Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PERKEMBANGAN KONSEP DIRI, PEMBENTUKAN


KEMANDIRIAN DAN IDENTITAS KARIR PADA MASA REMAJA

DISUSUN OLEH :

SRI BINTANG

UNIVERSITAS TOMPOTIKA LUWUK

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Alhamdulillah senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT


yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga
saya diberikan kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk
menyelesaikan tugas makalah tentang “ Perkembangan Konsep
Diri,Pembentukan Kemandirian dan Identitas Karir Pada Masa Remaja “ .

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar
yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu – satunya karunia
paling besar bagi seluruh alam semesta.

Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan pembaca
untuk memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan
makalah saya ini, untuk kemudian saya merevisi kembali pembuatan makalah ini
diaktu berikutnya.

Bungin, 02 September 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.......................................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH..................................................................
1.3 TUJUAN...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN KONSEP DIRI..........................................................
2. PEMBENTUKAN KONSEP DIRI.....................................................
3. PENGERTIAN KONSEP DIRI REMAJA.........................................
4. PENGERTIAN KEMANDIRIAN......................................................
5. PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN PADA MASA REMAJA........
6. IDENTITAS KARIR PADA MASA REMAJA.................................
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN..................................................................................
B. SARAN...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Remaja yang menyadari bagaimana dirinya maka akan ada


penilaian tentang keberadaan dirinya, apakah yang dilakukannya
baik atau kurang baik, mampu atau kurang mampu. Konsep diri
adalah salah satu kepribadian yang perlu dikembangkan. Menurut
Gunarsa (2008), remaja yang konsep dirinya berkembang dengan
baik akan tumbuh rasa percaya diri, berani, bersemangat dalam
belajar, memiliki keyakinan diri, aktif dalam belajar, mejadi pribadi
yang mandiri dan memiliki pandangan yang baik tentang dirinya.
Tuhan menciptakan setiap individu dengan ciri khas masing-
masing. Setiap individu tidak ada yang sama persis di dunia
walaupun saudara kembarnya. Di dalam diri remaja tentu memilki
penghayatan mengenai siapa dirinya dan apa yang membedakan
dirinya dengan remaja lain. Remaja membutuhkan waktu yang
panjang untuk memahami siapa dirinya. Menurut Puspasari (2007),
remaja yang sedang memahami konsep diri adalah remaja yang ingin
menentukan siapakah, apakah dan bagaimana dirinya saat ini dan
nanti.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan konsep diri?


2. Apa yang dimaksud konsep diri remaja?
3. Bagaimana pembentukan konsep diri?
4. Apa yang dimaksud dengan kemandirian?
5. Bagaimana membentuk kemandirian pada remaja?
6. Apa yang dimaksud kemandirian pada masa remaja?

1
7. Apa pentingnya peran orang tua dalam pengembangan karir pada
masa remaja?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan teori konsep diri pada masa remaja
2. Menjelaskan pembentukan konsep diri
3. Menjelaskan tujuan pembentukan kemandirian pada masa remaja
4. Menjelaskan makna identitas karir pada masa remaja

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan bagian penting dalm setiap diri individu.


(Mudjiran,dkk, 2007 ; Wahyu, Taufik, & Ilyas, 2012) mengemukakan
bahwa “Konsep diri pada dasarnya mengandung arti keseluruhan
gambaran diri yang termasuk persepsi tentang diri, perasaan, keyakinan,
dan nilai nilai yang berhubungan dengan dirinya”. Maksud dari konsep
diri menurut Atwater adalah gambaran secara umum mengenai diri
individu itu sendiri baik dari persepsi, perasaan, keyakinan, dan nilai-
nilai yang berhubungan dengan dirinya.

Epstein (1973) Brim (1975); Blyith dan Traeger (1991) (dalam


Mudjiran, dkk, 2007) mengemukakan “Konsep diri sebagai pendapat
atau perasaan atau gambaran seseorang tentang dirinya sendiri baik baik
yang menyangkut fisik maupun psikis (sosial, emosional, moral, dan
kognitif)”. Konsep diri yang menyangkut materi yaitu pendapat
seseorang tentang segala sesuatu yang dimilikinya baik yang
menyangkut harta benda maupun bentuk tubuhnya. Konsep diri yang
menyangkut sosial yaitu perasaan orang tentang kualitas hubungan
sosialnya dengan orang lain, misalnya menyayangi. Konsep diri yang
menyangkut emosi yaitu pendapat seseorang bahwa ia bahagia, sedih,
marah, gembira, berani dan sebagainya. Konsep diri yang menyangkut
moral yaitu pandangan seseorang tentang dirinya bahwa ia jujur.
Konsep diri yang menyangkut kognitif yaitu pendapat seseorang
tentang kecerdasan.
Djaali (2007:129) menyatakan “Konsep diri merupakan bayangan
seseorang tentang kedaan dirinya sendiri pada saat ini dan bukanlah
bayangan ideal dirinya sendiri sebagaimana yang diharapkan atau yang
disukai oleh orang bersangkutan”. Maksudnya konsep diri merupakan
pandangan positif dan negatif yang dimiliki oleh seorang individu

3
mengenai dirinya sendiri yang merupakan apa adanya bukan pandangan
yang diinginkanya atau pandangan ideal atau harapan orang terhadap
dirinya.
Menurut Hurlock (1980: 34) Konsep diri merupakan pengertian
dan harapan seseorang mengenai diri sendiri yang di cita-citakan atau
yang diharapkan dan bagaimana dirinya dalam realitas yang
sesungguhnya. Baik secara fisik maupun psokologis.
Hardy & Heyes (1988:139) mengungkapkan “Harapan-harapan
dan pengalaman - pengalaman yang berkaitan dengan peran yang
berbeda mungkin berpengaruh terhadap konsep diri seseorang”.
Menurut Santrock (2006: 336) menyebutkan Konsep diri
merupakan suatu evaluasi diri terhadap segala lingkupan perubahan
diri. Remaja bisa mengevaluasi dirinya bersdasarkan bagaimana
hidupnya, penampilannya, akademiknya, dan sebaginya.
Dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran,
pandangan seseorang tentang dirinya sendiri meliputi segala hal yang
dimilikinya menyangkut fisik maupun psikis.

2. Pembentukan Konsep Diri


Konsep diri individu tidaklah bawaan dari lahir tetapi timbul
akibat adanya pengalaman, persepsi dan hasil belajar yang dialami oleh
setiap individu. Konsep diri seseorang terbentuk dari proses belajar.
Sesuai dengan yang diungkapkan Watson (Ahmadi, 2009: 199)
“Manusia waktu lahir masih bersih maka untuk menjadikan manusia
sesuai dengan yang dikendaki, diberikan pengalaman- pengalaman dan
lingkungan”.
Selain itu juga Desmita (2011: 172) menyebutkan bahwa “Konsep
diri terbentuk melalui proses belajar yang terjadi sejak masa
pertumbuhan berlangsung sampai dewasa, selain itu juga pola asuh
orang tua juga mempengaruhi pembentukan konsep diri individu”.
Sejalan dengan itu Kuhn (dalam Hardy dan Heyes 1988: 140)

4
“Menunjukkan orang-orang menggabungkan konsep diri terhadap
peranannya sesuai dengan pertumbuhannya.”
Selanjutnya M. Argyhe (dalam Hardy dan Heyes 1988: 138)
terdapat “Empat faktor yang berkaitan dengan konsep diri:
 reaksi diri yang dilakukan orang lain,
 peranan seseorang,
 perbandingan dengan orang lain, dan
 identifikasi terhadap orang lain.

Lis, dkk (2012: 8) menyatakan bahwa “Konsep diri dapat


terbentuk dan berkembang melalui pengalaman dan pandangan dari
lingkungan sekitar, penilaian orang lain, dan perilaku diri sendiri.”
Didalam konsep diri terdapat beberapa dimensi konsep diri,
seperti yang diungkapkan Calhoun & Acocella dalam Desmita (2011:
166) menyebutkan “Tiga dimensi konsep diri yaitu:
 dimensi pengetahuan yang mana dimensi pengetahuan ini
apa yang yang diketahui oleh diri sendiri mengenai dirinya,
 dimensi pengharapan dimana dimensi ini merupakan apa
yang menjadi harapan dari diri sendiri, dan
 dimensi penilaian yang mana dimensi ini merupakan
penilaian diri kita dimana setiap hari setiap individu
melakukan penilaian, terkadang penilaian tersebut
dilakukan tanpa di sadari.”
Sedangkan menurut Paul J. Centi dalam Desmita (2011: 166)
“Dimensi konsep diri yaitu: gambaran diri yang mana ini merupakan
gambaran-gambaran mengenai apa yang individu lakukan”,
penilaian diri sama halnya yang diungkapkan oleh Calhoun dan
Acocella dalam Desmita (2011: 166) penilaian diri ini merupakan
“Penilaian diri individu itu sendiri, dan cita- cita diri yang mana ini
merupakan apa yang dinginkan atau dicita- citakan oleh setiap
individu.” Sebenarnya dimensi yang diungkapkan oleh beberapa ahli
memiliki arti yang sama walau terdapat perbedaan kata- kata seperti

5
halnya cita-cita diri dan pengharapan yang mana ini artinya sama
dengan apa yang diinginkan oleh setiap individu.

Konsep diri merupakan aspek yang sangat penting untuk


dipahami dalam kehidupan, karena konsep diri adalah gambaran
tentang diri sendiri melalui hubungan dengan orang lain (Fernanda &
Sano, 2012). Konsep diri bukan bawaan dari lahir atau faktor
keturunan, karena ketika lahir anak belum memiliki konsep diri, tidak
memiliki pengetahuan bahkan belum bisa menilai dirinya sendiri.
Walaupun demikian konsep diri mulai berkembang sejak individu lahir,
dimana setiap anak yang baru lahir bisa membedakan antara
penginderaan dan perasaan. Pengalaman awal tentang kesenangan dan
kesakitan, kasih sayang dan penolakan, dapat membentuk konsep diri
seseorang di masa yang akan datang.
Baldwin dan Homes; Calhoun dan Acocella; Pardede (2008: 147)
menyebutkan bahwa terdapat empat faktor dalam pembentukan konsep
diri remaja yaitu:
1) Orang Tua, orang tua merupakan tempat awal melakukan
interaksi yang kemudian dari interaksi tersebut akan terbentuk
konsep diri remaja
2) Teman Sebaya, teman sebaya mempunyai pebgaruh dalam
pembentukan konsep diri karena pada usia remaja ini
cenderung melakukan kegiatan secara berkelompok
3) Masyarakat, dimana masyarakat melakukan penilaian
kemudian penilaian yang diberikan oleh masyarakat itu akan
menjadi konsep diri
4) Belajar, dimana konsep diri terbentuk akibatnya proses
belajar.

6
3. Pengertian Konsep Diri Remaja

Konsep diri remaja adalah gambaran yang dimiliki remaja tentang


dirinya. Konsep diri remaja merupakan gabungan dari keyakinan yang
dimiliki remaja tentang diri mereka sendiri, dan mengenai pendapat
orang yang penting dalam kehidupan remaja, yaitu orang tua, guru dan
teman sebaya tentang diri mereka. Bila remaja yakin bahwa orang-
orang yang penting baginya menyenangi mereka, maka remaja akan
berpikir secara positif tentang diri mereka, dan sebaliknya (Hurlock,
1973)
Menurut Agustiani (2006), konsep diri positif dapat dimiliki
semua remaja, karena konsep diri positif merupakan salah satu tugas
perkembangan yang harus dimiliki setiap remaja. Remaja yang
memiliki konsep diri positif akan dapat menerima dirinya apa adanya.
Untuk membina konsep diri yang sehat remaja perlu menilai dirinya
sendiri . Seperti yang diungkapkan
Travers (1977: 448) “Untuk memiliki konsep diri yang positif
dibutuhkan pandangan diri yang positif, menilai dirinya secara positif,
mengetahui apa yang akan ia capai dan sejauh mana ia menganggap
dirinya sukses.”
Candles (dalam Mudjiran, 2007: 139) mengemukakan bahwa
“Remaja yang memiliki penilaian diri sendiri tepat dan menampakkan
kehidupan bahagia, karena dapat menerima keberadaan dirinya sendiri
sebagaimana adanya, walaupun terkadang timbul persaan tidak berarti,
namun demikian pada dasarnya mereka memiliki pandangan yang
positif tentang diri mereka.”
Selain itu menurut Morison dan Thomson (dalam Mudjiran, dkk,
2007: 141) mengatakan “Bahwa dalam membentuk sikap diri yang
positif terdapat peran penting sekolah.”
Menurut Nur & Ekasari (2008), remaja yang memiliki konsep
diri negatif merupakan remaja yang memiliki pandangan yang tidak
baik terhadap dirinya sendiri, atau tidak dapat menerima keadaannya

7
sendiri. Dimana kondisi inilah yang sering dialami oleh para remaja.
Konsep diri remaja sering menjadi tidak teratur ketika pada masa
transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja yang mempunyai
konsep diri negatif disebabkan adanya lingkungan yang memberikan
pandangan-pandangan tersebut dimana di sebut sebagai remaja nakal
yang cenderung menghayati diri mereka sebagaimana orang lain
memandang mereka.
Seperti yang diungkapkan Travers (1977: 450) “A person who
has high fear of failure would be described as a person having a
negative or poor self concept and terms of self concept theory, might be
expected to be poorly motivated”. Maksudnya ialah seseorang yang
takut akan kegagalan yang tinggi akan digambarkan mempunyai konsep
diri yang negatif dan mempunyai motivasi yang buruk. Jika mereka
selalu disebut anak nakal dan banyak label yang diberikan kepada
mereka (Jerome, Dunsek, dalam Mudjiran, 2007: 143), maka
“Akibatnya remaja tersebut berpendapat bahwa mereka tidak
diinginkan oleh lingkungannya.”
Seperti yang diungkapkan Lautel dan Klatel (dalam Mudjiran,
dkk, 2007: 139) “Konsep diri pada remaja dapat mempengaruhi
kesehatan mental dan perkembangan kepribadian remaja.”
Menurut Durr & Schemat, Chaplin dan Quinby (dalam Mudjiran,
dkk, 2007: 142) menyatakan bahwa: “Siswa yang memiliki konsep diri
dibawah potensi intelektualnya akan berbeda dengan siswa yang
memiliki potensi di atas kemampuan intelektualnya. Dimana siswa
yang mepunyai prestasi dibawah kemampuan intelektualnya akan
menjadi siswa yang tertutup atau suka menarik dirinya keluar dari
berbagai pergaulan yang ada. Sedangkan siswa yang memiliki prestasi
di atas kemampuan intelektualnya akan menjadi siswa yang mudah
dalam pergaulannya.” Masa remaja adalah masa yang sangat rentan
begitu pula dengan konsep diri pada masa remaja ini .
Seperti yang dinyatakan Hardy dan Heyes (1988: 137) “Konsep
diri menjadi masalah yang khusus selama masa remaja. Pada masa ini

8
banyak timbul masalah dalam psikologis, seperti seorang remaja yang
memiliki konsep diri yang kurang baik seperti remaja yang tidak
menerima keadaan fisiknya hal ini disebabkan oleh alasan pribadi dan
alasan lingkungan tempat ia tinggal.” Untuk itu seorang remaja harus
memahami dan mengathui konsep dirinya sehingga konsep diri tersebut
menjadi komitmen remaja tersebut,
seperti yang di kemukakan Van Der Werf ( dalam Jackson dan
Bosma, 1990: 4) “Approaches have a common aspect, namely, the
extent of the individual's commitment with regard to self-concept”.
Menerut McCandels (dalam Mudjiran,dkk, 2007: 139-140)
mengemukakan mengenai “Konsep remaja yang sehat sebagai berikut:
1) Tepat dan sama, maksudnya konsep diri yang dimiliki remaja
akan sama dan tepat dengan apa yang dilakukannya dan
dirasakannya.
2) Fleksibel, maksudnya kefleksibelan atau kebebasan remaja
dalam menjalankan peran baik itu sebagai siswa disekolah
maupun di lingkungan tempat tinggalnya, yang mana ia
mampu menempatkan dirinya dalam mengejerkan tugas, saat
guru menjelaskan, saat diskusi berlangsung, dan lain-lain.
3) Kontrol diri, maksudnya remaja mampu mengontrol tingkah
laku dan sikapnya dalam kehidupan sehari- hari yang sesuai
dengan standar tingkah laku yang dimilikinya, bukan berupa
aturan dari orang lain.”
Konsep diri pada remaja berbeda dengan konsep diri pada orang
dewasa karena konsep diri yang dimiliki oleh remaja dipengaruhi oleh
pencarian jati dirinya, ingin mencoba hal yang baru (Tridhonanto,
2010).

4. Pengertian Kemandirian

Kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang


diperoleh melalui proses individuasi. Proses individuasi itu adalah

9
proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan. Diri adalah
inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan
mengkoordinasikan seluruh aspek kepribadian. Kemandirian yang
terintegrasi dan sehat dapat dicapai melalui proses pembedaan diri dari
individu lain dan lingkungannya, perkembangan, dan ekspresi sistem
kepribadian sampai pada tingkatan yang tertinggi (Ali & Asrori, 2005).
Kata autonomy berasal dari bahasa Latin “autos” yang berarti
“self” dan “nomos” berarti “rule”.Jadi pengertian dari autonomy
menggambarkan suatu kemampuan individu untuk mengatur dirinya
sendiri (Beckert, 2005).
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh
secara komulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus
belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di
lingkungan, sehingga individu tersebut pada akhirnya akan mampu
berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat
memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap.
Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan,
dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya,
agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Terutama pada fase
remaja, peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan
bagi merekasebagai ”penguat” untuk setiap perilaku yang telah
dilakukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Reber (1985)
bahwa : “ kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana
seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan
keyakinan orang lain”. Dengan otonomi tersebut seorang remaja
diharapkan akan lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain, dapat
berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang
melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan
sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa
bantuan, dan tentu saja tugas-tugas tersebut disesuaikan dengan usia
dan kemampuan anak.

10
Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang
positif bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian
diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa segala sesuatu yang dapat
diusahakan sejakdini akanlebih dapat dihayati dan akan semakin
berkembang menuju kesempurnaan.
Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus
disesuaikan dengan usia anak. Contoh: Untuk anak-anak usia 3-4 tahun,
latihan kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos
kaki dan sepatu sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai
bermain, dan lain-lain. Sementara untuk anak remaja, dengan cara
memberikan kebebasan, misalnya: dalam memilih jurusan atau bidang
studi yang diminatinya, atau memberikan kesempatan pada remaja
untuk memutuskan sendiri jam berapa ia harus sudah pulang ke rumah
jika remaja tersebut keluar malam bersama temannya (tentu saja
orangtua perlu mendengarkan argumentasi yang disampaikan sang
remaja tersebut sehubungan dengan keputusannya). Dengan
memberikan latihan-latihan tersebut (tentu saja harus ada unsur
pengawasan dari orangtua untuk memastikan bahwa latihan tersebut
benar-benar efektif), diharapkan dengan bertambahnya usia akan
bertambah pula kemampuan anak untuk berfikir secara objektif, tidak
mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, tumbuh rasa
percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain dan dengan demikian
kemandirian akan berkembang dengan baik.
Ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi
perkembangan kemandirian, yaitu sebagai berikut:
1) .Genetik atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki
sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang
memiliki kemandirian juga;
2) Pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh atau mendidik
anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak
remajanya;

11
3) Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah
yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan
cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan
menghambat perkembangan kemandirian remaja;
4) Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan
masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki
struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta
kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan
produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan
kemandirian remaja.

5. Pembentukan Kemandirian Pada Masa Remaja


Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi
remaja.Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan
berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat
keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan
demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari
ketergantungan pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam
banyak hal. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli
perkembangan yang menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada
masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan
sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian
tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri
dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".
Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk
melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis
orangtuanya.Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai
sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukan Erikson(dalam Hurlock,1998)
yang menamakan proses tersebut sebagai “proses mencari identitas
ego”, atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin

12
mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping
ingin tahu tentang dirinya sendiri.
Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi
yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (1998)
mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja
belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri,
menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang
berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di
dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan
sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan
orang lain yang bukan angota keluarganya. Ini dilakukan remaja dengan
tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman
sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok
teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja
membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima
oleh kelompoknya.
Sejumlah intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar
pengembangan kemandirian remaja, antara lain sebagai berikut (Ali &
Asrori, 2005):
1) Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga.
Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Saling menghargai antar anggota keluarga;
b. Keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja atau
keluarga.
2) Penciptaan keterbukaan di keluarga dan sekolah. Ini dapat
diwujudkan dalam bentuk:
a. Toleransi terhadap perbedaan pendapat;
b. Memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi
remaja/siswa;
c. Keterbukaan terhadap minat remaja/siswa;
d. Mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja/siswa;
e. Kehadiran dan keakraban hubungan dengan remaja/siswa.

13
3) Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan dalam
proses pembelajaran. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Mendorong rasa ingin tahu remaja/siswa;
b. Adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk
mengeksplorasi lingkungan;
c. Adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila
ditaati.
4) Penerimaan positif tanpa syarat baik ketika di rumah maupun
di sekolah. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Menerima apa pun kelebihan maupun kekurangan yang
ada pada diri remaja/siswa;
b. Tidak membeda – bedakan remaja/siswa satu dengan yang
lain;
c. Menghargai ekspresi potensi remaja/siswa dalam bentuk
kegiatan produktif apa pun meskipun sebenarnya hasilnya
kurang memuaskan.
5) Empati terhadap remaja/siswa. Ini dapat diwujudkan dalam
bentuk:
a. Memahami dan menghayati pikiran dan perasaan
remaja/siswa;
b. Melihat berbagai persoalan remaja/siswa dengan
menggunakan perspektif atau sudut pandang mereka;
c. Tidak mudah mencela karya remaja/siswa betapa pun
kurang bagusnya karya itu.
6) Penciptaan kehangatan hubungan dengan siswa/remaja. Ini
dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Interaksi secara akrab tetapi tetap saling menghargai;
b. Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin
terhadap mereka;
c. Membangun suasana humor dan komunikasi ringan
dengan mereka.

14
6. Identitas Karir Pada Masa Remaja

Menurut Ekaningrum dalam (Sisca, 2015) menyatakan bahwa


karier digunakan untuk menjelaskan peran seseorang dalam status
pekerjaan. Proses perkembangan karier seseorang dimulai sejak dini
yaitu dari usia kanak-kanak sampai tua yang memiliki tahapan
perkembangan karier. Remaja dengan usia 15-18 tahun merupakan
masa penting dimana komitmen pilihan karier dibuatnya. Pada usia
tersebut remaja telah menyadari pentingnya sekolah untuk
perkembangan karier mereka. Remaja mengetahui bahwa mereka dapat
menentukan karier mereka untuk masa depannya yang berkaitan dengan
keputusan karier. Pemilihan karier akan semakin sulit ditetapkan jika
remaja tidak dapat menetapkan apa yang mereka inginkan. Pada usia 15
dan 16 tahun seharusnya remaja sudah mampu menentukan tujuan
mereka dan mampu mengambil keputusan karier, sehingga pada remaja
sudah mampu memikirkan apa yang ingin mereka laksanakan di
usianya. Pada usia 17 dan 18 tahun seharusnya mereka sudah siap untuk
mengambil keputusan karier yang sudah ditetapkan tanpa keraguan.

Pentingnya Peran Keluarga dalam Perkembangan Karir Remaja

Peran keluarga cukup strategis dalam perkembangan karir anak


karena beberapa hal. Pertama, keluarga merupakan suatu struktur vital
yang menjadi lingkungan terdekat anak, dimana orang tua dan anak
saling mempengaruhi keyakinan, sikap, dan perilaku (Bronfenbrenner,
1979). Saran dan masukan dari keluarga memberikan kontribusi besar
bagi perkembangan perilaku dan aspek-aspek psikologis lainnya pada
diri anak. Interaksi terusmenerus yang bersifat resiprokal dan semakin
kompleks antara individu dengan partner yang signifikan dalam
mikrosistem disebut proses-proses proksimal, yang menentukan
perkembangan anak. Perkembangan anak lebih merupakan refleksi dari
proses relasional, daripada sekedar sesuatu yang terjadi di dalam diri

15
anak tersebut. Bronfenbrenner menggunakan analogi permainan ping
pong untuk menggambarkan proses-proses proksimal. Dalam ping
pong, gerakan bola makin lama makin kompleks. Demikian halnya,
partner yang lebih matang, akan menginisisasi “gerakan” yang lebih
kompleks, yang mendorong perkembangan gerakan yang lebih
kompleks pula pada diri anak. Misalnya, ketika seorang anak
menunjukkan prestasi akademik yang gemilang, aspirasi akademik
orang tua terhadap anaknya meningkat. Pada gilirannya, sejauh mana
orang tua mengakomodir kapasitas anak dan memfasilitasi potensi-
potensinya akan mempengaruhi capaian akademik dan karirnya
(Feldman & Piirto, 2002).

Kedua, orang tua merupakan partner dalam perkembangan karir


remaja (Otto, 2000). Di satu sisi, orang tua dengan sengaja terlibat
dalam beragam hal untuk membantu perkembangan akademik dan karir
anaknya (Young & Friesen, 1992). Hal yang paling banyak dilakukan
orang tua dalam mempengaruhi perkembangan karir anak adalah
memberikan dukungan instrumental, mengatur lingkungan rumah,
mengobservasi anak, menunjukkan harapan, memberikan informasi dan
saran, serta memberikan feedback (Young, Friesen, & Parson, 1988).
Di sisi yang lain, remaja melihat orang tuanya sebagai referensi yang
dominan, dan remaja juga memiliki persepsi dan harapan tersendiri
mengenai bagaimana orang tua harus bertanggung jawab dengan
berperan dalam perkembangan karir mereka (Phillips et al., 2001;
Bryant et al., 2006).

Ketiga, dalam beragam budaya, family process variables seperti


harapan orang tua, dukungan orang tua, dan pola asuh pada
kenyataannya memiliki dampak yang lebih besar terhadap
perkembangan karir remaja ketika dibandingkan dengan family
structural variables, seperti status sosial ekonomi dan jumlah anak
dalam keluarga (Whiston & Keller, 2004). Misalnya remaja yang orang

16
tuanya memiliki harapan terhadap anaknya untuk studi di perguruan
tinggi akan cenderung melakukan apa yang diharapkan orang tuanya
terlepas dari kemampuan yang dimilikinya (Juang & Vondracek, 2001).
Pengaruh orang tua terhadap perkembangan karir remaja terjadi pada
masa sekolah menengah atas (Pa & McWhirter, 2000). Utamanya
dalam budaya kolektivis, seperti di Indonesia, peran orang tua penting
dalam perkembangan karir remaja karena cita-cita merupakan
kompromi antara harapan orang tua dengan keinginan anak (Leong &
Chou, 1994). Hal ini terjadi karena di dalam budaya ini, skema
terbentuk tidak hanya berdasarkan pada keinginan individu, namun juga
mengakomodir harapan, evaluasi, dan perspektif pemikiran orang-orang
yang signifikan bagi individu, misalnya orang tua (Hardin, Leong, &
Osipow, 2001). Masukan dari orang tua menjadi sumber efikasi diri
yang penting bagi anak, dan memenuhi harapan orang tua ketika
memformulasikan cita-cita dan mengambil keputusan karir merupakan
hal yang konsisten dengan self individu (Hardin et al., 2001). Terlebih
dalam budaya dengan power distance index tinggi, orang tua dianggap
superior dan anak diharapkan mematuhinya (Oettingen & Zosuls,
2006). Di sisi lain, anak juga menerima dominasi orang tua ketika
menentukan citacitanya (Bernardo, 2010), dan menunjukkan kesediaan
untuk mengikuti arahan orang tua (Tang, 2002).

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
(Mudjiran,dkk, 2007 ; Wahyu, Taufik, & Ilyas, 2012)
mengemukakan bahwa “Konsep diri pada dasarnya mengandung arti
keseluruhan gambaran diri yang termasuk persepsi tentang diri,
perasaan, keyakinan, dan nilai nilai yang berhubungan dengan dirinya”.

Djaali (2007:129) menyatakan “Konsep diri merupakan bayangan


seseorang tentang kedaan dirinya sendiri pada saat ini dan bukanlah
bayangan ideal dirinya sendiri sebagaimana yang diharapkan atau yang
disukai oleh orang bersangkutan”.

Maksudnya konsep diri merupakan pandangan positif dan negatif yang


dimiliki oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri yang
merupakan apa adanya bukan pandangan yang diinginkanya atau
pandangan ideal atau harapan orang terhadap dirinya.

Menurut Hurlock (1980: 34) Konsep diri merupakan pengertian dan


harapan seseorang mengenai diri sendiri yang di cita-citakan atau yang
diharapkan dan bagaimana dirinya dalam realitas yang sesungguhnya.

Konsep diri remaja merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki


remaja tentang diri mereka sendiri, dan mengenai pendapat orang yang
penting dalam kehidupan remaja, yaitu orang tua, guru dan teman
sebaya tentang diri mereka.

Bila remaja yakin bahwa orang-orang yang penting baginya


menyenangi mereka, maka remaja akan berpikir secara positif tentang
diri mereka, dan sebaliknya (Hurlock, 1973) Menurut Agustiani (2006),
konsep diri positif dapat dimiliki semua remaja, karena konsep diri

18
positif merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dimiliki
setiap remaja.

Pada masa ini banyak timbul masalah dalam psikologis, seperti seorang
remaja yang memiliki konsep diri yang kurang baik seperti remaja yang
tidak menerima keadaan fisiknya hal ini disebabkan oleh alasan pribadi
dan alasan lingkungan tempat ia tinggal.” Untuk itu seorang remaja
harus memahami dan mengathui konsep dirinya sehingga konsep diri
tersebut menjadi komitmen remaja tersebut, seperti yang di kemukakan
Van Der Werf ( dalam Jackson dan Bosma, 1990: 4) “Approaches have
a common aspect, namely, the extent of the individual's commitment
with regard to self-concept”.

Kemandirian yang terintegrasi dan sehat dapat dicapai melalui proses


pembedaan diri dari individu lain dan lingkungannya, perkembangan,
dan ekspresi sistem kepribadian sampai pada tingkatan yang tertinggi
(Ali & Asrori, 2005).

Sementara untuk anak remaja, dengan cara memberikan kebebasan,


misalnya: dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminatinya,
atau memberikan kesempatan pada remaja untuk memutuskan sendiri
jam berapa ia harus sudah pulang ke rumah jika remaja tersebut keluar
malam bersama temannya (tentu saja orangtua perlu mendengarkan
argumentasi yang disampaikan sang remaja tersebut sehubungan
dengan keputusannya).

Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang


menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang
lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan
berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih
bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan
berperilaku sesuai dengan keinginannya".

19
Hurlock (1998) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman
sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan
sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai
yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima
di dalam kelompoknya.

Demikian halnya, partner yang lebih matang, akan menginisisasi


“gerakan” yang lebih kompleks, yang mendorong perkembangan
gerakan yang lebih kompleks pula pada diri anak.

Di sisi yang lain, remaja melihat orang tuanya sebagai referensi yang
dominan, dan remaja juga memiliki persepsi dan harapan tersendiri
mengenai bagaimana orang tua harus bertanggung jawab dengan
berperan dalam perkembangan karir mereka (Phillips et al., 2001;
Bryant et al., 2006).

Dalam beragam budaya, family process variables seperti harapan orang


tua, dukungan orang tua, dan pola asuh pada kenyataannya memiliki
dampak yang lebih besar terhadap perkembangan karir remaja ketika
dibandingkan dengan family structural variables, seperti status sosial
ekonomi dan jumlah anak dalam keluarga (Whiston & Keller, 2004).

Masukan dari orang tua menjadi sumber efikasi diri yang penting bagi
anak, dan memenuhi harapan orang tua ketika memformulasikan cita-
cita dan mengambil keputusan karir merupakan hal yang konsisten
dengan self individu (Hardin et al., 2001).

20
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, saya penyusun menyadari akan
adanya kekurangan baik materi, penulisan, maupun tutur kata yang
mungkin belum tepat. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi kemajuan makalah ini. Atas segala kekurangan saya
mohon maaf.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ranny, Rize Azizi A.M., Ervina Rianti, Sinta Huri Amelia, Maya Nova,
Nurva Novita, & Eni Lestarina. (2017) KONSEP DIRI REMAJA
DAN PERANAN KONSELING. Jurnal Penelitian Guru Indonesia
Vol. 2, No 2.

Delfriana Ayu A. (2016). POLA ASUH ORANG TUA, KONSEP DIRI


REMAJA DAN PERILAKU SEKSUAL. Jurnal Jumantik Vol. 1,
No 1.

Tri Hartini. (2015). UPAYA MENGEMBANGAKAN KEMANDIRIAN


EMOSI DAN SOSIAL SISWA MELALUI LAYANAN
KONSELING DI SEKOLAH/MADRASAH. Jurnal Saintifika
Islamica Vol. 2, No 1.

Dian Ratna Sawitri. (2018). PERKEMBANGAN KARIR REMAJA DI


ERA DISRUPTIF: TANTANGAN, PELUANG DAN PERAN
KELUARGA. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Psikologi
Undip.

Dewita Ramadani, Muhammad Fachrurrazi, Dede Rahmat Hidayat. (2020).


ADAPTABILITAS KARIR DALAM PERSPEKTIF TEORI
PERKEMBANGAN KARIR MARK L. SAVICKAS. Jurnal Ilmiah
Bimbingan Konseling Undiksha Vol. 11, No 1.

22

Anda mungkin juga menyukai