Anda di halaman 1dari 25

23

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum STA Sewukan, Jetis dan Ngablak

STA Sewukan merupakan pengembangan pasar sayuran Soka yang didirikan


di atas tanah bengkok
oleh H. Riswanto
Sudiyono, selaku kepala
desa pada tahun 2000.
Sudiyono dulu melihat
warganya yang sebagian
besar merupakan petani
sayuran didikte oleh
hanya 4—6 orang
pedagang di Pasar Talun,

Gambar 5. Profil STA Sewukan Kec. Dukun, Magelang.

Sudiyono mempromosikan Pasar Soka dengan cara menempelkan selebaran pada


mobil niaga di pasar-pasar besar, seperti Johar Semarang, Shoping Yogyakarta, dan
Jakarta. Dari situlah para pedagang besar dari luar kota berdatangan ke Pasar Soka.
Saat ini ada 200 pedagang yang memiliki kartu anggota beraktivitas di STA
Sewukan, sehingga petani lebih mempunyai posisi sebagai penentu harga. Terlebih
lagi komoditas sayuran di pasar ini adalah sayuran segar karena dekatnya jarak pasar
dengan petani..
Adanya STA memperpendek rantai pemasaran karena para pengepul akhirnya
menjadi pedagang biasa. Pengelolaan STA Sewukan dipegang pemerintah desa.
Selain memberikan kontribusi bagi kas desa, STA juga lebih cepat berkembang
karena selaras dengan kemauan masyarakat. Menurut Surame Hadi Sutikno, Ketua
Paguyuban Petani Merbabu (PPM) yang juga Kepala Desa Tejosari, untuk kawasan
24

agropolitan sebaiknya STA memang dikelola pemerintah desa agar warga


mempunyai rasa memiliki dan dapat berbuat cepat jika pasar memerlukan
pembenahan.
STA Sewukan berdiri di atas lahan seluas 9.310 m2dengan 108 kios dan 56 los
dengan denah sebagai berikut:

Gambar 6. Denah STA Sewukan


Volume perdagangan sayuran rata-rata 200 ton per hari yang diangkut 80—
100 unit mobil. Omzetnya sekitar Rp200 juta per hari. Petani penjual berasal dari
sekitar Magelang dan Dieng (Wonosobo). Sedangkan para pedagang berasal dari
Magetan, Solo, Klaten, Yogyakarta, Boyolali, Semarang, Bogor, Jakarta, dan
Purwokerto.
25

Sub Terminal Agibisnis


(STA) Jetis, Ambarawa,
Kabupaten Semarang
pada tahun 2006 menjadi
percontohan nasional
dalam hal pengelolaan
dan pemasaran hasil
pertanian karena di STA
ini tingkat transaksinya
sangat tinggi. Saat ini
STA Jetis hanya
Gambar 7. Profil STA Jetis
komoditas sayuran dan pisang, dengan
volume transaksi sekitar 100 ton per hari dan volume uang beredar setiap hari sekitar
Rp 1,5 milyar sampai 2 milyar. Ada sekitar 33 komoditas sayuran yang diperjual
belikan. Sayuran tersebut berasal dari kabupaten Semarang, seperti Bandungan,
Jimbaran, Sumowono, Kopeng, maupun dari luar Semarang seperti dari Wonosobo,
Magelang, Muntilan, Tawangmangu, Dieng, Cepogo, Boyolali, Batang, Pemalang
bahkan dari Jawa Timur ( Malang, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Kediri,
Magetan) dan lua Jawa (Lampung dan Palembang). Dengan volume transaksi,
jumlah uang beredar dan luasnya cakupan asal pedagang yang bertransaksi, STA Jetis
seharusnya adalah Terminal Agribisnis (TA).
Pengelola STA Jetis adalah Dinas Pertanian Kabupaten Semarang, namun
karena STA Jetis didirikan di lahan milik desa, sehingga terdapat pembagian
pendapatan yaitu 40% nya masuk ke dana kas desa. Denah STA Jetis ditampilkan
pada gambar berikut.
26

Gambar 8. Denah STA Jetis

STA Ngablak merupakan salah satu STA


yang fasilitasnya sangat minim dan
lokasinya masuk dari jalan raya dengan
luas areal yang paling sempit bila
dibandingkan dengan dua STA lainnya
(Sewukan dan Jetis). Dikelola oleh Dinas
Pasar, STA Ngablak lebih tepat disebut
sebagai pasar sayur, dengan komoditas
Gambar 9. STA Ngablak
sayuran utama yang terbanyak diperjual
belikan adalah kubis.
27

5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan STA oleh Petani

Analisis model regresi logistik untuk mengetahui faktor-faktor yang


mempengaruhi pemanfaatan STA oleh petani disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi pemanfaatan STA oleh petani
Odds Uji Goodness of Fit:
Prediktor Koefisien Sig.
ratio Hosmer and Lemeshow
Konstanta 0,797 0,743 2,220 Chi-square df Sig.
Umur petani (X1) 0,012 0,691 1,012 12,804 8 0,119
Tk Pendidikan (X2) 0,020 0,877 1,020
Volume sayur yang 0,000 0,881 1,000
dihasilkan (X3)
Jarak tempat tinggal petani -1,014 0,045* 0,363
ke STA (X4)
Pengetahuan petani tentang 1,664 0,041* 5,279
STA (D1)
Ikatan informal petani -1,701 0,075* 0,183
dengan kelembagaan non
STA (D2)
Keikutsertaan petani dalam -0,286 0,679 0,751
penyuluhan (D3)
Log-Likelihood 64,156
Chi-square 38,828
Df 7
Sig. 0,000
*signifikan pada taraf 10 persen ( =10%)
Sumber: Data primer, diolah (2013)

Hasil analisis model regresi logistik menunjukkan bahwa nilai log-Likelihood


model adalah sebesar 64,156 dengan Chi-square 38,828 dan p-value yang signifikan.
Secara keseluruhan model regresi tersebut dapat menjelaskan keputusan petani dalam
memanfaatkan STA. Nilai koefisien faktor penduga umur petani (X1), tingkat
pendidikan (X2), volume sayur yang dihasilkan (X3), pengetahuan petani tentang STA
(D1) bernilai positif, sedangkan jarak tempat tinggal petani ke STA (X 4) ikatan
informal petani dengan kelembagaan non STA (D2) dan keikutsertaan petani dalam
penyuluhan (D3) bernilai negatif. Keputusan petani untuk memanfaatkan STA
dipengaruhi secara signifikan oleh jarak tempat tinggal petani dengan STA (X 4),
tingkat pengetahuan petani tentang STA (D1) dan ikatan informal petani dengan
28

kelembagaan non STA (D2). Di antara tiga variabel yang signifikan, variabel
pengetahuan petani tentang STA memiliki nilai odds ratio tertinggi yaitu 5,279
artinya peningkatan satu unit tingkat pengetahuan petani akan meningkatkan peluang
untuk memanfaatkan STA sebesar 5,279 kali dibandingkan dengan yang tidak
memanfaatkan STA.

5.3 Identifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan


STA serta Analisis kinerja STA

Identifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan


STA serta analisis kinerja STA disajikan secara deskriptif dan dipaparkan dengan
menggunakan kerangka analisis Struktur (Structure), Perilaku (Conduct) dan Kinerja
(Performance).

5.3.1. Struktur (Structure) Pasar


5.3.1.1 Jumlah Pembeli dan Penjual
Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa pemeran pasar dalam
pemasaran sayuran di wilayah penelitian ada tiga yang meliputi petani sayur,
pedagang pengumpul desa dan pedagang besar dari tempat yang jauh seperti
Semarang, Jogja, Solo, Kebumen, Jakarta. Petani sayur yang jumlahnya cukup
banyak, sebagian lebih memilih untuk menjual langsung ke pedagang besar di STA
dan sebagian lebih memilih menjual hasil usahataninya kepada pedagang pengumpul
desa, pedagang pengumpul desa ini kemudian menjual ke pedagang besar di STA.
Dengan demikian saluran pemasaran sayuran dari petani sampai pedagang besar di
STA dapat dirumuskan secara sederhana seperti terlihat dalam gambar 10.

Petani sayur Pedagang Pedagang


pengumpul besar

Gambar 10. Saluran Pemasaran Sayuran di wilayah penelitian


29

Jumlah pedagang pengumpul yang menjual ke STA tidak terlalu banyak dan
lebih banyak jumlah pedagang besar dari luar kota yang mencari dan membeli
sayuran di STA, sehingga ketika pedagang pengumpul yang membawa sayuran
dengan jumlah dan jenis yang relatif banyak ke STA, pedagang besar ini berebut
untuk mendapatkan sayuran yang mereka bawa. Namun demikian, harga tidak
beranjak naik karena pedagang besar ini sudah mempunyai patokan harga tersendiri
berdasarkan informasi yang dimiliki dari STA lain. Berdasarkan jumlah pembeli dan
penjual atau pemeran pasar ini, struktur pasar di STA adalah oligopoli.

5.3.1.2 Heterogenitas sayuran yang dipasarkan


Hasil observasi terhadap sayuran yang diperdagangkan di rumah pedagang
pengumpul, tempat penampungan dan di STA menunjukkan bahwa jenis sayuran
relatif heterogen. Adanya heterogenitas sayuran yang diperdagangkan ini terlihat juga
dari adanya kegiatan petani dan pedagang yang melakukan sortasi terhadap produk
tersebut dan juga melakukan grading. Sebenarnya secara keseluruhan petani di sekitar
STA menanam sayuran yang cocok di desanya, namun karena tingkat teknologi yang
diterapkan, pengetahuan, ketrampilan dan permodalan petani yang berbeda, maka
sayuran yang dihasilkan juga akan berbeda kualitasnya atau menjadi heterogen.
Berdasarkan keragaman kualitas sayuran yang diperdagangkan, maka
struktur pasar yang terjadi adalah struktur pasar oligopoli terdiferensiasi. Petani akan
selalu bisa menaikkan harga jual hasil sayurannya sejalan dengan kemampuan
menghasilkan sayuran yang lebih berkualitas dengan perbaikan teknologi,
peningkatan pengetahuan/ketrampilan dalam bercocok tanam dan peningkatan jumlah
modal yang dipakai dalam berusahatani.

5.3.1.3 Pengetahuan informasi pasar


Informasi pasar yang dimiliki oleh pemeran pasar terbatas pada informasi
jenis sayuran, harga, kuantitas dan kualitas. Dari tiga pemeran pasar yang paling
banyak memiliki informasi pasar adalah pedagang besar dari luar daerah. Walaupun
30

antar pedagang ini saling bersaing dalam memperoleh barang dan keuntungan, tetapi
sebenarnya antar mereka juga saling menolong terutama dalam memberi informasi
dan juga mendapatkan barang dagangan. Untuk saling memberikan informasi dan
pesan barang dagangan tertentu, mereka menggunakan telepon genggam
(handphone/HP). Pedagang yang sedang berada di STA Sewukan misalnya dapat
minta informasi kepada temannya yang sedang berada di STA Jetis, bicara langsung
(telpon), kirim pesan singkat (SMS) ataupun kirim pesan gambar/foto sayuran
(MMS). Bila keadaan memungkinkan kadang-kadang mereka juga bisa titip
mencarikan barang sehingga antar pedagang tersebut bisa saling melengkapi dan
memenuhi jumlah dan jenis sayuran yang mereka butuhkan untuk kemudian dijual
lagi di daerah asal. Semisal, pedagang yang berada di STA Jetis dapat titip untuk
dicarikan jenis sayuran tertentu kepada temannya yang sedang berada di STA
Ngablak bila mereka bisa saling bertemu di satu tempat tertentu.
Pedagang pengumpul desa memiliki informasi pasar yang relatif sedikit
dibanding pedagang besar dari luar daerah. Informasi yang dimiliki adalah informasi
yang diperoleh ketika sehari sebelumnya mereka menjual sayuran ke STA. Pedagang
ini tidak bisa mendapat informasi banyak seperti yang terjadi pada pedagang besar
karena memang tidak mempunyai hubungan dagang yang luas seperti halnya
pedagang besar.
Petani memiliki informasi pasar yang paling sedikit. Aktifitas utama petani
adalah mengerjakan usaha taninya di lahan, sehingga mereka hampir tidak
mengetahui apa yang terjadi di pasar. Secara terbatas mereka bisa saling berbagi
informasi pasar dengan tetangga sebelah rumah, disamping itu untuk mendapatkan
informasi, bila memungkinkan mereka terkadang juga pergi ke STA untuk melihat
dan bertanya terutama tentang harga jual sayur yang terjadi hari itu (istilah setempat:
ngindik harga), untuk kemudian mereka memutuskan untuk menjual sayuran ke STA
atau tempat lain yang harganya lebih cocok. Yang lebih banyak terjadi adalah petani
yang sama sekali tidak mempunyai informasi pasar, tetapi mereka langsung menjual
31

sayurannya ke pedagang pengumpul ataupun pedagang besar di STA, yang dapat


menyebabkan harga jual yang diterima petani tidak bisa maksimal.
Mengingat ketidak seimbangan pemilikan informasi antar pemeran pasar ini,
maka perlu kiranya dirancang sebuah sistem informasi misalnya setiap STA
diwajibkan untuk menyiarkan informasi pasar lewat jaringan internet, yang dapat
diakses secara mudah oleh pedagang besar, pedagang pengumpul dan petani, disertai
dengan pelatihan untuk mengaksesnya, bila di tingkat petani masih terlalu sulit
mungkin bisa lewat kelompok tani.

5.3.1.4 Hambatan keluar masuk pasar


Hambatan yang dimaksud adalah hambatan masuk bagi pedagang atau petani
yang akan melakukan jual beli sayur di STA. Ada tiga hal yang dapat dikategorikan
sebagai hambatan masuk ke STA. Hambatan pertama adalah adanya pungutan masuk
bila seseorang akan menjual atau membeli produk di STA sesuai tarif seperti terlihat
dalam tabel 5.

Tabel 5. Jenis dan Tarif Pungutan di STA Sewukan


Jenis pungutan Tarif (Rp) Keterangan
Karcis masuk truk 5.000 tiap masuk
Karcis masuk Colt 4.000 tiap masuk
Karcis masuk Sepeda Motor 1.000 tiap masuk
Karcis pedagang kaki lima dan perorangan 500 tiap hari
Iuran wajib kios 10.000 tiap bulan
Iuran wajib Los 5.000 tiap bulan
Sumber: Profil STA Sewukan (tanpa tahun)
Hambatan kedua adalah kartu anggota. Setiap pedagang yang akan menjual
dan atau membeli sayuran di STA diwajibkan memiliki kartu anggota. Dengan
demikian tidak semua pedagang bisa dengan bebas keluar masuk sebuah STA untuk
menjual atau membeli produk yang diperdagangkan di sana.
Hambatan ke tiga adalah adanya larangan untuk memasukkan jenis sayuran
tertentu yang sudah dihasilkan oleh petani setempat dalam jumlah besar. Karena hal
32

ini akan menekan harga jual yang diterima petani. Menurut pengelola STA Sewukan
pernah terjadi ada pedagang besar membawa wortel satu kontainer masuk ke STA,
waktu itu terjadinya bersamaan dengan kelangkaan wortel lokal sehingga harga
wortel meningkat tajam, karena ada perhatian dari pengelola STA akhirnya wortel
tersebut tidak jadi masuk ke STA Sewukan.
Hambatan berupa kartu anggota dirasa perlu untuk diteruskan. Hambatan
yang berupa retribusi tampak masih relatif rendah, dan bila mana masih diperlukan
untuk perbaikan STA dan sistem pengelolaan masih bisa ditingkatkan. Hambatan
yang perlu sekali dipertahankan adalah hambatan-hambatan yang diperlukan untuk
mempertahankan atau bahkan memperbaiki kondisi perdagangan, seperti masuknya
sayuran dari daerah lain ke STA, padahal petani setempat juga menghasilkan produk
tersebut.

5.3.2 Perilaku (Conduct)


5.3.2.1 Proses Jual Beli Sayuran
Proses jual-beli sayurnya antara petani dan pedagang dilakukan dengan tiga
cara, yaitu: jual-beli per satuan berdasarkan kualitas, jual-beli per satuan campuran,
dan jual-beli borongan. Petani sayur banyak yang melakukan jual-beli hasil sayurnya
dengan cara jual per satuan campuran yakni sebanyak 47 orang atau 67,14% dari
seluruh sampel petani sedang yang menjual per satuan berdasarkan kualitas sebanyak
20 orang atau 28,57%. Data distribusi petani sampel menurut cara penjualan sayurnya
dapat diikuti dalam tabel 6.

Tabel 6. Distribusi responden petani menurut cara penjualan produk


Jumlah petani
Cara penjualan
(jiwa) (%)
1. Dijual per satuan berdasarkan kualitas 20 28,57
2 .Dijual per satuan campuran 47 67,14
3. Dijual borongan di lahan pada saat siap panen 3 4,29
Jumlah 70 100,00
Sumber: Data diolah (2013)
33

Untuk pedagang, cara membeli sayurannya sering memilih lebih dari satu
cara. Pedagang yang memilih cara beli per satuan berdasar kualitas ada 8 orang dari
10 orang sampel pedagang yang memberi jawaban atau 80% dan yang memilih cara
beli per satuan campuran sebanyak lima orang dari enam orang yang memberi
jawaban atau 83,33%. Data selengkapnya dapat diikuti dalam tabel 7.

Tabel 7. Distribusi responden pedagang menurut cara pembelian sayuran dari petani
menjawab Jumlah pedagang
Cara pembelian sayuran
(jiwa) (jiwa) (%)
1. Dibeli per satuan berdasarkan kualitas 10 8 80,00
2. Dibeli per satuan campuran 6 5 83,33
3. Dibeli borongan di lahan pada saat siap panen 5 1 20,00
Sumber: Data diolah (2013)

Dari ke tiga cara pembelian atau penjualan produk, yang terbaik adalah cara
pembelian/penjualan per satuan berdasarkan kualitas. Dengan cara ini petani sayur
akan bisa mendapatkan harga jual sesuai dengan kualitas sayuran yang dihasilkan dan
pedagang akan mendapatkan barang dagangannya sesuai kualitas yanag diinginkan.
Disamping itu cara ini akan meminimalisir terjadinya konflik antar mereka. Dengan
demikian cara-cara melaksanakan standarisasi dan grading perlu dipahami oleh
petani sayur dan pedagang.

5.3.2.2 Lembaga penentu harga


Berdasarkan data dari lapang, ada tiga mekanisme penetapan harga jual yang
terjadi yaitu dilakukan sepihak oleh pembeli yang dialami oleh 41 petani atau
58,57%, ditetapkan bersama dengan memperhatikan fluktuasi yang dialami oleh 16
orang atau 22,86% dan penetapan bersama tanpa memperhatikan fluktuasi yang
dialami 30 petani atau 42,86%. Data selengkapnya dapat diikuti dalam tabel 8.
Harga jual sayur yang diterima petani merupakan salah satu unsur yang sangat
penting yang akan mempengaruhi pendapatan petani dari usahataninya, disamping
tingkat produksi dan harga sarana produksi. Sama halnya dengan petani, pedagang
34

juga memperhatikan harga beli, dan pedagang berkepentingan dengan harga beli yang
rendah. Karena kedua pihak ini sama-sama berkepentingan dengan harga, maka
mekanisme penetapan harga perlu mendapat perhatian. Penetapan harga yang
dilakukan secara sepihak oleh pedagang adalah tidak adil karena kepentingan petani
kurang mendapat perhatian. Petani bisa merasa sangat dirugikan karena harga yang
terjadi bisa tidak seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan, dan petani tidak
bisa mengelak karena produk sayuran kualitasnya cepat menurun, sehingga terpaksa
petani harus segera menjualnya berapapun harga jual yang akan diterima. Dengan
memperhatikan jumlah petani yang mengalami penetapan harga secara sepihak oleh
pembelinya, maka masih dipandang perlu untuk melakukan advokasi terhadap petani.

Tabel 8. Distribusi Responden Petani Menurut Mekanisme Penetapan Harga yang


terjadi
menjawab Respon Petani
Mekanisme Penetapan Harga
(jiwa) (jiwa) (%)
1. Ditetapkan secara sepihak oleh pembeli 70 41 58,57
2. Ditetapkan berdasarkan kesepakatan 70 16 22,86
bersama tanpa memperhitungkan fluktuasi
harga yang terjadi di pasar
3. Ditetapkan berdasarkan kesepakatan 70 30 42,86
bersama dan memperhitungakan fluktuasi
harga yang terjadi di pasar
Sumber: Data diolah (2013)

5.3.2.3 Sistem Pembayaran


Petani menerima pembayaran sayuran yang dijual dengan berbagai macam
cara yaitu: cara tunai, cara bayar kemudian dan campuran. Yang paling banyak terjadi
adalah petani menerima pembayaran dengan cara tunai yakni sebanyak 61 orang atau
sebanyak 87,14%, yang menerima bayar kemudian sebanyak 7 orang atau 10% dan
campuran sebanyak 2 orang atau 2,86%. Datanya dapat diikuti dalam tabel 9.
Pembayaran dengan cara tunai adalah petani akan langsung mendapat
uangnya ketika menyerahkan sayurannya kepada pedagang, sedang cara pembayaran
35

kemudian adalah saat pedagang menerima sayuran dari petani, pedagang tidak
langsung membayarnya, tetapi masih menunggu setelah sayuran itu laku, yang
biasanya memakan waktu satu atau dua hari berikutnya.
Sebenarnya selisih waktu antara penyerahan barang dengan penyerahan uang
pada cara bayar kemudian tidak terlalu lama, namun masih juga menimbulkan risiko
seperti risiko tidak terbayar karena administrasi pedagang di lapangan yang tidak
terlalu bagus, ataupun timbulnya kesulitan bagi petani yang memerlukan uang sangat
mendesak untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan. Sehingga cara pembayaran
ini sebaiknya diubah menjadi cara pembayaran tunai.

Tabel 9. Distribusi responden petani menurut cara pembayaran yang diterima

Respon petani
Cara pembayaran
(jiwa) (%)
Tunai 61 87,14
Bayar kemudian 7 10,00
Campuran 2 2,86
Jumlah 70 100,00
Sumber: Data diolah (2013)

5.3.2.4 Kerjasama yang Terjalin antar Petani dan Lembaga Pemasaran


Dilihat dari bentuk hubungan yang terjalin dengan pembeli, ada beberapa
petani sayur yang menjual produknya kepada pembeli yang relatif tetap, sehingga
terbentuk hubungan pelanggan, tetapi lebih banyak yang menjual produknya kepada
pembeli bebas. Dari 70 responden yang diambil, ada 48 orang yang menjual
produknya kepada pedagang pengumpul, 31 orang menjual produknya ke pada
pedagang besar dan satu orang menjual produknya ke supermarket. Bentuk hubungan
yang terjalin antara petani dengan pedagang pengumpul adalah pembeli bebas
sebanyak 37 atau 77,08% dan pembeli berlangganan sebanyak 11 orang atau sebesar
22,92 %. Bentuk hubungan antara petani dengan pedagang besar adalah pembeli
bebas sebanyak 23 orang atau 74,19% dan pembeli berlangganan sebanyak 8 orang
36

atau sebesar 25,81%. Data tentang pembeli dan bentuk hubungan yang terjalin antara
petani dengan pembeli selengkapnya dapat diikuti dalam tabel 10.

Tabel 10. Distribusi responden petani menurut hubungannya dengan pembeli


Bentuk hubungan
Jenis pembeli menjawab pembeli bebas Berlangganan
(jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Pedagang pengumpul 48 37 77,08 11 22,92
Pedagang besar 31 23 74,19 8 25,81
Supermarket/hipermarket 1 1 100,00 0 0,00
Sumber: Data diolah (2013)

Pedagang pengumpul desa umumnya membeli sayuran di rumah, dan


kemudian menjualnya ke pedagang besar di STA. Pedagang pengumpul semacam ini
terdapat di STA Sewukan dan STA Jetis. Pedagang pengumpul yang aktif di STA
Ngablak umumnya membeli sayuran dari petani di rumah, dan kemudian menjualnya
kepada pedagang besar juga di rumahnya. Pedagang besar yang aktif di wilayah
penelitian berasal dari berbagai kota yang dekat maupun yang jauh seperti Semarang,
Solo, Kebumen, Jogja, Cirebon dan Jakarta. Untuk mencari produk, mereka
mengunjungi satu demi satu STA yang relatif berdekatan seperti Pasar Cepogo, STA
Jetis, STA Sewukan dan STA Ngablak, sampai mereka menganggap bahwa sayuran
yang mereka cari sudah diperoleh, untuk dijual lagi kepada pedagang pengecer di
kota tujuan.

5.3.2.5 Pelaksanaan Fungsi Pemasaran


Secara umum fungsi pemasaran sayuran dipilah menjadi tiga yaitu fungsi
transaksi, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi transaksi meliputi kegiatan
penjualan dan pembelian. Fungsi pembelian dilakukan oleh pedagang untuk
memperoleh barang dagangannya yang diperkirakan akan laku di daerahnya. Jumlah
dan jenis sayuran yang dibeli tidak direncanakan secara detil, tetapi lebih didasarkan
pada kebiasaan setiap harianya, apa yang ada di STA dan apa yang dibutuhkan di
37

daerah asalnya. Untuk mendapatkan barang yang dibeli, kadang-kadang pedagang


mendatangi lebih dari satu STA sampai diperoleh barang yang dicarinya.
Fungsi penjualan yang dilakukan oleh petani sayur memiliki beragam cara.
Sebagian petani menjual ke pedagang pengumpul setempat dengan membawa
sayurannya ke rumah pedagang pengumpul, bila jaraknya tidak terlalu jauh. Dengan
cara ini antar mereka dapat melakukan tawar menawar harga. Sebagian petani
lainnya yang juga menjual ke pedagang pengumpul hanya memberi tahukan bahwa
dia akan menjual sayuran dan meminta agar sayuran tersebut diambil di tempat
tertentu (dapat di lahannya ataupun di pinggir jalan yang akan dilalui pedagang
pengumpul tersebut ketika akan menjual sayuran ke STA). Dengan cara ini harga
sayuran akan ditentukan kemudian setelah pedagang pengumpul berhasil menjual
sayuran tersebut. Ada juga petani sayur yang menjual sayurannya ke pedagang
pengumpul setempat dengan mengantar sayurannya ke tempat penampungan yang
disediakan oleh pedagang, kemudian pedagang besar mengambil sayuran tersebut dan
menentukan harganya. Di hari berikutnya petani sayur baru mendapatkan bayaran
yang ditetapkan sepihak oleh pedagang besar. Banyak juga petani yang menjual
sayurannya ke pedagang besar yang berada di STA.
Fungsi fisik lebih tepatnya kegiatan pasca panen yang dilakukan petani sayur
meliputi: sortasi, grading, penyimpanan dan pengemasan. Petani yang melakukan
sortasi sebanyak 52 orang atau 75,71 %. Kegiatan ini dapat dilakukan di lahan, di
rumah ataupun di tempat penjualan produk (STA dan rumah pedagang pengumpul).
Kegiatan grading dilakukan oleh 15 petani atau sebanyak 21,43%. Grading dilakukan
secara sederhana oleh petani, berdasarakan kebiasaan yang standarnya sudah disetujui
oleh pedagang. Standarisasi resmi yang berlaku umum untuk perdagangan sayuran di
wilayah penelitian tidak ada. Kegiatan penyimpanan dilakukan oleh enam orang
petani atau 8,57%. Kegiatan penyimpanan ini tentunya tidak ditujukan untuk jangka
lama atau menanti harga baik, tetapi dilakukan sehari/dua hari karena petaninya
memang belum siap menjual. Penyimpanan dengan pendinginan yang menggunakan
peralatan modern dirasa belum perlu dilakukan untuk perdagangan sayuran antar
38

daerah, karena produknya memang segera laku terjual, dan biaya pendinginan juga
sangat mahal. Peralatan pendinginan modern yang disediakan di STA Jetis saat ini
menjadi mangkrak tidak terpakai, bahkan akhirnya difungsikan untuk menjadi
gudang pisang tanpa memanfaatkan pendinginan dengan alasan biaya listriknya
sangat tinggi. Kegiatan pengemasan dilakukan secara sederhana oleh petani, dengan
menata sayurannya ke dalam keranjang ataupun karung yang disediakan di STA
ataupun di rumah pedagang pengumpul. Data selengkapnya tentang distribusi
responden menurut kegiatan pasca panen yang dilakukan dapat diikuti dalam tabel
11.

Tabel 11. Distribusi responden menurut kegiatan pasca panen yang dilakukan
Uraian respon petani
(jiwa) (%)
Sortasi 52 75,71
Grading 15 21,43
Penyimpanan tanpa pendingin 6 8,57
Penyimpanan dengan pendingin 0 0,00
Lainnya (pengemasan) 5 7,14
Sumber: Data diolah (2013)

Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh petani sayur hampir-hampir tidak ada.
Beberapa petani yang tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari STA mencoba mencari
informasi harga di STA (ngindik harga), untuk kemudian dia memutuskan apakah
akan menjual sayurannya ke STA terdekat atau ke tempat lain. Lain halnya dengan
pelaksanaan fungsi informasi yang dilakukan oleh pedagang besar. Mereka dapat
saling memberi dan menerima informasi yang diperlukan antar teman terdekatnya
tentang berbagai hal seperti harga produk, ketersediaan produk, kualitas dan jenis-
jenis produk yang diperdagangkan di pasar eceran ataupun STA-STA lain yang
belum dikunjungi.
39

5.3.3 Kinerja (Performance)


5.3.3.1 Marjin Pemasaran
Bagi pedagang, harga beli sayuran dagangannya lebih tertuju pada kemudahan
untuk memperoleh barang dagangan. Makin tinggi harga beli yang dibayarkan akan
makin mudah dia memperoleh barang dagangan. Sedangkan harga jual lebih tertuju
pada kesulitan untuk menjual barang dagangannya. Makin tinggi harga jual yang
diterima, makin sulit dia menjual barang dagangannya. Dalam kaitannya dengan
keuntungan pedagang, lebih ditentukan oleh margin pemasaran, yakni selisih harga
beli dengan harga jual, serta biaya pemasaran.
Data lapangan menunjukkan bahwa margin pemasaran untuk komoditas
dominan dalam nilai nominal tertinggi mencapai Rp 1000,00/kg yang terjadi pada
sayuran tomat dan cabe dan terendah sebesar Rp 250,00/kg yang terjadi pada sayuran
buncis. Nilai margin dalam persentase, yang tertinggi sebesar 33,33% yang terjadi
pada sayuran tomat dan terendah sebesar 5,88% yang terjadi pada sayuran cabe. Data
selengkapnya dapat diikuti dalam tabel 12.

Tabel 12. Rerata margin pemasaran komoditas dominan yang dipasarkan pedagang

Rerata harga
Rerata harga beli Rerata margin
Jenis komoditas jual
(Rp) (Rp) (Rp) (%)
Buncis 1.750,00 2.000,00 250,00 14,29
Cabe 17.000,00 18.000,00 1.000,00 5,88
Kubis 1.228,00 1.585,00 357,00 29,07
Tomat 3.000,00 4.000,00 1.000,00 33,33
Sumber: Data diolah (2013)

5.3.3.2 Keuntungan Lembaga Pemasaran


Biaya pemasaran sayuran antara lain dipakai untuk kegiatan: pengangkutan,
penimbangan, sortasi, pengemasan, dan bongkar/muat. Untuk kegiatan penimbangan,
sortasi, pengemasan dan bongkar muat besarnya biaya relatif sama, sedang untuk
kegiatan transportasi, besarannya tergantung pada jarak tempuh dari daerah produsen
40

(petani sayur) sampai (STA) dan dari STA ke tempat konsumen akhir. Semakin jauh
jarak tempuh, akan semakin tinggi biaya tranportasinya dan menyebabkan biaya
pemasaran secara keseluruhan semakin besar. Dan seperti telah diuraikan ada dua
jenis sayuran yang diperdagangkan di STA yang diteliti didatangkan dari luar daerah
yakni kobis dan kentang, yang didatangkan dari Dieng. Kedua jenis sayuran tersebut
bersama dengan sayuran lainnya akan dibawa ke tempat konsumen akhir seperti:
Semarang, Kebumen, Solo, Salatiga, Joga, Cirebon dan Jakarta. Dengan demikian
biaya pemasaran akan bervariasi antar komoditas. Biaya tertinggi terjadi pada sayuran
cabe yang mencapai Rp 750/kg dan yang terendah terjadi pada sayuran buncis
sebesar Rp 100/kg.
Dari kegiatannya pedagang akan memperoleh keuntungan, yang merupakan
selisih margin dengan biaya pemasaran. Dalam tabel 13, dari segi nominal
keuntungan tertinggi terjadi pada sayuran tomat yang mencapai Rp 500/kg dan yang
terendah terjadi pada sayuran buncis sebesar Rp 150/kg, sedang dari segi persentase
biaya, keuntungan tertinggi terjadi untuk sayuran buncis sebesar 150% dan terendah
pada sayuran cabe sebesar 33,33%

Tabel 13. Rerata keuntungan pedagang dari komoditas dominan yang ditangani

Jenis Komoditas Rerata margin Rerata biaya Rerata keuntungan pedagang


(Rp) (Rp) (Rp) (%)
Buncis 250,00 100,00 150,00 150,00
Cabe 1.000,00 750,00 250,00 33,33
Kubis 357,00 178,00 179,00 100,56
Tomat 1,000,00 500,00 500,00 100,00
Sumber: Data diolah (2013)

5.3.3.3 Bagian yang Diterima oleh Petani (Farmer Share)


Produk sayuran mempunyai tiga sifat yang akan mempengaruhi besarnya
farmer share yaitu bersifat memakan tempat (bulky), kualitasnya cepat menurun
(perishable) dan musiman. Sifat bulky mempengaruhi besaran biaya penanganan
41

fisik, penurunan kualitas mempengaruhi tingkat kerusakan dan sifat musiman


mempengaruhi biaya penyimpanan. Ketiga sifat tersebut untuk produk sayuran yang
diperdagangkan di STA relatif sama, sehingga bagian yang diterima petani juga
relatif sama.
Dalam tabel 14 terlihat bahwa dari empat komoditas dominan yang
diperdagangkan, bagian yang diterima petani tertinggi terjadi pada sayuran cabe
sebesar 94,44% dan terendah terjadi pada sayuran tomat sebesar 75%.

Tabel 14. Rerata bagian yang diterima petani

Rerata harga Rerata harga Bagian yang


Jenis komoditas
beli (Rp) jual (Rp) diterima petani (%)
Buncis 1.750,00 2.000,00 87,50
Cabe 17.000,00 18.000,00 94,44
Kubis 1.228,00 1.585,00 77,48
Tomat 3.000,00 4.000,00 75,00
Sumber: Data diolah (2013)

5.4 Rumusan Model Awal dan Pedoman Pengembangan STA


Model pengembangan STA disusun dengan tujuan untuk memperbaiki sistem
pemasaran yang selama ini dihadapi dalam pemasaran komoditas pertanian, yaitu
panjangnya rantai dan banyaknya kelembagaan pemasaran (pedagang pengumpul,
pedagang perantara, pengecer) yang harus dilalui mulai dari titik transaksi di tingkat
petani (sentra produksi) sampai ke konsumen akhir (sentra konsumen) seperti
digambarkan berikut:
42

Gambar 11. Rantai Pemasaran Komoditas Pertanian

STA dikembangkan dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan petani


dengan memotong atau memperpendek rantai pemasaran, sehingga tercapai suatu
efisiensi pemasaran dan sebaran marjin yang lebih baik, seperti pada gambar berikut:

Gambar 12. Sistem Pemasaran STA/TA


43

Dengan adanya STA, petani memiliki alternatif untuk menjual hasil


produksinya, bisa dijual langsung seperti sistem lama yaitu ke pedagang
pengumpul/perantara di sentra produksi (desa, kecamatan) atau langsung dijual ke
STA/TA.
Dari hasil penelitian, petani sayur yang jumlahnya cukup banyak, sebagian
lebih memilih untuk menjual langsung ke pedagang besar di STA dan sebagian lebih
memilih menjual hasil usahataninya kepada pedagang pengumpul desa, pedagang
pengumpul desa ini kemudian menjual ke pedagang besar di STA, sehingga peran
pedagang di STA masih dominan, yang menyebabkan struktur pasar persaingan
sempurna masih sulit untuk diwujudkan. Untuk itu diperlukan mekanisme pemasaran
dengan pilahan peran seperti digambarkan berikut:

Gambar 13. Mekanime Pengembangan STA/TA

Pengembangan STA/TA merupakan serangkaian proses yang terdiri dari


beberapa tahap seperti berikut:
44

TAHAP 2
TAHAP 4
•Studi Kelayakan •Konstruksi (Sistem
•Penyusunan Business Plan STA-TA, di wilayah
•Perancangan produksi, di pasar)
Awal terhadap •Perancangan rinci •Operasi
STA-TA pada terhadap sistem distribusi, •Promosi
Lokasi tertentu sarana fisik dan sistem •Evaluasi
operasi/ manajemen
TAHAP 1 •Sosialisasi TAHAP 3
•Promosi
•Evaluasi Output:
Output:
Infrastruktur Fisik
Rekomendasi
Kelembagaan STA
Konseptual
dan TA

Gambar 14. Tahapan Pengembangan STA/TA

Dasar Pemikiran:
Pembangunan dan pengembangan STA sebagai institusi pelayanan pemasaran
diperlukan bagi pengembangan agribisnis, pembangunan sistem dan usaha-usaha
berbasiskan agribisnis di setiap wilayah, karena itu upaya pembangunan dan
pengembangan perlu terus dilakukan
Model STA dapat bervariasi berdasarkan karakteristik dan jenis komoditi, kondisi
pelaku agribisnis, pola pengembangan agribisnis, pemilik dan pengelola STA
Pengertian Sub Terminal Agribisnis (STA):
adalah “suatu kompleks bangunan pelayanan pemasaran di sentra produksi yang
dikelola oleh suatu badan usaha”
Fungsi STA:
1. Tempat transaksi yang aman dan nyaman serta higienis bagi hasil-hasil pertanian,
baik transaksi fisik (lelang, langganan, spot, gadai) maupun non fisik (kontrak,
pesanan, future market, virtual market);
45

2. Pembinaan mutu, pelayanan informasi, penyediaan sarana produksi, tempat


promosi
Manfaat:
1. Meningkatkan pendapatan petani produsen, pedagang dan pengolah melalui
perolehan nilai tambah dari kegiatan grading, sortasi, pengemasan, pengolahan,
perbaikan distribusi, pelayanan pemasaran hasil agribisnis dan efisiensi
perolehan sarana produksi.
2. Memperlancar kegiatan dan meningkatkan efisiensi pemasaran komoditas
agribisnis.
3. Mempermudah pembinaan mutu hasil agribisnis
4. Mengubah pola pikir petani ke arah pola pikir agribisnis
5. Meningkatkan keunggulan bersaing produk hasil-hasil agribisnis
6. Meningkatkan pendapatan asli daerah
Tujuan
1. Meningkatkan efisiensi pasar
2. Memperkuat posisi tawar petani
3. Sumber informasi pasar
4. Meningkatkan nilai tambah produk
5. Menambah segmentasi pasar
6. Meningkatkan mutu dan sanitasi pasar
7. Pembinaan pelaku pasar
8. Pengendali pasokan
Peranan:
1. Pembentukan harga
2. Distribusi
3. Penyelesaian transaksi
4. Sumber informasi
5. Peranan lainnya (sertifikasi, penyimpanan, karantina, dsb)
46

Sarana dan Prasarana


1. Transaksi hasil-hasil pertanian:
Tempat transaksi sesuai cara transaksinya
Timbangan, keranjang, boks dan sarana lainnya
Ruang administrasi dan keuangan (kasir)
Tempat bongkar muat
2. Distribusi
Sarana transportasi, gudang, cool room, cool storage, keranjang, boks
3. Komunikasi/informasi
Telepon/fax, komputer, operator, internet
4. Promosi:
Ruang promosi, display, tempat peragaan contoh produk
5. Peningkatan dan jaminan mutu
Sanitasi, air bersih
Tempat dan sarana sortasi, grading dan pengemasan
Pembinaan dan pengujian mutu produk
6. Sarana pendukung lainnya:
Penyediaan sarana produksi
Rumah makan/kios
Penginapan/tempat istirahat
Kebersihan lingkungan
Lembaga keuangan
Program Pengembangan:
1. Penyediaan Lahan – Kebijakan penyediaan lahan untuk pendirian dan
infrastruktur STA disesuaikan dengan kebutuhan jangka panjang dan merupakan
tanggung jawan Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Daerah/Kota
2. Tata Ruang, operasional dan pengelolaan
47

Lahan: 30% bangunan fisik, 20% ruang terbuka dan 50% prasarana lainnya
Tidak boleh lebih 20% di luar penjualan hasil pertanian
Tidak ada hak kepemilikan
Bila selama 3 bulan tidak ada kegiatan, hak sewa diserahkan ke
petani/pedagang lainnya
Pemilik dan pengelola tidak mengutamakan komersialisasi

Anda mungkin juga menyukai