Anda di halaman 1dari 35

PEDOMA

PENANGGULANGAN
HIV/AIDS
RUMAH SAKIT PERMATA KELUARGA
KARAWANG
2022

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

HIV dan AIDS adalah masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari 20 juta
orang meninggal sementara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta yang lebih
memprihatinkan adalah bahwa di seluruh dunia setiap hari virus HIV menular kepada
sekitar 2000 anak di usia 15 tahun, terutama berasal dari penularan ibu-bayi, menewaskan
1400 anak di bawah 15 tahun, dan menginfeksi lebih dari 6000 orang muda dalam usia
produktif antara 15-24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari orang-orang yang hidup
dengan HIV dan AIDS (ODHA). Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di
Indonesia terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang
tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang
hidup dengan HIV/AIDS.
Untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi ini Indonesia telah
menyusun dan melaksanakan Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS melalui dua periode
yang dimuat dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994-2003 dan tahun
2003-2007.
Oleh karena itu perlu adanya program-program pencegahan HIV AIDS yang efektif
dan memiliki jangkauan layanan yang semakin luas seperti, program pengobatan,
perawatan dan dukungan yang komprehensif bagi ODHA untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka TIM HIV AIDS Rumah Sakit
Permata Keluarga Karawang menyusun pedoman pelayanan terkait dengan Pelayanan
HISV AIDS.
1.2 EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI INDONESIA
Penyakit HIV-AIDS hingga kini tetap belum dapat disembuhkan, tercatat oleh WHO
secara kumulatif jumlah kematian akibat AIDS di dunia pada tahun 2006 mencapai lebih
dari 25 juta jiwa. Penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui tiga jalur utama masuknya virus
HIV ke dalam tubuh, yaitu melalui hubungan seksual berisiko, paparan dengan cairan atau
jaringan tubuh yang terinfeksi (misalnya penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan
tranfusi darah), serta dari ibu ke janin atau bayi (perinatal) selama dalam kandungan
melalui placenta, saat persalinan melalui cairan genital dan saat menyusui melalui
pemberian ASI.
Jumlah HIV/AIDS yang tercatat sebenarnya jauh lebih kecil dari prevalensi
sesungguhnya yang dibaratkan sebagai fenomena gunung es. Indonesia termasuk dalam
kategori epidemi dengan tingkat prevalensi HIV yang rendah di dunia, yaitu sekitar 0,2%.
Jumlah kasus baru AIDS di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami
turun naik yaitu pada tahun 2008 sebanyak 4.969 kasus, tahun 2009 sebanyak 3.863 kasus,
tahun 2010 sebanyak 4.158 kasus. Secara kumulatif jumlah HIV positif di Indonesia hingga
Desember 2010 tercatat sebanyak 44.292 kasus dan AIDS sebanyak 24.131 kasus,
diantaranya berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebesar 73,04%, perempuan sebesar
26,58%, dan sisanya tidak diketahui sebesar 0,38%, usia reproduksi aktif (15-49 tahun)
sebesar 62,5%, transmisi perinatal sebesar 2,60%, balita (<4 tahun) sebesar 1,99% dengan
total kematian sebesar 18,81% dari jumlah total 24.131 kasus.
Saat ini perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali
Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru
diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna napza
suntik, hetero dan homoseksual ( WPS, waria ). Sejak tahun 2000, prevalensi HIV mulai
konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), prevalensi HIV menunjukkan tingkat epidemi yang
meluas (generalized epidemic) yaitu lebih besar dari 1% pada masyarakat umum. Hasil
estimasi jumlah ODHA di Indonesia tahun 2011 berkisar 591.823 ODHA. Penularan melalui
heteroseksual menjadi faktor risiko utama (59,8%) diikuti penggunaan jarum suntik (18%)
pada akhir Maret 2013. Menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga Maret 2013,
secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 43.347 kasus dengan infeksi
penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 3.997 kasus (30,9%).
Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS tersebut tidak menunjukkan indikasi
kearah pencapaian target Millennium Development Goals untuk HIV dan AIDS, dimana
akan dicapai pengendalian penyebaran dan mulai penurunan jumlah kasus baru HIV/AIDS
hingga tahun 2015. Jumlah wanita yang terinfeski HIV lebih sedikit dibanding laki-laki
namun demikian penderita HIV/AIDS pada usia reproduksi aktif (15-49 tahun) tinggi.
Kondisi tersebut berpotensi pada penularan HIV melalui ibu ke bayi cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular dari pasangan
sexnya.
Berdasarkan hasil proyeksi dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, diperkirakan
ibu hamil HIV positif sebanyak 5.730 orang pada tahun 2010 akan meningkat menjadi
8.170 orang pada tahun 2014.Lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV, akibat
penularan dari ibu ke bayi. Di negara maju, risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya
sekitar 1-2% karena tersedia layanan optimal pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
Tetapi di negara berkembang atau negara miskin, tanpa adanya akses intervensi, risikonya
antara 25%-45%.5 Bayi HIV positif kemungkinan akan terjadi gangguan tumbuh kembang
karena lebih sering mengalami infeksi bakteri maupun virus, mendapat hukuman sosial
berupa stigmatisasi, diskriminasi dari masyarakat dan tentunya akan kehilangan ibunya.

1.3. TUJUAN
a. Umum :
Meningkatkan mutu layanan di RS Permata Keluarga Karawang berkaitan dengan
Pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit

b. Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di RS Permata
Keluarga Karawang dalam hal pelayanan HIV AIDS di RS Permata Keluarga
Karawang
2. menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru
3. Menurunkan angka kesakitan AIDS di RS Permata Keluarga Karawang
4. menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan
yang berkaitan dengan AIDS
5. meningkatkan kualitas hidup ODHA
6. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA

1.4 RUANG LINGKUP

Program pelayanan HIV/AIDS di Rumah Sakit Permata Keluarga Karawang tentang


kebijakan pelayanan HIV/AIDS dengan kebijakan-kebijakan sebagai berikut :

1. Meningkatkan fungsi pelayanan voluntary counseling and testing (VCT)

2. Meningkatkan pelayanan PITC (PROVIDER INTIATED TESTING AND COUNCELLING)

3. Meningkatkan pelayan PMTCT ( PREVENTION MOTHER TO CHILD TRANSSMISION)

4. Meningkatkan pelayanan infeksi oportunistik (IO)

1.5. SASARAN

Pimpinan, pengambil kebijakan di rumah sakit, petugas kesehatan dan pelaksana


kesehatan lainnya di RS Permata Keluarga Karawang serta rekanan tenaga kesehatan di
fasilitas fasilitas kesehatan serta tenaga non kesehatan yang dibina oleh RS Permata
Keluarga Karawang beserta rekanan.
BAB II
PENGENALAN PENYAKIT HIV AIDS

2.1 DEFINISI HIV AIDS.


HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang termasuk
kelompok keluarga retrovirus dan dapat menyebabkan penyakit AIDS. Banyak ODHA tetap
asimptomatik (tanpa tanda dan gejala darisuatu penyakit) untuk jangka waktu panjang dan
tidak mengetahui bahwa dirinya terinfeksi. Meskipun demikian, mereka dapat menulari
orang lain. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup.

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya
tidak diturunkan tetapi ditularkan dari satu ke orang lainnya; Immune adalah sistem daya
tahan tubuh atau kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau
kurang; dan Syndrome adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. Acquired Immune
Deficiency Syndrome adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. AIDS merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus)

2.2 SEJARAH HIV AIDS


Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun
1978. Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-kasus Sarkoma Kaposi dan
penyakit penyakit infeksi yang jarang terjadi di Eropa, penyakit ini menyerang orang-orang
Afrika yang bermukim di Eropa. Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa
kasus-kasus tersebut adalah AIDS.
Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan oleh
Gotlieb dan kawan-kawan di Los Angeles pada tahun 1981. Dalam tahun yang sama yaitu
pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan adanya kasus Sarkoma Kapusi dan penyakit
infeksi yang jarang terjadi di kalangan homoseksual. Hal ini menimbulkan dugaan yang
kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual.
Pada tahun 1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk
pertamakali membuat defenisi kasus AIDS. Sejak tahun 1982 dilakukan surveilans terhadap
kasus-kasus AIDS.
Pada tahun 1982 –1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan
seksual, yaitu melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh para
penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Pada tahun ini juga Luc Montagnier dari
Pasteur Institute, Paris Institute menemukan bahwa penyebab kelainan ini adalah LAV
(Lymphadenopathy Associated Virus).
Pada tahun 1984 diketahui adanya transmisi heteroseksual di Afrika dan pada
tahun yang sama diketahui bahwa HIV menyerang sel limfosit T penolong. Pada tahun itu
juga Gallo dkk dari National Institute of Health, Bethesda, Amerika Serikat menemukan
HTLV III (Human T Cell Lymphotropic Virus Type III) sebagai penyebabkan kelainan ini. Pada
tahun 1985 ditemukan antigen untuk melakukan tes Elisa, pada tahun itu juga diketahui
bahwa HIV juga menyerang sel otak.
Pada tahun 1986 International Committee on Taxonomy of Virus memutuskan
nama penyebab penyakit AIDS adalah HIV sebagai pengganti LAV dan HLTV. AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) atau SIDA (Syndrom Imuno DeficiencyAkuisita) adalah
sebuah penyakit yang dengan cepat menyebar keseluruhan dunia (pandemi). Di Indonesia
pertama kali mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan April tahun 1987, pada seorang
warga negara Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah Bali akibat infeksi sekunder pada
paru-paru, sampai pada tahun 1990 penyakit ini masih belum mengkhawatirkan, namun
sejak awal tahun 1991telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali
lipat (doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami peningkatan kasus secara
ekponensial.

2.3 PERJALANAN ALAMIAH HIV


Secara umum tahapan perjalanan alamiah infeksi HIV sebagai berikut:
Sindroma retroviral akut terjadi 2 – 3 minggu setelah terinfeksi virus, berupa demam, sakit
kepala, ruam, diare dll (flu-like syndrome) pada sekitar 30-50% pasien, yang berlangsung
selama 2 – 3 minggu.
Dalam waktu 4-12 minggu akan terjadi pembentukan antibodi HIV (serokonversi),
periode ini yang disebut sebagai masa jendela (window period). Kemudian pasien akan
mengalami infeksi HIV kronik asimptomatik (periode laten) selama rata-rata 5-10 tahun
sebelum akhirnya menjadi simptomatik akibat terjadinya infeksi oportunistik yang menuju
ke arah AIDS (Aquired Immune DeficiencySyndrome) .
Infeksi HIV simptomatik (AIDS) akan berlangsung selama rata rata 2 tahun,
kemudian akan meninggal dunia. HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan
tubuh. Sebagian besar orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun setelah
AIDS muncul, bila tidak diberi pengobatan dan perawatan yang memadai.
Human Immunodeficiency Virus akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuk virus sampai terbentuknya
antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 4-12
minggu. Masa ini disebut sebagai masa jendela (window period). Selama masa jendela,
pasien sangat infeksius, mudah menularkan HIV kepada orang lain, meskipun hasil
pemeriksaan laboratorium antibodi masih negatif.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala untuk jangka waktu yang cukup
lama bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang ini sangat mudah menularkan infeksinya
kepada orang lain dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan antibodi HIV. Kemudian virus
memperbanyak diri secara cepat (replikasi) dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4
dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah sindroma penurunan daya tahan tubuh yang
progresif (progressive immunodeficiency syndrome).
Progresivitas tergantung beberapa faktor seperti usia (sangat cepat pada usia
kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun), infeksi lainnya dan adanya faktor genetik
(herediter).

2.4 CARA PENULARAN


Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual, darah, penularan dari ibu ke anak
selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI. Human Immunodeficiency Virus
tidak ditularkan dari orang ke orang lain melalui bersalaman, berpelukan, bersentuhan
atau berciuman. Tidak ada bukti bahwa HIV dapat ditularkan melalui penggunaan toilet,
kolam renang, alat makan atau minum secara bersama atau gigitan serangga seperti
nyamuk.
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah cara yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama kontak
seksual dengan penetrasi vaginal, anal, oral seksual antara dua individu. Risiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tidak menggunakan alat pelindung bagi yang
terinfeksi HIV.
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak dilakukan pemeriksaan
antibodi HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntik atau penggunaan alat medis
lainnya. Kejadian diatas dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan.
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya selama dalam kandungan,
saat persalinan dan saat menyusui. Risiko penularan dari ibu ke anak tanpa intervensi
program sangat bervariasi diantara negara dan umumnya diperkirakan antara 25-40% di
negara berkembang dan < 2% di Eropa dan Amerika Utara. Pada umumnya risiko terbesar
terjadi pada saat persalinan.
Infeksi Menular Seksual (IMS) diketahui mempermudah penularan HIV yang
selanjutnya dapat berkembang menjadi AIDS dengan tingkat kematian yang tinggi. Infeksi
menular seksual juga merupakan petunjuk tentang terdapatnya perilaku seksual berisiko
tinggi. Secara umum, IMS dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui hubungan
seksual sebanyak 3 - 5 kali lebih besar. Oleh karena itu, jika dijumpai pasien TB dengan
gejala IMS harus segera dirujuk ke layanan IMS. Infeksi Menular Seksual yang paling sering
dijumpai adalah herpes genitalis, HIV dan sifilis, gonore dan klamidia.

2.5 KELOMPOK BERISIKO


Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko pada kelompok masyarakat.
Berdasarkan perilaku dan potensi tertular HIV, masyarakat dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Kelompok tertular (infected people) adalah mereka yang sudah terinfeksi HIV.
b. Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people) adalah mereka
yang berperilaku sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam kelompok ini termasuk
penjaja seks baik perempuan, laki-laki dan waria serta pelanggannya, pengguna
napza suntik (penasun). Narapidana termasuk dalam kelompok ini.
c. Kelompok rentan (vulnerable people) adalah kelompok masyarakat yang karena
lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga yang
rendah dan status kesehatan yang labil sehingga rentan terhadap penularan HIV.
Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang dengan mobilitas tinggi baik sipil
maupun militer, perempuan, remaja, anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima
transfusi darah dan petugas pelayanan kesehatan.
d. Masyarakat Umum (general population) adalah mereka yang tidak termasuk dalam
ketiga kelompok yang telah disebutkan di atas.
BAB III
PROGRAM PELAYANAN HIV AIDS

3.1 PELAYANAN HIV DAN AIDS

Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan promotif, preventif,


diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan,
angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar wabah tidak
meluas ke daerah lain serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya.
Penanggulangan perlu memperhatikan mekanisme mendasar yang menjadi
penyebab munculnya masalah HIV/AIDS tersebut. Selanjutnya, dilakukan berbagai langkah
edukasi dan promosi kesehatan pada seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok
yang berisiko sangat tinggi. Selain itu, juga perlu dilakukan langkah langkah diagnosis dan
pencarian infeksi oportunistik dan resiko resiko tinggi lainnya yang berdanpingan dengan
AIDS, pengobatan, profilaksis sesuai indikasi dan rehabilitasi terhadap para penderita HIV
AIDS.
Penanggulangan tersebut tentunya tidak hanya dilakukan di fasilitas kesehatan
saja, namun juga dilanjutkan dirumah dan di masyrakat. Dan harus dilakukan melalui kerja
sama berbagai sektor serta keterlibatan pemerintah, partisipasi aktif dari masyarakat.

3.2 Rumah Sakit dan PKM Rujukan

1. RSUD Karawang

2. RS Paru Karawang

3. PKM dengklok
4. PKM cilamaya

5. PKM ciampel

6. PKM lemah abang

7. PKM kutawaluyo

8. PKM cikampek

9. PKM pedes

BAB IV
PENATALAKSANAAN PELAYANAN HIV AIDS

4.1 pemeriksaan diagnosis HIV AIDS


Prinsip Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan berdasarkan
1. Prinsip konfidensial sebagaimana dimaksud berarti hasil pemeriksaan harus
dirahasiakan dan hanya dapat dibuka kepada :
a. yang bersangkutan
b. tenaga kesehatan yang menangani
c. keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap;
d. pasangan seksual
e. pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pemeriksaan diagnosis HIV sebagaimana dimaksud harus dengan persetujuan pasien.


Dikecualikan dalam hal
- penugasan tertentu dalam kedinasan tentara/polisi
- keadaan gawat darurat medis untuk tujuan pengobatan pada pasien yang secara
klinis telah menunjukan gejala yang mengarah kepada AIDS
- permintaan pihak yang berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3. Registrasi.
Setiap orang yang terinfeksi HIV wajib diregistrasi secara nasional meliputi pencatatan
yang memuat nomor kode fasilitas pelayanan kesehatan, nomor urut ditemukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dan stadium klinis saat pertama kali ditegakkan
diagnosisnya dan ini semua harus dijaga kerahasiannya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

4. Pencatatan dan pelaporan

Fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan pencatatan perawatan, tindak lanjut


perawatan pasien HIV dan pemberian ARV serta mendokumentasikannya dalam
rekam medik

Fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan pelaporan kasus HIV setiap bulan, kasus
AIDS dan pengobatannya kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. Dinas kesehatan
kabupaten/kota melakukan kompilasi pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dan melakukan analisis untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta
melaporkannya ke dinas kesehatan provinsi. Dinas kesehatan provinsi melakukan
kompilasi pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan melakukan analisis
untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta melaporkannya ke Menteri.

Jenis cara pemeriksaan tes HIV :

- Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
yang terlatih. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
sebagaimana dimaksud, bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.
- Tes HIV sebagaimana dimaksud dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT)
atau EIA (Enzyme Immuno Assay).
- Setiap bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus dilakukan tes virologi
HIV (DNA/RNA) dimulai pada usia 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan) minggu
atau tes serologi HIV pada usia 18 (delapan belas) bulan ke atas.
Pemeriksaan penunjang Tes untuk mendiagnosa infeksi HIV , yaitu :
a. Rapid HIV
b. CD4

Tes untuk mendeteksi gangguan system imun yaitu :

a. Hematokrit
b. LED
c. Rasio CD4 / CD Limposit
d. Serum mikroglobulin B2
e. Hemoglobin
A. Pelayanan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmision)
PMTCT merupakan suatu tindakan penanggulangan pencegahan AIDS di RS dari ibu
hamil dengan HIV positif ke bayi yang dikandungnya. Prosedur pelaksanaan PMTCT
adalah alur pelayanan yang wajib dilalui oleh ibu hamil sebelum dan sesudah tes HIV
dengan VCT/PITC.

B. Pelayanan Infeksi Oportunistik (IO)


Infeksi Oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh
dimana pada orang normal infeksi ini terkendali. Pelayanan IO adalah untuk memberikan
terapi yang sesuai dengan jenis infeksi oportunistik pada ODHA

C. Pelayanan PITC (Provider Initiated Testing and Councelling) / TIPK


Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling yang selanjutnya
disingkat TIPK adalah tes HIV dan konseling yang dilakukan kepada seseorang untuk
kepentingan kesehatan dan pengobatan berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayanan
kesehatan.
Tes HIV pada TIPK tidak dilakukan dalam hal pasien menolak secara tertulis. Dilakukan
dengan langkah-langkah meliputi:
1. pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes pengambilan darah untuk
tes
2. penyampaian hasil tes
3. konseling
TIPK harus dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan bagi:

a. setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut
diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberculosis
dan IMS
b. asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
c.bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV
d. anak-anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah epidemi luas,
atau anak dengan malnutrisi yang tidakmenunjukan respon yang baik dengan
pengobatan nutrisi yangadekuat
e. laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV
f. Pada wilayah epidemi meluas, TIPK harus dianjurkan pada semua orang yang berkunjung
ke fasilitas pelayanan kesehatan sebagai bagian dari standar pelayanan
g.Pada wilayah epidemi terkonsentrasi dan epidemi rendah, TIPK dilakukan pada semua
orang dewasa, remaja dan anak yang memperlihatkan tanda dan gejala yang
mengindikasikan infeksi HIV, termasuk tuberkulosis, serta anak dengan riwayat terpapar
HIV pada masa perinatal, pada pemerkosaan dan kekerasan seksual lain.

D. KTS / VCT (Voluntary Counseling and Testing)

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing
(VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Konseling dalam VCT adalah kegiatan
konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS,
mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab,
pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.
Status VCT

Pusat Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela terintegrasi di RS Permata Keluarga


Karawang yang akan berjalan dalam memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan Konseling dan Testing HIV/AIDS, layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS
Tahapan pelayanan VCT :

1. Penerimaan klien :
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus)
sehingga nama tidak ditanyakan
b. Pastikan klien datang tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
c. Jelaskan tentang prosedur VCT .
d. Buat catatan rekam medik klien dan pastikan setiap klien mempunyai nomor
kodenya sendiri.
 Kartu periksa Konseling dan Testing
 Klien mempunyai kartu dengan nomor kode.
 Data ditulis oleh konselor. Untuk meminimalkan kesalahan, kode harus
diperiksa ulang oleh konselor dan perawat/pengambil darah.

2. Konseling pra testing HIV/AIDS di poli rawat jalan


a. Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir.
b. Perkenalan dan arahan
c. Membangun kepercayaan kilen pada konselor yang merupakan dasar utama
bagi terjaganya kerahasiaan sehingga terjalin hibungan baik dan terbin sekap
saling memahami.
d. Alasan kunjungan dan klarisifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV/AIDS
e. Penilaian risko untuk membantu klien mengetahui factor resiko dan
menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah
f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV
dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV
g. Di dalam konseing pra testing seorang konselor VCT harus dapat membuat
keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian resiko dan merespon
kebutuhan emosi klien.
h. Konselor VCT melakukan penilaian sistem dukunagn
i. Klien memberikan persetujuan tertulisnya (Informed Consent) sebelum
dilakukannya testing HIV/AIDS.
Konseling Pra testing HIV/AIDS dalam keadaan khusus atau sedang dirawat inap di
Rumah Sakit Permata Keluarga Karawang

a. Dalam keadaan klien sedang dalam rawat inap maka konseling dapat dilakukan
di ruangan pasien dirawat oleh konselor disamping tempat tidur atau dengan
memindahkan tempat tidur klien ke ruang yang nyaman dan terjaga
kerahasiaanya
b. Dalam keadaan klien tidak stabil maka VCT dapat dilakukan langsung kepada
klien dengan prinsip Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) yaitu
suatu tes HIV dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada
pasien
sebagai bagian dari standar pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk
membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang
tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV pasien.
3. Informed Concent
a. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan
tertulisnya.
b. Informed Consent pada anak yaitu orangtua dapat memberikan persetujuan
konseling dan testing HIV/AIDS untuk anaknya

4. Testing HIV dalam VCT


Testing dimaksud untuk menegakkan diagnose. Terdapat serangkaian testing yang
berbeda-beda karena perbedaan prinsip metoda yang di gunakan. Testing yang
digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibody HIV dalam serum
atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang di ambil secara intravena, plasma
atau serumnya. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan
klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama.

Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis,


pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian.

5. Konseling Pasca Testing


Konseling pasca testing membantu klien memahami dan menyesuaikan diri
dengan hasil testing. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil
testing, memberikan hasil testing, memberikan hasil testing, dan menyediakan
informasi selanjutnya. Konselor mengajak klien mendiskusikan strategi untuk
menurunkan penularan HIV.

Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing.


a. Periksa ulang seluruh hasil klien dalam catatan medic. Lakukan hal ini sebelum
bertemu klien, untuk memastikan kebenarannya.
b. Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka.
c. Berhati-hatilah dalam memanggail klien dari ruang tunggu
d. Seorang konselor tak diperkenankan memberikan hasil pada klien atau lainnya
secara verbal dan non verbal selagi berada di uang tunggu
e. Hasil testing tertulis.
Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing
a. Pedoman penyampaian hasil testing negative
 Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
 Buatlah ikhtisar dan gali lebih lanjut untuk seks aman, pemberian
makanan bayi
dan penggunaan jarum suntik yang aman serta edukasi lain terkait
pencegahan
kontaminasi sesuai kebutuhan klien.
 Periksa kembali reaksi emosi yang ada
 Buatlah rencana lebih lanjut

b. Pedoman penyampaian hasil testing positif


 Perhatian komunikasi non verbal saat menggali klien memasuki ruang
konseling
 Pastikan klien siap menerima hasil .
 Tekanan kerahasiaan .
 Lakukan secara jelas dan langsung .
 Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang hasil
 Selanjutnya :
a. Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil testing .
b. Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan .
c. Galilah ekspresi dan ventilasikan emosi .
d. Terangkan secara ringkas tentang : Tersedianya fasilitas untuk tindak
lanjut dan dukungan, 24 jam pendampingan, dukungan informasi verbal
dengan informasi tertulis, rencana nyata, adanya dukungan dan orang
terdekat, Apa yang akan dilakukan klien dalam 48 jam, strategi
mekanisme penyesuaian diri, tanyakan apakah klien masih ingin
bertanya, beri kesempatan klien untuk mengajukan pertanyaan
dikemudian hari, rencanakan tindak lanjut atau rujukan jika diperlukan.

4.2 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP)


HIV merupakan penyakit yang kronik yang akan disandang selama hidup ODHA.
Seperti halnya penyakit kronik yang lain maka HIV memerlukan perawatan dan
pemantauan status kesehatannya secara terus menerus secara
berkesinambungan, seperti halnya perawatan untuk penyakit kronik yang lain.

1. Definisi perawatan berkesinambungan


Perawatan komprehensif berkesinambungan adalah perawatan yang dilakukan
secara holistik dan terus menerus sejak dari rumah hingga ke rumah sakit (RS) dan
sebaliknya melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki dan memelihara
kualitas hidup ODHA dan keluarganya.
Perawatan komprehensi meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan
pendukung lainnya seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit,
perawatan penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik,
psikologi, sosial dan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif.

2. Komponen perawatan berkesinambungan


a. Konseling dan tes HIV secara sukarela untuk memudahkan pasien masuk ke
dalam keperawatan komprehensif berkesinambungan.
b. Manajemen gejala klinis melalui diagnosis secara dini dan pengobatan secara
tepat serta dukungan lainnya.
c. Asuhan keperawatan untuk menghilangkan ketidaknyamanan fisis yang sakit,
hygiene, peningkatan pengendalian infeksi, perawatan paliatif dan
terminal,pelatihan untuk keluarga di rumah, pendidikan pencegahan dan
promosi kondom.
d. Perawatan di rumah dan masyarakat, meliputi pelatihan keluarga dan tenaga
sukarela dalam peningkatan kesehatan, pengobatan gejala umum dan
perawatan paliatif.
e. Promosi nutrisi yang baik
f. dukungan psikogis dan emosional, spiritual dan konseling.
g. Membentuk kelompok pendukung di masyarakat untuk memberikan dukungan
emosi pada ODHA dan keluarganya.
h. Eliminasi stigma HIV/AIDS dan mengembangkan sikap positif dalam masyarakat
bagi ODHA dan keluarganya.
i. Pendidikan keperawatan dalam HIV/AIDS bagi pemberi asuhan
HIV/AIDS,anggota keluarga, tetangga dan tenaga sukarela/volunteer.
j. Membangun kemitraan diantara pemberi pelayanan (klinik, sosial, kelompok
pendukung) agar rujukan dapat dilakukan secara baik.

3. Tempat dan sarana perawatan berkesinambungan


Rumah Perawatan rumah adalah perawatan kepada orang sakit di rumah mereka
sendiri. Perawatan ini melibatkan orang mereka sendiri atau keluarga, saudara,
tetangga, perawat, bidan, pekerja kesehatan dan pekerja sosial lain. Perawatan
diberikan seperti perawatan fisik, psikososial, spiritual dan paliatif.

Komunitas perawatan komunitas adalah perawatan yang diberikan oleh


komunitas.Perawatan ini dapat diberikan oleh perawat, bidan, petugas kesehatan
masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM dan lain lain

Puskesmas Perawatan untuk ODHA di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes)


dasar.
Rumah Sakit Pelayanan bagi ODHA yang diberikan di RS oleh dokter, perawat,
konselor, pekerja sosial dan pelayanan pendidikan.

4. Manfaat Perawatan berkesinambungan untuk perawatan HIV/AIDS


Bila perawatan komprehensif dan berkesinambungan berhasil dibangun akan
memberikan banyak keuntungan untuk ODHA antara lain:

 Mengurangi beban perawatan pada keluarga.


 Memperbaiki kualitas hidup ODHA.
 Mengurangi stigma dan diskriminasi.
4.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama
kehamilan, pada saat persalinan, dan selama menyusui.

Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila:
1. Terdeteksi dini
Dimana dianjurkan sebagai bagian dari kan pemeriksaan laboratorium rutin saat
pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada:
- semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan
terkonsentrasi
- ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis di daerah
epidemi rendah
2. Terkendali (ibu melakukan prilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV profilaksis
secara teratur, ibu melakukan ANC secara teratur, petugas kesehatan menerapkan
pencegahan infeksi sesuai Kewadaan Standar).
3. Penatalaksanaan persalinan yang aman.
4. Pemberian ASI dan makanan bayi yang aman dan sesuai
5. Pemantauan ketat tumbung-kembang bayi dan balita dari ibu dengan HIV.
6. Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan
keluarganya.

Menurut WHO ada 4 program yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya
penularan HIV dari ibu ke anak, meliputi.

A. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.


Memberikan pengertian dan penjelasan kepada perempuan dalam usia reproduksi
mengenai:
1. Setiap perempuan dalam usia reproduksi menghindari perilaku berisiko terkena HIV
dan IMS dan pasangan yang mempunyai pasangan yang beresiko.
2. Jangan berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi atau saiapapun tanpa
mengetahui status HIV .
3. Setiap perempuan dalam usia reproduksi untuk tidak menggunakan alat suntik
tidak steril.

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan primer antara lain:
1. Sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilakukan pada usia dini mengenai kesehatan
reproduksi, HIV/AIDS dan napza disesuaikan dengan tingkat umur.
2. Informasi dan pendidikan kesehatan umum.
3. Tes HIV dan konseling.
4. Tes rutin bagi yang pernah melakukan kegiatan berisiko.
5. Konseling pasangan dan tes kepada pasangan.
6. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
7. Menunda kegiatan seksual.
8. Komunikasi perubahan perilaku untuk menghindari perilaku risiko tinggi.
B. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan kehamilan yang
tidak direncanakan pada ibu dengan HIV:
1. Menyediakan konseling dan layanan perencanaan keluarga untuk meyakinkan
perempuan dengan HIV membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar.
2. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
3. Memberikan informasi alat kontrasepsi yang dianjurkan.
4. Mengatur kehamilan bagi odha dan pasanganya.
Pembelian alat kontrasepsi yang aman dan efketif serta konseling yag bekualitas akan
membantu ODHA dalam melakukan seks yang aman, mempertimbangkan jumlah
anak yang dilahirkanya, serta menghindari lahirnya anak yang terinfeksi HIV.

Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan dengan HIV adalah kondom,
karena bersifat proteksi ganda. Jenis kontrasepsi lainya (kontrasepsi hormonal jangka
panjang (pil, suntik dan implan) bukan kontraindikasi bagi ODHA. Namun, interaksi
obat ARV dengan kontrasepsi hormonal (terutama yang menggandung estrogen) perlu
diperhatikan.

Menurut panduan WHO tahun 2004 perempuan dengan HIV umumnya dapat
menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dengan beberapa kondisi khusus,
yaitu:
 Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV tanpa gejala-gejala
AIDS.
 Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV yang meminum ARV
dan secara klinis baik.
 Jika seorang pengguna AKDR terinfeksi HIV atau jika pengguna AKDR dengan HIV
kemudian menderita AIDS, AKDR tidak harus dicabut. Namun, perempuan tersebut
harus dipantau kemungkinan terkena PID.

Pasca persalinan perlu konseling ulang mengenai pertimbangan jumlah anak yang akan
dilahirkannya. Jika ibu dengan HIV tetap ingin memiliki anak, dianjurkan jarak antar
kelahiran minimal 2 tahun.
C. Mencegah terjadinya penularan dari ibu dengan HIV kepada bayi (profilaksis, tes)
Bentuk intervensi berupa:
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT) maupun konseling singkat dari
petugas kesehatan
c. Pemberian obat anti retroviral(ARV)
d. Persalinan yang aman
e. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi

D. Memberikan dukungan psiokologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV,
beserta bayi dan kerluarganya
Upaya PMTCT tidak berhenti setelah ibu melahirkan, karena ibu tersebut terus
menjalani hidup dengan HIV di tubuhya, maka dukungan psikologis, sosial dan
perawatan sepanjang waktu tetap dibutuhkan. Jika bayi dari ibu tersebut tidak
terinfeksi HIV, masa depanya tetap perlu dipikirkan, karena adanya kemungkinan
orang tua bayi meninggal dunia. Sedangkan bila bayi terinfeksi HIV, pengobatan ARV
diperlukan seperti odha lainya.
Dengan dukungan prikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupanya, sehingg ia akan betindak bijak dan positif untuk
senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar tidak
terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.

Penatalaksanaan Obstetri
Untuk mencegah penularan HIV ke anak, beberapa hal perlu diperhatikan.
a. Upaya menurunkan kadar viral load serendah – rendahnya dengan:
- Deteksi dini
- ARV (Anti Retroviral)
- Pola hidup sehat .
b. Pemilihan metode kelahiran tergantung:
- Viral Load
- Kesiapan sarana kesehatan: kewaspadaan universal, saran dan prasarana, SDM
medis dan non medis.
- Status obstetrik
Penelitian meta-analisis 15 studi kohort prospektif tahun 1999 yang melibatkan 7800
pasangan ibu-bayi menunjukan, bahwa seksiko sesarea terjadwal atau elektif, yaitu seksio
sesarea yang dilakukan sebelum onset persalinan dan/atau pecah ketuban, dikaitkan
dengan berkurangnya penularan dari ibu ke anak sekitar 55-80% tanpa profilaksis ARV dan
dengan ZDV saja. Penelitian lain tahun 2004 yang melibatkan 2900 kehamilan
mendaptkan, bahwa terapi ARB kombinasi dikaitkan dengan kejadian penularan yang
sangat rendah dan dengan viral load <1000 kopi/ml, angka penularan dari ibu ke anak
secara bermakna lebih rendah dengan ARV kombinasi dibanding dengan ARV tunggal (0,6%
vs 2,2%) tetapi tidak berbeda dengan cara persalinan. Data observasional dari 4500
perempuan pada European collaborative study menemukan diantara perempuan dengan
viral load yang tidak terdeteksi, seksio sesarea elektif tidak menunjukan keuntungan
tambahan dalam menurunkan penularan.
Seksio sesarea elektif sebaiknya dilakukan pada kehamilan 38 minggu, berdasarkan
pemeriksaan klinis dan USG, untuk meminimalkan risiko timbulnya persalinan atau pecah
ketuban sebelum prosedur seksio sesarea. Perempuan yang direncanakan seksio sesarea
tetapi datang dengan tanda-tanda persalinan atau pecah ketuban dini sebaiknya
dikonseling dan dikelola sesuai dengan kadar viral load terakhir, terapi ARV, dan perkiraan
lama persalinan (dilatasi serviks, pendaratan seviks, dan lamanya pecah ketuban).
Seksio sesarea setelah pecah ketuban ≥4 jam kurang memberikan keuntungan
dalam menurunkan risiko penularan dari ibu ke anak.
Penentuan cara persalinan memerlukan konseling keuntungan dan kerugian cara
persalinan pervaginam atau seksio sesarea, termasuk mobiditas dan mortalitas maternal,
serta besaran resiko penularan bayi. Persalinan pervaginam dimungkinkan, bila:
1. Ada persetujuan tindakan medis dengan informasi yang sejelas-jelasnya (informend
consent)
2. Viral load tidak terdeteksi (HIV-RNA <1000 kopi/ml)dan/atau meminum ARV secara
teratus sesuai prosedur minimal 4 minggu.

Pemberian Makanan Bayi


Di negara-negara maju pengaruh sinergis ARV pada ibu dan bayi, seksio sesarea,
dan tidak menyusui memberikan hasil penurunan angka penularan hingga <2%. Pada era
HAART High Active Antiretroviral Therapy), angka penularan bisa lebih rendah lagi <1%
kemungkinan karena efek HAART yang kuat pada viral load.

Rekomendasi-rekomendasi dalam hal memberi makan bayi bagi ibu dengan HIV
a. Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi, karena komposisinya
yang lengkap dan ideal bukan hanya bagi pertumbuhan serta perkembangan otak
yang optimal, tetapi juga untuk perlindungan dari sebagai penyakit.
b. Pada ibu dengan HIV dan AIDS , maka terdapat risiko transmisi HIV melalui ASI (5-
20%).
c. Pada ODHA tidak dianjurkan untuk memberikan ASI, bila pemberian susu formula
memenuhi syarat AFASS, yaitu:
 Acceptable (dapat diterima), artinya tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu
untuk memberikan susu formula pada bayinya.
 Feasible (layak), artinya ibu dan keluarga punya waktu pengetauan, dan
keterampilan memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula
kepada bayi.
 Affodarble (terjangkau) artinya ibu dan keluarga mampu membeli susu formula,
tersedia air bersih, bahan bakar untuk memasak dan perlengkapan lain yang
dieperlukan untuk menyapkan susu formula yang memenuhi syarat.
 Sustainable (berkelanjutan) artinya susu formula dijamin dapat diberikan setiap
hari, siang dan malam selama usia bayi belum mencapai 6 bulan dan diberikan
dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin
keberadaanya hingga bayi berusia setidaknya 6 bulan.
 Save (aman), artinya susu formula harus disimpan secara higienis, tidak
terkontaminasi, saat penyiapanya tersedia air bersih dan takaranya dapat
mencukupi kebutuhan gizi bayi, disuapan dengan tangan dengan peraltan
bersih, serta tidak berdampak peningkatkan penggunaan susu formula pada
masyarakat, khususnya para ibu menyusui.
d. Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan kepada ibu dengan HIV
untuk menyusui ekslusif selama 6 bulan
e. Bila ibu memilih untuk menyusui ekslusif maka ibu harus mendapat ART.
f. Bila ibu memilih menyusui ekslusif, hentikan pemberian ASI sesegera mungkin
apabila syarat AFASS sudah terpenuhi dan beralih ke susu formula.
g. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian ASI bersama dengan susu
formula ataupun makanan/minuman lain), karenan memiliki risiko penularan HIV
pada bayi yang tertinggi. Hal ini disebabkan pemberian susu formula yang
merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus yang
mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah bayi.
h. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu, setelah mendapat informasi dan
konseling secara lengkap, harus didukung oleh semua pihak.

Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV
a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible,
acceptable, sustainable, safe).
b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI
ekslusif yang jangka pemberianya singkta atau alternatif ASI lainya, yaitu:
 Pasteusasi/memanaskan ASI perah.
 Mencari ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah
dibuktikan HIV negatif.
c. Bila ibu memilih menyusui bayi, ibu harus memahami teknik menyusui yang benar
untuk menhindarkan peradangan payudara (mastitis) dan lecet pada puting yang
dapat mempertinggi risiko bayi tertular HIV.

4.4 Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS)


Program pencegahan HIV melalui transmisi seksual masih belum optimal.
Penggunaan kondom pada perilaku seksual berisiko masih rendah, kejadian infeksi
menular seksual juga tinggi. Akibatnya, banyak perempuan yang monogami dan bukan
pengguna narkoba suntik, tertular HIV dan selanjutnya berisiko menularkan HIV kepada
bayi yang dilahirkannya.
Situasi ini membutuhkan pendekatan yang penuh dengan inovasi baru.
Pendekatan program tidak hanya menjangkau pekerja seks perempuan tetapi juga
menyasar kepada kelompok berisiko lainnya, termasuk waria, laki-laki yang seks dengan
laki-laki (LSL) dan laki-laki berisiko tinggi (LBT) sebagai pembeli seks.

4 Elemen Kunci PMTS Komprehensif


Komponen 1. Peningkatan Peran Pemangku Kepentingan
Pemangku kepentingan adalah segenap pihak, baik secara perorangan maupun
organisasi (instansi pemerintah, swasta, organisasi komunitas) yang memiliki peran
strategis dalam penanggulangan HIV dan AIDS di suatu wilayah program. Tujuan
komponen ini adalah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan
pemakaian kondom
dan penurunan prevalensi IMS dan HIV bagi LBT, WPS, LSL dan waria secara
berkesinambungan baik ditempat kerja maupun di hotspot.

Komponen 2. Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)


KPP adalah berbagai macam kegiatan komunikasi yang direncanakandan dilakukan
secara sistematis untuk memenuhi kebutuhan populasi kunci agar selalu berperilaku aman.
KPP fokus pada pola pikir, nilai-nilai yang dianut dan perilaku. KPP dilakukan melalui proses
interaktif yang melibatkan populasi kunci dalam hal ini adalah LBT, WPS, LSL dan waria
untuk mempromosikan, mengembangkan dan memelihara perilaku aman.Tujuan KPP
adalah mengubah perilaku populasi kunci secara kolektif baik tingkat individu, kelompok
dan komunitas sehingga kerentanan populasi kunci terhadap HIV akan berkurang.
Komponen 3. Manajemen Pasokan Kondom dan Pelicin
Tujuan komponen ini adalah untuk menjamin ketersediaan dan akses kondom dan
pelicin bagi populasi kunci LBT, WPS, LSL dan waria dalam jumlah yang cukup. Penyediaan
kondom baik kondom subsidi maupun kondom mandiri bagi LBT, WPS, LSL dan waria akan
difasilitasi oleh KPA.
Komponen 4: Penatalaksanaan IMS dan HIV
Dampak dari KPP pada populasi LBT, WPS, LSL dan waria adalah kemandirian
populasi tersebut untuk mencari layanan kesehatan yang menyediakan layanan
pemeriksaan dan pengobatan IMS dan layanan tes HIVsesuai kebutuhan populasi kunci.

Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi dilakukan secara periodik/sesuai kebutuhan. Monitoring dan
evaluasi menggunakan tools program, dengan menggunakan penilaian mandiri PMTS dan
atau menggunakan tools monitoring kualitas program PMTS
4.5 Pencegahan HIV Melalui hubungan non seksual
I. ditujukan bagi orang yang belum menikah dimana untuk mencegha penularan HIV
melalui darah, dengan cara :
1. uji saring darah pendonor sesuai dengan peraturan Undang undang.
Termasuk didalamnya tes HIV pada darah pendonor, produk darah dan organ
tubuh
- tindakan pengamanan darah dilakukan melalui
i. uji saring darah pendonor
sebelum dilakukan pengambilan darah pendonor, diberikan informasi
mengenai hasil pemeriksaan uji saring darah dan permintaan persetujuan
uji saring (berisi pernyataan persetujuan pemusnahan darah dan
persetujuan untuk dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila hasil
uji saring darah reaktif.)

ii. konseling pasca uji saring darah.


berisi anjuran kepada pendonor yang bersangkutan untuk tidak
mendonorkan darahnya kembali dan merujuk pendonor ke fasilitas
pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan Tes dan Konseling
HIV

2. Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai
tubuh dengan penggunaan peralatan steril dan mematuhi standar prosedur
operasional serta memperhatikan kewaspadaan umum
3. pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik sebagaimana
dimaksud meliputi
-program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta
dukungan psikososial
-mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiate menjalani
program terapi rumatan
-mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan
penularan seksual
-layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis

4.6 Pelayanan Obat Obatan Anti Retroviral (ARV)


3 MACAM tujuan pengobatan pada HIV AIDS
1. Terapeutik
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak pengobatan dan
perawatan ODHA. Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak mampu
memberikan pengobatan dan perawatan, wajib merujuk ODHA ke fasilitas
pelayanan kesehatan lain yang mampu atau ke rumah sakit rujukan ARV.
Pengobatan ARV dimulai di rumah sakit (minimal type C) dan dapat dilanjutkan di
puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

2. Profilaksis
pemberian ARV pasca pajanan dan kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis
dengan ketentuan :
-Setiap bayi baru lahir dari ibu HIV dan AIDS harus segera mendapatkan
profilaksis ARV dan kotrimoksazol.
-Dalam hal status HIV belum diketahui, pemberian nutrisi sebagai
pengobatan penunjang bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud

3. Penunjang meliputi pengobatan suportif, adjuvant dan perbaikan gizi.


Prinsip pengobatan antiretroviral atau ART secara umum adalah sebagai berikut:
Tujuan Pengobatan ARV :
1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/ peningkatan sel
CD4)
3. Menurunkan komplikasi akibat HIV
4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV

a. pasien harus dipersiapkan dengan konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar
akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan hal lain
terkait dengan terapi ARV
b. Pasien harus memiliki pengawas minum obat (PMO), yaitu orang dekat pasien yang
akan mengawasi kepatuhan minum obat.
c. Pasien harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan klinis dengan teratur.

Memulai ARV
Sebelum memulai terapi, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
2. Pemeriksaan fisik lengkap
3. Pemeriksaan laboratorium rutin
Penilaian klinis yang mendukung adalah sebagai berikut:
1. Menilai stadium klinis infeksi HIV
2. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan erat dengan HIV di masa lalu
3. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan
pengobatan
4. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi
pemilihan terapi

Riwayat Penyakit
Pertanyaan tentang riwayat penyakit meliputi :
1. Kapan dan dimana diagnosis HIV ditegakkan
2. Kemungkinan sumber infeksi HIV
3. Gejala dan keluhan pasien saat ini
4. Riwayat penyakit, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk infeksi
oportunistik
5. Riwayat penyakit dan pengobatan termasuk kemungkinan kontak dengan TB
sebelumnya
6. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
7. Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
8. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
9. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
10. Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik
1. Berat badan, tanda vital
2. Pemeriksaan fundus mata : retinitis dan papil edema
3. Selaput lendir orafaringeal, kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukiplakia, HSV
4. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
5. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka ; berkurangnya fungsi motoris dan
sensoris
6. Pemeriksaan saluran kelamin/ alat kandungan
7. Kulit : herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular eruption
(PPE), dermatitis saborik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan
8. Limfadenopati
9. keadaan kejiwaan

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan sebelum memulai terapi dengan
antiretroviral adalah :
1. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan rapid hiv 1 positif diulangi 3
kali dengan sample yang sama dan reagen yang berbeda.
2. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
3. Pemeriksaan darah lengkap (terutama Hb) dan kimia darah terutama fungsi hati
dan fungsi ginjal
4. Pemeriksaan kehamilan

KETERSEDIAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN/

Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan obat dan perbekalan


kesehatan yang diperlukan untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Untuk memenuhi
ketersediaan ini harus disusun
rencana kebutuhan secara berjenjang dan kemudian dicatat dan dilaporkan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perawatan dan pengobatan bagi orang
terinfeksi HIV yang miskin dan tidak mampu ditanggung oleh negara.

Obat dan perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud meliputi:


a. kondom
b. lubrikan
c. alat suntik steril
d. reagensia untuk tes HIV dan IMS
e. obat ARV
f. obat tuberculosis
g. obat IMS
h. obat untuk infeksi oportunistik
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi program sangat penting dilakukan untuk mengukur


kemajuan yang dicapai dan mengetahui dampak dari program Pelayanan HIV AIDS,
tujuannya adalah untuk memonitor capaian program penanggulangan HIV&AIDS pada
pencegahan, dukungan, perawatan dan pengobatan, mitigasi dampakp.

Monitoring dan evaluasi adalah bagian integral dari pengembangan program,


pemberian layanan, karena itu untuk kepentingan pelayanan HIV AIDS di RS Permata
Keluarga Karawang, maka monitoring dan evaluasi dilakukan secara periodic setiap 6
bulannya. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan cara sistematis dan berkala pada
program pelayanan HIV AIDS.

Hasil penilaian disampaikan segera setelah penilaian selesai kepada manajemen


dan direktur dengan tembusan kepada komite mutu. Dua jenis monitoring dan evaluasi
yang dilakukan adalah monitoring dan evaluasi teknis/penatalaksanaan pelayanan klien
serta monitoring dan evaluasi program. Aspek yang perlu dimonitor dan dievaluasi:
1. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu
2. Sumber daya manusia
3. Sarana, prasana, dan peralatan (pemeriksaan, promosi kesehatan, dan lain lain)
4. Standar minimal pelayanan HIV AIDS
5. Prosedur Pelayanan HIV AIDS
6. Hambatan pelayanan HIV AIDS
7. Kepuasan dan evaluasi klien secara langsung atau melalui kotak saran.

BAB VI
PENUTUP

Pedoman pelayanan HIV AIDS di RS Permata Keluarga Karawang digunakan sebagai acuan
dalam melaksanakan berbagai program penanggulangan HIV AIDS bagi seluruh jajaran
kesehatan yang terkait dalam pelayanan HIV AIDS di rumah sakit. Keberhasilan pelayanan
HIV AIDS di rumah sakit sangat bergantung pada adanya kebijakan, dedikasi, kerja keras
dan kemampuan para penyelenggara pelayanan serta komitmen bersama untuk mencapai
hasil maksimal yang berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai