Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian fidusia yang bertujuan untuk
membebani benda dengan Jaminan Fidusia.
Dengan itu berarti, atas suatu hubungan hukum yang mempunyai ciri-ciri fidusia yang
disebutkan dalam Undang-Undang Fidusia, berlaku Undang-Undang Fidusia, sekalipun tidak
memakai judul fidusia. Salah satu ciri pokok yang harus ada adanya maksud untuk membebani
benda dengan Jaminan Fidusia. Patokan tersebut penting disimak, karena dengan itu, berarti
Undang-Undang Fidusia tidak harus berlaku untuk segala macam hubungan fidusia, yang
meliputi bidang yang luas, karena hubungan fidusia itu ada, sesekali ada seseorang yang secara
teknis yuridis pemilik, tetapi secara social ekonomis hak itu bisa dianggap milik orang lain (J.
Satrio, 2002a: 189).
Sebelum Undang-Undang Fidusia, pada umumnya benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia itu benda bergerak yang terdiri atas benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang,
peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Dengan kata lain objek jaminan fidusia terbatas pada
kebendaan bergerak. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang,
menurut Undang-Undang Fidusia objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas, yaitu
Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak
maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau hipotek.
Dari bunyi perumusan benda dalam pasal 1 angka 4 Undang-Undang Fidusia diatas,
objek Jaminan Fidusia itu meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak tertentu yang
tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan atau Hipotek, dengan syarat bahwa kebendaan
tersebut “dapat dimiliki dan dialihkan”, sehingga dengan demikian objek Jaminan Fidusia
meliputi:
a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan
perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut
wajib didaftar;
b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M 3 atau
lebih;
c. Hipotek atas pesawat terbang; dan
d. Gadai
Berdasarkan ketentuan ini, maka bangunan diatas tanah milik orang lain yang tidak
dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan Objek Jaminan Fidusia.
Kiranya siapa saja yang membaca ketentuan ini akan merasakan adanya kejanggalan
dimana perlunya bagi undang-undang untuk mengatakan bahwa Undang-Undang Fidusia tidak
berlaku untuk Hak Tanggungan, Hipotek dan Gadai. Kalau para pihak sudah memilih lembaga
jaminan yang lain sebagaimana desebutkan dalam pasal 3 Undang-Undang Fidusia, sudah tentu
tidak mungkin ketentuan Undang-Undang Fidusia diberlakukan terhadap perjanjian yang
bertujuan untuk membebani benda dengan hak tanggungan, Hipotek, dan Gadai. Suatu
ketentuan yang berlebihan, karena dengan sendirinya ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia
tidak berlaku bila benda yang akan dibebani tersebut menggunakan lembaga hak jaminan Hak
Tanggungan, Hipotek dan Gadai (bandingkan dengan J. Satrio, 2002a: 192-195).
Kita tahu, pada gadai, walaupun objeknya bisa sama dengan fidusia, tetapi cara
pemberian jaminannya lain. Pada gadai tidak ada masalah penyerahan hak milik secara
kepercayaan. Dalam peristiwa tertentu akan berlaku ketentuan gadai atau fidusia, bergantung
dari maksud para pihak pada waktu menutup perjanjian penjaminan. Kalau mereka sudah
memilih gadai, yang akan tampak dari ciri-cirinya, sudah dengan sendirinya tidak bisa
diterapkan ketentuan-ketentuan fidusia (J. Satrio, 2002a: 195).
Pada zaman Romawi pada mulanya, fidusia dapat dilakukan baik atas benda bergerak
maupun benda tak bergerak (tetap) dalam bentuk fiducia cum crediore. Kita dapat memaklumi
mengapa demikian, karena pada masa itu belum dikenal hak-hak jaminan yang lain. Ketika
fidusia lenyap dan orang Romawi mengenal gadai serta hipotek, mulai diadakan pemisahan
dalam benda-benda yang dapat dibebani gadai yaitu benda bergerak dan benda-benda yang
dapat dibebani hipotek yaitu benda tetap. Ketentuan yang demikian berlaku terus, yang
kemudian diterima oleh hukum Belanda (Oey Hoey Tiong, 1984: 58).
Ketika fidusia muncul lagi di Belanda, pemisahan antara jaminan benda bergerak dan
jaminan atas benda tetap masih tetap. Karena fidusia pada waktu itu dianggap sebagai suatu
bentuk jaminan yang digunakan untuk menghindari salah satu ketentuan dari jaminan atas
benda bergerak (gadai), yaitu larangan atas gadai tanpa penguasaan, maka Hoge Raad
berpendapat bahwa tidak bisa lain fidusia hanya diperuntukan bagi benda-benda bergerak saja.
Pendapat ini tetap menjadi yurisprudensi tetap, baik di Belanda maupun di Indonesia (Oey
Hoey Tiong, 1984: 58).
Semula pada umumnya objek fidusia itu kebendaan bergerak yang meliputi antara lain
benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, saham, peralatan mesin dan
kendaraan bermotor. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, maka kebendaan yang menjadi objek jaminan fidusia termasuk juga kekayaan benda
bergerak yang tidak berwujud maupun benda tidak bergerak. Karenanya bangunan diatas tanah
milik orang lain yang tidak dapat dijaminkan, dapat dibebani dengan jaminan Fidusia.
Prektik tersebut telah dilaksanakan oleh bank-bank dan ini sangat resposif dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat. Hal lain yang mendorong kemungkinan penjaminan
benda-benda tak bergerak dengan fidusia ialah sesuai dengan sifat agrarian sendiri yang
mendasarkan pada hukum adat, dimana dalam hukum adat tidak mengenal asas perlekatan
(asas assessi) sebagaimana dikenal dalam hukum perdata, melainkan mengenal asas pemisahan
horizontal, sehingga menurut asas ini orang dapat mempunyai milik atas tanam-tanaman,
bangunan, rumah terlepas dari tanahnya. Akibatnya bangunan atau rumah dapat
dipindahkan/diperalihkan, terlepas dari tanahnya. Karenanya juga dapat menjaminkan
bangunan rumah tersebut terlepas dari tanah, dimana bangunan itu berdiri, terpisah dari
tanahnya. Logislah jika sekarang dimungkinkan menjaminkan rumah, pabrik, perusahaan,
gudang diatas tanah orang lain melalui Jaminan Fidusia (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981:
39-40).
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia yang
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan benda adalah termasuk piutang (receivables), maka
Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Fidusia telah menggantikan
fiduciaire eigendomsorverdracht (FEO) dan cessi jaminan atas piutang-piutang
(zakerheidscessie van chuldvorderingen, fiduciary assignment of receivables) yang dalam
praktik pemberian kredit banyak digunakan (Fred B.G. Tumbuan 1999:16 dan 2000:22).
Benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia tidak hanya benda yang sudah ada pada
saat Jaminan Fidusia tersebut dilakukan, akan tetapi meliputi pula benda yang diperoleh
kemudian, dapat diberikan Jaminan Fidusia. Kemungkinan ini ditegaskan dalam Pasal 9 Undang-
Undang Fidusia, yaitu:
(1) Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda,
termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang
diperoleh kemudian.
(2) Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu dilakukan dengan perjanjian
jaminan tersendiri.
a. Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
b. Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia diasuransikan.
Dengan demikian sepanjang tidak diperjanjikan lain, maka penjaminan Fidusia tersebut
meliputi pula:
a. Hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu segala sesuatu yang
diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia;
b. Klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan dan
klaim asuransi ini merupakan hak Penerima Fidusia.
Dari ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Fidusia, maka jaminan Fidusia tidak otomatis meliputi
perbaikan dan penambahan-penambahannya di kemudian hari atau dengan perkata lain lebih
luas disini tidak berlaku asas asesi. Demikian karena klaim asuransi tidak bisa dikatakan sebagai
“hasil” dari benda Jaminan Fidusia, maka hal itu perlu untuk secara tegas menyatakan, bahwa
klaim asuransi atas benda Jaminan Fidusia termasuk dalam ruang lingkup Jaminan Fidusia (J.
Satrio, 2002a: 236-237).