Anda di halaman 1dari 316

BERKARYA BERSAMA

PENYANDANG DISABILITAS
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan
Pendekatan RBM
BERKARYA BERSAMA
PENYANDANG DISABILITAS

Penulis:
Silvester Deniharsidi

Kontributor:
Rofinus Dhio
Heribertus Dedi Tarung
Yohanes Kaiser
Anselmus Kartono
Agnes Retnaningtyas
Fransiska Dambu
Marselina Sempel
Mariana Meranti Tija
Claudia Lelyana Alfriani
Michael Angelo Clemens
Yosep Jaga
BERKARYA BERSAMA
PENYANDANG DISABILITAS

Silvester Deniharsidi
Silvester Deniharsidi
BERKARYA BERSAMA PENYANDANG DISABILITAS

Editor : Dr. Marselus R. Payong, M.Pd.


Penerbit : Perennial Institute, Ruteng, 2021
Cetakan ke-1

xii + 219 hlm., 14.8 cm x 21.5 cm

ISBN: 978-623-95528-6-2

Cover : Atje Amuntoda


Layout : Yud

Hak cipta yang dilindungi:


Undang-undang pada : Pengarang
Hak Penerbitan pada : Perennial Institute
Dicetak oleh : RiskaArt

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau


mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari Penerbit Perennial Institute.

PENERBIT: PERENNIAL INSTITUTE


Jl. Teratai Bilas, RT 013/RW 003 Kel. Waso, Kec, Langke Rembong,
Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Pengantar Editor

Hak atas kewarganegaraan yang utuh bagi semua orang


baik anak, remaja dan dewasa termasuk mereka yang memiliki
kondisi kecacatan tertentu, telah diakui dan dinyatakan secara
jelas dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).
Selanjutkan Peraturan Standar tentang Kesetaraan Kesempatan
untuk Orang Penyandang Kecacatan (1993) diatur hak-hak
penyandang disabilitas terutama hak untuk hidup, hak dalam
situasi beresiko dan darurat kemanusiaan, pengaturan yang
setara dihadapan hukum, akses atas peradilan, kebebasan dan
penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan martabat, kekuasaan dan
keamanan seseorang, kebebasan dari eksploitasi, kekerasan
dan penganiayaan, perlindungan terhadap integritas seseorang,
habilitasi dan rehabilitasi, pekerjaan, standar kehidupan yang
layak dan jaminan sosial, partisipasi dalam kehidupan politik dan
publik, partisipasi dalam budaya, rekreasi, waktu luang dan olah
raga.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Februari 1997,


telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat. Lahirnya Undang-Undang tersebut
merupakan peraturan perundang-undangan pertama yang
secara detail mengatur perihal penyandang cacat terutama
terkait hak dan kewajibannya. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan
penyandang disabilitas sehingga perlu diganti dengan undang-
undang yang baru maka

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~i~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Pemerintah Indonesia membentuk Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
terutama bagi penyandang disabilitas yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari masayarakat Indonesia.

Meskipun berbagai peraturan dan konvensi tentang hak-


hak penyandang disabilitas telah dikeluarkan baik pada level
internasional maupun level nasional, namun dalam
kenyataannya, para penyandang disabilitas dalam kesehariannya
masih mengalami diskriminasi yang menyebabkan hak-hak
mereka tidak seluruhnya dapat dipenuhi. Ada banyak hambatan
yang menyebabkan masih adanya diskriminasi ini namun
hambatan yang paling utama berasal dari sikap dan pandangan
yang keliru dari masyarakat tentang disabilitas itu sendiri. Para
penyandang disabilitas masih dianggap sebagai kelompok
masyarakat yang “bermasalah”, karena itu sering mendapatkan
pelabelan yang kurang patut bahkan perlakukan yang tidak adil
dan tidak manusiawi yang menyebabkan hak-hak mereka tidak
diperoleh secara wajar. Mereka bahkan diasingkan dari keluarga
dan lingkungan di mana mereka hidup.

Buku ini adalah suatu narasi dan refleksi perjuangan


panjang para pejuang kemanusiaan yang telah mendedikasikan
hidupnya untuk berjalan bersama kaum disabilitas. Di bawah
payung Yayasan Kita Juga (SANKITA), telah dilaksanakan banyak
kegiatan dan intervensi terhadap para penyandang disabilitas.
Salah satu perjuangan yang sangat menarik perhatian adalah
bagaimana membalikkan stigma atau pelabelan terhadap
kaum disabilitas itu sendiri dari stigma negatif kepada
pandangan yang positif. Untuk usaha itu, mereka telah
melakukan langkah-langkah yang
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
~ii~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

sistemik dan komprehensif melalui berbagai pendekatan dan


intervensi dan telah membuahkan hasil walaupun masih dalam
konteks yang terbatas di Manggarai Barat.

Selaku dosen Pendidikan Inklusif di Unika Santu Paulus


Ruteng, saya memberikan apresiasi yang luar biasa bagi
SANKITA dan para pejuang kemanusiaan yang bergabung di
dalam Yayasan ini karena usaha yang tidak kenal lelah dan telah
berhasil menyajikan pengalaman-pengalaman mereka melalui
tulisan- tulisan di dalam buku ini. Semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja terutama mereka yang sedang giat
mempromosikan masyarakat inklusif dan damai di tengah dunia
ini.

Dr. Marselus Ruben Payong, M.Pd.


Dosen Pendidikan Inklusif
Unika Santu Paulus Ruteng

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~iii~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

~iv~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Pengantar

Penyandang disabilitas pada umumnya datang dari


keluarga miskin dan tinggal di desa. Mereka jarang pergi ke
luar kampung tempat tinggalnya dan mendapatkan informasi.
Mereka hidup di dalam masyarakat dengan stigma yang sangat
kuat. Masyarakat memandang penyandang disabilitas sebagai
orang yang membutuhkan belas kasihan, bergantung pada
orang lain sehingga mereka tidak harus mendapatkan informasi,
pengetahuan dan keterampilan. Stigma memberi pengaruh yang
sangat berat kepada penyandang disabilitas. Stigma yang kuat
menyebabkan penyandang disabilitas mengalami hambatan
dalam mengembangkan kemampuan yang ada dalam dirinya.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut


Yayasan Kita Juga (SANKITA) melakukan kegiatan-kegiatan
pemberdayaan kepada penyandang disabilitas di beberapa desa
di Kabupaten Manggarai Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Buku ini merupakan dokumentasi dari pelaksanaan program
yang telah dilakukan oleh SANKITA pada kurun waktu tahun
2009 sampai dengan sekarang. Harapan dari penulisan atau
pendokumentasian ini adalah agar banyak orang atau kelompok-
kelompok masyarakat mengambil bagian, terlibat dalam upaya
membangun perubahan kehidupan bagi para penyandang
disabilitas.

Atas nama seluruh pengurus SANKITA, saya mengucapkan


terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang telah
mendukung SANKITA berkarya di Manggarai Barat. Kami
ucapkan terima

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~v~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

kasih kepada Bupati Manggarai Barat, yang telah memberi kami


kesempatan untuk berkarya di Manggarai Barat. Terima kasih
kepada seluruh pihak baik instansi pemerintah dan organisasi
kemasyarakatan yang telah mendukung SANKITA dalam
menggagas kegiatan pelayanan kepada penyandang disabilitas.

Terima kasih pula kepada lembaga donor; Caritas


Germany, Misereor dan Liliana Funds yang telah memberi
kepercayaan kepada SANKITA melalui dukungannya untuk
menjalankan program penanganan isu-isu disabilitas di
Manggarai Barat. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh Staf SANKITA yang telah memberi sumbangsih
terhadap penulisan buku ini. Semoga buku ini sangat
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Labuan Bajo, September 2021


Direktur Yayasan Kita Juga (SANKITA)

Silvester Deniharsidi

~vi~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Daftar Isi

Pengantar Editor .................................................................... i


Pengantar ............................................................................... v
Daftar Isi ................................................................................. vii

Bab 1. Pendahuluan............................................................... 1
1.1 Gambaran singkat tentang lembaga ................... 1
1.2 Wilayah kerja ........................................................ 4
1.3 Keberadaan Penyandang disabilitas
di Manggarai Barat ............................................... 5

Bab 2. Kondisi Penyandang disabilitas


di Manggarai Barat..................................................... 7
2.1 Dinamika Penggunaan istilah............................... 7
2.1.1 Ata cacat, ata bapa dan ata wedol............. 8
2.1.2 Penyandang cacat ....................................... 10
2.1.3 Penyandang disabilitas ............................... 11
2.1.4 Difabel ......................................................... 15
2.2 Disabilitas dalam Masyarakat Manggarai ........... 17
2.2.1 Konsep disabilitas sangat ditentukan
oleh konstruksi social ................................. 17
2.2.2 Aspek budaya .............................................. 17
2.2.3 Disabilitas sebagai dosa atau kutukan dan
petaka .......................................................... 19
2.2.4 Disabilitas sebagai balasan ......................... 21
2.2.5 Disabilitas sebagai perbuatan yang
melanggar tata cara adat ........................... 21

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~vii~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

2.3 Keberadaan penyandang disabilitas di dalam


keluarga ................................................................ 23
2.3.1 Penerimaan penyandang disabilitas .......... 23
2.3.2 Pengetahuan tentang disabilitas ............... 26
2.4 Hambatan dalam upaya pemberdayaan
penyandang disabilitas ........................................ 27
2.4.1 Hambatan secara ekonomi......................... 27
2.4.2 Hambatan sosial dan budaya...................... 29
2.4.3 Kurang tersedianya sarana dan akses
ke pelayanan disabilitas .............................. 31
2.4.4 Hambatan geografis ................................... 33

Bab 3 Strategi Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat


(RBM) SANKITA.......................................................... 36
3.1 Pengenalan model disabilitas .............................. 36
3.1.1 Model medis: disabilitas adalah penyakit .. 38
3.1.2 Model belas kasih/Charity Model ............... 39
3.1.3 Model sosial ................................................ 41
3.1.4 Model Biomedical Kesehatan..................... 44
3.1.5 Model Identitas ........................................... 44
3.1.6 Model Moral Disabilitas .............................. 46
3.1.7 Model Agama .............................................. 46
3.1.8 Model Hak Asasi Manusia ........................... 47
3.2 Mengenal konsep Rehabilitas
Bersumberdaya Masyarakat (RBM) .................... 48
3.2.1 Petunjuk bekerja dengan matrix RBM ....... 58
3.2.2 Kelebihan RBM............................................ 59
3.2.3 Kekurangan RBM ........................................ 60

~viii~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 4 Membangun Kesadaran Masyarakat Desa


Melalui RBM ............................................................... 62
4.1 Pengantar ............................................................. 62
4.2 Mekanisme pelaksanaan memulai kerja
dengan pendekatan RBM .................................... 64
4.3 Membangun kerja sama dengan
pemerintahan desa .............................................. 65
4.3.1 Memulai Program RBM di Masyarakat
(desa)........................................................... 65
4.3.2 Melakukan pengumpulan data
penyandang disabilitas ............................... 66
4.3.3 Menentukan desa sasaran.......................... 68
4.3.4 Melakukan pendekatan .............................. 69

Bab 5 Pentingnya Bekerja Sama Dengan Stakeholder


Di Desa ........................................................................ 78
5.1 Pengantar ............................................................. 78
5.2 Identifikasi dan analisis stakeholder ................... 79
5.3 Menentukan kerangka kerja bersama................. 84

Bab 6. Membangun Kerja Sama Dengan Fasilitas


Kesehatan Yang Ada Di Desa Sasaran ....................... 87
6.1 Latar belakang ...................................................... 87
6.2 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
membangun kerja sama....................................... 92
6.2.1 Pelatihan pengenalan disabilitas
kepada staf kesehatan di Puskesmas Rekas. 92
6.2.2 Membuat Nota Kesepahaman Bersama/
Memorandum of Undersating (MoU). ...... 94
6.2.3 Promosi Kesehatan ..................................... 95
6.2.4 Pelatihan hak-hak kesehatan penyandang
disabilitas untuk staf kesehatan di desa .... 101

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~ix~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

6.3 Perubahan yang terjadi setelah terjadinya


praktik baik di Puskesmas Rekas ......................... 102
6.4 Testimony ............................................................. 104
6.5 Rekomendasi Replikasi dan hambatan ............... 104

Bab 7 Pentingnya Pelayanan Fisioterapi Bagi


Penyandang Disabilitas di Desa ................................. 107
7.1 Pengantar ............................................................. 107
7.2 Pelayanan fisio fisioterapi di desa-desa sasaran . 111
7.2.1 Kader Rehabilitasi ....................................... 114
7.2.2 Pelatihan Fisioterapi Kepada Kader
Rehabilitasi .................................................. 115
7.3 Hambatan-hambatan dalam memberikan
pelayanan fisioterapi ............................................ 116
7.4 Testimony Pelayanan Fisioterapi ......................... 119
7.5 Rekomendasi praktik baik pelayanan fisioterapi 126

Bab 8 Pembuatan Alat Bantu dari Bahan Lokal .................. 127


8.1 Pengantar ............................................................. 127
8.2 Pembuatan alat bantu dari bahan lokal .............. 128
8.2.1 Pembuatan alat bantu fisioterapi
standing frame............................................. 128
8.2.2 Meja berdiri (standing table). ..................... 130
8.2.3 Kayu palang parallel.................................... 131
8.2.4 Kursi adaptif ................................................ 133
8.2.5 Pengadaan kursi roda adaptif .................... 135
8.3 Perubahan setelah mendapatkan alat bantu
berbahan lokal maupun kursi roda...................... 141
8.4 Replikasi pengadaan alat bantu dari bahan lokal 141

~x~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 9 Membangun Kemandirian Ekonomi Bagi


Penyandang Disabilitas .............................................. 142
9.1 Pengantar ............................................................. 142
9.2 Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mendukung ekonomi penyandang disabilitas
di desa sasaran ..................................................... 144
9.2.1 Pembentukan UBSP.................................... 144
9.2.2 Pelatihan Pembukuan Managemen ........... 147
9.2.3 Pendampingan UBSP .................................. 150
9.2.4 Pengembangan Usaha UBSP...................... 152
9.2.5 Pelatihan Penyuluhan Kemanan Pangan ... 155
9.2.6 Pendropingan Ternak Babi ......................... 159
9.2.7 Bantuan Modal Usaha ................................ 159
9.3 Hasil program pemberdayaan ekonomi.............. 161
9.3.1 Meningkatnya jumlah hasil produksi
pengolahan pangan lokal ........................... 161
9.3.2 Meningkatnya modal UBSP ........................ 162
9.4 Testimony ............................................................. 163
9.5 Replikasi pemberdayaan ekonomi
penyandang disabilitas ........................................ 163
Bab 10 Menyediakan Pelayanan Pendidikan Inkulif Bagi
Anak-Anak Disabilitas................................................. 165
10.1 Pengantar ............................................................ 165
10.2 Dasar Hukum penyelenggaraan
pendidikan inklusif.............................................. 169
10.3 Melakukan advokasi berdirinya SLBN Komodo-
Labuan Bajo Manggarai Barat............................ 178
10.4 Advokasi untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif bagi SDN Rangga Watu dan
SDK Roe dan TK PAUD Desa Golo Desat ........... 182

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~xi~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

10.5 Perubahan yang terjadi ...................................... 188


10.6 Testimony............................................................ 190
10.7 Replikasi kegiatan ............................................... 191

Bab 11 Strategi Advokasi Kebijakan ...................................... 193


11.1 Pengantar ............................................................. 193
11.2 Advokasi yang dilakukan oleh SANKITA ............. 196
11.3 Perubahan yang terjadi ....................................... 205
11.4 Hambatan-hambatan .......................................... 206
11.5 Testimony............................................................. 207
11.6 Replikasi Advokasi ............................................... 207

Bab 12 Pentingnya Peran Organisasi Penyandang


Disabilitas (OPD) ........................................................ 209
12.1 Pengantar............................................................. 209
12.2 Rangkaian kegiatan membentuk PPD Mabar .... 211
12.2.1 Diskusi untuk membangun kesadaran
bagi penyandang disabilitas .......................... 211
12.2.2 Worksop tentang keberadaan penyandang
disabilitas di Manggarai Barat ....................... 211
12.2.3 Workshop tentang pentingnya peran
organisasi bagi penyandang disabilitas ........ 212
12.2.4Pelatihan penguatan management dan
kepemimpinan ............................................... 212
12.3 Perubahan yang terjadi....................................... 213
12.4 Testimony ............................................................ 213
12.5 Replikasi Kegiatan ............................................... 214

Daftar Pustaka ........................................................................ 217

~xii~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 1
Pendahuluan

1.1 Gambaran Singkat Tentang Lembaga


Yayasan Kita Juga (SANKITA) didirikan pada tahun 2007,
yang diprakarsai oleh seorang mantan sukarelawan lembaga
Voluntary Service Overseas (VSO) asal Belanda, Roslien Rutten.
Roslien bekerja sebagai sukarelawan di Pusat Rehabilitasi St.
Damian Cancar. Setelah masa kerjanya sebagai sukarelawan
berakhir, Roslien mengajak teman-teman penyandang disabilitas
yang pernah tinggal di Pusat Rehabilitasi St. Damian Cancar
untuk membentuk lembaga yang akan memberi perhatian
kepada penyandang disabilitas yang tinggal di desa, yang jauh
dari tempat-tempat pelayanan. Mereka yang terlibat pertama
kali dalam membentuk lembaga ini adalah Heribertus Dedi
Tarung (luka bakar), Rofinus Dhio, Agustinus Beni (polio) dan
Yohanes Kaiser (polio). Semuanya adalah penyandang
disabilitas. Mereka bersepakat untuk menamai lembaga itu
Kelompok Peduli Penyandang Cacat-Kita Juga (KPPC-KJ).
Semangat Lembaga ini adalah dari penyandang disabilitas, oleh
penyandang disabiltas dan untuk penyadang disabilitas.
Lembaga ini didirikan sebagai bentuk kepedulian dan perhatian
kepada sesama penyandang disabilitas.

Kata ‘’Kita Juga’’, yang berada di belakang memberi


makna bahwa tanggung jawab terhadap upaya perubahan
kehidupan penyandang disabilitas adalah urusan semua
pihak. Siapapun

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~11~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

kita, kita juga adalah bagian dari penyandang disabilitas. Yang


mengalami disabilitas bukan hanya mereka yang memiliki
hambatan fungsi; fisik, intelektual, mental dan sensorik saja,
tetapi masyarakat umum juga adalah penyandang disabilitas.
Masyarakat umum telah memberi kontribusi terjadinya
hambatan kepada penyandang disabilitas. Banyak masalah yang
dialami oleh penyandang disabilitas disebabkan oleh lingkungan
masyarakat seperti stigma, anggap remeh dan tidak menghargai
hak-hak penyandang disabilitas. Banyak orang tua atau keluarga
penyandang disabilitas tidak memberi kesempatan kepada
penyandang disabilitas untuk bergerak atau menikmati
hidupnya dengan baik.

Orang-orang non-disabled yang berada di sekelilingnya


sering melarang dan membatasi ruang gerak dari para
penyandang disabilitas. Orang-orang non-disabled menganggap
penyandang disabilitas tidak memiliki kemampuan untuk
bekerja atau melakukan sesuatu apapun untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. Kondisi seperti itu menyebabkan
penyandang disabilitas tidak berkembang. Oleh karena itu perlu
ada upaya membangun kesadaran masyarakat tentang
disabilitas. Lembaga KPPC-KJ hadir untuk memberi pandangan
baru. KPPC-KJ awalnya memberi dorongan bahwa penyandang
disabilitas adalah kita semua. Siapakah penyandang disabilitas
itu, jawabannya adalah
‘’Kita Juga’’. Penyandang disabilitas adalah para penyandang
disabilitas dan kita juga. “Kita juga” karena kita semua turut
serta menciptakan hambatan kepada penyandang disabilitas.
‘’Kita Juga’’ merupakan sebuah upaya untuk membuka suatu
pandangan bahwa semua anggota masyarakat harus terlibat
dan bertanggung jawab untuk mengubah pandangannya sendiri
dan turut serta dalam mengambil bagian untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh penyandang disabilitas.

~2~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Pada awal 2007 SANKITA bekerja meliputi beberapa


wilayah seperti Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai
Timur. Kegiatan awal yang dilakukan hanyalah pendataan
dan membangun kesadaran masyarakat tentang disabilitas
melalui pementasan teater. Pada Tahun 2009 Kelompok Peduli
Penyandang Cacat Kita Juga (KPPC-KJ) mendapatkan akta
pendirian sebagai sebuah LSM. Hal ini tertera jelas dalam Akta
Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Peduli
Penyandang Cacat- Kita Juga, Nomor 12, 09 Juni 2009, di depan
Notaris Yustina Marsedes Kosta Jelatu, SH.Mkn di Ruteng.

Pada tahun 2009, SANKITA mulai mengubah cara kerjanya.


Hal ini didukung oleh kehadiran, Silvester Deniharsidi, selaku
Proyek Koordinator. Pada tahn 2009, SANKITA mulai fokus
bekerja di satu area, yakni Manggarai Barat dengan fokus
kegiatan utamanya: pendataan, pelayanan fisioterapi, dan
pembuatan alat bantu serta sosialisasi melalui pementasan
teater. Desa-desa sasaran pada tahun 2009 adalah Tondong
Belang, Cunca Lolos dan Golo Desat. Pada tahun 2010 masuk ke
Kecamatan Lembor yakni Desa Pong Majok.

Pada tahun 2014, SANKITA yang masih dalam bentuk


organisasi kemasyarakatan (Ormas), mengalami kesulitan
menjalankan programnya. Juga secara struktural belum jelas,
dimana pengurus perkumpulan dalam pelaksanaannya juga
merangkap sebagai staf lapangan yang berada di bawah posisi
Project Koordinator.

Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2017, SANKITA


mengadakan pertemuan dengan seluruh staf untuk mengubah
bentuk dari Ormas ke yayasan. Semua staf sepakat dengan
hal tersebut. Untuk mendukung upaya membentuk yayasan,

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~3~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

SANKITA juga mengundang beberapa tokoh masyarakat di


Labuan Bajo, khususnya mereka yang berpengalaman pada
pekerjaan-pekerjaan sosial untuk bergabung bersama staf
SANKITA membentuk yayasan baru. Tokoh-tokoh tersebut
adalah Ibu Ela Uran, Pater Marsel Agot, SVD. Dukungan dari
tokoh masyarakat ini akhirnya berhasil membentuk yayasan
dengan nama YAYASAN KITA JUGA (SANKITA) yang dikukuhkan
dengan akta notaris tanggal 04 April 2017, Nomor 01, di depan
Notaris Carolina Desiani Djerabu, SH., M.Kn. di Labuan Bajo.

1.2 Wilayah Kerja


Wilayah kerja SANKITA sampai pada tahun 2017 masih
fokus di Manggarai Barat. SANKITA telah berkarya di 26 desa
di Kabupaten Manggarai Barat. Pada tahun 2019, SANKITA
membuka wilayah kerja baru ke bagian utara yakni di Kecamatan
Boleng dan Pacar. Jumlah desa sasaran SANKITA mulai dari
tahun
2007 sampai dengan 2021 adalah sebagai berikut;

Tabel 1.1: Wilayah Kerja SANKITA


No Kecamatan Desa Tahun Kerja
1 Lembor Pong Majok 2009
Wae Mowol 2011-2015
Wae Bangka 2011-2015
2 Lembor Selatan Munting 2011-2015
Watu Rambung 2011-2015
Lendong 2011-2015
3 Mbeliling Watu Galang 2015-2021
Golo Desat 2015-2021
Cunca Lolos 2015-2021

~4~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

No Kecamatan Desa Tahun Kerja


4 Boleng Golo Ketak 2017-sekarang
Mbuit 2017-sekarang
Sepang 2017-sekarang
5 Pacar Waka 2017-sekarang
Loha 2017-sekarang
Compang 2017-sekarang

1.3 Keberadaan Penyandang disabilitas di


Manggarai Barat
Para penyandang disabilitas hidup dalam lingkungan
yang anggota masyarakatnya masih memandang penyandang
disabilitas adalah orang yang tidak dapat bekerja dan orang yang
perlu dikasihani. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas
sulit mendapat kesempatan untuk memperbaiki dirinya dan
berkarya dalam masyarakat.

SANKITA telah melakukan survey dan mengumpulkan data


penyandang disabilitas di 26 desa di 6 kecamatan sejak tahun
2007. Dari pendataan tersebut ditemukan jumlah penyandang
disabilitas sebanyak 450 orang dengan rata-rata penyandang
disabilitas di desa jumlahnya: 17 orang (169 x 17 = 2.873). Dalam
pendataan ini, masih banyak penyandang disabilitas yang tidak
mau didata. Beberapa alasan muncul seperti keluarga tidak mau
karena perasaan malu, keluarga tidak mau anak atau anggota
keluarganya didata tanpa ada tindak lanjut dari pendataan
tersebut.

Pada lima tahun terakhir ini, SANKITA fokus bekerja di


sembilan desa sasaran yang menyebar di tiga kecamatan yakni
Kecamatan Mbeliling, Boleng dan Pacar. Di Kecamatan Mbeling,

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~5~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

SANKITA bekerja di Desa Watu Galang, Golo Desat dan Cunca


Lolos. Di Kecamatan Boleng, SANKITA bekerja di Desa Golo
Ketak, Mbuit dan Sepang. Sedangkan di Kecamatan Pacar
SANKITA bekerja di Desa Loha, Compang dan Waka.

Tabel 1.2: Data Disabilitas Dampingan Sankita


di Sembilan Desa Dampingan Tahun 2021
Jenis Kelamin
No Desa Total
Laki Perempuan
1 Waka 4 5 9
2 Compang 16 13 29
3 Loha 5 6 11
4 Mbuit 22 19 41
5 Sepang 2 9 11
6 Golo Ketak 9 15 24
7 Cunca Lolos 8 6 14
8 Golo Desat 4 2 6
9 Watu Galang 11 8 19
Jumlah 164

Grafik 1.1. : penyebaran penyandang disabilitas di


9 desa sasaran.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Waka Compang Loha Mbuit Sepang Golo Cunca Golo Watu
Ketak Lolos Desat Galang

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Laki Perempuan Total

~6~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Bab 2
Kondisi Penyandang Disabilitas
di Manggarai

2.1 Dinamika Penggunaan istilah


Istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
seseorang yang disebut penyandang disabilitas selalu mengalami
perdebatan panjang. Perdebatan terjadi bukan sekedar mencari
atau menemukan pengertian yang tepat, tetapi juga
menemukan pengertian yang mengandung makna penerimaan
dan pengakuan kepada penyandang disabilitas agar tidak
menambah beban atau stereotip terhadap penyandang
disabilitas itu sendiri.

Beberapa istilah yang sering digunakan di masyarakat


Manggarai pada umumnya adalah sebagai berikut:

* Orang cacat
* Penyandang cacat
* Penyandang disabilitas
* Penyandang difabel

Istilah-istilah di atas menggambarkan kondisi seseorang


yang mempunyai hambatan fisik dan/atau mental yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi
seseorang untuk melakukan sesuatu secara selayaknya.
Keberatan dalam menggunakan semua gambar yang ada adalah
terletak pada kata ‘’kelainan’’, Kata ini mengandung makna
negatif. Dari semua istilah yang digunakan, upaya menggunakan
kata-kata yang tepat terus dilakukan untuk menghindari
penggunaan pengertian yang memperkuat kata “Kelainan”.
Istilah yang berada di masyarakat selama ini, menitik beratkan
pada kata “kelainan’’. Penggunaan kata ‘kelainan’ mengandung
makna peminggiran terhadap mereka yang tidak sesuai dengan
“kelazimannya” orang-orang pada umumnya. Ketika istilah-
istilah yang di dalamnya mengandung arti “kelainan” hal
tersebut memberi makna bahwa orang yang memiliki “kelainan”
merupakan orang yang lain dari pada orang umumnya yang
akhirnya memberikan stigma dan pelabelan.

Ada tiga elemen dalam memahami penyandang disabilitas,


pertama penyandang disabilitas adalah tentang orang-orang
yang termarginalkan, dipinggirkan dan masyarakat yang tidak
beruntung. Kedua, penyandang disabilitas adalah anggota
kelompok minoritas dan ketiga disabilitas dikonstriuksi secara
social ketimbang masalah kesehatan (Watson, Roulstone, &
Thomas, 2012, p. 3). Tiga elemen dasar ini merupakan kenyataan
yang ada di dalam masyarakat yang diwujudkan dalam istilah
yang digunakan oleh masyarakat dalam bentuk pelabelan
kepada penyandang disabilitas.

2.1.1 Ata cacat, ata bapa dan ata wedol


Dalam bahasa masyarakat Manggarai pada umumnya,
orang yang mengalami kondisi disabilitas sering disebut sebagai
ata cacat. Masyarakat mengartikan orang cacat adalah orang
yang memiliki kekurangan baik secara fisik maupun mental. Atau
lebih
sederhana, kondisi yang tidak sama dengan orang kebanyakan/
di luar kenormalan.
Istilah orang cacat ditunjukan kepada seseorang yang
mempunyai ‘’kelainan’’ seperti; buta (tuna netra), tuli (tuna
rungu), yang tidak punya kaki, tidak punya tangan dan yang
jalannya pincang serta mereka yang memiliki kelainan mental.
Penggunaan kata ini dirasa sangat tidak adil karena selalu
merendahkan orang-orang yang mempunyai kondisi tersebut.
Selain menggunakan kata tersebut, kata yang sering
digunakan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya adalah
‘’ata bapa’’. Kata ini dipergunakan khusus kepada mereka
yang mempunyai masalah mental. Kata ‘’ata’’ artinya orang,
sedangkan ‘’bapa’’ artinya bodoh atau dungu. ‘’Ata bapa’’ adalah
orang yang bodoh atau dungu. Di dalam masyarakat Manggarai,
orang yang memiliki keterbatasan/hambatan mental dianggap
sebagai orang yang bodoh atau dungu. Hal ini dapat dipahami
karena rendahnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat
tentang gangguan-gangguan mental atau retardasi mental.
Orang yang disebut “ata bapa” sebenarnya adalah orang-
orang yang mengalami masalah dengan mental dan/atau
intelektual. Retardasi mental adalah keadaan dengan inteligensi
yang kurang (sub-normal) sejak masa perkembangan (sejak
lahir atau sejak masa kanak-kanak). Mereka yang mengalami
retardasi mental biasanya mengalami perkembangan mental
yang kurang secara keseluruhan. Gejala umum retaradasi mental
adalah adanya inteligensi yang kurang (Sunaryo, 2002, p. 185).
Retardasi mental ini menyangkut keterbatasan kemampuan
yang diakibatkan oleh gangguan yang bermakna dalam
intelegensia terukur dan penyesuaian diri (adaptif)( Behrman,
Kliegman, Arvin, 1996, p. 161).
Perlakuan terhadap orang-orang dengan retardasi mental
lebih mengerikan ketimbang pada orang yang disabilitas fisik.
Orang-orang dengan retadasi mental atau yang sering disebut
dengan ‘’ata bapa’’ dalam masyarakat Manggarai hidup dalam
ruang yang sangat terbatas. Orang-orang dengan retardasi
mental sering tidak diterima di sekolah dan di masyarakat.
Di sekolah mereka ditolak karena dianggap sulit menerima
pengajaran dari guru-guru dan dianggap dapat mengganggu
proses belajar mengajar anak-anak yang lain.

Penggunaan kata orang cacat atau ‘’ata bapa’’ tidak dapat


diterima karena beberapa alasan. Kata ini sangat tidak
manusiawi karena sudah menganggap orang tidak memiliki
kemampuan apa- apa. Jika kata ini terus digunakan maka tidak
akan ada perubahan pandangan dari masyarakat terhadap
keberadaan mereka yang retardasi mental sehingga orang
retardasi mental akan terus menjadi korban dari pelabelan dari
masyarakat sekitarnya. Penggunaan istilah-istilah yang
memperkuat pelabelan atau stigma tersebut merupakan suatu
tantangan dalam upaya mengubah pandangan, pengakuan dan
penerimaan masyarakat terhadap keberadaan penyandang
disabilitas dalam posisi yang sederajat (equal) dengan warga
masyarakat yang lain.

2.1.2 Penyandang cacat


Istilah penyandang cacat merupakan istilah yang
digunakan dalam Undang-undang Nomor 04 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat. Istilah ini digunakan untuk menggantikan
istilah lama; orang cacat atau penderita cacat. Penggunaan
istilah penyandang cacat dianggap lebih manusiawi dan dapat
diterima oleh para penyandang cacat.
Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1997, mengatakan; Penyandang
cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/
atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari; penyandang cacat fisik,
penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan
mental.

Penggunaan istilah penyandang cacat sejak


diundangkannya UU No.4 Tahun 1997 digunakan dalam setiap
peraturan perundang-undangan lainnya ataupun regulasi yang
keluar berkaitan dengan penyandang cacat. Namun dikalangan
aktivis sosial berpendapat, penggunaan istilah ini memiliki arti
sempit yang masih tetap menempatkan seseorang dalam posisi
yang tidak normal dan tidak mampu karena kondisi kecacatan
yang dimilikinya.

2.1.3 Penyandang disabilitas


Pada tahun 1980, WHO dalam bukunya yang berjudul
“International Classification of Impairments, Disabilities and
Handicaps” mendefenisikan secara jelas tentang disability
(ICIDH). Defenisi inilah yang digunakan oleh pemerintah pada
umumnya dan Non Government Organizations (NGO’s). Menurut
WHO (1980), pengertian penyandang disabilitas dibagi dalam
tiga hal :

* Impairment diartikan sebagai suatu kehilangan atau


ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan
struktur atau fungsi anatomis.
* Disability diartikan sebagai suatu ketidakmampuan
melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana
layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi
impairment tsb.
* Handicap diartikan kesulitan/ kesukaran dalam kehidupan
pribadi, keluarga dan masyarakat, baik di bidang sosial
ekonomi maupun psikologi yang dialami oleh seseorang yang
disebabkan ketidaknormalan tersebut

Kata disability berasal dari Bahasa Inggris yang terdiri


dari dua kata, yakni; dis dan ability. Kata dis, menunjukkan
pada ketiadaan bagi kata dasarnya. Sedangkan ability adalah
kemampuan. Jadi disability adalah kondisi ketidakmampuan.
Istilah disabilitas dimaknai sebagai ketidakmampuan sebagai
akibat dari impairment (gangguan fungsi atau struktur tubuh
[WHO, 2001]) atau disabilitas merupakan istilah yang memayungi
hambatan/ketidakmampuan dalam aktifitas pribadi/kemampuan
pribadi dan keikutsertaan dalam hubungan social/kemampuan
sosial sebagai akibat dari impairment (WHO, 2001). Secara
makna istilah ini bersifat khusus, yakni mengerucut pada hal
tertentu sehingga tepat untuk dirujuk secara khusus bagi hal
yang sebelumnya disebut sebagai kecacatan.

Kata ini ditambah dengan orang, atau orang-orang. Dalam


berbagai literatur WHO, kita akan menemukan istilah persons
dan people with disabilites. Orang-orang dengan kecacatan atau
orang-orang dengan ketidakmampuan. Penggunaan kata ini
seperti masih juga dianggap sebagai kata yang negatif. Tetapi
menurut WHO, penggunaan kata ini dirasa lebih tepat karena
beberapa alasan karena mendeskripsikan secara jelas subyek
yang dimaksud dengan istilah tersebut yakni:

* Mendeskripsikan fakta nyata.


* Tidak mengandung unsur negatif.
* Menumbuhkan semangat pemberdayaan.
* Memberikan inspirasi hal-hal positif.
* Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah
kerancuan istilah.
* Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian.
* Dapat diserap dan dimengerti oleh berbagai kalangan secara
cepat.
* Bersifat representatif, akomodatif, dan baku untuk
kepentingan ratifikasi Konvensi
* Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau
mengandung unsur pemanis
* Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah
internasional
* Memperhatikan perspektif linguistik.
* Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat
manusia
* Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan.
* Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan
* Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.

Penggunaan istilah disabilitas juga yang digunakan dalam


Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pada tanggal 13
Desember 2006, Majelis Umum PBB dengan resolusi 61/106
telah berhasil melahirkan Konvensi Hak Penyandang Cacat dan
Protokol Optional terhadap Konvensi.

Di dalam Pasal 1 Konvensi tersebut mengatakan bahwa


orang-orang penyandang disabilitas termasuk mereka yang
memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik
jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai
hambatan
dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara
penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.

Pada tanggal 30 Maret tahun 2007, Indonesia mengambil


langkah-langkah penting dalam memperkuat komitmen bangsa
Indonesia untuk memajukan hak-hak asasi penyandang
disabilitas dengan menandatangani naskah Konvensi PBB
tentang Hak-hak Penyandang Cacat (Convention on the Rights of
Persons with Disabilities).

Setelah empat tahun kemudian, pada tahun 2011,


bangsa Indonesia baru meratifikasi konvensi tersebut, dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 19 tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas. Istilah
yang digunakan bukan lagi penyandang cacat tetapi penyandang
disabilitas. Dengan disahkannya konvensi tersebut maka,
Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
harus direvisi kembali agar dapat sesuai dengan isi dari pada
konvensi.

Konsekuensi logis dengan diratifikasinya konvensi tersebut


maka istilah yang digunakan haruslah sesuai dengan Undang-
undang Nomor 19 tahun 2011 tersebut sebagai acuan, tidak
hanya istilahnya tetapi juga substansinya harus sesuai dengan
Konvensi PBB tersebut. UU No. 8 tahun 2016, sebagai Undang-
undang yang baru yang menggantikan UU No.4 Tahun 1997,
mengubah istilah penyandang cacat menjadi penyandang
disabilitas. Berdasarkan Pasal 1 poin (1) UU No. 8 tahun 2016,
Penyandang Disabilitas diartikan sebagai setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif, dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak.

Ada beberapa perbedaan antara UU No. 4 tahun 1997


dengan UU No. 8 Tahun 2016, yakni tentang penggunaan istilah
dan pendekatannya. Di dalam UU No. 4 tahun 1997, digunakan
istilah penyandang cacat dengan menempatkan mereka
sebagai suatu kondisi yang berlainan dengan kondisi dari orang
kebanyakan. UU No.4 tahun 1997 memandang mereka yang
disabilitas adalah mereka yang memiliki kelainan fisik dan/atau
mental.

Sedangkan dalam UU No. 8 tahun 2016, istilah yang


digunakan adalah penyandang disabilitas dengan menempatkan
penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki
keterbatasan fisik intelektual, mental,dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak. Pendekatan yang
digunakan dalam UU No. 8 tahu 2016 ini adalah menggunakan
perspektif hak asasi manusia. Upaya untuk mengatasi
keterbatasan fisik, mental dan/atau sensorik adalah sebagai
upaya untuk memenuhi kebutuhan hak asasi dari penyandang
disabilitas.

2.1.4 Difabel
Istilah difabel pertama kali dicetuskan di Indonesia oleh
beberapa aktivis di Yogyakarta; salah satunya adalah almarhum
Dr. Mansour Fakih (Ambulangsih, 2007; Priyadi 2006; Annisa
2005). Penggunaan kata difabel merupakan peng-Indonesia-an
dari “difabled people” yang merupakan kependekan dari
different
ability people atau yang dapat diartikan dengan seseorang
dengan kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan
dengan istilah disable, disable sendiri bila diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia mempunyai arti kecacatan, dan penggunaan
istilah kecacatan memiliki transisi perubahan yang cukup
signifikan sesuai dengan persepsi dan penerimaan masyarakat
secara luas.

Istilah difabel merupakan peng-indonesia-an dari


kependekan istilah different abilities people (orang dengan
kemampuan yang berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat
diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula
memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan
atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel
sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu
melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda
pula.

Dengan pemahaman baru itu, masyarakat diharapkan


tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya
memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para
difabel dipandang sebagaimana layaknya manusia umumnya
yang memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya.

Dalam penulisan buku ini, SANKITA menggunakan kata


disabilitas dengan beberapa alasan sebagai berikut. Pertama,
kata disabilitas merupakan istilah yang sah atau yang resmi
sesuai dengan yang digunakan dalam UU No. 8 tahun 2016.
Kedua, karena buku akan disebarkan tidak saja untuk internal
SANKITA tetapi juga akan disebarkan kepada publik, maka hal ini
tentu sangat penting untuk menggunakan istilah yang sah dan
yang diakui oleh negara. Walaupun di dalam internal, SANKITA
tetap menggunakan kata difabel.
Tentang penggunaan istilah ini, SANKITA menggunakan
beberapa alternatif seperti untuk internal, khususnya juga untuk
pendampingan di desa-desa sasaran, istilah yang digunakan
adalah difabel. Sedangkan untuk tujuan advokasi (umum/publik)
istilah yang digunakan adalah penyandang disabilitas.

2.2 Disabilitas dalam Masyarakat Manggarai


2.2.1 Konsep disabilitas sangat ditentukan oleh
konstruksi social.
Masyarakat di sekitar penyandang disabilitas memberikan
pandangan dan kesimpulannya sendiri bahwa mereka yang
memiliki disabilitas hidupnya penuh rasa sakit, tidak berdaya dan
membutuhkan pertolongan. Pandangan masyarakat seperti ini
cenderung membentuk perspektif negatif kepada penyandang
disabilitas. Hal ini berbeda dengan yang dirasakan oleh
penyandang disabilitas itu sendiri. Mereka tidak melihat keadaan
dirinya sebagai “masalah”. Penyandang disabilitas tidak pernah
mempersoalkan keadaan dirinya. Bahkan para penyandang
disabilitas tidak merasakan adanya beban dalam menjalankan
hidupnya dengan kondisi disabilitas yang dimilikinya. Yang
bermasalah justru masyarakat di mana mereka berada yang
dibenaknya penuh dengan prasangka dan pandangan negatif
tentang penyandang disabilitas. Inilah yang menjadi beban bagi
para penyandang disabilitas.

2.2.2 Aspek budaya


Budaya Manggarai pada umumnya berupaya membangun
keharmonisan hubungan antara manusia, alam dan adikodrati
(kekuatan gaib, mistik dan Tuhan). Manusia dipandang sebagai
pelaku utama dalam mebangun keharmonisan tersebut. Sikap
dan tingkah laku yang dibuat oleh manusia, entah yang baik
maupun yang jahat, dianggap dapat membawa kebaikan atau
keberuntungan dan malapetaka atau bencana pada kehidupan.
Hubungan antar sesama manusia, hubungan antar manusia
dengan dunia alam, tindakan-tindakan dan ritus-ritus memiliki
daya yang dapat membawa keberuntungan atau pun sebaliknya.
Orang Manggarai percaya bahwa segala sesuatu yang ada, baik
yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan memiliki tempat,
kekuatan dan pemiliknya masing-masing yang tidak boleh saling
diganggu. Agar keharmonisan tetap terjalin, dalam budaya
Manggarai dibuatlah larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh
manusia sebagai pelaku utama budaya. Jika larangan itu
dilanggar akan menimbulkan bencana atau petaka.

Larangan itu, misalnya tidak boleh menebang pohon di


dekat mata air karena dapat menggganggu keberadaan dari
pemilik mata air. Tidak boleh melukai kadal, karena kadal adalah
binatang yang mempunyai kekuatan untuk membalas kejahatan
dengan kejahatan. Jika manusia melukai salah satu bagian
tubuhnya, maka orang yang melakukan hal itu, cepat atau
lambat akan mengalami derita sakit pada bagian tubuh yang
sama dengan kadal yang dilukai orang tersebut. Dalam
hubungannya dengan sesama, orang Manggarai juga
mempunyai larangan, yang termuat dalam norma-norma
pergaulannya. Yang muda menghargai yang lebih tua, anak
menghargai orang tuanya dan tidak boleh saling melukai.

Semua yang berhubungan dengan upaya menjaga


keharmonisan tersebut telah terbentuk sejak lama hingga
menjadi sebuah mitos yang selalu diyakini kebenarannya.
Mitos-mitos yang berkembang di dalam masyarakat Manggarai
merupakan upaya untuk menjelaskan apa yang terjadi di balik
fenomena yang tampak, yang tidak dapat dipahami melalui jalan
logika formal, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan
mental untuk berhubungan dengan dunia adikodrati, khususnya
dengan yang ilahi. Mitos-mitos tersebut biasanya menceritakan
tentang kekuatan-kekuatan gaib. Orang Manggarai percaya
bahwa pohon, batu, binatang, mata air memiliki kekuatannya
masing-masing. Tuhan, bukanlah satu-satunya yang memiliki
kekuatan tetapi Tuhan dipandang sebagai pusat dari segala
kekuatan. Hal ini dapat dijelaskan dari penyebutan”Tuhan”dalam
bahasa Manggarai, yakni Mori Keraeng sebagai wujud tertinggi.
Menurut studi J.A.J. Verheijen (1991), Mori Keraeng dipandang
sebagai pencipta, pemelihara, dan pemilik segala sesuatu; Dialah
penyebab segala sesuatu yang ajaib di dalam alam jagat raya ini;
Dia juga pemberi hal-hal yang buruk; pemberi kekuasaan dan
ilmu pengetahuan. Dia memberikan kesejahteraan dan
kemakmuran, tetapi juga menghukum orang-orang yang
bersalah. Oleh karena itu, orang Manggarai selalu membuat ritus
untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan Mori
Keraeng dengan tujuan mempertahankan yang sudah baik dan
memperbaiki yang telah rusak akibat kesalahan dan dosa
manusia.

2.2.3 Disabilitas sebagai dosa atau kutukan dan


petaka
Orang Manggarai pada umumnya masih memiliki
keyakinan yang kuat bahwa disabilitas terjadi karena dosa, baik
yang dibuat oleh penyandang disabilitas itu sendiri maupun oleh
orang tuanya. Dosa merupakan suatu perilaku yang melanggar
norma atau yang menyimpang sehingga memutuskan sebuah
keharmonisan. Karena itu setiap dosa pasti ada hukumannya.
Dosa itu ditujukan bukan hanya kepada Tuhan tetapi juga
kepada sesama manusia maupun alam sekitarnya. Orang yang
berbuat jahat kepada sesama manusia, seperti merampok,
mencuri, mensantet (Vodoo), mempunyai ilmu hitam untuk
membunuh sesama – sikap yang selalu merugikan atau yang keji
terhadap orang lain – akan dibalas dengan segala akibatnya.
Hukuman dari dosa yang dibuat itu salah satu bentuknya adalah
terjadinya disabilitas.

Orang yang menjadi korban dari segala sikap dan


tingkah laku yang merugikan itu akan selalu memanjatkan doa
permohonannya kepada Tuhan. Orang itu pasrah, tidak
melawan, tetapi dalam hatinya ia selalu menuturkan harapan
akan pembalasan. Tuhan dipandang sebagai kekuatan yang
bijak, yang dapat melihat mana yang baik dan yang buruk. Orang
Manggarai percaya bahwa doa dari orang-orang yang menjadi
korban dari perlakuan yang tidak adil itu akan dikabulkan oleh
Tuhan.

Seorang anak yang lahir dengan kondisi disabilitas di mata


tetangga atau anggota masyarakat sekitarnya akan menilai
bahwa itu terjadi karena dosa yang dilakukan oleh orang tuanya,
baik ayah ataupun ibunya. Jika kedua orang tuanya pernah
berbuat dosa yang keji, maka anak yang lahir dengan disabilitas
itu adalah sebagai akibat dari dosa yang dibuat oleh orang
tuanya tersebut. Disabilitas pada anak merupakan korban
(sacrifece) dari dosa yang dibuat oleh orang tuanya. Tanggapan
seperti ini biasanya ditujukan kepada orang-orang yang menurut
tanggapan masyarakat memiliki ilmu hitam, yang bersekutu
dengan setan untuk membunuh sesama atau ditujukan kepada
orang yang tidak menghargai orang tuanya sendiri. Pandangan
yang sama
juga ditujukan kepada orang dengan disabilitas setelah
kelahiran, yang disebabkan karena kecelakaan, jatuh dari pohon,
tertindis batu atau yang lain-lain.

2.2.4 Disabilitas sebagai balasan


Masyarakat Manggarai mengakui beberapa binatang
seperti tokek, ular, katak dan kadal memiliki kekuatan. Orang
yang melukai binatang-binatang tersebut dengan cara
mematahkan kakinya, atau merusak anggota tubuhnya yang lain
sehingga membuat binatang-binatang itu menderita akan
mendapatkan balasan. Balasan itu tergantung dari perilaku yang
dibuat. Orang yang mematahkan kaki, punggung atau anggota
badan yang lain pada binatang itu akan mendapatkan
penderitaan yang sama. Jika kaki atau punggung binatang itu
yang disakiti atau dipatahkan, maka orang yang membuatnya
atau anak cucunya juga akan mendapatkan sakit yang sama di
bagian kaki atau punggung. Bahkan, jika binatang itu dianiaya
sampai mati, maka orang yang membuatnya akan meninggal.
Kekuatan untuk membalas kejahatan yang dibuat oleh manusia
itu, dalam bahasa Manggarai disebut dengan istilah “nggete”.
Nggete artinya, kekuatan dari suatu binatang untuk melindungi
dirinya dengan cara membalas penderitaan yang dideritanya
kepada pihak yang membuatnya menderita, dalam hal ini
manusia.

2.2.5 Disabilitas sebagai perbuatan yang melanggar


tata cara adat
Dalam melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, ada
beberapa tata cara yang tidak boleh dilanggar. Misalnya ketika
membuka kebun baru, sebelum menebang pohon harus
dibuatkan ritual adat berupa persembahan korban bakaran
berupa ayam, telur
atau babi sebagai tanda untuk meminta izin kepada pemilik
(penunggu) pohon atau kebun. Orang Manggarai percaya
bahwa setiap wilayah ada pemiliknya. Pemilik itu adalah mahluk
yang tidak kelihatan.
Bahkan untuk membangun rumah, orang Manggarai juga
percaya bahwa tempat setiap rumah yang dibangun sudah ada
pemiliknya. Jadi sebelum rumah itu dibangun, orang Manggarai
melakukan acara yang disebut ‘hesing’. Hesing adalah ritual adat
untuk memohon kepada pemilik rumah (mahluk yang tidak
kelihatan) untuk pergi atau tidak lagi berdiam di tempat
tersebut karena tempat itu hendak dibangun rumah oleh
manusia.
Orang Manggarai sangat berpegang teguh pada prinsip
keharmonisan antara alam, manusia dan dunia adikodrati.
Alam, manusia dan Pencipta merupakan tritunggal yang saling
menjaga satu dengan yang lain. Disabilitas merupakan akibat
dari sikap atau perilaku manusia yang tidak menjaga
keharmonisan tersebut. Sikap atau perilaku yang buruk kepada
sesama, alam dan kekuatan adikodrati dapat menimbulkan
kerugian atau petaka yang bentuknya dapat berupa sakit,
disabled bahkan kematian. Dengan demikian orang Manggarai
pada umumnya masih percaya bahwa disabilitas merupakan
kutukan atau petaka karena dosa manusia kepada Tuhan,
sesama maupun kepada alam (binatang).
Karena itu jika seorang anak yang lahir dengan kondisi
disabilitas, maka oleh tetangga atau anggota masyarakat sekitar
akan ditelusuri apa yang dilakukan oleh orang tuanya (ayah dan
ibunya). Jika kedua orang tuanya pernah berbuat dosa yang keji,
maka anak yang lahir dengan disabilitas itu diyakini sebagai
akibat dari dosa yang dibuat oleh orang tuanya tersebut.
Disabilitas pada anak tersebut diyakini sebagai kutikan akibat
dosa yang dibuat oleh orang tuanya.
2.3 Keberadaan penyandang disabilitas di
dalam keluarga
2.3.1 Penerimaan penyandang disabilitas
Penerimaan disabilitas merupakan hal yang sangat
mendasar dan kompleks dalam upaya membangun perubahan
kondisi kehidupan penyandang disabilitas. Penerimaan adalah
sikap terbuka dalam menghadapi situasi disabilitas yang ada
dengan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab itu meliputi
pengakuan dan penghargaan kepada penyandang disabilitas
akan harkat dan martabatnya yang sama seperti orang pada
umumnya.

Sedangkan kepasrahan sama maknanya dengan kefatalan


yang berjalan dalam ketidaktahuan. Kepasrahan merupakan
sikap menerima keadaan itu apa adanya. Orang yang menerima
disabilitas dalam kepasrahan tidak mempunyai kemampuan
untuk menyesuaikan diri, dengan situasi yang ada pada
lingkungannya. Mereka merasa terbebani, malu dan merasa
rendah diri. Sikap kepasrahan ini lebih banyak dialami oleh
keluarga dari penyandang disabilitas, sedangkan penyandang
disabilitas sendiri terus bergulat dalam memikirkan dirinya
sendiri.

Penerimaan terhadap kondisi disabilitas dapat dibentuk


jika dilandasi dengan pemahaman dan pengertian yang cukup,
walau membutuhkan waktu yang lama. Penerimaan adalah
sesuatu sikap yang melibatkan proses penyesuaian pada
identitas, citra dan penghormatan diri yang tidak lemah, tetapi
tetap sangat utuh, kuat dan terus meningkat hingga melahirkan
suatu kepercayaan diri.
Penerimaan disabilitas melibatkan semua pihak, baik para
penyandang disabilitas, keluarga maupun yang non-disabilitas.
Penerimaan dalam contoh kasus yang sederhana, ketika seorang
lahir dengan disabilitas tertentu (misalnya tuna netra) maka
seluruh keluarga mulai dari ayah dan ibunya serta segenap
anggota keluarga harus siap menghadapi situasi yang baru
seperti ini dan hal ini mungkin lebih sulit dihadapi dibandingkan
dengan anak yang menyandang disabilitas itu.

Dari pengalaman SANKITA selama berkarya dengan isu


disabilitas, pasalah yang paling sering dihadapi adalah masalah
penerimaan. Suatu hari, staf SANKITA ke desa dampingan
berkunjung ke sebuah keluarga baru, yang melahirkan anak
pertamanya dalam kondisi disabilitas. Pada saat bertanya
kepada kedua orang tuanya tentang apa yang mereka pikirkan
dengan kondisi anak tersebut, terlihat dari wajah mereka tanda
keraguan menjawab, “Keadaan seperti ini tidak pernah diduga
sebelumnya. Kami sangat terkejut melihat keadaan ini terjadi
dalam kehidupan kami. Kami menerima keadaan ini, karena
bagaimana pun ia adalah anak pertama kami”.

Kemudian diajukan pertanyaan lainnya: apakah ada


harapan akan merencanakan kelahiran berikutnya? Kedua
orang tua itu menjawab belum merencanakan kelahiran karena
ada perasaan takut kemungkinan terjadi kelahiran yang sama.
Dari jawaban seperti ini sebenarnya terbesit gambaran bahwa
penerimaan yang dilakukan lebih banyak dipahami sebagai
suatu kepasrahan. Jika orang menerima keadaan, maka jawaban
yang dapat disampaikan adalah “kami sangat senang menerima
kelahiran ini”. Kami akan mencari jalan keluar agar disabilitasnya
dapat diperbaiki.
Sering kepasrahan ini membuat orang menjadi takut
dengan keadaan yang ada padanya. Ketakutan itu dihantui
oleh perasaan malu dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Karena takut pada lingkungan sosialnya, maka para penyandang
disabilitas dikontrol sedemikian rupa agar tidak berpartisipasi
dalam lingkungannya; mengurung anak dalam rumah, tidak
memberikan kebebasan kepada penyandang disabilitas untuk
mengakses pendidikan bahkan bermain dan berinteraksi dengan
teman-teman sekitarnya. Akibat yang lebih buruk dari ketakutan
ini adalah munculnya sikap penolakan dan pengabaian terhadap
keberadaan penyandang disabilitas. Kebutuhan-kebutuhan
mereka diabaikan karena mereka dipandang sebagai orang yang
tidak berguna dan menjadi beban keluarga.

Pada sisi yang lain, para penyandang disabilitas tidak


merasakan sama sekali apa yang dipikirkan oleh orang-orang
non-disabilitas. Penyandang disabilitas lebih banyak memikirkan
tentang dirinya; bagaimana caranya hidup dan meraih sesuatu
dengan kondisi disabilitas yang ada padanya. Norman Cousins
(1979) mengatakan orang disabilitas memiliki kebulatan tekat
dan bebas untuk mempergunakannya untuk membebaskan
dirinya. Para penyandang disabilitas juga memiliki impian akan
segala harapan yang ingin diraihnya.

Pendampingan yang dilakukan oleh orang tua terhadap


penyandang disabilitas dalam pengamatan tim SANKITA
selama ini, sangat dipengaruhi oleh dua hal tersebut di atas:
pandangan dan sikap penerimaan. Orang tua yang memandang
penyandang disabilitas sebagai dosa, kutukan atau beban dalam
keluarga menyebabkan perhatian mereka terhadap penyandang
disabilitas juga kurang bagus. Sebaliknya, anggota keluarga yang
menerima kondisi disabilitas sebagai berkat, pada umumnya
memberi perhatian yang serius untuk memperbaiki kehidupan
dari penyandang disabilitas tersebut.

Dengan tanggapan positif semacam itu, orang tua akan


semakin termotivasi berfikir kreatif mencari ide jalan keluar.
Orang tua akan terus berusaha mengumpulkan informasi
terhadap disabilitas yang dialami oleh anaknya. Tanggapan yang
positif dan adanya sikap penerimaan mendorong orang untuk
memahami keadaan yang ada. Orang tua yang memiliki
pemahaman dan pengetahuan yang cukup tentang disabilitas,
tetapi karena ia memandang disabilitas adalah hal yang
menakutkan dan menolak keadaan itu, maka pemahamannya
menjadi tidak berguna karena orang tua tersebut cenderung
tidak melakukan apa-apa.

Tanggapan positif semacam ini tidak hanya berpengaruh


terhadap orang tua tetapi berlaku untuk semua. Anak yang
mengalami keterlambatan daya pikir (mental retardation) sering
mendapatkan perlakuan yang tidak adil di sekolah seperti,
mereka sering di pandang anak tidak waras yang tidak perlu
bersekolah dan sering dikeluarkan dari sekolah. Lingkungan dan
sekolah terlanjur memberi label mereka sebagai anak yang tidak
waras dan menolak keberadaan mereka.

2.3.2 Pengetahuan tentang disabilitas


Hampir semua orang tua penyandang disabilitas di desa
sasaran, kurang memahami disabilitas yang dialami oleh anggota
keluarganya atau anaknya yang disabilitas. Keterbatasan
pengetahuan itu menyebabkan mereka sulit memberikan
tindakan untuk memperbaiki kondisi disabilitas. Mereka
cenderung membiarkan keadaan disabilitas sampai tumbuh
dewasa, hingga peluang memperbaikinya sangat kecil. Kejadian
seperti ini adalah suatu contoh kepasrahan yang mendalam yang
sering terjadi pada orang tua di Manggarai pada umumnya.
Situasi ini diperburuk lagi oleh pandangan masyarakat sekitar
bahwa disabilitas adalah akibat dari kutukan atau dosa dan
disabilitas itu tidak dapat diperbaiki/disembuhkan.

Keluarga dan masyarakat sering beranggapan penyandang


disabilitas adalah orang yang lemah, tidak produktif, tidak
memiliki keterampilan dan kemampuan. Kuatnya anggapan
seperti ini, mengakibatkan orang tua membatasi atau tidak
memberikan kebebasan kepada penyandang disabilitas bergerak
bebas di dalam lingkungan masyarakat maupun kesempatan
untuk mengikuti pendidikan. Mereka yang memiliki keterbatasan
fisik dan mental tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan
sosial. Kondisi dikucilkan dan mendapat perlakuan diskriminasi
membuat penyandang disabilitas merasa malu, tidak percaya
diri dan sulit mengembangkan dirinya untuk meraih masa depan
yang mereka inginkan.

2.4 Hambatan dalam upaya pemberdayaan


penyandang disabilitas

2.4.1 Hambatan secara ekonomi


Banyak penyandang disabilitas datang dari keluarga miskin
dan tinggal di desa. Mereka menghadapi berbagai tantangan
seperti rendahnya pendapatan keluarga, jumlah tanggungan
(biaya kehidupan) banyak. Kehidupan ekonomi keluarga
lebih banyak bergantung pada satu sektor utama yakni usaha
pertanian. Situasi ini diperparah lagi dengan tidak memiliki lahan
yang cukup dan rendahnya kemampuan (skill), serta sedikitnya
alternatif sumber pendapatan.

Kemiskinan adalah penyebab dan sekaligus akibat dari


disabilitas. Kemiskinan dan disabilitas merupakan dua faktor
yang saling memberi kontrtibusi, meningkatnya kerentanan
dan pengucilan terhadap penyandang disabilitas. Penyandang
disabilitas pada umumnya menemukan situasi yang sulit dalam
berjuang memengaruhi perubahan dalam hidupnya, seperti
untuk mendapatkan pendidikan di satuan pendidikan, mencari
pekerjaan, menikmati kehidupan untuk berkeluarga dan
kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan sosial (DFID, 2000).

Keluarga miskin yang mempunyai penyandang disabilitas


tidak dapat memenuhi gizi dan perawatan kesehatan kepada
anaknya yang disabled. Para penyandang disabilitas sering
menemui hambatan dalam keluarga, dimana anak-anak yang
disabled sedikit diberikan perhatian oleh orang tuanya. Anak
yang non disabled masih mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan baju yang baru, sandal baru atau kebutuhan yang
lainnya. Begitu pula ketika anak yang tidak cacat itu
mengalami sakit. Orang tua segera membawanya untuk
berobat. Sedangkan pada anak penyandang disabilitas sedikit
sulit untuk mendapatkan perhatian seperti itu, bahkan anak
penyandang disabilitas dikurung di dalam rumah. Banyak anak
penyandang disabilitas tidak mendapatkan perawatan medis
dan memperbaiki disabilitasnya.

Para penyandang disabilitas sering mendapatkan


diskriminasi baik dalam ruang lingkup keluarga maupun
masyarakat. Mereka terpinggirkan dan hak-hak mereka sering
tidak diakui. Mereka dianggap sebagai beban dalam keluarga.
Diskriminasi seperti ini lebih berat lagi ketika penyandang
disabilitas itu perempuan. Perempuan penyandang disabilitas
mendapatkan stigma ganda yakni sebagai perempuan dan
disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas sering tidak
mendapatkan perhatian serius dari keluarganya untuk
kebutuhan hidupannya termasuk kesehatan reproduksi.
Perempuan penyandang disabilitas sering diabaikan.

Para penyandang disabilitas, keluarga maupun masyarakat


yang tinggal di desa kurang memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang disabilitas yang memadai, khususnya yang
berkaitan dengan penyebab, usaha pencegahan dan perawatan
disabilitas (medis dan rehabilitasi). Disabilitas masih banyak
dipahami dari aspek budaya seperti yang dijelaskan di atas.

2.4.2 Hambatan sosial dan budaya


Penyandang disabilitas dipandang oleh orang-orang non
disabled (by able-bodied people) sebagai tragedi, bencana atau
malapetaka (catastrophe), orang yang kehilangan, tidak memiliki
kemampuan, yang pada akhirnya memunculkan ketakutan, iba-
kasihan atau kekaguman. Ada tiga sikap yang ada dalam orang-
orang non-disabled; penolakan akan keberadaan penyandang
disabilitas, penyandang disabilitas dilihat sebagai sasaran
bantuan sedekah dan perlu dikasihani.

Venkatesh (Venky), Director of Action on Disability and


Development (AAD) India mengatakan bahwa prasangka, takut
dan sikap negatif menimbulkan sebuah masalah dan tugas
kita adalah bagaimana memahami mengapa sikap itu ada dan
bagaimana hal tersebut dirubah. Menurutnya jika orang merasa
lebih baik pada dirinya, mereka dapat memulai menciptakan
perubahan. Penyandang cacat mengatakan bahwa mereka
tidak akan pernah menerima keadaan itu, yang sebenarnya
hal ini hanyalah tanggapan dari orang-orang yang bukan cacat
(Coleridge, 1996).

Di negara-negara berkembang, disabilitas sering


dipandang oleh mereka yang tidak menyandang disabilitas
sebagai sebuah tragedi, atau kehilangan atau kekurangan. Orang
pada umumnya berpikir bahwa disabilitas itu adalah
masalah pribadi dari para penyandang disabilitas dan
keluarganya sendiri. Warga masyarakat lain tidak mengambil
peran untuk mencari jalan keluar bersama dan pada umumnya
mereka menunjukkan sikap negatif terhadap disabilitas sebagai
prasangka dan menakutkan.

Sikap-sikap negatif sering menghalangi usaha para


penyandang disabilitas untuk mencapai pemenuhan potensi
yang ada dalam dirinya. Stigma yang ada di lingkungan sekitar
juga memengaruhi proses pembentukan kebijakan dan
inclusivisme pada semua tingkatan lingkungan masyarakat.
Tantangan terbesar bagi penyandang disabilitas datangnya
bukan dari keterbatasan fungsi tubuh tetapi prasangka dan
penolakan dari lingkungan teman-teman, masyarakat dan
keluarga. Venkatesh (Venky) mengatakan; prasangka takut dan
sikap negatif menimbulkan sebuah masalah ,dan tugas kita
adalah bagaimana memahami mengapa sikap itu ada dan
bagaimana hal tersebut dirubah. Menurutnya usaha tersebut
harus dimulai dari penyandang disabilitas itu sendiri (Coleridge,
1996.
2.4.3 Kurang tersedianya sarana dan akses ke
pelayanan disabilitas
Masih banyak sarana dan prasarana umun yang dibangun
untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas seperti
sarana pendidikan, keterampilan dan rehabilitasi kecacatan.
Propinsi Nusa Tenggara Timur sudah memiliki sejumlah sekolah
luar biasa, sekolah untuk anak autis, tempat-tempat fisioterapi
dan rehabilitasi, klinik-klinik alternatif yang banyak dibangun
oleh pemerintah maupun swasta (kaum biarawan dan biarawati)
tetapi masih belum dikenal secara luas di kalangan masyarakat
pedesaan. Di satu sisi pemerintah propinsi maupun kabupaten
belum membangun tempat fisioterapi atau rehabilitasi umum,
yang dapat dijangkau dan mudah diakses oleh penyandang
disabilitas.

Menurut data survey yang dilakukan oleh seorang


Volunteer Skills Share (VSO) Rosalien Rutten asal Belanda
yang pernah bertugas di St. Damian Cancar, menunjukkan
bahwa ada 25 tempat rehabilitasi yang menyebar di beberapa
kabupaten di NTT. Kabupaten Manggarai memiliki satu tempat
rehabilitasi yakni St. Damian Cancar. Kabupaten Ngada ada 4
buah (semuanya milik susteran); Centrum Rehabilitasi Bajawa,
Centrum Rehabilitasi Boawae, Cenrum Rehabilitasi MUNDEMI,
Centrum Rehabilitasi Baonio (susteran). Kabupaten Ende,
tidak memiliki tempat rehabilitasi. Kabupaten Maumere ada 5
tempat: Panti Asuhan Maria Stella Maris, Mama Belgi, Centrum
Rehabilitasi Wairklau, St. Dymphna/ Yayasan Yasbida, Centrum
Rehabilitasi Nita. Kabupaten Flores Timur: Sr Hendrina PRR.
Kabupaten Lembata: RS Beato Damian (CIJ)-Kusta. Kabupaten
Alor: Ibu Gizela Borowka. Kupang: RS Merdeka (SSpS), The
Leprosy Mission International (CBR NTT), Centrum Rehabilitasi
Kupang, Pusat Rehabilitasi Kusta NAOB, Centrum Rehabilitasi
Atambua. Di Waingapu: Centrum Rehabilitasi Waingapu,
Centrum Rehabilitasi Waikabubak, Waitabula.

Sekolah luar biasa (SLB) berjumlah 17 buah dan 12


diantaranya adalah sekolah negeri. Masih banyak daerah yang
belum membangun sekolah bagi para penyandang disabilitas.
Kabupaten Manggarai ada dua SLB yaitu: SLB A/B Karya Murni
Ruteng dan SDLBN (sekolah dasar luar biasa negeri), Kabupaten
Manggarai Timur dan Manggarai Barat memiliki SLBN.
Kabupaten Ngada; SDLBN Bajawa. Kabupaten Ende: SDLBN
Ende. Kabupaten Sika: SLB C (cacat mental) Bakti Luhur, SDLBN
Beru, SLB C Maumer. Kabupaten Flores Timur: SDLBN Weri
Flores Timur. Kabupaten Alor: SDLBN Mebung Alor, Kupang:
SDLBN Kupang, SLB Asuhan Kasih, SLBN Kupang, SD Inpres
Perumnas III kelas ekslusif C Kupang. Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS): SDLBN Nunumeu. Kabupaten Timor Tengah
Utara: SDLBN Benpasi Kefamenanu. Kabupaten Belu: SDLBN
Tenubot Belu. Di Sumba: SDLBN Waingapu dan SDLBN
Waekabubak.

Keberadaan tempat pelayanan, baik pendidikan maupun


rehabilitasi para penyandang disabilitas tersebut di atas
semuanya berada di kota sehingga masih belum dapat
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat, khususnya
penyandang disabilitas yang tinggal di pedesaan. Para
penyandang disabilitas yang tinggal di pedesaan tidak
mendapatkan informasi keberadaan tempat pelayanan tersebut
di atas. Hal ini selain karena kurangnya informasi juga
dipengaruhi oleh miskinnya infrastruktur transportasi seperti
jalan dan pengangkutan. Masih banyak daerah yang belum
memiliki akses jalan raya dan mobilitas ke
tempat pelayanan umum. Masyarakat pedesaan harus berjalan
kaki sampai ke jalan umum untuk mendapatkan kendaraan.
Mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup besar baik untuk
transportasi maupun untuk konsumsi. Situasi seperti ini lebih
sulit lagi bila dihadapkan kepada penyandang disabilitas.

2.4.4 Hambatan geografis


Bentuk geografis yang berbukit-bukit menyebabkan
penyandang disabilitas mengalami kesulitan bergerak. Hampir
seluruh wilayah kampung di Manggarai berada di lereng bukit.
Kondisi seperti ini sangat sulit bagi mereka yang mengalami
kesulitan berjalan, keseimbangan buruk atau mereka yang
memiliki polio atau tuna netra.

Kondisi geografis yang sulit ini menimbulkan dua dampak


utama bagi penyandang disabilitas, pertama, penyandang
disabilitas tidak dapat melakukan mobilitas. Mereka sulit
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lingkungan tempat
tinggal sulit diakses. Mereka hanya bisa tinggal di satu tempat.
Kedua, dengan terbatasnya ruang mobilitas menyebabkan
penyandang disabilitas sangat sulit mendapatkan pelayanan
seperti kesehatan, pendidikan dan pelayanan-pelayanan umum
lainnya.

Masyarakat Manggarai pada umumnya meminta


perawatan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, informasi,
biaya dan jarak ke tempat pelayanan. Kurangnya pengetahuan
disabilitas menyebabkan para penyandang disabilitas atau
keluarganya terlambat dalam mendeteksi disabilitas, terlambat
untuk memutuskan pergi meminta perawatan di tempat
perawatan,
terlambat mendapatkan intervensi dini. Situasi ini
mengakibatkan disabilitas fungsioanl relatif berlangsung dalam
waktu yang lama, juga sangat sulit untuk dirubah.

Kuatnya kepercayaan disabilitas sebagai akibat dari


dosa atau korban dari ilmu sihir (santet) membuat keluarga
atau penyandang disabilitas mencari perawatan di dukun
kampung. Dukun dianggap sebagai orang yang memiliki
kekuatan supranatural untuk merawat sakit atau masalah-
masalah kesehatan, dipercaya mampu melihat kasus-kasus
secara keseluruhan dan memiliki ramuan tradisional yang
menyembuhkan. Dukun adalah tempat pertama kali bagi warga
untuk mendapatkan perawatan. Hal ini juga dipermudah karena
dukun berada di sekitar mereka dan pelayanan yang diberikan
oleh dukun tidak menuntut bayaran. Jika perawatan yang
dilakukan oleh dukun tidak membawa hasil, pilihan lain yang
diambil adalah mencari dukun lain. Setelah banyak dukun
dilewati dengan tidak ada hasil kemudian baru diputuskan
untuk mencari perawatan di rumah sakit atau di tempat
rehabilitasi. Proses seperti ini membutuhkan waktu yang sangat
panjang.

Keterlambatan dalam mendapatkan pelayanan perawatan


disabilitas sangat kompleks karena di dalamnya mencakup
masalah ekonomi dan jarak yang jauh. Kemiskinan menyebabkan
orang tidak dapat pergi mendapatkan perawatan disabilitasnya.
Jarak yang jauh menyebabkan biaya yang sangat tinggi yang
sudah tentu sangat sulit dijangkau oleh mereka yang tidak
memiliki dana yang cukup. Situasi seperti ini juga terjadi pada
saat orang mencari tempat pendidikan. Kita temukan fakta
dimana banyak penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan
pelayanan fisioterapi, operasi bibir sumbing dan kaki bengkok,
alat-alat bantu
disabilitas dan banyak pula yang tidak mendapatkan pendidikan.
Departement For International Development, Disability, Poverty
and Development (DFID) mengatakan bahwa sebanyak lima puluh
persen disabilitas dapat dicegah dan secara langsung berkaitan
dengan lingkaran kemiskinan (p. 3).
Bab 3
Strategi Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat
(RBM) SANKITA

3.1 Pengenalan model disabilitas


Upaya perbaikan kehidupan penyandang disabilitas yang
dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat sudah dilakukan
dengan berbagai model. Dalam masyarakat ada anggapan
bahwa penyandang disabilitas itu sebaiknya tinggal di panti.
Anggapan ini menyebabkan banyak orang tua penyandang
disabilitas berkeinginan membawa anggota keluarganya
penyandang disabilitasnya tinggal di panti (tinggal menetap dan
mendapatkan pendidikan, pelatihan dan rehabilitasi). Membawa
anggota keluarga penyandang disabilitas ke panti sangat
membantu mengurangi beban dari orang tua dan dapat
membangun kemandirian bagi disabilitas. Orang tua yang
membawa anaknya ke panti, menyerahkan tanggung jawab
sebagai orang tua kepada pihak panti karena pihak panti akan
mengurus seluruh kebutuhannya selama tinggal dalam panti.
Namun setelah orang tua membawa anggota keluarga
penyandang disabilitas ke panti, banyak diantara mereka yang
tidak lagi mengunjungi bahkan tidak memberi dukungan seperti
membawa kebutuhan pokok atau kebutuhan penyandang
disabilitas. Orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada panti.
Selama ini, panti sudah memberi peran yang sangat besar
dalam membantu, memberi perhatian perubahan kehidupan
penyandang disabilitas. Namun, perlu disadari panti memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Panti tidak memiliki dana yang
cukup untuk memberi pelayanan yang dapat menjangkau
seluruh penyandang disabilitas yang ada di tengah
masyarakat. Panti juga tidak dapat melayani semua jenis
disabilitas. Ada panti yang hanya melayani jenis disabilitas
tertentu. Muncul pertanyaan, bagaimana dengan penyandang
disabilitas yang tidak dapat dilayani oleh panti. Banyak
penyandang disabilitas hidup bersama dengan keluarganya di
desa dan tidak mendapatkan pelayanan rehabilitasi baik medis,
pendidikan maupun pelatihan. Penyandang disabilitas yang
tinggal di desa semacam ini membutuhkan perhatian dari semua
pihak baik itu masyarakat maupun pemerintah. Untuk mengatasi
situasi banyaknya penyandang disabilitas yang ada di desa,
SANKITA melakukan suatu pendekatan pelayanan yang disebut
dengan community based rehablitation (Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat = RBM).

Dalam konsep RBM, penyandang disabilitas tetap tinggal


bersama dengan keluarganya dan tinggal di lingkungannya.
Peran dari orang tua dan komunitas adalah melakukan hal-hal
yang dapat memperbaiki kondisi kehidupan penyandang
disabilitas. Sebelum kita membahas tentang RBM sebagai suatu
alternative pendekatan, terlebih dahulu akan dijelaskan model
pendekatan yang dilakukan sebelumnya, yakni; model medis,
model sosial, model hak asasi, dll.
3.1.1 Model medis: disabilitas adalah penyakit
Model medis memandang penyandang disabilitas
adalah individu yang memiliki masalah pada aspek kesehatan.
Dalam model medis, disabilitas disebabkan karena penyakit,
trauma, atau kondisi kesehatan lainnya sehingga memerlukan
perawatan medis berkelanjutan yang diberikan dalam bentuk
perawatan individu oleh para profesional. Dalam cara pandang
tersebut, disabilitas ditempatkan sama dengan penyakit. Dalam
pandangan medis, penyandang disabilitas dipandang sama
dengan orang yang memiliki penyakit tertentu. Karena
disabilitas dipandang sebagai penyakit maka pelayanan kepada
disabilitas tujuannya utamanya adalah untuk menyembuhkan
disabilitas. Dalam model medis ini, kebutuhan utama
penyandang disabilitas adalah pelayanan medis (rumah sakit,
dokter spesialis, perawat, fisioterapis, dll). Petugas medis
merupakan kunci utama dalam memberikan pelayanan kepada
penyandang disabilitas.

Petugas medis berusaha melakukan diagnosa dan


menemukan obat yang sesuai dengan hasil diagnosa. Semua
tenaga dan sumberdaya akan digunakan untuk mendapatkan
obat yang dibutuhkan. Bila tidak ada obat, hal ini dipandang
tragis dan penyandang disabilitas itu perlu dirawat. Perawatan
harus diresepkan dan diberikan oleh spesialis dari berbagai
profesi, pekerja sosial, konselor, fisioterapis, psikolog, dll,
yang akan memberi pelayanan kepada penyandang disabilitas
atau keluarganya untuk mengurangi masalah disabilitas yang
dihadapi. Banyak negara yang masih memandang pelayanan
medis merupakan satu-satunya pelayanan yang dianggap perlu
bagi penyandang disabilitas.
Pandangan medis ini sudah mulai ditingalkan. Saat ini,
disabilitas tidak lagi dipandang sebagai suatu penyakit tetapi
mulai menekankan pada ciri atau karakter tertentu yang dimiliki
oleh seseorang. Tidak semua disabilitas dipandang sebagai
masalah kesehatan. Misalnya penyandang disabilitas yang masuk
dalam kategori tuna rungu atau yang mengalami keterbatasan/
gangguan fungsi gerak, tidak dapat dipandang sebagai orang
yang memiliki penyakit tertentu. Mereka dipandang sebagai
orang yang memiliki karakter tertentu seperti kesulitan bicara
dan berjalan. Dengan pandangan tersebut, konsep
pelayanannya adalah menciptakan lingkungan di sekitarnya agar
dapat diakses oleh tuna rungu dan orang yang bermasalah
dengan fungsi gerak. Pelayanan yang seharusnya disediakan
oleh masyarakat adalah masyarakat sekitar diajarkan untuk
memahami komunikasi dengan bahasa isyarat dan menyediakan
kursi roda bagi yang mengalami fungsi gerak serta menyediakan
jalan atau gedung yang dapat dijangkau oleh orang dengan kursi
roda.

3.1.2 Model belas kasih/Charity Model


Mirip dengan model medis, dalam model belas kasihan
penyandang disabilitas dipandang sebagai orang yang perlu
dikasihani. Penyandang disabilitas adalah orang yang malang,
yang tidak beruntung dan menyedihkan. Orang non-disabled
memberi bantuan kepada penyandang disabilitas sebagai rasa
belas kasihan. Dalam model belas kasihan, penyandang
disabilitas diposisikan sebagai individu yang tidak dapat
melakukan kerja keseharian untuk mendapatkan sumber
penghidupan. Model belas kasihan ini juga sama dengan tragedy
model yang memandang penyandang disabilitas sebagai korban
yang patut
dikasihani. Model medis dan model belas kasihan ini merupakan
dua model yang paling banyak digunakan oleh non-disabilitas
untuk mendefinisikan dan menjelaskan penyandang disabilitas.

Kebutuhan utama penyandang disabilitas dalam model


belas kasih adalah perhatian atau uluran tangan dari masyarakat
di sekitar penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas
yang berjalan tanpa tongkat, tidak bisa mendengar tanpa alat
bantu dengar, tidak mampu menggunakan lengan atau kakinya
dipandang juga tidak dapat berpikir, mengambil keputusan
atau bertindak untuk dirinya sendiri, dan orang lain perlu
membantu dan melakukannya. Penyandang disabilitas dianggap
membutuhkan bantuan, perlindungan, perawatan, belas kasih,
simpati, pelayanan khusus, sekolah khusus dan bantuan dana.

Akibat dari pandangan-pandangan tersebut, banyak


penyandang disabilitas sendiri mengakui bahwa yang ada
padanya adalah suatu jenis penyakit, sehingga dirinya perlu
mendapatkan bantuan dari orang lain yang ada di sekitarnya.
Masih banyak penyandang disabilitas sendiri telah mengadopsi
dan menanamkan dalam dirinya satu atau kedua model tersebut
di atas. Seperti orang yang lain, penyandang disabilitas melihat
diri mereka sendiri sebagaimana orang di sekitarnya
memandang mereka. Bila orang di sekitarnya memandang
mereka sebagai yang tidak mungkin mandiri, maka cepat atau
lambat penyandang disabilitas juga akan berpikir seperti itu.
Tetapi apa yang sungguh membuat hidup mereka berbeda
adalah bila mereka mampu mencari nafkah dengan cara yang
berguna dan produktif. Sering kali memberikan belas kasih
merupakan suatu cara untuk mengisi kekosongan tanpa
memperhatikan masalah yang sebenarnya dalam masyarakat.
Saat ini, penyandang disabilitas sudah mulai keluar dari
pandangan tersebut di atas. Penyandang disabilitas memandang
disabilitas tidak lagi suatu penyakit dan tidak membutuhkan
belas kasihan. Kebutuhan penyandang disabilitas akan
pelayanan kesehatan dan kebutuhan terkait dukungan dari
sesama merupakan kebutuhan yang sama dengan kebutuhan
orang lain pada umumnya. Dalam organisasi-organisasi
penyandang disabilitas, anggota-anggotanya sudah mulai
membangun kesadaran akan kemandirian bagi penyandang
disabilitas itu sendiri. Berusaha untuk mendapatkan
keterampilan sehingga mendapatkan penghasilan sendiri.

3.1.3 Model sosial


Model sosial adalah suatu model yang membatasi
penyandang disabilitas berperan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Ini merupakan akibat lanjutan dari model medis
dan model belas kasihan tersebut di atas. Penyandang disabilitas
yang diposisikan sebagai individu yang mengalami masalah
kesehatan yang membutuhkan belas kasihan yang menyebabkan
masyarakat berpandangan bahwa penyandang disabilitas tidak
dapat berpikir dan melakukan sesuatu di lingkungan masyarakat.
Masyarakat memisahkan penyandang disabilitas dengan
warga masyarakat non-disabled. Dalam model sosial, masalah
sesungguhnya bukan pada penyandang disabilitas tetapi ada
pada lingkungan sosial kemasyarakatan.

Dalam model sosial, disabilitas muncul karena lingkungan


sosial kemasyarakatannya telah menciptakan suatu ruang hidup
yang terbatas, yang sulit diakses oleh penyandang disabilitas.
Misalnya, lingkungan masyarakat tidak menyediakan jalan yang
dapat diakses oleh penyandang disabilitas tuna netra. Banyak
penyandang disabilitas tuna netra yang tidak dapat pergi
kemana- mana karena mereka tidak dapat mengakses jalan,
informasi dan jenis transportasi yang digunakan. Di lingkungan
rumah tangga, penyandang disabilitas polio yang kesulitan
berjalan, tidak dapat ke luar dari rumah karena rumahnya
sendiri dalam bentuk panggung, tidak tersedia anak tangga yang
tepat dan tidak ada pegangan. Hal ini menyebabkan penyandang
disabilitas yang mengalami kesulitan berjalan terkurung dalam
rumah. Begitu pula penyandang disabilitas yang menggunakan
kursi roda tidak dapat berjalan kemana-mana karena
lingkungannya tidak dapat diakses. Banyak bangunan umum
yang memiliki banyak tangga tidak menyiapkan bidang miring
untuk akses bagi penyandang disabilitas sehingga menyulitkan
penyandang disabilitas dengan kursi roda untuk masuk ke dalam
gedung-gedung tersebut.

Transportasi yang tidak dapat diakses oleh penyandang


disabilitas, menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk
melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya,
anak-anak disabilitas tidak dapat bersekolah di sekolah di
sekitarnya karena jalan ke sekolah tidak dapat diakses. Bahkan
bila mereka dapat masuk ke sekolah, mereka tidak dapat masuk
ke dalam gedung karena harus melewati anak tangga. Ini belum
termasuk lingkungan sekolah yang berpandangan negatif dan
tidak menerima anak disabilitas dengan alasan orang tua anak-
anak yang lain akan marah. Bila mereka tidak mendapatkan
pendidikan yang baik atau bila satu-satunya sekolah dimana
mereka dapat belajar adalah sekolah khusus, maka mereka tidak
dapat berkumpul dan berinteraksi dengan teman-teman yang
non disabled. Tanpa pendidikan yang memadai mereka tidak
dapat memperoleh pekerjaan, dan tanpa pekerjaan mereka
akan menjadi miskin dan bergantung pada orang lain (keluarga,
pemerintah, lembaga sosial, dll).

Dari aspek kebutuhan, antara penyandang disabilitas


dengan non disabilitas memiliki kebutuhan yang sama. Sama-
sama membutuhkan kehidupan, cinta, pendidikan, pekerjaan,
kendali dan pilihan dalam hidupnya, dan akses ke pelayanan
yang memadai (termasuk pelayanan kesehatan dan rehabilitasi
bila perlu) sebagai hak. (Perlu diingat bahwa pada dasarnya hal
ini sama dengan gerakan lain yang menuntut hak sipil – seperti
gerakan emansipasi wanita – etnis minoritas – yang terjadi di
berbagai belahan dunia).

Pelayanan medis dan sosial (dimana mereka tinggal) untuk


penyandang disabilitas dirancang dan disediakan oleh orang
yang non disabilitas, yang sering kali mempunyai pandangan
negatif terhadap penyandang disabilitas (dengan anggapan
bahwa ada sesuatu yang salah atau tidak normal). Untuk alasan
ini, penyandang disabilitas sendiri tidak dimintai pendapat dan
pelayanan yang disediakan untuk mereka sering tidak cocok dan
tidak memadai. Pelayanan ini sering disebut ‘khusus’ – dan
segala sesuatu yang khusus biasanya dianggap extra,
membutuhkan biaya yang mahal dan tidak penting serta
mengganggu keindahan (estetika) pada umumnya. Hal ini berarti
bila tidak ada cukup dana atau biaya, maka hal pertama yang
dihilangkan adalah hal- hal yang extra tersebut.

Sebagai kesimpulan, dalam model sosial seseorang dengan


keterbatasan menjadi disabilitas bukan karena keterbatasannya,
tetapi karena sikap dari masyarakatnya, lingkungan fisik dan
sosial yang menyediakan lingkungan yang tidak dapat diakses
oleh para penyandang disabilitas. Semua masalah ini bisa diatasi.
Tidak mungkin membuat semua orang lumpuh berjalan, atau
tuna netra melihat (dan sesungguhnya seseorang tidak harus
bisa berjalan atau melihat untuk dapat memiliki hidup yang
bahagia dan bermakna); tetapi ramp dan lift dapat dibangun,
anjing penuntun dapat dilatih, dan orang non disabled dapat
memandang penyandang disabilitas dengan cara yang berbeda.
Jadi model sosial merupakan alat yang berguna untuk
penyandang disabilitas dan pendukung mereka untuk membuat
perubahan positif dalam hidup mereka dan bagi orang non
disabled untuk bisa lebih memahami penyandang disabilitas.

3.1.4 Model Biomedical Kesehatan1


Model kesehatan biomedis adalah model yang dominan
di dunia barat dan fokus pada kesehatan murni dalam kaitannya
dengan faktor biologis. Yang terkandung dalam model biomedis
kesehatan ini adalah model medis dari disabilitas. Model ini
lebih memperhatikan faktor kesehatan pada kondisi disabilitas
individu. Model biomedis sering dikontraskan dengan model
biop-sychosocial.

3.1.5 Model Identitas


Model identitas terkait erat dengan model sosial, namun
penekanan yang mendasar dalam model identitas (atau model
penegasan) adalah bahwa disabilitas dipandang sebagai suatu
identitas diri. Model ini berbeda dengan model sosial yang
memandang disabilitas terjadi karena lingkungan sosialnya tidak
menciptakan suatu lingkungan yang dapat diakses. Pandangan
1
https://www.disabled-world.com/definitions/disability-models.php, diakses pada tanggal 27
Juli 2021.
masyarakat juga lebih fokus dengan pandang negatif terhadap
penyandang disabilitas. Dalam model identis, disabilitas
dipandang sebagai suatu identitas yang melekat dengan
pandangan yang positif. Dalam model identitas, ada pengakuan
bahwa disabilitas bukan ciri biologis atau alami, tetapi kategori
sosial yang berubah-ubah baik yang tunduk pada kontrol sosial
maupun yang mampu memengaruhi perubahan sosial (Siebers,
2008). Disabilitas dalam model identitas memandang disabilitas
sebagai tanda sosial, yang dapat saja ada atau menghilang
sepanjang adanya perbaikan atau perubahan pada kondisi
disabilitas tersebut. Tanda sosial itu ditempatkan sebagai suatu
cara untuk mengenal seseorang.

Brewer dkk. (dalam Retief & Letšosa, 2018) menawarkan


definisi iluminasi berikut yang menjelaskan bagaimana model
identitas berangkat dari model pendekatan sosial. Di bawah
model identitas, disabilitas merupakan penanda keanggotaan
dalam identitas minoritas, seperti jenis kelamin atau ras.

“Di bawah model identitas, disabilitas terutama


ditentukan oleh tipe tertentu dari pengalaman di dunia
- pengalaman sosial dan pengaruh politik dari sistem
sosial yang tidak dirancang untuk penyandang disabilitas
dalam pikiran . . . sementara model identitas banyak
bergantung pada sosial model, kurang tertarik pada cara
lingkungan, kebijakan, dan institusi yang melumpuhkan
orang, dan lebih tertarik untuk menemukan definisi
positif disabilitas sebagai suatu identitas berdasarkan
pengalaman dan keadaan yang telah menciptakan suatu
ciri kecil yang dapat dikenali kelompok yang disebut
‘penyandang disabilitas’. (hal. 5)
3.1.6 Model Moral Disabilitas
Model moral disabilitas mengacu pada pandangan bahwa
orang secara moral bertanggung jawab atas disabilitasnya
sendiri. Misalnya, disabilitas dapat dilihat sebagai akibat dari
perbuatan buruk orang tua jika bersifat bawaan, atau sebagai
akibat dari praktik ilmu hitam jika bukan. Cara pandang seperti
ini tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat. Misalnya
di Manggarai, sangat kuat pandangan bahwa disabilitas itu
dipandang sebagai korban dari kesalahan orang tua yang
memiliki ilmu santet atau ilmu hitam. Anak yang mengalami
disabilitas terjadi karena dosa dari orang tuanya. Begitu pula
yang terjadi dalam pandangan yang masih percaya pada
animism. Dalam kepercayaan animism, hewan-hewan tertentu
memiliki kekuatan supranatural. Jika ada yang melukai hewan-
hewan tersebut, maka orang itu dapat mengalami kecelakaan
yang menyebabkan terjadinya disabilitas.

3.1.7 Model Agama


Model disabilitas agama adalah model disabilitas tertua
dan ditemukan di sejumlah tradisi keagamaan, termasuk
tradisi Yahudi-Kristen (Pardeck & Murphy 2012) dalam Retief &
Letšosa (2018). Model religious melihat penyandang disabilitas
merupakan paradigma pramodern yang memandang disabilitas
sebagai tindakan Tuhan berupa hukuman atas dosa yang
dilakukan oleh penyandang disabilitas atau keluarganya. Dalam
hal ini, disabilitas bersifat hukuman dan tragis.

Model ini membingkai disabilitas sebagai sesuatu yang


memalukan dan menstigmatiasi bahwa penyandang disabilitas
atau keluarganya bersalah atas beberapa tindakan yang tidak
diketahui yang menyebabkan disabilitas terjadi. Tetapi
mentalitas itu hanya berfungsi untuk menstigmatisasi disabilitas,
dan klaim bahwa berdoa dapat menyembuhkan disabilitas
didasarkan pada bukti anekdot murni.

3.1.8 Model Hak Asasi Manusia


Selain model-model tersebut di atas, saat ini seiring
dengan berkembang pesatnya pemahaman tentang hak asasi
manusia (HAM), sehingga ikut memengaruhi upaya perbaikan
kehidupan penyandang disabilitas. Dalam wacana HAM,
penyandang disabilitas diposisikan sama dengan manusia pada
umumnya. Namun, dalam hal-hal tertentu, keberadaan
disabilitas pada diri penyandang disabilitas harus juga diberi
ruang untuk mendapatkan perlindungan yang asasi.
Perlindungan dimaksud adalah upaya untuk menjamin agar
keberadaan penyandang disabilitas dengan disabilitasnya tidak
terhambat dalam berpartisipasi di dalam kehidupan
bermasyarakat.

Dalam model hak asasi manusia, hak-hak penyandang


disabilitas karena disabilitasnya menjadi perhatian utama.
Pendekatan hak asasi manusia menegaskan, penyandang
disabilitas bukanlah orang lain, yang berada di luar anggota
masyarakat pada umumnya. Penyandang disabilitas adalah
termasuk bagian dari manusia itu sendiri yang sama-sama
melekat hak asasinya. Pendekatan hak asasi manusia ini
menegaskan tanpa kualifikasi bahwa penyandang disabilitas
bukanlah ‘orang lain’, mereka tidak diragukan lagi termasuk
dalam kategori dan makna dari apa itu menjadi manusia, dan
oleh karena itu dapat mengharapkan semua hak yang diperoleh
dari status itu (Clement
& Read, 2008, p. 6).
Sejak pertengahan 1980-an, negara-negara di dunia
memberlakukan undang-undang yang merangkul wacana
berbasis hak dan berupaya untuk mengatasi masalah keadilan
sosial dan diskriminasi. Undang-undang tersebut merangkul
pergeseran dari disabilitas yang dilihat sebagai masalah medis
individu menuju ke arah pemenuhan hak-hak keanggotaan
komunitas dan akses yang adil pada semua aspek kegiatan sosial
seperti pekerjaan, pendidikan dan rekreasi termasuk politik dan
Kesehatan.

Penekanan pada tahun 1980-an bergeser dari


ketergantungan ke kemerdekaan karena para penyandang
disabilitas berusaha untuk memiliki suara politik. Aktivisme
penyandang disabilitas juga membantu dalam mengesahkan
undang-undang dan hak-hak yang tersedia bagi banyak orang.
Namun, meskipun model disabilitas berbasis hak telah
membantu mengembangkan hak tambahan, model tersebut
tidak mengubah cara dimana gagasan tentang disabilitas
dibangun. Stigma ‘gen buruk’ atau ‘kelainan’ masih tidak
tertandingi dan gagasan komunitas masih sulit dipahami
(https://sites.google.com/site/
changesintheviewsofdisability/models-of-disability).

3.2 Mengenal konsep Rehabilitas


Bersumberdaya Masyarakat (RBM)
Dalam memahami kerangka kerja RBM, kita harus
memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
rehabilitasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online,
rehabilitas adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama
baik) yang dahulu (semula, perbaikan anggota tubuh yang disabilitas
dan sebagainya atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban
bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat
dalam masyarakat2.

Secara umum rehabilitasi adalah memulihkan kembali


sebuah keadaan ke keadaan semula. Misalnya orang yang
mengalami penyakit kronis yang menyebabkan orang tersebut
tidak dapat bekerja, dengan rehabilitasi diharapkan dapat
bekerja kembali. Saat orang tersebut menderita penyakit kronis,
orang tersebut hanya bisa berbaring di atas ranjang bertahun-
tahun yang menyebabkan terjadinya kontraktur pada otot-otot
tubuhnya. Upaya yang dilakukan adalah upaya medis untuk
menyembuhkan sekaligus rehabilitas pemulihan fisik. Pada saat
ia sembuh, ia harus mendapatkan pelayanan rehabilitasi. Artinya
orang itu harus direhabilitasi agar bisa kembali seperti semula,
bisa bekerja kembali.

Rehabilitasi dalam kaitannya dengan RBM memilki


pengertian yang sangat luas. Rehabilitasi tidak hanya diartikan
untuk memperbaiki kondisi fisik, tetapi juga mencakup
mengembalikan penyandang disabilitas agar diterima, diakui dan
diberi peran dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya rehabilitasi
dalam aspek penyandang disabilitas mencakup perbaikan fisik
dan perbaikan lingkungan: fisik, sosial kemasyarakatan agar
penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara bebas dan
sederajat dengan warga masyarakat yang lain. Rehabilitasi itu
mencakup seluruh aspek kehidupan. Rehabilitasi tidak hanya
diidentikkan dengan rehabilitasi medis namun mencakup
rehabilitas dalam aspek sosial khususnya penerimaan dan
partisipasi dalam masyarakat.
2
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Rehabilitasi, diakses pada tanggal 04 Maret 2021.
Dalam konteks disabilitas, rehabilitasi tidak dapat dimaknai
secara utuh seperti pengertian rehabilitasi pada umumnya yakni
sebagai suatu upaya untuk mengembalikan kondisi seseorang
(fisik) kembali pada posisi semula. Misalnya, seorang
penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas sejak lahir
direhabilitasi kepada kondisi semula. Pertanyaannya, kembali ke
posisi semula seperti apa yang dimaksudkan kepada
penyandang disabilitas tersebut sementara orang tersebut
sudah mengalami disabilitas sejak lahir dan tidak memiliki
kemungkinan yang sama dengan kondisi non disabilitas.

Rehabilitasi bagi penyandang disabilitas bermakna pada


upaya pemulihan fungsi secara optimal dan penerimaan oleh
masyarakat. Dalam isu penyandang disabilitas rehabilitasi itu
fokus pada dua hal pertama memperbaiki keadaan fisik untuk
dapat berfungsi secara optimal (bukan untuk mengembalikan
ke kondisi semula), mental, intelektual dan sensorik agar
berfungsi secara optimal. Kedua penyandang disabilitas dapat
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi
tidak mengharuskan fisik seseorang kembali kepada kondisi
tanpa disabilitas. Masih banyak orang yang berasumsi bahwa
rehabilitasi penyandang disabilitas itu tujuannya untuk
memperbaiki kondisi fisik seseorang untuk kembali normal.
Rehabilitasi itu hanya ditekankan pada mengembalikan fungsi
tubuhnya agar dapat berfungsi secara maksimal sehingga dapat
mengerjakan apa yang secara maksimal ia kerjakan serta dapat
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Orang yang mendapatkan rehabilitasi melalui fisioterapi


dapat menggerakkan tangan agar berfungsi supaya orang
tersebut dapat makan dan minum sendiri. Cukup tangan orang
tersebut bisa mengambil makan dan minum secara mandiri
merupakan suatu hasil yang besar dari fisioterapi. Fisioterapi
tidak bertujuan agar tangannya kembali normal, tetapi
tangannya kembali berfungsi secara optimal. Fungsi optimal
yang dimaksud adalah bagian fisik dari tubuh dapat melakukan
aktivitas sesuai dengan kemampuan maksimalnya.

Sedangkan pada aspek penerimaan di masyarakat,


rehabilitasi itu ditujukan membangun kesadaran masyarakat,
menghilangkan stigma-stigma dan kepercayaan-kepercayaan,
atau budaya yang membelenggu keberadaan masyarakat
dengan pandangan baru yang berorientasi pada keberterimaan
penyandang disabilitas. Tanpa ada perubahan pandangan
masyarakat, keberterimaan penyandang disabilitas sulit terjadi.

Dalam konteks keberterimaan itu, rehabilitas mencakup


berbagai aspek, tidak hanya fokus pada rehabilitasi fisik, namun
mencakup semua aspek seperti: ekonomi, pendidikan, sosial
dan politik. Aspek-aspek kehidupan tersebut adalah ruang
seluruh masyarakat baik yang non disabled maupun penyandang
disabilitas untuk berpartisipasi secara aktif. Yang terjadi saat
ini, anggota masyarakat non disabilitas memiliki kesempatan
yang sangat luas terlibat di dalamnya sedangkan penyandang
disabilitas sangat sulit mengakses ruang tersebut. Penyandang
disabilitas berada di luar aspek-aspek kehidupan itu. Kalaupun
penyandang disabilitas terlibat, hal itu dipandang sebagai
sesuatu hal yang luar biasa.

Masyarakat berdecak kagum melihat seorang penyandang


disabilitas tuna netra yang bekerja dengan menggunakan
komputer atau alat-alat teknologi. Masyarakat yang hidup
dalam stigma tidak pernah berpikir bahwa tuna netra dapat
melakukan itu. Keterlibatan penyandang disabilitas tuna netra
yang bekerja dengan menggunakan teknologi ataupun yang
bekerja dengan profesinya adalah sama dengan anggota
masyarakat pada umumnya. Begitu pula dengan menggunakan
teknologi, sebenarnya semua orang memiliki peluang yang
sama. Perbedaannya hanya pada akesabilitas. Masyarakat non
disabled tidak mengalami kendala dalam mengakses tekonologi
sementara penyandang disabilitas tidak dapat mengakses
karena tidak tersedia aksesabilitas.

Rehabilitasi tidak cukup dimaknai untuk memulihkan


kembali ke kondisi semula. Rehabilitas itu memiliki makna yang
luas mencakup upaya pemberdayaan. Dalam kamus KBBI online,
pemberdayaan itu berasal dari kata daya yang artinya
kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak.
Pemberdayaan diartikan proses, cara, perbuatan untuk
memberdayakan. Upaya memperbaiki fungsi tubuh,
memperbaiki pandangan dan penerimaan masyarakat
merupakan langkah-langkah agar penyandang disabilitas mampu
bertindak atau mampu melakukan kegiatan yang berguna baik
bagi dirinya maupun bagi masyarakat di sekitarnya. Kata rehab
dalam masyarakat masih juga dimaknai secara negatif, sering
dikaitkan dengan barang-barang yang sudah rusak. Misalnya
rumah yang sudah rusak harus direhab. Lahan kritis harus
direhabilitasi. Dalam konteks tersebut, seolah- olah disabilitas itu
seperti kondisi yang rusak.

Ketika kita membawa konsep ini ke dalam RBM, maka


rehabilitasi itu dimaknai sebagai upaya atau proses
pemberdayaan penyandang disabilitas yang melibatkan
masyarakat agar penyandang disabilitas itu dapat mengerjakan
apa yang dapat ia kerjakan dan masyarakat menerima
kehadiran penyandang
disabilitas sebagai warga masyarakat yang memiliki hak yang
sama sebagai warga masyarakat.

RBM bukanlah organisasi atau program khusus 3 melainkan


pola pikir bagaimana bekerja bersama untuk memecahkan
persoalan disabilitas yang ada di dalam masyarakat. Konsep
ini fokus pada strategi kerja yang melibatkan partisipasi dari
seluruh pihak yang ada di dalam masyarakat. Dalam RBM, tim
bekerja mempromosikan kerja sama, bertindak bersama antara
pemimpin masyarakat, penyandang disabilitas, keluarganya,
anggota masyarakat lain untuk menyediakan kesempatan yang
sama kepada semua penyandang cacat di dalam masyarakat.
RBM ada kalau ada partisipasi masyarakat yang dilakukan secara
sukarela. Partisipasi ini akan muncul ketika orang mulai sadar
tentang keadaan kehidupan penyandang disabilitas dan masalah
yang dihadapi.

Konsep RBM awalnya merupakan sebuah program yang


dicetuskan oleh World Health Organization (WHO) pada Deklarasi
Alma-Ata (Kazakhstan) pada tahun 1978 dalam upaya untuk
mengubah kualitas kehidupan penyandang disabilitas dan
keluarga dalam hal kebutuhan dan menjamin inklusivitas dan
partisipasi penyandang disabilitas di dalam masyarakat.

RBM adalah sebuah cara kerja yang merangsang orang-


orang di sekitar program rehabilitasi untuk turut serta
mengambil peran atau melakukan suatu tugas sesuai dengan
kemampuan, kedudukannya masing-masing. Program RBM
dilakukan oleh: penyandang disabilitas, keluarganya,
tetangga, tukang kayu di desa, organisasi pemerintahan
terkait lainya, organisasi non
3
Mengenal Tentang RBM, Bahan-Bahan Pelatihan Untuk Pekerja-Pekerja Rehabilitasi Ber-
sumberdaya masyarakat, PPRBM Solo-Indonesia, p. 4.
pemerintah, organisasi pendidikan, organisasi kerja, organisasi
atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya yang ada di
masyarakat. Selama ini upaya rehabilitasi masih menggunakan
pendekatan institution centre atau government centre. Kedua
pendekatan ini tidak cukup untuk mengatasi hambatan-
hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas.
Pendekatan RBM hadir sebagai alternatif untuk memperkuat
pendekatan yang sudah ada agar lebih berdaya guna.

Manfaat RBM itu tidak hanya untuk penyandang disabilitas


tetapi untuk seluruh masyarakat. Tujuan utama RBM adalah
menjamin penyandang disabilitas mampu mengoptimalkan
kemampuan fisik, mental dan psikis mereka untuk mengakses
atau menjangkau pelayanan-pelayanan umum. Selain itu,
membuka kesempatan penyandang disabilitas dan menjadi
terlibat aktif di masyarakat yang luas. Mengaktifkan masyarakat
untuk mempromosi dan melindungi hak-hak asasi penyandang
disabilitas melalui perubahan di dalam masyarakat itu sendiri
seperti menghilangkan hambatan dan stigma. Mendorong
penyandang disabilitas mampu berpartisipasi secara bebas di
dalam masyarakat.

RBM itu dilaksanakan dengan prinsip holisitik; melibatkan


berbagai macam disiplin, berbagai macam pendekatan sektor.
Contohnya melibatkan pendekatan tim dari semua orang yang
relevan. Melihat konteks seorang penyandang disabilitas di
dalam keluarga/ masyarakat tidak hanya dari aspek medis tetapi
juga aspek sosial, juga membutuhkan keterlibatan membantu
diri sendiri/saling mendukung satu sama lain secara terbuka dan
sukarela.

Keterlibatan masyarakat dalam program RBM dimaknai


sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat itu sendiri terhadap
sesama warga masyarakatnya yang disabilitas. Penyandang
disabilitas adalah anggota masyarakat juga. Masalah disabilitas
tidak dapat dipandang sebagai masalah individu atau masalah
pribadi karena hampir seluruh hambatan dan tantangan yang
dihadapi oleh penyandang disabilitas datangnya dari
masyarakat. Stigma, anggap remeh, tidak memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas, sikap mengabaikan, tidak menyediakan
akses kepada penyandang disabilitas adalah sikap-sikap yang
dilakukan oleh masyarakat. Ini juga dipandang sebagai sikap
diskriminasi sosial dari masyarakat yang menempatkan
penyandang disabilitas sebagai korban dari sikap-sikap tersebut.
Hal ini sudah terjadi sejak jaman dulu kala.

Oleh karena itu, seiring dengan perubahan zaman dan


berlandaskan pada hak asasi manusia, khususnya hak asasi
penyandang disabilitas, maka masyarakat sebagai bagian dari
hambatan berpartisipasi untuk mengubah kehidupan
penyandang disabilitas. Dalam program RBM, sudah seharusnya
masyarakat mengambil tanggung jawab dengan memberi
kontribusi terhadap upaya perubahan kehidupan bagi
penyandang disabilitas. Ini merupakan tanggung jawab sosial
bersama.

RBM merupakan salah satu cara kerja yang digunakan


untuk memperbaiki kehidupan penyandang disabilitas dengan
melibatkan semua pihak. Menerapkan pendekatan RBM
memberi manfaat yang besar dalam memberi pelayanan kepada
penyandang disabilitas yang tinggal di daerah-daerah yang sulit
terjangkau dan tidak memiliki cukup biaya untuk membawa
anggota keluarga penyandang disabilitas ke tempat-tempat
rehabilitasi dan tempat-tempat pelayanan sosial lainnya.
Institusi penginisiatif RBM, seperti lembaga-lembaga sosial
di desa, bukanlah pemilik program RBM. Institusi tersebut hanya
sebagai penggerak untuk menumbuhkembangkan semangat
kepedulian masyarakat mengambil bagian dalam melakukan
usaha-usaha perubahan kehidupan penyandang disabilitas.
Dalam pendekatan RBM, SANKITA hanyalah salah satu lembaga
yang mempunyai keprihatinan pada pemberdayaan disabilitas
dan memiliki pengetahuan dalam memberikan pelayanan
kepada penyandang disabilitas seperti pelayanan fisioterapi,
pembuatan alat bantu, menyediakan informasi, advokasi
kebijakan dan melakukan pelatihan-pelatihan untuk
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan penyandang
disabilitas.

Dalam pelaksanaan program, SANKITA menggunakan


dua jalur (twin track approach) yang bekerja pada dua isu
utama yakni: disability specific (empowerment) dan societal
(mainstreaming disability). Pada jalur khusus tentang disabilitas,
SANKITA mendorong tersedianya pelayanan yang berorientasi
pada perubahan kondisi secara individual melalui dukungan
untuk menjangkau tempat-tempat pelayanan, perawatan
kesehatan, pendidikan, mata pencaharian dan aktivitas-aktivitas
sosial lainnya termasuk melalui upaya pemberdayaan politik.
Sedangkan pada jalur kedua, mainstreaming disability, SANKITA
fokus pada masyarakat yakni melakukan upaya-upaya untuk
mengurangi hambatan-hambatan lingkungan, aksesabilitas,
komunikasi dan sikap-sikap stigma dari masyarakat. Untuk itu
SANKITA mendorong orang untuk memahami penyandang
disabilitas dan hak-hak penyandang disabilitas sehingga
terwujud sebuah lingkungan yang inklusif dimana penyandang
disabilitas dapat berpartisipasi sebagaimana warga masyarakat
lainnya di dalam lingkungan yang sama.
Untuk itu, langkah penting yang dilakukan dalam
memperkenalkan RBM adalah stakeholder engagement.
Stakeholder engagement adalah proses intensif dan
berkelanjutan melalui mekanisme komunikasi, dialog, kemitraan
dan kolaborasi antara institusi masyarakat, individu dengan
pemangku kepentingan. Stakeholder adalah semua unsur yang
memberikan pengaruh dan dampak pada penyandang
disabilitas, di dalamnya terkandung unsur masyarakat,
penyandang disabilitas dan keluarganya, pemerintah, LSM dan
kelompok-kelompok keagamaan.

Untuk mengelola peran stakeholder terutama terhadap


perubahan kehidupan penyandang disabilitas, para stakeholder
harus membangun komunikasi dan berdialog secara terbuka
dan bersama-sama dengan melibatkan penyandang disabilitas.
Proses identifikasi stakeholder menjadi sangat penting untuk
memetakan peran dan kewenangannya masing-masing.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah dengan dengan
mengintegrasikan kepentingan penyandang disabilitas menjadi
kepentingan bersama stakeholder. Kepentingan dan kebutuhan
penyandang disabilitas adalah kepentingan bersama.

Adapun prinsip-prinsip utama bekerja dengan RBM


berdasarkan United Nations Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (UNCRPD) adalah sebagai berikut:

* Penghormatan terhadap harkat dan martabat pada diri


seseorang, termasuk kebebasan untuk mengambil
keputusan sendiri dan membangun kemandirian.
* Tidak diskriminasi oleh suku, agama, ras ataupun golongan.
* Partisipasi secara penuh dan efektif dalam masyarakat yang
inklusif.
* Penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan
penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman
manusia dan kemanusiaan.
* Adanya kesempatan yang sama.
* Aksesabilitas.
* Adanya kedudukan yang sederajat antara laki-laki dan
perempuan.
* Menghormati kapasitas yang berkembang dari anak-anak
penyandang disabilitas dan menghormati hak anak-anak
penyandang disabilitas untuk mempertahankan identitas
mereka.

3.2.1 Petunjuk bekerja dengan matrix RBM


Gambar 3.1 Petunjuk bekerja dengan matriks RBM.
WHO sudah membuat matrix program RBM yang
mencakup berbagai aspek kehidupan. Dalam matriks tersebut,
ada lima aspek yang menjadi target kerja RBM yakni: aspek
kesehatan, pendidikan, perekonomian, sosial dan
pemberdayaan.

Dalam menjalankan program RBM, dapat saja kita hanya


memilih satu aspek dengan tetap bekerja secara bersama-
sama dengan pihak lain. Dapat juga bekerja pada semua aspek.
Semuanya tergantung pada kemampuan para pihak dan
ketersediaan sumberdaya yang dimiliki.

3.2.2 Kelebihan RBM


Keunggulan bekerja dengan pendekatan RBM adalah
sebagai berikut;

1. Biaya murah
RBM bekerja dengan konsep memanfaatkan sumber daya
yang ada di sekitar masyarakat. Misalnya dalam mengadakan
alat bantu tongkat, penyandang disabilitas tidak harus membeli
tongkat yang ada di toko, tetapi mereka dapat menggunakan
kayu-kayu di sekitar untuk membuat tongkat. Tukang kayu
berperan untuk membantu membuat tongkat yang sesuai
dengan keadaan penyandang disabilitas. Dalam pendekatan
RBM ini, cara kerja pertamanya adalah mengurangi kerja yang
berbiaya tinggi. Diupayakan untuk menggali potensi-potensi
yang ada di sekitar masyarakat itu sendiri. Jika memang apa yang
dibutuhkan itu tidak ada di lingkungan masyarakat dan benar-
benar dibutuhkan karena dianggap mampu mendorong
perubahan yang signifikan maka dapat didatangkan dari luar.
2. Melibatkan semua pihak
RBM bukanlah sebuah organisasi, tetapi mekanisme
kerjanya melibatkan semua pihak yang ada di masyarakat. Kerja
dengan RBM adalah bekerja bersama-sama sesuai dengan tugas
masing-masing. Fasilitas-fasilitas pendidikan akan memberi
perhatian kepada kebutuhan pendidikan penyandang disabilitas.
Begitu pula fasilitas kesehatan memberi perhatian kepada
kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas. RBM tidak boleh
bekerja sendiri-sendiri. RBM itu bekerja dengan melibatkan
semua pihak.

3. Tidak menunggu komando tetapi berada dalam koordinasi


Pelaksanaan RBM bergantung pada masing-masing pihak.
RBM tidak mengenal sistem komando, tetapi membutuhkan
koordinasi lintas pihak khusus dalam mengkomunikasikan
program-program yang dilakukan agar diketahui oleh pihak lain.

4. Penyandang disabilitas tetap tinggal bersama dengan


keluarganya
Penyandang disabilitas tidak harus tinggal di panti yang
jauh dari orang tua atau keluarga. Penyandang disabilitas tetap
tinggal bersama dengan keluarganya. Peran dari keluarga dan
masyarakat adalah memberi perhatian dan pelayanan-pelayanan
dasar bagi kehidupan penyandang disabilitas.

3.2.3 Kekurangan RBM


Kekurangan RBM adalah sebagai berikut:

1. Sulit melakukan pengawasan


Karena masing-masing pihak bekerja dengan tugasnya
masing-masing, hal ini menyebabkan sulit untuk memastikan
perkembangan dari upaya-upaya memperbaiki situasi kehidupan
penyandang disabilitas.

2. Proses perencanaan ada pada masing-masing pihak


Masing-masing pihak yang terlibat di dalam RBM
merencanakan programnya masing-masing. Tidak ada program
bersama-sama yang dilakukan bersama-sama pula. Hal ini
menyebabkan pihak-pihak memiliki programnya sendiri-sendiri.
Bab 4
Membangun Kesadaran
Masyarakat Desa Melalui RBM

4.1 Pengantar
Dalam melaksanakan pendekatan RBM, salah satu hal
yang sangat mendasar adalah membangun kesadaran pada
pihak masyarakat, keluarga, penyandang disabilitas sendiri
maupun pada pihak pemerintah. Anggota masyarakat harus
menyadari, memahami, dan mengetahui siapa yang dimaksud
dengan penyandang disabilitas, apa itu disabilitas dan apa
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mengubah
kondisi disabilitas. Tanpa adanya kesadaran dari masyarakat,
maka mereka tidak dapat terlibat mengambil peran dalam
program kerja RBM secara sukarela. Dengan adanya kesadaran
dari masyarakat, diharapkan mereka dapat melakukan suatu
peran yang berkontribusi dalam memperbaiki atau membawa
kemajuan bagi kehidupan penyandang disabilitas yang ada di
sekitarnya secara sukarela.

Masyarakat merupakan tempat hadirnya stigma.


Membangun kesadaran masyarakat berarti mengubah stigma
yang ada pada masyarakat dengan pandangan yang terbuka
bahwa stigma yang ada di tengah masyarakat tidak dapat
menolong memperbaiki kehidupan penyandang disabilitas.
Tugas untuk membangun kesadaran masyarakat ini merupakan
tugas bersama bahkan tugas ini merupakan tugas masyarakat
seluruh dunia. Membangun kesadaran merupakan suatu aspek
yang harus dilakukan oleh negara-negara yang menerima dan
meratifikasi United Nations Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (UNCRPD).

Pasal 8 ayat (1) United Nations Convention on the Rights


of Persons with Disabilities (UNCRPD) tentang Peningkatan
Kesadaran mengatakan negara-negara berjanji untuk
mengadopsi kebijakan-kebijakan yang segera, efektif, dan sesuai
sebagai berikut:

a) Untuk meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat,


termasuk pada tingkat keluarga, mengenai penyandang
disabilitas, dan untuk memelihara penghormatan atas
hakhak dan martabat para penyandang disabilitas;
b) Untuk melawan stereotip, prasangka, dan praktik-praktik
yang merugikan menyangkut penyandang disabilitas,
termasuk yang didasarkan jenis kelamin dan usia, dalam
seluruh bagian kehidupan;
c) Untuk memajukan kesadaran atas kemampuan dan
kontribusi dari para penyandang disabilitas.

Untuk mencapai kebijakan-kebijakan tersebut, Pasal 8 ayat


(2) menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan untuk mencapai
tujuan tersebut meliputi : (a) Mengawali dan mempertahankan
secara efektif kampanye kesadaran masyarakat yang dirancang
untuk: (i) Menumbuhkan penerimaan atas hak-hak penyandang
disabilitas; (ii) Meningkatkan persepsi positif dan kesadaran
sosial yang lebih besar terhadap para penyandang disabilitas;
(iii) Memajukan pengakuan terhadap keahlian, kualitas dan
kemampuan penyandang disabilitas, serta kontribusi mereka
pada tempat kerja dan pasar tenaga kerja; (b) Memelihara
di semua tingkatan sistem pendidikan, termasuk pada semua
anak sejak usia dini, suatu sikap hormat terhadap hak-hak
penyandang disabilitas; (c) Mendorong semua komponen media
untuk menggambarkan penyandang disabilitas dalam cara yang
konsisten sesuai dengan tujuan Konvensi ini; (d) Memajukan
program pelatihan peningkatan kesadaran mengenai
penyandang disabilitas dan hak-hak penyandang disabilitas.

4.2 Mekanisme pelaksanaan memulai kerja


dengan pendekatan RBM
RBM adalah konsep baru yang belum dikenal luas di
Manggarai pada umumnya, baik di tingkat masyarakat maupun
di tingkat pemerintahan daerahnya. Untuk memperkenalkan
konsep kerja RBM ini, SANKITA bekerja pada dua aspek sasaran
yakni pada tingkat masyarakat dan pada pemangku kebijakan.
Program RBM berhasil kalau program tersebut dilakukan secara
bersama-sama dan merupakan hasil kerja bersama. Untuk
mencapai hal tersebut, SANKITA mendorong, agar program
RBM dilakukan dalam gerak bersama di masyarakat dan di
tingkat pemerintah sebagai pemangku kebijakan.

Dalam mengimplementasikan pendekatan RBM di desa,


SANKITA bekerja melalui pemerintahan desa. Dalam pola seperti
ini, pemerintah desa ditempatkan sebagai penggerak utama
untuk memulai program RBM. Pada awal implementasinya,
semua pemerintah desa di desa sasaran SANKITA belum pernah
mendengar dan mengetahui program RBM. Pemerintah desa
sasaran juga belum menyadari tentang isu disabilitas.
Pemerintah
desa masih mengikuti pemahaman masyarakat umumnya yang
memandang penyandang disabilitas adalah orang yang tidak
mampu, yang memiliki kekurangan dan yang perlu dikasihani.
Dengan pandangan seperti itu, pemerintah desa sasaran pada
awal masuk mengusulkan agar penyandang disabilitas di
desanya dibawa ke panti sosial atau panti-panti rehabilitasi.

4.3 Membangun kerja sama dengan


pemerintahan desa
4.3.1 Memulai Program RBM di Masyarakat (desa)
Sasaran SANKITA adalah penyandang disabilitas di desa-
desa yang jauh, terpencil, yang kesulitan mendapatkan layanan
fasilitas umum seperti kesehatan, pendidikan dan pembangunan
infrastruktur. Untuk memulai program ini, hal yang paling
penting adalah menentukan langkah-langkah yang harus
dilakukan. Menurut pengalaman SANKITA, untuk memulai
bekerja di desa dengan konsep RBM, tahapan-tahapan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:

Menyusun
Melakukan kerangka
Melakukan stakeholder kerja
pendekatan engagement bersama
dengan
Menentu stakeholder
kan desa kunci di
sasaran
Pengumpulan masyarakat
data
Penyandang
disabilitas
Gambar 4.1. Tahapan Pelaksanaan RBM di Desa
4.3.2 Melakukan pengumpulan data penyandang
disabilitas
Pengumpulan data penyandang disabilitas adalah
pekerjaan awal yang harus dilakukan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan inormasi terkait banyaknya penyandang
disabilitas, apa yang mereka lakukan, kemana mereka pergi dan
apa yang mereka butuhkan. Aspek-aspek data yang dikumpulkan
bukan hanya terkait berapa banyak jumlah penyandang
disabilitas, tetapi juga mencakup aspek kehidupan sosial
kemasyarakatan penyandang disabilitas itu sendiri. Oleh karena
itu, pengumpulan data ini menggunakan format khusus yang
mampu menampung segala informasi terkait penyandang
disabilitas.

Pengumpulan data dilakukan di beberapa area yang


akan dikembangkan program RBM. Data awal diperoleh dari
pemerintah kabupaten. Namun data ini tidak cukup karena
akurasi pendataan masih merupakan masalah besar. Sampai
saat ini, data penyandang disbilitas masih sulit ditemukan di
tingkat pemerintah kabupaten. Data-data yang ada di dinas
terkait masih jauh dari yang ada di lapangan. Karena itu,
SANKITA melakukan kunjungan langsung ke beberapa desa di
suatu wilayah. Pengambilan data bekerja sama dengan
pemerintah desa setempat dan pendataan dilakukan dari rumah
ke rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selain identitas
diri adalah sebagai berikut:

* Apakah menggunakan alat bantu?


* Apakah rumahnya bisa diakses atau tidak?
* Apa saja aktivitas kesehariannya?
* Apa saja kegiatan yang tidak dapat dilakukan? Apa
dampaknya terhadap kehidupan penyandang diabilitas
sendiri?
* Bagaimana perkembangan perubahan disabilitas seiring
bertambahnya usia?
* Apa perbedaan batasan aktivitas untuk laki-laki dan
perempuan?
* Bagaimana perbedaan kebutuhan akan bantuan berdasarkan
disabilitasnya?
* Bagaimana batasan aktivitas berbeda dengan pendapatan
keluarga?
* Bagaimana batasan fungsional berbeda menurut pendapatan?
* Bagaimana Pendidikan penyandang disabilitas?

Tantangan utama yang dihadapi selama pendataan


antara lain: pertama keluarga penyandang disabilitas tidak mau
anggota keluarganya yang disabilitas didata sebagai disabilitas.
Ketika masuk ke rumah, setelah tim memperkenalkan tujuan
kedatangannya, pada saat itu juga, tim sering dihadapkan
pada sikap penolakan. Ada keluarga yang tidak mau anggota
keluarganya didata dalam kategori disabilitas. Tim tidak dapat
memaksa sebuah keluarga untuk didata anggota keluarganya.
Maka sangat penting sebelum memberikan kategori seseorang
itu terdata sebagai disabilitas perlu disampaikan secara terbuka
kepada keluarga tentang maksud dan tujuan pendataan
tersebut.

Kedua, masih banyak masyarakat yang berpandangan


bahwa pendataan yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
bantuan. Pandangan seperi ini terjadi pada hampir semua
masyarakat. Kalau ada pendataan, orang berpikir bahwa cepat
atau lambat akan turun bantuan. Biasanya orang-orang yang
berpikir seperti ini sangat antusias membawa keluarga yang
anggotanya penyandang disabilitas untuk didata agar
mendapatkan bantuan.
Ketika bantuan tidak kunjung datang, keluarga biasanya kecewa
dan tidak didata lagi karena pengalaman-pengalaman pendataan
sebelumnya yang dilakukan oleh pihak lain namun tidak
mendapatkan bantuan yang diharapkan.

4.3.3 Menentukan desa sasaran


Setelah melakukan pendataan, SANKITA memilih desa
sasaran yang akan menjadi target pengembangan proyek RBM.
Kriteria untuk memilih desa sasaran SANKITA ditentukan oleh
beberapa factor antara lain: jumlah penyandang disabilitas, letak
desa strategis yang dapat menyebarkan isu disabilitas ke desa-
desa sekitar, dan keterjangkauan. Selain itu ketersediaan fasilitas
layanan umum juga menjadi salah satu pertimbangan. SANKITA
harus memastikan bahwa desa yang menjadi sasaran kerja
terdapat penyandang disabilitasnya memiliki akses yang mudah
ke fasilitas layanan umum karena sumber daya SANKITA sangat
terbatas.

Sebuah desa yang semakin sulit dijangkau, membutuhkan


biaya yang cukup besar dan waktu yang lama. Sementara itu
kapasitas sumber daya yang dimiliki SANKITA cukup terbatas:
staf lapangan terbatas juga dana untuk pembiayaan program
juga sangat terbatas. Staf lapangan SANKITA ada yang disabled.
Staf yang disabled mengalami kesulitan jika bekerja pada desa-
desa yang sulit diakses, misalnya harus berjalan kaki, turun naik
bukit, dsb. Begitu pula dari aspek ketersediaan fasilitas public,
desa yang memiliki fasilitas layanan umum seperti: pendidikan
dan kesehatan, akan memberi dampak yang lebih besar dalam
menjalankan program RBM.
Misalnya, di Kecamatan Mbeliling, SANKITA memilih tiga
desa yakni: Watu Galang, Golo Desat dan Cunca Lolos. Desa Golo
Desat dan Cunca Lolos merupakan desa yang berada di jalan
trans Flores sehingga mudah diakses. Sedangkan Desa Watu
Galang letaknya kira-kira 2 (dua) kilometer dari jalan utama
Trans-Flores. Ketiga desa ini memiliki penyandang disabilitas,
dapat dijangkau dan memiliki fasilitas pendidikan dan Kesehatan
seperti Poliklinik Desa (Polindes) di Desa Cunca Lolos dan
Puskesmas Pembantu di Desa Golo Desat. Dengan kondisi desa
seperti ini, SANKITA memutuskan untuk menjadi desa sasaran.

4.3.4 Melakukan pendekatan


Setelah menentukan desa sasaran, langka selanjutnya
adalah melakukan pendekatan dengan desa. Hal ini sangat
bergantung pada cara yang digunakan ke desa. SANKITA
memulai program RBM ini melalui pemerintahan desa karena
beberapa alasan sebagai berikut:

* Pemerintah desa memiliki kewenangan yang sangat besar


dalam menentukan arah pembangunan di tingkat desa
melalui program-prohgram pembangunan desanya. Kondisi
desa saat ini berbeda dengan desa sebelumnya. Desa saat ini
memiliki cakupan kewenangan yang sangat luas untuk
menentukan arah pembangunan di tingkat desa serta
didukung oleh ketersediaan dana desa yang jumlahnya
sangat besar.
* Desa memiliki anggaran pendapatan belanja desa untuk
membiayai pembangunan (APBDes). Dengan adanya
anggaran pendapatan pembangunan desa yang disebut
dengan alokasi dana desa membuat pemerintahan desa
memiliki peran sangat strategis untuk mengembangkan
kemajuan di tingkat desa.
* Pemerintahan desa memiliki struktur pemerintahan
desa sampai pada tingkat masyarakat. Jaringan struktur
pemerintahan sangat penting dalam menunjang
keberlanjutan dan keberhasilan RBM. RBM tidak dapat
bekerja tanpa kewenangan. Dengan adanya jaringan
struktural, RBM akan semakin kuat mendorong institusi-
institusi pemerintahan terlibat dalam program RBM.

RBM tidak hanya bisa masuk melalui pemerintahan desa.


RBM bisa masuk melalui pintu mana saja, tergantung dari
pendekatan yang dilakukan. RBM bisa masuk melalui lembaga
agama seperti Gereja, bisa pula melalui Puskesmas, dan juga
lembaga pendidikan. RBM juga masuk melalui individu-individu
yang mempunyai pengaruh di masyarakat desa seperti tokoh
masyarakat desa, tokoh adat, dsb. Hal ini dilakukan karena pintu
masuk semacam itu akan menjadi jembatan untuk
menggerakkan para stakeholder di desa untuk mengambil peran
dalam memberi kemajuan bagi kehidupan penyandang
disabilitas. Langkah- langkah yang dilakukan pada saat
memperkenalkan RBM melalui desa adalah sebagai berikut.

a. Melakukan kunjungan awal ke pemerintahan desa.


Pihak pertama yang dikunjungi tim adalah aparat
pemerintah desa. Mereka memiliki otoritas dan kewenangan
di desa. Tanggapan aparat desa terhadap inisiatif dan program
SANKITA dari desa-desa berbeda-beda. Ada aparat pemerintah
desa yang sangat responsif, dan antusias dengan program ini.
Namun ada pula yang tidak menunjukkan ketertarikan dengan
rencana kerja yang ingin dilakukan oleh SANKITA. Pada
pertemuan perdana ini, SANKITA menjelaskan kepada
pemerintah desa tentang rangkaian rencana kegiatan, tujuan
yang hendak dicapai serta pola pelibatan masyarakat dan
pemerintahan desanya dalam mencapai tujuan yang hendak
dicapai. Penjelasan ini sangat penting agar pemerintah desa
mendapat informasi yang
cukup terkait kegiatan yang dilakukan SANKITA.

Gambar 4.2: pertemuan pertama memperkenalkan organisasi dan


program di Desa Wae Bangka-Kecamatan Lembor

Hal yang sangat penting pula pada saat melakukan


pertemuan perdana adalah surat tugas. Pada saat melakukan
kunjungan ke desa, setiap staf SANKITA membawa serta surat
tugas dari SANKITA yang ditandatangani oleh pimpinan
SANKITA. Di dalam surat tersebut, tertera jelas nama staf, desa
yang akan dikunjungis serta jenis pekerjaan yang akan dikerjakan
oleh staf di desa. Dokumen formal seperti surat tugas penting
karena pemerintah desa bekerja dalam sebuah sistem. Surat
tugas
juga merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban kepada
pemerintah desa agar pemerintah desa mengetahui benar siapa
dan darimana orang yang bekerja di desa itu.

Dari semua desa yang telah dikunjungi oleh SANKITA,


semuanya meminta kepada SANKITA untuk membawa surat
tugas di awal pertemuan. Menurut Kepala Desa Golo Desat,
surat tugas itu penting agar pemerintah desa mengetahui latar
belakang dari orang yang datang ke desa dan aktivitas yang akan
dilakukannya. Hal ini penting karena banyak orang dari luar desa,
masuk ke desa dan membohongi masyarakat desa sehingga
meresahkan masyarakat. Selain surat tugas, staf juga dilengkapi
dengan surat rekomendasi dari camat atau dinas terkait di
kabupaten agar kunjungan staf benar-benar merupakan
kunjungan resmi dan diketahui juga oleh aparat pemerintah di
tingkat kecamatan dan kabupaten.

Kotak 1:

‘’Meminta Surat Tugas’’


Pada tahun 2012, pada saat SANKITA pertama kali
memulai RBM di Desa Wae Bangka (80 km arah timur Labuan
Bajo), Tim SANKITA langsung bertemu dengan Kepala Desa
Wae Bangka di kantor Desa Wae Bangka. Tim SANKITA
menjelaskan kepada Kepala Desa Wae Bangka tentang tujuan
kedatangan Tim. Setelah mendengar penjelasan dari Tim
SANKITA, Kepala Desa Wae Bangka sangat senang dan dia
terbuka menerima SANKITA untuk bekerja di desanya. Namun
untuk dapat memastikan bahwa Tim dan Lembaga SANKITA
adalah Lembaga yang benar,
Kepala Desa Wae Bangka meminta kepada tim SANKITA agar
pada kunjungan berikutnya membawa serta dokumen
tentang keabsahan lembaga dan surat tugas.

Permintaan dari Kepala Desa Wae Bangka bukanlah


mengada-ada namun merupakan permintaan yang sangat
penting. Dengan membawa dokumen-dokumen seperti itu,
maka akan timbul kepercayaan kepada lembaga itu. Apa
yang dipelajari dari pengalaman ini adalah bahwa warga desa,
pemerintahan desa dan lembaga-lembaga lainnya sangat
penting untuk mendapatkan informasi yang jelas dan pasti
tentang lembaga yang akan berkarya di desa. Hal ini sangat
penting karena saat ini banyak kejahatan terutama penipuan
terjadi di desa-desa yang dilakukan oleh oknum-oknum dari
lembaga-lembaga ilegal yang tidak bertanggungjawab.

Sejak tahun 2012, kemana pun SANKITA bekerja, Staf


selalu dibekali dengan dokumen-dokumen kelembagaan,
seperti: fotokopi akta Yayasan, struktur organisasi dan surat
tugas untuk staf yang melakukan kunjungan ke desa. Semua
itu dilakukan di awal. Setelah semua berkas ini diterima oleh
aparat pemerintahan desa maka pemerintahan desa akan
memberi kesempatan kepada Lembaga untuk melakukan
sosialisasi programnya yang difasilitasi oleh pemerintahan
desa kepada warga desa.

Setelah kunjungan awal, langkah berikutnya adalah


melakukan sosialisasi tentang lembaga dan program
yang hendak dijalankan di desa. Langkah ini dilakukan
agar pemerintah desa dan warganya mengetahui tentang
kegiatan yang akan dilakukan di desa. Pada saat sosialisasi
tersebut, SANKITA memanfaatkan kegiatan sosialisasi untuk
membangun kesepakatan yang berkaitan dengan peran
dari pemerintahan desa untuk mendukung program RBM.
Misalnya, keterlibatan pemerintahan desa dalam melakukan
koordinasi dengan stakeholder yang ada di desa dan
menyediakan fasilitas pertemuan juga tempat penginapan
bagi tim SANKITA.

‘’Dimanakah Anda Menginap?’’


Bagaimana tim akan menetap di desa? Pertanyaan
yang sering dikemukakan adalah dimanakah tim menginap
dalam kunjungan ke desa? Pertanyaan ini agaknya
sederhana tetapi sangat penting untuk dibagikan tentang
kisah tim SANKITA bekerja di desa. Tempat dimana tim
menginap sangatlah penting selain memudahkan untuk
bekerja sekaligus membuat staf nyaman melakukan
kegiatan di desa. Dari pengalaman SANKITA selama ini,
dengan konsep kerja tinggal di masyarakat, SANKITA
biasanya menginap pertama-tama di rumah kepala desa
atau di rumah penduduk tertentu. Setelah melakukan
kunjungan ke rumah-rumah penyandang disabilitas dan
sudah mulai terbangun kedekatan dengan mereka, tim
SANKITA dapat menginap di rumah-rumah penyandang
disabilitas. Hal ini sangat penting karena dengan menginap
di rumah penyandang disabilitas, dapat terbina hubungan
antara keluarga penyandang disabiitas dengan tim. Tim juga
tidak boleh menginap hanya di satu tempat saja. Warga
desa sangat senang kalau tim yang juga menginap di rumah
mereka.
b. Mengenal lingkungan desa.
Setelah Tim melakukan sosialisasi dan diterima oleh
pemerintahan desa dan warganya, maka SANKITA sudah
memulai pekerjaan memperkenalkan RBM. Untuk memperkuat
pekerjaan RBM, Tim SANKITA melakukan observasi lingkungan
desa. SANKITA melakukan observasi terkait tempat-tempat
pelayanan umum seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan
tempat-tempat ibadah. Selain itu, tim SANKITA juga
mengobservasi tempat masyarakat mendapatkan air minum
bersih, bekerja keseharian dan mengobservasi mobilitas
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Dalam program RBM, mengenal lingkungan adalah hal


yang sangat penting. Karena tujuan utama dari RBM adalah
memampukan atau membuat berperannya masyarakat desa
agar penyandang disabilitas di desa dapat berinteraksi di
lingkungannya dan berpartisipasi dengan warga desa lainnya
dalam membangun desanya.

c. Membangun kesadaran melalui pementasan teater


Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh
penyandang disabilitas adalah kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang hak-hak penyandang disabilitas.
Di masyarakat masih kuat memandang penyandang disabilitas
adalah orang yang tidak dapat bekerja, lamban dan menjadi
beban bagi keluarga karena hak-hak mereka diabaikan. Banyak
penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan akses ke sarana
pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya.
Gambar 4.3: Adegan pementasan teater 1

Untuk mengatasi hal tersebut, SANKITA melakukan


sosialiasi membangun kesadaran masyarakat dengan dua cara
yakni sosialisasi langsung dan pementasan teater. Sosialisasi
langsung dilaksanakan di setiap desa. Pertemuan sosialisasi ini
dihadiri oleh anggota masyarakat baik yang disabled maupun
yang non-dizsabled. Dalam pertemuan tersebut, SANKITA
mendorong agar masyarakat memahami dengan benar bahwa
disabilitas itu tidak terjadi karena kutukan atau dosa ataupun aib
bagi keluarga. Disabilitas itu terjadi karena banyak faktor seperti
genetika dan kelainan kromosom dalam tubuh. Masyarakat juga
diajak untuk mengenal hak-hak penyandang disabilitas, yang
merupakan sesama warga negara, sehingga penyandang
disabilitas juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara
dan sebagai warga negara yang mempunyai kebutuhan khusus.
Selain melalui sosialisasi, SANKITA juga melakukan
kegiatan pementasan teater di setiap desa sasaran. SANKITA
mementaskan beberapa tema teater seperti; anak terkurung
dalam rumah dan pentingnya operasi. Pada setiap pementasan
teater, pada akhir pementasan seluruh penonton diajak untuk
berdiskusi tentang topik-topik teater yang sudah dipentaskan.
Dari pengalaman kerja selama ini, masyarakat lebih aktif
berdialog pada saat pementasan teater dibandingkan dengan
sosialisasi secara langsung. Dalam sosioalisasi, tidak semua
peserta dapat memahami apa yang disampaikan ataupun tidak
dapat menyampaikan sesuatu karena waktunya sangat terbatas.

Gambar 4.4: pementasan teater di Gereja Wae Bangka


Bab 5
Pentingnya Bekerja Sama
Dengan Stakeholder Di Desa

5.1 Pengantar
Istilah stakeholder sudah sering kita dengar saat ini. Istilah
stakeholder berasal dari Bahasa Inggris “stake”dan “holder”.
“Stake”artinya; tiang pancang, patok ataupun saham.
Sedangkan holder adalah pemegang. Stakeholder, dapat saja
diartikan sebagai pemegang saham atau pemegang patok.
Dalam Bahasa Inggris berbentuk dalam satu kaja yaitu
“stakeholder” yang memilik arti: pemegang saham atau pemilik
modal.

Dalam Bahasa Perancis, istilah stakeholder ini diartikan


sebagai pemangku kepentingan (“partie prenante”). Dapat
pula diartikan secara luas termasuk warga negara yang
mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat (Bonnafous-
Boucher & Rendtorff, 2016). Pemangku kepentingan berarti
dia yang memiliki kepentingan dan berpartisipasi untuk sesuatu
kepentingan. Stakeholder adalah individu atau sekelompok
individu yang dapat memengaruhi tujuan organisasi.

Secara umum Stakeholder adalah kelompok, organisasi


atau orang yang memiliki kepentingan yang dapat memengaruhi
tujuan, kebijakan dan tindakan organisasi. Dalam kerangka
kerja RBM, keterlibatan stakeholder merupakan hal dasar
dalam mensukseskan tujuan RBM. Tujuan RBM akan tercapai
jika stakeholdernya terlibat. RBM adalah sebuah strategi dalam
pengembangan masyarakat untuk rehabilitasi, penyeimbangan
kesempatan dan integrasi sosial dari semua penyandang
disabilitas. RBM dijalankan melalui usaha-usaha gabungan
dari: penyandang disabilitas itu sendiri, keluarga mereka, ahli
kesehatan yang tepat dan pelayanan pendidikan, keterampilan
kerja, & sosial (ILO, UNESCO, WHO (1994).

5.2 Identifikasi dan analisis stakeholder


SANKITA melakukan identifikasi stakeholder melalui
pemetaan pihak-pihak dengan melibatkan masyarakat yang ada
di desa. Siapakah yang menjadi stakeholder dalam melaksanakan
program RBM? Pertanyaan ini penting untuk membantu dalam
mengidentifikasi stakeholder yang akan berpartisipasi dalam
program RBM. Untuk melakukan identifikasi stakeholder ini,
SANKITA terlebih dahulu membagi stakeholder tersebut ke
dalam kelompok dan individu. Stakeholder kategori kelompok,
diklasifikasi sebagai berikut: lembaga-lembaga pemerintah
dan lembaga non pemerintah (lembaga kemasyarakatan) atau
lembaga swasta yang ada di desa. Sedangkan kategori kelompok
individu adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan
memiliki kehendak baik untuk berpartisipasi secara sukarela
bekerja dalam program RBM.

Untuk menentukan stakeholder kategori kelompok,


hal pertama yang harus diperhatikan adalah tugas pokok dari
lembaga-lembaga tersebut. Setiap lembaga yang ada di desa
memiliki visi-misi, program kerja yang sudah direncanakan
sesuai dengan peran lembaga tersebut. Dalam identifikasi
stakeholder ini, target utamanya bukan untuk menentukan
manakah stakeholder yang memiliki pengaruh yang kuat atau
lemah tetapi lebih fokus pada peluang yang dapat dilakukan oleh
masing-masing stakeholder dalam bekerja dengan konsep RBM.
Begitu pula pemetaan terhadap stakeholder individu yang akan
bergabung dalam kerja RBM. Untuk stakeholder individu, lebih
ditekankan pada perubahan pandangan serta kesediaan untuk
berpartisipasi secara sukarela. Dengan demikian, siapa saja boleh
bergabung untuk bekerja di bawah konsep RBM.

Selama SANKITA bekerja memperkenalkan program


RBM di desa, SANKITA telah membangun kerja sama dengan
berbagai pihak yang bekerja pada berbagai bidang, antara lain;
penyandang disabilitas dan keluarganya, anggota masyarakat,
tokoh masyarakat, tukang (kayu), staf Pendidikan, staf
Kesehatan, pemerintahan desa dan Lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang ada di desa.
Table 5.1. Identifikasi dan analysis stakeholder

Karakteristik
No. Stakeholder Peran dalam RBM Gap analysis
Stakeholders
1 Penyandang Individu yang Berpatisipasi Banyak yang
disabilitas mendapatkan untuk belum memiliki
banyak stigma memperbaiki keterampilan.
negative dari pandangan
masyarakat. dirinya, memiliki Latar belakang
Individu yang motivasi untuk pendidikan
berjuang untuk mengembangkan rendah.
memperbaiki diri
hidupnya
2 Keluarga Tempat penyandang Menyediakan Kurang memiliki
penyandang disabilitas tinggal. kebutuhan pengetahuan
disabilitas Menyediakan penyandang tentang
kebutuhan disabilitas, disabilitas.
penyandang menyediakan alat Ekonomi lemah.
disabilitas bantu.
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Karakteristik
No. Stakeholder Peran dalam RBM Gap analysis
Stakeholders
Dukun tradisional Menyediakan Dapat dibimbing Kurangnya
layanan untuk menjadi kader pengetahuan
patah tulang; urut rehabilitas. tentang
dan pengobatan disabilitas.
penyakit yang lain.
3 Tokoh Pemimpin dalam Mengatur Memiliki
masyarakat masyarakat yang kehidupan pandangan yang
mempunyai masyarakat tradisional terkait
kewenangan secara sosial disabilitas.
untuk membangun budaya
masyarakat.
4 Tukang kayu, Memiliki Membuat alat Belum memiliki
tukang batu keterampilan untuk bantu, pengetahuan
(tukang membangun rumah menciptakan terkait
bangunan) atau membuat lingkungan yang lingkungan dan
peralatan rumah aksesable. bangunan yang
tangga aksesable.
5 Pemerintahan Memiliki Membuat Belum memiliki
desa kewenangan program perspektif isu
dalam mengelola pemberdayaan disabilitas dalam
pembangunan yang bagi Penyandang merencanakan
ada di desa. disabilitas dan pembangunan di
keluarganya. tingkat desa.
Badan Mengawasi proses Memastikan Belum memiliki
Pemusyawaratan perencanaan program desa perspektif isu
desa (BPD) dan pelaksanaan mengakomodir disabilitas.
pembangunan desa. kepentingan
kelompok
penyandang
disabilitas
6 Puskesmas, Menyediakan Menyediakan Belum memiliki
puskemas fasilitas kesehatan layanan pelayanan
pembantu, Kesehatan bagi fisioterapi.
polindes, masyarakat.
Dokter umum Melakukan Menganalisa Penyandang
pemeriksaan apakah klien itu disabilitas jarang
membutuhkan berkunjung
spesialis lain atau ke puskesmas
tidak termasuk untuk melakukan
membutuhkan pemeriksaan
fisioterapi rutin
kesehatannya

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


~81~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Karakteristik
No. Stakeholder Peran dalam RBM Gap analysis
Stakeholders
Dokter Melakukan membantu Hanya tersedia di
Rehabilitasi pemeriksaan mengembalikan kota.
medis fungsional tubuh fungsi tubuh
seperti; lingkup pasien yang Penyandang
gerak sendi, menderita disabilitas jarang
gangguan fungsi berkunjung
tubuh atau ke puskesmas
disabilitas. untuk melakukan
pemeriksaan
rutin
kesehatannya
Fisioterapis Mengembalikan Mengembalikan Penyandang
fungsional gerak fungsional gerak disabilitas jarang
tubuh pasien tubuh pasien berkunjung
dengan berbagai dengan berbagai ke puskesmas
fisioterapi fisik dan fisioterapi untuk melakukan
alat fisioterapi yang fisik dan alat pemeriksaan
dapat digunakan fisioterapi rutin
untuk membantu yang dapat kesehatannya.
pasien. digunakan untuk
membantu pasien
penyandang
disabilitas.
Perawat Melakukan Memeriksa
pemeriksaan tekanan darah
tekanan darah dan penyandang
perawatan disabilitas untuk
fisioterapis
tahu apakah
penyandang
itu dapat diberi
pelayanan
fisioterapi atau
tidak.
Fisioterapi
okupasi
Fisioterapi wicara

~82~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Karakteristik
No. Stakeholder Peran dalam RBM Gap analysis
Stakeholders
Rehabilitasi sosial Rehabilitas yang
bertujuan untuk
memampukan
penyandang
disabilitas mampu
berinteraksi
dengan lingkungan
dapat mengalami
hambatan dan
kesulitan untuk
berpartisipasi
secara penuh dan
efektif dengan
warga negara
lainnya berdasarkan
kesamaan hak
7 Pendidikan Menyediakan Menyediakan Belum menerima
fasilitas pendidikan layanan anak-anak
Pendidikan hanya dengan
untuk anak-anak disabilitas.
non disabled.
8 Lembaga agama Menyediakan Menyediakan Belum
pembelajaran moral pembelajaran melakukan
dan keagamaan. moral. kegiatan
promosi hak-hak
disabilitas.
9 Organisasi Tempat masyarakat
kemasyarakatan; untuk terlibat
karang taruna, dalam program
, dll pemberdayaan.
10 kelompok tani Kelompok Kelompok petani Kelompok belum
untuk program dapat melibatkan memasukan
pemberdayaan penyandang kriteria
ekonomi disabilitas penyandang
masyarakat. menjadi anggota disabilitas
kelompok. menjadi salah
satu anggota.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


~83~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Karakteristik
No. Stakeholder Peran dalam RBM Gap analysis
Stakeholders
11 Petugas Memberikan Memberikan Karena masih
penyuluh pengetahuan pengetahuan ada anggapan
lapangan (PPL) tentang pertanian tentang penyandang
pertanian dan dan perikanan. pertanian dan disabilitas
Perikanan perikanan kepada tidak mampu
penyandang melakukan usaha
disabilitas yang pertanian dan
memiliki usaha budidaya ikan.
pertanian dan
perikanan.
12 Pendamping Untuk melakukan Memastikan
Lokal Desa pendampingan pemerintahan
program di desa. desa melibatkan
penyandang
disabilitas
sebagai penerima
manfaat
pembangunan
desa
Kader
pemberdayaan/
kader posyandu

5.3 Menentukan kerangka kerja bersama


Kegiatan awal, SANKITA menyusun kerangka besar
program RBM kemudian didiskusikan dengan pemerintah desa
sasaran. Diskusi bersama ini penting, khususnya untuk
menyusun secara detail pelaksanaan program pada tahun
berjalan dan tahun yang akan datang. Dalam diskusi bersama itu,
pemerintah desa dan SANKITA menyusun langkah-langkah yang
spesifik untuk melaksanakan program tersebut. Misalnya
program peningkatan keterampilan para penyandang disabilitas.
Kegiatannya melalui training keterampilan yang dilakukan sekali
dalam setahun. Dalam kegiatan training ini akan ada kegiatan
kecil, misalnya; menghubungi pelatih training, menghubungi
peserta dan menentukan kapan waktu yang tepat untuk sebuah
kegiatan.

~84~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Melakukan pendekatan dengan dinas terkait di tingkat


kabupaten dan meminta rekomendasi untuk memperlancar
kegiatan di tingkat desa. Langkah ini bisa dilakukan dan bisa
tidak dilakukan sangat bergantung pada situasi dan kondisi.
Misalnya SANKITA pernah mengalami hambatan memasuki
beberapa desa. Untuk memudahkan langkah tersebut, SANKITA
melakukan pendekatan dengan pemerintah kecamatan. Untuk
itu SANKITA melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada
pemerintah kecamatan. Hal ini memang tidak direncanakan
sebelumnya. Ini adalah kegiatan yang disesuaikan dengan situasi
dan kondisi di lapangan. SANKITA memanfaatkan sosialisasi di
tingkat kecamatan ini untuk menimbulkan rasa ketertarikan
terhadap program sehingga pada gilirannya dapat memberikan
dukungan terhadap berbagai program yang akan dilaksanakan
di desa-desa. Karena itu sosialisasi tersebut harus benar-benar
dipersiapkan dengan baik sehingga menimbulkan rasa tertarik
kepada pemerintah kecamatan dan menganggap program
SANKITA dapat membawa manfaat kepada masyarakat di desa.
Setelah SANKITA melakukan sosialisasi di tingkat kecamatan,
kemudian pemerintah kecamatan diminta untuk membantu
membuat rekomendasi dukungan terhadap program yang akan
dilakukan oleh SANKITA di desa terutama di desa-desa sasara.

Pintu manakah yang akan kita masuk? Di desa selain


pemerintah desa, ada juga lembaga-lembaga lain yang
beroperasi di sana. Misalnya ada lembaga pendidikan, pusat-
pusat pelayanan kesehatan, atau bahkan ada Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang sudah beroperasi di sana. Untuk
menentukan pintu masuk yang hendak digunakan, hal yang
paling penting adalah memahami lembaga kita sendiri,
memahami kesanggupan dan memahami lembaga manakah
memiliki visi dan misi yang lebih
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~85~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

dekat dengan kita yang memudahkan tim untuk melakukan


pendekatan dan bisa bekerjasama.

SANKITA sebagai sebuah lembaga kemasyarakatan


memilih masuk melalui jalur pemerintahan desa (Pemdes).
SANKITA masuk melalui pintu pemerintah desa karena
pemerintah desa memiliki wilayah, warga, dan kekuasaan untuk
menentukan kebijakan yang berhubungan langsung dengan
kebutuhan-kebutuhan warganya terutama para penyandang
disabilitas. Hal ini tidak berarti bahwa program SANKITA
merupakan program pemerintah desa. Pemerintah desa
hanyalah aparat yang menerima SANKITA dan memfasilitasi
untuk mengajak masyarakat atau warganya agar bisa saling
bekerja sama dan membangun komitmen yang sama untuk
perbaikan kehidupan para penyandang disabilitas di desa.

Pintu masuk yang lain adalah melalui lembaga agama


seperti gereja atau melalui lembaga non pemerintah seperti
lembaga pendidikan swasta yang ada di desa. Pintu masuk
sangat banyak disesuaikan dengan karakter lembaga
penginisiatif tersebut. Yang dikedepankan adalah pengaruh dari
lembaga penginisiatif, bukan kuasa. Dalam melakukan program
selama ini, SANKITA telah bekerja sama dengan 26 (dua puluh
enam) pemerintahan desa di beberapa kecamatan di Kabupaten
Manggarai Barat.

~86~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 6
Membangun Kerja Sama
Dengan Fasilitas Kesehatan
Yang Ada Di Desa Sasaran

6.1 Latar belakang


Pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas adalah
termasuk salah satu kebutuhan dasar. Masih banyak
penyandang disabilitas di Manggarai Barat dan Manggarai pada
umumnya yang belum dapat mengakses layanan kesehatan.
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan SANKITA di desa sasaran,
menemukan ada tiga faktor utama penyandang disabilitas belum
dapat mengakses layanan kesehatan yakni biaya, sikap keluarga
dan keterjangkauan layanan fasilitas kesehatan.

Banyak penyandang disabilitas yang datang dari keluarga


miskin yang memiliki kekurangan pendapatan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dalam keluarga miskin tersebut, perhatian
utama keluarga adalah memenuhi kebutuhan ketersediaan
makanan. Kebutuhan rumah dan pakaian masuk dalam prioritas
berikutnya. Keluarga miskin tinggal di rumah yang tidak layak
huni dengan mengenakan pakaian seadanya. Yang terpenting
buat mereka adalah tersedianya makanan dan minuman. Kondisi
keluarga seperti ini, pada umumnya menempatkan kesehatan
pada urutan yang sangat tidak mendesak, bukan menjadi
kebutuhan pokok.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~87~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Sementara pada satu sisi, layanan kesehatan di fasilitas


kesehatan yang ada membutuhkan biaya yang cukup besar.
Apalagi kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas biayanya
cukup besar dibandingkan dengan orang yang non disabilitas.
Penyandang disabilitas yang datang dari keluarga miskin, pada
umumnya hanya mengakses layanan kesehatan dari pelayanan
tradisional seperti dukun dan tukang pijat yang ada di dekatnya.

Kedua, sikap keluarga. SANKITA menemukan adanya


hubungan antara tingkat ekonomi dan sikap keluarga. Rata-rata
keluarga miskin, sikap mereka terhadap pemenuhan kesehatan
bagi penyandang disabilitas juga sangat rendah. Keluarga miskin,
entah karena tidak ada biaya yang cukup, bersikap tidak terlalu
memberi perhatian terhadap masalah kesehatan penyandang
disabilitas. Keluarga lebih banyak memberi perhatian kepada
masalah kesehatan anggota keluarga yang non disabilitas.
Anak disabilitas tidak memiliki kesempatan yang sama di dalam
keluarga.

Pada aspek ketiga, yakni keterjangkauan layanan


fasilitas kesehatan memberi pengaruh yang cukup besar untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang
ada di masyarakat berpusat pada Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Tidak semua desa memiliki puskesmas. Pelayanan
pada fasilitas kesehatan di puskesmas sangat terbatas. Untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih baik, masyarakat harus ke
rumah sakit yang letaknya di kota. Untuk dapat pergi ke rumah
sakit, perjalanannya cukup lama dan membutuhkan biaya yang
cukup tinggi. Masyarakat yang hendak memeriksa kesehatannya
di tempat-tempat pelayanan kesehatan di kota, harus bermalam
di kota. Mereka akan tinggal di keluarga yang tinggal di kota.

~88~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Biaya-biaya yang harus mereka tanggung adalah transportasi,


konsumsi selama tinggal di kota. Hal ini diperparah lagi dengan
tekanan psikis selama tinggal di kota, yang jauh dari tempat
tinggalnya di kampung.

Di dalam Pasal 12 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang


Penyandang Disabilitas menegaskan hak kesehatan untuk
Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. memperoleh informasi
dan komunikasi yang mudah diakses dalam pelayanan
kesehatan; b. memperoleh kesamaan dan kesempatan akses
atas sumber daya di bidang kesehatan; c. memperoleh kesamaan
dan kesempatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau; d. memperoleh kesamaan dan kesempatan secara
mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya; e. memperoleh Alat
Bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya; f. memperoleh
obat yang bermutu dengan efek samping yang rendah; g.
memperoleh Pelindungan dari upaya percobaan medis; dan h.
memperoleh Pelindungan dalam penelitian dan pengembangan
kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek.

Untuk mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi oleh


penyandang disabilitas ini, SANKITA mulai terlibat dengan
membangun kerja sama dengan fasilitas kesehatan yang ada
di desa untuk menyediakan upaya promosi kesehatan dan
ketersediaan layanan fisioterapi bagi penyandang disabilitas.
SANKITA melakukan kegiatan pada beberapa aspek seperti
promosi Kesehatan dan upaya pencegahan terjadinya disabilitas,
rehabilitasi dan pengadaan alat bantu. Untuk melakukan
kegiatan- kegiatan tersebut, SANKITA membangun kerja sama
dengan fasilitas kesehatan yang dituangkan dalam Nota
Kesepahaman

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~89~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bersama antara SANKITA dengan fasilitas Kesehatan sebagai


dasar dalam membangun kerja sama. Nota kesepahaman
ini mengatur kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-
masing lembaga dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyandang disabilitas.

Saat ini SANKITA sudah membangun kerja sama dengan


beberapa puskesmas di desa sasaran yakni; Puskesmas Rekas,
Puskesmas Lando-Terang dan Puskesmas Noa-Kecamatan
Pacar. Fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada di desa sasaran
sebelumnya belum pernah bekerja sama dengan lembaga yang
bekerja pada isu penyandang disabilitas. Fasilitas kesehatan
memberi pelayanan kesehatan umum kepada masyarakat. Pada
saat SANKITA membangun diskusi dengan staf kesehatan dan
dari beberapa rangkaian kegiatan lainnya, staf kesehatan mulai
memahami tentang pentingnya peran fasilitas kesehatan dalam
memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas.

Membangun kerja sama dengan fasilitas kesehatan di


desa bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini membutuhkan
diskusi yang panjang. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas,
puskesmas pembantu, polindes merupakan institusi strukturan
pemerintahan yang berada di bawah koordinasi dinas kesehatan.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan
tersebut tidak dapat terlepas dari pengawasan dinas yang ada di
atasnya.

Ada beberapa tujuan membangun kerja sama dengan


puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyandang disabilitas adalah sebagai berikut;

~90~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

a) Membangun kesadaran tentang pentingnya pelayanan


kesehatan kepada staf kesehatan yang ada di desa sasaran.

Banyak penyandang disabilitas di desa yang sulit


mendapatkan pelayanan kesehatan baik kesehatan yang
umum maupun pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan
disabilitasnya. Hal ini disebabkan oleh banyak factor; keluarga
penyandang disabilitas tidak memprioritaskan kesehatan
penyandang disabilitas. Tempat pelayanan kesehatannya tidak
terjangkau. Juga staf kesehatan memiliki keterbatasan dalam
memahami komunikasi dengan penyandang disabilitas. Dengan
adanya kerja sama ini, staf kesehatan mulai menyadari bahwa
penyandang disabilitas juga merupakan warga masyarakat
yang perlu mendapatkan perhatian yang serius. Penyandang
disabilitas merupakan salah satu kelompok rentan terhadap
penyakit-penyakit tertentu. Sehingga memberi perhatian kepada
penyandang disabilitas merupakan salah satu prioritas dalam
memberikan pelayanan.
b) Memberi jaminan perlindungan kepada staf fisioterapis
dalam memberikan pelayanan fisioterapi.

SANKITA memiliki staf fisioterapis . Sedangkan puskesmas


tidak memiliki staf fisioterapis . Dari aspek pelayanan kesehatan,
pelayanan fisioterapi merupakan suatu pelayanan dasar yang
harus ada di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Untuk
mengisi kekurangan yang ada, SANKITA menyediakan tenaga
fisioterapis nya. Untuk sesuai dengan kerangka kerja pelayanan
kesehatan, maka staf fisioterapis ini harus bekerja atau
berkolaborasi dengan tempat pelayanan kesehatan seperti
puskesmas. Dengan demikian keberadaan fisioterapis
SANKITA bukanlah staf kesehatan yang bekerja terpisah dari
tempat pelayanan kesehatan yang ada di desa.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~91~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

c) Memperkuat pelayanan fisioterapi berbasis masyarakat


kepada penyandang disabilitas.
Karena system kerja SANKITA adalah RBM, maka SANKITA
tidak dapat bekerja sendiri. Puskesmas merupakan stakeholder
yang langsung bekerja di desa. Oleh karena itu untuk menjaga
keberlanjutan pelayanan kepada penyandang disabilitas, fasilitas
kesehatan tersebutlah yang akan terus memberikan pelayanan
kesehatan bagi penyandang disabilitas walaupun SANKITA
sudah tidak ada di desa.

6.2 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk


membangun kerja sama.
Untuk memulai membangun kerja sama dengan
Puskesmas seperti Puskesmas Rekas, Puskesmas Pembantu
Golo Desat dan Puskesmas Pembantu Desa Cunca Lolos,
SANKITA melakukan beberapa kegiatan antara lain; pelatihan
pengenalan disabilitas kepada staf kesehatan, membuat Nota
Kesepahaman Bersama/ Memorandum of undersating (MoU),
melakukan promosi kesehatan dan melakukan deteksi dini.

6.2.1 Pelatihan pengenalan disabilitas kepada staf


kesehatan di Puskesmas Rekas.
Hal pertama yang harus dilakukan oleh SANKITA adalah
mengadakan pelatihan tentang pengenalan disabilitas kepada
staf Kesehatan yang ada di fasilitas Kesehatan di Puskesmas
Rekas, Puskesmas Pembantu Golo Desat dan Puskesmas
Pembantu Desa Cunca Lolos.

~92~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Dalam pelatihan ini, SANKITA menjelaskan tentang siapa


itu penyandang disabilitas dan apa itu disabilitas. Dari
pengalaman SANKITA, masih banyak staf kesehatan yang belum
memiliki pemahaman tentang disabilitas. Mereka masih
memandang disabilitas itu sama dengan memiliki penyakit
tertentu.

Topik yang dijelaskan dalam pelatihan ini adalah (1)


Pengenalan tentang jenis-jenis disabilitas. (2) Upaya penanganan
perbaikan disabilitas. (3) Peran dari lingkungan sekitar. (4)
Bagaimanacara-caramelakukanpencegahanterjadinyadisabilitas.
Hasil dari kegiatan ini adalah meningkatnya pengetahuan
tentang disabilitas bagi staf kesehatan di Puskesmas Rekas,
Puskesmas Pembantu Golo Desat dan Puskesmas Pembantu
Desa Cunca Lolos.

Staf kesehatan di fasilitas kesehatan tersebut semakin


mengenal isu disabilitas dan sudah mulai menerima serta mau
bekerja sama dengan SANKITA, khususnya dalam upaya promosi
kesehatan bagi penyandang disabilitas. Menurut salah seorang
staf kesehatan di Puskesmas Pembantu Desa Golo Desat
mengatakan bahwa sebelumnya masalah disabilitas dianggap
sebagai orang yang mnemiliki penyakit tertentu.

Setelah kegiatan ini dilaksanakan, staf kesehatan mulai


memahami salah satu aspek penting yang menjadi kebutuhan
penyandang disabilitas adalah pelayanan kesehatan. Oleh karena
itu sangatlah penting adanya kerja sama antara stakeholder
dalam memberi pelayanan kepada penyandang disabilitas.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~93~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

6.2.2 Membuat Nota Kesepahaman Bersama/


Memorandum of Undersating (MoU).
Setelah melakukan pelatihan pengenalan tentang
penyandang disabilitas dan disabilitas, SANKITA berdiskusi
dengan pihak Puskesmas Rekas untuk mulai membangun kerja
sama dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penyandang
disabilitas yang ada di wilayah Puskesmas Rekas. Pihak
Puskesmas setuju dengan tawaran dari SANKITA dalam bentuk
nota kesepahaman bersama. Nota Kesepahaman Bersama ini
juga berlaku untuk Puskesmas Pembantu Golo Desat dan
Puskesmas Pembantu Cunca Lolos, karena tempat pelayanan
kesehatan tersebut berada di bawah Puskesmas Rekas, sehingga
tidak perlu dibuatkan nota kesepahaman yang lain.

Secara umum di dalam nota kesepahaman ini memuat


tentang kewajiban dari fasilitas kesehatan dan SANKITA.
Misalnya, fasilitas kesehatan mempunyai kewajiban mendukung
pelayanan fisioterapi yang dilakukan oleh SANKITA, dimana
fasilitas kesehatan menyediakan ruangan khusus untuk
pelayanan fisioterapi, menyediakan satu staf khusus untuk
membantu pelayanan fisioterapi. Fasilitas kesehatan juga
bersedia untuk menyebarkan informasi tentang pelayanan
fisioterapi di fasilitas kesehatan kepada masyarakat yang
mengalami masalah gerak fungsi tubuh kepada masyarakat di
wilayah kerja fasilitas kesehatan.

Sedangkan kewajiban dari SANKITA adalah menyediakan


staf fisioterapis yang memberi pelayanan fisioterapi kepada
penyandang disabilitas. Membuat jadwal pelayanan fisioterapi
rutin di fasilitas kesehatan serta melakukan pelayanan fisioterapi
rutin melalui kunjungan ke rumah-rumah di sekitar fasilitas

~94~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

kesehatan. Dalam pola kerja sama ini, staf fisioterapis SANKITA


juga dipandang sebagai staf kesehatannya fasilitas kesehatan
tetapi dibayar oleh SANKITA dengan waktu kerja yang
disesuaikan dengan kegiatan SANKITA.

Nota Kesepahaman ini biasanya dibuat sebelum SANKITA


melakukan kegiatan terkait promosi kesehatan, deteksi dini,
pelayanan fisioterapi dan menyediakan alat bantu. Nota
Kesepahaman merupakan dasar bagi SANKITA dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada penyandang
disabilitas khususnya pelayanan fisioterapi.

6.2.3 Promosi Kesehatan


Salah satu pelayanan Kesehatan yang terdapat dalam
matrix RBM adalah promosi Kesehatan. Piagam Ottawa untuk
Promosi Kesehatan (Ottawa Charter for Health Promotion) (1986)
menguraikan promosi Kesehatan sebagai proses pemberdayaan
masyarakat untuk meningkatkan kontrol atas dan memperbaiki
Kesehatan4. Dalam piagam Ottawa tersebut dijelaskan bahwa
promosi kesehatan adalah suatu proses yang memungkinkan
individu mengendalikan dan memperbaiki kesehatannya. Untuk
mencapai kesehatan jasmani, rohani dan sosial yang sempurna,
seseorang atau kelompok harus mampu mengidentifikasi dan
mewujudkan aspirasi, mampu memenuhi kebutuhan, mampu
mengubah atau beradaptasi dengan lingkungan5. Piagam
tersebut merumuskan upaya promosi kesehatan mencakup 5
butir6.
4
Komponen Kesehatan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat Pedoman RBM, hal. 13.
5
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Promkes-Kompre-
hensif.pdf
6
Ibid hal. 5. Diakses pada tanggal 04 Maret 2021.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~95~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

a) Kebijakan Berwawasan Kesehatan (Health Public Policy).


Ditujukan kepada policy maker agar mengeluarkan kebijakan-
kebijakan publik yang mendukung kesehatan.
b) Lingkungan yang Mendukung (Supportive Environment).
Ditujukan kepada para pengelola tempat umum termasuk
pemerintah kota, agar menyediakan prasarana sarana yang
mendukung terciptanya perilaku sehat bagi masyarakat.
c) Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Service).
Selama ini yang menjadi penyedia (provider) pelayanan
kesehatan adalah pemerintah dan swasta sedangkan
masyarakat adalah sebagai pengguna (customers) pelayanan
kesehatan. Pemahaman ini harus diubah, bahwasanya
masyarakat tidak sekedar pengguna tetapi bisa sebagai
provider dalam batas-batas tertentu melalui upaya
pemberdayaan.
d) Keterampilan Individu (Personnel Skill). Kesehatan
masyarakat akan terwujud apabila kesehatan individu,
keluarga dan kelompok tersebut terwujud.
e) Gerakan Masyarakat (Community Action). Adanya gerakan-
gerakan atau kegiatankegiatan di masyarakat yang
mendukung kesehatan agar terwujud perilaku yang kondusif
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka.

Promosi kesehatan berkaitan dengan disabilitas fokus


pada memberi saran-saran bagi program RBM tentang
bagaimana membantu penyandang disabilitas untuk mengakses
kegiatan promosi kesehatan dan bagaimana melaksanakan
kegiatan- kegiatan dasar kalau dibutuhkan7. Dalam
melaksanakan promosi kesehatan ini, hasil yang diinginkan
sesuai dengan yang tertuang dalam matrix RBM, komponen
kesehatan adalah sebagai berikut:
7
Komponen Kesehatan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat Pedoman RBM op.cit, hal 13.

~96~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

* Para penyandang disabilitas dan anggota keluarganya


dijangkau dengan pesan-pesan promosi Kesehatan sama
seperti anggota komunitas pada umumnya.
* Materi dan program-program promosi Kesehatan dirancang
atau diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan khusus para
penyandang disabilitas dan keluarganya.
* Para penyandang disabilitas beserta keluarga memiliki
pengetahuan, keterampilan dan dukungan untuk membantu
mereka mencapai taraf Kesehatan yang baik.
* Personel pelayanan Kesehatan sudah memiliki kesadaran
yang lebih baik mengenai kebutuhan penyandang disabilitas
secara umum dan khusus dan memenuhinya melalui aksi-aksi
promosi Kesehatan yang sesuai.
* Masyarakat menyediakan sebuah lingkungan yang
mendukung bagi para penyandang disabilitas untuk ikut
serta dalam aktivitas yang meningkatkan Kesehatan mereka.
* Program-program RBM menghargai Kesehatan yang baik dan
melakukan aktivitas-aktivitas untuk meningkatkan Kesehatan
di tempat kerja bagi staf mereka.

Dalam promosi Kesehatan khusus terkait dengan


disabilitas, SANKITA focus kepada upaya membangun kesadaran
bagi staf Kesehatan, kader posyandu agar mereka memiliki
kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya Kesehatan bagi
penyandang disabilitas. Untuk membangun kesadaran bagi staf
Kesehatan dan kader posyandu, kegiatan-kegiatan yang yang
dilakukan oleh SANKITA bersama dengan Puskesmas Rekas,
Puskesmas Pembantu Golo Desat dan Puskesmas Pembantu
Desa Cunca Lolos melakukan kegiatan bersama antara lain
promosi pencegahan disabilitas kepada masyarakat umum dan

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~97~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

melakukan deteksi dini, sosialisasi tentang jaminan kesehatan


dan melakukan senam aerobic bagi usia lanjut (lansia).

SANKITA bersama dengan pihak puskesmas melakukan


sosialisasi kepada masyarakat tentang upaya preventif
terjadinya disabilitas. Yang hadir dalam pertemuan ini adalah staf
kesehatan, masyarakat dan khususnya juga masyarakat
penyandang disabilitas. Dalam sosialiasi ini SANKITA
menekankan pentingnya pengetahuan terkait hal-hal yang dapat
memungkinkan terjadinya disabilitas, antara lain;
memperhatikan faktor kehamilan, gizi bagi keluarga dan
memperhatikan lingkungan keselamatan kerja. Disabilitas
dapat saja terjadi karena ibu yang mengandung kekurangan gizi
dan vitamin atau seorang anak mengalami kekurangan gizi akut.
Disabilitas juga terjadi karena kecelakan; jatuh dari pohon,
kecelakan lalu lintas.

SANKITA membagi pengalaman kepada peserta terkait


banyaknya disabilitas yang terjadi karena tidak memperhatikan
lingkungan keselamatan. Misalnya, ada penyandang disabilitas
yang mengalami karena jatuh dari pohon enau. Ada seorang dari
Desa Cunca Lolos, Pius Jama. Dulunya ia pekerja keras. Salah
satu usaha yang dilakukannya sehari-hari adalah mengambil
aren dari pohon enau. Suatu hari ia jatuh dari pohon enau karena
tergelincir. Di bawah pohon enau bertebaran batu-batu besar.
Pada saat ia jatuh, tubuhnya membentur di atas batu-batu
tersebut yang menyebabkan tulang belakangnya rusak parah.
Hal ini menyebabkan Pius Jama, tidak dapat melakukan
pekerjaan kesehariannya lagi. Ia menjadi disabilitas.

SANKITA menjelaskan kepada peserta bahwa disabilitas itu


dapat terjadi karena kelalaian. Oleh karena itu diharapkan agar
masyarakat benar-benar memperhatikan lingkungan kerja yang

~98~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

aman. Tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan


kerja yang aman masih sangat rendah. Masih banyak masyarakat
yang panjat pohon enau tanpa alat pengaman. Begitu pula
memanjat pohon cengkeh tanpa alat pengaman. Di Manggarai
pada umumnya banyak sekali peristiwa orang jatuh dari pohon
enau dan cengkeh.

Promosi pencegahan disabilitas sangatlah penting


disampaikan kepada masyarakat, karena beberapa alasan;
pertama, pada umumnya masyarakat masih belum memiliki
pengetahuan tentang pencegahan disabilitas baik mencegah
disabilitas pada saat kehamilan dan kelahiran maupun pada
saat setelah kelahiran. Kedua, masyarakat belum memahami
pengetahuan tentang standar-standar keselamatan dalam
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang beresiko.

Materi yang disampaikan pada promosi pencegahan


disabiltas adalah tentang pentingnya gizi bagi ibu hamil dan
anak- anak, pentingnya memperhatikan upaya menjaga
keselamatan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan beresiko.
Pada saat promosi pencegahan disabilitas, SANKITA terlebih
dahulu membagi pengalaman, misalnya pengalaman seorang
disabilitas yang cedera sum-sum tulang belakang. Ia mengalami
disabilitas karena jatuh dari pohon Enau pada saat hendak
menyadap pohon Enau. Pada saat itu, ia tidak menggunakan
sabuk keselamatan. Ia jatuh dan punggung belakangnya
mengalamai benturan dengan batu yang berada di bawah pohon
Enau. Begitu pula dengan seorang anak yang jatuh dari atas
tenda pondoknya, di bawah tenda ada periuk dengan airnya
yang mendidih. Anak itu jatuh dari atas tenda, dengan bagian
pantaatnya masuk ke dalam air yang sedang mendidih.
Peristiwa-peristiwa ini terjadi karena

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~99~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

kurang kehati-hatian. Dalam promosi pencegahan disabilitas,


SANKITA menjelaskan tentang perlunya sikap kehati-hatian
dalam melakukan sesuatu agar terhindar dari kemungkinan
terjadinya kecelakaan yang dapat menyebabkan terjadinya
disabilitas.

SANKITA telah melakukan promosi pencegahan disabilitas


di beberapa tempat antara lain; Puskesmas Pembantu Reweng,
Puskesmas Pembantu Wae Bangka, Polindes Golo Desat dan
Polindes Cunca Lolos. Hampir semua kegiatan promosi
disabilitas dilakukan pada saat kegiatan posyandu di setiap desa
sasaran dengan melibatkan staf kesehatan seperti perawat dan
bidan.

6.2.3.1 Melakukan deteksi dini pada saat posyandu.

SANKITA juga terlibat dalam melakukan kegiatan deteksi


dini pada saat posyandu. Tujuan dari kegiatan ini adalah
memperkenalkan kepada kader posyandu tentang cara-cara
mengenal disabilitas sejak dini. Kalau disabilitas dikenal sejak
dini, maka dapat dilakukan juga upaaya yang cepat. Dalam
melakukan deteksi dini ini, SANKITA melakukannya dengan
peralatan sederhana seperti nggiring-nggiring dan bola-bola.

6.2.3.2 Sosialisasi Program jaminan kesehatan (KIS) dan


jamkesda.

SANKITA juga melakukan promosi tentang program


jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah Kabupaten Manggarai Barat di 3
(tiga) desa sasaran. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan bersama
dengan petugas BPJS Kabupaten Manggarai Barat. Selain itu,
SANKITA juga menyebarkan informasi melalui brosur yang
dibagikan secara langsung kepada penyandang disabilitas dan

~100~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
masyarakat desa. Penyebaran informasi melalui brosur ini sangat
ekfektif, untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~101~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

tentang pelayanan jaminan kesehatan karena brosur itu mudah


di bawah dan bisa ditempel di dinding rumah. Dari kunjungan
SANKITA ke rumah-rumah penyandang disabilitas, baik pada
saat kunjungan fisioterapi maupun kunjungan monitoring,
sering penyandang disabilitas menanyakan kepada SANKITA
tentang pelayanan jaminan kesehatan seperti; apakah sakit gigi
bisa dibiayai pakai kartu karena hal itu belum ada di brosur dan
kalau ada kecelakaan, orang patah tulang apakan ini bisa dibiayai
dengan menggunakan kartu jaminan kesehatan tersebut baik
KIS maupun jamkesda. Dari pertanyaan seperti itu menunjukkan
penyandang disabilitas dan keluarganya membaca informasi
yang terdapat di dalam brosur yang mereka terima.

6.2.3.3 Senam lansia

Fisioterapis SANKITA memberikan pelayanan senam lansia


pada saat kegiatan posyandu lansia di fasilitas kesehatan di
desa sasaran. SANKITA bekerja sama dengan Pemerintah Desa
dan Polindes Golo Desat melakukan senam lansia sekali dalam
sebulan. Senam lansia ini bentuknya melakukan gerakan aerobik
untuk meningkatkan kapasitas paru-paru, saraf, otot, pembuluh
darah, metabolisme jantung dan tubuh, serta perbaikan
psikologis. Sebelum senam aerobik, seluruh peserta mendapat
pemeriksaan tekanan darah dari perawat Polindes Golo Desat.

6.2.4 Pelatihan hak-hak kesehatan penyandang


disabilitas untuk staf kesehatan di desa.
SANKITA melakukan pelatihan tentang hak-hak
penyandang disabilitas kepada staf kesehatan di desa sasaran;
dokter, perawat, bidan serta kader posyandu di puskesmas-
puskesmas sasaran, Puskesmas Rekas, Puskesmas Boleng-Desa
Mbuit dan Puskesmas Compang-Desa Compang. Dalam
pelatihan

~102~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

ini, SANKITA menjelaskan tentang hak-hak penyandang


disabilitas dalam aspek kesehatan seperti yang tertuang di
dalam Pasal
12 Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas sebagai berikut;

a) memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses


dalam pelayanan kesehatan;
b) memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber
daya di bidang kesehatan;
c) memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau;
d) memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
e) memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan
kebutuhannya;
f) memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping yang
rendah;
g) memperoleh Pelindungan dari upaya percobaan medis; dan
h) memperoleh Pelindungan dalam penelitian dan
pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan manusia
sebagai subjek.

6.3 Perubahan yang terjadi setelah terjadinya


praktik baik di Puskesmas Rekas.
Staf Puskesmas Rekas memahami tentang penyandang
disabilitas, jenis-jenis disabilitas dan sudah menerapkan pola
komunikasi dengan penyandang disabilitas. Pada saat posyandu
anak-anak dan lanjut usia (lansia) di titik pelayanan, staf

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~103~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

kesehatan di Puskesmas Rekas sudah dapat melakukan deteksi


dini pada anak, gagal tumbuh kembang dengan cara penilaian
kuisioner, nilai 1 sampai 10 dengan kateori nilai 9 sampai dengan
10 dikatakan perkembangan normal. Salah satu contohnya pada
saat posyandu, Pihak Puskesmas menemukan satu orang anak
berusia empat puluh enam bulan mendapatkan hasil kuisioner
lima sehingga tindak lanjut dari Puskesmas memberi rujukan ke
Rumah Sakit Siloam, kemudia dirujuk ke dokter spesialis anak
dan spesialis saraf dan anak ini sekarang sudah rutin
memberikan pelayanan fisiofisioterapi oleh fisioterapis di Rumah
Sakit Siloam dua kali dalam sebulan.

Di Puskesmas Rekas saat ini sudah mulai menyediakan


pelayanan kesehatan khusus untuk penyandang disabilitas
mental dan jiwa melalui kunjungan rumah (home visit) secara
regular. Hasilnya, salah satu pasien yang pertamanya dipasung
sekarang sudah tidak dipasung karena pihak Puskesmas sudah
memberikan pelayanan berupa pengobatan khusus kepada
warga masyarakat yang mengalami masalah mental dan jiwa
tersebut.

Bahwa saat ini, masih banyak masyarakat di wilayah


Puskesmas Rekas yang membutuhkan pelayanan fisioterapi.
Masyarakat ini datang ke Puskesmas Rekas untuk meminta
pelayanan fisiofisioterapi. Namun, pihak Puskesmas Rekas tidak
dapat lagi memberi pelayanan fisioterapi karena SANKITA sudah
tidak lagi bekerja memberi pelayanan fisioterapi di Puskesmas
Rekas. Pihak Puskesmas saat ini belum menyediakan staf
fisioterapis . Untuk memberi pelayanan fisiofisioterapi kepada
masyarakat, pihak Puskesmas Rekas saat ini memilih untuk
menggunakan system rujukan ke Rumah Sakit Siloam.

~104~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

6.4 Testimony
Puskesmas Rekas sangat berterima kasih dengan SANKITA
karena sudah bekerja bersama dalam memenuhi kebutuhan
penyandang disabilitas di tiga desa sasaran SANKITA di wilayah
kerja Puskesmas Rekas.

Pihak Puskesmas memberi kesan bahwa keberadaan


SANKITA yang bekerja pada isu disabilitas di wilayah desa
sasaran sangat memberi manfaat kepada masyarakat,
khususnya penyandang disabilitas. Dengan kehadiran SANKITA
staf kesehatan menyadari bahwa penyandang disabilitas berhak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama dengan
masyarakat non disabilitas.

Penyandang disabilitas juga yang hadir dalam pertemuan-


pertemuan evaluasi menyampaikan bahwa mereka sangat
berterima kasih kepada SANKITA karena dengan kehadiran
SANKITA telah memberi pelatihan-pelatihan penguatan
kapasitas diri dan mendorong penyandang dsiabilitas untuk
meningkatkan kemandirian, percaya diri dan keberanian untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat.

6.5 Rekomendasi Replikasi dan hambatan.


Untuk melakukan replikasi kerja sama dengan fasilitas
kesehatan di desa, maka hal pertama yang harus dilakukan
adalah; Untuk membangun kerja sama dengan fasilitas
kesehatan di desa, hal pertama yang harus terlebih dahulu
dilakukan adalah membangun diskusi dengan dinas kesehatan.
Kepada dinas kesehatan, kita menjelaskan tentang program-

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~105~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

program yang terkait dengan aspek pelayanan kesehatan di


desa. Meminta kepada dinas kesehatan petunjuk untuk bekerja
dengan fasilitas kesehatan yang ada di desa. Jangan sesekali
bekerja pada isu kesehatan tanpa berkolaborasi dengan fasilitas
kesehatan di desa. Bisa jadi hal ini akan memberi dampak buruk
terhadap kerja di masyarakat. Misalnya, staf kesehatan di desa
dapat saja melaporkan kegiatan kita sebagai kegiatan yang tidak
mendapatkan izin dari pemerintah sehingga kita dilarang untuk
melakukan kegiatan. Hindari bekerja sendiri, apalagi melakukan
program dengan pendekatan RBM.

Hambatan-hambatan dalam membangun kerja sama


dengan fasilitas kesehatan yang ada di desa adalah;

a) Kita tidak dapat langsung dalam sekali kunjungan sudah


langsung membangun kerja sama dengan fasilitas kesehatan
karena pihak Puskesmas harus memberitahukan terlebih
dahulu kepada Dinas kesehatan yang ada di Ibu Kota
Kabupaten Manggarai Barat. Hal ini sedikit membutuhkan
waktu dan kepada instansi yang hendak melakukan kerja
sama dengan puskesmas untuk sabra mengikuti proses yang
ada.
b) Pada saat memulai kerja dengan staf kesehatan di fasilitas
kesehatan, staf kesehatan masih menjaga jara dalam
berkomunikasi dan belum tertarik untuk terlibat dalam
pelayanan fisioterapi. Namun, setelah beberapa kali
melakukan pertemuan seperti worksho, pelatihan dan
kegiatan bersama, dan banyaknya pasien yang datang
mendapatkan pelayanan fisioterapi, staf kesehatan di fasilitas
kesehatan mulai menyadari pentingnya pelayanan fisioterapi
kepada masyarakat yang ada di wilayah kerja puskesmas.

~106~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

c) Informasi pelayanan fisioterapi yang ada di puskesmas belum


tersebar kepada seluruh warga di wilayah puskesmas karena
sulitnya akses ke kampung-kampung serta terbatasnya alat
komunikasi. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas
yang membutuhkan pelayanan fisioterapi belum dapat
mendapatkan layanan fisioterapi.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~107~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 7
Pentingnya Pelayanan
Fisioterapi Bagi Penyandang
Disabilitas di Desa

7.1 Pengantar
Ada dua kata yang sangat erat dengan pelayanan kepada
penyandang disabilitas, yaitu rehabilitasi dan fisioterapi. Konsep
RBM memiliki pengertian cukup luas, termasuk rehabilitasi
sosial. Konsep rehabilitasi dalam topik ini berhubungan
dengan aspek medis, seperti WHO memasukkan rehabilitasi
dalam bidang kesehatan pada matrix RBM. Rehabilitasi adalah
sebuah kegiatan ataupun proses membantu para penderita
yang mempunyai penyakit serius atau cacat (disabilitas) dan
memerlukan pengobatan medis untuk mencapai kemampuan
fisik psikologis dan sosial yang maksimal (Arnot, et al., 2009).

Rehabilitasi meliputi tindakan-tindakan memberikan dan/


atau memulihkan fungsi atau mengganti hilangnya fungsi dan
keterbatasan fungsi. Rehabilitasi bisa terjadi pada tahap mana
pun dalam kehidupan seseorang, tetapi biasanya terjadi pada
kurun waktu terbatas dan melibatkan intervensi, baik tunggal
maupun jamak8.

8
Komponen Kesehatan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat Pedoman RBM op.cit. hal. 49.

~108~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Berdasarkan Pasal 21 UU No. 8 Tahun 2016 tentang


Penyandang Disabilitas, habilitasi dan rehabilitasi adalah hak.
Hak habilitasi dan rehabilitasi untuk penyandang disabilitas,
meliputi (a) mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi sejak dini
dan secara inklusif sesuai kebutuhan; (b) bebas memilih bentuk
rehabilitasi yang akan diikuti; dan (c) mendapatkan habilitasi dan
rehabilitasi yang tidak merendahkan martabat manusia.
Dalam menjalankan program rehabilitasi, SANKITA tetap
berpedoman pada Pasal 21 UU No. 8 tahun 2016 tersebut.
Secara teknik pelaksanaan, SANKITA melibatkan banyak pihak,
seperti penyandang disabilitas itu sendiri bersama keluarganya,
tetangga, para tokoh masyarakat, tukang kayu, staf kesehatan
yang memberi pengaruh positif terhadap tujuan rehabilitasi,
serta warga masyarakat.

Sementara itu, Fisioterapi (dalam Yunani: θεραπεία),


atau pengobatan, adalah remediasi masalah kesehatan; biasanya
mengikuti diagnosis. Fisioterapi pada dasarnya berarti
perawatan. Orang yang melakukan fisioterapi disebut
fisioterapis atau therapist. Dalam bidang medis, kata fisioterapi
sinonim dengan kata pengobatan. Di antara psikolog, kata ini
mengacu pada psikofisioterapi9. Artinya, fisioterapi adalah usaha
memulihkan kesehatan orang sakit, pengobatan penyakit, dan
perawatan penyakit: mula-mula tim dokter mempelajari gejala-
gejala penyakit yang diderita kemudian menentukan
penanganannya yang tepat10.
David Werner (2002) mengartikan fisioterapi sebagai suatu
seni. Fisioterapi fisik atau fisio fisioterapi adalah seni
memperbaiki posisi, gerakan, kekuatan, keseimbangan, dan
control atas tubuh.
9
https://id.wikipedia.org/wiki/Fisioterapi, diakses pada tanggal 04 Maret 2021.
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~109~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
10
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Fisioterapi, diakses tanggal 04 Maret 2021.

~110~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Fisioterapi okupasi adalah seni membantu penyandang


disabilitas untuk belajar melakukan aktivitas-aktivitas yang
berguna dan menyenangkan.

Selain menggunakan istilah fisioterapi, banyak masyarakat


menggunakan kata fisio fisioterapi, yaitu proses merehabilitasi
seseorang agar terhindar dari cacat fisik akibat cedera atau
penyakit. Fisioterapi dilakukan melalui serangkaian tindakan
pencegahan, diagnosis, dan penanganan untuk mengatasi
gangguan fisik. Fisioterapi dilakukan pada pasien dari semua
rentang usia. Misalnya, untuk mengobati sakit punggung
hingga persiapan olahraga dan persalinan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 65 Tahun
2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi, fisioterapi adalah
bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu
dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang
kehidupan dengan menggunakan penanganan manual,
peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis, dan
mekanis) pelatihan fungsi, serta komunikasi (Depkes RI 2015).
Orang yang menjalankan fisio fisioterapi adalah fisioterapis yang
telah lulus pendidikan fisio fisioterapi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Rehabilitasi merupakan salah satu metode yang paling


banyak digunakan dalam intervensi fisio fisioterapi degan
neuromuskuloskeletal pada pasien yang memiliki masalah
gerak dan fungsi. Artinya, fisioterapis juga dapat melakukan
intervensi permasalahan neurologis, seperti cervical root diase,
abnormal struktur tulang, keterlambatan tumbuh kembang anak
rehabilitasi post operasi, asma, low back paint (nyeri punggung
bawah), osteoarthtritis, dan berbagai gangguan gerak lainnya.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~111~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Fisioterapis juga dapat melakukan intervensi permasalahan


neurologis seperti Cervical Root Syndrome (CRS), bell palsy,
spinal cord injury, Carpal Tunnel Syndrome (CRS), dan ischialgia.

Istilah fisioterapi atau fisio fisioterapi bagi masyarakat desa


merupakan sesuatu yang baru. Kunjungan SANKITA
menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat belum
mengenal fisioterapi. Mereka berpandangan bahwa fisioterapi
itu sama dengan pengobatan. Fisioterapi bagi masyarakat desa
adalah urut atau pijat. Di desa banyak temuan pengobatan
secara tradisional kepada orang yang mengalami masalah gerak
dan fungsi tubuh.

Untuk masyarakat yang mengalami masalah gerak dan


fungsi tubuh, sesuai dengan pemahaman dan pandangannya,
mereka akan meminta pertolongan pertama dari dukun
tradisional di kampungnya atau kampung tetangga. Orang yang
mengalami masalah gerak fisik mendapatkan pengobatan
tradisional seperti pijat, ramuan-ramuan tradisioanl dari dukun
tradisional. Selain itu, dukun tradisional juga melaksanakan
acara-acara ritual berupa persembahan korban; ayam untuk
meminta penyembuhan dari kekuatan nenek moyang, alam, dan
Tuhan. Banyak masyarakat yang mengalami gangguan gerak
atau fungsi gerak tubuh belum pernah melakukan pemeriksaan
lengkap pada dokter spesialis saraf, spesialis tulang, dan
spesialis anak-anak. Mereka lebih memilih meminta perawatan
dari dukun tradisional yang ada di kampungnya, karena biayanya
murah dan tidak membutuhkan waktu yang lama.

Tempat pelayanan pertama bagi masyarakat adalah dukun


tradisional. Jika pada dukun tradisional tidak mendapatkan
perubahan, mereka akan berpindah ke dukun tradisional lain.
Umumnya, masyarakat akan meminta pelayanan lebih dari satu

~112~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

dukun tradisional. Ketika pelayanan dari dukun-dukun tradisional


tersebut tidak mendapatkan perubahan barulah mereka
meminta pelayanan pada fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan
sebagai pilihan terakhir, bukan pilihan pertama. Bahkan, masih
ada anggota masyarakat yang berhenti di dukun tradisional saja.

7.2 Pelayanan fisio fisioterapi di desa-desa


sasaran
Sejak dua tahun terakhir ini, SANKITA telah bekerja di tiga
kecamatan, yakni Kecamatan Mbeliling, Kecamatan Pacar, dan
Kecamatan Boleng. Di Kecamatan Mbeliling, SANKITA bekerja
di Desa Watu Galang, Golo Desat, Cunca Lolos, dan di wilayah
kerja Puskesmas Rekas. Di Kecamatan Pacar SANKITA bekerja di
Desa Loha, Waka, dan Compang. Di Kecamatan Boleng SANKITA
bekerja di Desa Golo Ketak, Desa Mbuit, dan Sepang. Selain itu,
SANKITA juga bekerja di wilayah Labuan Bajo.

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh SANKITA


adalah memberi pelayanan kepada penyandang disabilitas yang
membutuhkan pelayanan terapi. Berdasarkan dari, SANKITA
telah memberikan pelayanan terapi kepada 136 (seratus tiga
puluh enam) orang yang membutuhkan pelayanan terapi.

Tabel 7.1: Desa-Desa Sasaran Pelayanan SANKITA


Jenis Kelamin
Nama Desa Total
L P
Golo Ketak 3 5 8
Mbuit 14 24 38
Sepang 7 14 21

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~113~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Jenis Kelamin
Nama Desa Total
L P
Golo Lujang 2 3 5
Loha 1 3 4
Compang 18 16 34
Waka 1 1 2
Labuan Bajo 3 3 6
Rekas 3 2 5
Golo Desat 3 3 6
Cunca Lolos 1 1 2
Dusun Kaca 3 0 3
Dusun Tenda 1 1 2
60 76 136

Kaitan dengan rehabilitasi, SANKITA bersama staf


kesehatan menyediakan layanan fisioterapi, khususnya
fisioterapi fisik kepada penyandang disabilitas di desa-desa
sasaran. Umumnya, masyarakat di desa sasaran menganggap
pelayanan fisiofisioterapi sebagai sesuatu yang baru. Awalnya,
mereka belum mengenal apa dan bagaimana pelayanan fisio
fisioterapi. Berdasarkan data SANKITA, hampir semua
penyandang disabilitas belum mendapatkan pelayanan
fisioterapi sebelum SANKITA bekerja di desa tersebut.

Apabila sebuah keluarga menghadapi anggota


keluarganya mengalami masalah pada gerak fisik, langkah
pertama yang mereka lakukan adalah meminta pelayanan di
dukun kampung. Dukun kampung memberikan pelayanan,
seperti pijat, ramuan obat-obatan tadisional, serta melakukan
upacara-upacara korban adat (membuat sesajian bakar berupa
ayam). Misalnya,

~114~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

orang yang mengalami patah tulang, maka tempat pertama


yang mereka kunjungi untuk mendapatkan pelayanan adalah
dukun kampung. Pelayanan yang diberikan oleh dukun kampung
kepada orang yang patah tulang adalah mengurut tulang yang
patah, membuat ramuan tradisional dari minyak-minyak kayu
dan obat-obatan.

Pelayanan fisioterapi dilakukan pada fasilitas kesehatan,


seperti puskesmas, puskesmas pembantu, ataupun polindes
yang ada di desa. Selain fasilitas kesehatan, SANKITA juga
melakukan pelayanan fisioterapi melalui kunjungan langsung ke
rumah penyandang disabilitas. Saat memberikan pelayanan
fisioterapi, fisioterapis menyampaikan kepada klien agar
bersama anggota keluarganya. Peran dari anggota keluarga
pada saat memberikan pelayanan fisioterapi sangat penting
untuk menindak lanjut gerakan-gerakan yang direkomendasikan
oleh fisioterapis bisa dilakukan sendiri di rumah.

Untuk menunjang keberlanjutan pelayanan fisioterapi,


SANKITA memberi pelatihan fisioterapi sederhana kepada salah
satu anggota keluarga penyandang disabilitas ketika tenaga
fisioterapis tidak ada di desa. Anggota keluarga inilah yang
akan melanjutkan pemberian pelayanan fisioterapi sederhana
setiap hari. Anggota keluarga yang sangat baik untuk mengikuti
pelatihan ini adalah istri atau ibu dari penyandang disabilitas.

Pelayanan fisiofisioterapi oleh fisioterapis tetap bekerja


sama dengan staf kesehatan. Saat pelayanan fisioterapi di
Puskesmas Rekas, fisioterapis bekerja sama dengan staf
kesehatan Puskesmas Rekas. Puskesmas Rekas memiliki dokter
umum. Anggota masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan
fisioterapi di Puskesmas Rekas harus melalui loket umum,

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~115~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

kemudian dilanjutkan pemeriksaan di dokter umum; lalu dirujuk


ke fisioterapis. Setelah mendapatkan klien dari dokter umum,
fisioterapis melakukan pemeriksaan fisio fisioterapi, seperti
tanya tentang keluhannya dan mengukur tekanan darah. Setelah
pemeriksaan, fisioterapis akan memberikan penanganan sesuai
keluhan pasien.

SANKITA memiliki satu orang fisioterapis berlatar belakang


Pendidikan Sarjana (S1) dan 2 fisioterapis berpendidikan Diploma
(D3). Ketiga fisioterapis ini bekerja bersama dalam memberikan
pelayanan fisioterapi di desa. Target kerja fisio fisioterapi adalah
untuk mengembalikan fungsi gerak bagi mereka yang
mengalami gangguan fungsi gerak. Latihan-latihan fisioterapi
yang diberikan, yakni latihan meningkatkan kekuatan otot,
mencegah terjadinya perubahan sendi, menjaga keseimbangan,
kontrol otot, mencegah kontraktur, meningkatkan lingkup gerak
sendi (therapist fisik). Agar pelayanan fisioterapi memberikan
hasil lebih baik, maka masih dibutuhkan tenaga fisioterapi
okupasi dan fisioterapi wicara. Namun, fisioterapis okupasi
dan wicara ini belum ada di SANKITA maupun di tempat-tempat
pelayanan kesehatan.

7.2.1 Kader Rehabilitasi


SANKITA membentuk kelompok kader rehabilitasi untuk
mendukung pelayanan fisioterapi di desa sasaran. Kader
rehabilitasi ini adalah orang yang diberi pelatihan khusus tentang
teknik pelayanan fisioterapi sederhana oleh fisioterapi SANKITA.
Setiap desa memiliki 5 (lima) orang kader rehabilitasi. Kader
rehabilitasi ini tidak dipilih oleh SANKITA, melainkan orang-
orang yang memiliki niat dan mau bekerja secara sukarela. Untuk

~116~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

mendapatkan kader rehabilitasi, SANKITA membuka pertemuan


terbuka kepada semua orang di desa. Saat pertemuan, SANKITA
menjelaskan kepada peserta pertemuan tentang cara kerja
kader rehabilitasi dan hubungannya dengan program RBM.

Tugas kader rehabilitasi, yakni bekerja secara sukarela


melakukan pencatatan data penyandang disabilitas di desa,
menyebarkan informasi pelayanan kepada penyandang
disabilitas seperti operasi, rujukan sekolah bagi anak-anak
disabilitas, memberikan pelayanan fisioterapi, dan terlibat dalam
posyandu.

Pertemuan seleksi kader difasilitasi oleh pemerintah desa


yang melibatkan masyarakat umum, penyandang disabilitas dan
keluarganya, serta aparat desa. Tidak ada kriteria khusus untuk
menjadi kader rehabilitasi. SANKITA hanya menjelaskan tentang
tugas dan peran kader rehabilitasi, kemudian ditawarkan kepada
peserta pertemuan yang mau mencalonkan diri menjadi kader.
Umumnya, kader rehabilitasi setiap desa berasal dari keluarga
penyandang disabilitas sendiri dan kader posyandu di desa. Ada
juga kader rehabilitasi yang datang dari masyarakat umum
karena memiliki rasa kepedulian terhadap penyandang
disabilitas. Mereka rela menjadi kader rehabilitasi.

7.2.2 Pelatihan Fisioterapi Kepada Kader Rehabilitasi


Untuk menunjang peran kader rehabilitasi, SANKITA
melakukan kegiatan pelatihan fisioterapi kepada kader
rehabilitasi. Sejak tahun 2014, SANKITA telah melakukan
pelatihan fisioterapi, yakni di Pusat Rehabilitasi St. Damian
Cancar, di Desa Golo Desat, dan di Desa Golo Desat.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~117~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Jenis pelatihan yang diberikan adalah cara fisioterapi


menangani stroke dan fisioterapi keseimbangan. Fisioterapi
ini langsung dilaksanakan di desa sasaran. Untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan fisioterapi para kader
rehabilitasi, SANKITA mengirim para kader rehabilitasi ke Pusat
Rehabilitasi St. Damian Cancar untuk mendapatkan pelatihan
fisioterapi dan pengenalan alat-alat fisioterapi. Pelatihan ini
diselenggarakan dalam waktu tiga hari yang diikuti oleh 9
(sembilan) orang kader rehabilitasi (Watu Galang 3 orang, Golo
Desat 3 orang, dan Cunca Lolos 3 orang). Dalam pelatihan, kader
rehabilitasi belajar dan mendapatkan pengetahuan tentang
teknik dasar fisioterapi, pengenalan tentang pengenalan
kecacatan, gangguan, kerusakan, pelajaran fisioterapi, dan
pengenalan alat-alat sederhana fisioterapi.

SANKITA telah melakukan pelatihan fisioterapi kepada 15


kader rehabilitasi. Jenis materi pelatihan, yakni fisioterapi gerak,
fisioterapi stroke, dan cara mengatasi masalah keseimbangan.
Hasilnya, 15 kader rehabilitasi di 3 desa memahami teknik
fisioterapi dasar. Kader Desa Watu Galang sudah merujuk dua
kasus, yakni pasien menutup telinga ke Yayasan Bali Smiles
dan pasien kaki bengkok ke Pusat Rehabilitasi kasus St Damian
Cancar.

7.3 Hambatan-hambatan dalam memberikan


pelayanan fisioterapi
Dalam menjalankan pelayanan fisioterapi, beberapa
hambatan dan tantangan yang terjadi sebagai berikut:

~118~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

1. Tidak ada pendamping

Gambar 7.1; latihan terapi kepada kader rehabilitasi

Saat pelayanan fisioterapi, kehadiran pendamping dari


salah satu anggota keluarga sangat penting, karena
merekalah yang akan melanjutkan fisioterapi di rumah. Kalau
tidak ada pendamping, sulit bagi fisioterapis untuk memberi
pelatihan karena tidak ada yang akan melanjutkannya di
rumah.

2. Sedang sakit
Penyandang disabilitas yang dalam keadaan sakit pada
saat kunjungan tidak dapat diberikan pelayanan fisioterapi.
Pelayanan fisioterapi akan diberikan setelah penyandang
disabilitas sembuh dari sakitnya.

3. Ada yang menolak


Ada juga penyandang disabilitas yang tidak mau
menerima pelayanan fisioterapi. Hal ini juga merupakan suatu
masalah. Saat-saat tertentu, ada penyandang disabilitas
yang tiba-tiba menolak mendapatkan pelayanan fisioterapi.
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~119~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Untuk mereka yang menolak, fisioterapis tidak memaksa,


tetapi fisioterapis memberikan nasehat dan mengajak untuk
mendapatkan pelayanan fisioterapi.

4. Pergi ke kebun karena ada kegiatan lain


Bagi penyandang disabilitas yang masih beraktivitas,
pelayananfisioterapitidakdapatdiberikankarenamerekapergi
kebun yang letaknya jauh dari kampung. Untuk mengatasi
hal tersebut, fisioterapis biasanya memberitahukan
kunjungan terlebih dahulu melalui pemerintah desa atau staf
kesehatan di desa. Selain itu, penyandang yang
membutuhkan fisioterapi ikut dalam kegiatan atau acara-
acara adat, sehingga tidak dapat mendapatkan pelayanan
fisioterapi. Biasanya orang Manggarai banyak acara-acara
adat yang harus dilaksanakan.

5. Lingkungan tempat tinggal yang tidak aksesable


Salah satu faktor yang menghambat adalah lingkungan
yang tidak aksesable. Misalnya, tempat mengambil air
minum yang sulit dijangkau, jalan yang berbukit-bukit.
Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas sulit untuk
bermobilisasi dari satu tempat ke tempat lain.

6. Keluarga berharap adanya penyembuhan atau kembali ke


keadaan normal
Ada pula keluarga yang berharap begitu besar, agar
anggota keluarganya yang disabilitas kembali normal seperti
orang pada umumnya. Harapan besar seperti ini membuat
mereka tidak mau menerima fisioterapi tetapi meminta
fisioterapis pelayanan yang cepat, seperti obat-obatan.

~120~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

7. Tidak tersedianya tenaga fisioterapis okupasi dan wicara


Faktor lain adalah kurang tersedianya fisioterapis
okupasi dan wicara. Fisioterapi okupasi berperan agar anak
bisa menggunakan atau memakai alat makan, bisa
memegang permainan, mampu mendengar musik, reaksi
terhadap suara, mampu memakai baju sendiri, bisa mandi
sendiri, bisa ke toilet sendiri, dapat bermain dengan teman-
teman. Bahwa pekerjaan-pekerjaan ini sangat efektif kalau
dilakukan oleh therapist okupasi. Fisioterapi wicara untuk
menjaga agar bisa berbicara, bisa makan tanpa
menumpahkan makanan, dapat mengontrol air liur, ekspresi
wajah, dan dapat mengeja dengan benar.

7.4 Testimony Pelayanan Fisioterapi


Untuk mendapatkan cerita sukses pelayanan fisioterapi,
berikut diceritakan pengalaman beberapa pasien yang sudah
mendapatkan hasil yang baik dari pelayanan fisioterapi.

Kisah Ignas Nelson


Ignasius Nelson mengalami stroke (kelumpuhan badan
sebelah kanan) sejak tahun 2017. Ia berusia 45 tahun, beragama
katolik, tinggal di Desa Watu Galang, dan merupakan seorang
kepala keluarga yang bekerja sebagai petani. Istri dari Bapak
Ignasius merupakan salah satu kader rehabilitasi di Desa Watu
Galang. Kondisi lingkungan rumah Bapak Ignasius berada tepat
di pinggir jalan umum dengan kondisi tanah miring bebatuan.
Jarak dari jalan ke rumah kurang lebih 30 meter. Bagian samping
rumah ke belakang berada pada kemiringan dan di tepinya
jurang tanpa

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~121~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

adanya pagar pengaman. Posisi toilet dan kamar mandi berada


di belakang rumah.

Untuk pergi ke kamar mandi, Ignas harus melewati


samping rumah dengan kondisi tanah jurang dan bebatuan.
Ketika stroke, Ignasius mengalami kesulitan ke luar rumah dan
kebun, serta sulit pergi ke toilet. Hal ini lebih lagi ketika musim
hujan karena jalan licin yang menyebabkan penyandang berisiko
jatuh atau tepeleset. Ignasius memiliki beberapa kebun dengan
jarak terjauh kurang lebih tiga kilometer dengan geografi tanah
berbukit. Kondisi kebun yang jauh dan jalan yang berbukti sulit
bagi Ignasius untuk bekerja lagi di kebun.

Selain petani, Ignasius juga memelihara ternak sapi yang


memaksanya setiap hari harus mencari rumput dan memberi
makan serta minum sapi di kebun orang atau milik sendiri.
Setelah mengalami stroke, dia tidak bisa bekerja lagi dan hanya
tinggal diam di rumah, tidak bisa makan dan minum, memakai
pakaian, mandi, ke toilet, tidak bisa pergi berdoa di gereja,
dan tidak bisa berkunjung ke tetangga sekitar. Karena kondisi
Ignasius seperti ini, maka istri Igansius menggantikan posisinya
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Istri Ignasius bekerja di
kebun, berjualan barang-barang kebutuhan pokok dan juga hasil
kebun. Selain bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, istri
Ignasius selalu menyediakan waktu juga untuk memberi makan,
minum, memandikan Ignasius, mengganti pakaian, dan memberi
obat.

Ketika istri bekerja, klien dibantu oleh anak laki-laki


sepulang sekolah. Awal tahun 2019 SANKITA berkunjung ke
rumah klien di Watu Galang. Kunjungan pertama tepat 12
februari 2019. Empat staff lapangan SANKITA bertemu Ignasius
dan istrinya, serta tetangga yang ikut hadir. SANKITA

~122~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
memperkenalkan diri kepada

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~123~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

klien dan anggota keluarga, serta tetangga yang hadir di rumah


klien. Ignasius mengalami stroke atau kelumpuhan sebelah
badan bagian kanan. Hal ini menyebabkan klien kesulitan
berbicara dengan jelas, menggerakkan dan menggunakan
tangan dan kaki bagian kanan.

Pemberian layanan fisioterapi kepada Ignasius secara


bertahap sesuai kemampuan klien. Latihan fisioterapi fokus
untuk memperbaiki posisi kepala, leher, bahu, siku, tangan,
pinggang, paha, lutut, dan kaki. Pemberian latihan dilakukan
secara manual tanpa menggunakan alat fisioterapi. Fisioterapis
meminta Ignasius melakukan gerakan secara aktif, dengan
bantuan fisioterapis akan menambahkan gerak sendi yang
bermasalah untuk meningkatkan kekuatan otot penggerak,
mencegah terjadinya pengecilan otot, dan perubahan bentuk
sendi jika dibiarkan terlalu lama.

Pemberian layanan fisioterapi dilakukan sampai klien


mampu melakukan gerakan secara mandiri atau menggunakan
alat bantu. Pemberian layanan fisioterapi selalu didampingi istri
Ignasius sehingga fisioterapis selesai memberi pelayan
fisioterapi, maka istrinya akan membantu memberikan pelatihan
sederhana di rumah setiap harinya.

Hasil latihan fisioterapi yang diberikan, Ignasius mengalami


banyak perubahan. Bulan Juni tahun 2019, Ignasius sudah
kembali bekerja secara mandiri, walaupun masih mengalami
kesulitan berbicara dan mudah lelah saat bekerja menggunakan
tangan. Begitu pula ketika berjalan jauh kakinya gemetar dan
ketika malam ia kesulitan tidur karena nyeri pada bahu dan kaki
kanan. Ketika Ignasius mengalami nyeri, maka pemberian
layanan fisioterapi dibantu dengan menggunakan alat, yaitu
pemberian

~124~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

fisioterapi menggunakan sinar infra red dengan tujuan untuk


melancarkan sirkulasi darah dan mengurangi nyeri. Selain infra
red, diberikan juga fisioterapi latihan yang sering dilakukan
untuk mengoptimalkan fungsi anggota gerak. Selain fisioterapi
di rumah, Ignasius juga sering ke Puskesmas Rekas saat jadwal
fisioterapi.

Tomas Tani
Bapak Tomas Tani (70 tahun) mengalami bell’s palsy
(kelumpuhan otot wajah sebelah kanan) sejak tahun 2016 ketika
merasakan adanya denyutan di pipi dan mata. Karena tidak
nyaman dia pergi berobat ke RS. Santu Rafael Cancar pada tahun
2017. Hasilnya Bapak Thomas didiagnosa mengalami keseleo
saraf mata dan harus mengunjungi dokter ahli saraf. Tahun 2018
ada program kunjungan dokter saraf di RSUD Ben Mboi Ruteng.
Setelah diperiksa dokter mata, klien mendapatkan resep obat
untuk dibelikan sendiri di apotek. Namun, klien mencari obat
rekomendasi dokter di setiap apotek tidak ada yang menjualnya.
Klien pun tidak mencari obat itu sehingga membiarkan sakitnya
hingga sekarang.

Saat klien datang menerima pelayanan fisioterapi di


Polindes Golo Desat, wajahnya terlihat miring ke kiri dan kelopak
mata kiri terlihat membuka sangat sedikit, bibir klien miring ke
kiri. Suhu badannya normal, tetapi terdapat kekakuan pada otot
wajah (Muscle Masseter). Tes Gerak Dasar dari Klien mampu
mengangkat alis mata tapi tidak maksimal, saat senyum terlihat
tidak simetris, klien mampu menggerakkan cuping hidung.
Tes kemampuan Fungsional dan Aktivitas, yaitu klien mampu
melakukan aktivitas seperti biasa tetapi sering malu saat
bermain bersama teman-temannya karena penampilan
wajahnya.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~125~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Setelah mendapatkan semua hasil pengukuran, klien


diberi pelayanan fisioterapi dengan menggunakan TENS,
yaitu alat fisioterapi menggunakan daya listrik dengan cara
ditempelkan elektroda pada otot besar. Tujuannya mengurangi
nyeri dan merangsang saraf serta meningkatkan gerak otot.
Penggunaannya dengan cara memberikan sinar infared yang
di berikan langsung pada lokasi yang sakit dengan tujuan
melancarkan peredaran darah dan memberikan rileksasi otot.
Pijit ringan di sekitar otot-otot muka untuk merilekskan dan
melancarakan peredaran darah, serta mestimulus saraf. Setelah
pemberian fisioterapi, juga memberikan nasehat kepada klien
untuk terus melakukan Mirror Exercise, tidak sering keluar pada
malam hari. Saat mandi pagi atau malam hari hindarkan mencuci
kepala dengan air dingin serta membiasakan diri memakai topi
yang menutup hingga kedua telinga untuk mencegah semakin
lama sembuh dan mengurangi kelumpuhan lebih banyak pada
otot wajah.

Maria Adelheit
Ibu Maria Adelheit berusia 61 tahun, bekerja sebagai
petani. Ibu Adelheit mengalami bells palsy sejak tahun 1990.
Awalnya, dia merasakan sakit kepala. Anak-anaknya memijat
kepalanya dengan cara ditekan pada bagian belakang telinga.
Saat bangun pagi hari berikutnya, wajahnya terasa miring ke kiri.
Saat makan dan minum, semua makanan dan minuman bocor
karena tidak mampu mengunyah dengan baik dan bibir tidak
tertutup rapat. Ibu Maria sering berobat di desa dengan
pengobatan tradisional tetapi tidak ada perubahan.

Saat fisioterapis berkunjung ke desa, mereka bertemu Ibu


Maria. Berdasarkan hasil pengamatan, posisi wajahnya yang

~126~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

terlihat miring ke kiri dan kelopak mata kiri terlihat terbuka


sangat sedikit. Bibir miring ke kiri. Tes gerak dasar, mampu
mengangkat alis mata tapi tidak maksimal, saat senyum terlihat
tidak simetris, dan mampu menggerakkan cuping hidung. Tes
gerakan isometrik melawan tahanan, mampu melawan tahanan
tetapi tidak maksimal. Tes kemampuan fungsional dan aktivitas,
Ibu Maria masih mampu melakukan aktivitas seperti biasa.

Setelah mendapatkan semua hasil pengukuran, fisioterapis


memberi pelayanan fisioterapi dengan menggunakan TENS,
yaitu alat fisioterapi menggunakan daya listrik dengan cara
ditempelkan elektroda di otot besar. Tujuannya mengurangi
nyeri dan merangsang saraf serta meningkatkan gerak otot
serta penggunaan dengan cara memberikan sinar infared
yang di berikan langsung pada lokasi yang sakit dengan tujuan
melancarkan peredaran darah dan memberikan rileksasi otot.
Pijit ringan disekitar otot-otot muka untuk merileksasikan dan
melancarakan peredaran darah serta mestimulus saraf. Setelah
pemberian fisioterapi menggunakan alat fisioterapi juga
memberi nasehat kepada klien disarankan untuk terus
melakukan Mirror Exercise, tidak sering keluar pada malam hari,
saat mandi pagi atau malam hari hindarkan mencuci kepala
dengan air dingin, serta membiasakan diri memakai topi yang
menutup hingga kedua telinga.

Ibu Rosalia Delimun


Rosalia Delimun, berusia 38 tahun, mengalami stroke sejak
tahun 2005. Saat pertama kali mengalami stroke, ibu Rosalia
pergi berobat di Puskesmas Pongkor. Setelah mendapatkan

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~127~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

perawatan dari Puskesmas Pongkor, ibu Rosalia tidak lagi ke


Puskesmas Pongkor karena letaknya jauh dari rumahnya. Untuk
mendapatkan perawatan, ibu Rosalia sering ke tukang pijit. Saat
fisioterapis bekerja di Desa Golo Desat, bertemu dengan ibu
Rosalia di Polindes Golo Desat.

Fisioterapis melakukan tes gerak dasar. Berdasarkan tes


ditemukan bahwa ibu Rosalia tidak mampu mengangkat bahu,
meluruskan tangan dan menggenggam. Kemampuan fungsional
dan aktivitas, ibu Rosalia tidak mampu melakukan aktivitas
seperti biasa. Kemudian fisioterapis memberikan layanan
fisioterapi dengan menggunakan alat fisioterapi TENS. Tujuannya
mengurangi nyeri dan merangsang saraf, serta meningkatkan
gerak otot. Setelah itu, pemberian IR dengan cara memberikan
sinar infared yang diberikan langsung pada lokasi yang sakit
dengan tujuan melancarkan peredaran darah dan memberikan
rileksasi otot.

Pijit ringan di sekitar otot-otot muka untuk merikleskan


dan melancarakan peredaran darah serta mestimulus saraf,
fisioterapi latihan dengan melawan tahanan untuk
meningkatkan kemampuan gerak otot. Setelah intervensi, klien
diberikan nasehat untuk terus melakukan latihan sendiri di
rumah. Jika klien hanya berdiam diri tanpa berusaha
menggerakkan bagian tubuh yang sudah mengalami
pemendekan otot dalam waktu yang sangat lama, maka
dianjurkan untuk menggerakkan bagian yang lemah dengan
bantuan bagian yang sehat. Klien diminta untuk menjaga
kebersihan diri serta mandiri sehingga terpacu untuk sembuh
dan bisa mengalami peningkatan gerak.

~128~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

7.5 Rekomendasi praktik baik pelayanan


fisioterapi
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mempraktikan
pelayanan fisioterapi di desa sasaran yang jauh dari tempat
pelayanan kesehatan yang menyediakan fasilitas yang memadai,
antara lain:

1. Membangun kerja sama dengan tempat pelayanan kesehatan


yang ada di sekitar masyarakat termasuk kader posyandu
Pelayanan fisioterapi oleh fisioterapis tidak dapat
dilakukan sendiri-sendiri atau terpisah dari fasilitas
kesehatan. Pelayanan fisioterapi merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan yang membutuhkan mekanisme
rujukan pelayanan kesehatan.

2. Menyediakan fisioterapis yang sudah mendapatkan izin praktek


Fisioterapis adalah staf kesehatan. Berdasarkan
Undang- undang tentang Tenaga kesehatan, fisioterapis
merupakan salah satu anggota kesehatan. Dengan demikian,
mereka harus tunduk pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada bidang kesehatan. Untuk dapat
menjalankan tugas pelayanan fisioterapi, fisioterapis harus
memiliki STR (Surat Tanda Register) profesi dan dalam
menjalankannya harus berkoordinasi dengan fasilitas
kesehatan.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~129~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 8
Pembuatan Alat Bantu dari
Bahan Lokal

8.1 Pengantar
Salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi
penyandang disabilitas adalah ketersediaan alat bantu
fisioterapi. Pelayanan fisioterapi tidak hanya diberikan melalui
latihan gerak secara manual. Namun, ada pula latihan
fisioterapi yang diharuskan dengan menggunakan alat-alat bantu
fisioterapi. Namun, alat-alat bantu fisioterapi tidak ada di desa.
Fisioterapis pun mengalami keterbatasan untuk mengadakan
alat bantu fisioterapi.

Bagi penyandang disabilitas di desa, alat bantu fisioterapi


merupakan barang mahal sehingga tidak terjangkau oleh
masyarakat. Informasi tempat pengadaan alat bantu fisioterapi
juga sangat sulit. Untuk mengatasi kesulitan yang ada,
fisioterapis SANKITA membuat alternatif dengan mengadakan
alat bantu fisioterapi sederhana yang dapat dibuat dengan
bahan-bahan lokal. Alat bantu fisioterapi yang disediakan oleh
fisioterapis adalah pembuatan kayu palang paralel dan standing
frame.

~130~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

8.2 Pembuatan alat bantu dari bahan lokal


8.2.1 Pembuatan alat bantu fisioterapi standing
frame

Gambar 8.1; pembuatan standing frame.

Untuk membuat standing frame seperti beberapa gambar


di samping. Hal-hal yang harus dilakukan, yakni membuat
gambar, menganalisis kebutuhan, dan mengukur tinggi badan
anak yang menggunakannya dengan alat bantu yang akan
dibuat.

Fisioterapis mengukur badan anak terlebih dahulu. Alat-


alat yang dibutuhkan untuk menggunakan standing frame ini
adalah;

1. Papan.
2. Kayu.
3. paku
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~131~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
4. binen dari mobil bekas.

~132~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Gambar 8.2; pemanfaatan standing frame

Untuk membuat alat bantu fisioterapi standing frame,


harus melibatkan tukang yang di kampung atau di sekitar
lingkungan tempat tinggal penyandang disabilitas. Pembuatan
alat bantu ini pun tidak membutuhkan biaya. Bahan-bahannya
dapat diperoleh dari tetangga. Jika orang tua anak yang
membutuhkan alat bantu tidak memiliki bahan, fisioterapis
meminta kepada orang tua untuk mengundang tetangga dan
mendiskusikan tentang pengadaan bahan yang dibutuhkan.
Berdasarkan pengalaman SANKITA, tetangga-tetangga datang
membawa bahan dan membantu mengerjakannya secara
bersama-sama. Fungsi standing frame adalah membantu
mensejajarkan posisi tulang belakang serta membantu pijakan
kaki rata pada anak yang berjalan jinjit. Tujuannya, untuk
menguatkan otot tungkai bawah, mencegah perubahan bentuk
sendi tungkai bawah yang akhirnya dapat menjaga postur
tumbuh kembangan anak. Standing frame ini digunakan khusus
untuk tulang belakang dan tumit.
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~133~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

8.2.2 Meja berdiri (standing table).

Gambar 8.3; pemanfaatan standing table.

Standing table ini khusus digunakan untuk anak yang sama


sekali belum mempunyai kekuatan tubuh untuk berdiri. Dengan
bantuan standing table anak akan dilatih menggunakan kekuatan
otot perut, paha, dan tungkai bawah dengan cara berdiri di meja
dan menggunakan kekuatan tangan bertumpu di atas meja.

Gambar 8.4; contoh standing table untuk Rendy

~134~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Standing table juga dapat digunakan untuk meletakkan


mainan atau alat makan yang dapat merangsang motorik halus
tangan anak. Penggunaan standing table ini harus hati-hati. Pada
saat menggunakan standing table, anak akan dimasukkan ke
dalam kotak meja, yang bagian belakangnya ditutupi. Orang tua
atau pendamping tidak boleh sesekali membuka tutupan bagian
belakang tanpa memegang anak, karena hal ini membuat anak
akan jatuh ke belakang. Letakan standing table pada permukaan
yang rata dan jauhkan dari lokasi yang berbahaya, seperti dekat
tebing/jurang, tungku api, kolam air, dan isntalasi listrik rumah
yang membahayakan anak saat menggunakan standing table.

8.2.3 Kayu palang parallel.

Gambar 8.5; pembuatan kayu palang paralell.

Fungsinya untuk melatih berjalan dan menjaga


keseimbangan berjalan. Untuk pembuatan kayu palang paralel,
SANKITA menggunakan dua buah kayu cabang dan dua buah

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~135~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

bambu. Semua bahan-bahan itu ada di sekitar kampung. Kalau


penyandang disabilitas tidak memiliki bambu, ia dapat meminta
bantuan dari keluarga lain tanpa harus membayar. Ini juga
merupakan salah satu bentuk kontribusi dari tetangga atau
keluarga lain untuk mendukung si penyandang disabilitas.

Gambar 8.6; kayu palang paralel.

Dalam pembuatannya, SANKITA hanya memberikan


arahan kepada si penyandang disabilitas dan keluarganya. Yang
membuat adalah keluarga dan tetangganya. Dalam proses
pembuatan alat bantu kayu palang paralel, SANKITA
menekankan agar yang terlibat tidak saja keluarga dari
penyandang disabilitas tetapi juga tetangga terdekat. Tujuannya
supaya tetangga terdekat melatih dirinya untuk terlibat dalam
urusan penyandang disabilitas di sekitarnya. SANKITA juga
mendorong untuk menggunakan bahan lokal supaya kalau
bahan-bahan itu rusak, penyandang disabilitas dan keluarganya
bisa menggantikannya dengan yang baru dan dibuat oleh
mereka sendiri; tidak harus membeli dari luar. Mereka tidak
harus bergantung pada SANKITA atau bergantung pada uang
untuk membeli bahan-bahan yang jauh dari tempat tinggal
mereka. Alat bantu lain yang sering dibuat oleh SANKITA adalah
karet binen dari ban. Karet binen ini bisa dipasang di kayu balok
~136~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

rumah. Tujuannya untuk melatih kekuatan otot dari penyandang


disabilitas yang memiliki kekakuan otot atau lemah otot tangan.
Cara membuat alat bantu kayu palang paralel;

1. Ukur tinggi pinggang badan orang yang akan menggunakan


kayu palang paralel.
2. Gali empat buah lubang di tanah dengan ukuran sesuai
besarnya kayu tiang yang digunakan. Gali lubang dengan ke
dalaman 30 cm (tiga puluh centi meter).
3. Cari kayu tiang yang benar-benar kokoh/kuat.
4. Setelah lubang digali, empat buah tiang itu ditancapkan di
atas lubang. Tinggi tiang kayu itu disesuaikan dengan tinggi
pinggang orang yang akan menggunakan.
5. Lebar antara sisi satu dengan yang lain disesuaikan dengan
lebar bahu.
6. Setelah empat tiang ditancapkan, kemudian dipasang kayu
palang pada masing-masing sisi.
7. Pastikan permukaan tanah rata dan tidak boleh ada batu atau
benda-benda tajam yang menimbulkan luka.

8.2.4 Kursi adaptif


Alat ini disebut dengan kursi adaptive karena dibuat dari
kursi kayu yang disesuaikan dengan fungsinya. Tim Lapangan
memodifikasi kursi ini sebagai alat terapi. Fungsinya untuk
membantu, khususnya anak-anak yang mengalami
keterlambatan perkembangan berdiri. Alat ini membantu anak
melatih berdiri. Pada saat anak hendak berlatih berdiri dengan
alat ini, orang tua atau keluarga mengikat kain di sekitar bokong
atau pinggul si anak kemudian diikat di kursi, seperti gambar di
bawah ini. Untuk menarik anak dan bertahan lama, di atas kursi
diletakan alat-alat bermain.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~137~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Gambar 8.7; kursi adaptive

Gambar 8.8; pemanfaatan kursi adaptive.

~138~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat kursi


adaptif, antara lain:

1. Kursi kayu yang kuat. Tidak boleh kursi kayu yang rusak atau
reot.
2. Siapkan kain atau sejenisnya yang aman digunakan untuk
anak dan dapat diikat di kursi.
Cara membuatnya;
1. Kursi yang digunakan diikat di salah satu tiang yang ada
dalam rumah untuk memperkuat kedudukan kursi.
2. Perhatikan permukaan tanah di sekitar kursi dan di tempat
berdirinya anak dalam kondisi yang rata dan tidak boleh ada
batu atau benda-benda keras.
3. Bagian depan kursi ditempelkan bantalan yang lembut untuk
melindungi perut anak dari bahan yang kasar.

Saat hendak membantu anak berdiri, letakan kain di


punggung anak tersebut dan ujung kain diikatkan pada dua sisi
kursi (seperti gambar di bawah ini).

8.2.5 Pengadaan kursi roda adaptif


SANKITA juga menyediakan alat bantu kursi rodan adaptif.
Kursi roda adaptif adalah jenis kursi roda yang dimodifikasi
sedemikan rupa sesuai dengan fisik serta fungsi yang dibutuhkan
oleh pengguna kursi roda. Untuk pengadaan kursi roda ini, hal
yang sangat penting dilakukan pertama kali adalah melakukan
assement agar dapat mengetahui kursi roda itu sungguh
dibutuhkan atau tidak agar kursi roda itu dapat memberi
manfaat langsung kepada pemakai.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~139~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Satu sisi, penggunaan kursi roda yang tidak tepat, tidak


akan memberi manfaat, dan sia-sia bahkan membuat orang
bergantung pada kursi roda. Kursi roda dapat saja membuat
orang malas beraktivitas. Tidak melakukan gerak atau aktivitas
hari-harinya. Hal ini bukannya membantu tetapi malah
menambah keadaan menjadi buruk. Jika SANKITA menyediakan
kursi roda kepada penyandang disabilitas benar-benar harus
berdasarkan kebutuhan bukan keinginan.

Kriteria-kriteria penyandang disabilitas yang membutuhka


kursi roda adalah penyandang disabilitas yang mengalami
kelumpuhan total, yang hanya dapat berbaring. Penyandang
disabilitas yang masih dapat melakukan aktivitas tetapi
mengalami hambatan untuk duduk atau berdiri. Kepada
penyandang disabilitas yang masih dapat melakukan aktivitas
penggunaan kursi roda terbatas. Kursi roda hanya digunakan
untuk membantu duduk. Tidak boleh menggunakan kursi roda
sepanjang waktu karena akan membuat pengguna tidak
bergerak.

Tujuan dan kegunaan kursi roda adalah agar klien atau


pengguna kursi roda bisa menjadi mandiri dalam akses di dalam
maupun diluar rumah. Akses di luar rumah seperti bertamu ke
tetangga, bermain dengan teman-teman sebayanya dan ke
tempat-tempat umum contoh (rumah ibadah, pasar, sekolah,
tempat kerja, dll).

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk memodifikasi


kursi roda adalah:

~140~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Gambar 8.9; pengukuran kursi roda adaptive.

Assesment pengukuran kursi roda. Assesment pengukuran


pengguna kursi roda sangat penting untuk mencegah terjadinya
resiko pada pengguna kursi roda. Kursi roda yang lebih besar
dari pengguna atau tidak sesuai dengan pengguna, akan
beresiko pada terjadinya skoliosis, lordosis, dll. Pengukuran kursi
roda dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi fisik
pengguna. Proses pengukuran kursi roda:

1. Lebar kursi (ukur dari samping kanan hip ke samping kiri hip
atau bagian terluar kanan dan kiri)
2. Panjang kursi (ukur dari belakang pelvic ke belakang knee)
3. Tungkai bawah (ukur dari lipatan belakang knee ke
permukaan bawah kaki)
4. Tinggi sandaran belakang akan tergantung pada
keseimbangan trunk pengguna, juga dengan tingkat
keaktifannya.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~141~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Modifikasi kursi roda


Kursi roda yang dijual di apotek, sering kali tidak sesuai
dengan kondisi fisik calon pengguna. Karena itu, perlu
dimodifikasi sesuai ukuran dan kebutuhan calon pengguna lebih
kusus bagi anak-anak. Sedangkan kalau klien yang dewasa tidak
perlu dimodifikasi. Untuk melakukan modofikasi, SANKITA
bekerja dengan pihak Pusat Rehabilitasi St. Damian Cancar yang
memiliki bengkel modifikasi. Setelah melakukan pengukuran,
SANKITA membeli kursi roda biasa di apotek, kemudian dimodif
di Pusat Rehabilitasi St. Damian Cancar, kurang lebih
membutuhkan waktu satu minggu. Setelah dimodifikasi,
kemudian diserahkan kepada pengguna kursi roda.

Pelatihan klien dan keluarga tentang cara menggunakan kursi


roda

Sebelum pengguna menggunakan kursi roda, langkah


yang harus dilakukan pertama kali adalah melatih pengguna
tentang cara menggunakan kursi roda. Kursi roda adalah alat
bantu yang memiliki roda. Karena itu, penggunaannya harus
benar-benar memahami cara menggunakannya karena kalau
tidak paham akan menimbulkan risiko yang besar. Artinya bahwa
pengguna dan anggota keluarga di dalam rumah yang bersama-
sama dengan pengguna kursi roda perlu mendapat pemahaman
tentang penggunaan kursi roda. Pelatihan bagi pengguna dan
anggota keluarganya, yaitu bagaimana cara pengguna atau klien
untuk transfer ke kursi roda atau dudukan dan mendorong kursi
roda yang baik. Berikut ini beberapa hal yang dilatih:

1. Kunci rem sebelum transfer


2. Buka sabuk dada ke samping

~142~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

3. Angkat dan fleksikan hip


4. Letakan pelvic ke belakang dari dudukan, angkat dan dorong
pelvic sampai sandaran
5. Pasang sabuk dada jika diperlukan dan posisikan tungkai dari
kaki
6. Mendorong kursi roda naik dan turun tangga: miringkan kursi
roda dahulu ke belakang untuk anak tangga besar dan
banyak (posisi kaki stabil), ke depan untuk anak tangga kecil

Isu-isu kenyamanan yang disampaikan kepada orang tua


atau keluarga sebelum klien menggunakan kursi roda: Gunakan
sabuk dada, pengunci roda/rem, klien diawasi setiap saat jika
tidak mandiri. Gambar berikut menunjukkan beberapa pelatihan
sederhana yang dilakukan oleh pengguna dan keluarga:

Di bawah ini, contoh kursi roda sebelum dan sesudah


modifikasi.

Gambar 8.10; kursi roda biasa

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~143~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Gambar 8.11; kursi roda yang sudah dimodif.

Tanggapan Keluarga Pasien Terhadap Bantuan Kursi Roda

Kami dari keluarga klien pengguna kursi roda (Herman


Pampung, tinggal di Cecer-Desa Liang Ndara), mengucapkan
terima kasih kepada SANKITA secara khusus para donator
Sticting Kita-Juga (Netherland) yang memiliki kepedulian
terhadap penyandang disabilitas. Dengan adanya kursi roda ini
kami sekeluarga sangat terbantu dan lebih mudah dalam
merawat ayah dan ibu kami, sehingga mulai sekarang mereka
tidak hanya bisa berbaring di tempat tidur tetapi bisa juga
berjalan di luar rumah (khususnya ketika buang air kecil dan
buang air besar), ke kamar mandi, bertamu ketetangga,
kesekolah melalui bantuan kursi roda.

~144~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

8.3 Perubahan setelah mendapatkan alat bantu


berbahan lokal maupun kursi roda
Penyandang disabilitas yang mendapatkan bantuan
pengadaan alat bantu sangat senang. Mereka dapat
menggunakan alat-alat bantu tersebut untuk memperbaiki
kondisi disabilitas mereka. Misalnya, anak Rendy di Desa Cunca
Lolos, sangat senang karena dengan standing table, ia sudah
mampu berdiri saat ini.

Mamanya Rendy melatih anaknya bediri di standing frame


setiap hari. Hasil dari latihan tersebut, Rendy perlahan-lahan
otot-otot kakinya terangsang, hingga akhirnya mampu berdiri.
Perkembangan besar Rendy saat ini adalah ia sudah mampu
berdiri lama dan tubuhnya bertambah tinggi. Padahal sebelum
ada intervensi, Rendy hanya dapat berbaring di ranjang.

8.4 Replikasi pengadaan alat bantu dari bahan


lokal
Untuk membuat alat bantu dari bahan lokal, hal-hal yang
harus diperhatikan, antara lain:

* Libatkan fisioterapis. Peran fisioterapis sangat penting


untuk mengetahui bentuk alat bantu yang dibutuhkan
oleh penyandang disabilitas. Fisioterapis yang mengetahui
hambatan-hambatan gerak seorang penyandang disabilitas.
* Libatkan tukang desa. Untuk pembuatan alat bantu yang
bahannya ada di sekitar desa, untuk bekerja sama dengan
tukang desa. Tukang desa mengetahui cara membuat alat-
alat tersebut.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~145~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 9
Membangun Kemandirian
Ekonomi Bagi Penyandang
Disabilitas

9.1 Pengantar
Kemiskinan dan disabilitas adalah dua lingkaran yang
saling memberi pengaruh. Kemiskinan dapat menyebabkan
orang menjadi disabilitas dan disabilitas dapat menyebabkan
orang menjadi miskin. Orang yang hidup dalam kemiskinan
sering mengalami kelaparan, kurang gizi, sulit mengakses
tempat- tempat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan
pemeriksaan terhadap gejala-gejala awal yang mengganggu
kesehatannya dan mendapatkan pemeriksaan rutin. Orang
miskin juga sering bekerja pada tempat-tempat yang berbahaya
atau berisiko terhadap keselamatan kerjanya. Semua kondisi
tersebut menyebabkan orang miskin mempunyai peluang yang
sangat besar untuk menjadi disabled.

Penyandang disabilitas yang terjerat dalam kemiskinan


akan menghadapi berbagai tantangan untuk menjamin
kehidupan dan berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat.
Masyarakat memandang penyandang disabilitas tidak memiliki
kemampuan untuk bekerja, sehingga tidak perlu mendapatkan
pendidikan dan keterampilan kerja. Dalam lingkup keluarga,
penyandang

~146~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

disabilitas tidak mempunyai hak yang sama dengan anggota


keluarga lain yang non-disabilitas untuk mendaptkan warisan
harta kekayaan dari keluarga.

Sisi lain, penyandang disabilitas memiliki kebutuhan hidup


yang lebih banyak dari orang yang non-disabled. Misalnya,
seseorang yang mengalami hambatan dalam mobilitas, orang
tersebut membutuhkan kursi roda khusus, rancangan rumah
yang cocok dengan kemampuan fisiknya, perawatan kesehatan
khusus untuk kondisi disabilitasnya termasuk pemeriksaan
kesehatan secara umum.

Data dari beberapa penyandang disabilitas di desa sasaran


menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami disabilitas pada
usia-usia produktif, menyebabkan berkurangnya penghasilan
dalam keluarga yang mengakibatkan upaya pemenuhan
kebutuhan mereka menjadi sulit. Bahkan, ada beberapa
kebutuhan hidup yang tidak dipenuhi.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh penyandang


disabilitas di desa adalah masyarakat tidak percaya dengan
kemampuan yang mereka miliki. Penyandang disabilitas
dianggap remeh. Penyandang disabilitas sulit untuk meminjam
uang kepada anggota masyarakat yang lain karena adanya
pandangan penyandang disabilitas tidak mampu membayar
kembali pinjman. Dalam pendampingan, SANKITA menemukan
ada penyandang disabilitas tidak dapat bergabung dalam
koperasi atau lembaga keuangan lain yang ada di desa karena
pengurus menolak kehadirannya. Masih banyak pengurus
koperasi beranggapan penyandang disabilitas dapat
menghambat perkembangan koperasi atau lembaga keuangan
lainnya.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~147~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Untuk mengatasi masalah mata pencaharian atau


penghidupan ini, SANKITA mengambil langkah-langkah
mendorong penyandang disabilitas dan keluarganya di desa
membentuk UBSP yang anggotanya penyandang disabilitas dan
keluarganya serta masyarakat pada umumnya.

9.2 Usaha-usaha yang dilakukan untuk


mendukung ekonomi penyandang disabilitas
di desa sasaran.
Untuk memperkuat kondisi ekonomi penyandang
disabilitas di desa sasaran, SANKITA melakukan beberapa
kegiatan, antara lain pembentukan UBSP, pendampingan,
pelatihan pengolahan makanan pangan lokal, usaha ternak babi,
dan pelatihan managemen kelompok UBSP.

9.2.1 Pembentukan UBSP


Tujuan dibentuknya UBSP ini adalah agar penyandang
disabilitas dan keluarganya memiliki lembaga keuangan sendiri.
Mereka dapat meminjam uang untuk membantu memenuhi
kebutuhan hidupnya dan mendukung usaha ekonomi. Selain
untuk tujuan keuangan, UBSP juga bertujuan sebagai tempat
bagi penyandang disabilitas dan keluarganya saling berbagi
pengalaman, saling mendukung dan saling menguatkan satu
dengan yang lain.

Nilai yang mendasari pembentukan kelompok UBSP


adalah perasaan “senasip dan sepenanggungan” di antara
sesama penyandang disabilitas. SANKITA percaya bahwa dengan
adanya suatu kelompok yang didasari perasaan senasip dan

~148~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

sepenanggungan, maka akan tercipta ikatan yang kuat antar


anggota dalam kelompok tersebut. Bukan hanya itu, kelompok
yang adalah kumpulan individu bisa menjadi sebuah komunitas
yang saling berbagi dan mengembangkan diri.

Komunitas ini sama dengan yang disampaikan Soenarni


(2002) bahwa komunitas adalah sebuah struktur interaksi sosial
yang terdiri dari berbagai dimensi fungsional yang ditandai
dengan adanya hubungan timbal balik dan saling
menguntungkan. SANKITA memfasilitasi pembentukan UBSP
agar sesama penyandang disabilitas dan keluarganya dapat
melakukan hubungan timbal balik yang positif dan
menguntungkan. Khusus untuk penyandang disabilitas yang
masih usia anak-anak, keberadaan mereka di dalam UBSP
diwakilkan oleh orang tua masing-masing. Pembentukan UBSP di
desa sasaran dilakukan dalam beberapa proses, yaitu
pembentukan dan pendampingan UBSP, dan tahap
pengembangan usaha.

Dalam menginisiasi pembentukan UBSP, SANKITA bekerja


sama dengan pemerintah desa sasaran mengadakan pertemuan
di kantor desa khusus membahas tentang UBSP. Pertemuan
tersebut dihadiri oleh penyandang disabilitas, keluarganya,
pemerintah desa dan anggota masyarakat lainnya. Dalam
pertemuan tersebut, SANKITA menjelaskan tentang manfaat
dan pentingnya UBSP. Kemudian, pemerintah desa membuka
ruang diskusi kepada peserta untuk mendapatkan kesepakatan
terbentuknya UBSP. Pengurus-pengurus dipilih oleh semua
anggota dengan sistem suara terbanyak. Pembentukan UBSP
ini juga sekaligus membentuk badan pengurus. Semua UBSP
memiliki struktur pengurus yang ramping dengan posisi inti
ketua, skretaris dan bendahara, sebagai pengurus inti UBSP.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~149~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Sampai tahun 2017, SANKITA telah mendorong


terbentuknya dua Kelompok UBSP di dua desa sasaran, yakni
Desa Golo Desat dan Watu Galang. Masing-masing UBSP
memiliki pengurus UBSP. Kelembagaan UBSP dan pengurusnya
diserahkan kepada kepala desa untuk diketahui oleh pemerintah
desa setempat. Kegiatan utama yang dilakukan dalam UBSP
adalah simpan pinjam. Untuk memulai simpan pinjam, SANKITA
memfasilitasi pertemuan bersama pengurus dan anggota untuk
mensepakati besarnya simpanan pokok, simpanan wajib dan
simpanan sukarela. Juga membentuk aturan-aturan yang
berkiatan dengan besarnya pinjaman, jangka waktu pinjaman,
bunga pinjaman, dan denda. Setelah semua disepakati, kegiatan
simpan pinjam mulai dilaksanakan. Selain usaha simpan pinjam,
ada juga UBSP yang membuat kegiatan arisan. Pertemuan UBSP
dilakukan sekali dalam setiap bulan. Di dalam pertemuan
tersebut, pengurus dan anggota bersama-sama membahas
tentang uang masuk, besarnya pinjaman dan lamanya pinjaman
yang diangsur oleh anggota.

Dengan terbentuknya UBSP di setiap desa sasaran, hal


ini juga sangat membantu pelaksanaan program SANKITA.
Misalnya, SANKITA tidak perlu datang ke desa untuk membawa
surat tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di desa.
Dengan adanya UBSP dan pengurusnya, seluruh kegiatan di desa
dikoordinasikan dengan pengurus UBSP. SANKITA tidak perlu
mengeluarkan waktu datang berkali-kali ke desa untuk
membahas pertemuan. Hal ini juga sangat membantu untuk
mengkordinir penyandang disabilitas dan keluarganya untuk
mengikuti pertemuan di desa. Sebelum ada UBSP, penyandang
disabilitas dan keluarganya diundang dari rumah ke rumah untuk
mengikuti kegiatan atau pertemuan. Kehadiran UBSP sangat
membantu

~150~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

menyebarkan informasi terkait rapat bulanan, kegiatan-kegiatan


lain yang berkaitan dengan penyandang disabilitas di desa.

Kehadiran UBSP membawa dampak dalam mengurangi


stigma atau stereotip atau pelabelan negatif kepada
penyandang disabilitas. Dengan adanya UBSP, masyarakat pada
umumnya dan lingkungan di sekitarnya, mulai memahami dan
menyadari bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang
memiliki kemampuan yang sama dengan masyarakat pada
umumnya; mampu membayar pinjaman, mampu menghasilkan
uang dan bekerja. Juga menunjukkan bahwa penyandang
disabilitas mampu membentuk wadah organisasi, menjalankan
organisasi, termasuk administrasi dan pembukuan,
membangun kerja sama dengan pemerintah desa, membangun
kerja sama dengan pihak lain yang ada di desa bahkan bekerja
dengan pemerintah kabupaten.

9.2.2 Pelatihan Pembukuan Managemen


Agar UBSP dapat bertumbuh dan berkembang dengan
baik, salah satu modal utamanya adalah pengurus memiliki
kemampuan yang cukup dalam mengelola managemen
kelompok dan keuangan dengan baik. Oleh karena itu, maka
pengurus UBSP harus mempunyai kemampuan manajemen
dan kemampuan pengelolaan keuangan yang baik. SANKITA
membekali pengurus UBSP (yang terdiri dari Ketua, Sekretaris,
dan Bendahara) dari desa sasaran melalui pelatihan manajemen
dan pelatihan pembukuan sederhana.

Setiap UBSP mendapatkan pelatihan manajemen dan


pelatihan pembukuan. Pelatihan dilakukan dalam dua tahap.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~151~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Tahap pertama, pelatihan pembukuan diberikan untuk


merapikan pencatatan transaksi uang keluar dan uang masuk di
masing- masing kelompok UBSP. Materi pelatihannya adalah
pencatatan di format buku kas, buku anggota, daftar uang
masuk (DUM), dan daftar uang keluar (DUK). Pada tahap awal,
pelatihan hanya fokus mengisi tiga format pencatatan keuangan
UBSP. Seiring berjalannya waktu, kelompok UBSP di tiga desa
sasaran pun harus menghadapi banyak dinamika dalam
kelompok, sehingga pencatatan keuangan pun harus
menyesuaikan dinamika yang ada. Bentuk penyesuaian
tersebut diantaranya adalah memunculkan akun-akun baru yang
dicatat dalam pembukuan.

Setelah beberapa bulan dari pelatihan pertama, SANKITA


memfasilitasi pelatihan kedua yaitu pelatihan pembukuan tahap
kedua kepada pengurus UBSP. Pelatihan kedua ini ini diberikan
oleh Staf SANKITA yang sudah mendapatkan pelatihan
keuangan khusus UBSP. Pada pelatihan tahap kedua ini,
pengurus UBSP belajar tentang akun- akun baru yang bisa
ditambahkan dalam format pencatatan keuangan. Akun-akun
yang ditambahkan tersebut antara lain berkaitan langsung
dengan peraturan dan SOP di masing- masing kelompok UBSP.

Pengurus UBSP diberi pelatihan membuat beberapa


format pembukuan, yakni adalah buku kas, daftar uang masuk
(DUM), dan daftar uang keluar (DUK), serta pengenalan akun-
akun baru beserta cara memberi penomoran akun.

Dalam pelatihan tahap kedua, diperkenalkan juga format


pembukuan alternativ untuk membantu pengurus, seperti;
kartu simpanan dan kartu pinjaman. Format ini dipresentasikan
sebagai materi pelatihan berdasarkan keluhan dari pengurus
yang menemukan bahwa anggota tidak selalu membawa buku

~152~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

anggota pada saat pertemuan rutin ataupun buku anggota


rusak atau hilang, sehingga pengurus kesulitan untuk melihat
keadaan keuangan masing- masing anggota. Oleh karena itu,
kartu simpanan dan pinjaman yang akan dipegang oleh pengurus
akan menjadi alternativ untuk mengatasi masalah tersebut.
Kartu simpanan dan pinjaman tidak harus dibuat dalam sebuah
kelompok UBSP. Format pembukuan tersebut merupakan suatu
pilihan untuk mempermudah pengurus.

Format pembukuan lanjutan, yaitu neraca percobaan dan


neraca rugi laba. Fungsi dari neraca percobaan adalah untuk
mengetahui jumlah saldo masing- masing akun, seperti; kas,
piutang, bunga, dll. Sementara fungsi dari neraca rugi laba
adalah untuk mengetahui jumlah keuntungan/ kerugian
kelompok.

Dalam pelatihan tersebut, peserta mendapatkan


penjelasan contoh soal transaksi keuangan dalam koperasi.
Peserta langsung mengisi format-format pembukuan yang sudah
disediakan. Dengan cara ini peserta lebih mudah memahami apa
yang diajarkan dalam pelatihan. Target dari pelatihan ini adalah
pengurus UBSP mampu mempraktekkan tugas mereka sebagai
pengurus UBSP. Setelah pelatihan, pengurus masing-masing
UBSP menggunakan alat pembukuan antara lain: buku kas
(Optional), daftar uang masuk/ DUM (Wajib), daftar uang keluar/
DUK (wajib), buku anggota (wajib), kartu simpanan/ pinjaman
(Optional), neraca percobaan (Wajib), neraca rugi laba (Wajib).

Pelatihan-pelatihan yang sudah diberikan sangat


membantu pengurus UBSP di desa sasaran untuk mengelola
keuangan di masing- masing kelompok. Format- format
pembukuan yang sudah diajarkan, dipraktekkan dan diisi dengan
baik oleh pengurus di masing- masing kelompok. Format-format
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~153~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

keuangan

~154~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

yang ada juga sangat membantu pengurus membuat pelaporan


keuangan kepada anggota dan pemerintah desa.
Untuk mengukur kemampuan pengelolaan keuangan
pengurus UBSP dapat dilihat dalam rapat akhir tahunan (RAT).
Di dalam RAT itu, pengurus akan memberi laporan yang
berkaitan dengan kondisi keuangan UBSP, sekaligus membagi
sisa hasil usaha (SHU) kepada anggotanya. Pengurus UBSP yang
memahami mekanisme keuangan, tidak mengalami kesulitan
dalam membuat laporan akhir tahun kepada anggota UBSP.
Sedangkan yang belum, biasanya mengalami kesulitan
mengadakan evaluasi akhir tahun. Untuk mengatasi pengurus-
pengurus UBSP yang belum paham, SANKITA melakukan
pendampingan, membantu pengurus menyiapkan laporan
keuangan akhir tahun.

Sebagai lembaga pendamping, SANKITA merasa


bertanggung jawab untuk memberikan pembekalan terhadap
kelompok- kelompok UBSP agar mereka mampu mandiri
menyelenggarakan RAT. Pembekalan itu dilaksanakan dalam
bentuk pelatihan. Untuk itu masing-masing UBSP, SANKITA
memberi pelatihan tentang membagi SHU, menghitung besaran
Deviden dan Balas Jasa Pinjaman (BJP) bagi anggota. Besaran
SHU yang diterima anggota akan berbeda satu dengan yang lain
sesuai besarnya kontribusi anggota terhadap modal. Sampai
dengan saat ini semua UBSP sudah melakukan RATnya.

9.2.3 Pendampingan UBSP


Pendampingan pada masing-masing kelompok UBSP
menjadi kunci utama keberhasilan SANKITA pada bidang
ekonomi. Pendampingan rutin yang diadakan sekurang-
kurangnya satu bulan sekali di masing-masing kelompok.
SANKITA terlibat langsung pada kegiatan di masing- masing

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~155~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
kelompok, untuk

~156~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

membantu pengurus UBSP dalam hal pembukuan juga


membantu pengurus dan anggota menyelesaikan masalah yang
ada dalam UBSP.

Gambar 9.1; pelatihan pembuatan kripik pisang di UBSP

Strategi yang dilakukan oleh SANKITA adalah belajar secara


mandiri, dimana setiap kelompok UBSP diberi kebebasan untuk
mengatur sendiri aturan kelompoknya. SANKITA hanya bertugas
mengarahkan pengurus dan anggota kelompok menemukan solusi
terhadap masalah yang dihadapi dalam kelompok. SANKITA juga
mendorong UBSP membuat aturan kelompok secara tertulis seperti
aturan simpan pinjam dan SOP kelompok. Membuat aturan dan
SOP tertulis dalam kelompok UBSP merupakan tantangan
tersendiri bagi SANKITA dan juga kelompok UBSP karena
berdasarkan pengalaman di lapangan, peraturan simpan pinjam dan
SOP tertulis itu sendiri selalu mengalami perubahan sesuai dengan
dinamika yang ada. Meskipun demikian, SANKITA memandang
bahwa itu adalah hal yang baik bagi perkembangan kelompok.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~157~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Pendampingan rutin juga erat kaitannya dengan


pembukuan. Tanpa adanya pendampingan, pelatihan
pembukuan yang sudah diberikan kurang efektif atau bahkan
sia-sia. Pelatihan pembukuan hanyalah pengenalan terhadap
manajemen keuangan dalam kelompok, sementara
pendampingan adalah proses yang sesungguhnya. Dalam
pendampingan rutin, staf SANKITA membantu pengurus
kelompok UBSP mengisi format- format pembukuan dengan
benar. Staf SANKITA selalu siap menjawab pertanyaan dari
pengurus, sementara pengurus kelompok sendiri yang
mengisikan pada format- format pembukuan sebagai proses
belajar.

Dalam pendampingan, SANKITA juga belajar mengenal


masing- masing kelompok UBSP, pengurus dan anggotanya.
Pendampingan yang dilakukan secara rutin bukan hanya
membantu perkembangan kelompok UBSP, tetapi juga sudah
menumbuhkan empati dan keterikatan secara emosional
antara kelompok-kelompok UBSP dengan SANKITA. Hal ini
menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak. Rasa
percaya dibutuhkan demi kelancaran membangun hubungan
dan pelaksanaan program di desa sasaran.

9.2.4 Pengembangan Usaha UBSP


SANKITA melihat semangat yang memacu pengurus
dan anggota kelompok di masing- masing UBSP untuk
mengembangkan usaha simpan pinjam sangat tinggi. Semangat
itu timbul karena UBSP yang dibangun bersama oleh SANKITA,
penyandang disabilitas, dan keluarganya memberi manfaat.
Seorang anggota kelompok menjelaskan bahwa dia mampu
memenuhi kebutuhan mendadak seperti kebutuhan anak

~158~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
sekolah

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~159~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

lewat pinjaman dari kelompok UBSP. Yang lain menjelaskan


menjawab bahwa dengan adanya kelompok UBSP yang
mengadakan pertemuan rutin, mereka merasa terhibur setelah
penat dengan rutinitas sehari-hari, sambil berdiskusi dalam
kelompok, sambil saling berbagi cerita. Bahkan ada juga yang
menggunakan pinjaman dari kelompok UBSP untuk menambah
modal usaha kecil. Misalnya seorang istri dari penyandang
disabilitas di desa Watu Galang menggunakan uang pinjaman
dari kelompok UBSP untuk modal membeli benang usaha kain
tenun. Dari semula ia hanya mapu memproduksi 2 lembar kain
dalam sebulan, setelah mendapatkan pinjaman, ia mampu
memproduksi 4 lembar kain dalam satu bulan. Juga seorang ibu
dari desa Golo Desat yang semula hanya berjualan sayur, setelah
mendapat pinjaman dari UBSP kini ia mampu berjualan sayur dan
ikan kering.

Untuk mencapai keinginan mengembangkan UBSP, pada


tahun 2016, khusus untuk tiga desa sasaran; Watu Galang,
Golo Desat dan Cuna Lolos, SANKITA mengarahkan kelompok-
kelompok UBSPnya untuk menerima anggota baru non disabled.
Tujuan dari membuka keanggotaan ini adalah pertama untuk
menambah modal di koperasi, karena prinsipnya semakin banyak
anggota, modal semakin banyak sehingga semakin banyak
jumlah uang yang dapat dipinjam oleh anggota. Tujuan kedua
adalah untuk membawa inklusivitas kelompok. Kelompok UBSP
tidak hanya beranggotakan penyandang disabilitas dan
keluarganya tetapi mencakup anggota masyarakat umum. Sikap
membuka diri merupakan suatu proses yang sangat baik bagi
pembelajaran bersama. Penyandang disabilitas dan keluarganya
dapat saling bertukar cerita, pengalaman dengan anggota
masyarakat yang non disabled. Begitupun sebaliknya.
Sehingga, tercipta suatu

~160~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

sikap saling menghargai dan terlibat bersama dalam mengambil


langkah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
penyandang disabilitas dan keluarganya. Pengembangan melalui
penambahan anggota merupakan langkah awal yang didorong
oleh SANKITA sambil memperkuat managemen keorganisasian.

Saat ini, UBSP di Golo Desat dan Watu Galang sedang


diminati oleh anggota masyarakat lain untuk bergabung. Pada
awal tahun 2017, ada 4 orang anggota baru bergabung dalam
kelompok UBSP desa Golo Desat. Mereka bergabung setelah
penyelenggaraan RAT di tahun 2016. Alasan mereka bergabung
adalah karena mereka bersimpatik kepada Kelompok UBSP desa
Golo Desat yang mempunyai sistem pelaporan keuangan yang
terbuka kepada semua anggotanya, timbulnya rasa percaya
kepada kelompok UBSP Bantu Diri desa Golo Desat karena
sudah menyelenggarakan RAT dengan pembagian SHU, dan
akses keuangan yang mudah dengan system kekeluargaan
menjadikan kelompok UBSP Bantu diri desa Golo Desat sebagai
pilihan bagi mereka untuk bergabung.

Pada tahun ketiga, bentuk pengembangan kelompok-


kelompok UBSP digali lebih lagi oleh SANKITA. Saat kelompok-
kelompok UBSP sudah mempunyai manajemen yang baik,
SANKITA membangun diskusi dengan seluruh anggota UBSP
setiap desa untuk merencanakan pengembangan usaha dalam
UBSP.

Awal upaya pengembangan, SANKITA fokus di dua


kelompok UBSP desa Golo Desat dan Watu Galang karena
kedua kelompok UBSP ini sudah dianggap mantap dalam hal
manajemen kelompoknya. Bentuk pengembangannya adalah
dengan membuka usaha kelompok. Bentuk pengembangan

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~161~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

ini bertujuan sebagai berikut; (1) Kelompok mampu secara


mandiri menambah modal UBSP sehingga diharapkan suatu saat
kelompok akan mempunyai kemampuan financial yang kuat. (2)
Mengembangkan potensi yang ada di desa, potensi anggota
kelompok, dan dukungan SANKITA. (3) Mengurangi perilaku
konsumtif. (4) Sebagai sumber penghasilan alternative bagi
anggota kelompok UBSP.

Untuk mengembangkan usaha, SANKITA mendorong


anggota UBSP untuk membuka usahanya dengan
memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di desa. Misalnya,
di desa Golo Desat dan Watu Galang tersedia hasil umbi-umbian
dan buah- buahan seperti keladi, talas dan pisang. SANKITA
mendorong dua kelompok UBSP di dua desa tersebut untuk
memproduksi pangan dengan bahan baku keladi/talas menjadi
olahan industri rumah tangga (IRT) yang dapat dijual di pasar-
pasar tradisional yang ada di sekitar desa.

Untuk mendukung pengembangan program


pengembangan IRT pangan di dua desa tersebut; Watu Galang
dan Golo Desat, SANKITA membangun kerja sama dengan
berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi dan Badan Pemberdayaan
Perempuan Kabupaten Manggarai Barat.

9.2.5 Pelatihan Penyuluhan Kemanan Pangan


Salah satu persyaratan yang penting dalam memulai usaha
rumah tangga adalah sertifikat PIRT yang dikeluarkan oleh Dinas
Kesehatan Manggarai Barat. Untuk mendapatkan sertifikat PIRT
ini, peserta harus mengikuti kegiatan Penyuluhan Keamanan

~162~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Pangan (PKP) yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan


Kabupaten Manggarai Barat. SANKITA mengirim anggota
kelompok UBSP dari Watu Galang (2 orang) dan Golo Desat (2
orang) mengikuti penyuluhan tersebut. Berkat kerjasama yang
baik antara Dinas Kesehatan dan SANKITA, maka empat orang
perwakilan dari kelompok UBSP desa Golo Desat dan Watu
Galang, serta satu staf SANKITA mendapatkan kuota sebagai
peserta Penyuluhan Keamanan Pangan yang diselenggarakan di
Aula Dinas Kesehatan Manggarai Barat pada tanggal 29- 30 Mei
2017.

Gambar 9.2; kelompok usaha ekonomi ibu-ibu.

Materi yang didapat pada PKP tersebut adalah tentang


mengolah produk makanan yang sehat, bersih, dan layak jual.
Dalam PKP dilaksanakan pre-test dan post- test sebagai bahan
evaluasi penguasaan materi oleh peserta. Hasil post- test yang
akan menentukan apakah peserta layak atau tidak mendapatkan

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~163~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

sertifikat PKP. Peserta yang hasil post-testnya mencapai angka


6,00 keatas berhak mendapatkan sertifikat PKP sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan sertifikat PIRT yang dikeluarkan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten setempat. Dalam PKP tersebut
semua perwakilan dari kelompok dampingan Watu Galang
dan Golo Desat dinyatakan lulus pada post- test dan layak
mendapatkan sertifikat PKP.

Untuk menindak lanjuti kegiatan PKP oleh Dinas Kesehatan


Manggarai Barat, SANKITA mengadakan pelatihan pengolahan
pangan lokal, yaitu keladi/ talas menjadi keripik talas dan donat
talas di kelompok UBSP desa Golo Desat dan pelatihan
pengolahan pisang, menjadi keripik pisang dan brownies kukus
pisang coklat di kelompok UBSP desa Watu Galang. Pelatihan
dilakukan di masing- masing kelompok UBSP di dua desa
tersebut.Pelatihan tersebut difasilitasi oleh seorang ibu yang
sudah ahli mengolah keripik dan sudah berkecimpung di bisnis
pangan di daerah Labuan Bajo dan sekitarnya. Pelatihan
pengolahan pangan lokal ini diselenggarakan dengan mengikuti
ketentuan dan standart pengolahan pangan bersih, sehat, dan
layak jual yang diperoleh pada penyuluhan Keamanan Pangan
(PKP).

Dalam pelatihan pembuatan produk pangan lokal,


SANKITA menekankan pada standar yang sudah ditentukan
mulai dari perlindungan pembuatnya sampai dengan kualitas
produk. Untuk perlindungan bagi pembuatnya, SANKITA
menekankan kepada seluruh peserta harus menggunakan
penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Sedangkan aspek
lingkungan, faktor yang diperhatikan adalah kebersihan tempat
dan peralatan yang digunakan. Hal itu penting dilakukan agar
anggota kelompok terbiasa bekerja dengan standar yang
berkualitas.
~164~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Pelatihan pengolahan pangan lokal ini disambut baik oleh


pengurus dan anggota kelompok UBSP, terutama ibu- ibu yang
ada dalam kelompok. Hasil dari pelatihan ini adalah anggota
kelompok di 2 UBSP telah mampu untuk mengolah produk
pangan yang berbahan baku keladi/ talas dan pisang yang
mudah didapati di sekitar mereka.

Pengolahan pangan dilakukan dengan harapan akan


menambah nilai ekonomis dari bahan pangan lokal tersebut,
karena sebelumnya kebanyakan anggota kelompok UBSP hanya
menjual bahan mentah di pasar, ditambah lagi daya tahan dan
masa simpan bahan mentah yang singkat. Dengan mengolah
keladi/ talas menjadi keripik akan meningkatkan daya tahan dan
masa simpan.

Mengolah keladi/ talas dan pisang menjadi produk pangan


juga membantu dalam proses pengangkutan, apabila
sebelumnya anggota kelompok harus memikul keladi/ talas
mentah dan pisang mentah ke pasar, belum lagi apabila
dagangan tersebut tidak laku, mereka harus memikulnya
kembali saat pulang. Dengan mengolah menjadi produk pangan
siap santap proses pengangkutan menjadi lebih ringan dan
mudah.

Untuk sementara, produk yang akan diajukan untuk


memperoleh sertifikat P-IRT dari Dinkes Manggarai Barat adalah
keripik keladi/ talas oleh Kelompok UBSP desa Golo Desat dan
keripik pisang oleh kelompok UBSP desa Watu Galang.
Sedangkan donat talas akan dipasarkan oleh kelompok UBSP
desa Golo Desat menjadi produk makanan lokal di Puar Lolo
(Tempat tujuan wisata alam di desa Golo Desat). Brownies kukus
pisang coklat rencananya akan dipasarkanoleh UBSP desa Watu
Galang di pasar Rekas dan Pasar Werang. Kedua pasar tersebut
biasanya menjadi tempat berjualan bagi masyarakat desa Watu
Galang.
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~165~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

9.2.6 Pendropingan Ternak Babi


Untuk mendukung alternativ ekonomi kepada penyandang
disabilitas, SANKITA memberi bantuan bibit babi kepada
penyandang disabilitas sebanyak 90 (sembilan puluh ekor) yang
menyebar di Desa Wae Bangka, Wae Mowol, Munting, Lendong
dan Watu Rambung.Bantuan bibit ternak babi ini dilakukan
secara kelompok.Satu kelompok satu ekor babi dan jumlah
anggota kelompok sebanyak 4-5 orang. Tujuan dari pemberian
bantuan secara kelompok ini adalah untuk merangsang seluruh
anggota kelompok yang semuanya dari penyandang disabilitas
dan keluarganya untuk bekerja bersama dan saling berbagi
satu dengan yang lain. Untuk mengikat anggota kelompok,
SANKITA memfasilitasi pembuatan aturan secara tertulis yang
harus ditaati oleh semua anggota kelompok.Hambatan utama
dalam pemeliharaan ternak babi secara kelompok ini adalah rasa
tanggung jawab anggota kelompok.

9.2.7 Bantuan Modal Usaha


Pemberdayaan ekonomi yang telah dilakukan oleh
SANKITA juga dalam bentuk bantuan modal usaha.Bantuan
modal usaha ini tidak diberikan secara cuma- cuma, melainkan
harus ada hubungan timbal balik.SANKITA memberi bantuan
modal kepada anggota kelompok melalui UBSP.Bantuan yang
diberikan oleh SANKITA dianggap sebagai pinjaman dari
UBSP. Oleh karena itu orang yang menerima bantuan harus
mengembalikan pinjamanya kepada kelompok secara
berangsuran sesuai dengan kemampuannya

~166~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bantuan yang diberikan oleh SANKI TA sifatnya


bukan karitatif tetapi pemberdayaan.Bentuk bantuan yang
diberikan pula langsung berkaitan dengan kebutuhan untuk
mengembangkan usaha, buka untuk konsumsi langsung.
Bantuan yang diberikan misalnya peralatan tukang, peralatan
untuk menunjang usaha pertanian dan tenun yang dijalankan
oleh anggota kelompok tersebut.Pemilihan anggota yang
menerima bantuan pengembangan modal diseleksi langsung
oleh SANKITA dengan kriteria (1) anggota kelompok yang benar-
benar penyandang disabilitas. (2) anggota kelompok yang sudah
menjalankan usaha dan benar- benar menekuni usaha tersebut
sebagai mata pencahariannya. (3) Perekonomian keluarga
bergantung kepadanya. Dari ketiga kriteria tersebut, didapati
satu orang penyandang disabilitas dari desa Cunca Lolos dan
satu orang penyandang disabilitas dari Watu Galang berhak
mendapatkan bantuan modal dari SANKITA.

Penyandang disabilitas dari desa Cunca Lolos yang


mendapatkan bantuan modal tersebut adalah seorang yang
mengalami spinal cord injury yang berprofesi sebagai tukang
kayu.Ia mendapat bantuan modal berupa generator set.
Adanya generator set, bukan hanya memudahkan pekerjaan,
juga meningkatkan produktivitas. Dari Watu Galang , seorang
penyandang disabilitas low vision diberikan bantuan berupa
selang karena usaha yang digelutinya adalah pembibitan
cengkeh. Selang tersebut digunakan untuk mengalirkan air
untuk menyiram bibit- bibit cengkeh.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~167~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

9.3 Hasil program pemberdayaan ekonomi


9.3.1 Meningkatnya jumlah hasil produksi
pengolahan pangan lokal
Meningkatnya jumlah produksi (keripik pisang, penjualan
pisang, keripik keladi dan temulawak) dari usaha produktif
di UBSP Watu Galang dan Golo Desat, minimal 25% dari jumlah
produksi tahun 2017 lalu pada akhir tahun 2019.

Para anggota kelompok yang ada di Desa Golo Desat


dan Watu Galang setelah mendapatkan pelatihan pengolahan
makanan local mereka langsung membuat usaha produksi kripik
pisang. Pada saat pelatihan pembuatan pangan local, anggota
UBSP mendapatkan dua pelatihan yakni pengolahan pembuatan
kripik pisang dan sale pisang. Dari dua pelatihan ini, usaha yang
berkembang adalah pengolahan kripik pisang. Sedangkan sale
pisang masih belum maksimal karena musim yang tidak menentu
karena sale pisang butuh sinar matahari.

Di Desa Watu Galanga da tiga orang ibu anggota kelompok


yaitu Mama Emlia Sidan, Agustina Nona, Maria Evi yang
membuka usaha kripik pisang sampai dengan saat ini. Hasil
usaha kripik pisang ini mereka jual ke Pasar Rekas setiap hari
Rabu setiap minggu. Rata-rata mereka menjual ke Pasar Rekas
setiap minggu per orang itu 25 (dua puluh lima) atau 35 (tiga
puluh lima) bungkus dengan harga Rp. 5.000 (lima ribu rupiah).
Total mereka mampu menjual Rp. 100,000 (seratus ribu rupiah).
Untuk ibu Maria Evi dan Emilia Sidan, pada saat hari Pasar, selain
mereka jual sendiri, mereka juga menitip jualannya pada orang-
orang yang punya lapak jualan.

~168~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Selain mereka menjual ke pasar Rekas, ibu-ibu ini menjual


hasil olahan keripik pisangnya di kios mereka masing-masing.
Ibu Emilia Sidang jual keripik pisang di kiosnya di Kampung dan
membuka usaha kios juga di pinggir jalan raya. Mereka
membuka usaha setiap hari. Rata-rata penghasilan dari keripik
pisang ini mereka dapat memperoleh penghasilan Rp. 500.000
(lima ratus ribu) setiap bulan.

Di Desa Golo Desat, usaha anggota kelompoknya adalah


mengolah temulawan instant. Usaha ini mereka lakukan dua
kali sebulan. Masing-masing anggota sudah mampu membuat
20 (dua puluh bungkus) satu kali produksi dengan harga jual Rp.
20.000/bungkus. Pasar jualan temualwak ini sampai ke Pasar
Labuan Bajo, Lembor, Rekas dan pasar desa setiap hari Minggu.
Rata-rata mereka mampu menjual Rp. 800.000 (delapan ratus
ribu) per bulan.

9.3.2 Meningkatnya modal UBSP.


Peningkatan modal UBSP minimal 40% dari total modal UBSP
pada akhir tahun 2019. UBSP di Golo Desat, modal pada tahun
2019 Rp. 5.800.000. Pada akhir proyek tahun 2020 total modal
adalah Rp. 7.700.000. Peningkatannya mencapai 40%.
Sedangkan UBSP Watu Galang, pada awal proyek 2018, total
modal Rp.
5.000.000. Pada akhir proyek modal mencapai Rp. 7.100.000.
Ada juga penambahan anggota UBSP. Di Desa Golo Desat jumlah
anggotanya bertambah. Sebelumnya anggota hanya 17 orang,
sekarang jumlah 21 orang. Selain itu pengurus UBSP juga
semakin memahami pembukuan usaha UBSP. Sebelumnya
pengurus hanya mencatat pemasukan dan pengeluaran tidak
teratur. Sekarang semua transaksi keuangan sudah
menggunakan system pembukuan.
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~169~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

9.4 Testimony
UBSP yang ada di Desa Watu Galang dan Golo Desat saat
ini sudah mendapatkan dukungan dana dari pemerintahan desa
masing-masing. Pemerintah Desa Golo Desat dan Watu Galang,
UBSP yang didampingi oleh SANKITA yang ada di desa masing-
masing sudah menjadi UBSP desa sehingga mendapatkan
dukungan dana pemberdayaan dari alokasi dana desa.

9.5 Replikasi pemberdayaan ekonomi


penyandang disabilitas
Untuk mengembangkan usaha ekonomi penyandang
disabilitas, Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah
membentuk usaha bersama simpan pinjam atau usaha ekonomi.

Dalam mengembangkan usaha ekonomi penyandang


disabilitas, kebutuhan utama masyarakat di desa adalah tidak
tersedianya lembaga keuangan yang sangat terbatas.
Penyandang disabilitas sangat sulit untuk mendapatkan
dukungan finansial. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka hal
pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan
lembaga keuangan baik itu dalam bentuk UBSP maupun dalam
bentuk koperasi.

Untuk desa-desa yang sudah ada koperasinya, tidak perlu


membuka koperasi baru, tetapi melakukan advokasi supaya
koperasi tersebut dapat menerima penyandang disabilitas
sebagai anggotanya. Sering terjadi di desa, penyandang
disabilitas tidak diterima oleh lembaga-lembaga penyedia dana,
karena masih adanya anggapan, penyandang disabilitas tidak
dapat melakukan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Tugas
utama dalam program
~170~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

RBM adalah membangun kesadaran kepada masyarakat ataupun


lembaga yang ada di desa untuk memberikan respon dan
perilaku yang positif kepada penyandang disabilitas.

Sedangkan kalau di desa itu tidak ada lembaga


keuangannya sama sekali, maka ajaklah penyandang disabilitas
untuk membentuk kelompok usaha ekonomi. Di dalam usaha
ekonomi ini, didiskusikanlah tentang usaha bersama simpan
pinjam, kerja bersama menggali kebun atau membuka usaha
bersama dalam pengolahan bahan makanan local untuk dijual di
desa.

Kedua, perlu melakukan pendampingan yang intensif.


Kadang, kelompok usaha ekonomi yang sudah terbentuk tidak
dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pendampingan
sangatlah penting. Di dalam pendampingan itu, para pengurus
kelompok diberi pelatihan management, pembukuan ataupun
mengembangkan usahanya.

Ketiga perlu melakukan advokasi ke pemerintahan desa.


Kalau penyandang disabilitas sudah membentuk usaha ekonomi
maka sangatlah penting untuk melakukan komunikasi dengan
pemerintahan desa agar usaha ekonomi yang ada dapat masuk
dukungan pemerintahan desa.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~171~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Bab 10
Menyediakan Pelayanan
Pendidikan Inkulif Bagi Anak-
Anak Disabilitas

10.1 Pengantar
Pendidikan merupakan hak dasar semua orang. Semua
warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pendidikan dan negara mempunyai kewajiban
untuk menyelenggarakan sistem pendidikan untuk semua
warga negaranya. Dalam kehidupan bernegara kita, hak
pendidikan merupakan hak konstitusional bagi seluruh warga
negara dan pemerintah diberi kewajiban untuk membiayai dan
menyelenggarakan sistem pendidikan untuk mencerdaskan
kehidupan warga negaranya.Namun dalam pelaksanaannya,
masih banyak warga negara yang belum menikmati pendidikan.
Warga negara yang mendapatkan pendidikan hanyalah orang-
orang yang datang dari keluarga yang nemiliki ekonomi yang
baik, sedangkan warga negara yang miskin sangat sulit
mendapatkan kesempatan pendidikan.

Salah satu komponen warga negara yang sulit


mendapatkan pendidikan adalah para penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas pada umumnya memiliki latar belakang
pendidikan yang sangat rendah, mereka tidak memiliki
peluang untuk

~172~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

bersekolah di sekolah yang ada di sekitar tempat tinggalnya.


Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyandang disabilitas
tidak dapat mengakses layanan pendidikan, antara lain; Orang
tua tidak mau mendaftarkan anaknya di sekolah yang ada di
desanya, karena orang tua berpandangan anak disabilitas tidak
membutuhkan pendidikan. Kalaupun orang tua mendaftarkan
anakya ke sekolah yang ada di sekitar tempat tinggalnya, pihak
sekolah tidak menerima anak disabilitas karena guru tidak
mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk mengajar anak
tersebut. Dapat pula disebabkan karena lingkungan sekolah
tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Sekolah yang
berada di kemiringan atau banyak anak tangga menuju kelas
juga merupakan hambatan bagi anak disabilitas yang polio atau
yang menggunakan kursi roda. Sementara pada sisi lain, orang
tua tidak cukup mempunyai biaya untuk memasukan anaknya
ke sekolah-sekolah khusus, sesuai dengan kebutuhan disabilitas
anak tersebut karena kurangnya biaya.

Hasil kunjungan ke desa-desa sasaran, SANKITA


menemukan masih banyak anak-anak disabilitas yang tidak
dapat mengakses layanan pendidikan. Anak-anak tersebut
tinggal bersama dengan orang tua nya tanpa pengetahuan dan
keterampilan. Anak-anak disabilitas hanya bisa melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang ditentukan oleh orang tua nya. Anak
disabilitas tidak mempunyai kesempatan untuk membuat
keputusan tentang dirinya dan tentang apa yang dilakukannya
ke depan. SANKITA menemukan juga banyak anak-anak
disabilitas yang sudah memberi bantuan atau dukung kepada
keluarganya seperti memelihara ternak, bekerja di kebun atau di
sawah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh anak disabilitas
memberi hasil bagi keluarganya. Namun hal ini tidak membuat
keluarganya menaruh rasa hormat
Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~173~
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

dan memperlakukan anak disabilitas dalam posisi yang equal


atau sejajar dengan anak-anak non disabilitas di dalam
keluarganya.

Tabel 10.1; Data anak disabilitas yang bersekolah


Jumlah Peserta
No Nama Sekolah
Disabilitas
1 SDK Compang 3
2 SDK Puing 22
3 SDK Toe Loha 6
4 SDN Rangga Watu 5
5 SDI Lekaturi 18
6 SDK Roe 5
7 SDK Betong 19
Total 81

Jumlah peserta disabilitas


25

20

15

10

0
SDK SDK Puing SDK Toe SDN SDI SDK Roe SDK
Compang Loha Rangga Lekaturi Betong
Watu
1 2 3 4 5 6 7

Gambar 10.1. Jumlah peserta disabilitas

~174~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Tabel 10.2; jenis disabilitas
Disabilitas Count of Disabilitas
Gangguan prilaku 1
Hiperaktif 1
Jari berdempetan 1
Kerdil 2
Kesulitan belajar & Gizi buruk 2
Lamban belajar 47
Mata Juling 2
Tuna Daksa 1
Tuna Netra 1
Tuna Rungu 3
Tuna Wicara 1
(blank)

Count of Disabilitas
(blank)
Tuna Wicara
Tuna Rungu
Tuna Netra
Tuna Daksa
Mata Juling
Lamban belajar
Kesulitan belajar & Gizi buruk
Kerdil
Jari berdempetan
Hiperaktif
Gangguan prilaku

0 10 20 30 40 50
Gambar 10.2; grafik jenis disabilitas
10.2 Dasar Hukum penyelenggaraan
pendidikan inklusif
Upaya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak
disabilitas adalah dengan menyediakan layanan pendidikan
inklusif. Beberapa aturan sudah mengatur penyelenggaraan
pendidikan inklusif tersebut. Berikut, beberapa aturan baik dari
konvensi internasional sampai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia sendiri.

10.2.1 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On
The Rights Of Persons With Disabilities (UNCRPD/
Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas
Indonesia telah meratifikasi UNCRPD melalui Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pengesahan Convention on The Rights of Persons With
Disabilities (UNCRPD/Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas. Dengan sudag diratifikasinya UNCRPD tersebut,
maka Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengikatkan
dirinya pada UNCRPD yang sudah diratifikasi tersebut. Poin-poin
yang ada dalam UNCRPD berlaku di Indonesia sebagai salah satu
norma hukum yang diakui dan harus dijalankan.

Di dalam UNCRPD, Pasal 7 ayat 1 (satu), 2 (dua) dan 3 (tiga)


UNCRPD menegaskan negara-negara Pihak harus mengambil
semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan
penuh semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental
oleh penyandang disabilitas anak atas dasar kesetaraan
dengan anak lainnya. Dalam semua tindakan yang menyangkut
penyandang disabilitas anak, kepentingan terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan utama. Negara-Negara Pihak
harus menjamin bahwa penyandang disabilitas anak memiliki
hak untuk mengemukakan pandangan mereka secara bebas
pada semua hal yang memengaruhi mereka, pandangan mereka
dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan mereka,
atas dasar kesetaraan dengan anak lainnya, dan disediakan
bantuan disabilitas dan sesuai dengan usia mereka untuk
merealisasikan hak dimaksud.

Hal ini dipertegas dalam Pasal 24 ayat (1) sampai dengan


(3) menegaskan bahwa negara-negara pihak mengakui hak
penyandang disabilitas atas pendidikan. Dalam rangka
memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan
kesempatan yang sama, Negara-Negara Pihak harus menjamin
sistem pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan
dan pembelajaran seumur hidup yang terarah kepada: (a)
Pengembangan seutuhnya potensi diri dan rasa martabat dan
harga diri, serta penguatan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, kebebasan fundamental dan keragaman manusia. (b)
Pengembangan atas kepribadian, bakat dan kreatifitas, serta
kemampuan mental dan fisik dari penyandang disabilitas hingga
mencapai potensi mereka sepenuhnya. (c) (Memungkinkan
penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara efektif di
dalam masyarakat yang bebas.

Dalam memenuhi hak tersebut, Negara-Negara Pihak


harus menjamin bahwa penyandang disabilitas tidak
dikecualikan dari sistem pendidikan umum berdasarkan alasan
disabilitas, dan bahwa penyandang disabilitas anak tidak
dikecualikan
dari pendidikan dasar wajib dan gratis atau dari pendidikan
lanjutan berdasarkan alasan disabilitas. Penyandang disabilitas
dapat mengakses pendidikan dasar dan lanjutan yang inklusif,
berkualitas dan gratis atas dasar kesetaraan dengan yang
lain di dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Penyediaan
akomodasi yang beralasan bagi kebutuhan individual tersebut.
Penyandang disabilitas menerima dukungan yang dibutuhkan, di
dalam sistem pendidikan umum, guna memfasilitasi pendidikan
yang efektif. Sarana pendukung individu yang efektif tersedia
di lingkungan yang dapat memaksimalkan pengembangan
akademis dan sosial, konsisten dengan tujuan untuk penyertaan
penuh.

Ayat (3) menegaskan negara-negara Pihak harus


memungkinkan penyandang disabilitas untuk mempelajari
keahlian hidup dan pengembangan sosial untuk memfasilitasi
partisipasi penuh dan setara dalam pendidikan dan sebagai
anggota masyarakat. Untuk tujuan ini, Negara-Negara Pihak
wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai, termasuk: (a)
Memfasilitasi pembelajaran Braille, tulisan alternatif, bentuk,
sarana dan format komunikasi yang bersifat augmentatif
dan alternatif serta orientasi dan keterampilan mobilitas,
serta memfasilitasi sistem dukungan dan mentoring sesama
penyandang disabilitas. (b) Memfasilitasi pelajaran bahasa
isyarat dan pemajuan identitas linguistik dari komunitas tuna
rungu. (c) Menjamin bahwa pendidikan orang-orang, termasuk
anak-anak, yang tuna netra, tuna rungu atau tuna netra-rungu,
disampaikan dalam bahasa, bentuk dan sarana komunikasi yang
paling sesuai bagi individu dan di dalam lingkungan yang
memaksimalkan pengembangan akademis dan sosial.
Untuk menjamin pemenuhan hak tersebut, negara-negara
pihak harus mengambil kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk
mempekerjakan guru-guru, termasuk guru dengan disabilitas,
yang memiliki kualifikasi dalam bahasa isyarat dan/atau Braille,
dan untuk melatih para profesional dan staf yang bekerja dalam
berbagai tingkatan pendidikan. Pelatihan akan
mengikutsertakan kesadaran mengenai disabilitas dan
penggunaan bentuksarana dan format komunikasi serta teknik
dan bahan pendidikan yang bersifat augmentatif dan alternatif
guna mendukung penyandang disabilitas.

Ayat (4) menegaskan negara-negara pihak harus menjamin


bahwa penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan
umum menengah, pelatihan kejuruan, pendidikan dewasa, dan
pembelajaran seumur hidup tanpa diskriminasi dan atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya. Untuk mencapai tujuan ini,
negara-negara pihak harus menjamin bahwa akomodasi yang
beralasan tersedia bagi penyandang disabilitas.

10.2.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8


Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Hak-hak penyandang disabilitas untuk mengakses
pendidikan juga sudah diatur secara jelas di dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pasal (5) huruf e UU No.8 Tahun 2016 mengatakan salah satu
hak yang dilindungi bagi penyandang disabilitas adalah hak
pendidikan.

Untuk memenuhi hak-hak pendidikan bagi penyandang


disabilitas, Psal (40) sampai dengan Pasal (44) UU No. 8 Tahun
2016
mengatur tentang pemenuhan hak pendidikan yang mengatur
tentang tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah
dalam memenuhi hak-hak pendidikan penyandang disabilitas.

Pasal (40) UU No. 8 Tahun 2016 menegaskan 7 (tujuh)


kewajiban yang harus diambil oleh pemerintah pusat maupun
daerah, antara lain;

1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan


dan/atau memfasilitasi pendidikan untuk Penyandang
Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
dengan kewenangannya.
2) Penyelenggaraan dan/atau fasilitasi pendidikan untuk
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui
pendidikan inklusif dan pendidikan khusus.
3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan
anak penyandang disabilitas dalam program wajib belajar 12
(dua belas) tahun.
4) Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak penyandang
disabilitas bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya.
5) Pemerintah Daerah memfasilitasi Penyandang Disabilitas
yang tidak berpendidikan formal untuk mendapatkan ijazah
pendidikan dasar dan menengah melalui program
kesetaraan.
6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan
beasiswa untuk peserta didik Penyandang Disabilitas
berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya.
7) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan biaya
pendidikan untuk anak dari Penyandang Disabilitas yang
tidak mampu membiayai pendidikannya
Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2016 mengaskan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
dan/atau memfasilitasi pendidikan inklusif dan pendidikan
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) wajib
memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk mempelajari
keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk kemandirian dan
partisipasi penuh dalam menempuh pendidikan dan
pengembangan sosial

Keterampilan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi: a. keterampilan menulis dan membaca huruf braille
untuk Penyandang Disabilitas netra; b. keterampilan orientasi
dan mobilitas; c. keterampilan sistem dukungan dan bimbingan
sesama Penyandang Disabilitas; d. keterampilan komunikasi
dalam bentuk, sarana, dan format yang bersifat augmentatif
dan alternatif; dan e. keterampilan bahasa isyarat dan pemajuan
identitas linguistik dari komunitas Penyandang Disabilitas rungu.

Pasal 42 ayat ayat (1) sampai dengan (7) mengatur


tentang pentingnya pembentukan unit layanan disabilitas dalam
mendukung menyelenggarakan pendidikan inklusif. Pemerintah
Daerah wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan
Disabilitas untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan
inklusif tingkat dasar dan menengah. Unit layanan disabilitas
wajib ada dalam setiap penyelenggaraan pendidikan sampai
pada tingkat perguruan tinggi.

Unit Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) berfungsi, antara lain; (a) meningkatkan kompetensi pendidik
dan tenaga kependidikan di sekolah reguler dalam menangani
peserta didik Penyandang Disabilitas; (b) menyediakan
pendampingan kepada peserta didik Penyandang Disabilitas
untuk mendukung
kelancaran proses pembelajaran; (c) mengembangkan program
kompensatorik; (d) menyediakan media pembelajaran dan Alat
Bantu yang diperlukan peserta didik Penyandang Disabilitas;
(e) melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik
dan calon peserta didik Penyandang Disabilitas; (f) menyediakan
data dan informasi tentang disabilitas; (g) menyediakan layanan
konsultasi; dan (h) mengembangkan kerja sama dengan pihak
atau lembaga lain dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan peserta didik Penyandang Disabilitas.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga


memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas di
pendidikan tinggi. Penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak
membentuk Unit Layanan Disabilitas dikenai sanksi administratif
berupa: teguran tertulis; penghentian kegiatan pendidikan;
pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan; dan pencabutan
izin penyelenggaraan pendidikan.

10.2.3 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor


70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa
Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
70 Tahun 2009 mengatakan pendidikan inklusif bertujuan : (1)
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya; (2) mewujudkan
penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta
didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.

Ditegaskan lebih lanjut di dalam pasal (3) Peraturan


Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 angka (1)
Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif
pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya. Peserta didik yang memiliki kelainan terdiri
atas: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita;
e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban
belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban
penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;
l. memiliki kelainan lainnya; m. Tuna ganda.

10.2.4 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10
Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak
Berkebutuhan Khusus
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi: a. peserta
didik berkelainan atau berkebutuhan khusus yaitu yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial;
dan/atau b. peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/
atau bakat istimewa.
10.2.5 Istilah anak berkebutuhan khusus dan anak
dengan disabilitas
Dua istilah ini kadang membingungkan masyarakat. Masih
banyak masyarakat yang berpandangan ABK itu adalah anak
dengan disabilitas. Istilah ABK pada dunia pendidikan memiliki
aspek yang luas tidak hanya anak dengan disabilitas tetapi
juga termasuk anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Begitupun sebaliknya, tidak semua anak disabilitas adalah anak
berkebutuhak khusus. Masih ada anak-anak disabilitas yang
tidak membutuhkan layanan khusus dalam pendidikan. Anak
disabilitas yang tidak mendapatkan layanan khusus
mendapatkan pelayanan yang sama dengan anak-anak non
disabilitas.

Yang membedakan anak itu masuk dalam kategori


kebutuhan khusus adalah anak tersebut membutuhkan layanan
khusus. Sedangkan anak disabilitas adalah anak yang memiliki
keterbatasan baik dalam hal fisik, mental, intelektual dan
sensorik. Anak yang membutuhkan layanan khusus dapat saja
diberikan kepada anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas
rata-rata. Anak-anak seperti ini mendapatkan bimbingan khusus
dari sekolah. Anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-
rata ini tidak masuk dalam kategori anak dengan disabilitas.

Begitu pula dalam aspek pendidikan, anak dengan polio,


yang berjalan dengan kaki pincang, masihdapat berjalan, tidak
dapat dikategorikan anak berkebutuhan khusus karena anak
tersebut hanya memiliki keterbatasan berjalan dan berlari, tetapi
tidak membutuhkan layanan khusus seperti dibuatkan program
khusus atau kurikulum akomodatif. Anak-anak dengan polio
yang tidak memiliki keterbatasan intelektual sama dengan
anak-anak
pada umumnya dapat mengikuti program reguler di sekolah.
Untuk anak-anak yang mengalami keterbatasan seperti polio
yang dibutuhkan adalah membangun pemahaman guru dan
anak-anak peserta didik lainnya untuk memahami cara
berinteraksi dengan anak-anak polio.

Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan bagi


anak disabilitas di Manggarai Barat, SANKITA telah melakukan
advokasi untuk mendirikan Sekolah Luar Biasa negeri (SLBN)
Komodo dan sekolah inklusif di dua sekolah di dua desa sasaran
yakni SDN Rangga Watu dan SDK Roe.

10.3 Melakukan advokasi berdirinya SLBN


Komodo-Labuan Bajo Manggarai Barat.
Untuk menyediakan pendidikan bagi penyandang
disabilitas, SANKITA melakukan advokasi dua hal; pertama
berdirinya SLBN Komodo-Labuan Bajo dan keluarnya SK
penetapan sekolah inklusif di dua sekolah dasar yakni di SDK
Roe- Desa Cunca Lolos dan SDN Rangga Watu-Desa Golo Desat.
Berikut ini SANKITA jelaskan langkah-langkah yang telah
dilakukan untuk berhasil mendirikan SLBN Komodo.

10.3.1 Kegiatan-kegiatan advokasi untuk mendirikan


SLBN Komodo.
Semenjak pemekaran Kabupaten Manggarai Barat mekar
dari kabupaten induk Kabupaten Manggarai pada tahun 2003,
sampai dengan tahun 2015, Manggarai Barat belum memiliki
pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pada saat, SANKITA
melakukan kunjungan ke desa-desa, banyak orang tua yang ingin
sekali mendaftar anak disabilitasnya di sekolah luar biasa, namun
mereka tidak dapat mendaftarkan anaknya karena sekolah luar
biasa hanya ada di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai yang
letaknya cukup jauh dan membutuhkan biaya yang cukup mahal.

Terlepas dari perdebatan apakah keberadaan sekolah luar


biasa (SLB) masih dibutuhkan atau tidak, SANKITA
berpandangan bahwa keberadaan SLB memiliki peran yang
sangat strategis. SLB, dalam pandangan SANKITA merupakan
lembaga yang memiliki peran menyediakan pelayanan
pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas sesuai dengan
kondisi disabilitasnya. Misalnya anak tuna netra (total), tuna
rungu, tuna grahita, tuna daksa berat masuk ke SLB untuk
mendapatkan bimbingan khusus berkaitan dengan upaya
mengurangi hambatan dalam proses pembelajaran. Misalnya,
anak tuna netra diperkenalkan dengan baca tulis braille dan
orientasi mobilitas.Anak tuna rungu, diajarkan berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa isyarat standar.Anak tuna daksa,
diberikan pelayanan fisioterapi.

Konsep SLB, tidak lagi sebagai tempat pelayanan


pendidikan yang harus diberikan sampai anak itu tamat SLB. Ada
anak disabilitas yang tidak harus bersekolah penuh di SLB. Anak-
anak disabilitas dapat bersekolah di SLB hanya untuk
mendapatkan pengajaran yang khusus, dalam waktu satu sampai
tiga tahun, kemudian mereka dapat melanjutkan pendidikannya
ke sekolah umum (reguler).

Tidak semua anak disabilitas masuk dalam pelayanan


pendidikan khusus di SLB. Misalnya, anak yang tuna daksa ringan
dan tuna netra low vision, anak lamban belajar dan kesulitan
belajar masih bisa masuk ke sekolah umum (reguler). Hal yang
sangat penting untuk menentukan apakah anak itu masuk ke
SLB
atau sekolah umum adalah identifikasi dan assesment. Pada
tahap ini, guru akan mengetahui jenis dan tingkat atau derajat
disabilitas seorang anak. Kemudian baru diputuskan apakah
masuk ke SLB atau ke sekolah umum (reguler). Dengan
gambaran tersebut, SANKITA melakukan upaya untuk
mendorong Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan
masyarakat untuk menyediakan pelayanan pendidikan khusus,
seperti SLB dan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah reguler.

Untuk memperjuangkan berdirinya SLBN Komodo,


SANKITA melakukan beberapa kegiatan antara lain; (1).
Mengumpulkan data anak-anak disabilitas sekaligus identifikasi
dan assesment. (2). Membuat seminar tentang kebutuhan
pendidikan anak-anak disabilitas. (3) Melakukan advokasi
berbasis data kepada dinas terkait.

10.3.2 Pengumpulan data awal anak disabilitas dan lobi


ke Dinas PPO Manggarai Barat.
Pada saat pertama kali SANKITA melakukan diskusi dengan
Dinas PPO Manggarai Barat pada tahun 2014, Kepala Dinas PPO
pada tahun 2014, Pak Martinus Magol, menjelaskan ada tiga
tantang utama berdirinya sekolah luar biasa di Labuan Bajo yakni
data, dana dan tempat. Kepala Dinas PPO Manggarai Barat pada
saat itu, menjelaskan terkait data, Dinas PPO Manggarai Barat
belum memiliki data terkait anak-anak disabilitas di Manggarai
Barat. Ada keraguan data anak disabilitas belum cukup menjadi
alasan untuk mendesak berdirinya sekolah luar biasa. Terkait
dana, beliau menjelaskan, dana untuk mendirikan sekolah luar
biasa harus melalui dana pusat. Untuk mendapatkan dana pusat
tersebut, cukup sulit. Sedangkan untuk ketersediaan tempat,
masih belum jelas. Dinas PPO Manggarai Barat harus berdiskusi
dengan bagian aset Pemerintah Manggarai Barat.

Untuk mengatasi terkait data, SANKITA mengambil peran


mengumpulkan semua data-data anak disabilitas dari desa
sasaran yang membutuhkan layanan khusus seperti anak tuna
netra, tuna rungu, down syndrome, dll. Pendataan awal ini
dilakukan di beberapa desa antara lain; Desa Wae Mowol, Desa
Wae Bangka di Kecamatan Lembor. Kemudian Desa Munting,
Desa Lendong, Desa Watu Rambung di Kecamatan Lembor
Selatan. SANKITA juga mengumpulkan data dari Desa Watu
Galang, Desa Golo Desat dan Desa Cunca Lolos. Berdasarkan
hasil pengumpulan data dan identifikasi ini, SANKITA
menemukan ada 20 (dua puluh) orang anak disabilitas yang
membutuhkan pelayanan khusus.

Setelah mengumpulkan data, SANKITA mempresentasikan


data yang ada di depan Kepala Dinas PPO Manggarai Barat
(2014). Saat itu, Kepala Dinas PPO adalah Bapak Martinus Magol.
Bersama dengan beliau, SANKITA berdiskusi bersama-sama
tentang berdirinya sekolah luar biasa. Awalnya, Kepala Dinas
PPO masih ragu dengan perjuangan untuk mendirikan sekolah
luar biasa ini. SANKITA terus menerus melakukan diskusi dan
melakukan kegiatan bersama dalam bentuk seminar tentang
kebutuhan pendidikan bagi anak-anak disabilitas.

Lobi dan negosiasi ke Dinas PPO Manggarai Barat


dilakukan tidak hanya sekali saja, tetapi harus dilakukan berkali-
kali. SANKITA melakukan kunjungan sekali dalam sebulan ke
Dinas PPO Manggarai Barat. Setiap kunjungan, SANKITA fokus
menjelaskan tentang data dan peluang penyelenggaraan
pendidiklan inklusif. Setelah sering berdiskusi bersama SANKITA,
Dinas PPO Manggarai Barat mulai berjuang dengan menuliskan
proposal ke Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pendanaan
berdirinya SLB Komodo-Labuan Bajo. Pada tahun 2015, Dinas
PPO Manggarai Barat akhirnya membangun SLBN Komodo-
Labuan Bajo. Pada tahun 2016, proses belajar mengajar sudah
dimulai. Total murid SLBN Komodo saat ini sebanyak 35 peserta
didik. Tempat berdirinta SLBN Komodo saat ini dibangun di atas
tanah miliknya Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

10.4 Advokasi untuk menyelenggarakan


pendidikan inklusif bagi SDN Rangga Watu
dan SDK Roe dan TK PAUD Desa Golo
Desat
SANKITA berhasil melakukan advokasi kepada Dinas
Pendidikan Provinsi NTT untuk memberi izin dua sekolah yakni
SDN Rangga Watu di Desa Golo Desat, SDK Roe di Desa Cunca
Lolos penyelenggaraan pendidikan inklusif. SANKITA juga
berhasil melakukan advokasi kepada Dinas Pendidikan
Manggarai Barat untuk memberi izin penyelenggaraan
pendidikan inklusib kepada PAUD Tondong Renca, Desa Golo
Desat untuk mendapatkan SK izin menyelenggarakan
pendidikan inklusif.

SDN Rangga Watu mendapatkan SK Nomor 848/8267/


PK/2017 dan SK Roe mendapatkan SK Nomor 848/8626/
PK/2017 dari Dinas Pendidikan Provinsi NTT. Sedangkan PAUD
Tondong Renca mendapatkan izin dari SK dari Dinas Penanaman
Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Manggarai Barat
Nomor DPMPTSP.503.800/020/V/2021 tentang Pemberian Izin
Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Anak Usia Dini.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
SK izin penyelenggaraan pendidikan inklusif ini adalah sebagai
berikut;

10.4.1 Pelatihan Pendidikan Inklusib kepada guru-guru di


tiga sekolah calon sekolah inklusif
Pelatihan ini dilaksanakan selama tiga hari yang
dilaksanakan di Kantor Desa Golo Desat pada tanggal 5 Agustus
sampai dengan 7 Agustus 2015. Pelatih dari pelatihan ini adalah
dua orang guru dari SLB karya Murni Ruteng. Peserta yang hadir
dalam pelatihan ini ada 8 (delapan) orang guru yakni; SDK Roe 2
(dua) orang guru, SDN Rangga Watu 2 (dua) orang, SDI Nara-
Desa Watu Galang 2 (dua) orang, dan SMPN Roe-Desa Cunca
Lolos 2 (dua) orang. Dalam pelatihan ini peserta mendapatkan
materi konsep Pendidikan inklusif, identifikasi anak-anak
berkebutuhan khusus, konsep dasar intervensi kepada anak-
anak tuna netra dan orientasi mobilitas dan pengenalan tentang
konsep-konsep dasar akses pendengaran baik secara verbal
maupun secara non verbal.

10.4.2 Melakukan sosialisasi tentang pendidikan inklusif


kepada orang tua murid di sekolah-sekolah calon
sekolah inklusif
Setelah kegiatan identifikasi dilakukan, SANKITA dan
masing-masing sekolah melakukan sosialisasi tentang
pendidikan inklusif kepada orang tua murid. Pihak-pihak yang
diundang dalam sosialisasi ini adalah para guru, komite sekolah
dan orang tua murid. Tujuan dari sosialisasi ini adalah agar
sekolah dan orang tua murid memiliki pemahaman yang sama
serta menyadari
pentingnya menyelenggarakan pendidikan inklusif di tingkat
sekolah dasar. Di dalam sosialisasi ini, SANKITA menjelaskan
hasil identifikasi yang sudah dilakukan serta tahapan-tahan
penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Gambar 10.3; sosialisasi pendidikan inklusif kepada orang tua murid


di SDN Rangga Watu

SANKITA menjelaskan data-data terkait jumlah anak


berkebutuhan khusus di setiap sekolah. Data-data seperti ini
harus diketahui oleh orang tua murid. Di dalam sosialisasi ini,
SANKITA dan pihak sekolah meminta dukungan dan persetujuan
dari orang tua murid untuk menyelenggarakan pendidikan
inklusif. Dari sosialisasi ini, ketiga sekolah dan PAUD di Desa Golo
Desat setuju dengan upaya menyelenggarakan pendidikan
inklusif.

Sosialisasi pendidikan inklusif di SDI Nara-Desa Watu


Galang dilaksanakan pada 16 Juni 2016, dihadiri oleh 23 peserta;
3 orang penyandang disabilitas, 7 orang guru dan 13 orang
anggota masyarakat. Topik yang dibahas dalam pertemuan
tersebut adalah tentang pengertian pendidikan inklusif pada
umumnya, jenis-jenis anak berkebutuhan khusus dan manfaat
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sosialisasi pendidikan
inklusif di SDK Roe-Desa Cunca Lolos, kegiatan ini dilaksanakan
pada 25 Juni 2016. Pertemuan ini dihadiri oleh 49 orang; 2 orang
penyandang disabilitas, 7 orang staf pendidikan dan 40 orang
anggota masyarakat.

Selain melakukan sosialisasi di tingkat sekolah dasar,


SANKITA juga melakukan sosialisasi pendidikan inklusif di Dinas
PPO Manggarai Barat yang dilaksanakan 21 Juni 2016. Sosialisasi
ini dihadiri oleh 26 orang; 4 orang penyandang disabilitas, 18
orang staf pendidikan dan 4 orang anggota masyarakat.

10.4.3 Pelatihan identifikasi dan assessment ABK


Gambar 10.4; Pelatihan pendidikan inklusif bagi guru-guru di SDN Rangga Watu
Setelah pihak sekolah dan orang tua murid setuju dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif, langkah selanjutnya adalah
mempersiapkan tenaga pendidik dengan pelatihan-pelatihan
tentang pendidikan inklusif. Pelatihan-pelatihan ini dipersiapkan
untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif di
masing- masing sekolah. SANKITA melakukan pelatihan
identifikasi anak berkebutuhan khusus kepada guru-guru
pada tanggal 29-30
Juli 2016. Kegiatan ini dihadiri oleh 22 orang peserta; guru-guru
dari sekolah dasar; 20 orang (guru sekolah regular; 15, guru SLB
5 orang, dari Dinas PPO 2 orang). Materi pelatihannya adalah
pengenalan jenis-jenis ABK dan cara penanganannya, identifikasi
dan assessment (teori dan praktek), fisioterapi sederhana
untuk ABK dan pemahaman singkat tentang autism. Training ini
difasilitasi oleh 2 orang guru dari SLB Karya Murni Ruteng; Elias
Dagung, S.Pd, M.Pd., dan Agustinus Palis S.Pd.

10.4.4 Pelatihan RPP Akomodatif untuk guru-guru di 3


sekolah desa inklusif dan dan SLBN Komodo
Setelah mengikuti pelatihan terkait pendidikan inklusif,
SANKITA menyediakan pelatihan lanjutan yakni pelatihan RPP
Akomodatif. Tujuan dari pelatihan ini adalah agar guru-guru
mampu merancang kurikulum yang akomodatif yang sesuai
dengan kondisi masing-masing anak.

10.4.6 Identifikasi Anak-anak berkebutuhan khusus


Setelah mengikuti pelatihan pengenalan tentang
pendidikan inklusif, masing-masing sekolah dengan bantuan
SANKITA melakukan identifikasi tentang anak-anak
berkebutuhan
khusus. Dalam kegiatan identifikasi ini, sekolah mengumpulkan
data terkait jumlah anak peserta didik, peserta didik yang
membutuhkan layanan khusus dan ketersediaan tenaga
pendidik.

Hasil dari identifikasi ini 3 sekolah sudah teridentifikasi


untuk menjadi sekolah inclusive, yakni SDI Nara di Desa Watu
Galang, SDN Rangga Watu-Desa Golo Desat, SDK Roe Desa
Cunca Lolos.

a) SDI Nara-Desa Watu Galang; jumlah peserta didik 52 orang


(perempuan; 30 dan laki-laki 22) dan anak berkebutuhan
khusus 2 orang ( disabilitas fisik 1 dan 1 tuna rungu)
b) SDN Rangga Watu; terdapat 90 (sembilan puluh) orang
peserta didik (perempuan 44 dan laki-laki 46 ) and anak
berkebutuhan khusus ada 4 orang (1 tuna netra and 3
perkembangan terlambatt)
c) SDK Roe-Cunca Lolos; jumlah peserta didik ada 125 siswa
(perempuan 65 dan laki-laki 60) dan anak berkebutuhan
khusus ada 4 siswa.

Setelah melakukan identifikasi, SANKITA membangun


diskusi dengan masing-masing sekolah dan diskusi dengan
Pemerintah Desa Golo Desat khususnya terkait dengan
pembangunan PAUD. Dalam diskusi ini, SANKITA menjelaskan
kepada guru-guru terkait jumlah anak berkebutuhan khusus
serta pentingnya pendidikan inklusif. Di dalam diskusi tersebut,
SANKITA bertanya kepada masing-masing sekolah terkait
kesediaannya menyelenggarakan pendidikan inklusif. Masing-
masing sekolah dan PAUD bersedia untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
10.4.7 Menulis Proposal dan melakukan kunjungan ke
dinas terkait
Setelah SANKITA mempersiapkan semuanya, SANKITA
membantu sekolah-sekolah kandidat penyelenggaraan
pendidikan inklusif menulis proposal. Setelah selesai menulis
proposal, SANKITA melakukan kunjungan langsung ke Dinas PPO
Provinsi NTT pada Oktober 2017. Kunjungan ini dilakukan satu
kali. Hasil dari kunjungan ini, proposal tentang penyelenggaraan
pendidikan inklusif diterima oleh Dinas PPO NTT dan 2 (dua)
sekolah yakni SDN Rangga Watu dan SDK Roe mendapatkan
SK Izin Operasioanl Pendidikan Inklusif dari Dinas PPO NTT. SDI
Nara-Desa Watu Galang tidak mendapatkan SK penyelenggaraan
pendidikan inklusif karena pada saat tim SANKITA berkunjung ke
Dinas Pendidikan Provinsi NTT, proposalnya masih belum selesai.

Untuk berdirinya PAUD inklusif di Desa Golo Desat,


SANKITA juga membantu dalam penulisan proposal dan
membawa proposal tersebut ke Dinas PPO Manggarai Barat.
Kemudian setelah direvisi oleh Dinas PPO Manggarai Barat,
menyerahkan sebuah format yang ditandatangani oleh
pengelola PAUD sebagai dokumen tambahan untuk pengajuan
izin operasional inklusif. Dinas PPO Manggarai Barat membawa
proposal tersebut ke Dinas Perizinan Terpadu Manggarai Barat.
Dua bulan kemudian, pada bulan Juli 2021, Dinas Perizinan
Terpadu Manggarai Barat mengeluarkan izin operasional PAUD.

10.5 Perubahan yang terjadi


Hasil yang diperoleh selama melakukan advokasi dalam
bidang Pendidikan adalah sebagai berikut;
* Dua sekolah dasar yakni SDN Rangga Watu di Desa Golo
Desat dan SDK Roe di Desa Cunca Lolos sudah
mendapatkan SK Sekolah Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif. SK ini sangat penting bagi kedua sekolah ini karena
dengan SK tersebut, kedua sekolah sudah mendapatkan
izin untuk menerima anak disabilitas dan mempunyai
kewenangan untuk menyelenggarakan proses kegiatan
belajar mengajar secara inklusif. Sedangkan dua sekolah yang
lain, yakni SDN Nara di Desa Watu Galang dan SMPN Roe di
Desa Cunca Lolos sedang dalam proses pengajuan
permohonan izin penyelenggaraan Pendidikan inklusif di
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Manggarai Barat.
* 20 orang (guru sekolah regular; 15, guru SLB 5 orang)
mendapatkan pengetahuan tentan identifikasi dan assement
anak-anak berkebutuhan khusus dan mendapatkan
pengetahuan serta kurikulum adapt dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Akomodatif.

Guru-guru yang sudah mengikuti pelatihan dari SANKITA.


Setelah mereka mengikuti pelatihan, guru-guru mampu
menerapkannya di sekolah masing-masing. Saat ini, guru-guru di
SDK Roe dan SDN Rangga Watu sudah mampu mengidentifikasi
anak-anak berkebutuhan khusus serta mampu menyediakan
kurikulum adaptif dan rencana pembelajaran yang akomodatif.
Anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah masing-masing
masuk di dalam kelas yang sama dengan anak-anak non
disabilitas dan guru-guru memberi pembelajaran yang sesuai
dengan kemampuan masing-masing anak. Guru-guru sudah
menerapak proses pembelajaran yang dberbeda sesuai dengan
kondisi anak disabilitas.
Hasil monitoring yang dilakukan oleh SANKITA anak-
anak berkebutuhan khusus di 2 sekolah tersebut mendapat
bimbingan dari guru-guru yang sudah mengikuti training tentang
pendidikan inklusif. 2 sekolah inklusif yakni SDN Rangga Watu
dan SDK Roe tidak lagi menolak atau mengeluarkan anak-anak
berkebutuhan khusus dari sekolahnya. Total anak berkebutuhan
khusus di 2 sekolah inklusif sebanyak 10 orang. Semuanya masih
tetap bersekolah dan guru-guru yang sudah mendapatkan
pelatihan tentang pendidikan inklusife menyediakan waktu
khusus untuk membimbing anak-anak berkebutuhan khusus
yang ada di sekolah masing-masing. 3 sekolah di 3 desa sasaran
mempunyai kebijakan untuk menerima anak-anak berkebutuhan
khusus di sekolah dan jika anak berkebutuhan khusus itu tidak
dapat mereka tangani maka anak berkebutuhan khusus itu akan
dirujuk ke SLBN Komodo. 3 sekolah di 3 desa sasaran itu sudah
membangun kerja sama dengan SLBN Komodo di Labuan Bajo
untuk membuat sistem rujukan anak berkebutuhan khusus.

10.6 Testimony
Ibu Elis, seorang guru di SDK Reo sudah tiga kali mengikuti
pelatihan perkembangan dan pertumbuhan anak berkebutuhan
khusus. Pelatihan ini dilaksanakan di SLB Karya Murni Ruteng.
Pelatihan kedua, sebagai kelanjutan dari pelatihan yang
pertama. Pelatihan ketiga terkait sistem kerja sama antara pihak
sekolah dan masyarakat dalam mendampingi anak
berkebutuhan khusus. Menurut ibu Elisabet, ketiga pelatihan ini
sangat bermanfaat. Dengan pelatihan-pelatihan yang ada, ibu
Elisabet semakin menyadari bahwa semua manusia memiliki
kedudukan yang sama dan keinginan yang sama untuk
mencapai kehidupan yang
lebih baik. Hasil yang diperoleh ibu Elisabet dari pelatihan ini
adalah ibu Elisabet sudah mampu melakukan identifikasi anak
berkebutuhan khusus. Sebelum mengikuti pelatihan, ibu Elisabet
mengalami kesulitan mengidentifikasi indikator yang disebut
dengan anak berkebutuhan khusus.

Hal yang sama juga dialami oleh Iganasius Pak Suryadi,


guru di SDN Rangg Watu. Pak Ignasius mengikuti pelatihan
identifikasi dan assesmemt peserta didik anak berkenutuhan
khusus, pelatihan kurikulum adaptif bagi anak berkebutuhan
khusus, serta pelatihan simulasi pembelajaran bagi peserta didik
anak berkebutuhan khusus.

Menurut Pak Ignasius manfaat pelatihan pendidikan


inklusif adalag memahami cara melakukan identifikasi dan
assesment, memahami cara membuat perangkat pembelajaran
yang akomodatif, melaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan metode dan pendekatan yang sesuai dengan
kondisi anak berkebutuhan khusus dan adanya koordinasi antara
guru-guru di dalam sekolah.Demikian pula Ibu Katarina Setiman
dan Kornelia Silvin Suryati. Dengan adanya pelatihan yang
diselenggarakan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
dalam menangani anak berkebutuhan khusus dan membentuk
strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.

10.7 Replikasi kegiatan


Untuk mereplikasi kegiatan-kegiatan penyelenggaran
pendidikan inklusif, maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut;
* Melakukan diskusi dengan pihak sekolah.
Langkah pertama yang harus dilakukan pertama kali
adalah berdiskusi dengan sekolah sasaran. Masih banyak
sekolah yang belum memahami tentang pendidikan inklusif.
Oleh karena itu, diskusi terkait pendidikan inklusif sangat
penting.

* Melakukan sosialisasi tentang pendidikan inklusif kepada


orang tua murid.
Sebelum sekolah menyelenggarakan pendidikan
inklusif, hal yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi
kepada orang tua murid tentang pendidikan inklusif. Tujuan
dari kegiatan sosialisasi ini adalah agar orang tua memahami
apa itu pendidikan inklusif dan adanya pemahaman yang
sama antara sekolah dan orang tua murid.

* Memberi pelatihan tentang pendidikan inklusif bagi guru-


guru.
Menyediakan pelatihan bagi guru-guru tentang
pendidikan inklusif. Untuk menyediakan pelatihan, dapat
menghubungi trainer dari sekolah luar biasa yang ada di
kota dan sekolah-sekolah yang sudah menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
Bab 11
Strategi Advokasi Kebijakan

11.1 Pengantar
Saat SANKITA memulai kerjanya dalam melakukan
advokasi sejak tahun 2010, Kabupaten Manggarai Barat saat itu
masih belum memiliki kebijakan terkait isu disabilitas. Sebagai
kabupaten baru saat itu, masih membutuhkan banyak
pembenahan. Pada tahun
2010, SANKITA mulai melakukan kunjungan ke dinas-dinas terkait
pemerintah seperti dinas sosial, dinas Pendidikan dan dinas
Kesehatan.
Gambar 11.1; advokasi melalui demonstrasi oleh penyandang
Pada saat kunjung ke dinas, ditemukan pengalaman,
isu disabilitas ini masih belum mendapatkan perhatian serius
dari dinas-dinas. Hampir semua dinas beranggapan, masalah
disabilitas ini merupakan tanggung jawab dinas sosial atau panti-
panti sosial sehingga pemerintah memberi bantuan beras dan
dana secukupnya. Dalam konsep dinas-dinas saat itu,
penyandang disabilitas belum menjadi prioritas dalam
pembangunan tingkat kabupaten.

Usaha membangun diskusi merupakan proses yang


amat panjang, membutuhkan strategi yang kuat. Target utama
advokasi dalam tataran kebijakan adalah mengubah cara
pandang lama ke pandangan yang baru terkait penyandang
disabilitas. Tanpa adanya perubahan pandangan, sulit sekali
untuk dapat mengeluarkan kebijakan yang bersesuaian dengan
kebutuhan penyandang disabilitas.

Advokasi adalah suatu upaya yang dilakukan oleh orang


perorangan atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan
yang ditujukan kepada orang atau instansi yang memiliki
kekuasaan untuk mengubah atau menghentikan praktek-praktek
ketidakadilan. Orang atau kelompok tersebut tidak harus
menjadi korban baik langsung maupun tidak langsung dari
pelaksanaan kekuasaan yang tidak adil. Orang atau kelompok
tersebut dapat berada dalam posisi sebagai pembela keadilan
dan atau sekaligus korban dari ketidakadilan.

Tujuan advokasi adalah lahirnya atau berubahnya suatu


kebijakan yang adil kepada masyarakat umum. Advokasi dapat
berupa upaya untuk melahirkan suatu peraturan atau kebijakan
yang baru atau dapat pula bertujuan untuk mengubah atau
memperbaiki peraturan yang sudah ada. Advokasi pada isu
penyandang disabilitas itu sangat penting dilakukan karena
dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
mengacu pada hal-hal yang datangnya dari luar diri penyandang
disabilitas, seperti;

Masih kuat pandangan masyarakat bahwa disabilitas


terjadi karena kutukan atau dosa. Karena masih kuatnya
pandangan tersebut menyebabkan ketika terjadi disabilitas,
keluarga meminta pelayanan di dukun kampung.

* Peyandang Disabilitas sering mendapat perlakuan yang


diskriminatif dari keluarga, masyarakat dan negara.
* Hak-hak penyandang disablitas sering diabaikan baik di
tingkat keluarga, masyarakat, maupun Pemerintah.
* Penyandang diasbilitas sering di pandang sebagai salah
satu warga dalam kategori penyandang kesehjatraan sosial.
Dimana penyandang disabilitas di pandang sama dengan
orang miskin, gelandang dan terlantar, pada hal penyandang
diabilitas itu ada yang berasal dari keluarga yang ekonominya
baik dan mereka tidak dapat dipandang sebagai keluarga
gelandangan dan terlantar.
* Masyarakat sering menganggap remeh kemampuan
penyandang disabilitas

Sedangkan faktor internal, yaitu hal-hal dari dalam diri


penyandang disabilitas, antara lain;

* Banyak penyandang disabilitas yang tidak percaya diri


dengan kemampuan yang dimilikinya.
* Penyandang disabilitas merasa rendah diri
* Penyang disabilitas pasrah pada keadaan
* Sikap yang “menerima begitu saja” keadaan yang ada,
walaupun ada peluang yang selalu dimiliki untuk bergerak
maju.

Tujuan advokasi dalam isu disabilitas mencakup dua hal


utama yakni mendukung upaya pemenuhan kebutuhan hak
penyandang disabilitas dan mengubah cara pandang masyarakat
terhadap penyandang disabilitas sehingga masyarakat menerima
penyandang disabilitas berpartisipasi di damalam masyarakat.

11.2 Advokasi yang dilakukan oleh SANKITA


SANKITA melakukan advokasi melalui beberapa tindakan,
antara lain; Tindakan edukasional, tindakan secara politik dan
tindakan hukum. Tindakan edukasional meliputi; pelatihan
kepada masyarakat tentang hak-hak penyandang disabilitas.
SANKITA melakukan pelatihan tentang hak-hak penyandang
diasbilitas di instansi-instansi terkait dalam bentuk workshop.
Dalam pelatihan tersebut, SANKITA memberi pandangan baru
terkait disabilitas dan memberikan fakta-fakta terkait kondisi
kehodupan penyandang disabilitas baik yang ada di desa
maupun di kota. Dalam melakukan pendekatan politik, SANKITA
melakukan lobi-lobi kepada pemerintah untuk membuat
kebijakan bagi penyandang disabilitas. Salah satu pendekatan
yang digunakann adalah advokasi berbasis data. Kita melakukan
advokasi harus memiliki data yang akurat tentang apa yang
hendak kita perjuangkan.

Secara umum, skema advokasi yang dilakukan oleh


SANKITA adalah sebagai berikut;
• Jumlah data anak • Workshop
penyandang Mempresentas
• Seminar • Dinas-dinas terkait
disabilitas ikan data yang
Pengumpulana • yang mengundang
sudah Loby • DPRD Kabuapten
data • Jumlah anak semua pemerhati
terkumpul ke Manggarai Barat
berkebutuhan pbulik masalah sosial dan
khusus pemerintanh

Gambar 11.2. Skema Advokasi SANKITA

11.2.1 Memperjuangkan berdirinya Sekolah Luar Biasa


Negeri (SLBN) Komodo
Pada tahun 2014, SANKITA memperjuangkan berdirinya
sekolah luar biasa bagi penyandang disabilitas. Untuk memulai
advokasi berdirinya sekolah ini, SANKITA melakukan kajian;
mengumpulkan data-data terkait anak-anak disabilitas usia
sekolah yang tidak dapat bersekolah karena mereka harus
di daftar di sekolah yang memberi pelayanan bagi anak-anak
disabilitas.

Perjuangan untuk mendirikan sekolah ini tentu mendapat


banyak perdebatan. Pada awalnya, di internal SANKITA, pada
satu sisi memperjuangkan inklusivitas pelayanan, namun pada
sisi lain, dorongan untuk mendapatkan layanan khusus bagi hal-
hal khusus kepada penyandang disabilitas sangat penting
didiskusikan secara serius. Konsep awal, SANKITA
memperjuangkan Pendidikan inklusif, sehingga sekolah luar
biasa sebagai bentuk pelayanan khusus tidak menjadi prioritas
utama.
Namun setelah melakukan pengumpulan data ditemukan
fakta bahwa banyak anak-anak disabilitas yang tidak dapat di
daftar ke sekolah umum karena guru-guru mengalami kesulitan
atau tidak memiliki latar belakang Pendidikan untuk memberi
pengajaran kepada anak-anak disabilitas. Sekolah-sekolah
umum juga belum dapat menerima anak-anak disabilitas karena
sekolah belum mendapat izin penyelenggaraan Pendidikan
inklusif. Dengan adanya anak disabilitas yang didaftar di sekolah
umum, maka dibutuhkan kurikulum yang adaptive dan penilaian
kelulusan yang adaptive pula, yang berbeda dengan penilaian
dengan sekolah-sekolah regular.
Untuk mempermudah ketersediaan sekolah bagi anak-
anak disabilitas SANKITA, memperjuangkan berdirinya sekolah
luar biasa. Keberadaan SLB ini selain menerima anak-anak
disabilitas yang membutuhkan pelayanan Pendidikan yang
khusus, juga dipandang sebagai sumber pembelajaran bagi
sekolah-sekolah regular ketika suatu saat sekolah-sekolah sudah
menjalankan sekolah inklusif.
Untuk mencapai target tersebut, SANKITA melakukan
workshop mini di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Manggarai Barat. Yang hadir dalam seminar itu
adalah para wartawan, pemerhati masalah pendidikan serta
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Manggarai Barat. Hasil dari
workshop ini adalah seluruh peserta mulai memahami dan
menyadari bahwa kebutuhan sekolah untuk anak-anak disabilitas
sangatlah penting dan segera harus menjadi priorotas di
Kabuapten Manggarai Barat.
Setelah mengadakan workshop tersebut, SANKITA terus
menerus melakukan komunikasi dengan Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Manggarai Barat. Hasil dari
komunikasi tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Manggarai Barat meminta kepada SANKITA untuk menyediakan
data assessment dan membuatnya dalam bentuk proposal
usulan. Atas saran tersebut, SANKITA segera mengirimkan data
yang sudah diseiapkan dan mempresentasikan kembali di jajaran
Dinas PPO Manggarai Barat. Setelah presentasi, Kepala Dinas
PPO Manggarai Barat mengusulkan itu ke Pemerintah Pusat dan
pada tahun 2016 berdirilah sekolah luar biasa negeri (SLBN)
Komodo di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

Perjuangan untuk menyediakan SLBN Komodo ini


membutuhkan empat tahun. Waktu yang cukup lama. Untuk
mendapatkan hasil perubahan kebijakan, tidak bisa diperoleh
dalam waktu setahun atau dua tahun. Ini membutuhkan proses
yang panjang.

11.2.2 Memperjuangkan Peraturan Daerah (Perda)


No.3 Tahun 2017 tentang Pemenuhan Hak-hak
penyandang disabilitas
Langkah-langkah yang dilakukan oleh SANKITA untuk
melahirkan Perda No.3 Tahun 2017 tentang Pemenuhan Hak-hak
penyandang disabilitas adalah sebagai berikut:
* Menulis draft naskah akademik sekaligus draft perda
disabilitas.

foto 21: pertemuan pertama di kantor SANKITA untuk membahas Perda


disabilitas; yang hadir dalam pertemuan itu adalah; perwakilan dari BAPPEDA,
penyandang disabilitas, LSM Yakines dan kepala Desa Wae Bangka (2014).

SANKITA melakukan inisiatif menulis draft naskah


akademik dan draft perda. Walaupun penulisan ini sebenarnya
dilakukan oleh perguruan tinggi. Draft naskah akademik dan
perda ini hanyalah bahan untuk memicu diskusi dengan
stakeholder yang ada di Labuan Bajo tentang pentingnya perda
disabilitas di Manggarai Barat.

Pada Januari sampai Maret 2014, SANKITA melakukan


pertemuan dengan instansi pemerintah, LSM lokal dan
penyandang disabilitas untuk menulis konsep rancangan
peraturan daerahnya. Tujuan pertemuan ini adalah untuk
mendorong keterlibatan stakeholder dalam memberi masukan
dan mendukung advokasi. Pertemuan pertama ini dihadiri oleh
sembilan peserta dari berbagai instansi, antara lain; Baku Peduli,
YAKINES, Swisscontact adalah LSM lokal yang memberikan
pendapat dan mengedit konsep tersebut. Hasil dari pertemuan
pertama, peserta yang hadir memberi masukan terkait draft
perda. SANKITA menyempurnakan kembali konsep tersebut
dan dipresentasikan pada pertemuan kedua dengan melibatkan
semakin banyak pihak.

Gambar 11.4; pertemuan kedua di Kantor Baku Peduli-Sunspirit

Pada pertemuan kedua hadir 16 peserta dari berbagai


stakeholder; (Kepala BAPPEDA), 1 Kepala Sekolah, 1 Kepala Desa,
1 Yayasan Komodo Kita, 1 Swisscontact, 2 YAKINES, 1 Binongko,
1 Yayasan Ayo Mandiri, 1 komunitas, 1 WWF, 1 WVI, 1 Sun Spirit,
1 Baku Peduli, 1 koperasi, 1 imam) menghadiri pertemuan untuk
membahas bersama tentang RUU. Dalam pertemuan ini, peserta
berhasil mereview beberapa bab. Dan proses diskusi masih
berlangsung di bulan berikutnya.
* Melakukan diskusi dengan BAPPEDA Manggarai Barat.
Setelah naskah akademik dan draft perdanya ditulis,
SANKITA melakukan diskusi dengan BAPPEDA, Bidang Sosial
yakni dengan Ibu Ney Asmon. Dalam pertemuan tersebut,
SANKITA mempresentasikan tentang kondisi kehidupan
penyandang disabilitas dan tentang pentingnya perda disabilitas
di Manggarai Barat dan berharap kepada BAPPEDA dapat
mengajukan draftnya ke DPRD Manggarai Barat.

* Melakukan Seminar tentang Perda Disabilitas

Gambar 11.5; Seminar perda disabilitas

Seminar dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 2015 dengan


tema khusus ‘’Upaya Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
dalam Pembangunan di Wilayah Manggarai Barat Melalui
Pembuatan Peraturan Daerah”. Pembicara dalam seminar ini
adalah Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kepala
Dinas Kesehatan, Anselmus Kartono (penyandang tunanetra/
KPPC-KJ), Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten
Manggarai Barat dan Komisi Legislasi DPRD Manggarai Barat.
Seminar ini diikuti oleh 37 peserta.

* Monitoring di Badan Legislasi Daerah (BALEGDA) DPRD


Manggarai Barat.

Gambar 11.6; Diskusi di kantor SANKITA bersama dengan Ketua BALEGDA


Bapak Marselinus Jeramun dan anggota Tim KEMENKUMHAM NTT

Pada tahun 2017, SANKITA mendapat kabar dari BALEGDA


DPRD Manggarai Barat melalui Ketua BALEGDA yaitu Bapak
Marselinus Jeramun menyampaikan bahwa draft perda
disabilitas Manggarai Barat diambil oleh BALEGDA DPRD
Manggarai Barat menjadi salah satu perda inisiatif DPRD.
Setelah mendengar informasi tersebut, Dua orang staf SANKITA
mengunjungi BALEGDA DPRD Manggarai Barat pada 23 Mei 2017
untuk menanyakan perkembangan peraturan daerah tentang
disabilitas di Kabupaten Manggarai Barat.

Dua staf SANKITA bertemu Marsel Jeramun (Kepala


Balegda) dan Fidelis Syukur (Sekretaris Balegda). Berdasarkan
informasi dari Marsel Jeramun dan Fidelis Syukur, Perda tentang
Disabilitas sedang dikaji oleh KANWIL KEMNKUMHAM NTT.
Setelah direview oleh KANWIL KEMENKUMHAM NTT, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPRD) Manggarai Barat akan
mempresentasikan draf tersebut kepada pemangku
kepentingan terkait termasuk SANKITA untuk mendapatkan
masukan sebelum draf tersebut disahkan oleh DPRD Manggarai
Barat. Pada bulan Agustus 2017, Ketua BALEGDA Bapak
Marselinus Jeramun bersama dengan Tim Penyusun Naskah
Akademik dari Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Nusa
Tenggara Timur melakukan diskusi dengan SANKITA untuk
memberi masukan terkait draft perda tersebut. Pada akhir tahun
2017, SANKITA mendapat pernyataan dari Ketua BALEGDA
Bapak Marselinus Jeramun bahwa Perda Disabilitas sudah
mendapatkan nomor dari Kementerian Hukum dan HAM
Provinsi Nusa Tenggara Timur.

11.2.3 Memperjuangkan terbangunnya Pusat Pelayanan


Rehabilitasi Sosial di Manggarai Barat
Setelah SANKITA berhasil memperjuangkan SLBN Komodo
dan Perda No. 3Tahun 2017, Langkah selanjutnya SANKITA
memperjuangkan terbangunnya tempat rehabilitasi sosial.
Perjuangan ini mulai dilakukan pada tahun 2019, baru terealisasi
pada tahun 2019. Di Labuan Bajo saat ini sudah ada Pusat
Rehabilitasi Sosial yang berada di samping SLBN Komodo. Pusat
Rehabilitasi sosial ini sudah menerima anak-anak disabilitas baik
anak-anak maupun remaja untuk mendapatkan bimbingan dari
dinas terkait.

11.2.4 Terbentuknya KPHP2D Manggarai Barat


Tahun 2020, SANKITA berhasil juga memperjuangkan
lahirnya Komisi Pemenuhak Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Komisi ini tugasnya adalah sebagai lembaga lintas instansi
yang akan memberi pertimbangan dan masukan kepada
para pengambil kebijakan agar memberi perhatian kepada
penyandang disabilitas.

11.3 Perubahan yang terjadi


Adapun hasil yang terjadi saat ini adalah sudah adanya
sekolah luar biasa negeri di Labuan Bajo. Saat ini, jumlah siswa
sebanyak 50 orang. Keberadaan sekolah ini sangat terjangkau
karena letaknya berada di depan jalan umum.

Anak disabilitas yang sekolah di SLBN Komodo adalah yang


berasal dari kota Labuan Bajo. Sedangkan yang dari desa sudah
dapat mengakses SLBN Komodo karena sudah ada asrama yang
memadai. Untuk mendukung keberadaan SLBN Komodo maka
dibangunlah Pusat Rehabilitasi Sosial berdampingan dengan
SLBN Komodo.

Perubahan yang lain adalah adanya perda disabilitas.


Dengan adanya perda ini, selain menjadi acuan bagi pemerintah
daerah untuk membuat kebijakan yang pro disabilitas juga
sebagai landasan bagi lembaga-lembaga pemerhati masalah
sosial untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas.
Sekarang semua dinas mulai menyadari tentang penyandang
disabilitas. Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Barat telah
terlibat lebih aktif lagi dalam membuat kebijakan untuk
mendukung perubahan kehidupan penyandang disabilitas.

11.4 Hambatan-hambatan
Hambatan-hambatan dalam melakukan advokasi adalah

1. Situasi politik.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) memberi banyak
dampak pada saat melakukan advokasi. Advokasi yang
dilakukan pada saat sebelum pilkada hasilnya akan sangat
bergantung pada saat pilkada. Jika pada saat pilkada, yang
memenangkan pilkada adalah pasangan incumbent atau
yang masih menjabat hal ini akan mempermudah proses
kelanjutan advokasi. Namun, jika yang menang dalam
pilkada adalah pasangan baru, advokasi dilakukan mulai dari
awal memperkenalkan isu yang hendak diadvokasi kepada
pemimpin yang baru.

2. Pergantian pimpinan Orgainisasi Perangkat Daerah (OPD).


Pergantian kepala dinas pada OPD terkait juga sangat
mempengaruhi kelanjutan komunikasi dalam advokasi.
Pergantian pimpinan dapat menyebabkan terjadinya
perubahan prioritas dalam instansi terkait.

3. Prioritas pembangunan.
Perjuangan yang paling berat dalam advokasi adalah
memperjuangkan agar isu yang diperjuangkan masuk
menjadi
salah satu prioritas pembangunan di tingkat kabupaten.
Prioritas pembangunan di tingkat kabupaten sangat
ditentukan oleh dinamika politik lokal.

11.5 Testimony
Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Barat mengatakan kerja
sama antara Dinas Sosial Manggarai Barat dan SANKITA selama
ini sudah berjalan dengan baik. Kehadiran SANKITA mengangkat
isu disabilitas sangat membantu Dinas Sosial Manggarai Barat
dalam memberi arah kebijakan kepada penyandang disabilitas.
Sebelumnya, isu disabilitas belum menjadi isu yang benar-benar
diperhatikan. Tetapi dengan adanya lembaga sosial seperti
SANKITA, yang terus menerus melakukan komunikasi dengan
Dinas Sosial Manggarai Barat, isu disabilitas ini menjadi salah
satu isu yang mulai diperhatikan secara serius. Saat ini, Dinas
Sosial Manggara

11.6 Replikasi Advokasi


Untuk melakukan advokasi ini hal-hal yang harus
diperhatikan adalah;

Pelakuan advokasi adalah penyandang disabilitas itu sendiri.


Sangatlah tepat kalau yang melakukan advokasi adalah
penyandang disabilitas itu sendiri. Mereka dapat
mengungkapkan secara langsung yang menjadi
kebutuhannya. Sedangkan yang non disabilitas tugasnya hanya
untuk memperkuat atau mendampingi penyandang disabilitas.
Tentukan tujuan yang hendak dicapai.
Advokasi harus mempunyai target tertentu. Misalnya
sekolah, aturan atau perubahan kebijakan lainnya. Target
advokasi tidak boleh ditentukan bergantung pada proses. Tetapi
di awal sebelum melakukan advokasi, target itu sudah
ditentukan sehingga advokasinya focus pada target yang hendak
dicapai.

Bentuk tim advokasi yang inklusif.


Untuk memperkuat advokasi, haruslah membentuk tim
advokasi yang inklusif, yang di dalamnya ada penyandang
disabilitas dan non disabilitas. Tim ini sebagai mitra untuk
membangun dukungan dan proses komunikasi serta
pembelajaran dalam melakukan advokasi.
Bab 12
Pentingnya Peran Organisasi
Penyandang Disabilitas (OPD)

12.1 Pengantar
Organisasi penyandang disabilitas (OPD) merupakan salah
satu wadah yang sangat penting bagi penyandang disabilitas.
Organisasi dipandang sebagai tempat bagi penyandang
disabilitas untuk mengaktualisasikan diri, mengembangkan
model-model advokasi sekaligus sebagai tempat untuk saling
memperkuat antara penyandang disabilitas. Saat ini, di
tingkat nasional banyak sekali OPD yang sudah terbentuk,
bahkan ada OPD yang membuka cabangnya sampai ke daerah-
daerah. Misalnya OPD Persatuan Tuna Netra Indonesia
(PERTUNI) dan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia
(PPDI). Di tingkat lokal, banyak pula OPD-OPD yang terbentuk,
yang berdiri sendiri atau tidak berafiliasi dengan OPD-OPD yang
ada di tingkat nasional.

Dalam advokasi perubahan kebijakan, OPD merupakan


organisasi yang sangat strategis untuk memastikan terpenuhnya
hak-hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, keterlibatan
OPD dalam perumusan kebijakan pembangunan baik di tingkat
lokal maupun nasional sangat penting. Namun, saat ini, masih
ada daerah-daerah yang belum terbentuk OPD, sehingga
advokasi untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas
juga belum dapat dilakukan. Di Manggarai Barat sendiri, sejak
awal terbentuknya Kabupaten Manggarai Barat dari tahun 2004
sampai dengan tahun 2018, belum ada OPD.

Salah satu stakeholder yang sangat penting dalam upaya


meningkatkan perubahan kehidupan penyandang disabilitas
adalah organisasi penyandang disabilitas itu sendiri. Selama ini,
upaya-upaya untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan
dan menghilangkan stigma lebih banyak dilakukan oleh orang-
orang yang non disabilitas sehingga dampaknya tidak signifikan.
Tokoh kunci dalam melakukan advokasi perubahan kebijakan
dan membangun kesadaran adalah penyandang disabilitas itu
sendiri.

Pada saat SANKITA melakukan advokasi, pada dua tahun


awal, tahun 2009 sampai dengan 2010, advokasi isu disabilitas
tidak maksimal karena yang melakukan advokasi saat itu
adalah staf yang bukan penyandang disabilitas sehingga tidak
menimbulkan kesan kepada para pemangku kebijakan. Setelah
tahun 2011, SANKITA melibatkan penyandang disabilitas sendiri
yang melakukan advokasi. Saat itu, seorang staf tuna netra,
Anselmus Kartono bersama-sama dengan staf lainnya
melakukan kunjungan langsung ke dinas-dinas. Dari kunjungan
langsung yang dilakukan oleh staf tuna netra tersebut, dinas-
dinas di tingkat pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mulai
memberi kesan dan perhatian pada isu disabilitas.

Saat staf tuna netra SANKITA melakukan advokasi


sendiri, hal ini juga belum cukup kuat memberikan daya
dorong pada upaya perubahan kebijakan. Untuk memperkuat
advokasi, SANKITA melakukan serangkaian diskusi dengan
para penyandang disabilitas di Labuan Bajo untuk turut aktiv
melakukan advokasi secara bersama-sama. Sebagai langkah
awal untuk memperkuat advokasi, para penyandang disabilitas
sepakat untuk membentuk organisasi yang menghimpun para
penyandang disabilitas di Manggarai Barat dalam satu wadah
yang diberi nama Perhimpunan Penyandang Disabilitas
Manggarai Barat (PPD Mabar). PPD Mabar terbentuk pada
Desember 2018.

12.2 Rangkaian kegiatan membentuk PPD


Mabar
Untuk membentuk PPD Mabar, serangkaian kegiatan yang
dilaksanakan adalah sebagai berikut;

12.2.1 Diskusi untuk membangun kesadaran bagi penyandang


disabilitas.
SANKITA melaksanakan diskusi dengan mengundang
penyandang disabilitas yang tinggal di Labuan Bajo. Topik
awal dalam diskusi tersebut adalah terkait pentingnya
penyandang disabilitas melakukan advokasi untuk mengurangi
atau menghilangkan hambatan-hambatan yang dialami oleh
penyandang disabilitas. Diskusi ini dilakukan secara informal
yang dilaksanakan di SANKITA ataupun di lembaga-lembaga
lain yang memberi perhatian kepada penyandang disabilitas
seperti Yayasan Ayo Mandiri dan Pusat Rehabilitasi St. Damian
Cancar-Binongko. Dalam diskusi-diskusi yang dilakukan, para
penyandang disabilitas sepakat untuk membentuk sebuah
wadah yang menghimpun mereka untuk secara bersama-sama
memperjuangkan hak-hak mereka.

12.2.2 Worksop tentang keberadaan penyandang disabilitas di


Manggarai Barat.
Untuk memperkuat pemahaman para penyandang
disabilitas, SANKITA bersama dengan penyandang disabilitas
melaksanakan workshop yang membahas secara khusus tentang
situasi dan kondisi penyandang disabilitas di Manggarai Barat.
Salah satu topik yang ada dalam workshop ini adalah tentang
keberadaan penyandang disabilitas yang kurang mendapatkan
perhatian dari para pemangku kebijakan, hidup dalam
keterbatasan, hidup dalam masyarakat yang kuat memiliki
stigma kepada penyandang disabilitas. Tujuan workshop ini
adalah agar penyandang disabilitas memahami dan menyadari
tentang keberadaan dirinya sendiri di dalam masyarakat.

12.2.3 Workshop tentang pentingnya peran organisasi bagi


penyandang disabilitas.
Setelah melakukan workshop pertama, SANKITA bersama
penyandang disabilitas, melakukan workshop khusus tentang
pentingnya organisasi bagi penyandang disabilitas. Dalam
workshop dibahas secara bersama-sama terkait keuntungan
dan kekurangan penyandang disabilitas bergabung ataupun
tidak bergabung dalam organisasi. Pada akhir 2018, SANKITA
melakukan inisiatif mengumpulkan penyandang disabilitas di
Labuan Bajo untuk mengenal konsep OPD. Untuk itu, SANKITA
mengundang seorang fasilitator dari ULD Klaten Pak Nur, untuk
memberi gambaran yang jelas terkait dengan peran dan fungsi
OPD dalam, melakukan advokasi. Pada saat workshop ini juga
para penyandang disabilitas sepakat segera membentuk
organisasi yang disepakati dengan nama Perhimpunan
Penyandang Disabilitas Manggarai Barat (PPD Mabar).

12.2.4 Pelatihan penguatan management dan kepemimpinan.


Setelah organisasi PPD Mabar terbentuk, SANKITA
melakukan serangkaian kegiatan pelatihan penguatan
kepemimpinan PPD Mabar. SANKITA memberi pelatihan
berupa pengenalan dan pemahaman organisasi, pelatihan
kepemimpinan dan pelatihan public speaking. Kegiatan-kegiatan
tersebut bertujuan untuk membentuk struktur dan management
PPD Mabar berjalan dengan baik.

12.3 Perubahan yang terjadi


Setelah organisasi PPD Mabar terbentuk, penyandang
disabilitas di Manggarai Barat aktif dalam melakukan advokasi.
Sejak PPD Mabar terbentuk, SANKITA bersama PPD Mabar
bersama-sama melakukan advokasi terkait perubahan kebijakan
bagi penyandang disabilitas. Hasil dari advokasi bersama ini
adalah berdirinya tempat rehabilitasi social di Manggarai Barat.
PPD Mabar juga mendapatkan perhatian dari Pemerintah
Kabupaten Manggarai Barat, pada setiap tahun anggaran,
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengalokasikan
anggaran operasional untuk PPD-Mabar. PPD-Mabar juga sampai
dengan saat ini sering diundang oleh Pemerintah Kabupaten
Manggarai Barat terlibat dalam diskusi membahas rencana
pembangunan di tingkat Kabupaten Manggarai Barat.

12.4 Testimony
Menurut Ketua PPD Manggarai Barat, Simon Bonsafia,
kondisi penyandang diasbilitas di sekitar kota Labuan Bajo
sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kondisi yangg dialami
oleh penyandang disabilitas di desa. Selama ini perhatian
pemerintah daerah hanya tertuju pada penyandang disabilitas
yang hidup di Panti sedangkan penyandang disabilitas yang
hidup di luar pantai sangat kurang diperhatikan.
Pada tahun 2018 SANKITA bersama-sama dengan
penyandang disabilitas menginisiasi terbentuknya sebuah
organisasi penyandang disabilitas Maggarai Barat. Semua
penyandang disabilitas yang hadir pada saat itu setuju untuk
membentuk organisasi penyandang disabilitas dengan nama
Perhimpunan Penyandang Disabilitas (PPD) Manggarai Barat
yang disingkat PPD Mabar. Untuk mendukung keberadaan
lembaga ini, SANKITA juga menyediakan beberapa pelatihan
antara lain; pelatihan kepemimpinan dan management
organisasi. Pelatihan-pelatihan tersebut sangat membantu PPD
Mabar untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengelola
keorganisasian.

Setelah organisasi PPD Mabar terbentuk, organisasi ini


mulai melakukan advokasi kebijakan bersama dengan SANKITA
untuk perubahan kebijakan. Hasil dari advokasi ini, PPD Mabar
sudah menjadi organisasi penyandang disabilitas yang selalu
dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan perencanaan
pembangunan di tingkat kabupaten.

Bagi kami PPD Mabar, keberadaan organisasi penyandang


disabilitas ini sangat penting dan strategis untuk melakukan
advokasi perubahan kebijakan bagi kehidupan penyandang
disabilitas. Saat ini, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat
sudah mengalokasikan anggaran kepada PPD Mabar untuk
menjalankan organisasinya.

12.5 Replikasi Kegiatan


Bagi organisasi yang hendak menginisiasi terbentuknya
organisasi penyandang disabilitas, langkah-langkah yang harus
dilakukan adalah;
1. Melakukan pendekatan dengan penyandang disabilitas.
Pertemuan-pertemuan yang rutin dengan penyandang
disabilitas sangat penting untuk memengaruhi cara pandang
disabilitas terhada situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Pertemuan-pertemuan formal dan membangun pertemanan
dengan penyandang disabilitas sangat penting, khususnya
untuk mendapatkan kepercayaan dari penyandang
disabilitas.
Penyandang disabilitas biasanya tidak langsung
percaya dengan orang-orang yang datang memberi
pandangan baru terhadap mereka. Butuh waktu lama dan
konsistensi dalam pergaulan dengan penyandang disabilitas
factor yang penting. Kita tidak boleh memeralat penyandang
disabilitas. Tidak boleh berjuang atas nama penyandang
disabilitas tetapi penyandang disabilitas tidak dilibatkan.

2. Melakukan seminar atau workshop.


Langkah awal yang sangat penting adalah membangun
kesadaran bagi penyandang disabilitas sendiri. Kalau mereka
sudah paham tentang keberadaan mereka sendiri, hal ini
akan membantu penyandang disabilitas untuk terlibat secara
aktif dalam melakukan kegiatan advokasi.

3. Penyandang disabilitas sebagai pemain subjek.


Dalam memperjuangkan atau bekerja sama dalam
memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, penyandang
disabilitas harus berada di depan. Mereka sendirilah yang
melakukan dialog atau komunikasi-komunikasi dengan para
pemangku kebijakan. Yang non-disabilitas berada dalam
pihak yang mendukung, sehingga tidak dapat mengambil
peran sebagai pemeran utama melakukan advokasi.
Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Daftar Pustaka

Arnot, David, dkk (2009). Pustaka kesehatan Populer Pengobatan


Praktis: perawatan Alternatif dan tradisional, Vol. 7.
Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Behrman, Kliegman, Arvin, (1996), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta:
Penerbit buku Kedokteran EGC.
Bonnafous-Boucher, Maria & Rendtorff, Jacob Dahl, (2016),
Stakeholder Theory A Model for Strategic
Management, Swizterland: Springers.
Clement, Luke & Read, Janet, (2008), Disabled People and the
Right to Life, The Protection and Violation of Disabled
People’s Most Basic Human Rights, London:
Routledge.
Coleridge, Peter, (1996), Disability, Liberation, and Development,
London: Oxfam.
Cousins, Norman (1979), Anatomy of an Illness as Perceived
by the Patient, New York: Bantam Books
(https://ww w. pdfdrive.com/anatomy- of-an-illness-
as-perceived-by- the-patient-d179561607.html)
Departement For International Development (DIFD), (2000),
Disability, Poverty and Development, Issue February.
Mengenal Tentang RBM, Bahan-Bahan Pelatihan Untuk Pekerja-
Pekerja Rehabilitasi Bersumberdaya masyarakat,
PPRBM Solo-Indonesia. Dipresentasikan Sunarman
Sukamto pada pertemuan jejaring EcoFlores di
Bajawa-Ngada pada tanggal 24 Oktober 2013
Mudjito, Harizal, Elfindri (2012), Pendidikan Inklusif, Tuntunan
untuk Guru, Siswa dan Orang Tua Anak Berkebutuhan

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~217~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Khusus dan Layanan Khusus, Disertai Tuntutan


Untuk Pemula dan Yayasan Pendidikan, Jakarta
Baduose Media-Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 65 tahun
2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi.
Reckinger, Carole & Michael Yudha Winarno, (2010), A
Bridge Over Troubled Water, Towards an Inclusive
society in Indonesia, Caritas Germany Country Office
Indonesia.
Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat, Pedomaan RBM, World
Health Organization, 2010, WHO Press
Retief, M. & Letšosa, R., (2018), ‘Models of disability: A brief
overview’, HTS Teologiese Studies/ Theological
Studies 74(1), a4738. https://doi.org/10.4102/hts.
v74i1.4738
Siebers, Tobin, (2008), Disability Theory, Ann Arbor: The
University of Michigan Press
Sunaryo, (2002), Psikologi Untuk Keperawatan, Jakarta: Penerbit
buku Kedokteran EGC
Undang-Undang RI Nomor 04 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat
Undang-undang RI Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention on The Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas)
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
United Nations Convention on the Rights of Persons with
Disabilities.
Watson, Nick, Roulstone, Alan & Thomas, Carol (eds.), (2012),
Routledge Handbook of Disability Studies, London:

~218~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
Routledge.

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~219~


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas

Werner, David, (2002), Anak-anak Desa Yang Menyandang Cacat,


Yayasan Bhakti Luhur.
World Health Organizations, (1980), International Classification
of Impairments, Disabilities and Handicaps, Geneva:
WHO.
World Health Organization. (2001). The World health report
: 2001 : Mental health : new understanding, new
hope. World Health Organization. https://apps.who.
int/iris/handle/10665/42390
World Health Organization. (1986). Ottawa Charter for Health
Promotion (https://www.euro.who.int/_
_d a t a /
assets/pdf_file/0004/129532/Ottawa_Char ter.pdf )
Verheijin, Jillis A., (1991), Manggarai dan Wujud Tertinggi,
Jakarta: LIPI-RUL.

Website
h t t p s : / / w w w. a l o do kt e r. c o m / a pa - y an g- d i m a k s u d- d
e n ga n-
fisiofisioterapi, diakses tanggal 4 Maret 2021.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Fisioterapi, diakses tanggal
04 Maret 2021.
https://id.wikipedia.org/wiki/Fisioterapi, diakses pada tanggal 04
Maret 2021.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Rehabilitasi, diakses pada
tanggal 04 Maret 2021.
h t t p: / / b p p s d mk . k e mk e s . g o . i d / p u s d i k s d mk / w p - c o
ntent/
uploads/2017/08/Promkes-Komprehensif.pdf

~218~ Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM


Berkarya Bersama Penyandang Disabilitas
http://www.scielo.org.za/pdf/hts/v74n1/06.pdf

Pengalaman Yayasan Kita Juga dengan Pendekatan RBM ~221~

Anda mungkin juga menyukai