Anda di halaman 1dari 5

Bab 13

PENYELESAIAN KREDIT MACET

BERAGUN HKI

Pengingkaran terhadap perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit dengan jaminan Hak
Cipta dan Paten dapat menimbulkan akibat hukum. Pengingkaran tersebut dapat dilakukan
pihak kreditor dan debitor. Jika terjadi piutang macet, maka kreditor pertama kali dapat
menempuh upaya penyelamatan piutang macet seperti yang dilakukan di lembaga perbankan
yaitu melalui tiga tahap:

a. Penjadwalan Kembali (Rescheduling),


b. Persyaratan Kembali (Reconditioning), dan
c. Penataan Kembali (Restrukturisasi / Restructuring).

Jika upaya penyelamatan piutang macet tidak berhasil, maka kreditor dapat menempuh upaya
penyelesaian piutang macet melalui jalur ligitasi (pengadilan) maupun non-litigasi (di luar
pengadilan). Penyelesaian non-ligitasi sebaiknya lebih diutamakan dibandingkan ligitasi.
Penyelesaian ligitasi dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan
Negeri atas dasar wanprestasi. Cara ini banyak ditinggalkan pelaku bisnis karena prosesnya
panjang, lama, mahal, dan berbelit. Hasil putusan Pengadilan Negeri masih bisa diajukan
banding ke Pengadilan Tinggi lalu kasasi hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Debitor yang tidak mau melunasi utang juga dapat dipailitkan melalui Pengadilan Niaga.

Penyelesaian piutang macet di luar pengadilan (non-litigasi) dapat ditempuh dengan


menggunakan sepuluh cara berikut :

a. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS),


b. Pengambilalihan Agunan Debitor (Asse-Settlement),
c. Penjualan Piutang Macet (Cessie),
d. Penggantian Kreditor (Subrogasi),
e. Pembaharuan Kredit (Novasi),
f. Pelunasan via Penjamin Utang,
g. Penjualan Agunan oleh Debitor Secara Sukarela,
h. Pelelangan Agunan Melalui Lelang Sukarela,
i. Penjualan Agunan di Bawah Tangan,
j. Penjualan Agunan Melalui Parate Eksekusi.

Semua cara penyelesaian nonlitigasi tersebut pada prinsipnya dapat diterapkan pada kasus
kredit macet beragun HKI.

Penyelesaian piutang macet melalui jalur litigasi (pengadilan) dapat dilakukan dengan
menggunakan lima cara berikut :
a. eksekusi Sertifikan Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri,
b. eksekusi grosse Akta Pengakuan Utang melalui Pengadilan Negeri,
c. gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi,
d. pelelangan agunan debitor melalui Lelang Eksekusi,
e. mengajukan permohonan pailit atas debitor melalui Pengadilan Niaga.

Khusus penyelesaian kredit macet beragun HKI via litigasi hanya dilakukan melalui huruf c
(via Pengadilan Negeri) dan huruf e (via Pengadilan Niaga).

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Disupte Resolution (ADR) semakin
banyak digunakan pelaku bisnis sebagai cara penyelesaian sengketa non-litigasi. Pelaku
bisnis enggan menggunakan jalur litigasi karena reputasi peradilan Indonesia yang kurang
kondusif bagi pengembangan bisnis di masa depan.

Meskipun MA telah mendorong proses peradilan dapat berlangsung cepat, sederhana dan
murah, namun faktanya tidak demikian. Proses peradilan di Indonesia masih tergolong lama,
berbelit-belit, mahal, dan putusannya sulit dieksekusi. Mafia peradilan masih tumbuh subur
sehingga pihak yang dimenangkan bukan pihak yang benar, tetapi pihak yang mau membayar
mahal oknum peradilan. Peradilan di Indonesia cenderung lebih berpihak kepada penguasa
dan pemodal besar.

Keengganan para pelaku bisnis menggunakan jalur litigasi juga disebabkan proses peradilan
yang bersifat menang-kalah, sehingga dapat merusak hubungan bisnis. Proses persidangan di
peradilan kebanyakan juga bersifat terbuka untuk umum, sehingga tidak ada jaminan
kerahasiaan bagi para pihak yang sedang bersengketa.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui APS lebih diminati pelaku bisnis karena
dinilai lebih efisien dan efektif. Pelaku bisnis dapat menggunakan beberapa model APS
seperti : Negosiasi, Konsultasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi,
Arbitrase, dan Penyelesaian Sengketa Daring. Penyelesaian sengketa melalui APS telah
memiliki dasar hukum yang kuat sejak diterbitkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pada tahap awal sengketa, para pihak dianjurkan memakai cara negosiasi tanpa melibatkan
pihak ketiga. Jika negosiasi gagal, para pihak dapat mengundang pihak ketiga untuk
membantu menyelesaikan sengketa. Pihak ketiga dapat berstatus sebagai konsultan, ahli
hukum, mediator, konsiliator, adjudikator, dan arbiter.

Konsultasi mirip dengan Pendapat Mengikat karena melalui kedua cara APS ini para pihak
meminta pendapat dari ahli hukum dan ahli bisnis terkait. Perbedaannya, saran dari hasil
konsultasi tidak bersifat mengikat para pihak. Sebaliknya, pendapat ahli dari hasil Pendapat
Mengikat harus dipatuhi para pihak karena bersifat mengikat.

Mediasi mirip dengan konsiliasi karena keduanya melibatkan pihak ketiga sebagai penengah
atau pendamai. Perbedaannya, mediator lebih aktif mengajak para pihak menemukan titik
temu hingga mencapai kesepakatan perdamaian, sedangkan konsiliator lebih bersikap pasif
dan hanya bertindak sebagai fasilitator pertemuan. Mediator dan konsiliator tidak berhak
membuat kesepakatan perdamaian sebab kesepakatan perdamaian adalah hak para pihak yang
bersengketa. Mediator dan konsiliator juga tidak berhak membuat putusan layaknya hakim
atau arbiter.

Adjudikasi adalah cara APS yang baru diterapkan di Indonesia, khususnya di industri jasa
keuangan. Adjudikasi mirip dengan Arbitrase karena adjudikator memiliki wewenang
membuat putusan seperti arbiter. Bedanya, putusan adjudikator harus ditawarkan lebih dulu
kepada Pemohon, dan jika Pemohon setuju maka putusan boleh diberlakukan. Adjudikasi
ditempuh guna melindung Pemohon yang berasal dari nasabah kecil agar memiliki posisi
setara dengan lembaga jasa keuangan. Putusan Adjudikasi dan putusan Arbitrase sama-sama
bersifat final dan mengikat.

Jika sengketa bisnis diselesaikan lewat Arbitrase, maka para pihak bebas memilih arbiter,
hukum materiil, hukum acara, tempat beracara, dan jangka waktu penyelesaian sengketa.
Sedangkan jika menggunakan mediasi dan konsiliasi, para pihak dapat memilih mediator dan
konsiliator dan tata cara penyelesaian sengketa serta menentukan format perdamaian
berdasarkan kesepakatan para pihak. Proses arbitrase mirip pengadilan sehingga disebut pula
semi-pengadilan (quasi-judicial). Eksekusi putusan arbitrase tidak dapat langsung
dilaksanakan karena harus lebih dulu diajukan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan
Negeri setempat.

Lembaga jasa keuangan sangat membutuhkan kecepatan dan kemudahan dalam


menyelesaikan sengketa dengan para nasabah. Hal inilah yang mendorong pelaku bisnis jasa
keuangan lebih senang menggunakan jalur non-litigasi via APS. OJK juga mendorong
penyelesaian sengketa via APS di industri jasa keuangan.

OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 1/PJOK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya
Keputusan OJK Nomor Kep-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan
pembentukan enam lembaga APS yaitu :

a. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI),


b. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI),
c. Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI),
d. Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI),
e. Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI),
f. Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).

Persengketaan yang bisa diselesaikan Lembaga APS harus memenuhi syarat :

a. hanyalah persengketaan perdata yang timbul di antara para pihak sehubungan dengan
kegiatan di sektor industri jasa keuangan;
b. terdapat kesepakatan di antara para pihak yang bersengketa bahwa persengketaan akan
diselesaikan melalui Lembaga APS yang terkait;
c. terdapat permohonan tertulis dari pihak yang bersengketa kepada Lembaga APS;
d. persengketaan tersebut bukan merupakan perkara pidana (contoh : penipuan,
penggelapan, manipulasi pasar, perdagangan orang dalam/insider trading);
e. persengketaan tersebut tidak terkait dengan pelanggaran administratif (contoh :
pembekuan usaha, pencabutan izin usaha).

Lembaga APS menawarkan empat jenis penyelesaian sengketa yang dapat dipilih para pihak,
yaitu : Pendapat Mengikat, Mediasi, Adjudikasi, dan Arbitrase. Konsiliasi tidak diterapkan di
Lembaga APS sebab cara ini dianggap mirip dengan Mediasi. Para pihak diharuskan lebih
dulu menempuh cara Negosiasi (musyawarah) sebelum meneruskan penyelesaian sengketa di
Lembaga APS.

Pemerintah Singapura dan sejumlah warga negara maju telah membentuk Lembaga APS
khusus untuk menyelesaikan sengketa HKI via offline dan online. Penyelesaian sengketa HKI
via internet (online) lebih cepat, mudah dan murah dibandingkan via offline. Hal ini juga
sejalan dengan aturan Pasal 29 huruf e Peraturan OJK Nomor 77/PJOK.01/2016 yang
mengamanatkan penyelesaian sengketa dengan pengguna jasa keuangan harus dilakukan
secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Penyelesaian sengketa bisnis digital via APS sebenarnya dapat dilakukan melalui model
Penyelesaian Sengketa Daring (PSD) atau Online Dispute Resolution (ODR). OJK harus
lebih dulu menerbitkan Peraturan OJK sebagai payung hukum pembentukan Lembaga PSD.
Lembaga PSD dapat menggunakan cara Negosiasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, Adjudikasi,
dan Arbitrase. Konsiliasi tidak diperlukan karena mirip dengan Mediasi, sedangkan Arbitrase
hanya layak digunakan untuk sengketa bisnis yang nilainya di atas Rp.500 juta. Semua proses
penyelesaian sengketa dilakukan via internet, sehingga para pihak tidak perlu bertemu muka.

PSD adalah hasil kolaborasi antara Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Penyelesaian sengketa dilakukan via internet sehingga
prosesnya cepat, mudah dan murah. PSD telah dipraktikan di AS, Kanada, Uni Eropa,
Australia, China, Jepang, Hongkong, Singapura, dan India. PSD atau ODR juga dinamakan
“Internet Dispute Resolution (IDR)”, “Electronic Dispute Resolution (EDR)”, “electronic
ADR (e-ADR)”, dan “online ADR (oADR)”.

Sejarah ODR dimulai ketika National Center for Automated Information Research (NCAIR)
mengadakan konferensi ODR tahun 1996. Tahun ini dianggap periode signifikan dalam
pencapaian ODR. Proyek pertama yang disponsori NCAIR tahun 1996 yaitu Virtual
Magistrase Project di Villanova University. Keputusan yang dihasilkan saat itu menyatakan
iklan yang ditempatkan pada American On Line (AOL) dalam bentuk email yang dikirimkan
kepada jutaan alamat email dianggap menyalahi kesepakatan layanan yang diberikan
sehingga iklan tersebut harus dihilangkan dari AOL. Saat ini PBB selalu mengadakan
konferensi ODR tahunan dan telah membentuk Expert Group on ODR. ODR semakin
diterima sebagai proses penting yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa online.

Lembaga penyedia jasa ODR di bidang mediasi konsumen bisnis online terkemuka di dunia
adalah “SquareTrade”. Lembaga ini banyak dipakai untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi di eBay dan PayPal. SquareTrade tidak menangani sengketa antara pengguna eBay,
melainkan sengketa antara penjual dan pembeli di eBay, dengan menawarkan dua tahap
penyelesaian sengketa yaitu tahap Negosiasi dan Mediasi. Dalam beberapa tahun terakhir,
SquareTrade telah berhasil menyelesaikan jutaan sengketa bisnis online yang terjadi di 120
negara dalam lima bahasa berbeda. SquareTrade telah membuktikan bahwa proses negosiasi
online atau mediasi online dapat menjadi alat yang efisien untuk menyelesaikan sengketa
bisnis online atau e-commerce.

Perkambangan e-dagang (e-commerce) yang sangat pesat mendorong pemerintah India


membuat lembaga ODR. Sejak pemberlakuan UU Teknologi Informasi tahun 2000, India
telah memberikan pengakuan formal terhadap praktik e-commerce dan e-governance.
Pesatnya pertumbuhan e-commerce di India memicu timbulnya banyak perselisihan terkait
transaksi online. Mekanisme ganti rugi konvensional tidak sesuai dengan perkembangan
bisnis dan ekspektasi pelanggan, karena sistem ini mengharuskan kehadiran para pihak. Hal
ini mendorong Departemen Urusan Konsumen di India meluncurkan platform Penyelesaian
Sengketa Konsumen Online.

Pembentukan Lembaga PSD dimungkinkan berdasarkan UU ITE karena semua informasi dan
data elektronik saat ini sudah dapat dijadikan bukti hukum. Dasar hukum pembentukan PSD
diatur Pasal 41 UU ITE beserta penjelasannya. Masyarakat dapat berperan meningkatkan
pemanfaatan teknologi informasi melalui penggunaan dan penyelenggaraan sistem elektronik
dan transaksi elektronik sesuai ketentuan UU ITE. Peran masyarakat dapat diselenggarakan
melalui lembaga ITE yang dibentuk masyarakat yang dapat memiliki fungsi konsultasi dan
mediasi.

PSD juga diatur secara tidak langsung dalam Pasal 18 ayat 4 dan 5 UU ITE. Para pihak
memiliki kewenangan menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
transaksi elektornik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan
forum, maka penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. PSD adalah
penyelesaian sengketa alternatif yang selaras dengan Hukum Perdata Intenasional yang
diakui PBB melalui konferensi ODR tahunan dan pembentukan Expert Group on ODR.

Anda mungkin juga menyukai