Anda di halaman 1dari 22

DETERMINAN PERILAKU PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT

MASYARAKAT DI ERA PANDEMI

Elissa Arianto (181611101001)


Fadylla Nuansa Citra Bening (181611101015)
Iga Nadya Putri (191611101009)
Kiki Rahmi Zukri (191611101010)
Nabilla Berliana Naufalin (191611101034)
M. Fahmi Rizqi Abdillah (191611101084)

Abstrak
Latar Belakang: Insiden kasus COVID-19 di Indonesia per 27 Agustus 2021, tercatat 4.056.354
kasus terkonfirmasi. Pandemi menyebabkan perubahan perilaku masyarakat. Survei menunjukkan
bahwa 30% responden di Indonesia mengaku pernah melewati sehari tanpa menyikat gigi,
umumnya disebabkan rasa malas (46%) karena berkurangnya interaksi tatap muka. Akibatnya,
permasalahan gigi dan mulut kian meningkat, seperti kemunculan gigi berlubang baru pada 25%
responden. Tingginya angka permasalahan gigi dan mulut ini menunjukkan kurangnya
pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut (kesgilut). Pada masa pandemi
ini perlu adanya peningkatan kesgilut karena kesgilut memiliki dampak potensial pada tingkat
keparahan penyakit akibat Covid-19. Tujuan: Untuk menganalisis determinan perilaku
pemeliharaan kesgilut masyarakat di era pandemic. Metodologi: Penelitian yang dilakukan adalah
observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Data didapatkan dengan telesurvey
(kuesioner google forms). Populasi seluruh masyarakat di Kecamatan Kalisat yang berusia 16-59
tahun, jumlah informan 120 orang. Analisis data menggunakan “Uji regresi logistik biner” dengan
menjelaskan hubungan sebab akibat antara satu atau lebih variabel independen dengan variabel
dependen. Hasil: Faktor predisposisi (pendidikan, penghasilan, dan kepercayaan); faktor (sarana
prasarana); dan faktor reinforcing (dukungan keluarga) menunjukkan signifikansi <0.05, sedangkan
faktor umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, dan faktor reinforcing (dukungan tenaga
kesehatan, teman, tokoh masyarakat, dan kebijakan) menunjukkan tidak signifikan pada hasil uji
regresi logistik biner. Kesimpulan: Faktor determinan yang berpengaruh terhadap perilaku
seseorang dalam pemeliharaan kesgilut di era pandemi terdapat 3 faktor yaitu faktor predisposisi
(tingkat pendidikan, penghasilan, dan kepercayaan); faktor enabling (sarana prasarana pelayanan
kesehatan); dan faktor reinforcing (dukungan keluarga).

1. PENDAHULUAN
Secara kumulatif nasional sampai dengan per 27 Agustus 2021, tercatat 4.056.354 kasus COVID-
19 terkonfirmasi, dengan insiden kasus COVID-19 41.67/100.000 penduduk per minggu. Total jumlah
kematian tercatat 130.781 kasus, dengan besaran insiden 2,77/100.000 penduduk per minggu
(Kemenkes RI, 2021). COVID-19 bertransmisi melalui small droplets yang keluar dari mulut atau
hidung seseorang yang terinfeksi SARS-CoV-2 saat batuk, bersin, atau berbicara, meskipun droplet
relatif berat sehingga tidak beterbangan dan cepat jatuh ke permukaan solid (FKG UI, 2020). Pandemi
menyebabkan adanya perubahan perilaku masyarakat yang membuat tingkat kebersihan gigi dan mulut
menurun (Felisha dkk, 2021). Dampak yang muncul di masa pandemi ini adalah adanya pembatasan
penanganan penyakit gigi dan mulut pada pasien untuk menghindari resiko infeksi silang. Anjuran
penundaan penanganan penyakit gigi dan mulut non-emergency telah dikeluarkan sejak pandemi,
terkait dengan pencegahan penularan dan prosedur aerosol. Keadaan tersebut mengakibatkan
terbatasnya akses masyarakat untuk mendapatkan penanganan pada penyakit gigi dan mulut, sehingga
semakin memperburuk perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Louisa dkk., 2021).
Sikap dan perilaku masyarakat selama pandemi lebih fokus pada kesehatan dan kesejahteraan
menyeluruh. Terjadi peningkatan dari kebiasaan-kebiasaan seperti makan makanan yang sehat,
berolahraga, mengurangi merokok, dan mengurangi minum minuman beralkohol. Selain itu dampak
COVID-19 terhadap kebiasaan merawat gigi telah terjadi penurunan kebiasaan menyikat gigi dua kali
sehari dibandingkan hasil survey tahun 2018. Kemudian kebiasaan buruk meningkat selama di rumah
yakni 2 dari 5 orang dewasa mengaku tidak menyikat gigi seharian, dan ada 7 dari 10 orang
menghindari pergi ke dokter gigi. Kebiasaan ini akan mudah ditiru oleh anak-anak. Sejak pandemi
COVID-19 orang dua kali lebih sering mencuci tangan (64%) dibandingkan menyikat gigi (31%). Di
samping itu juga sejak pandemi COVID-19 orang dua kali lebih sering menggunakan hand sanitizer
(52%) dibandingkan menggunakan obat kumur (20%). Terdapat 5 masalah gigi dan mulut yang sering
dialami selama pandemi antara lain mulut kering, bau mulut, gusi dan gigi berdarah saat menyikat gigi
atau saat menggunakan benang gigi, kemudian nyeri pada gigi gusi atau mulut, dan adanya lubang
pada gigi yang baru terbentuk (Kemenkes RI, 2021).
Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2019, faktor predisposing dapat
dilihat berdasarkan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah
proporsi masalah gigi dan mulut, tetapi proporsi menerima perawatan dari tenaga medis gigi justru
mengalami peningkatan. Pada tingkat pendidikan D1/D2/D3/PT proporsi masalah gigi dan mulut
sebesar (53,5%) dengan proporsi menerima perawatan dari tenaga medis gigi sebesar (20%).
Sedangkan pada kelompok tidak sekolah, proporsi masalah gigi dan mulut sebesar (60,8%) dengan
proporsi menerima perawatan dari tenaga medis gigi sebesar (8,7%). Salah satu contoh faktor enabling
kesehatan gigi dan mulut yaitu kondisi tempat tinggal dijelaskan bila penduduk perkotaan lebih rendah
proporsinya memiliki masalah gigi dan mulut (57,2%) dibandingkan dengan penduduk perdesaan
(58,2%) dengan proporsi menerima perawatan dari tenaga medis gigi lebih besar proporsi perkotaan
(12,9%) dibandingkan dengan perdesaan (6,9%). Dari (57,6%) penduduk Indonesia yang memiliki
masalah kesehatan gigi, mayoritas (42,2%) memilih untuk melakukan pengobatan sendiri. Sebanyak
13,9% berobat ke dokter gigi, sedangkan sisanya memilih untuk berobat ke dokter umum/paramedik
lain (5,2%), perawat gigi (2,9%), dokter gigi spesialis (2,4%), dan tukang gigi (1,3%). Proporsi
Pengobatan Masalah Gigi dan Mulut adalah minimal satu orang, baik di puskesmas rawat inap dan non
rawat inap dan di wilayah perkotaan, perdesaan, maupun di kawasan terpencil dan sangat terpencil.
Pada tahun 2018, secara nasional terdapat (42,46%) puskesmas dari total 9.825 puskesmas yang
memiliki dokter gigi cukup. Sebesar (13,18%) puskesmas memiliki jumlah dokter gigi melebihi
standar dan (44,36%) puskesmas mengalami kekurangan dokter gigi (Kemenkes RI, 2019).
Hasil data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2019 prevalensi karies cenderung
tinggi (di atas 70%) pada semua kelompok umur. Prevalensi karies tertinggi terdapat pada kelompok
umur 55-64 tahun (96,8%). Sedangkan prevalensi karies akar cenderung meningkat sejalan dengan
meningkatnya kelompok umur. Prevalensi karies akar tertinggi adalah pada kelompok umur 35-44
tahun, kemudian kembali menurun pada kelompok umur setelahnya (Kemenkes RI, 2019). Menurut
data Puskesmas Kalisat berdasarkan kelompok umur, penyakit pulpa dan jaringan periapikal lebih
banyak terjadi pada usia 16 – 59 tahun sebanyak 475 kasus (Kemenkes RI, 2019). Penyakit gigi dan
mulut di Kabupaten Jember pada tahun 2020 menunjukkan bahwa penyakit pulpa dan jaringan
periapikal menduduki peringkat pertama yaitu sebesar 15.933 kasus dan disusul dengan penyakit
periodontal sebesar 15.239 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, 2020). Gambaran tersebut juga
terdapat di Poli Gigi Puskesmas Kalisat yang diambil dari data primer yaitu jumlah kunjungan kasus
penyakit gigi dan mulut pada bulan Januari – Desember 2020. Dari data tersebut menunjukkan bahwa
kasus terbanyak terjadi pada kode K04 (penyakit pulpa dan jaringan periapikal) yaitu 3272 kasus
(BPS,2020).
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat dewasa dalam rentang umur 16-59 tahun yang bertempat
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kalisat. Penelitian tentang faktor determinan pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian tentang faktor determinan
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kalisat di era pandemi
masih belum ada. Penelitian mengenai faktor determinan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kalisat di era pandemi sangat diperlukan untuk
menganalisis faktor determinan yang mempengaruhi pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kalisat di era pandemi.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara faktor-faktor tertentu dan penyakit atau
masalah kesehatan dalam satu waktu tertentu (Syahdrajat, 2019). Penelitian ini dilakukan di Puskesmas
Kalisat bulan September 2021 dengan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dalam
bentuk google forms. Populasi pada penelitian ini sebanyak 50.044 orang (BPS, 2020). Sampel
ditentukan secara Purposive random sampling dengan pertimbangan masyarakat yang ditinggal di
Jember dengan usia 16-59 tahun dan mengalami penyakit pulpa dan jaringan. Perhitungan jumlah
sampel menggunakan Rumus Slovin dengan hasil 120 sampel.
Variabel independen pada penelitian ini adalah faktor predisposing (usia, jenis kelamin, suku
bangsa, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan keyakinan), faktor enabling (sarana prasarana), faktor
reinforcing (dukungan tenaga medis, keluarga, teman, tokoh masyarakat, dan kebijakan) dalam
memelihara kesehatan gigi dan mulut. Variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku
memelihara kesehatan gigi dan mulut.
Data yang telah dikumpulkan diolah dengan tahapan editing, coding, scoring, entry, dan cleaning.
Analisis data dilakukan dengan uji regresi logistik biner pada (α=0,05). Analisis dilakukan dengan
memanfaatkan aplikasi SPSS 24 for windows. Analisis bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab
akibat dan pengaruh faktor determinan terhadap perilaku memelihara kesehatan gigi dan mulut pada
masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kalisat.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian mengenai faktor determinan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kalisat di era pandemi dengan jumlah responden 120 orang
berusia berusia 16-59 tahun.
4.1.1 Faktor Predisposisi
Tabel 4.1. Distribusi responden berdasarkan umur
Umur (tahun) n %
16-25 24 20.0
26-35 21 17.5
36-45 49 40.8
46-45 26 21.7
Total 120 100

Tabel 4.1 menunjukkan distribusi karakteristik responden berdasarkan umur. Karakteristik


responden berdasarkan dengan umur adalah 24 orang (20%) berumur 16-25 tahun, 21 orang (17,5%)
berumur 21 tahun, 49 orang (40,8%) berumur 36-45 tahun, dan 26 orang (21,7%) berumur 46-55
tahun.
Berdasarkan distribusi tersebut menunjukkan sebagian besar responden berusia 36-45 tahun
(40,8%) yang masuk dalam kategori dewasa akhir. Sedangkan sebagian kecil berumur 26-35 tahun
(17,5%) yang masuk dalam kategori dewasa awal. menurut Sari dkk tahun 2020 usia dewasa tersebut
merupakan usia dimana seseorang memiliki pola tangkap dan daya pikir yang baik. Menurut BPS pada
tahun 2020 komposisi usia produktif di Indonesia mencapai 70,72%.

Tabel 4.2. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin n %
Laki-laki 73 60.8
Perempuan 47 19.2
Total 120 100

Tabel 4.2 menunjukkan distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin.


Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin adalah 73 orang (60,8%) laki-laki dan 47 orang
(39,2%) perempuan.
Berdasarkan distribusi tersebut di dapatkan hasil bahwa mayoritas responden adalah berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 73 orang (60,8%). Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2015 jumlah warga
berjenis kelamin laki-laki di wilayah kalisat sebanyak 36.630 jiwa, sedangkan penduduk wanita 38.332
jiwa.

Tabel 4.3. Distribusi responden berdasarkan suku bangsa


Suku Bangsa n %
Jawa 92 76.7
Madura 28 23.3
Total 120 100

Tabel 4.3 menunjukkan distribusi suku bangsa adalah 92 orang (76,7%) suku Jawa dan 28 orang
(23,3%) suku Madura. Penduduk Kabupaten Jember adalah pendatang yang mayoritas berasal dari
suku jawa dan madura. Masyarakat madura lebih banyak menetap di bagian utara daerah Jember,
sedangkan masyarakat jawa lebih banyak menetap di bagian selatan daerah Jember. Kebudayaan yang
berkembang di Kabupaten Jember merupakan perpaduan budaya jawa dan madura (Pemkab Jember,
2018).

Tabel 4.4. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan


Pekerjaan N %
Petani 29 24.2
Ibu rumah tangga 21 17.5
Swasta 43 35.8
Pedagang 24 20.0
Guru 3 2.00
Total 120 100
Tabel 4.4 menunjukkan mayoritas pekerjaan yaitu swasta dengan prosentase (35,8 %) dan
jumlah responden 43. Untuk pekerjaan yang paling sedikit yaitu guru dengan prosentase (2 %) dan
jumlah responden 3.
Mata pencaharian penduduk Jember beraneka ragam, dimana mata pencaharian penduduk yang
utama di Kabupaten Jember adalah sebagai petani (dalam sektor pertanian) dan mata pencaharian
selain bidang pertanian didominasi oleh jasa (Pemkab Jember, 2018). Kalisat merupakan daerah yang
terletak tengah dekat kecamatan kota yang merupakan tempat pusat bisnis dan administrasi serta agak
ke utara bagian timur yang merupakan daerah perbukitan kaki lereng pegunungan dengan variasi
dataran untuk persawahan. Meskipun mata pencaharian utama penduduk Jember adalah sebagai petani
(dalam sektor pertanian), namun karena posisi daerahnya didekat kota, menyebabkan penduduk Kalisat
banyak bekerja dalam sektor swasta (Pemkab Jember, 2018).

Tabel 4.5. Distribusi responden berdasarkan penghasilan


Penghasilan N %
Belum bekerja 18 15.0
< 1.000.000 41 34.2
1.000.000-2.500.000 55 45.8
<500.000 6 5.0
Total 120 100

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk masih memiliki pendapatan rendah
(54,2%) sedangkan sisanya memiliki pendapatan sedang (45.8%).
Masyarakat Kalisat tergolong memiliki pendapatan sesuai dengan UMR Kabupaten Jember yaitu
Rp 2.355.662, 91 (Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188 Tahun 2020). UMR digunakan sebagai
jumlah kebutuhan hidup yang harus dikeluarkan oleh pekerja itu sendiri (Purnomo, 2016).
Tabel 4.6. Distribusi responden berdasarkan pendidikan
Pendidikan n %
SD 35 29.2
SMP 37 30.8
SMA 41 34.2
D3 3 2.5
S1 4 3.3
Total 120 100

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk memiliki tingkat pendidikan rendah
yaitu tidak tamat Perguruan Tinggi (94,2%) sedangkan yang mamiliki pendidikan tinggi hanya 5,8%.
Pendidikan diklasifikasikan sesuai dengan jenjang pendidikan sebagaimana yang tercantum
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar.
Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu
pendidikan tinggi (tamat PT) dan pendidikan rendah (tidak tamat PT). Pada reponden paling banyak
memiliki tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan di Indonesia masih cukup rendah jika
dibandingkan dengan negara lainnya. Menurut WHO Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penduduk yang banyak tetapi rata-rata tingkat pendidikannya relatif masih rendah. Hal ini dapat dilihat
dari IPM Indonesia yang menduduki urutan nomor 111 di antara 182 negara-negara yang lain (Saputra,
2019). Tingkat pendidikan di Indonesia yang masih rendah juga disebabkan masih sedikitnya jumlah
sekolah yang tersebar di setiap daerah. Selain itu, hal yang menyebabkan seseorang berpendidikan
rendah adalah fasilitas dalam bidang pendidikan yang masih belum memadai. Hal ini didukung oleh
data dari BPS, dimana jumlah fasilitas sekolah yang tersebar di provinsi-provinsi di Indonesia semakin
berkurang seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan tersebut (Badan Pusat Statistik, 2018).

Tabel 4.7. Distribusi responden berdasarkan kepercayaan dan keyakinan terhadap pelayanan medis
Kepercayaan dan Keyakinan N %
Sangat Baik 23 19,32
Baik 45 37,14
Buruk 39 32,83
Sangat Buruk 13 10,71
Total 120 100

Tabel 4.7 menunjukkan distribusi karakteristik responden tergolong dalam kategori baik, 68
orang (56,46%) terhadap kepercayaan dan keyakinan pada pelayanan medis.
Persentase karakteristik responden berdasarkan kepercayaan dan keyakinan dapat diketahui bahwa jasa
yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, sehingga dapat
dipersepsikan baik dan memuaskan bagi masyarakat. Hal ini berkaitan dengan persentase dari
responden yang setuju bahwa kepercayaan dan keyakinan terhadap tenaga medis pelayanan kesehatan
gigi dan mulut. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa
dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada
yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik tidaknya kualitas
jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten
(Rampengan, 2015).

4.1.2 Faktor Enabling


1) Sarana Prasarana
Tabel 4.8. Distribusi responden berdasarkan sarana prasarana
Sarana Prasarana N %
Baik 91 76
Buruk 29 24
Total 120 100

Tabel 4.8 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan sarana dan prasarana tergolong
kategori yang baik yakni sebanyak (76%) atau 91 orang.
Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan pada Kecamatan Kalisat baik sesuai dengan
perhitungan yaitu menunjukkan hasil yang baik. Ditandai dengan melayani pemeriksaan dan perawatan
kesehatan gigi dan mulut selama pandemi, pelayanan kesehatan yang berada di daerahnya sudah
berjalan dengan baik sesuai dengan protokol kesehatan, jarak antara pelayanan kesehatan dengan
rumah mereka dapat dijangkau selama pandemi COVID-19 dan biaya yang dikeluarkan masih
terjangkau untuk perawatan kesehatan gigi dan mulut. Hal ini berarti responden penelitian tetap
memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada (Tasya, Poppy dan Herwanda, 2016).

4.1.3 Faktor Reinforcing


1) Dukungan Tenaga Kesehatan
Tabel 4.9. Distribusi responden berdasarkan dukungan tenaga kesehatan dalam penyuluhan
Dukungan Tenaga Kesehatan
N %
dalam Penyuhan
Selalu 2 1.7
Sering 11 9.2
Jarang 61 50.8
Tidak pernah 46 38.3
Total 120 100

Tabel 4.9 menunjukkan dukungan tenaga kesehatan dalam penyuluhan jarang dilakukan sebesar
(50.8%) Pada perhitungan skala likert menunjukkan (43.5%).
Dukungan tenaga kesehatan di Kecamatan Kalisat dapat berupa penyuluhan oleh dokter gigi
terkait kesehatan gigi dan mulut selama pandemi. Pada distribusi respondens mayoritas pernah
mendapatkan penyuluhan terkait dengan kesehatan gigi dan mulut selama pandemi. Sejumlah 50,8%
jarang dilakukan terkait dengan penyuluhan mengenai kesehatan gigi dan mulut.
Pada distribusi responden dukungan terkait dengan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut jarang
dilakukan. Hal ini dapat disebabkan penyuluhan yang dilakukan dalam masa pandemi COVID-19
memiliki berbagai tantangan. Penyuluhan dan pelatihan tentang kesehatan gigi dan mulut diperlukan
adanya beberapa protokol kesehatan khusus yang harus ditaati. Sehingga diharapkan tidak berdampak
buruk dan menimbulkan peningkatan jumlah penularan COVID-19. Penyuluhan dan pelatihan
kesehatan gigi dan mulut pada masa COVID-19 sangat terbatas untuk pelaksaannya. Penyuluh harus
mematuhi beberapa aturan sehingga penyuluhan dan pelatihan tersebut dapat dilakukan. Penyebaran
COVID-19 yang dapat terjadi melalui droplet akan menyebabkan penularan pada saat perawatan gigi
dan mulut. COVID-19 memaksa penyuluh untuk merubah beberapa bagian dari pelaksanaan
penyuluhan dan pelatihan yang seharusnya dilakukan (Dwi dan Dian, 2020).
Menurut profil puskesmas kalisat (2018) demografi wilayah kalisat pada tahun 2018 78.850
jiwa. Salah satu strategi UPT Kalisat yaitu upaya paradigma sehat melaui program promotif,
preventif sebagai landasan pembangunan kesehatan. Sumber Daya Manusia yang terdapat pada
puskesmas tersebut yaitu dokter umum 1 orang, dokter gigi 2 orang, perawat 23 orang, bidan 33 orang,
sanitarian 1 orang, rekam medik 1 orang, dan teknik komputer 1 orang (Profil Puskesmas Kalisat,
2018). Pada profil puskesmas tersebut belum menampilkan kegiatan spesifik mengenai penyuluhan/
promosi kesehatan gigi dan mulut.

2) Dukungan Keluarga
Tabel 4.10. Distribusi responden berdasarkan dukungan keluarga
Dukungan Keluarga N %
Selalu 53 44
Sering 53 44
Jarang 13 11
Tidak pernah 1 1
Total 120 100

Tabel 4.10 menunjukkan dukungan keluarga menunjukkan hasil sebesar (44%) untuk selalu dan
sering dan yang tidak pernah didukung sebesar (1%)
Hasil menunjukkan bahwa selalu dilakukan dalam dukungan tenaga kesehatan seperti keluarga
pergi ke dokter gigi terkait kesehatan gigi dan mulut selama pandemi dan selalu mengingatkan untuk
menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan menyikat gigi setelah sarapan dan sebelum tidur dengan
perhitunganskala likert menunjukkan (76.8%).
Dukungan keluarga di Kecamatan Kalisat dapat berupa pergi ke praktik dokter gigi/pelayanan
kesehatan ketika mengalami sakit gigi meskipun pada saat pandemi dan mengingatkan untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulut dengan menyikat gigi setelah sarapan dan sebelum tidur . Pada distribusi
respondens mayoritas selalu mendapatkan dukungan keluarga.
Pemeliharaan kesehatan gigi anak harus melibatkan interaksi antara anak, orang tua dan dokter
gigi. Peran orang tua dalam kesehatan gigi anak adalah sebagai motivator, edukator dan fasilitator.
Motivator didefinisikan sebagai pendorong anak untuk aktif menjaga kesehatan gigi dan mulutnya.
Edukator berarti memberikan pendidikan kesehatan untuk menanamkan perilaku sehat sehingga terjadi
perubahan perilaku seperti yang diharapkan untuk mencapai kesehatan yang optimal. Fasilitator
didefinisikan sebagai panutan untuk anak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam bidang
kesehatan yang dihadapi sehari-hari. Perubahan sikap berbeda dengan perubahan perilaku, karena
sikap merupakan evaluasi umum yang berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu
timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus
dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian
mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Louisa dkk., 2021).

3) Dukungan Teman
Tabel 4.11. Distribusi responden berdasarkan dukungan teman
Dukungan Tenaga Kesehatan dalam
N %
Penyuhan
Selalu 1 0.8
Sering 9 7.5
Jarang 68 56.7
Tidak pernah 42 35.0
Total 120 100

Tabel 4.11 menunjukkan dukungan teman. Karakteristik responden berdasarkan selalu adanya
dukungan teman adalah 1 orang (0,8%), berdasarkan sering adanya dukungan teman adalah 9 orang
(7.5%), berdasarkan jarang adanya dukungan teman adalah 68 orang (56.7%), berdasarkan tidak
pernah adanya dukungan teman adalah 42 orang (35%). Teman didefinisikan sebagai orang yang
menghabiskan waktu bersama, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan menunjukkan tingkat yang
lebih tinggi dari sekedar kerjasama (Sandjojo, 2017). Menurut Hartup dan Stevens dalam Akin (2015)
menyatakan bahwa teman-teman adalah sumber daya kognitif dan afektif yang mendorong harga diri
dan rasa kesejahteraan. Pada perhitungan skala likert didapatkan hasil 43.5% (kategori jarang). Hal ini
menyimpulkan bahwa masyarakat jarang mendapatkan informasi terkait pemeriksaan gigi dan mulut
dari teman mereka selama pandemi.

4) Dukungan Tokoh Masyarakat


Tabel 4.12. Distribusi responden berdasarkan dukungan tokoh masyarakat
Dukungan Tokoh
N %
Masyarakat
Selalu 0 0
Sering 16 13
Jarang 67 56
Tidak pernah 37 31
Total 120 100

Tabel 4.12 menunjukkan hasil tokoh masyarakat di sekitar jarang menyampaikan manfaat
spentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut selama pandemi ketika ceramah/pidato.dan jarang
menyampaikan adanya informasi penyuluhan kesehatan gigi dan mulut di balai desa. Pada perhitungan
skala likert menunjukkan hasil 56% (kategori jarang). Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang
dihormati dan disegani dalam masyarakatnya yang seharusnya bisa menjadi penghubung terhadap
masyarakat dalam menyampaikan informasi kesehatan gigi dan mulut apalagi di masa pandemi
(Porawouw, 2018). Pentingnya peran seorang tokoh masyarakat selaku panutan bagi masyarakat desa
sekitar akan memengaruhi perilaku masyarakat di desa pula. Dengan demikian, diharapkan kebiasaan
buruk masyarakat yang sudah turun-temurun dapat diganti dengan kebiasaan baru yang lebih baik
(Monica dkk, 2019)

5) Kebijakan
Tabel 4.13. Distribusi responden berdasarkan kebijakan
Dukungan Kebijakan N %
Selalu 60 50
Sering 45 38
Jarang 14 11
Tidak pernah 1 1
Total 120 100

Tabel 4.13 menunjukkan hasil bahwa sering dilakukan pengukuran suhu tubuh pada masa
pandemi COVID 19 sebelum masuk puskesmas dan selalu dilakukan pembatasan untuk pemeriksaan
dan perawatan kesehatan gigi dan mulut di pelayanan kesehatan. Pada perhitungan skala likert
menunjukkan hasil 66% (kategori sering). Kondisi pandemi Covid 19 memberi dampak dalam
pelayanan di Puskesmas untuk menjalankan fungsinya sebagai Upaya Keshatan Perorangan (UKP).
Dalam menjalani fungsinya sebagai UKP, berbagai kebijakan internal diberlakukan di dalam gedung,
sehingga SOP pelaksanaan pelayanan dalam gedung banyak yang dirubah termasuk alur pelayanan
pasien (Hasanah dkk, 2020). Pandemi COVID-19 memberi pengaruh terhadap pelayanan kesehatan di
Puskesmas, seperti diantaranya, perubahan pada alur pelayanan poli, penerapan triase/skrining yaitu
diwajibkan mencuci tangan, pemeriksaan suhu tubuh, ditanya gejala dan keluhan serta physical
distancing (Pangoempia dkk, 2021)

4.1.4 Kriteria Faktor Determinan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Masyarakat
Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat
Dari hasil pengujian dengan menggunakan uji regresi biner mengungkapkan bahwa terdapat
faktor-faktor determinan yang mempengaruhi dan tidak mempengaruhi perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kalisat yang dapat dilihat pada Tabel
4.14.
Tabel 4.14 Kriteria Faktor Determinan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut
Masyarakat Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat
Kriteria Faktor Determinan Perilaku Sig. Keterangan
Faktor Predisposisi
Umur > 0,05 Tidak Signifikan
Jenis Kelamin > 0,05 Tidak Signifikan
Suku Bangsa > 0,05 Tidak Signifikan
Pekerjaan > 0,05 Tidak Signifikan
Pendidikan < 0,05 Signifikan
Penghasilan < 0,05 Signifikan
Kepercayaan < 0,05 Signifikan
Faktor Enabling
Sarana Prasarana < 0,05 Signifikan
Faktor Reinforcing
Dukungan Tenaga Kesehatan > 0,05 Tidak Signifikan
Dukungan Keluarga < 0,05 Signifikan
Dukungan Teman > 0,05 Tidak Signifikan
Dukungan Tokoh Masyarakat > 0,05 Tidak Signifikan
Kebijakan > 0,05 Tidak Signifikan

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa terdapat faktor determinan perilaku seperti faktor predisposisi,
enabling, dan reinforcing. Pada faktor predisposisi seperti umur, jenis kelamin, suku bangsa, dan
pekerjaan memiliki hasil >0,05 (tidak signifikan).Sedangkan faktor pendidikan, penghasilan dan
kepercayaan memiliki hasil <0,05 ( signifikan). Pada faktor enabling seperti sarana prasarana
memiliki hasil <0,05 (signifikan). Pada faktor reinforcing seperti dukungan tenaga kesehatan, teman,
tokoh masyarakat, dan kebijakan memiliki hasil >0,05 (tidak signifikan). Sedangkan faktor dukungan
keluarga <0.05 (signifikan).
Faktor predisposisi yang meliputi pendidikan, penghasilan, dan kepercayaan; faktor enabling
yang meliputi sarana prasarana; dan faktor reinforcing yang meliputi dukungan keluarga menunjukkan
signifikansi <0.05 pada hasil uji regresi logistik biner. Hal tersebut menjelaskan bahwa pada
pendidikan, penghasilan, kepercayaan, sarana prasarana, dan dukungan keluarga merupakan faktor
determinan yang mempengaruhi perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah
kerja Puskesmas Kalisat.
Kriteria Faktor Determinan Perilaku pada penelitian ini dikelompokkan menjadi dua faktor
yaitu faktor yang berpengaruh dan faktor yang tidak berpengaruh terhadap perilaku Pemeliharaan
Kesehatan Gigi dan Mulut Masyarakat Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat di era pandemi. Faktor
determinan yang mempengaruhi perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah
kerja Puskesmas Kalisat di era pandemi diantaranya adalah faktor predisposisi yang meliputi
pendidikan, penghasilan, dan kepercayaan; faktor enabling yang meliputi sarana prasarana; dan faktor
reinforcing yang meliputi dukungan keluarga, sedangkan untuk faktor yang tidak mempengaruhi
perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kalisat di era
pandemi antara lain: faktor predisposisi meliputi umur, jenis kelamin, suku bangsa, dan pekerjaan; dan
faktor reinforcing yang meliputi dukungan tenaga kesehatan, dukungan teman, dukungan tokoh
masyarakat, dan kebijakan.
Ditinjau dari teori Lawrence Green (1980), salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya
perilaku individu adalah umur. Hasil analisis menunjukan bahwa variabel umur tidak memiliki
pengaruh signifikan (p˃0,05) terhadap perilaku pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharda dkk (2013) yang menyatakan bahwa secara
statistik umur tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku kesehatan gigi dan mulut Menurut
Hariyanti tahun 2015 faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang di bagi menjadi 2 yaitu
faktor genetik dan faktor eksogen atau dari luar individu. Faktor usia adalah faktor dari luar individu
sehingga umur saja tidak berpengaruh tetapi harus ada faktor lain seperti pendidikan, pekerjaan, agama
dan sosial ekonomi (Hariyanti, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian, jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap perilaku memelihara
kesehatan gigi dan mulut di era pandemi. Perilaku di pengaruhi oleh faktor genetik atau faktor
endogen, jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam perilaku namun faktor
jenis kelamin saja tidak bisa mempengaruhi perilaku namun di perlukan faktor lain seperti jenis ras,
sifat fisik, sifat kepribadian dan intelegensi (Notoadmojo, 2010). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Clement dkk bahwa jenis kelamin tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam
masalah kesehatan gigi, kunjungan ke dokter gigi, pengetahuan dalam pencegahan karies gigi dan
gingivitis, serta perlunya menyikat gigi dan mengganti sikat gigi yang baru (Clement dkk., 2018)
Suku bangsa memiliki nilai signifikasi > 0.05 sehingga suku bangsa tidak berpengaruh dalam
faktor determinasi perilaku kesehatan gigi dan mulut di era pandemi. Menurut David Grembwoski
pada tahun 2009 yang meneliti hubungan antara kelompok ras/etnis ibu dengan kesehatan mulut,
keyakinan dan perilaku kesehatan mulut serta pemanfaatan perawatan gigi dan mulut, mengungkapkan
penilaian kesehatan rongga mulut dan jumlah rata-rata masalah gigi yang dinilai secara mandiri tidak
berbeda secara signifikan antar kelompok etnis. Dasar perawatan gigi terdiri dari pembersihan gigi dan
perawatan fluoride yang berkontribusi pada perilaku kesehatan yang bermanfaat dan mengurangi
penyakit mulut serta peningkatan kesehatan mulut. Dasar perawatan gigi tidak terkait secara konsisten
diseluruh kelompok ras/etnis (Grembwoski dkk, 2009). Ada kemungkinan yang menyebabkan individu
tidak lagi berperilaku sesuai dengan budaya suku bangsa mereka. Mereka tinggal dan hidup saat ini
juga pengaruh media massa yang menjadi sedemikian kuat dalam hidup sosial daripada era
sebelumnya, serta adanya kemudahan dalam mengakses media massa, komunikasi dan media sosial,
akan mempengaruhi kehidupan dan cara pandang masyarakat (Hidayat dan Tandiari, 2016).
Pekerjaan memiliki nilai signifikasi >0.05, sehingga pekerjaan bukan merupakan faktor
determinasi perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat di era pandemi. Menurut
penelitian Fatih Karaaslan dan Ahu Dikilitas menunjukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan skor
DMF-T serta nilai penyakit periodontal pada pekerja penuh waktu (daytime-workers) atau pekerja
paruh waktu (shift-workers) Hal ini dapat dijelaskan bila skor DMF-T dan penyakit periodontal tidak
mencerminkan perilaku dan interaksi sosial antar pekerja (Kaarslan dan Ahu Dikilitas, 2020). Baik
bekerja maupun tidak, responden dapat dengan mudah mengakses informasi kesehatan gigi dan mulut
melalui media tv, radio, dan media (Marwiyah dan Doni, 2018). s
Berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik biner menunjukkan bahwa penghasilan
mempengaruhi perilaku kesehatan gigi dan mulut secara signifikan (p<0,05). Penghasilan dapat
mempengaruhi perilaku kesehatan gigi dan mulut karena perilaku hidup sehat seseorang dapat
dipengaruhi oleh sosial ekonomi seseorang. Penghasilan mempunyai pengaruh langsung pada
perawatan medis, jika penghasilan meningkat maka biaya untuk perawatan kesehatan pun ikut
meningkat (Nissim, 2017). Penyataan tersebut juga didukung oleh penelitian dari Liani dan Achmad
(2021) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang, maka probabilitas seseorang
tersebut untuk sehat lebih besar. Hal ini diperkuat dengan hasil per kategori pendapatan dimana
seseorang dengan pendapatan sedang memiliki probabilitas lebih sehat dibandingkan dengan seseorang
dengan pendapatan rendah sebesar 1,61 persen. Seseorang dengan pendapatan tinggi memiliki
probabilitas lebih sehat sebesar 2,44 persen dibandingkan dengan seseorang dengan pendapatan
rendah. Seseorang dengan pendapatan sangat tinggi memiliki probabilitas sebesar 3,63 persen lebih
sehat jika dibandingkan dengan seseorang berpendapatan rendah (Liani dan Achmad, 2021).
Teori Ekonomi Makro yang dikemukakan oleh Mankiw menyatakan bahwa pendapatan sama
dengan pengeluaran konsumsi. Hal ini menunjukkan jika pendapatan seseorang akan berpengaruh
terhadap tingkat konsumsi seseorang (Mankiw, 2018). Grigoriev & Grigorieva (2011) menyatakan
dalam penelitiannya jika seseorang dengan pendapatan yang rendah cenderung memiliki status
kesehatan yang lebih buruk dibandingkan dengan seseorang yang pendapatannya tinggi. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan konsumsi dalam hal menjaga kesehatannya. Seseorang dengan pendapatan
yang tinggi cenderung lebih memiliki pola dan gaya hidup yang sehat (Grigoriev dan Grigorieva,
2019). Selain itu, menurut Fred dkk (2010) seseorang dengan pendapatan yang tinggi cenderung lebih
memilih untuk mengalokasikan pendapatannya pada bidang kesehatan.
Wallace dan Entee (2012) berpendapat bahwa faktor pendapatan berpengaruh pada keputusan
pasien dalam memilih pemanfaatan layanan perawatan gigi (Wallace & Entee, 2012). Hal tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Vanessa dkk (2013) bahwa seseorang yang memiliki
tingkat ekonomi rendah cenderung untuk melakukan diagnosa sendiri berdasarkan pengamatan
mereka. Diagnosa tersebut dibentuk dari pengalaman dan pengetahuan penyakit gigi yang pernah
mereka peroleh melalui perjalanan hidup dari kemiskinan. Oleh karena itu, orang yang memiliki
tingkat ekonomi rendah cenderung untuk mengabaikan kunjungan ke dokter gigi karena telah memiliki
pengalaman mengatasi kelainan giginya sendiri (Vanessa dkk, 2013). Selain itu, menurut survey yang
dilakukan oleh Waterloo Public Health (2012), masyarakat dengan pendapatan rendah cenderung
mengalami kesulitan mengakses dan menjadwalkan layanan kesehatan gigi, kurangnya pengetahuan
tentang pentingnya kesehatan gigi dan mulut, dan tingkat reimbursement pelanyanan gigi yang rendah
pada tunjangan pemerintah yang didapatkan (Katherine, 2017).
Berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik biner menunjukkan bahwa pendidikan
mempengaruhi perilaku kesehatan gigi dan mulut secara signifikan (p<0,05). Hal tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Liani dan Achmad (2019) yang menunjukkan bahwa variabel
tingkat pendidikan memiliki hubungan yang positif. Seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi
akan lebih sehat jika dibandingkan dengan seseorang dengan pendidikan yang lebih rendah (Liani dan
Achmad, 2021). Menurut Parinduri (2016), pendidikan dapat meningkatkan kapasitas kognitif yang
dimiliki oleh seseorang, dimana kapasitas kognitif ini dapat membantu seseorang tersebut untuk hidup
sehat dalam jangka waktu yang panjang (Parinduri, 2016). Seseorang yang memiliki pendidikan yang
lebih tinggi memiliki sifat yang positif tentang kesehatan dan mempromosikan perilaku hidup sehat
(Soekanto, 2018). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang, maka semakin baik
pengetahuan dan sikap perilaku hidup sehat, bahkan semakin mudah untuk memperoleh pekerjaan
sehingga semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan kesehatan.
Sebaliknya, pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-
nilai yang baru dikenal (Pintauli, 2019)
Fred dkk (2010) juga menyatakan dalam penelitiannya, jika seseorang dengan pendidikan yang
tinggi akan mampu mengakses informasi dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahaya
perilaku hidup tidak sehat serta lebih memiliki motivasi untuk menjalankan perilaku hidup yang sehat.
Penelitian yang dilakukan oleh Cecilia dkk (2019) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki
pengaruh terhadap tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut, diamati bahwa tingkat pendidikan
meningkat, begitu juga tingkat pengetahuan kesehatan gigi, dengan kecenderungan linier di antara
kategori (Cecilia dkk 2019). Hasil ini bertepatan dengan yang diperoleh pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Ho dkk (2019) dimana pengetahuan kesehatan mulut yang buruk berhubungan dengan
kebersihan mulut yang kurang dan jumlah gigi yang hilang lebih banyak. Hasil ini menunjukkan
bagaimana praktis kesehatan mulut tercermin dalam kapasitas subjek untuk menjaga kebersihan mulut
dan akibatnya, misalnya, menjaga gigi agar lebih sehat (Ho dkk 2019). Sesuai dengan penelitian ini,
juga telah ditunjukkan bagaimana subjek yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi cenderung
mengadopsi oral hygiene tertentu seperti flossing gigi. Penelitian serupa yang dilakukan oleh
Mohammadi dkk (2018) di antara populasi di tenggara Iran dengan sampel 264 orang dewasa,
menganalisis kebiasaan kebersihan mulut dan tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut.
Ditemukan bahwa subjek yang tidak mencapai tingkat pendidikan menengah atau lebih tinggi tidak
mendapat informasi atau pelatihan yang baik tentang pemeliharaan kebersihan mulut yang benar, dan
tidak menyadari pentingnya pemeriksaan gigi secara teratur (Mohammadi dkk., 2018).
Tingkat kepercayaan dan keyakinan masyarakat Kalisat kepada petugas kesehatan gigi dan
mulut adalah baik dan berpengaruh pada pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut di era pandemi
COVID-19. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas responden yang menjawab setuju dan sangat setuju.
Kepercayaan merupakan kecenderungan seorang individu dalam meyakini sesuatu. Kepercayaan dapat
menjadi pedoman dan landasan dalam melakukan perubahan perilaku di masyarakat agar pengetahuan
yang diberikan dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat (Septiareni, 2019).
Keyakinan atau kepercayaan adalah inti dari setiap perilaku manusia. Aspek ini sebagai acuan
bagi individu untuk menentukan persepsi terhadap suatu stimulus. Keyakinan dan kepercayaan
berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi yang mengarahkan aplikasi perilaku kesehatan. Saat
tubuh sakit dan emosi berada di luar kontrol, maka spiritualitas dan keyakinan spiritual menjadi satu
satu dukungan yang tersedia untuk membentuk perilaku. Keyakinan berkaitan dengan penilaian
subjektif individu terhadap dunia sekitarnya, pemahaman individu mengenai diri dan lingkungannya
(Sasmiyanto, 2020).
Kepercayaan sering berhubungan dengan kebudayaan/adat istiadat yang berasal dari masa
lampau dan belum tentu kebenarannya (mitos). Suatu kepercayaan kuno (mitos) biasanya dipercaya
oleh masyarakat lokal, masyarakat tersebut akan cenderung aktif bertanya kepada tetua/sesepuh.
sedangkan masyarakat modern cenderung tidak mempercayai adanya mitos dan lebih mempercayai
petugas kesehatan gigi dan mulut (Septiareni, 2019). Ketika seseorang memperlihatkan suatu
kepercayaan pada petugas kesehatan gigi dan mulut, maka seseorang tersebut akan cenderung
menentukan presepsi sesuai dengan apa yang dipercaya dan diyakini. Presepsi tersebut kemudian akan
mengarahkan individu pada aplikasi perilaku memelihara kesehatan gigi dan mulut. Hal ini berkaitan
dengan adanya empati dari petugas pelayanan yang mengerti kondisi pasien sehingga muncul minat
dari pasien untuk memanfaatkan ulang pelayanan kesehatan tersebut (Herwanda, Putra, & Putri, 2017).
Lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi perilaku kesehatan gigi dan mulut.
Lingkungan dengan keterbatasan sarana dan prasarana dapat menjadi kendala, yang pada akhirnya
mempengaruhi terhadap individu dalam melakukan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Sulitnya
akses pelayanan kesehatan dan tidak adanya pos kesehatan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk
menjangkau pusat pelayanan kesehatan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang yang akan
memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara berfikir seseorang (Fitri dkk., 2017).
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan antara sarana
prasarana dengan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah kalisat di era
pandemi. Hal ini dapat diketahui melalui hasil uji regresi logistik biner didapat nilai P- value bernilai
lebih kecil dari α = 0,05 sehingga diuraikan terdapat hubungan yang signifikan antara faktor sarana
prasarana dengan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah kalisat di era
pandemi . Hal ini sejalan dengan penelitian Riyantimawati dkk (2020) bahwa sarana prasarana
mempunyai interaksi yang positif dan signifikan terhadap perilaku remaja pada pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut. Perilaku ditentukan oleh ada atau tidaknya sarana dan prasarana kesehatan
sebagai faktor pendukung. 
Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan bagi masyarakat merupakan beberapa cakupan
yang terdapat dalam faktor pendukung ini. Sebagai contohnya adalah, poliklinik, rumah sakit,
puskesmas dan lain-lain yang termasuk ke dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam berperilaku
sehat, masyarakat atau seseorang membutuhkan sarana dan prasarana pendukung, seperti perilaku
pemeriksaan gigi dan mulut, dimana orang yang memeriksakan giginya tidak hanya karena tahu atau
sadar akan manfaatnya tetapi dia dapat dengan mudah mendapatkan fasilitas atau tempat pemeriksaan
gigi tersebut (Riyanti, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian, dukungan petugas kesehatan menunjukkan tidak berpengaruh
pada pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat. Tenaga kesehatan adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, serta seseorang yang mempunyai pengetahuan dan
keterampilan pendidikan dibidang kesehatan. Dukungan tenaga kesehatan merupakan pemberian
dorongan atau motivasi dan semangat serta nasehat kepada orang lain dalam situasi pembuatan
keputusan, menentukan dalam perubahan suatu perilaku kesehatan (Yugistyowati, 2018).
Pandemi COVID-19 berdampak pada seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia. Penyebaran
virus yang cepat dan angka kematian yang meluas menyebabkan masyarakat ‘dipaksa’ untuk
mengubah kebiasaan sehari-harinya menjadi sadar dan waspada kebersihan setiap saat agar terhindar
dari virus Corona. Upaya menjaga kebersihan diri tidak luput dari menjaga dan merawat kebersihan
gigi dan mulut (Soesanto dkk., 2021). Berdasarkan teori Blum, status kesehatan gigi dan mulut
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan
pelayanan kesehatan. Perilaku mempunyai peran penting untuk mempengaruhi standar kesehatan gigi
dan mulut. Perilaku dalam memelihara kesehatan dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, sikap dan
tindakan atau praktik. Meningkatkan pengetahuan dan sikap akan meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam menjaga kesehatan (Ariyanto,2018).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan
keluarga dengan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut masyarakat wilayah kalisat di era
pandemi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizaldy dan Susilawati pada
tahun 2017, yang menyatakan bahwa dukungan perilaku orang tua tentang mengenais pemeliharaan
kesehatan gigi termasuk dalam kategori baik (Rizaldy dan Susilawati, 2017). Sebagai contoh pada
penelitian Hermawan dkk (2015) anak yang pada usia prasekolah memang dalam masa menyukai
makanan manis, kurang pengetahuan ibu tentang kebiasaan anak saat ditinggal bekerja di luar rumah,
seperti sering makan makanan manis seperti permen atau cokelat dan anak tidak dibiasakan makan
sayur atau buah sehingga anak kekurangan vitamin yang menyebabkan masalah gigi dan mulut seperti
sariawan terjadi (Hermawan dkk,2015).
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya pada tahun 2016 yang
menjelaskan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut (Sanjaya, 2016). Pola pengasuhan dan pendidikan tentang kebersihan gigi dan mulut yang
diajarkan oleh orangtua sejak dini akan memberi dampak terhadap perilaku anak. Peran orangtua dapat
ditunjukkan melalui dukungan orangtua kepada anak dalam berperilaku.Dukungan keluarga
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam memberikan pengaruh pada perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut masyarakat di era pandemi (Koesoemawati,2020). Dukungan orangtua
tersebut dapat ditunjukkan melalui dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental dan dukungan emosional (Susena,2012).
Selama masa pandemi, atas dukungan Ibu, para remaja utamanya dengan kompetensi
pendidikan kesehatan gigi dapat membantu pemerintah untuk mencegah sekaligus memutus
mata rantai penyebaran penyakit COVID-19 dan juga dapat memelihara kesehatan gigi secara
promotif dan preventif. Melalui kegiatan edukasi berupa pencegahan COVID-19 dan Dental
Health Education (DHE) baik secara tatap muka berupa penyuluhan, penyebaran dan
pemasangan poster. Melalui kegiatan edukasi berupa pencegahan COVID-19 dan Dental Health
Education (DHE) baik secara tatap muka berupa penyuluhan, penyebaran dan pemasangan poster.
Maupun dengan penggunaan teknologi berbasis digital melalui medsos berupa video, youtube,
googleform, instagram, facebook dan secara virtual daring (Koesoemawati,2020).
Variabel dukungan teman menunjukan hasil uji regresi logistik biner yang tidak signifikan
(p>0,05) yang berarti dukungan teman tidak berpengaruh. Hal ini sesuai dengan teori dasar Lawrence
Green (1991) dalam Darmawan (2016), yang menyatakan bahwa perilaku kesehatan seseorang
dipengaruhi oleh tiga faktor yakni: faktor predisposisi (umur, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan dan
sikap), faktor pemungkin (jarak ke fasilitas kesehatan), faktor penguat (dukungan keluarga dan tokoh
masyarakat). Begitu pula dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Arianto (2013) yang menyatakan
bahwa teman dekat juga tidak semuanya memberikan saran maupun informasi mengenai cara menjaga
kesehatan gigi dan mulut yang baik dan benar. Adanya hubungan teman yang baik, tidak bisa
menjadikan perilaku baik secara keseluruhan. Hal tersebut dikarenakan hampir semua teman memang
tidak memberikan contoh perilaku baik, seperti hampir semua teman tidak merawatkan giginya ke
dokter gigi maupun menggosok gigi dengan baik dan benar (Arianto, 2013). Selain itu, berdasarkan
RISKESDAS 2018 melaporkan bahwa frekuensi berobat ke tenaga medis gigi penduduk Indonesia
didapatkan hasil 95,5% tidak pernah berobat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat
Indonesia akan pentingnya menjaga kesehatan gigi masih rendah (Sosiawan dkk, 2016). Pada
umumnya orang tidak berkunjung ke dokter gigi karena keengganannya sendiri, yang merasa bahwa
kunjungan ke dokter gigi bukan suatu kewajiban. Sedangkan yang menjadi alasan lainnya adalah
karena biaya serta rasa takut (anxiety) (Pratamawari dan Hadid, 2019).
Variabel dukungan tokoh masyarakat menunjukkan hasil regresi logistik biner tidak signifikan
(p>0,05), yang berarti dukungan tokoh masyarakat tidak berpengaruh terhadap perilaku menjaga
kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Hal ini bertentangan dengan teori dasar Lawrence Green (1991)
dalam Darmawan (2016), yang menyatakan bahwa dukungan tokoh masyarakat bisa menjadi salah satu
faktor penguat (reinforcing factors) yang berpengaruh bagi kesehatan seseorang. Ketidaksesuaian ini
bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah pada masa pandemi COVID-19, yaitu untuk menjaga jarak
sosial atau social distancing guna memutus mata rantai penularan virus SARS-Cov 2. Jarak sosial
(social distance) membuat hubungan antar masyarakat menjadi kurang erat serta komunikasi tidak
efektif, sehingga menimbulkan ketimpangan antara komunikasi dan hasil yang diinginkan. Selain itu,
perbedaan dalam keyakinan mengenai kesehatan, perbedaan bahasa, dan nilai-nilai budaya yang
berhubungan dengan kesehatan dapat menciptakan kesalahpahaman atau bias (Monica dkk, 2019).
Variabel kebijakan pada uji regresi biner didapatkan hasil tidak signifikan (p>0,05).
Kesimpulannya adalah kebijakan pelayanan kesehatan selama pandemi tidak berpengaruh terhadap
perilaku seseorang dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Harahap dan Ikanandia (2021), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara pengaruh pandemi COVID-19 dengan keinginan pasien untuk berobat. Sikap merupakan
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognitif), dan predisposisi tindakan
(konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Harahap dan Ikanandia, 2021).
Berbagai tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan berangsur akan membentuk ciri-ciri khusus pada
seseorang, bahkan dapat berpengaruh terhadap kesehatan gigi dan mulut seseorang. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan Permatasari dan Artaria (2015) yang menyatakan bahwa justru
kebiasaan sehari-hari di rumah yang dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan rongga mulut seseorang.
Beberapa tingkah laku tersebut diantaranya, tingkah laku yang berhubungan dengan makanan; tingkah
laku yang berhubungan dengan modifikasi yang tidak disengaja dan tingkah laku yang berhubungan
dengan modifikasi yang disengaja (Permatasari dan Artaria, 2015).

4. SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan bahwa faktor
determinan yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut di era pandemi terdapat 3 faktor yaitu faktor predisposisi meliputi tingkat pendidikan,
penghasilan, dan kepercayaan; faktor enabling meliputi sarana prasarana pelayanan kesehatan; dan
faktor reinforcing meliputi dukungan keluarga. Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara faktor determinan terhadap perilaku seseorang dalam
pemeliharaan gigi dan mulut selama pandemi, serta perlu dilakukan edukasi atau penyuluhan sebagai
upaya promosi kesehatan dalam kaitannya dengan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut di era
pandemi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan gig dan
mulut.

5. REFERENSI

Afiati, R., Rosihan A., Karina R., dan Sherli D. 2017. Hubungan perilaku ibu tentang pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut terhadap status karies gigi anak tinjauan berdasarkan pengetahuan,
tingkat pendidikan, dan status sosial di TK ABA 1 Banjarmasin kajian di Puskesmas Kota
Banjarmasin bulan September-Oktober 2014. Dentino: Jurnal Kedokteran Gigi. 2(1): 56-62.
Akin, A., dan Umran A. 2015. Friendship quality and subjective happiness: the mediator role of
subjective vitality. Education and Science. 40(177): 233-242.
Arianto. 2013. Peran orang tua, teman, guru, petugas kesehatan terhadap perilaku menggosok gigi pada
siswa sekolah dasar di Kecamatan Sumberejo. Jurnal Analis Kesehatan. (2)2: 270-275.
Ariyanto. 2018. Faktor - faktor yang berhubungan dengan perilaku pemeliharaan kebersihan gigi dan
mulut di Kelurahan Wonoharjo Kabupaten Tanggamus. Jurnal Analis Kesehatan. 7(2):744-748.
Asmarasari, B., dan Retno S. A. 2019. Analisis perilaku ibu dalam memberikan asi eksklusif di Kota
Semarang (studi kasus Puskesmas Genuk). Journal of Public Policy and Management Review.
8(4): 267-279.
Azodo, C. C., dan Barnabas U. 2018. Gender difference in oral health perception and practices among
Medical House Officers. Russian Open Medical Journal. 1: 0208.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember. 2020. Kabupaten Jember Dalam Angka. Jember: BPS
Kabupaten Jember.
Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah Desa yang Memiliki Fasilitas Sekolah Menurut Provinsi
dan Tingkat Pendidikan. Jakarta: BPS RI/BPS-Statistics Indonesia
Budiharto. 2010. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan dan Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC.
Arrico, C. F. M., Jose-Manuel A. S., dan Jose-Maria M. C. 2019. Oral health knowledge in relation to
educational level in an adult population in Spain. J Clin Exp Dent. 11(12):1143-50.
Darmawan, N. 2016. Faktor - faktor yang mempengaruhi perilaku kunjungan masyarakat terhadap
pemanfaatan pelayanan posyandu di Desa Pemecutan Kelod Kecamatan Denpasar Barat. Jurnal
Dunia Kesehatan 5(2): 29-39.
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2020. Data Kesakitan Gigi dan Mulut Kabupaten Jember Tahun
2020. Jember: Dinas Kesehatan Jember.
Febria, N. D., dan Dian Y. A. 2020. Penyuluhan dan pelatihan kesehatan gigi dan mulut pada masa
pandemi covid-19. Yogyakarta: Prosiding Semnas PPM: 659-665.
Elfakti, N. K., Sara L. B., dan Abdulla A. 2015. Influence of socioeconomic status on dental health
among primary school children in Najran; KSA. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences.
4(1): 145-146.
Fatmasari, M., Widodo W., dan Adhani R. 2019. Hubungan antara tingkat sosial ekonomi orang tua
dengan indeks karies gigi pelajar smpn di Kecamatan Banjarmasin Selatan. Tinjauan SMP
Negeri 11 Banjarmasin. Dentin. 1(1).
Balafif, F. F., Agus, S., dan Indah, S W. 2021. Oral health assessment during COVID-19 pandemic:
community self-report questionnaire. Journal of Syiah Kuala Dentistry Society. 6(1):50-55.
Fitri, A. B., Cucu F., dan Riana W. 2017. Hubungan pengetahuan dengan sikap pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut siswa Pondok Pesantren Salafiyah Al-Majidiyah. Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran. 29(2): 145-150.
FKG UI. 2020. Antisipasi Dampak Negatif COVID-19 di Bidang Kedokteran Gigi. Jakarta: FKG UI.
Grembwoski, D., Charles S., dan Peter M. 2009. Racial and ethnic differences in a regular source of
dental care and the oral health, behaviors, beliefs and services of low-income mothers.
Community Dental Health 26(2): 69-76.
Grigoriev, P., dan Olga G. 2019. Self-perceived health in belarus: evidence from the
income and expenditures of households survey. Demographic Research. 551–578.
Harahap, R., dan Ferlyannisa I. 2021. Keinginan pasien untuk periksa ke poliklinik orthopaedi saat
pandemi covid-19. Medica Arteriana. 3(1): 48-52.
Hermawan, R. S., Widya W., dan Kasianah. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan gigi
dan mulut anak usia prasekolah di pos PAUD Perlita Vinolia Kelurahan Mojolangu. Jurnal
Keperawatan. 6(2):132-141.
Hariyanti. 2015. Kepemimpinan Transformasional: Pola Kekuasaan dan Perilaku. Surakarta:
STIE-AUB Surakarta.
Hasanah, Y., Ratna M. D., dan Deasy S. S. 2020. Implementasi kebijakan fungsi puskesmas selama
pandemi covid 19 di Puskesmas Margahayu Selatan Kabupaten Bandung. Responsive. (3)4: 223
- 239.
Herwanda, Eka D. P., dan Larena Y. P. 2017. Pengaruh perceived quality pasien terhadap pemanfaatan
ulang pelayanan kesehatan gigi dan mulut di RSGM UNSYIAH. Cakradonya Dental Journal.
Hidayat, R., dan Astrid T. 2016. Kesehatan Gigi dan Mulut Apa yang Sebaiknya Anda Tahu?.
Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta.
Ho, M. H., Megan F. L., dan Chan C. C. 2019. A preliminary study on the oral health literacy and
related factors of community mid-aged and older adults. Pub Med. 66:38–47.
Horst, K. 2017. Barriers to accessing oral health care. Waterloo Region Oral Health Coalition.
Irwan. 2017. Etika dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: CV. Absolute Media.
Jannah, R., Mappeaty N., dan Yuniati Y. 2020. Pengaruh perilaku siswa SD terhadap kunjungan
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Contagion: Scientific Periodical Journal of Public
Health and Coastal Health. 2(1): 14-27.
Kaarslan, F., dan Ahu D. 2020. The association between work schedule, oral health and oral health-
related quality of life. Journal Oral Health Oral Epidermiol. 9(2): 85-91.
Kemenkes RI. 2019. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Kesehatan Gigi
Nasional. Jakarta Selatan: Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/538/KPTS/013/2020 Tentang Upah Minimum Kabupaten
atau Kota di Jawa Timur Tahun 2021.
Kiswaluyo. 2010. Hubungan karies gigi dengan umur dan jenis kelamin siswa Sekolah Dasar di
wilayah kerja Puskesmas Kaliwates dan Puskesmas Wuluhan Kabupaten Jember. Stomatognatic
Jurnal Kedokteran Gigi Unej. 7(1): 26-30.
Koesoemawati, R. 2020. Peran ibu dan remaja dalam pemeliharaan kesehatan gigi di masa pandemi
covid-19. Prosiding Webinar Nasional. 175-181.
Rakasiwi, L. S., dan Achmad K. 2021. Pengaruh faktor demografi dan sosial ekonomi terhadap status
kesehatan individu di Indonesia. Kajian Ekonomi Keuangan. 5(2).
Louisa, M., Johan A. B., Trijani S., dan Sariyani P. A. A. 2021. Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
di masa pandemi covid-19 pada orangtua anak berkebutuhan khusus. Jurnal Abdimas dan
Kearifan Lokal. 2(1): 2-3.
Lutfiyya, M.N., Andrew. J. G., Burke S., dan Martin S. L. 2019. Dental care utilization: examining the
associations between health services deficits and not having a dental visit in past 12 months.
BMC public health. 19(1): 1-13.
Mankiw. 2018. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Salemba Empat.
Marwiyah, N., dan Doni D. 2018. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut pada ibu hamil di poli KIA UPTD Puskesmas Citangkil Kota Cilegon. Jurnal
Kesehatan. 7(2).
Mayasari, Y., Elin H., Sarah M., dan Poetry O. 2021. Virtual edukasi kesehatan gigi dan mulut pada
kelompok lanjut usia di masa pandemi covid-19. Jurnal Abdi MOESTOPO. (4)2: 65-72.
Mohammadi, T. M., Mahsa M., Hamid R. H., dan Shahla A. M. 2018. Oral health literacy and its
determinants among adults in Southeast Iran.  Eur J Dent. 12: 439–442. 
Monica, G., Nabila A., dan Nadya S. 2019. Gambaran kesehatan dan kebersihan rongga mulut tokoh
masyarakat Desa X Kabupaten Indramayu. SONDE (Sound of Dentistry) 4(2): 41-46.
Mujani, S., dan Deni I. 2020. Sikap dan perilaku warga tergadap kebijakan penanganan wabah covid-
19. Jurnal Ilmu Politik (Politika). 11 (2): 119-238.
Musfirah, N., Samsualam, Andi N. 2021. Evaluasi kebijakan Surat Edaran NO. 2776/PB PDGI/III-
3/2020 di rumah sakit gigi dan mulut dan klinik di Kota Makassar. Journal of Muslim
Community Health (JMCH). 2(2): 112-120.
Nissim BD. 2017. Economic growth and its effect on public health.
Notoatmodjo S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pangoempia, S. J., Grace E. C. K., dan Adisti A. R. 2021. Analisis pengaruh pandemi covid-19
terhadap pelayanan kesehatan di Puskesmas Ranotana Weru dan Puskesmas Teling Atas Kota
Manado. Jurnal KESMAS. 10(1): 40-49.
Parinduri, R. A. 2016. Does education improve health? evidence from Indonesia. The Journal
of Development Studies. 1–18.
Pemerintah Kabupaten Jember. 2018. Rencana Program Investasi Jangka Menengah Bidang
PU/Cipta Karya Kabupaten Jember Tahun 2014 – 2018. Jember: Pemerintah Kabupatan
Jember.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar.
Permatasari, W. A., dan Myrtati D. A. 2015. Keterkaitan kebiasaan manusia terhadap kondisi gigi.
Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 28(4): 181-187.
Planning Acceptor in Bangkalan Regency. Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health
Promotion and Health Education. 8(1): 121-131.
Pintauli S, dan Taizo H. 2019. Menuju Gigi dan Mulut Sehat Pencegahan Dan Pemeliharaan.
Medan: USU.
Porawouw, R. 2016. Peran tokoh masyarakat dalam meningkatkan partisipasi pembangunan
(studi di Kelurahan Duasudara Kecamatan Ranowulu Kota Bitung). Politico: Jurnal Ilmu
Politik. 3(1): 1154.
Pratamawari, D. N. P., dan Ahmad M. H. 2019. Hubungan self-rated oral health terhadap indeks
kunjungan rutin pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut ke dokter gigi. ODONTO Dental Journal
6(1): 6-11.
Profil Puskesmas Kalisat. 2018. Jember.
Purnomo, A. 2016. Hubungan kenaikan upah minimum regional (UMR) dengan nilai pekerjaan borong
dalam kegiatan konstruksi bangunan gedung. Jurnal Teknisia. 11(1): 180-188.
Puskesmas Kaliwates dan Puskesmas Wuluhan Kabupaten Jember. Stomatognatic Jurnal Kedokteran
Gigi Unej (7)1: 26-30.
Putra, I. M. A., dan Ni K. R. 2013. Perilaku masyarakat Desa Pangkung Karung Kerambitan terhadap
pencarian pengobatan gigi tahun 2012. Jurnal Kesehatan Gigi. 1(1): 22-26.
Rakhmawat, N. S., Irwan B., dan Eunike R. R. 2020. Determinan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut pada remaja. In Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (PROSNAMPAS). 3(1):
414-419.
Rampengan, S. H. 2015. Persepsi pasien atau keluarganya terhadap mutu pelayanan unit gawat darurat.
Jurnal Biomedik. 7(3): 148–157.
Farida, Y., Isnanto I., I G. A. K. A, dan N. P. 2018. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
pencarian tindakan perawatan kesehatan gigi dan mulut. Jurnal Ilmiah Keperawatan Gigi. 2(2):
328-334.
Rizaldy, A. dan Sri S. 2017. Perilaku orang tua terhadap pemeliharan kesehatan gigi anak pada sekolah
dasar negeri mekarjaya. Jurnal Kedokteran Gigi. 29(2):131-137.
Sandjojo, C. T. 2017. Hubungan antara kualitas persahabatan dengan kebahagiaan pada remaja urban.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 6(2): 1721-1730.
Sanjaya, A. 2016. Gigi lansia. Jurnal Skala Husada. 13(1): 72-80.
Soekanto S. 2018. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Saputra, E. Y. 2019. Indeks Pembangunan Manusia 2019: Kualitas Hidup Indonesia ke-111.
Sari, A. R., Fauzie R., Anggun W., Nita P., Nur L., Vina Y. A., Lia A., Muhammad A., Agus M. R., dan
Farid I. M. 2020. Perilaku pencegahan covid-19 ditinjau dari karakteristik individu dan sikap
masyarakat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Indonesia. (1)1: 32-
37.
Sasmiyanto, S. 2020. Faktor predisposisi perilaku kesehatan penderita diabetes mellitus tipe 2.
Jurnal Keperawatan Silampari. 3(2): 466-476.
Septiareni, G. L. 2019. Pengaruh penyuluhan megenai mitos dan fakta tentang kelainan kongenital
terhadap tingkat pengetahuan ibu di Kelurahan Pipa Reja Palembang. Skripsi. Palembang:
Universitas Muhammadiyah Palembang.
Setyabudi, R. G., dan Mutia D. 2017. Analisis strategi promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
kesadaran hidup sehat oleh Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Komunikasi 12(1): 2548-7647.
Soesanto, S., Octarina O., dan Joko K.. 2021. Peningkatan kesadaran warga Rt 014/Rw 008 Jatipulo,
Jakarta Barat mengenai kesehatan gigi pada masa pandemi covid-19. Akal: Jurnal Abdimas dan
Kearifan Lokal. 02(1): 22-29.
Sosiawan, A., Roesanto H., Adi H., dan Lydia M. S. 2016. Gambaran tingkat keparahan karies gigi
pada ibu-ibu usia 36-45 tahun Dusun Claket Desa Claket Kecamatan Pacet Kabupaten
Mojokerto. Dental Public Health Journal. 6(2): 1-12.
Susena, H., Vivi Y. P., dan Sri D. 2012. Studi deskriptif dukungan keluarga terhadap kebersihan gigi di
SD Muhammadiyah 10 Semarang Utara. Fikkes. 5(2):101-113.
Suwardono, B.P., Mohammad Z. F., dan Ninin N. F. 2020. Description of the Low Participation of
Family.
Syahdrajat, T. 2019. Panduan Penelitian untuk Skripsi Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Rizky
Offset.
Tasya, N., Poppy A., dan Herwanda. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut di rumah sakit gigi dan mulut (RSGM) Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh. Journal Caninus Dentistry. 1(4): 54–62.
Muirhead, V., Alissa L., Belinda N., Anne L., dan Christophe B. 2012. Life course experiences and lay
diagnosis explain low-income parents' child dental decisions: a qualitative study. Community
Dent Oral Epidemiology. 41(1):13-21.
Wallace, B. B., dan Michael I. M. 2012. Access to dental care for low-income adults: perceptions of
affordability, availability and acceptability. Journal Community Health. 37: 32-39.
Yugistyowati, A. 2018. Studi fenomenologi: dukungan pada ibu dalam perawatan bayi prematur di
ruangrawat intensif neonatus. Media Ilmu Kesehatan. 7(3): 198-205.

Anda mungkin juga menyukai