Anda di halaman 1dari 4

Kulminasi Asa.

Dua orang pemuda duduk bersama. Kebetulan mereka tinggal di pondokan yang sama
pula. Satu orang sedang sibuk membalut luka yang telah dia teriam. Perlahan perban dililitkan,
sampai pada akhir semua luka tertutup dengan sempurna. "Kamu setuju pasal undang-undang
yang dibuat kawanan Ayahmu?" tukas Araya. Lusi menggeleng. Tentu saja tidak!
Bagaimanapun, ini tetap tanah kelahirannya. Tempat ia berjuang sampai diterima di salah satu
perguruan tinggi bergengsi se-tanah air. Masa mudanya akan sia-sia kalau dihabiskan hanya
untuk protes pada tikus-tikus Negara; kata Iwan Fals pada salah satu lagunya.
"Maka, lawan." Kilat semangat dan penuh tekad terpancar dari mata Araya. Gadis itu
memang sedari tadi pagi turun ke jalanan untuk melakukan unjuk rasa. Entah apa manfaat
baginya, dalam sudut pandang Lusi itu sia-sia. Pejabat tinggi tidak akan melirik unjuk rasa
masyarakat rendah, bagi mereka itu hanya bisikan angin lalu.
Lusi menatapnya. "Bagaimana? Aku memang mau masa mudaku cerah, tapi aku hanya—"
Ia terjengit kala tangan Araya menepuk keras pundak Lusi. "Tidak ada hubungannya!
Jurusanmu, almamatermu, kasta dan sukumu tidak dibutuhkan untuk masalah ini. Kau bilang
mau menghabiskan masa muda dengan bahagia, 'kan? Berbuatlah seperti apa yang anak
muda lakukan saat ini!"
Lusi terdiam mendengar penjelasan Araya. "Presiden pertama kita pernah bercakap, 'Beri
aku 1000 orang tua, niscaya akan aku cabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, maka
akan kuguncangkan dunia.' Itu masa muda, Lusi."
Matanya menatap sendu. "Jadi ... aku harus apa?"
Seperti singa yang menatap mangsanya, tatapan Araya berbinar kembali. "Turun ke jalan!
Ayo unjuk rasa, buat mereka merasa putus asa. Tingkat masyarakat lebih tinggi dari wakil
rakyat, siap-siap! Kita akan melawan negara sendiri esok hari!"
Seperti terhasut oleh sesuatu yang sangat hebat, tekadnya membela negara semakin kuat.
Jantungnya seperti terkena percikan kembang api, membuatnya semakin bersemangat. Benar,
esok hari. Teman-teman dari berbagai penjuru Nusantara sudah menunggu, saatnya ia
mempersiapkan amunisi dan senjata, fisik dan mental untuk bertarung mengutarakan rasa
nanti.
Tepat pada pukul satu siang, keduanya keluar menuju tempat yang pada waktu itu sudah
dipenuhi oleh kerumunan manusia. Pandangannya terpenuhi oleh berbagai macam warna
almameter yang berlarian kesana kemari. Beberapa mahasiswa berkerumunan, beradu mulut
dengan aparat kepolisian. Di sisi lain, ada yang terkapar lemah, tanpa daya, terkulai dan
terbujur penuh darah, menderita terkena bogem—entah siapa pemberinya.
Ini sudah hari kedua, dan Lusi memberanikan dirinya keluar hanya untuk merasakan
ketakutan. Semangatnya leleh, ketakutan dalam dirinya menguap dan ubun-ubunnya
memanas. Tangannya berkeringat, tubuhnya gemetar. Ia menengok menghadap Araya,
tubuhnya penuh dengan perban putih dan memar yang membiru—namun wajahnya
memancarkan semangat empat lima yang akan menetap sampai mereka mendapatkan
keadilan.
Berlawanan dengan Lusi, Araya tersenyum sumrigah, “ini sungguh-sungguh membuatku
bersemangat!” tukasnya berapi-api. “Tidakkah kau merasa begitu pula, Lusi? Tegakkan
wajahmu, dong! Ini adalah satu-satunya kesempatan kita, mungkin tidak akan ada lagi
kesempatan kedua bagi kita,”
“Aku tahu, Ara. Tapi…” Lusi mengadah. Langit terik, matahari berada di atas kepalanya,
matanya mengernyit silau. “Ayahku adalah bagian dari mereka. Melawan mereka sama dengan
melawan ayahku, dan aku tidak suka itu,”
Araya tidak berkutik. Ia terdiam, tapi semagatnya tak turun. Seakan-akan menghormati
keputusan temannya, namun itu tidak cukup untuk memengaruhi pikirannya untuk melawan.
Sebelum Araya dapat berkata sepatah kata lagi, sebuah suara menyeru dari timur.
“Mahasiswa—saudara-saudariku semua! Kita disini, berdiri tegap untuk apa?!” suaranya
berat, lantang, menyeru-nyeru. Gerombolan mahasiswa yang berkumpul dan beberapa lainnya
yang mendengar teriakan itu langsung menyahut lantang dan yakin.
“Keadilan!”
Disusul dengan sahutan dan protes, suaranya memekakkan telinga, makin lama semakin
terdengar seperti lebah yang berdengung. Araya ikut meneriakkan protesnya, lalu mengajak
Lusi dengan cara menarik tangannya menuju gerombolan tersebut. Seorang pria dengan gagah
berdiri di atas van, tangan kanannya memegang toa dan tangan kirinya memegang berkas,
entah apa itu isinya. Mungkin, mungkin, itu berisi protes kepada pemerintah, beserta
kejahatannya dan dilengkapi dengan buktinya.
“Mari, saudara-saudariku, kita yakinkan MPR untuk menurunkan sang Opsir Koppir.
Bangkitlah, mahasiswa! Kumpulkan tekadmu, korbankan nyawamu, hanya untuk satu tujuan
kita; keadilan. Bebaslah! Bebaslah Indonesiaku!” teriaknya lantang. Disusul dengan sahutan-
sahutan dari puluhan—bahkan ratusan mahasiswa yang menyetujui sarannya. Entah apa yang
merasukinya, Lusi ikut berteriak lantang.
Kerumunan mahasiswa tersebut menyepi, digantikan dengan mahasiswa yang berlarian
menuju banyak arah. Pria tadi turun dari van, mengkoordinir anak buahnya mungkin, untuk
segera menuju ke arah yang bermacam-macam. Penasaran, Lusi mengutarakan
pertanyaannya.
“Itu siapa? Rasanya seperti seseorang yang penting dalam kalangan mahasiswa. Apakah
kamu tahu, Ara?” tanyanya. Sembari berjalan cepat, setengah berlari, “itu Budi. Aku tidak tahu
tepatnya siapa, tapi sepertinya benar katamu. Orang yang penting dalam kalangan mahasiswa.”
Menuju jalan besar, aparat kepolisian mulai menipis. Namun, kerusuhan belum berhenti.
Banyak fasilitas umum yang dibakar, dibanting, dibongkar, dan banyak kerusuhan lainnya.
Terdapat beberapa mahasiswa pula yang membawa spanduk besar bertuliskan ‘Turunkan
Harga! Gulingkan Soeharto, Nasionalisasi Aset Soeharto!!’ seakan-akan tulisan tersebut
berteriak kuat-kuat.
Lusi memandangi mereka yang bersemangat mengajukan protes mereka. Banyak protes
mereka tentang ekonomi yang kian lama makin buruk. Bukan karena apa, perihalnya memang
itulah yang terjadi. Beberapa hari lalu para petinggi dunia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi
di luar Tanah Air. Beliau—sang presiden yang menjadi topik utama ini juga tedaftar dan ikut
dalam KTT G-15 di Kairo itu. Lebihnya lagi, berdasarkan informasi yang didapat dari media
televisi dan radio, bahwa beliau sempat disindir perihal ekonomi negaranya sendiri. Betapa
memalukannya itu bagi seorang pemimpin bangsa?
Dua gadis tadi mengekori gerombolan mahasiswa yang menyerukan protesnya sampai
menjelang petang. Beberapa dari mereka minggir, menuju trotoar jalanan. Entah karena ingin
pulang, atau sesak napas. Ada pula mereka yang minggir mencoba untuk menangani
mahasiswa lain yang terluka serta melerai mereka yang sibuk merusak fasilitas umum. Dan ada
pula yang ikut merusak fasilitas umum. Petang itu pada hari Rabu, 20 Mei 1998, keadaan
Indonesia sudah kacau balau tak dapat diatur. Aparat dan petinggi negara angkat tangan.
Kemarin Senin, Ketua DPR/MPR Harmoko, yang dikenal sebagai pendukung berat
Soeharto, malah menuruti tindakan mahasiswa. Ia mengeluarkan pernyataan agar Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Dan beberapa hari yang lalu, TVRI
menayangkan pendapat dari Habibie. “Saya mendapat laporan di sana-sini dibakar. Di sana-
sini hancur. Saya bingung,” ucapnya kala itu.
“Ini sudah petang, Ara. Ayo pulang, rasanya kakiku ingin patah jika kamu mengajakku
berjalan seratus meter lagi,” protes Lusi. Tumitnya sudah lecet dan ia yakin besok kakinya akan
kram, kulit kakinya akan mengkerut akibat terlalu lama ditekan dan berkeringat.
Araya mendengus. “Baru petang. Sedikit lama lagi lah disini. Nanggung,” balasnya. Lusi
mengecek arlojinya, “habis ini adzan, Ara. Mending kita pulang, lalu berdoa kepada Tuhan.
Semoga diberi jalan tengah untuk kita. Siapa tahu besok sudah selesai masalah ini, beliau
sudah lengser,”
Temannya tak berkutik, tapi ikut ke tempat mereka datang tadi untuk pulang dengan motor.
“Kalau begitu, salamku untuk Tuhanmu, Lus.”
Lusi yang hendak menaiki motornya kemudian turun lagi, mengernyitkan dahinya. Tak lama
kemudian ia sadar, terkekeh dengan candaan di tengah keadaan yang sangat tidak terpikirkan.
“Bisa saja. Iya iya, aku salamkan ke Tuhanku,” balasnya sembari lanjut mengeluarkan motor.
Setelah mengantarkan Araya ke Gereja atas keinginan temannya sendiri untuk
bersembahyang, Lusi kembali ke rumah. Ia disambut Ibunya, segera Lusi berbenah dan
membersihkan diri, lalu menyelesaikan urusannya dengan Tuhan. Meminta doa agar diberi
jalan tengah, keringanan bagi mereka yang masih berdemo sampai lewat Maghrib agak tidak
ada hal yang tidak diinginkan tentunya.
Keluar kamar, Ibunya langsung menanyakan kejadian-kejadian yang ia alami tadi. Lusi
bercerita dengan semangatnya yang mulai bangkit, menggebu-gebu meski sudah tidak lagi di
area demo. Kemudian, Ibunya menunggunya untuk tetap duduk sementara beliau menuju ke
meja telepon. “Lusi, kamu nggak mau telepon Ayah? Ayah masih di Gedung DPR. Katanya, tadi
siang Ayah mendengar atap Gedung seakan-akan roboh karena banyak massa bertengger
diatasnya,”
Lusi mengiyakan tawaran Ibu. Teleponnya tersambung dengan Ayahnya. Mereka bertukar
pikiran sampai di titik dimana Lusi tersadar bahwa tidak hanya mahasiswa yang menginginkan
presiden mereka segera diganti. Ayahnya serta rekan kerjanya pun setuju. Hanya saja, cukup
sulit untuk meminta persetujuan kepada sang tokoh utama—sang presiden yang belum ada
kabarnya sampai kini.
Teringat jelas pada Rabu malam, setelah Lusi menelepon Ayahnya—televisi menyiarkan
berita baru. Sang Presiden menerima surat hasil keputusan dari 14 Menteri Kabinet
Pembangunan yang intinya menyatakan sikap tak bersedia menjabat sebagai menteri. Sang
Presiden bersetuju untuk mundur. Hanya menunggu pidato terakhir beliau besok. Dan akhirnya,
akhirnya, Lusi dapat tidur tanpa pikiran apapun yang membebaninya. Kembali ia dan Ibunya
dengan bahagia menelepon Ayahnya, disambut dengan syukur yang terlimpah. Menunggu
Isya’, mereka menyempatkan shalat di Masjid. Sungguh ramainya malam itu. Syukur shalawat
terlantun dari berbagai macam masjid, menyatu, seakan-akan tertawa girang penuh euforia.
Pada Kamis esoknya, sekitar pukul sembilan, pidato terakhir presiden ditayangkan secara
langsung di berbagai media. Lusi dan Ibu sudah duduk manis di depan televisi, menyimak
pidato terakhir yang sangat disyukuri untuk bangsa Indonesia dan sedikit mengharukan
mungkin bagi Pak Presiden itu sendiri—sebab harus lengser dari 32 tahun jabatannya.
“Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah
di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara Wakil Presiden sekarang juga agar
melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.”
Dapat terdengar syukur, tahmid yang amat lantang dari luar rumahnya.
“Jakarta, 21 Mei 1998.”
Terdengar pagar rumah depan, kanan, dan kiri rumah lusi terbuka. Bising suaranya.
“Presiden Republik Indonesia,”
Terdengar sahutan remaja-remaja, kebanyakan darinya mahasiswa yang bersorak bahwa
keadilan telah kembali ke genggaman tangan mereka. Terdengar gesekan alas kaki dan aspal,
terseok-seok mereka berlari ke jalanan besar untuk merayakan hari yang besar pula. Terdengar
pula teriakan Araya yang entah kapan hinggap di depan pagar rumahnya.
“Soeharto.”
“Lusi, ayo keluar! Semuanya sudah keluar, merayakan hari ini. Keadilan sudah kita
genggam erat-erat, Lusi!”
Hanya satu hal yang tidak dapat Lusi dengar meski telinganya penuh dengan berbagai
macam suara—ia tidak bisa mendengar isak tangis harunya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai