Anda di halaman 1dari 6

Pemanfaatan HKI sebagai jaminan kredit di lembaga jasa keuangan harus diatur khusus oleh

Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI berwenang mengatur dan
mengawasi penerbitan surat utang/efek beragun aset HKI berjangka kurang dari satu tahun.
OJK berwenang mengatur dan mengawasi penerbitan surat utang/efek beragun aset HKI
berjangka lebih dari satu tahun. OJK juga harus merevisi Peraturan BI tentang jenis Agunan
kredit di lembaga perbankan. Meskipun penjaminan HKI (khususnya Hak Cipta dan Paten)
telah diatur undang-undang namun pelaksanaanya di lembaga jasa keuangan harus diatur
Peraturan BI/OJK.

Penjaminan aset HKI sebagai agunan utang/kredit harus didukung peran Lembaga Penilai
Aset HKI. Lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank sangat membutuhkan
kepastian nilai aset HKI yang akan dijaminkan. Pada kasus pemberian kredit bank dengan
agunan rumah/tanah, penilaian agunan dilakukan secara internal oleh petugas kredit bank
berdasarkan referensi harga pasar dan NJOP. Bank juga dapat meminta bantuan jasa penilai
dari luar jika nilai kreditnya relatif besar.

Perusahaan Pegadaian pada umumnya melakukan penilaian mandiri terhadap objek jaminan
Gadai (seperti mobil, motor, logam mulia, televisi, dll.). Perusahaan Sewa Guna Usaha
(leasing) biasanya melakukan penilaian mandiri terhadap objek jaminan fidusia (seperti
mobil, motor, mesin pabrik, dll) berdasarkan referensi yang diberikan pihak
produsen/distributor/dealer barang modal yang bersangkutan.

Perbankan dan lembaga jasa keuangan non-bank tidak memiliki pengalaman untuk menilai
aset HKI sehingga dibutuhkan bantuan Lembaga Penilai Aset HKI. Lembaga semacam ini
dapat dibentuk oleh negara/pemerintah maupun pihak swasta (asosiasi bisnis). Di negara
berkembang termasuk Indonesia, Lembaga Penilai Aset HKI sebaiknya dibentuk oleh
lembaga negara (seperti BI, OJK, Menkeu, Bekraf, DJKI, Lembaga Litbang dan Universitas)
dan dibantu oleh lembaga swasta (asosiasi bisnis).

Lembaga Penilai Aset HKI harus disertifikasi dan diakreditasi oleh kantor Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual (DJKI) pada Kementrian Hukum dan HAM. Lembaga tersebut harus
terdaftar di Bank Indonesia (BI) jika melakukan valuasi HKI terkait efek atau surat utang
berjangka kurang dari satu tahun. Lembaga tersebut juga harus terdaftar di OJK jika kegiatan
valuasinya terkait dengan penerbitan efek atau surat utang berjangka lebih dari satu tahun
(seperti penerbitan obligasi/bond. Pendaftaran di OJK juga diperlukan jika lembaga tersebut
melakukan valuasi HKI yang akan dijadikan agunan kredit di perbankan atau lembaga
keuangan non-bank.

Bidang HKI sangat luas, dari mulai Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang, hingga Perlindungan Varietas Tanaman
(PVT). HKI jenis ini dapat dimiliki pihak privat, baik perorangan maupun badan hukum.
Luasnya cakupan HKI membuat Lembaga Penilai Aset HKI tidak akan mempu bekerja
sendiri tanpa melibatkan peran pihak-pihak lain.

Sebagai contoh, untuk mendapatkan penilaian aset Hak Cipta berupa lukisan atau patung,
lembaga penilai dapat meminta pendapat kurator seni, kolektor seni, kritikus seni, pengelola
museum, pedagang barang seni dan pengelola balai lelang seni. Pihak lain tersebut dianggap
paling mengetahui harga pasar dari lukisan atau patung.

Penilaian aset Hak Cipta berbentuk karya film bioskop dapat melibatkan pihak asosiasi
produser film, asosiasi sutradara film, asosiasi artis film, asosiasi pengusaha bioskop dan para
kritikus film. Merekalah yang paling memahami potensi ekonomi dari sebuah karya film
sehingga dapat memperkirakan harga wajar film tersebut. Karya cipta selain film sangat
banyak sehingga dibutuhkan peran pihak lain untuk memberikan perkiraan nilai aset yang
wajar dari karya cipta seperti buku novel, buku teks, musik, video, games, aplikasi, program
komputer, desain arsitektur, dan lain-lain.

Hak Cipta tidak wajib didaftarkan ke DJKI karena perlindungan hukum dari negara akan
diberikan secara otomatis pada saat karya cipta tersebut muncul pertama kali ke dunia nyata
atau dipublikasikan. Namun, Hak Cipta wajib didaftarkan ke DJKI apabila hak tersebut akan
disewa (dilisensikan) atau dialihkan ke pihak lain. Hal yang sama juga berlaku pada hak
Rahasia Dagang yang tidak perlu didaftarkan; baru wajib didaftarkan jika hak tersebut akan
dilisensikan atau dialihkan. Hak Cipta dan Rahasia Dagang yang akan dijadikan jaminan
utang juga wajib didaftarkan.

HKI berwujud Hak Merek, Paten, Desain Industri, dan DTLST wajib didaftarkan ke
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) agar mendapatkan sertifikat hak. Di sisi
lain, HKI berbentuk Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) harus didaftarkan ke Kantor PVT
di Kementrian Pertanian. Dalam kasus ini berlaku asas pendaftaran pertama (first-to-file)
artinya siapa yang mendaftar lebih dulu dan disetujui oleh otoritas berhak mendapat sertifikat
hak dan perlindungan hukum dari negara.

Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia sulit diukur nilainya karena yang dijaminkan adalah
hak intelektual dari ciptaan. Oleh karena itu, perlu ada pihak ketiga sebagai lembaga penilai
(appraisal) bagi hak cipta yang dijaminkan. Lembaga Manajeman Kolektif (LMK) adalah
salah satu lembaga yang dapat memberikan penilaian hak cipta. Beberapa LMK yang ada di
Indonesia misalnya Karya Cipta Indonesia (KCI), Royalti Anugerah Indonesia (RAI), dan
Wahana Musik Indonesia (WAMI). LMK inilah yang bertugas mengumpulkan royalti dari
para pengguna karya cipta dan dari para musisi atau penyanyi yang tergabung di masing-
masing LMK. Pengguna karya cipta dapat berasal dari pengelola TV, karaoke, mall, kafe,
atau restoran. LMK dapat menjadi acuan penyedia data bagi lembaga penilai.

Salah satu cara menghitung nilai ekonomi hak cipta, misalnya lagu, dapat dilihat dari
seberapa sering lagu ciptaan tersebut diputar atau dimainkan (performing rights), sehingga
pencipta lagu atau pemegang hak cipta mendapatkan imbalan atau royalti apabila terjadi
perjanjian lisensi. Pada saat ini, LMK berjalan masing-masing dan memiliki standar sendiri.
Hal tersebut menyebabkan persentase royalti yang diterima tidak seragam dan tidak ada
transparansi atas pengelolaan royalti. LMK juga tidak ada yang mengaudit, sehingga
diperlukan badan yang lebih tinggi dari LMK yaitu Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
(LMKN).
LMKN dibentuk oleh DJKI dan bertugas mengatur pendapatan para seniman yang karyanya
digunakan secara komersial. LMKN belum dapat bekerja secara maksimal karena masih
banyak yang belum dirancang dengan sempurna seperti royalti untuk pencipta, penyanyi,
produser, dan seluruh pihak yang terlibat dalam karya tersebut. LMKN dituntut dapat
menjamin kesejahteraan para musisi, namun tidak memberatkan para pengguna karya musisi
berbakat Indonesia. Oleh karena itu, fungsi LMK serta kerjasama LMK dan LMKN harus
berjalan baik sebagai lembaga yang menarik dan mendistribusikan royalti. Lembaga lain
yang bisa memberikan data nilai ekonomi hak cipta adalah publisher, labels, dan media riset.

Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar penilaian nilai ekonomis sebuah
Hak Cipta untuk dapat dijadikan agunan kredit, antara lain :

a. Hak Cipta harus sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b. Hak Cipta sudah memiliki estimasi nilai ekonomis yang dapat dipertanggungjawabkan,
dapat dilihat dari nilai kontrak dengan perusahaan yang menggunakan/menyebarluaskan/
mendistribusikan/menampilkan karya cipta tersebut.
c. Hak Cipta sudah dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), sehingga nilai
royaltinya sudah dapat diketahui.
d. Pemberian kredit diberikan berdasarkan asas kehati-hatian, dalan arti besaran nilai kredit,
peruntukan dan jangka waktu kredit harus sesuai ketentuan BI/OJK.
e. Sertifikasi HKI sudah termasuk dalam jenis agunan kredit yang diatur BI/OJK/
f. Jika diperlukan dapat diberikan jaminan lain berupa personal guarantee atau borgtocht
dari perusahaan yang menaungi karya cipta (misalkan personal guarantee dari pemilik
label musik yang menaungi pencipta lagu).

Dalam mekanisme penilaian benda yang akan dijadikan agunan dan dibebani lembaga
penjaminan, praktik yang selama ini lazim terjadi di lapangan adalah lembaga keuangan
pemberi kredit (kreditor) menggunakan jasa Penilai Publik yang lazim disebut appraisal.
Penilaian Publik adalah pihak ketiga yang merupakan profesi penunjangan di sektor
keuangan, dan dapat memberikan pertimbangan profesional mengenai penilaian nilai
ekonomi benda yang akan dibebani lembaga penjaminan.

Penilai Publik diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.01/2014 tentang
Penilai Publik. Penilai adalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam melakukan
kegiatan penilaian, yang sekurang-kurangnya telah lulus pendidikan awal penilaian. Penilai
Publik adalah Penilai yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk memberikan
jasa sebagaimana diatur dalam PMK tersebut.

Kewenangan Penilai Publik meliputi bidang jasa Penilaian berikut ini :

a. Penilaian Properti Sederhana;


b. Penilaian Properti; dan
c. Penilaian Bisnis.

Penilaian Hak Cipta termasuk bagian jasa Penilaian Bisnis yang meliputi :
a. entitas bisnis;
b. penyertaan;
c. surat berharga termasuk derivasinya;
d. hak dan kewajiban perusahaan;
e. aset tak berwujud;
f. kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau peristiwa tertentu untuk
mendukung berbagai tindakan korporasi atau atas transaksi material;
g. opini kewajaran; dan
h. instrumen keuangan.

Dalam melakukan penilaian, Penilai Publik harus menggunakan Standar Penilaian Indonesia
(SPI). SPI adalah pedoman dasar yang wajib dipatuhi Penilai dalam melakukan Penilaian.
Prosedur dan mekanisme penilaian yang dilaksanakan Penilai Publik sesuai Pasal 4 PMK No.
101/PMK.01/2014 tentang Penilai Publik adalah :

a. mengidentifikasi dan memahami lingkup penugasan;


b. melakukan pengumpulan, pemilihan dan analisis data;
c. menerapkan pendekatan Penilaian; dan
d. menyusun Laporan Penilaian.

Kita dapat belajar dari Amerika Serikat yang dalam Copyright Law of the United States and
Related Laws Contained in Title 17 of the United States Code, telah mengatur bahwa salah
satu pengadilan Hak Cipra adalah dengan melalui penjaminan atau lazim disebut Mortgage
(efek beragun aset). Untuk menentukan nilai royalty fee, sudah dibentuk lembaga khusus
yang berkompeten yaitu Royalty Judges yang berwenang mengatur segala hal yang terkait
dengan royalty fee, hak dan kewajiban pihak yang terkait dengan penggunaan Hak Cipta,
termasuk diantaranya sanksi bagi pihak yang tidak memenuhi kewajiban membayar royalty
fee.

Komunitas ahli hukum perdagangan dan akademik Amerika, telah memperbincangkan


penggunaan HKI sebagai collateral (agunan) untuk pembiayaan perusahaan. Secara teoritis,
hak merek dapat dijadikan jaminan utang, karena merek merupakan hak kebendaan yang
bernilai ekonomi. Dalam Pasal 40 ayat 1 UU No. 15/2001 tentang Merek dinyatakan Merek
dapat beralih atau dialihkan. Bukti kepemilikan hak merek berupa sertifikat hak merek yang
sudah terdaftar di Dirjen HKI dan memberikan kepastian hukum. Sertifikat hak merek yang
sudah terdaftar merupakan bukti kepemilikan hak merek seseorang/badan hukum sebagai
objek jaminan. Perjanjian jaminan berlandaskan asas kebebasan berkontrak memungkinkan
hak merek sebagai objek jaminan fidusia (Pasal 1 butir 2 dan 4 UU No. 42/1999 tentang
Jaminan Fidusia.

Dalam hal hak merek, ada beberapa pendekatan untuk menilai merek sebagai aset tak
berwujud (intangible asset). Ada tiga ukuran dalam menilai hak merek yaitu :

a. Pendekatan pasar (market approach). Pendekatan pasar menyediakan kerangka kerja


sistematis untuk meperkirakan nilai aset tidak berwujud (merek) berdasarkan analisis
penjualan aktual dan/atau transaksi lisensi berwujud yang sebanding dengan objek hak
merek.
b. Pendekatan pendapatan (income approach). Pendekatan pendapatan menyediakan
kerangka kerja sistematis untuk memperkirakan nilai aset tidak berwujud berdasarkan
kapitalisasi pendapatan ekonomi atau nilai sekarang dan nilai masa depan. Nilai
“pendapatan ekonomi” akan berasal dari penggunaan merek, lisensi merek, atau
penyewaan merk tersebut.
c. Pendekatan biaya (cost approach). Pendekatan biaya menyediakan kerangka kerja
sistematis untuk memperkirakan nilai aset tidak berwujud berdasarkan prinsip ekonomi
substitusi yang sepadan dengan biaya yang akan dikeluarkan sebagai pengganti yang
sebanding sebagaimana fungsi utilitas.

Pengelolaan hak merek sebagai intangible asset suatu perusahaan, harus berpedoman pada
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 19 (revisi 2010) tentang Aktiva
Tidak Berwujud. Menurut PSAK Nomor 19 (revisi 2010), aktiva tidak berwujud termasuk
HKI adalah aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasikan dan tidak mempunyai wujud
fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang dan jasa,
disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif yang teraplikasi dalam Laporan
Kuangan Perusahaan.

Penilaian atau valuasi teknologi/paten sebagai aset tidak berwujud (intangible asset) tentu
berbeda dengan aset berwujud yang lebih mudah dinilai menjadi suatu harga atau dalam
bentuk nilai uang. Sampai saat ini belum ada kebijaka di Indonesia yang mengatur secara
detail tentang teknis penilaian teknologi/paten, metode atau pendekatan yang digunakan,
manfaat penilaian paten, dan lain-lain.

Metode valuasi teknologi/paten telah banyak dikembangkan para ahli ekonomi, finansial, dan
ahli lain di bidang paten, teknologi, dan HKI. Terdapat tiga pendekatan yang banyak
digunakan dalam melakukan valuasi teknologi/paten dan menjadi dasar pengembangan
berbagai teknik valuasi teknologi/paten, yaitu valuasi berbasis biaya (cost based approach),
valuasi berbasis pasar (market based approach), dan valuasi berbasis pendapatan (income
based approach). Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan maupun kekurangan
dalam menilai suatu teknologi/paten.

Dilihat sebagai modal atau kekayaan, paten atau teknologi dikelompokkan sebagai suatu aset
yang tidak berwujud (intangible asset) yang mempunyai nilai (value). Dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 19 (revisi 2009), disebutkan paten merupakan
salah satu aset tidak berwujud dalam bentuk dokumen legal. PSAK 19 menyatakan produk
yang dihasilkan dari teknologi yang dipatenkan diharapkan menjadi sebuah sumber aliran
masuk kas bersih bagi entitas (institusi) paling tidak selama waktu perlindungannya. Nilai
paten juga harus ditelaah selama masa perlindungannya untuk melihat adanya kemungkinan
penurunan nilai aset.

Pengelolaan aset tidak berwujud juga diatur dalam Peraturan Menteri Riset dan Teknologi
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Aset Tak Berwujud
Hasil Kegiatan Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional (SINas) di Kementerian Riset dan
Teknologi. Menurut Permenristek No. 2/2014, aset tidak berwujud adalah aset non-moneter
yang dapat diidentifikasikan dan tidak mempunyai wujud fisik dan bukan merupakan kas atau
setara kas atau aset yang akan diterima dalam bentuk kas yang jumlahnya pasti atau dapat
ditentukan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Menristek telah membentuk tim yang bertugas untuk
melakukan identifikasi dan penilaian aset tak berwujud. Kriteria aset tidak berwujud hasil
kegiatan Insentif Riset SINAS menurut Permenrisetk tersebut meliputi :

a. hasil penelitian dan pengembangan yang sudah memperoleh sertifikat HKI.


b. mempunyai nilai ekonomis; dan
c. sepenuhnya dibiayai dari APBN Kemenristek.

Pada tahap awal pendirian, Lembaga Penilai HKI sebagiknya lebih berfokus pada aset Hak
Cipta dan Paten yang mudah untuk dilakukan penilaian atau valuasi. Hal ini dimaksudkan
agar praktik penjaminan aset HKI sebagai jaminan kredit dapat segera terealisasi di
Indonesia. Aset Hak Cipta yang relatif lebih mudah dinilai/divaluasi misalnya harga lukisan,
patung, film, novel, buku teks, aplikasi, games, dan lain-lain.

Di sisi lain, aset nonfisik berupa Paten dan Paten sederhana yang sudah terbukti laku di
pasaran lebih mudah untuk divaluasi karena data finansialnya sudah tersedia. Lembaga
Penilai Aset HKI sebaiknya juga menyediakan jasa layanan via internet agar mudah diakses
para pengusaha dan lembaga jasa keuangan di seluruh Indonesia. Lembaga tersebut dapat
membuat situs IP Marketplace seperti di luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai