Anda di halaman 1dari 15

ADVOKASI, MEDIASI, DAN ADR

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah Advokasi,

Mediasi, dan ADR

Yang diampu oleh Bapak Ladin, S.H.I., M.H.

Oleh:

AHMAD RISE SATRIA WICAKSONO 126102202267

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH

TULUNGAGUNG

OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat
pada waktunya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag., selaku rektor UIN SATU Tulungagung.

2. Dr. H. Nur Effendi, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum UIN SATU Tulungagung.
3. Dr. Rohmawati, M.A., selaku Koorprodi Hukum Keluarga Islam.

4. Ladin, S.H.I., M.H., selaku selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah


Administrasi, Mediasi, dan ADR.
5. Dan semua pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah
ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari bapak Ladin,
S.H.I., M.H., pada mata kuliah Administrasi, Mediasi, dan ADR. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai advokasi,
mediasi, dan ADR.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kami meminta maaf jika ada
kesalahan kata yang kurang tepat. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap
makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki, karena masih banyak
kekurangan di dalamnya. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
berbagai pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Tulungagung, 26 Oktober 2022


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang......................................Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah..................................Error! Bookmark not defined.

C. Tujuan....................................................Error! Bookmark not defined.

BAB II PEMBAHASAN..........................................Error! Bookmark not defined.

A. Sejarah dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa.....Error! Bookmark


not defined.

B. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa........Error! Bookmark not defined.

C. Proses Penyelesaian Konflik.................Error! Bookmark not defined.

D. Advokasi................................................Error! Bookmark not defined.

E. Proses Pendampingan Perkara Pidana dan Perdata.....Error! Bookmark


not defined.

F. Perbedaan Pendampingan Perkara Pidana dan Perdata..................Error!


Bookmark not defined.

BAB III PENUTUP..................................................Error! Bookmark not defined.

A. Kesimpulan............................................Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA...............................................Error! Bookmark not defined.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perjalanan kehidupan manusia di muka Bumi ini pasti terjadi
interaksi antara satu individu dengan yang lainnya. Hal itu menjadi suatu
keniscayaan, karena manusia hampir mustahil untuk menjalani dan memenuhi
kebutuhan hidupnya seorang diri. Dan sejak manusia ada, Tuhan telah
menganugerahkan hak dan kewajiban asasi bagi setiap individu yang harus
dihormati dan dilaksanakan. Pada praktiknya, interaksi yang dilakukan oleh
manusia, seringkali bersifat komplementer sehingga saling menguntungkan.
Namun tak jarang pula terjadi berbagai pelanggaran ataupun penyimpangan
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, sehingga merugikan beberapa
pihak. Lalu menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Jika dilihat dari sejarahnya, kegiatan sehari-hari bagi individu maupun
suatu kelompok, dihadapkan pada sebuah sengketa adalah keniscayaan. Baik
kegiatan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
Sengketa yang timbul harus segera dicari jalan keluarnya agar tidak semakin
runyam. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya sengketa antara lain,
kesalah pahaman, pelanggaran terhadap undan-gundang, ingkar janji,
kepentingan yang berlawanan, dan kerugian yang dialami oleh salah satu
pihak. Dalam perkembangannya, manusia terus berusaha menyempurnakan
peraturan-peraturan serta sistem penyelesaian konflik atau sengketa yang
terjadi, dari metode yang primitif hingga metode yang bersifat kontemporer.
Penyelesaian sengketa pada umumnya dilakukan melalui badan pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) lambat laun
menunjukkan kelemahannya dan dianggap tidak efektif dan efisien. Hal ini
disebabkan lambannya proses pengadilan, dan memakan biaya yang tidak
sedikit nominalnya. Kelemahan penyelesaian sengketa litigasi, mendorong
beberapa kalangan yang menghendaki keadilan untuk mencari cara lain atau
alternatif dalam menyelesaikan sengketa di luar badan pengadilan
Penyelesaian sengketa di luar pegadilan tidak hanya terjadi di Indonesia.
Bahkan, di negara-negara maju pun penyelesaian sengketa di luar pengadilan
telah dilakukan jauh sebelumnya. Misalnya di Amerika Serikat (AS),
pengembangan alternatif penyelesaian sengketa di AS di latarbelakangi oleh
kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut: 1 untuk mengurangi penumpukkan
perkara di pengadilan, keterlibatan otonomi masyarakat dalam proses
penyelesaian sengketa, memperlancar serta memperluas akses ke keadilan,
memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan kepuasan yang dapat diterima oleh dan memuaskan semua
pihak. Adapun tujuan dari penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan
antara lain:2 menyelesaikan sengketa di luar pengadilan demi keuntungan
para pihak, mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu
yang biasa terjadi, mencegah sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
pengadilan.
Alternatif penyelesaian yang digunakan pada umumnya adalah advokasi,
mediasi, negosiasi dan arbitrase. Mediasi merupakan upaya penyelesaian
sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang
bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah
pihak.3 Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh soerang
hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan
tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka
pilih atau tunjuk tersebut.4 Dan metode-metode lainnya sesuai pemahaman
akal manusia atas kondisi sosial yang ada maupun teks-teks kitab suci.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah dan dasar hukum penyelesaian sengketa atau
konflik di indonesia?

2. Apa sajakah yang termasuk jenis-jenis penyelesaian sengketa?

1
Stephen B. Goldberg, Dispute Resolution, Negoisation, Mediation and Other Process, (Boston-
Toronto-London : Little Brown and Company, 1992), hlm. 10

2
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Fikahati Aneska
dan BANI, 2002), hlm. 15
3
Laurence Boulle, Mediation : Principles, Process, Practice. Dalam Gatot Soemartono, Arbitrase
dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 2
4
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan , Arbitrase dan Peradilan, (Bandung :
Alumni, 1980), hlm. 1
3. Bagaimanakah proses penyelesaian konflik tinjauan yuridis dan non
yuridis serta menurut litigasi dan non litigasi?

4. Apakah definisi dari Advokasi?

5. Bagaimanakah proses pendampingan perkara pidana dan perdata?

6. Apa sajakah perbedaan pendampingan perkara pidana dan perdata?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah dan dasar hukum penyelesaian sengketa


atau konflik di Indonesia.

2. Untuk mengetahui jenis-jenis penyelesaian sengketa.

3. Untuk mengetahui proses penyelesaian konflik tinjauan yuridis dan


non yuridis serta menurut litigasi dan non litigasi

4. Untuk mengetahui definisi dari Advokasi.

5. Untuk mengetahui proses pendampingan perkara pidana dan perdata.

6. Untuk mengetahui perbedaan pendampingan perkara pidana dan


perdata.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Atau Konflik Di


Indonesia.

Manusia telah mencapai kondisi ideal dalam metode penyelesaian


sengketa. Mulai pada masa primtif yang masih mengandalkan adu
kekuatan. Lalu mulai dipengaruhi oleh hukum agama Hindu, Budha,
Hukum adat, serta Hukum Agama Islam. Pada masa penjajahan Belanda,
di Indonesia sendiri terpengaruh dengan hukum-hukum yang berasal dari
Eropa. Ketika Jepang datang, metode penyelesaian sengketa juga
terpengaruh metode penjajah Jepang. Setelah merdeka, pada masa orde
lama hukum masih terpengaruhi hukum semasa penjajahan. Namun
dengan reinterpretasi ulang. Pada masa orde baru, terjadi kekuasaan
mutlak di tangan Eksekutif. Hukum dan metode penyelesaian sengketa di
Indonesia mulai mendapatkan angin segar ketika masa Reformasi.

B. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan


menggunakan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui
lembaga litigasi (melalui pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui
non-litigasi (di luar pengadilan). Dalam peraturan perundang-undangan
tidak ada yang memberikan definisi mengenai litigasi, namun dapat dilihat
di dalam Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang
pada intinya mengatakan bahwa sengketa dalam bidang perdata dapat
diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara
litigasi di Pengadilan Negeri. Rachmadi Usman, S.H., M.H. mengatakan
bahwa selain melalui litigasi (pengadilan), penyelesaian sengketa juga
dapat diselesaikan melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan), yang
biasanya disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) di
Amerika, di Indonesia biasanya disebut dengan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS).

C. Proses penyelesaian konflik tinjauan yuridis dan non yuridis serta


menurut litigasi dan non litigasi.

Tinjauan yuridis dapat diartikan sebagai kegiatan pemeriksaan


yang teliti, pengumpulan data atau penyelidikan yang dilakukan secara
sistematis dan objektif terhadap sesuatu menurut atau berdasarkan hukum
dan undang-undang.1 Tinjauan non-yuridis merupakan tinjauan yang
didasarkan pada faktor dampak perbuatan terdakwa dan kondisi diri
terdakwa.2

Proses penyelesaian sengketa oleh para pihak yang bersengketa


dapat dilakukan melalui jalur litigasi atau lembaga peradilan negara. Hal
ini berarti sengketa tersebut akan diperiksa oleh hakim pengadilan dalam
suatu rangkaian persidangan. Penyelenggaraan peradilan dilaksanakan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Nonlitigasi sebagai kebalikan dari litigasi (argumentum
analogium) adalah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
melalui perdamaian dan penangkalan sengketa dengan perancangan
perancangan kontrak yang baik. Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi
meliputi bidang yang sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dapat diselesaikan secara hukum.3

D. Definisi Advokasi.

Advokasi secara kebahasaan diartikan sebagai membela. Orang yang


beprofesi untuk melaksanakan advokasi disebut dengan advokat, baik di

1
Ayu Wildhayanti, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Ditinjau Dari UU
RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak (Studi Putusan Nomor 3508/PID.SUS/2018/PN MDN), Skripsi, Fakultas Hukum,
Universitas Dharmawangsa Medan, 2019
2
Himawan Setiaji, Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menentukan Sanksi Pidana Bagi Pecandu
Narkoba Residivis (Studi di Pengadilan Negeri Malang), Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas
Brawijaya, 2014
3
Ibid.
dalam maupun di luar pengadilan. Advokasi juga diartikan sebagai sebuah
proses yang melibatkan seperangkat tindakan politis yang dilakukan oleh
warga negara yang terorganisir untuk mentransformasikan hubungan-
hubungan kekuasaan. Advokasi sebagai pemberian bantuan hukum kepada
seorang pencari keadilan yang tidak mampu yang sedang menghadapi
kesulitan di luar maupun di muka pengadilan tanpa imbalan jasa.

Bantuan hukum sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno,
yaitu ketika para filsuf Yunani mendiskusikan beberapa aspek yang
berkaitan dengan Tuhan, alam dan manusia. Pada abad ke-4 SM, bantuan
hukum (legal aid atau legal service) diidentikkan pula dengan para orator.
Mereka diidentikkan dengan dua hal.Pertama, golongan orang yang
memiliki pengetahuan luas berpendidikan dan selalu berjuang bukan
hanyauntuk membela hak-haknya di depan hukum dan kekuasaan. Kedua,
para legal yang membela orang-orang lemah dan miskin untuk
mendapatkan keadilan di depan hukum dan pengadilan.5awal abad ke-20,
bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa
di bidang hukum tanpa suatu imbalan.

Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau


diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun
1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah
hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16
Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga
diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan
kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke
Organisaticen het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan
R.O.129 Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya
Lembaga Advokat sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum
dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu
tersebut. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan
bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena
itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

E. Proses pendampingan perkara pidana dan perdata.

Perkara dapat diartikan sebagai masalah atau persoalan yang


memerlukan penyelesaian Secara teori, perkara dapat dibedakan menjadi 2
macam, yaitu: 1) Perkara yang mengandung sengketa/perselisihan dimana
terdapat kepentingan atau hak yang dituntut oleh pihak yang satu terhadap
pihak lain. Tugas hakim dalam hal ini adalah menyelesaikan sengketa
dengan adil, dimana hakim terbatas mengadili pada apa yang dikemukakan
dan apa yang diminta para pihak untuk menghasilkan putusan hakim. 2)
Perkara yang tidak mengandung sengketanya/perselisihan di dalamnya.
Tugas hakim termasuk “jurisdictio volunteria” yaitu memeriksa perkara
yang tidak bersifat mengadili, tetapi bersifat administratif untuk mengatur
dan menetapkan suatu hal dan menghasilkan penetapan hakim.

Pendampingan dalam perkara Pidana dapat kita bagi dalam 3


tahap: 1. Pendampingan di tingkat penyelidikan dan penyidikan: Proses
hukum yang terjadi pada tingkat penyidikan tidak bisa dipisahkan dengan
institusi penegak hukum yang bernama Kepolisian. 2. Pendampingan di
tingkat Penuntutan. Tahap selanjutnya setelah penyidikan adalah tahap
penuntutan. Pada Tahap penuntutan ini tugas dan kewenangan proses
hukum Tersangka berada di tangan Kejaksaan. 3. Pendampingan di tingkat
Peradilan. Apabila JPU telah melimpahkan berkas perkara pidana ke
Pengadilan yang disertai dengan Surat Dakwaan. Hal-hal yang perlu anda
persiapkan adalah menelaah, mengkaji dan mempelajari surat dakwaan
tersebut secara cermat dan teliti. Pendampingan terhadap korban dapat
memberikan manfaat dalam hal pemulihan trauma psikis yang dialami
korban akibat tindak pidana. Adanya pendampingan hukum dapat
membantu korban memulihkan trauma yang dialaminya sehingga korban
dapat turut serta membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap
tindak pidana yang dialaminya. Pendampingan hukum terhadap korban
tindak pidana juga bermanfaat bagi korban dalam rangka menyelesaikan
kasus tindak pidana yang dialaminya. Pendampingan hukum bagi korban
juga memiliki manfaat dalam hal pengamatan berlangsungnya tahapan-
tahapan dalam proses peradilan pidana. Menurut Pasal 12 A ayat (1) huruf
i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, pihak yang berwenang memberikan pendampingan kepada korban
adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

F. Perbedaan pendampingan perkara pidana dan perdata.

Letak perbedaan dari pendampingan pidana dan perdata terletak pada


tahapan perkara. Tahapan dari perkara pidana ada 3, yaitu pendampingan
di tingkat penyelidikan dan penyidikan, pendampingan di tingkat tuntutan,
serta pendampingan di tingkat peradilan. Sedangkan dalam perkara perdata
juga terdapat 3 tahapan pendampingan, yaitu tahap konsultasi, tahap
pencarian alternatif penyelesaian sengketa, dan proses hukum (litigasi) 1.
Perkara Pidana a. Pendampingan di tingkat penyelidikan dan penyidikan
Dalam tahapan ini hal yang harus dilakukan oleh pendamping hukum
adalah memahami dan mengerti apa saja hak-hak dari tersangka sejak
dilakukan penangkapan, penahanan, dan penyidikan sesuai dengan pasal
50 sampai pasal 68 KUHAP. b. Pendampingan di tingkat penuntutan
Dalam tahapan ini seorang advokat sebagai pendamping hukum haruslah
memeriksa dan mengawal berkas acara dari seorang klien agar sidang
segera digelar dan tidak sampai berlarut-larut. Ada kalanya seorang
advokat mempermasalahkan sah atau tidaknya penahanan oleh jaksa
penuntut umum menggunakan hak peradilan. Cara seperti ini juga
dilakukan oleh seorang advokat agar perkara dari tersangka secepatnya
dilimpahkan ke pengadilan untuk segera diadili. c. Pendampingan di
tingkat peradilan Dalam tahapan ini seorang advokat sebagai pendamping
hukum harus menelaah, mengkaji, dan mempelajari surat dakwaan dengan
teliti dan cermat. Hal yang harus dicermati dan diteliti adalah Apakah surat
dakwaan sudah memenuhi syarat formil dan materil, kewenangan
mengadili, tempat terjadinya peristiwa, waktu terjadinya peristiwa, apakah
perkara tersebut sudah kadaluarsa atau perkara tersebut telah ne bis in
idem Jika surat dakwaan tidak jelas atau tidak lengkap atau surat dakwaan
mengandung kompetensi absolut atau relative, maka hak
tangkisan/keberatan/eksepsi dapat digunakan. Eksepsi tersebut akan
menjadi pertimbangan hakim dalam putusan sela yang berupa eksepsi
diterima dan perkara tidak dapat diteruskan atau eksepsi tidak diterima dan
sidang dilanjutkan. 2. Perkara Perdata a. Tahap Konsultasi Tahap ini
adalah tahapan dimana seorang pendamping hukum harus memberikan
pemahaman terhadap persoalan hukum yang sedang dijalani oleh kliennya.
b. Tahap pencarian alternatif penyelesaian sengketa Beberapa alternatif
penyelesaian sengketa antara lain adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
arbitrase, yang pada intinya adalah musyawarah dalam tradisi masyarakat
kita. Pada tahap awal sebenarnya seorang advokat sudah melalui tahap
pertama dari ADR yaitu konsultasi. Karena ada kalanya hanya dengan
melalui konsultasi permasalahan hukum seorang Klien dapat diselesaikan.
c. Tahap Litigasi Tahap ini harus ditempuh atau terpaksa ditempuh oleh
advokat dan klien apabila tidak suksesnya alternatif penyelesaian sengketa.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Perkara dapat diartikan sebagai masalah atau persoalan yang memerlukan


penyelesaian Secara teori, perkara dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
Perkara yang mengandung sengketa/perselisihan dimana terdapat kepentingan
atau hak yang dituntut oleh pihak yang satu terhadap pihak lain dan Perkara yang
tidak mengandung sengketanya/perselisihan di dalamnya. Menurut Abdulkadir
Muhammad (1990: 26- 28), perbedaan perkara perdata dengan perkara pidana
dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu: Dasar timbulnya perkara, Inisiatif
berperkara, istilah yang digunakan, tugas hakim dalam acara, tentang perdamaian,
tentang sumpah, dan tentang hukuman. Pemberian bantuan hukum bagi golongan
masyarakat yang kurang mampu ditempuh 2 (dua) cara yaitu: Pelaksanaan
Bantuan Hukum melalui Pengadilan Negeri dan Pelaksanaan Bantuan Hukum
melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH). jaminan terhadap bantuan hukum tidak
berkaitan dengan adanya undang-undang bantuan hukum. Ketika yang
dibicarakan adalah bantuan hukum dalam konteks struktural, maka perlu juga
diperhatikan upaya pengembangan kapasitas masyarakat untuk mampu
menyelesaikan sendiri permasalahan hukum yang dihadapinya lewat ketentuan
yang memungkinkan diterapkannya Alternative Dispute Resolution (ADR). Perlu
juga diperhatikan jaminan terhadap hak masyarakat untuk mengembangkan
pengetahuannya dan sikap kritis terhadap setiap produk hukum negara maupun
yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan, dengan adanya ketentuan mengenai
kebebasan mendapatkan informasi, serta berbagai ketentuan lain yang akan
memberi iklim kondusif bagi terselenggaranya bantuan hukum individual maupun
structural.

B. Saran.

Penyusun menyadari kurang sempurnanya tulisan ini, itu semua karena


penyusun juga masih memahami ilmu ini. Oleh karena itu diharapkan para
pembaca dapat memahami karya ini dan menanyakan apa yang belum dipahami
dari makalah ini, agar kita dapat memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi semuanya terutama bagi penyusun sendiri. Amiin
Daftar Pustaka

Adnan Buyung Nasution, Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia dalam Bantuan


Hukum di Indonesia: Akses Masyarakat Marjinal terhadap Keadilan, (Ed.
Gatot dan Virza), (Jakarta: LBH Jakarta, 2007), hal 3-4

Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, cet. 3, Jakarta; Pradnya


Paramita, 1978, hal. 16.

Stephen B. Goldberg, Dispute Resolution, Negoisation, Mediation and Other


Process, (Boston-Toronto-London : Little Brown and Company, 1992), hlm.
10

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta :


Fikahati Aneska dan BANI, 2002), hlm. 15

Laurence Boulle, Mediation : Principles, Process, Practice. Dalam Gatot


Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2006), hlm. 2

R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan , Arbitrase dan Peradilan,


(Bandung : Alumni, 1980), hlm. 1

G. Widiartana, 2014, Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan


Kejahatan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm 85.

Diakses pada pukul 22.13 WIB


http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/view/2608

C.S.T. Kansil, Pengentar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jakarta: Balai
Pustaka, 1989; Undang Undang Nomer 18 tahun 2003 tentang Advokad

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana pasal 56 ayat 1

Anda mungkin juga menyukai