan internal pelayanan proses pengembangandan
penyusunannya diserahkan pada masing-masing organisasi
penyelenggara pelayanan. Komponen ini menjadi bagian yang perlu
diinformasikan pada saat proses pembahasan dengan
masyarakat.Sedangkan untuk komponen Standar Pelayanan yang
terkait dengan pengelolaan internal pelayanan proses
pengembangandan penyusunannya diserahkan pada masing-masing
organisasi penyelenggara pelayanan. Komponen ini menjadi bagian

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 23


yang perlu diinformasikan pada saat proses pembahasan dengan
masyarakat.

C. Perilaku Dan Kualitas Dalam Pelayanan Publik


Penyelenggara pelayanan publik melalui pranatanya dapat
berperilaku sebagaimana manusia biasanya, di mana pada dasarnya
dia terbentuk setelah melewati keseluruhan dari aktivitas. Perilaku
pada dasarnya berorientasi tujuan, yang pada umumnya dimotivasi
oleh keinginan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu, tetapi tujuan
tersebut tidak selamanya diketahui secara sadar oleh yang
bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang
nyata dalam kadar tertentu berada pada alam sadar mereka. 17
Perilaku pelayanan publik adalah telaah dan penerapan
pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam
pelayanan. Perilaku pelayanan adalah sarana manusia bagi
keuntungan manusia. Perilaku pelayanan dapat diterapkan secara luas
dalam perilaku orang-orang di semua jenis pelayanan, seperti bisnis,
pemerintahan, kemasyarakatan, sekolah dan organisasi jasa lainnya.
Apapun pelayanan itu, ada kebutuhan untuk untuk memenuhi perilaku
manusia, karenanya perilaku manusia dalam pelayanan agaknya tidak
dapat diperkirakan seperti yang kita ketahui sekarang. Perilaku itu
tidak dapat diduga karena timbul dari kebutuhan dan sistem nilai yang
18
terkandung dalam diri manusia.

17
Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational
Behavior: Utilizing Human Resources (New Jersey: Prentice Hall, 1972), 85.
18
Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunilasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam
Pembangunan Nasional (Bandung: Alumni, 1988), 7.

24 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


Studi tentang perilaku pelayanan bermaksud mengidentifikasi
cara pembentukan perilaku pelayanan, yaitu perilaku yang
berdasarkan kesadaran akan hak dan kewajiban, kebebasan atau
kewenangan dan tanggung jawab, baik pribadi maupun kelompok.
Dengan demikian, pada prinsipnya perilaku manusia tampak dalam
berbagai dimensi. Jika aktivitasnya secara individu maka perilaku yang
diperagakan adalah perilaku individu. Sebaliknya jika seseorang tampil
dan berada dalam kelompok maka perilaku yang diperagakan adalah
perilaku kelompok. Jika seseorang hidup dalam lingkungan sosial
kemasyarakatan, maka perilaku yang diragakan adalah perilaku sosial.
Perilaku adalah fase peragaan terakhir atau akibat dari suatu siklus
aktivitas pemenuhan kebutuhan, kepentingan, motivasi dan sikap
tertentu.
Pada tahap berikutnya, ada perilaku birokrasi yang pada
hakekatnya merupakan hasil interkasi birokrasi sebagai kumpulan
individu dengan lingkungannya. Perilaku birokrasi yang menyimpang
lebih tepat dipandang sebagai patologi birokrasi atau gejala
penyimpangan birokrasi. Kesulitan yang timbul bahwa secara teoritis
tidaklah mudah membedakan dan menetapkan batas antara perilaku
yang telah membudaya dengan perilaku menyimpang yang berulang-
ulang atau berlangsung dalam waktu cukup lama. Dalam kaitan
dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan
fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai)
yang mempunyai persepsi, nilai, motivasi dan pengetahuan dalam
rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab sosial dalam
pelayanan publik. Perilaku manusia dalam pelayanan publik sangat

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 25


menentukan pencapaian hasil yang maksimal dalam rangka untuk
mencapai tujuan pelayanan.19
Perilaku pranata pelayanan publik ini menentukan tinggi rendah
kualitas dari pelayanan publik. Penerima pelayanan merasa puas atau
tidak tergantung dari perilaku pranatanya. Kualitas pelayanan publik
adalah tren terkini dalam konteks manajemen publik yang baru.
Selama tahun 1990-an, inisiatif kualitas layanan publik telah
diluncurkan di banyak negara di berbagai tingkat pemerintahan.
Inisiatif-inisiatif tersebut melibatkan berbagai pendekatan: penetapan
standar profesional, keunggulan layanan berdasarkan persepsi
pengguna terhadap kualitas, hak dan pilihan yang diberikan oleh
pemerintah kepada penerima layanan, dan aktivitas penerima layanan.
Berbagai pemangku kepentingan berupaya untuk mengevaluasi
upaya kualitas pelayanan yang diidentifikasi, diharapkan dan
didiskusikan. Ada tiga peran pendidikan yang mampu untuk dijelaskan
yaitu pelaksanaan kualitas pelayanan publik, evaluasi keberhasilan
inisiatif kualitas layanan, dan mengevaluasi hasil tingkat yang lebih
tinggi. Teknik evaluasi merupakan alat yang diperlukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di tingkat mikro selama
implementasi, lebih penting lagi untuk mengevaluasi inisiatif ini
terhadap tujuan kebijakan tingkat yang lebih tinggi dan nilai-nilai
sosial.
Konsep kualitas pelayanan publik telah menjadi bahan penting
dalam maraknya upaya pembenahan dan revitalisasi pelayanan publik.

19
Miftah Thoha, Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi (Bogor: Pusdiklat
Pegawai Bogor, 1995), 138

26 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


Apapun elemen yang digunakan untuk mencirikan manajemen publik
baru ini, kualitas pelayanan biasanya termasuk dalam daftar. 20 Namun,
dibandingkan dengan elemen lain dari gerakan manajemen publik
yang baru, masalah kualitas pelayanan tampaknya menjadi sesuatu
yang terlambat. Transformasi pelayanan dalam sektor publik (seperti
memecah birokrasi menjadi lembaga yang terpisah,
mendesentralisasikan otoritas manajemen dalam badan publik, dan
memisahkan penyediaan pelayanan publik dari penetapan kebijakan)
serta perubahan dalam manajemen sumber daya manusia (seperti
meminta staf untuk bekerja target kinerja, dan peralihan ke kontrak
berjangka dan pembayaran terkait kinerja) terjadi lebih awal daripada
fokus pada kualitas layanan.
Namun, jelas terlihat bahwa peningkatan kualitas pelayanan
yang diberikan kepada warga negara merupakan elemen penting
untuk mengikuti perubahan lain yang lebih organisasional di sektor
publik. Padahal, jika perubahan pelayanan tersebut akan berdampak
pada masyarakat luas yang merupakan konsumen dan pengguna
pelayanan publik, salah satu mekanisme implementasi yang penting
adalah melalui pengembangan yang lebih baik.
Berbagai pendekatan atau strategi untuk meningkatkan kualitas
pelayan publik telah dicoba. Pendekatan ini belum dijelaskan atau
dianalisis untuk sebagian besar dalam literatur, tetapi baru-baru ini
sejumlah buku telah membahas topik tersebut. 21 Berdasarkan
kasus

20
Naschold F., The Modernisation Of The Public Sector in Europe. A Comparative
Perspective On The Scandinavian Experience (Helsinki: Ministry of Labour, 1995).
21
Ibid.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 27


dari beberapa negara dan gambaran umum dalam buku-buku ini,
pendekatan berikut dapat dibedakan.
1. Standar professional. Ada tradisi panjang dalam pelayanan publik
yang lebih teknis dan profesional untuk pendekatan ilmiah / ahli, di
mana standar kualitas ditetapkan oleh para ahli, yang memastikan
bahwa standar dibuat secara independen dari pengguna meskipun
dengan maksud untuk “terbaik kepentingan” pengguna pelayanan
sebagaimana ditentukan oleh pakar. Berbagai standar nasional dan
teknis mencerminkan pendekatan ini, seperti standar perawatan
medis dan kode bangunan. Pemerintah memberikan hak dan
pilihan konsumen. Pendekatan konsumeris dengan tujuan
memberdayakan pengguna / pelanggan melalui, misalnya, hak
konsumen dan pilihan konsumen yang mengarah pada persaingan
di antara penyedia pelayanan publik, tetapi juga melalui
pengembangan peran yang lebih aktif bagi pengguna dalam
pemberian pelayanan, misalnya, melalui konsultasi biasa dengan
pengguna dan papan pengguna.
2. Keunggulan pelayanan. Pendekatan manajerial (keunggulan)
dengan tujuan “semakin dekat dengan pelanggan” adalah
pendekatan yang kuat yang diadaptasi dari sektor swasta. Alat dan
model seperti survei kepuasan pelanggan, konsultasi klien, dan
manajemen kualitas total digunakan oleh semakin banyak
pelayanan sektor publik di banyak negara. Evaluasi merupakan
bagian integral dari proses peningkatan kualitas itu sendiri.

28 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


3. Gerakan konsumen. Berbagai kelompok kepentingan dan gerakan
sosial dan konsumen mendesak untuk meningkatkan kualitas
pelayanan. Kelompok-kelompok seperti itu seringkali memiliki
pemahaman alternatif tentang kualitas dan berkontribusi pada
berbagai wacana tandingan dalam politik kualitas dan konsumsi. 22
Pendekatan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan
pemahaman warga negara serta politisi dan profesional tentang
konsep baru kualitas dan model pelayanan baru serta dampaknya.
Contoh: Asosiasi pengguna pelayanan kesehatan, asosiasi pasien
kanker menginginkan pilihan pengobatan yang lebih luas, misalnya
pengobatan nonkonvensional atau kombinasi dengan pengobatan
konvensional, serta pengobatan alternatif dan konvensional
dievaluasi, dibandingkan dan diyakini bahwa di sebagian besar negara
keempat pendekatan dapat diidentifikasi, tetapi pendekatan
keunggulan pelayanan telah berkembang paling kuat dalam beberapa
tahun terakhir. Pendekatan pergerakan konsumen mungkin kurang
berkembang dan yang paling tidak kita ketahui. Konsep “kualitas
pelayanan publik” melihat pertanyaan yang berkaitan dengan evaluasi
dan kualitas pelayanan publik.
Oleh karena itu, penting untuk menentukan apa yang sedang
dievaluasi. Namun, ini ternyata menjadi tugas yang agak lebih
kompleks dan menantang daripada yang semula mungkin diharapkan,
karena “kualitas” sering dianggap di mata yang melihatnya, yaitu
mereka yang mendapat manfaat dari pelayanan tersebut.

22
Kirkpatrick I dan Lucio MM, (ed.), The Politics Of Quality In The Public Sector
(London dan New York: Routledge, 1995), 278-279.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 29


Kompleksitas muncul dari kenyataan bahwa pelayanan publik, dan
perjuangan untuk pelayanan publik yang berkualitas, melayani
berbagai tujuan. Jadi, misalnya, pengertian kualitas dapat dilihat
sebagai fungsi yang melegitimasi. Di satu sisi, kualitas telah dikaitkan
dengan reformasi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi,
misalnya dengan memperkuat manajemen dan pengukuran kinerja
(kualitas sebagai nilai uang dan kesesuaian dengan standar).
Di sisi lain, kualitas dapat dikaitkan dengan restrukturisasi sektor
publik menjadi pasar kuasi dan kontrak kinerja 23 yang menekankan
peran konsumen (pengguna yang memiliki kemampuan suara dan
keluar yang ditingkatkan). Selain itu, terdapat kompleksitas yang biasa
di sektor publik dengan tujuan dan tingkat hasil yang berbeda. 24
Kualitas pelayanan publik akan dianggap dalam tiga tingkatan:
1. Tingkat mikro yang berhubungan dengan keluaran dari
penyampaian pelayanan, out-put berorientasi pada pengguna
pelayanan seperti pasien, pelajar, anak-anak di pusat penitipan
anak, dan pengangguran pada pelatihan kejuruan yang
berhubungan dengan masyarakat. Pada tingkat ini, ruang lingkup
dan konten layanan dapat ditentukan, dan kriteria kualitas
dioperasionalkan.
2. Tingkat meso yang berhubungan dengan hasil pelayanan untuk
mengetahui apakah hasil yang diinginkan telah tercapai. Apakah
pelatihan benar-benar meningkatkan keterampilan para pekerja?

23
Ibid., 257.
24
Helmut Klages, Hermann Hill dan E lke Loeffler (ed.) Quality, Innovation and
Measurement in the Public Sector (Frankfurt: Peter Lang, 1996), 161-182.

30 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


Apakah layanan kesehatan meningkatkan kesehatan pengguna
layanan?
3. Tingkat makro yang berhubungan dengan nilai-nilai publik,
seseorang dapat mengidentifikasi seperangkat nilai publik yang
merupakan dasar normatif sektor publik. Contoh dari nilai-nilai ini
adalah proses hukum, tanggung jawab demokratis, kesempatan
yang sama, serta efisiensi dan efektivitas. Nilai-nilai ini tidak peduli
dengan apa yang dihasilkan pelayanan publik, tetapi bagaimana
keluaran itu dihasilkan. Selain itu, hasil barang publik umum
biasanya diproduksi. Ini lebih tersebar dan sulit untuk diukur karena
cakupannya mungkin tidak terbatas dan lebih seperti barang publik
kolektif. Pendidikan tidak hanya melatih individu tertentu, tetapi
mereproduksi (dan mungkin meningkatkan) kualifikasi angkatan
kerja dan mensosialisasikan siswa ke dalam norma dan nilai-nilai
masyarakat.
Kualitas pelayanan publik merupakan konsep relasional dan
kontekstual. Relasional karena cenderung didefinisikan secara
berbeda oleh aktor yang berbeda dalam berbagai peran produsen dan
pengguna dan dalam posisi berbeda yang berkaitan dengan tingkat
penyelenggara (misalnya, pekerja lapangan, manajer operasi layanan,
pegawai negeri sipil tingkat tinggi dan politikus terpilih) dan tingkat
pemerintahan (misalnya, pemerintah lokal, regional, provinsi dan
nasional / federal).
Hal ini kontekstual karena konsep kualitas harus ditentukan
tidak hanya dalam kaitannya dengan jenis layanan tertentu (misalnya
kesehatan, pendidikan, pengaturan lingkungan, pekerjaan sosial),

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 31


tetapi juga dalam kaitannya dengan berbagai norma dan harapan
sosial yang cenderung berbeda dari waktu ke waktu dan lintas budaya.
Pemangku kepentingan dalam evaluasi kualitas pelayanan publik.
Untuk memahami kompleksitas yang terlibat dalam evaluasi kualitas
pelayanan publik, dapat melihat lebih dekat para pelaku utama atau
pemangku kepentingan yang terlibat. Mereka akan dijelaskan
sehubungan dengan orientasi yang diharapkan terhadap kualitas
layanan serta potensi penggunaan hasil evaluasi.
Para politisi bisa jadi mendukung atau acuh tak acuh terhadap
kualitas layanan, sangat bergantung pada negaranya. Di beberapa
negara para politisi menganggap kualitas layanan sebagai alat untuk
memobilisasi sumber daya manusia di badan-badan publik menuju
kebutuhan para pemilih dan inisiatif nasional telah diluncurkan.
Sebaliknya, di negara lain para politisi kurang tertarik, membiarkan
pegawai negeri sipil senior yang memimpin.
Kualitas pelayanan publik sering dianggap oleh para manajer
sebagai alat untuk mengarahkan agensi semi-otonom serta sebagai
instrumen untuk memotivasi staf. Namun, seseorang juga dapat
mengharapkan keengganan dari manajemen terhadap kualitas
layanan, mengingat bahwa kualitas layanan menuntut gaya
kepemimpinan yang berbeda dari yang birokratis menuju yang lebih
berbasis tim dan proses. 25 Penentangan dari manajemen menengah
dapat diharapkan karena pekerjaan merekalah yang paling

25
Gilbert RG, “Human Resource Management Practices To Improve Quality: A
Case Example Of Human Resource Management Intervention In Government”,
Human Resource Management, vol. 30, no. 2, (1991), 183-198.

32 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


terpengaruh. Manajer dalam penyelanggara yang memisahkan
pembeli dari penyedia layanan publik memiliki kebutuhan informasi
yang berbeda. Seseorang mungkin mengharapkan evaluasi untuk
menjalankan fungsi yang berbeda untuk kategori manajer yang
berbeda ini. Contoh: Layanan rumah untuk lansia Kota A telah
mengontrakkan layanan rumah untuk lansia.
Di satu sisi, mereka biasanya akan menyambut upaya untuk
meningkatkan penyampaian layanan kepada pelanggan mereka dan
untuk meningkatkan keterampilan mereka. Di sisi lain, perubahan ini
dapat dipandang sebagai pemaksaan dan dapat dilihat (seperti yang
sering terjadi) sebagai upaya untuk mengurangi pekerjaan mereka
melalui peningkatan produktivitas. Elemen lebih lanjut diperkenalkan
ketika pemberi layanan adalah kelompok profesional yang
terakreditasi, misalnya, guru sekolah, auditor, perawat dan dokter,
dengan standar praktik yang dapat diatur sendiri.
Kelompok profesional ini memiliki peran strategis dalam
kegiatan kualitas pelayanan publik karena mereka memiliki kontrol
yang tinggi atas pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan publik
difasilitasi oleh kelompok-kelompok ini sejauh pengembangan
kualitas dipandang konsisten dengan standar dan nilai profesional
mereka, dan memperkuat otonomi mereka, atau setidaknya tidak
mengancamnya. Dalam hal ini, inovasi kualitas layanan akan disambut
dan didukung sebagai cara untuk meningkatkan layanan kepada klien
mereka. Namun, jika aktivitas kualitas layanan dianggap mengancam
nilai, standar atau otonominya, mereka mungkin bereaksi secara
defensif. Sektor kesehatan, misalnya, secara tradisional diatur oleh

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 33


norma-norma kelompok yang sangat profesional (dokter dan
perawat). Evaluasi yang berorientasi pengguna dapat dianggap
mengancam norma profesional dokter, karena efek pengobatan tidak
hanya dinilai oleh profesi medis berdasarkan norma teknis, tetapi oleh
pasien sendiri berdasarkan konteks kehidupan sehari-hari dan
keterlibatan mereka dalam pengobatan. proses penyembuhan.
Strategi pendukung dari kelompok profesional akan
mempengaruhi kualitas pelayanan publik dengan melibatkan
pelaksanaan kualitas pelayanan publik dan mempengaruhi desain
evaluasi dari dampak dari upaya ini. Contoh: layanan di antara para
guru di rumah untuk kaum muda cacat di Denmark, serikat pekerja
mendukung kegiatan kualitas pelayanan publik. Fokus pada kualitas
layanan membutuhkan lebih banyak penggunaan kualifikasi dan
keterampilan guru dalam perlakuan yang mereka berikan, yang
diterapkan kembali dalam kelompok kerja semi-otonom dan
pengayaan pekerjaan. Selain itu, layanan berkualitas menyiratkan
keterlibatan jangka panjang dengan klien. Kepentingan profesional
dan manajemen dianggap bertemu (misalnya, siswa di sekolah, pasien
di layanan kesehatan) dan pengguna tidak langsung (misalnya, orang
tua anak di pusat penitipan anak) sering diasumsikan memiliki minat
yang kuat kualitas untuk layanan mereka. Namun, beberapa faktor
mungkin berlawanan dengan harapan ini.
1. Jika pertemuan antara penyedia dan pengguna membaik, efek
jangka panjang (misalnya, pendidikan dan perawatan kesehatan)
mungkin tidak terjadi atau mungkin tidak terlihat, meniadakan
pertemuan kualitas layanan.

34 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


2. Dalam beberapa kasus seperti di Kanada, pengurangan layanan
dan tingkat layanan telah terjadi bersamaan dengan peluncuran
inisiatif kualitas layanan.
3. Dari waktu tanggapan pengguna terhadap kuesioner kepuasan
klien hingga peningkatan layanan telah terwujud, biasanya
terdapat jalur yang panjang.
Upaya melibatkan pengguna dalam meningkatkan kualitas
dapat menimbulkan harapan yang terlalu optimis di pihak pengguna.
Namun, dalam banyak kasus di mana pengguna secara pribadi terlibat
dalam desain layanan, seseorang harus mengharapkan dukungan
untuk aktivitas kualitas layanan. Pengguna layanan dapat
menggunakan hasil evaluasi untuk membuat pilihan penyedia layanan
yang terinformasi dalam kasus di mana pilihan dimungkinkan, serta
untuk membentuk konsep kualitas layanan dan implementasi inisiatif
kualitas melalui dewan pengguna dan asosiasi konsumen. Orang
pribadi sebagai wajib pajak diharapkan mempunyai kepentingan
utama dalam efisiensi pelayanan dengan kualitas minimal yang dapat
diterima. Wajib pajak diharapkan menggunakan informasi evaluasi
untuk menilai apakah layanan yang diberikan mewakili nilai uang.
Warga Negara tidak tertarik pada layanan khusus mereka, tetapi
pada publik umum hasil yang baik dari penyelenggara dan dalam
dasar normatif pelayanan publik (proses hukum, tanggung jawab
demokratis dan kesempatan yang sama). Jadi warga akan
menggunakan evaluasi untuk meminta pertanggungjawaban politisi.
Jelas bahwa kompleksitas dalam layanan publik dan berbagai

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 35


perspektif individu dan pengguna menimbulkan ketegangan untuk
evaluasi inisiatif kualitas.
Perhatian ekstensif yang diberikan pada kualitas pelayanan
publik di banyak negara umumnya tidak tercermin dalam literatur
evaluasi. Ada beberapa pengecualian, 26 tetapi tinjauan literatur
evaluasi beberapa tahun terakhir hampir tidak akan mengarah pada
pengetahuan bahwa sektor publik di banyak yurisdiksi sedang
direformasi secara signifikan, dan bahwa konsultasi dan dialog dengan
pengguna layanan (melalui survei, kelompok fokus, pengukuran dan
wawancara) adalah fitur utama reformasi.
Menerapkan inisiatif kualitas layanan merupakan tantangan
karena melibatkan perubahan penyelenggara dan kebutuhan untuk
mengadopsi budaya pembelajaran. Pembelajaran adalah fitur penting
dari kualitas layanan publik dan jenis reformasi manajemen terkait, di
mana bukti empiris digunakan untuk membantu memandu operasi
penyampaian layanan.
Evaluasi pengguna layanan, atau perwakilan mereka, mungkin
bisa bersuara. Suatu metode partisipasi pengguna dalam penilaian
kualitas berdasarkan pembelajaran tindakan bottom-up.27 Metode ini
terdiri dari beberapa langkah.
1. Melibatkan pengguna jasa dalam mendefinisikan kriteria
evaluasi dengan pertanyaan terbuka dalam wawancara

26
Wargo MJ., “The Impact Of The President’s Reinvention Plan On Evaluation”,
Evaluation Practice vol. 15, no. 1(1994), 63-72.
27
Krogstrup HK, User Participation In Quality Assessment: A Dialogue And
Learning Oriented Evaluation Method (London: Sage,1997).

36 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


kelompok, memungkinkan mereka menjawab dengan istilah
mereka sendiri.
2. Pemberi layanan garis depan dihadapkan pada sudut pandang
pengguna. Profesional garis depan dalam wawancara kelompok
diminta untuk menjelaskan penilaian pengguna.
Kualitas layanan untuk membuat mereka merefleksikan teori
tindakan mereka sendiri. Dengan melibatkan kelompok lain (misalnya,
manajer layanan dan politisi) proses pembelajaran penyelenggara
pelayanan dimulai. Evaluasi dalam menilai keberhasilan kualitas
pelayanan publik menjanjikan banyak hal. Tetapi seperti elemen lain
dari manajemen publik baru, sebagian besar kekuatan yang dikejar
lebih didasarkan pada keyakinan daripada bukti keberhasilan.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., 37


MS.I
38 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas
A. Nilai Dan Norma Pelayanan Publik
Pelayanan publik berpusat pada dialog nilai kebebasan dan
keadilan serta administrasi yang efisiensi, efektif dan responsif. Bahwa
banyak negara di dunia menjalankan program etika administrasi yang
aktif maka kesamaan struktural juga menjadi bukti, bahwa begitu
penting adanya mekanisme pendukung seperti organisasi
internasional. Literatur-literatur banyak yang menitikberatkan pada
komparasi tentang etika pemerintahan dan variasi etika dalam
pemerintahan lalu mengaitkan dengan menyebarnya nilai-nilai yang
tertanam dalam budaya masing-masing. Etika administrasi
teridentifikasi sebagai “reflect the institutionalization of fundamental
political cleavage”. Bahwa masyarakat tidak hanya dapat mengamati
perbedaan besar dalam pola etika administratif antara negara, tetapi
bahkan dalam sistem tunggal ditemukan bahwa pola etika dapat
berubah seiring waktu.28
Penekanan pada prinsip persamaan dasar dan mutualisme nilai,
norma, dan pengaturan kelembagaan akan dapat menjadikan pranata
pelayanan mampu berkenan untuk memenuhinya. Meluasnya
penerimaan peran nilai ini dapat dilakukan melalui pelatihan etika
bagi pranata pelayanan publik. Nilai-nilai etika dapat menjadi fokus
para pranata pelayanan publik di pemerintahan dengan
menggunakan nilai lintas budaya. Selain itu prinsip professional dapat

28
Mark W. Huddleston, “Comparative Perspectives on Administrative Ethics:
Some Implications for American Public Administration”, Special Symposium:
Ethics in Government. Public Personnel Management, vol. 10, no. 1, (1981), 67-76

Hj. Qurrota A’yun, S.E., 39


MS.I
mendorong pranata pelayanan dalam memerangi korupsi, penyuapan,
dan gratifikasi.29
Nilai-nilai lintas budaya tampaknya dapat menunjukkan sifat
kontradiktifnya, namun hal ini dapat direkonsiliasi dengan
meningkatkan tingkat abstraksi, menekankan kesamaan etis serta
mengenali perbedaan, dan memungkinkan untuk pemisahan antara
nilai-nilai yang diekspresikan dan perilaku. Ada nilai-nilai fundamental
yang diperlakukan pada tingkat abstraksi yang tinggi seperti
hubungannya terhadap demokrasi, ekonomi pasar, dan profesional
birokrasi.
Bahwa prinsip-prinsip yang membingkai perilaku individu
dengan memfokuskan aspirasi dan harapan mereka dalam pengaturan
budaya. Dengan hati-hati, dapat membedakan antara pilihan moral,
yang berarti melakukan tindakan etis, dan penilaian atau orientasi
moral,30 Sebuah perilaku menyimpang dalam pelayanan publik,
seperti tindak diskriminasi maupun korupsi merupakan teknik
pertahanan hidup yang dilakukan oleh oknum, perilaku ini
meninggalkan idealisme publik yang berjalan dan berdampak sistemik
daripada merespon maupun mengubahnya.
Pranata pelayanan publik perlu mengeksplorasi keterputusan
antara nilai-nilai dan perilaku yang diekspresikan. Dasar-dasar
pemahaman antara pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau aturan

29
Stuart C. Gilman dan Carol W. Lewis Source, “Public Service Ethics: A Global
Dialogue”, Public Administration Review, Vol. 56, No. 6 (Nov. - Dec., 1996), 517-
524.
30
Gershon Ben Shakhar dan Amia Lieblich (eds.), Studies in Psychology in Honor
of Solomon Kugelmass (Jerusalem: MagnesPress, The Hebrew University, 1995),
139-15

40 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


etika dan penerapannya dalam keadaan tertentu, dan menindaklanjuti
perilaku. Para pranata pelayanan publik akan mulai melihat akibat dari
tindakan tertentu, seperti budaya pemberian hadiah, di mana ada
kepantasan dan ketidak pantasan dalam menerimanya, sehingga
mereka perlu memperbaiki dan membatasi situasi ini, ada istilah
“korupsi yang dimediasi” untuk menggambarkan kondisi di mana nilai
proses dianggap sama pentingnya dengan nilai hasil.31
Perilaku menyimpang dalam pelayanan publik ini dimungkinkan
dapat menolak nilai-nilai tradisional baik dan buruk, ramah dan
menyebalkan, solidaritas dan benci, terlebih jika dihubungkan dengan
nilai-nilai dalam pemerintahan kontemporer yang menjunjung
kejujuran, ketidakberpihakan, netralitas, akuntabilitas dan lain-lain.
Pegawai yang ada di dalam pranata pelayanan publik
merupakan aset penting sehingga harus dihapuskan segala bentuk
pelecehan, diskriminasi berdasarkan ras, usia, atau jenis kelamin,
pranata pelayanan publik harus bisa memastikan adanya intoleransi
terhadap pelecehan dan diskriminasi ini.

B. Etika Pelayanan Publik


Etika pelayanan publik secara umum mengidentifikasi dua
rangkaian perhatian yang berkaitan dengan perbedaan normatif-
struktural yaitu pelaksanaan moral kebijaksanaan dan sistem formal
dan kepatuhan.32 Perspektif struktural menunjukkan praktik

31
Dennis F Thompson, “Mediated Corruption: The Case of the Keating
Five”, American Political Science Review, vol. 87 (June, 1993), 369-38.
32
Carol W. Lewis, The Ethics Challenge in Public Service: A Problem Solving Guide
(SanFrancisco: Jossey-Bass, 1991), 9-14.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 41


penyuapan dan konflik kepentingan sebagai praktik kuno yang
menggunakan aji mumpung, keserakahan, dan ego sehingga
penerima pelayanan akan melakukan penyuapan untuk menunjukkan
kepatuhan.
Para pembuat kebijakan dan peneliti juga harus menanyakan
apakah hubungan empiris antara opini publik dan persepsi perilaku
dalam pemerintahan merupakan ukuran yang tepat untuk membuat
sistem etika kinerja yang efektif. Meskipun tidak ada sistem yang dapat
menghapus semua penyimpangan ini, namun pengungkapan pada
terjadinya penyimpangan ini mungkin dapat meningkatkan
kewaspadaan.
Perspektif etis yang dibawa secara budaya akan memberi ruang
bagi pimpinan pranata pelayanan publik untuk mempersonifikasikan
diri sebagai agen moral dan atau teladan.33 Kepemimpinan moral akan
memperhatikan kredibilitas dan kepercayaan sebagai fondasi etis
sebagai komponen yang diperlukan dalam menyusun strategi efektif
untuk melawan penyimpangan. Kekuasaan dapat disalahgunakan dan
dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas semua pegawai pelayanan
publik.
Dialog internal dan menjaga jarak dibutuhkan ketika pranata
pelayanan publik di haruskan untuk memenuhi kewajiban yang
berlebihan atas nama profesionalisme. John Dewey berkata:
“keputusan yang kita buat bertujuan untuk mengungkapkan siapa kita
dan membentuk siapa kita nantinya. Ketika kita membuat pilihan, kita

33
Terry L. Cooper dan Wright N. Dale (eds.), Exemplary Public
Administrators: Character and Leadership in Government (SanFrancisco: Jossey-
Bass, 1992)

42 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


tidak hanya memilih tindakan ini atau itu, kita juga memilih orang
seperti apa kita nanti di masa mendatang”.34 Pranata pelayanan publik
membutuhkan tindakan terukur sebagai suatu langkah dalam satu
arah dan satu arah lain bisa membentuk diri.
Kesadaran akan implikasi dari tindakan di tempat kerja tidak
hanya untuk implementasi kebijakan tetapi untuk bentuk diri bukan
sebagai tindakan yang memaksimalkan utilitas. Asumsi bahwa semua
tindakan manusia adalah untuk kepentingan diri sendiri itu hanyalah
sebuah asumsi, titik tolak yang membentuk pertanyaan lebih lanjut,
bukan secara empiris proposisi yang ditunjukkan. Dewey berargumen
bahwa tidak benar menganggap semua tindakan manusia untuk
“kepentingan dirinya sendiri”. Tentu ada diri lain yang terlibat dalam
setiap tindakan manusia. 35 Banyak dari tindakan kita tidak reflektif,
spontan. Mendapatkannya dengan kebiasaan atau pola asuh atau
temperamen asli. Dalam pengertian ini, mereka mungkin lebih sering
mementingkan diri sendiri daripada tidak.
Pilihan reflektif pada umumnya berbeda, situasi yang dihadapi
oleh seseorang di mana berbagai faktor bentrok, dan dia dipaksa
untuk berhenti dan mempertimbangkan sebelum mengambil
keputusan adalah yang paling meyakinkan. Orang lebih suka secara
spontan memilih dengan sengaja dan secara sadar. 36 Jadi, meskipun

34
John Dewey, “The Moral Self,” dalam Larry A. Hickman dan Thomas
Alexander (ed.), The Essential Dewey, Volume II: Ethics, Logic, Psychology
(Bloomington dan Indianapolis, IN: Indiana University Press, 1998), 346.
35
Ibid., 347.
36
John Dewey, “Moral Judgment and Knowledge,” dalam Larry A. Hickman
dan
Thomas Alexander (ed.), The Essential Dewey, Volume II: Ethics, Logic,
Psychology,
329.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 43


semua preferensi adalah “mementingkan diri sendiri” sebuah gagasan
yang ditolak Dewey, musyawarah muncul di atasnya melalui
penggunaan penilaian.
Dalam diri seseorang selalu ada dalam hubungan dengan diri
oranglain. Tidak ada diri yang benar-benar terisolasi, yang berarti
bahwa penilaian independen, reflektifitas, integritas pribadi, dan
inisiatif bukan hanya sifat individu tetapi juga atribut sosial. Perintah
orang lain dan perintah diri sendiri saling terkait. Perintah akan
dijalankan dengan sangat bijak ketika pranata pelayanan publik
mampu berpikir sendiri dan melakukan dialog internal yang terkadang
melanggar batas. pranata pelayanan publik lebih baik mengetahui
tindakan yang tepat meskipun dia mungkin tidak dapat
melakukannya. Jika pranata pelayanan publik tidak mengetahui
perbedaan antara apa yang diperintahkan untuk dia lakukan dan apa
yang akan dia lakukan, jika dia bisa maka dia hanyalah orang yang bisa
disewa. Pada dasarnya, etika dalam pelayanan publik, bermuara pada
dialog diam antara pranata pelayanan publik dan dirinya sendiri, di
mana dia membayangkan untuk mengetahui apakah tindakannya
sesuai dengan perasaan dirinya yang terbaik. Intinya adalah untuk
mengetahui apa yang pranata pelayanan publik yakini dan
mengatakan kebenaran itu bila dia bisa.
Pelayanan publik yang mempromosikan kebebasan warga
negara dan pranata pelayanan publik sama-sama memerlukan
pertimbangan pengembangan pribadi atau perhatian terhadap
hubungan diri dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Etika
adalah cara untuk menjadi lebih baik daripada kepatuhan pada aturan

44 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


atau sila, atau membuat serangkaian keputusan. Hal ini memiliki dua
aspek:
1. Penolakan untuk menerima seluruh pakaian identitas yang
diberikan kepadanya oleh orang lain (apakah sumbernya dari
sekolah, diagnosis dan nasihat terapeutik, standar profesional,
atau deskripsi pekerjaan);
2. Kesediaan untuk menemukan aspek-aspek baru dari identitasnya
saat mereka muncul dari praktik. Pranata pelayanan publik akan
belajar berpikir untuk diri sendiri, mempertanyakan kebijaksanaan
yang diterima, dan merenungkan peristiwa dan tindakannya
sendiri.
Dengan demikian pranata pelayanan publik harus bersedia
untuk melepaskan diri dari batas-batas atau identitas eksternal,
tergantung pada keadaan. Pranata pelayanan publik tidak bisa
menggunakan kebebasan untuk melanggar sebagaimana kepala
Negara. Dia akan berjuang untuk kebebasan dalam batas-batas
situasinya.37 Perkembangan pribadi kadang-kadang mengambil
bentuk tindakan melawan mandat yang telah diberikan. Foucault
menyebut tindakan semacam ini “pelanggaran”. Dia percaya bahwa
penting bagi kita semua untuk bersedia menjelajahi batas-batas di
mana kita biasanya bergerak dan bereksperimen dengan
kemungkinan melampaui batas itu. Pranata pelayanan publik

37
James Bernauer dan Michael Mahon, “The Ethics of Michel Foucault,”
dalam Gary Gutting (ed.), The Cambridge Companion to Foucault (Cambridge,
UK: Cambridge University Press, 1994), 154.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 45


terkadang melakukan penolakan untuk menyetujui kontrak non
kompetitif dengan pimpinannya.
Permasalahan pelayanan publik cukup kompleks, variabelnya
sangat luas, upaya memperbaiki birokrasi sebagai pelayan publik
termasuk di dalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama
dalam pelayanan publik, memerlukan waktu yang panjang dan diikuti
dengan kemauan aparat untuk merubah sikap dan orentasi
perilakunya ke arah yang lebih mementingkan peningkatan pelayanan
kepada masyarakat, ada empat hal yang harus dijadikan pedoman
yaitu:
1. Equality, perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan.
Hal ini didasarkan atas tipe perilaku birokrasi rasional yang
secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status
sosial, etnis, agama dan sebagainya. Memberikan perlakuan
yang sama identik dengan berlaku jujur, suatu perilaku yang
patut dihargai.
2. Equity, perlakuan yang adil. Kondisi masyarakat yang pluralistik
terkadang dibutuhkan perlakuan yang adil dan perlakuan yang
sama, terkadang pula dibutuhkan perlakuan yang adil tetapi
tidak sama kepada orang tertentu.
3. Loyalty, kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi, hukum,
pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan
tersebut terkait satu sama lain. Tidak ada kesetiaan yang mutlak
diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu yang
mengabaikan yang lainnya.

46 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


4. Responsibility, setiap aparat pemerintah harus siap menerima
tanggung jawab dengan tugas yang diberikan dan hasil yang
dicapai.
Moralitas masih menjadi permasalahan mendasar dalam
pelayanan publik di Indonesia. Moralitas atau etika seringkali
dianggap sebagai faktor yang kurang penting dan tidak relevan
dengan pelayanan publik, padahal dalam literatur tentang pelayanan
publik, etika merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kepuasan publik, sekaligus keberhasilan penyelenggara dalam
melaksanakan fungsi pelayanan publik. Pesatnya perkembangan
jaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadap birokrasi,
menimbulkan pergeseran paradigma dari rule government
(menekankan aspek peraturan perundang-undangan) menjadi
paradigma good governance, yang tidak hanya berfokus pada
keinginan pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh komponen
bangsa (sektor publik, sektor privat, masyarakat). Logika bahwa semua
aparat pemerintah adalah pihak yang selalu membela kepentingan
publik atau masyarakatnya tidak selamanya benar. Banyak kasus di
lapangan membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai, bahkan struktur yang lebih tinggi, justru mendikte
perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam
hal ini tidak memiliki moralitas atau etika yang baik dalam
38
menjalankan kewajibannya.

38
Mashur Hasan Bisri dan Bramantyo Tri Asmoro, “Etika Pelayanan Publik di
Indonesia”, Journal of Governance Innovation, Vol. 1, No. 1, (Maret, 2019).

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 47


Prinsip-prinsip etika pelayanan publik dapat digunakan sebagai
rujukan atau referensi bagi para birokrasi publik dalam memberikan
pelayanan, antara lain:
1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri,
curang dan berbelit;
2. Integritas, memunyai prinsip, terhormat, tidak mengorbankan
prinsip moral dan tidak bermuka dua;
3. Memegang janji, memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian
sebagaimana isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian secara
sepihak;
4. Setia, loyal dan taat pada kewajiban yang semestinya harus
dikerjakan;
5. Adil, memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi,
menerima perbedaan serta berpikiran terbuka;
6. Perhatian, memperhatikan kesejahteraan orang lain,
memberikan kebaikan dalam pelayanan;
7. Hormat, menghormati martabat manusia, privasi dan hak
menentukan nasib bagi setiap orang;
8. Kewarganegaraan, bertanggungjawab menghormati,
menghargai dan mendorong pembuatan keputusan yang
demokratis;
9. Keunggulan, memperhatikan kualitas pekerjaan.
Pelayanan publik adalah suatu tata cara dalam melayani publik
dengan menggunakan kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup
dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang
dianggap baik. Etika menitikberatkan tentang sikap, tindakan dan

48 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik dalam
masyarakat maupun penyelenggara. Etika mempunyai peran penting
dalam praktek administrasi publik. Paradigma “dikotomi politik dan
administrasi”, menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi
yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan
kebijakan (public policy making) dan fungsi administrasi, yaitu
berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan.
Kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada area politik
(political master) dan pelaksanaan kebijakan politik merupakan
wilayah administrasi publik. Dalam menjalankan kebijakan politik,
administrasi publik mempunyai kewenangan secara umum yang
disebut, yaitu kebebasan menafsirkan suatu kebijakan politik dalam
bentuk program. Timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan
bagaimana cara menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara
baik dan tidak secara buruk. Atas dasar itu, etika diperlukan dalam
administrasi publik, etika dapat dijadikan pedoman, referensi,
petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi
dalam menjalankan kebijakan politik dan sekaligus digunakan sebagai
standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan
kebijakan tersebut dapat dikatakan baik atau buruk.
Kondisi masyarakat yang semakin kritis mengakibatkan birokrasi
publik harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam
memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan
memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka
menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menuju ke arah yang
lebih fleksibel, kolaboratis dan dialogis, dan dari cara-cara yang

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 49


sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. Birokrat juga
harus menunjukkan perilaku yang profesional, efektif, efisien,
sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan
dapat membangun kualitas pelayanan publik yang profesional.
Pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang
berlandaskan akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan,
yaitu aparatur pemerintah. Cirinya adalah sebagai berikut :
1. Efektif, pencegahan pengulangan persyaratan dari satuan kerja /
instansi pemerintah lain yang terkait.
2. Sederhana, prosedur diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat,
tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan
oleh masyaraka.
3. Transparan, ada kejelasan dan kepastian dalam pelayanan publik.
4. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif.
5. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang yang profesional.
6. Rincian biaya / tarif pelayanan dan prosedur pembayaran.
7. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
8. Ketepatan waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
9. Responsif, daya tanggap terhadap aspirasi masyarakat yang
dilayani.
10. Adaptif, menyesuaikan terhadap tuntutan, keinginan dan
aspirasi masyarakat yang dilayani seiring perkembangan.
Meskipun telah digambarkan bahwa dalam perkembangannya
telah terjadi pergeseran paradigma etika pelayanan publik, namun itu
tidak berarti bahwa paradigma yang terakhir mudah

50 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


diimplementasikan. Mengapa? Karena dalam praktek kehidupan
sehari-hari masih terdapat dilema atau konflik paradigmatis yang
cenderung mendatangkan diskusi panjang. Dilema ini menyangkut
pandangan absolutis versus relativis dan adanya hierarki etika.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., 51


MS.I
52 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas
A. Prinsip Adil Dan Non Diskriminasi
Penyelenggara pelayanan publik harus memastikan adanya
prinsip non diskriminasi terhadap suku, agama, ras, antar golongan,
jenis kelamin, usia maupun penyandang disabilitas. Pada umumnya
penyandang disabilitas merupakan korban dari stigma negatif,
stereotype, labeling dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi,
eksklusi, treatment yang keliru, pada akhirnya akan merampas
terhadap hak asasinya dalam memperoleh kesetaraan dalam bidang
pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal,
komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan
sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata
dan layanan. Penyandang disabilitas sering dianggap tidak produktif
mengakibatkan hak-hak dasarnya sebagai belum diprioritaskan
perlindungan dan pemenuhannya.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas seharusnya menjadi pintu lebar dalam memberi jaminan
perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Kesetaraan pada penyandang disabilitas harus terjadi di dalam
mengakses pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat
tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan,
jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam,
pariwisata dan layanan. Pada bidang layanan misalnya, mereka akan
terbatas dalam mengakses layanan publik ketika penyelenggara
pelayanan publik tidak memberi fasilitas sarana dan prasarana yang
mendukung. Penyelenggara pelayanan publik harus mulai untuk
menyusun dan menetapkan standar pelayanan; menyusun,

Hj. Qurrota A’yun, S.E., 53


MS.I
menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
menempatkan pelaksana yang kompeten; menyediakan sarana,
prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung
terciptanya iklim pelayanan yang memadai dan sebagainya.
Ketika penyandang disabilitas mampu mengakses layanan
publik, maka penyelenggara pelayanan publik telah mampu
mengedepankan prinsip non diskriminasi. Baik akses fisik maupun non
fisik untuk penyandang disabilitas harus mulai dibuka, terutama di
instansi pelatihan semacam Balai Diklat Keagamaan Surabaya. Ketika
instansi ini sudah mulai inklusi maka pada tahap berikutnya adalah
mulai mengembangkan model pembangunan inklusif mulai dari
advokasi kebijakan hingga fasilitasi layanan dasar untuk penyandang
disabilitas.
Penyelenggara pelayanan publik dianggap berhasil memuaskan
dan memenuhi rasa keadilan penyandang disabilitas, jika mereka telah
membuka ruang inklusi dan mengembangkannya. Pelatihan yang ada
di Balai Diklat Keagamaan Surabaya misalnya, harus mampu menerima
peserta pelatihan secara adil dan merata untuk semua suku, agama,
ras, antar golongan, jenis kelamin, usia maupun penyandang
disabilitas
Penyandang disabilitas yang merupakan kelompok rentan
seringkali terhambat dalam mengakses pelayanan publik, yang
ditandai dengan tidak tersedianya sarana dan prasarana yang
memadai misalnya. Penyelenggara pelayanan publik yang non-
diskriminatif ini harus mampu menerjemahkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Penyelenggara

54 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


pelayanan publik dapat mewujudkan rasa adil, setara dan non
diskriminasi melalui pelayanan inklusi. Penyandang disabilitas ini tidak
hanya mereka yang mengalami disabilitas fisik dan mental saja,
namun juga pada penyandang sakit parah seperti stroke, diabetes
dan sebagainya.
Peraturan perundang-undangan sudah mulai terbuka terhadap
penyandang disabilitas, namun pada implementasi di lapangan,
mereka seringkali kesulitan dan lemah dalam mengakses pelayanan
publik. Perspektif eksklusi harus mulai dihapus dan dihilangkan dalam
pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas. Contoh kecil yang
terkadang diremehkan oleh penyelenggara pelayanan publik yaitu
ketidak tersediaan sarana ruang tunggu khusus penyandang
disabilitas, mereka sering terlihat bercampur dengan penerima
pelayanan non disabilitas, akibatnya mereka terbatas dalam
mengakses pelayanan publik.
Penyelenggara pelayanan publik harus mulai melakukan
advokasi serta mendorong inovasi dan praktik baik terkait pelayanan
publik ramah disabilitas di beberapa daerah terutama di Balai Diklat
Keagamaan. Inovasi dan praktik ini menjadi penting untuk selalu
memberi rasa adil kepada penyandang disabilitas. Inklusi dalam
pelayanan publik dapat memperlihatkan partisipasi dan solidaritas
masyarakat yang meningkat.
Kemampuan penyelenggara pelayanan dalam membangun dan
mengembangkan lingkungan inklusi harus beriringan dengan
karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, dan budaya. Semua
penerima pelayanan akan mendapatkan kepuasan dan keadilan jika

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 55


telah mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya. Partisipasi
dan solidaritas harus menghilangkan setiap hambatan agar perasaan
saling menghargai selalu terjalin.
Penyelenggara pelayanan publik yang belum ramah terhadap
penyandang disabilitas pasti akan melanggar konstitusi. Kemudahan
dalam mengakses atau mendapatkan pelayanan publik yang ramah
disabilitas harus selalu dibangun dan dikembangkan. Pelayanan publik
yang relevan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan
mampu memaparkan permasalahan yang dihadapi penyandang
disabilitas; upaya-upaya inovasi yang dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut, meliputi proses inovasi yang melibatkan
penyandang disabilitas sendiri dan para pemangku kepentingan; hasil
dari proses inovasi dimaksud, termasuk dampaknya bagi penyandang
disabilitas; serta peluang atau kemungkinan inovasi tersebut untuk
direplikasi atau ditingkatkan (scale-up) ke tingkat yang lebih luas.
Penyandang disabilitas mampu mengakses dan menjangkau
pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. Kelompok rentan ini tidak boleh
mendapatkan hambatan dan perlakuan diskriminasi. Penyelenggara
pelayanan publik harus mampu berinovasi dalam membuat terobosan
jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/
atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika penyandang disabilitas mampu berpartisipasi sebagai
suatu proses aktif, di mana masyarakat dapat mempengaruhi arah
serta pelaksanaan dari pembangunan dengan maksud untuk

56 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


meningkatkan kesejahteraannya dalam arti penghasilan,
perkembangan pribadi, kemandirian, serta berbagai nilai yang
diyakini. Partisipasi dalam pembangunan ini memang banyak
mendapat perhatian. Terdapat berbagai macam tafsiran tentang
partisipasi:39
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada
proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.
2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak
masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan
kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.
3. Parsitipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung
arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil
inisiatif dan menggunakan kebebasan untuk melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat
setempat dengan para staf yang melakukan persiapan,
pelaksanaan, monitoring proyek agar memperoleh informasi
mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial.
5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam
perubahan yang ditentukannya sendiri.
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan diri, kehidupan dan lingkungannya. Berbagai
pendapat mengenai pengertian partisipasi itu lebih ditujukan
pada keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek

39
Britha Mikkelsen, Metode Penelitian Partisipatoris Dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan : Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan
(Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 64.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 57


pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga
pengawasannya.
Partisipasi dapat dimaknai sebagai adanya keterlibatan warga
masyarakat dalam melakukan pengambilan keputusan yang terkait
dengan pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah, dalam kerangka
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraannya, termasuk
menyangkut pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah.
Bentuk-bentuk partisipasi menurut Keith Davis adalah: 40
1. Sumbangan individu atau instansi yang berada di luar
lingkungan tertentu (dermawan, pihak ketiga).
2. Mendirikan proyek yang sifatnya mandiri dan dibiayai
seluruhnya oleh komunitas (biasanya diputuskan dalam rapat
desa).
3. Aksi massa.
4. Mengadakan pembangunan di kalangan desa sendiri.
5. Membangun proyek komunitas yang bersifat otonomi.

B. Mewujudkan Balai Pelatihan Inklusi


Penyelenggara pelayanan publik di bidang pelatihan harus
mampu menerima peserta dari penyandang disabilitas dan
menyediakan sistem layanan pelatihan yang disesuaikan dengan
kebutuhannya melalui adaptasi pelatihan, tenaga widyaiswara dan
penilaian peserta. Penyelenggara akan ditetapkan sebagai balai
pelatihan inklusi terhadap penyandang disabilitas dengan mendapat

40
Sastropoetro, Partisipasi, Komunilasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam
Pembangunan Nasional, 16.

58 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


pelayanan pelatihan dari widyaiswara pembimbing khusus dan sarana
prasarana sesuai dengan kebutuhannya.
Penyelenggara harus mampu menyasar pada penyediaan
infrastruktur fisik, karena akan memberi kesempatan bagi penyandang
disabilitas untuk menjadi peserta pelatihan termasuk dalam
penyusunan sistem pelatihan. Penyelenggara akan mewujudkan
intansi pelatihan inklusif dengan memahami lebih baik kondisi dan
kebutuhan penyandang disabilitas. Penyelenggara harus mampu
melakukan advokasi kepada Kementerian yang terkait di semua
tingkat agar dapat membantu penyediaan alokasi anggaran untuk
pelatihan bagi penyandang disabilitas. Advokasi ini akan
menghasilkan dukungan anggaran dari Kementerian yang terkait.
Penyelenggara harus mampu menerbitkan pedoman dan
standar pelatihan inklusi. Kesadaran instansi ini akan menjadi sangat
baik, karena instansi ini yang mengajukan diri untuk menjadi balai
pelatihan inklusi. Artinya bukan merupakan instruksi top-down tapi
berdasarkan kebutuhan dari penyelenggara sendiri. Pada akhirnya,
penyelenggara akan memiliki dampak inovasi dan praktik, baik
langsung maupun tidak langsung. Dampak langsungnya adalah
penyandang disabilitas akan mendapatkan pelatihan yang setara
dengan non disabilitas. Bagi anggota keluarga yang memiliki
penyandang disabilitas akan berdampak tidak langsung yaitu adanya
perubahan cara berpikir dan respon positif terkait pelatihan bagi
penyandang disabilitas.
Penyelenggara harus mampu meyakinkan Kementerian yang
terkait untuk memberikan respon positif dan berkomitmen untuk

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 59


mewujudkan pelatihan inklusif. Respon dan komitmen ini menjadi
faktor pendukung utama. Selain itu penyelenggara harus membuat
semacam forum komunikasi pelatihan bagi penyandang disabilitas,
forum ini dapat menjadi faktor pendukung penting dalam
mewujudkan pelatihan inklusi yang akan menampung gagasan dan
perencanaan pelatihan inklusi.
Penyelenggara dapat bekerjasama dalam menyediakan pelatih
dari Univeritas-Univeritas yang memiliki Program Studi Pendidikan
Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Univeritas-
Universitas ini dapat menyediakan pelatih sekaligus memberi
masukan-masukan signifikan dalam mengembangkan pelatihan
inklusi. Penyelenggara akan memiliki kesadaran dalam melibatkan
pelayanan publik bagi penyandang disabilitas dan pengelola
pelatihan dan pendidikan di luar penyelenggara.
Penyelenggara yang menjadi tempat pelatihan inklusi harus
berinisiatif sendiri untuk mengajukan diri, bukan ditunjuk oleh
Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan Dan Pelatihan. Badan
Litbang dan Diklat mengidentifikasi kelengkapannya dan menetapkan
sebagai Balai Pelatihan Inklusi, maka dukungan dari masyarakat juga
sangat penting untuk mengkampanyekan dan ikut mendorong agar
instansi di Kementerian yang terkait dapat mendorong penyandang
disabilitas yang menjadi pegawai dapat mengikuti pelatihan.

60 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


Penyelenggara akan memiliki tantangan yang akan
dihadapinya dalam merealisasikan pelatihan inklusi, seperti:
1. Masih ada persepsi negatif (stigma) di masyarakat dan
pemerintah bahwa penyandang disabilitas adalah pihak yang
akan meminta sumbangan atau bantuan dari yang non
disabilitas.
2. Sosialisasi mengenai kebijakan dan program pelatihan bagi
penyandang disabilitas masih terbatas
3. Sarana dan prasarana yang ramah disabilitas juga masih
terbatas. Hal ini belum terlihatnya ketersediaan fasilitas sarana
prasarana bagi penyandang disabilitas seperti pegangan
rambat, kursi roda, bahan ajar berhuruf Braille.
4. Partisipasi dari organisasi penyandang disabilitas juga terbatas.
Penyelenggara akan memiliki harapan dalam memberi ruang
bagi penyandang disabilitas dalam mendapatkan pelatihan dan bisa
mendorong meningkatnya partisipasi mereka. Keterlibatan
penyandang disabilitas juga memainkan peranan penting dalam
mensukseskan terwujudnya inovasi dan praktik di instansi.
Penyandang disabilitas dapat terlibat Organisasi Penyandang
Disabilitas. Organisasi Penyandang Disabilitas dapat memfasilitasi
partisipasi disabilitas melalui pelibatan dan pemberdayaan
penyandang disabilitas. Pelibatan dan pemberdayaan itu harus aktif
dan dapat berfungsi.
Partisipasi disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dimulai
dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut tetapi tidak
terlibat pada proses monitoring dan evaluasi. Pada tahap

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 61


perencanaan, penyandang disabilitas terlibat aktif dalam forum belajar
yang di dalamnya ikut merumuskan rencana pelatihan inklusi. Pada
tahap pelaksanaan, penyandang disabilitas berpartisipasi melalui
sosialisasi dan kampanye mengenai pelatihan inklusi serta melakukan
advokasi kepada keluarga penyandang disabilitas agar mengizinkan
untuk menjadi peserta pelatihan di instansi. Sementara pada tahap
tindak lanjut, penyandang disabilitas berpartisipasi aktif dalam proses
advokasi ke Kementerian yang terkait untuk mengalokasikan
anggaran bagi pelatihan inklusi. Penyandang disabilitas akan ikut
dilibatkan oleh penyelenggara dalam merumuskan perencanaan
dalam Forum pelatihan, mengkampanyekan di berbagai forum, dan
mengadvokasi ke keluarga penyandang disabilitas. Penyelenggara
dapat berinovasi secara berkelanjutan, sehingga partisipasi
penyandang disabilitas juga harus ditingkatkan, termasuk mengajak
masyarakat untuk ikut mengawasai agar Balai Pelatihan ini bersifat
inklusi dan pelatihan dapat terselenggara secara efektif.

62 Pelayanan Publik Bagi Penyandang


Disabilitas
Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 63
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab pendahuluan, bahwa
studi ini ingin menjawab beberapa rumusan masalah:
1. Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan / atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik memiliki
empat karakteristik yang menentukan, yaitu: adanya institusi
penyelenggara pelayanan publik itu karena alasan kebijakan;
penyelenggara memberikan layanan kepada publik; pelayanan
publik bersifat redistributif; dan penyelenggara bertindak untuk
mendapatkan kepercayaan. Ide tentang layanan publik berakar
pada penggunaan alasan dengan tidak memikirkan kepatuhan
terhadap perintah dari atas (top-down). Pelayanan tidak pernah
menyiratkan ketaatan seperti budak. Pelayanan publik berpusat
pada dialog nilai kebebasan dan keadilan serta administrasi yang
efisiensi, efektif dan responsif. Selain itu prinsip professional dapat
mendorong pranata pelayanan dalam memerangi korupsi,
penyuapan, dan gratifikasi. Etika pelayanan publik
2. menghilangkan perspektif struktural dengan menunjukkan praktik
penyuapan dan konflik kepentingan sebagai praktik kuno yang
menggunakan aji mumpung, keserakahan, dan ego sehingga
penerima layanan akan melakukan penyuapan untuk menunjukkan
kepatuhan. Perspektif etis yang dibawa secara budaya akan
memberi ruang bagi pimpinan pranata pelayanan publik untuk

64 Pelayanan Publik Bagi Penyandang


Disabilitas
mempersonifikasikan diri sebagai agen moral dan atau teladan.
Kepemimpinan moral akan memperhatikan kredibilitas dan
kepercayaan sebagai fondasi etis sebagai komponen yang
diperlukan dalam menyusun strategi efektif untuk melawan
penyimpangan.
3. Penyelenggara pelayanan publik harus memastikan adanya prinsip
non diskriminasi terhadap suku, agama, ras, antar golongan, jenis
kelamin, usia maupun penyandang disabilitas. Prinsip solidaritas
dan partisipasi dapat menjadikan penyandang disabilitas merasa
puas dan mendapatkan keadilan dalam menerima pelayanan
publik.
B. Saran
Dari kesimpulan penelitian di atas, studi ini memandang bahwa
penyelenggara pelayanan publik harus mampu berinovasi dalam
membuat terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan
gagasan/ide kreatif orisinal dan/ atau adaptasi/modifikasi yang
memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun
tidak langsung terutama akan dirasakan oleh penyandang disabilitas
dan kelompok rentan.
Demikian, bahwa studi ini masih sangat jauh dari sempurna.
Banyak kelemahan dan kekurangannya, baik disebabkan oleh
keterbatasan intelektual seperti dalam pengumpulan data maupun
hal-hal eksternal yang secara tak langsung tentu mempengaruhi
selama proses penyusunan berlangsung. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka dan lapang dada, diharapkan segala kritikan dan
apresiasi positif serta membangun atas penelitan ini. Sumbangsih
tersebut niscaya akan memperkaya khazanah pemikiran.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 65


DAFTAR PUSTAKA
1. Buku :

Ben Shakhar, Gershon dan Lieblich, Amia (eds.). Studies in Psychology


in Honor of Solomon Kugelmass. Jerusalem: MagnesPress, The
Hebrew University, 1995.
Cooper, Terry L. dan Dale, Wright N. (eds.). Exemplary Public
Administrators: Character and Leadership in Government. San
Francisco: Jossey-Bass, 1992.
Flynn, Norman. Public Sector Management. Edisi 7. London: Sage
Publications, 2016.
Gutting, Gary (ed.). The Cambridge Companion to Foucault.
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1994.
Hersey, Paul dan Blanchard, Kenneth H. Management of
Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. New
Jersey: Prentice Hall, 1972.
Hickman, Larry A. dan Alexander, Thomas (ed.). The Essential Dewey,
Volume II: Ethics, Logic, Psychology. Bloomington and
Indianapolis, IN: Indiana University Press, 1998.
Kirkpatrick I dan Lucio MM (ed.). The Politics Of Quality In The Public
Sector. London and New York: Routledge, 1995.
Klages, Helmut.Hermann, Hill dan Loeffler, Elke (ed.). Quality,
Innovation and Measurement in the Public Sector. Frankfurt:
Peter Lang, 1996.
Klein, Rudolf dan O'Higgins, Michael (Ed.). The Future Of Welfare.
Oxford: Blackwell, 1985.
Krogstrup HK. User Participation In Quality Assessment: A Dialogue
And Learning Oriented Evaluation Method. London: Sage, 1997.
Lewis W., Carol. The Ethics Challenge in Public Service: A Problem
Solving Guide. SanFrancisco: Jossey-Bass, 1991.
Mikkelsen, Britha. Metode Penelitian Partisipatoris Dan Upaya -Upaya
Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi
Lapangan. Terjemahan. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003.

66 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas


McKevitt, David. Managing Core Public Services. Oxford: Blackwell,
1998.
Naschold F., The Modernisation Of The Public Sector in Europe. A
Comparative Perspective On The Scandinavian Experience.
Helsinki: Ministry of Labour, 1995.
Nifosi-Sutton, Ingrid. The Protection of Vulnerable Groups under
International Human Rights Law. New York: Routledge, 2017.
Rosenbloom, David H. dan McCurdy, Howard E. (eds.). Revisiting
Waldo’s Administrative State: Constancy and Change in Public
Administration. Washington, D.C.: Georgetown University Press,
2006.
Sastropoetro, Santoso. Partisipasi, Komunilasi, Persuasi, dan Disiplin
Dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni, 1988.
Stivers, Camilla. Governance in Dark Times: Practical Philosophy for
Public Service. Washington DC: Georgetown University Press,
2008.
Thoha, Miftah. Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi. Bogor:
Pusdiklat Pegawai Bogor, 1995.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008.
Tim Penyusun. Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas dan Rentan di
Indonesia: Laporan Tahunan Komnas HAM 2016. Jakarta: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, 2017.

Hj. Qurrota A’yun, S.E., MS.I 67


2. Jurnal :

Gilbert RG. “Human Resource Management Practices To Improve


Quality: A Case Example Of Human Resource Management
Intervention In Government”. Human Resource Management,
vol. 30, no. 2, 1991.
Gilman, Stuart C. dan Lewis Source, Carol W. “Public Service Ethics: A
Global Dialogue”. Public Administration Review, Vol. 56, No. 6,
Nov. - Dec., 1996.
Hasan Bisri, Mashur dan Tri Asmoro, Bramantyo. “Etika Pelayanan
Publik di Indonesia”. Journal of Governance Innovation, Vol. 1,
No. 1, Maret, 2019.
Huddleston, Mark W. “Comparative Perspectives on Administrative
Ethics: Some Implications for American Public Administration”.
Special Symposium: Ethics in Government. Public Personnel
Management, vol. 10, no. 1, 1981.
Spicker, Paul. “The Nature of a Public Service”, International Journal of
Public Administration, vol. 32, no. 11, September, 2009.
Thompson, Dennis F. “Mediated Corruption: The Case of the Keating
Five”. American Political Science Review, vol. 87, June, 1993.
Wargo MJ. “The Impact Of The President’s Reinvention Plan On
Evaluation”. Evaluation Practice vol. 15, no. 1, 1994.

3. Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

68 Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas

Anda mungkin juga menyukai