Anda di halaman 1dari 4

PANDANGAN ISLAM PADA KEMISKINAN

Hartomi Maulana

Kemiskinan adalah masalah global dan fenomena yang harus diselesaikan di negara-
negara berkembang termasuk negara-negara Muslim. Islam memandang kemiskinan
berdasarkan norma dan nilai ideologisnya. Sebagaimana disebut oleh Sadeq (1997), dua
tingkat kemiskinan telah tersirat dalam sumber-sumber Islam. Pertama, kemiskinan kronis
atau biasa disebut ‘hardcore poverty’ sebagaimana tersirat dalam konsep ‘faqir‘
dan ‘miskin’ dalam terminologi Islam. Kedua, kemiskinan yang rendah, yang dapat disebut
‘general poverty’, sebagaimana tercermin dalam nisab zakat. Kemiskinan kronis ini
mengacu pada konsep miskin dan faqir. meskipun beberapa cendekiawan yurisprudensi
Islam berbeda antara dua konsep (miskin dan faqir), kedua konsep tersebut sama-sama
merujuk pada kemiskinan. Faqir mengacu pada seseorang yang tidak memiliki properti atau
tidak memiliki penghasilan yang cukup dalam memenuhi keperluan dasar seperti makanan,
pakaian, akomodasi, dan kebutuhan lainnya, untuk dirinya sendiri dan tanggungannya,
dan miskin mengacu pada yang serupa, tetapi kondisinya sedikit lebih baik (Sadeq, 1997).
Kedua konsep merujuk pada kondisi ekonomi yang membuat seseorang tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar.

Terkait dengan kebutuhan dasar, berbeda cendekia muslim, berbeda pula pandangan
terhadap hal-hal yang terkait sebagai kebutuhan dasar. Beberapa cendekia menyarankan
barang-barang dalam daftar kebutuhan dasar termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal,
kesehatan dan pendidikan. Pandangan-pandangan ini didasarkan pada interpretasi individu
terhadap sumber-sumber dasar dalam Islam yang tidak menyediakan daftar barang dan
jasa yang tetap untuk dimasukkan sebagai kebutuhan dasar.

Kebutuhan dasar diserahkan kepada kebiasaan (urf) yang berlaku di masyarakat yang
secara alami akan tergantung pada kondisi ekonomi masyarakat dan persepsi terkait
tentang kebutuhan manusia. Urf ini adalah konsep Islam yang membolehkan kebiasaan
yang sejalan dengan semangat Islam. Dengan demikian, kemiskinan kronis dapat
didefinisikan sebagai situasi di mana kebutuhan dasar yang ditentukan urf tidak dapat
dipenuhi.

Seperti disebutkan sebelumnya, sumber-sumber dasar dari Islam menunjukkan bahwa


Islam tidak menyukai kemiskinan dan demikian menyediakan kerangka kerja yang
komprehensif dalam pengentasan kemiskinan. Menurut Sadeq (1997), ada tiga kategori
strategi yang dianggap dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertama, langkah-
langkah positif termasuk pertumbuhan pendapatan, distribusi pendapatan, dan peluang
yang sama bagi semua. Kedua, langkah-langkah pencegahan adalah kontrol kepemilikan
dan pencegahan malpraktek dalam ekonomi dan bisnis yang mengarah pada konsentrasi
kekayaan. Ketiga, langkah-langkah perbaikan termasuk pembayaran transfer wajib,
pembayaran transfer yang disarankan, dan tanggung jawab negara.

Sumber: Sadeq, A.H.M (1997). Poverty alleviation: an Islamic perspective. Humanomics,


Vol. 13 Issue: 3, pp.110-134

begitulah kata orang tua kita jaman dulu. Semakin banyak anak, semakin banyak rezeki yang akan
kita dapatkan. Namun, apakah adagium “kuno” itu benar?

Dalam Islam, melahirkan dan memiliki keturunan adalah hal yang sangat dianjurkan. Beberapa dalil
dari Alquran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan hal tersebut.
Diantaranya firman Allah:

‫ب هَّللا ُ لَ ُك ْم‬ ِ َ‫فَاآْل َن ب‬


َ َ‫اشرُوهُ َّن َوا ْبتَ ُغوا َما َكت‬
“Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri) dan carilah/harapkanlah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– ketika menafsirkan “apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu” berkata, “Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih al Qadhi, Mujahid, Ikrimah, Said bin
Jubair dan yang lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah anak. (Tafsir Al Qur`an Al
Adzim: 1/512)
Adapun dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadis:

» ‫« تَ َز َّوجُوا ْال َو ُدو َد ْال َولُو َد فَِإنِّى ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ُم اُأل َم َم‬


“Nikahilah oleh kalian wanita yang pencinta dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian
kepada umat-umat yang lain.” (HR Abu Dawud: 2052, dishahihkan Al Albany dalam Jami As-Shahih:
5251)
Hadis di atas adalah perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar menikah
dengan wanita yang subur, agar ia dapat melahirkan anak yang banyak. Beliau ingin jika umat Islam
banyak anak, maka semakin banyak pengikutnya sehingga beliau dapat berbangga dengan
banyaknya jumlah pengikut pada hari kiamat kepada nabi-nabi yang lain dan umatnya.
Anjuran Islam ini juga ditunjukkan oleh hadis:

‫ َأ ْو ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع‬، ‫اريَ ٍة‬


ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
َ :‫ث‬ ٍ ‫ْن آ َد َم ا ْنقَطَ َع َع َملُهُ ِإالَّ ِم ْن ثَال‬Bُ ‫ات اب‬
َ ‫ِإ َذا َم‬
ُ‫ح يَ ْد ُعو لَه‬
ٍ َ ‫ َأ ْو َولَ ٍد‬، ‫بِ ِه‬
ِ‫صال‬
“Jika seorang anak Adam mati, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim)
Anak adalah karunia. Kehadiran mereka adalah nikmat. Anak dan keturunan memang dapat
melahirkan ragam kebaikan. Dalam kehidupan rumah tangga, anak-anak dan keturunan ibarat tali
pengikat yang dapat semakin menguatkan hubungan pasangan suami istri. Dan dari sana lah
kemudian akan tercipta keharmonisan dalam rumah tangga; sakinah, mawaddah dan rahmah. (Dari
ceramah Syaikh Sa’ad As-Syitsry, Ahkam Al Maulud)

Dari sisi ini saja, anak-anak dengan sendirinya merupakan rizki Allah bagi manusia. Karena rizki
sejatinya adalah segala hal yang bermanfaat dan menyenangkan penerimanya. Belum lagi dari sisi
yang lain, Allah menjanjikan bahwa setiap anak yang terlahir akan Allah jamin rizkinya. Allah
berfirman:

ٍ ‫َواَل تَ ْقتُلُوا َأ ْواَل َد ُك ْم ِم ْن ِإ ْماَل‬


‫ق نَحْ ُن نَرْ ُزقُ ُك ْم َوِإيَّاهُ ْم‬
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am [6]: 151)
Selanjutnya, jika anak-anak itu adalah anak-anak yang shaleh dan shalehah, yang tumbuh dalam
beribadah kepada Allah, maka semakin bertambahlah karunia yang Allah berikan kepada kedua
orang tuanya. Hidup kian berkah dengan kehadiran mereka. Bisa jadi, kerja keras orang tua
mendidik anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah yang shaleh menjadi sebab semakin
berkahnya rizki yang didapatkan. Karena orang tua yang sungguh-sungguh mendidik anak-anaknya,
berarti ia telah bertakwa kepada Allah. Dan Allah berfirman tentang buah dari ketakwaan:

ُ ‫ َويَرْ ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬. ‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬


ُ‫ْث اَل يَحْ تَ ِسب‬ ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Thalaq [65]: 2-3)
Namun, jika kedua orang tua lalai dari anak-anaknya dengan tidak memberikan pendidikan agama
yang benar dan lingkungan yang baik, sehingga mereka tumbuh dalam kondisi tidak mengenal
Allah, bahkan anak-anaknya itu membuat mereka lupa kepada Allah, maka nikmat dan karunia
tersebut kelak berakibat petaka. Alih-alih dapat mengundang rizki, anak-anak yang seperti itu dapat
berubah menjadi musibah, dunia dan akhirat.

Pada batas ini, berarti adagium “banyak anak banyak rezeki” hanya berlaku bagi orang yang banyak
anak serta sungguh-sungguh membentuk mereka dengan pendidikan yang baik. Sehingga mereka
tumbuh sebagai orang-orang yang mengenal Rabbnya, mengenal hak orang tuanya dan bermanfaat
untuk umat.

Semoga artikel “banyak anak banyak rezeki” ini bisa bermanfaat untuk kita semua dan semoga
Allah mengaruniakan kepada kita putra putri yang shaleh dan shalehah, bermanfaat untuk kita saat
kita masih hidup dengan bakti mereka yang tulus, dan saat kita telah wafat dengan doa mereka
yang tak pernah putus. Amin.

Baca Juga: Salah Satu Tanda Anak Durhaka


© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/9511-banyak-anak-banyak-rezeki.html

Anda mungkin juga menyukai