Anda di halaman 1dari 3

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 91 JAKARTA
LATIHAN HARIAN SEMESTER GANJIL
TAHUN PELAJARAN 2021/2022

Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Nama Siswa Alya Putri Hanifa


Kelas/Program XII MIPA-IPS Nomor Absen Kelas 03
Hari, tanggal Rabu, 25 Agustus 2021. Kelas XII MIPA 4
Waktu 60 menit

PETUNJUK UMUM
1. Tulis identitas Anda pada kolom yang disediakan.
2. Periksa jawaban Anda sebelum mengumpulkan lembar kerja ini ke GCR.
Bacalah kutipan teks novel sejarah “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer berikut ini.

BUMI MANUSIA
Karya Pramoedya Ananta Toer

….
Barang seratus atau seratus lima puluh meter di sebelah kiri rumah plesir itu nampak kosong
tanpa rumah.
Kemudian menyusul rumah loteng dari kayu, juga berpelataran luas. Dekat di belakang pagar
kayu terpasang papan nama besar dengan tulisan: Boerderij Buitenzorg.
Dan setiap penduduk Surabaya dan Wonokromo, kiraku, tahu belaka: itulah rumah hartawan
besar Tuan Mellema - Herman Mellema. Orang menganggap rumahnya sebuah istana pribadi,
sekalipun hanya dari kayu jati. Dari kejauhan sudah nampak atap sirapnya dari kayu kelabu. Pintu
dan jendela terbuka lebar. Tidak seperti pada rumah plesir Ah Tjong. Berandanya tak ada.
Sebagai gantinya, sebuah konsol cukup luas dan lebar melindungi anak tangga kayu yang lebar
pula, lebih lebar daripada pintu depan.
Sampai sejauh itu orang hanya mengenal nama Tuan Mellema. Orang sekali-sekali saja atau
sama sekali tak pernah melihatnya lagi. Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut
gundiknya: Nyai Ontosoroh — gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tiga
puluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia
mendapatkan nama Ontosoroh — sebutan Jawa. Kata orang, keamanan keluarga dan
perusahaan dijaga oleh seorang pendekar Madura, Darsam, dan pasukannya. Maka tak ada
orang berani datang iseng ke istana kayu itu.
Aku terhenyak. Dokar tiba-tiba membelok, melewati pintu gerbang, melewati papan nama
Boerderij Buitenzorg, langsung menuju ke tangga depan rumah. Aku bergidik. Darsam yang belum
pernah aku lihat itu muncul dalam benakku.
Hanya kumis, tak lain dari kumis, sekepal dan clurit. Tak pernah ada cerita orang mendapat
undangan dari istana angker-sangar ini.
“Ke sini?” Ia hanya mendengus.
Seorang pemuda Indo-Eropa membuka pintu kaca, menuruni anak tangga, menyambut Suurhof.
Nampaknya ia seumur denganku, la berwajah Eropa, berkulit Pribumi, jangkung, tegap, kukuh.
“Hai, Rob!”
“Oho, Rob!” sambut Suurhof. “Aku bawa temanku. Rob. Tak apa toh? Kau tak ada keberatan.
kan?”
Pemuda itu tidak menyambut aku — pemuda Pribumi lirikannya tajam menusuk. Aku mulai
gelisah, tahu sedang memasuki awal babak permainan.
Kalau dia menolak Suurhof akan tertawa, dan dia akan tunggu aku merangkak ke jalan raya
dalam halauan Darsam. Dia belum menolak, belum mengusir. Sekali saja bibirnya bergerak
menghalau — God, ke mana mesti aku sembunyikan mukaku? Tapi tidak, mendadak ia
tersenyum mengulurkan tangan:
“Robert Mellema,” ia memperkenalkan diri.
“Minke,” balasku.
Ia masih juga menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya,
maka tak menyebutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali dianggapnya aku anak yang
tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan, tanpa nama keluarga adalah Indo hina, sama
dengan Pribumi. Dan aku memang Pribumi. Tapi tidak, ia tak menuntut nama keluargaku.
“Senang berkenalan denganmu, mari masuk.”
Kami menaiki jenjang. Hatiku tetap curiga melihat lirikannya yang tajam. Pemuda macam apa
Latihan Teks Cerita Sejarah: Kaidah Kebahasaan SMA Negeri 91 Jakarta
pula Robert Mellema ini?
Kecurigaan tiba-tiba hilang sirna. Suasana baru menggantikan: di depan kami berdiri seorang
gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata
berkilauan itu seperti sepasang kejora, dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman. Kalau gadis
ini yang dimaksudkan Suurhof, dia benar: bukan saja menandingi malah mengatasi Sri Ratu.
Hidup, dari darah dan daging, bukan sekedar gambar.
“Annelies Mellema,” ia mengulurkan tangan padaku, kemudian pada Suurhof.
Suara yang keluar dari bibirnya begitu mengesani, tak mungkin dapat kulupakan seumur hidup.
Kami berempat duduk di sitje rotan. Robert Suurhof dan Robert Mellema segera terlibat dalam
percakapan tentang sepakbola, pertandingan besar yang pernah mereka saksikan di Surabaya.
Aku merasa kikuk untuk mencampuri. Tak pernah aku suka pada sepakbola. Mataku mulai
menggerayangi ruang tamu yang luas itu, perabot, langit-langit, kandil-kandil kridai yang
bergelantungan, lampu-lampu gas gantung dengan kawat penyalur dari tembaga - entah di mana
sentralnya - potret Sri Ratu Emma yang telah turun tahta terpasang pada pigura kayu berat. Dan
untuk ke sekian kali pandang ini berhenti pada wajah Annelies juga. Sebagai penjual perabot
rumah tangga, sekali caup sudah dapat aku menentukan, barang-barang itu mahal belaka,
dikerjakan oleh para tukang yang mahir. Permadani di bawah sitje bergambarkan motif yang tak
pernah kutemui. Mungkin pesanan khusus. Lantainya terbuat dari parket, tegel kayu, yang
mengkilat oleh semir kayu.
“Mengapa diam saja?” tegur Annelies dengan suara manis dalam Belanda pergaulan.
Sekali lagi kutatap wajahnya. Hampir-hampir aku tak berani menentang matanya. Tiadakah dia
jijik padaku, sudah tanpa nama keluarga dan Pribumi pula ? Aku hanya bisa menjawab dengan
senyum - senyum manis tentu — dan sekali lagi melepas pandang pada perabot. Dan: “Semua
serba bagus di sini.”
“Suka kau di sini?”
“Suka sekali,” dan sekali lagi kupandangi dia.
Sesungguhnya kecantikannya memang memukau. Di tengah-tengah kemewahan ini ia nampak
agung, merupakan bagian yang mengatasi segala yang indah dan mewah.
“Mengapa kau sembunyikan nama-keluargamu?” tanyanya.
“Tak ada kusembunyikan,” jawabku, dan mulai gelisah lagi. “Apa perlu benar kusebutkan?” aku
lirik Robert Suurhof.
Ia tidak tertikam oleh lirikanku. Ia sedang asyik tenggelam dalam sepakbolanya dengan Robert
Mellema. Sebelum aku tarik lirikanku mendadak ialah yang justru melepaskan lirikannya.
“Tentu,” sambut Annelies. “Nanti disangka kau tak diaku oleh ayahmu.”
“Aku tak punya. Betul-betul tak punya,” jawabku nekad.
“Oh!” serunya pelan. “Maafkan aku.” Ia terdiam sejenak. “Tak punya pun baik,” katanya
kemudian.
“Aku bukan Indo,” tambahku dengan nada membela diri.
“Oh” sekai lagi ia berseru. “Bukan”
Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Dia sudah tahu aku bukan Indo, pengusiran
setiap saat bisa terjadi.
Tanpa melihat dapat aku rasai lirikan Robert Suurhof sedang menaksir-naksir bagian tubuhku
yang tak tertutup Ya. Seperti gagak sedang menaksir calon bangkai. Waktu aku mengangkat
pandanganku kulihat Robert Mellema menikam Annelies dengan pandangannya. Dan pada waktu
itu beralih padaku bibirnya menjadi garis lurus tipis. Astaga, mau jadi apa aku ini
“Haruskah aku terusir seperti anjing dari rumah yang serba mewah ini, di bawah derai tawa
Robert Suurhof?”
Tak pernah aku merasa secemas sekarang. Lirikan Suurhof menikam batang leherku. Pandang
pemuda Mellema padaku masih belum ditarik, bahkan berkedip pun ia tidak.
Annelies menatap Robert Suurhof, kemudian pada abangnya, kemudian kembali padaku. Sejenak
penglihatanku kabur. Yang nampak hanya gaun panjang putih Annelies, tanpa wajah, tanpa
anggota badan. Dan gaun itu tidak berlengan, berkilauan pada setiap gerak.
Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di
rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat menunggu meledaknya pengusiran. Sebentar lagi si
Darsam pendekar akan dipanggil, disuruh lemparkan aku ke jalan raya.
Jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut mendengar lengking tawa Annelies.
Lambat-lambat kunaikkan pandang padanya. Giginya gemerlapan, nampak, lebih indah dari
semua mutiara yang tak pernah kulihat. Ahoi, philogynik, dalam keadaan begini pun kau masih
sempat mengagumi dan memuja kecantikan.
“Mengapa pucat?” tanya Annelies seperti sedang memberi ampun. “Pribumi juga baik,” katanya
masih tertawa.
Pandang Robert Mellema sekarang tertuju pada adiknya, dan Annelies menantangnya dengan
pandang terbuka. Sang abang menghindari.
Permainan sandiwara apakah semua ini? Robert Suurhof tak bicara sesuatu. Robert Mellema
juga tidak. Apakah dua pemuda itu sedang bermain mata memaksa aku untuk minta maaf?
Hanya karena aku tak punya nama keluarga dan Pribumi pula? Puh! mengapa aku harus
Latihan Teks Cerita Sejarah: Kaidah Kebahasaan SMA Negeri 91 Jakarta
melakukannya? Tidak!
“Pribumi juga baik,” ulang Annelies bersungguh.
“Ibuku juga Pribumi - Pribumi Jawa. Kau tamuku, Minke,” suaranya mengandung nada
memerintah.
Baru aku menghembuskan nafas lega.
“Terimakasih.”
….

Setelah Anda membaca kutipan novel sejarah tersebut, jawablah pertanyaan dalam tabel berikut.
(diketik)*. Jumlah jawaban sesuai dengan yang tertulis di tabel.
Baca buku paket pelajaran sebagai panduan agar bisa menjawab pertanyaan.

Kaidah Kebahasaan Jawaban


(Kutipan Teks Novel Sejarah Bumi Manusia)
Kalimat bermakna lampau 1. Robert Suurhof dan Robert Mellema segera terlibat dalam
percakapan tentang sepakbola, pertandingan besar yang
pernah mereka saksikan di Surabaya.

Penggunaan konjungsi yang 1. Kemudian menyusul rumah loteng dari kayu, juga berpelataran luas
menyatakan urutan waktu 2. Sebelum aku tarik lirikanku mendadak ialah yang justru melepaskan
(konjungsi kronologis, lirikannya.
temporal)

Penggunaan kata kerja 1. Hatiku tetap curiga melihat lirikannya yang tajam.
material

Penggunaan kalimat tidak 1. Kata orang, keamanan keluarga dan perusahaan dijaga oleh
langsung seoranq pendekar Madura, Darsam, dan pasukannya.

Penggunaan kata kerja mental 1. Aku merasa kikuk untuk mencampuri

Penggunaan dialog 1.“Mengapa kau sembunyikan nama-keluargamu?” tanyanya.


2. “Nanti disangka kau tak diaku oleh ayahmu.”
3. “Aku bukan Indo,” tambahku dengan nada membela diri

Penggunaan kata sifat 1. Nyai Ontosoroh — gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan,
berumur tiga puluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar
itu.

Latihan Teks Cerita Sejarah: Kaidah Kebahasaan SMA Negeri 91 Jakarta

Anda mungkin juga menyukai