Anda di halaman 1dari 2

Ekonomi Politik dan Pembangunan

Kelompok 14 :
1. Ardian Havidani (7775210016)
2. Hasfi Soembaga (7775210030)
• Judul Buku : Mengapa Negara Gagal (Why Nations Fail)
• Penulis : Daron Acemoglu & James A. Robinson
• Resume BAB : BAB 14 “Mengubah Sejarah Yang Suram”

Memasuki abad ke-19 mulai bermunculan tunas-tunas institusi politik di Tswana.


Institusi-institusi tersebut sudah memiliki sentralitas politik yang cukup kuat untuk standar
negara-negara sub-Sahara Afrika, serta berbagai prosedur pengambilan keputusan yang
merupakan cikal bakal pluralisme. Seperti piagam besar Magna Carta yang memungkinkan
para bangsawan Inggris mengontrol perilaku dan sepak terjang rajanya, berbagai institusi
politik Tswana, terutama lembaga yang bernama kgotla, juga sudah memiliki mekanisme
partisipasi politik dan kontrol terhadap sepak terjang para ketua suku. Kekuasaan pemimpin
suku di Tswana juga tidak secara otomatis bisa diwariskan secara turun-temurun, melainkan
bersifat terbuka dan bisa diperlombakan oleh semua warga yang berbakat dan cakap.

Momentum sejarah di akhir masa kolonial yang sangat menentukan keberhasilan


masa depan Botswana dan memudahkan institusi inklusif tumbuh berkembang di negara itu.
Ketika Bechuanaland merdeka dan berubah nama menjadi Botswana pada tahun 1966, nasib
baik tampaknya sudah tak lagi memihak kepada tiga pemuka itu, Sebele, Bathoen, dan
Khama. Pada tahun-tahun terakhir pendudukan Bechuanaland, pemerintah Inggris tidak lagi
banyak berinvestasi. Pada awal kemerdekaan, Botswana merupakan salah satu negara
termiskin di muka bumi; total panjang jalan berlapis aspal yang dimilikinya hanya dua belas
kilometer; total penduduk berijazah sarjana hanya dua puluh dua orang, dan lulusan sekolah
menengah hanya seratus orang. Dan yang paling mengenaskan, secara geografis wilayah
negara itu dikelilingi oleh rezim-rezim penguasa kulit putih Afrika Selatan, Namibia, dan
Rhodesia, yang semuanya memusuhi banyak negara merdeka Afrika yang diperintah oleh
bangsa kulit hitam. Peluang negara itu untuk bangkit dan menjadi negara sukses sangat tipis.
Namun dalam rentang waktu empat puluh lima tahun, Botswana berhasil membuktikan
dirinya sebagai negara dengan angka pertumbuhan paling pesat di dunia. Dewasa ini
Botswana memiliki pendapatan perkapita tertinggi di seluruh kawasan sub-Sahara Afrika,
dan prestasinya setara dengan negara Eropa Timur seperti Estonia dan Hungaria, atau negara
di Amerika Latin seperti Kosta Rika. Setelah mereka mencapai kemerdekaan, mereka
membangun institusi politik-ekonominya secepat mungkin. Sejak itu Botswana tampil
sebagai negara demokratis yang rutin menggelar pemilu yang kompetitif, dan bebas dari
perang saudara maupun kudeta militer. Pemerintahnya giat membangun berbagai institusi
ekonomi yang menghormati hak kekayaan rakyat, menjamin stabilitas ekonomi makro, dan
secara konsisten mendorong tumbuhnya mekanisme ekonomi pasar yang inklusif.

Seperti yang terjadi di Botswana, faktor penentu perubahan di Selatan Amerika


Serikat adalah pembangunan institusi politik-ekonomi yang inklusif. Langkah baru itu
ditempuh bersama dengan kian menguatnya gelombang ketidakpuasan warga kulit hitam
yang hidup sengsara di bawah cengkeraman institusi ekstraktif, selain juga berkat semakin
Ekonomi Politik dan Pembangunan

rapuhnya kekuasaan Partai Demokrat di sana. Sekali lagi, institusi politik-ekonomi yang
sudah ada selalu ikut andil mewarnai perubahan yang terjadi. Dalam hal ini, institusi politik-
ekonomi wilayah Selatan terpaksa tunduk kepada institusi inklusif dari pemerintah federal,
sehingga pada akhirnya para warga kulit hitam berhasil mengerahkan kekuatan pemerintah
dan institusi federal untuk mengawal perjuangan mereka. Proses perubahan itu semakin
mulus, dan meningkatnya perekonomian berkat masuknya inovasi teknologi mesin panen
kapas terjadi seiring dengan besarnya kasus eksodus ratusan ribu warga kulit hitam dari
wilayah Selatan, sehingga mengendurkan semangat para elite politik di sana untuk
memerangi kebijakan pemerintah yang mengharamkan berbagai praktik diskriminasi.

Kebangkitan kembali perekonomian China terjadi seiring dengan pergeseran


orientasi negara yang meninggalkan institusi ekstraktif dan mulai membangun institusi yang
lebih inklusif. Insentif pasar di sektor pertanian dan industri kemudian disusul dengan
beragam kebijakan senada yang menyentuh bidang investasi luar negeri dan teknologi, dan
semua itu telah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang fenomenal di China. Pertumbuhan
ekonomi China yang mengagumkan itu terjadi dalam konteks institusi politik ekstraktif,
meskipun rezimnya tidak segarang pada masa Revolusi Kebudayaan dan institusi ekonomi
mereka tidak sepenuhnya inklusif. Semua itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa
perubahan yang terjadi di China sungguh radikal. Bangsa China berhasil mengubah
sejarahnya yang kelam, meskipun mereka belum berhasil mereformasi berbagai institusi
politiknya. Seperti kasus di Botswana atau negara-negara bagian selatan di Amerika Serikat,
perubahan signifikan di China terjadi seiring dengan munculnya momentum emas dalam
sejarah, yaitu kematian Pemimpin Mao. Semua rentetan peristiwa itu terjadi tanpa bisa
diprediksikan dan serba tidak terduga, sebab kekalahan Kelompok Empat dalam pergulatan
politik di China sungguh tidak terduga; dan seandainya saja kelompok konservatif partai
komunis itu masih berkuasa, China belum tentu bisa meraih pertumbuhan ekonomi yang
konsisten dalam tiga dasawarsa terakhir. Namun demikian, kerusakan luar biasa serta
penderitaan manusia yang ditimbulkan oleh proyek nasional Lompatan Besar dan Revolusi
Kebudayaan China telah memantik reaksi rakyat yang menuntut perubahan, yang akhirnya
dipersembahkan oleh Deng Xiaoping dan kelompok pendukungnya.

Kisah Dari Botswana, China, dan kawasan Selatan di Amerika Serikat, seperti halnya
revolusi besar di Inggris pada tahun 1688, Revolusi Prancis, dan Restorasi Meiji di Jepang,
merupakan gambaran yang nyata dan membuktikan bahwa peristiwa sejarah bukan takdir
yang tidak bisa dielakkan. Sekuat apa pun lingkaran setan yang ada, akan selalu ada
kesempatan untuk mereformasi institusi ekstraktif dan menggantikannya dengan institusi
inklusif. Namun prosesnya tidak serta-merta, tidak pula semudah membalik telapak tangan.
Terkadang masih diperlukan sejumlah faktor lain seperti momentum emas dalam sejarah
yang bersinergi dengan tampilnya koalisi besar dari kubu-kubu yang menuntut perubahan,
agar sebuah negara bisa bangkit dan mengambil langkah besar membangun institusi inklusif.
Di samping itu, kehadiran Dewi Fortuna memang selalu dinantikan, sebab jalannya sejarah
selalu sulit diprediksikan.

Anda mungkin juga menyukai