Pedoman Penanggulangan Hivaids RSPKK Terbaru
Pedoman Penanggulangan Hivaids RSPKK Terbaru
PENANGGULANGAN
HIV/AIDS
RUMAH SAKIT PERMATA KELUARGA
KARAWANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
HIV dan AIDS adalah masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari 20 juta
orang meninggal sementara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta yang lebih
memprihatinkan adalah bahwa di seluruh dunia setiap hari virus HIV menular kepada
sekitar 2000 anak di usia 15 tahun, terutama berasal dari penularan ibu-bayi, menewaskan
1400 anak di bawah 15 tahun, dan menginfeksi lebih dari 6000 orang muda dalam usia
produktif antara 15-24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari orang-orang yang hidup
dengan HIV dan AIDS (ODHA). Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di
Indonesia terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang
tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang
hidup dengan HIV/AIDS.
Untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi ini Indonesia telah
menyusun dan melaksanakan Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS melalui dua periode
yang dimuat dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994-2003 dan tahun
2003-2007.
Oleh karena itu perlu adanya program-program pencegahan HIV AIDS yang efektif
dan memiliki jangkauan layanan yang semakin luas seperti, program pengobatan,
perawatan dan dukungan yang komprehensif bagi ODHA untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka TIM HIV AIDS Rumah Sakit
Permata Keluarga Karawang menyusun pedoman pelayanan terkait dengan Pelayanan
HISV AIDS.
1.2 EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI INDONESIA
Penyakit HIV-AIDS hingga kini tetap belum dapat disembuhkan, tercatat oleh WHO
secara kumulatif jumlah kematian akibat AIDS di dunia pada tahun 2006 mencapai lebih
dari 25 juta jiwa. Penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui tiga jalur utama masuknya virus
HIV ke dalam tubuh, yaitu melalui hubungan seksual berisiko, paparan dengan cairan atau
jaringan tubuh yang terinfeksi (misalnya penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan
tranfusi darah), serta dari ibu ke janin atau bayi (perinatal) selama dalam kandungan
melalui placenta, saat persalinan melalui cairan genital dan saat menyusui melalui
pemberian ASI.
Jumlah HIV/AIDS yang tercatat sebenarnya jauh lebih kecil dari prevalensi
sesungguhnya yang dibaratkan sebagai fenomena gunung es. Indonesia termasuk dalam
kategori epidemi dengan tingkat prevalensi HIV yang rendah di dunia, yaitu sekitar 0,2%.
Jumlah kasus baru AIDS di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami
turun naik yaitu pada tahun 2008 sebanyak 4.969 kasus, tahun 2009 sebanyak 3.863 kasus,
tahun 2010 sebanyak 4.158 kasus. Secara kumulatif jumlah HIV positif di Indonesia hingga
Desember 2010 tercatat sebanyak 44.292 kasus dan AIDS sebanyak 24.131 kasus,
diantaranya berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebesar 73,04%, perempuan sebesar
26,58%, dan sisanya tidak diketahui sebesar 0,38%, usia reproduksi aktif (15-49 tahun)
sebesar 62,5%, transmisi perinatal sebesar 2,60%, balita (<4 tahun) sebesar 1,99% dengan
total kematian sebesar 18,81% dari jumlah total 24.131 kasus.
Saat ini perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali
Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru
diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna napza
suntik, hetero dan homoseksual ( WPS, waria ). Sejak tahun 2000, prevalensi HIV mulai
konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), prevalensi HIV menunjukkan tingkat epidemi yang
meluas (generalized epidemic) yaitu lebih besar dari 1% pada masyarakat umum. Hasil
estimasi jumlah ODHA di Indonesia tahun 2011 berkisar 591.823 ODHA. Penularan melalui
heteroseksual menjadi faktor risiko utama (59,8%) diikuti penggunaan jarum suntik (18%)
pada akhir Maret 2013. Menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga Maret 2013,
secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 43.347 kasus dengan infeksi
penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 3.997 kasus (30,9%).
Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS tersebut tidak menunjukkan indikasi
kearah pencapaian target Millennium Development Goals untuk HIV dan AIDS, dimana
akan dicapai pengendalian penyebaran dan mulai penurunan jumlah kasus baru HIV/AIDS
hingga tahun 2015. Jumlah wanita yang terinfeski HIV lebih sedikit dibanding laki-laki
namun demikian penderita HIV/AIDS pada usia reproduksi aktif (15-49 tahun) tinggi.
Kondisi tersebut berpotensi pada penularan HIV melalui ibu ke bayi cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular dari pasangan
sexnya.
Berdasarkan hasil proyeksi dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, diperkirakan
ibu hamil HIV positif sebanyak 5.730 orang pada tahun 2010 akan meningkat menjadi
8.170 orang pada tahun 2014.Lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV, akibat
penularan dari ibu ke bayi. Di negara maju, risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya
sekitar 1-2% karena tersedia layanan optimal pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
Tetapi di negara berkembang atau negara miskin, tanpa adanya akses intervensi, risikonya
antara 25%-45%.5 Bayi HIV positif kemungkinan akan terjadi gangguan tumbuh kembang
karena lebih sering mengalami infeksi bakteri maupun virus, mendapat hukuman sosial
berupa stigmatisasi, diskriminasi dari masyarakat dan tentunya akan kehilangan ibunya.
1.3. TUJUAN
a. Umum :
Meningkatkan mutu layanan di RS Permata Keluarga Karawang berkaitan dengan
Pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit
b. Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di RS Permata
Keluarga Karawang dalam hal pelayanan HIV AIDS di RS Permata Keluarga
Karawang
2. menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru
3. Menurunkan angka kesakitan AIDS di RS Permata Keluarga Karawang
4. menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan
yang berkaitan dengan AIDS
5. meningkatkan kualitas hidup ODHA
6. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA
1.5. SASARAN
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya
tidak diturunkan tetapi ditularkan dari satu ke orang lainnya; Immune adalah sistem daya
tahan tubuh atau kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau
kurang; dan Syndrome adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. Acquired Immune
Deficiency Syndrome adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. AIDS merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus)
1. RSUD Karawang
2. RS Paru Karawang
3. PKM dengklok
4. PKM cilamaya
5. PKM ciampel
7. PKM kutawaluyo
8. PKM cikampek
9. PKM pedes
BAB IV
PENATALAKSANAAN PELAYANAN HIV AIDS
3. Registrasi.
Setiap orang yang terinfeksi HIV wajib diregistrasi secara nasional meliputi pencatatan
yang memuat nomor kode fasilitas pelayanan kesehatan, nomor urut ditemukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dan stadium klinis saat pertama kali ditegakkan
diagnosisnya dan ini semua harus dijaga kerahasiannya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan pelaporan kasus HIV setiap bulan, kasus
AIDS dan pengobatannya kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. Dinas kesehatan
kabupaten/kota melakukan kompilasi pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dan melakukan analisis untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta
melaporkannya ke dinas kesehatan provinsi. Dinas kesehatan provinsi melakukan
kompilasi pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan melakukan analisis
untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta melaporkannya ke Menteri.
- Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
yang terlatih. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
sebagaimana dimaksud, bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.
- Tes HIV sebagaimana dimaksud dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT)
atau EIA (Enzyme Immuno Assay).
- Setiap bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus dilakukan tes virologi
HIV (DNA/RNA) dimulai pada usia 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan) minggu
atau tes serologi HIV pada usia 18 (delapan belas) bulan ke atas.
Pemeriksaan penunjang Tes untuk mendiagnosa infeksi HIV , yaitu :
a. Rapid HIV
b. CD4
a. Hematokrit
b. LED
c. Rasio CD4 / CD Limposit
d. Serum mikroglobulin B2
e. Hemoglobin
A. Pelayanan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmision)
PMTCT merupakan suatu tindakan penanggulangan pencegahan AIDS di RS dari ibu
hamil dengan HIV positif ke bayi yang dikandungnya. Prosedur pelaksanaan PMTCT
adalah alur pelayanan yang wajib dilalui oleh ibu hamil sebelum dan sesudah tes HIV
dengan VCT/PITC.
a. setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut
diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberculosis
dan IMS
b. asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
c.bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV
d. anak-anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah epidemi luas,
atau anak dengan malnutrisi yang tidakmenunjukan respon yang baik dengan
pengobatan nutrisi yangadekuat
e. laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV
f. Pada wilayah epidemi meluas, TIPK harus dianjurkan pada semua orang yang berkunjung
ke fasilitas pelayanan kesehatan sebagai bagian dari standar pelayanan
g.Pada wilayah epidemi terkonsentrasi dan epidemi rendah, TIPK dilakukan pada semua
orang dewasa, remaja dan anak yang memperlihatkan tanda dan gejala yang
mengindikasikan infeksi HIV, termasuk tuberkulosis, serta anak dengan riwayat terpapar
HIV pada masa perinatal, pada pemerkosaan dan kekerasan seksual lain.
Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing
(VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Konseling dalam VCT adalah kegiatan
konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS,
mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab,
pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.
Status VCT
1. Penerimaan klien :
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus)
sehingga nama tidak ditanyakan
b. Pastikan klien datang tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
c. Jelaskan tentang prosedur VCT .
d. Buat catatan rekam medik klien dan pastikan setiap klien mempunyai nomor
kodenya sendiri.
Kartu periksa Konseling dan Testing
Klien mempunyai kartu dengan nomor kode.
Data ditulis oleh konselor. Untuk meminimalkan kesalahan, kode harus
diperiksa ulang oleh konselor dan perawat/pengambil darah.
a. Dalam keadaan klien sedang dalam rawat inap maka konseling dapat dilakukan
di ruangan pasien dirawat oleh konselor disamping tempat tidur atau dengan
memindahkan tempat tidur klien ke ruang yang nyaman dan terjaga
kerahasiaanya
b. Dalam keadaan klien tidak stabil maka VCT dapat dilakukan langsung kepada
klien dengan prinsip Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) yaitu
suatu tes HIV dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada
pasien
sebagai bagian dari standar pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk
membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang
tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV pasien.
3. Informed Concent
a. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan
tertulisnya.
b. Informed Consent pada anak yaitu orangtua dapat memberikan persetujuan
konseling dan testing HIV/AIDS untuk anaknya
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila:
1. Terdeteksi dini
Dimana dianjurkan sebagai bagian dari kan pemeriksaan laboratorium rutin saat
pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada:
- semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan
terkonsentrasi
- ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis di daerah
epidemi rendah
2. Terkendali (ibu melakukan prilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV profilaksis
secara teratur, ibu melakukan ANC secara teratur, petugas kesehatan menerapkan
pencegahan infeksi sesuai Kewadaan Standar).
3. Penatalaksanaan persalinan yang aman.
4. Pemberian ASI dan makanan bayi yang aman dan sesuai
5. Pemantauan ketat tumbung-kembang bayi dan balita dari ibu dengan HIV.
6. Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan
keluarganya.
Menurut WHO ada 4 program yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya
penularan HIV dari ibu ke anak, meliputi.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan primer antara lain:
1. Sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilakukan pada usia dini mengenai kesehatan
reproduksi, HIV/AIDS dan napza disesuaikan dengan tingkat umur.
2. Informasi dan pendidikan kesehatan umum.
3. Tes HIV dan konseling.
4. Tes rutin bagi yang pernah melakukan kegiatan berisiko.
5. Konseling pasangan dan tes kepada pasangan.
6. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
7. Menunda kegiatan seksual.
8. Komunikasi perubahan perilaku untuk menghindari perilaku risiko tinggi.
B. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan kehamilan yang
tidak direncanakan pada ibu dengan HIV:
1. Menyediakan konseling dan layanan perencanaan keluarga untuk meyakinkan
perempuan dengan HIV membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar.
2. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
3. Memberikan informasi alat kontrasepsi yang dianjurkan.
4. Mengatur kehamilan bagi odha dan pasanganya.
Pembelian alat kontrasepsi yang aman dan efketif serta konseling yag bekualitas akan
membantu ODHA dalam melakukan seks yang aman, mempertimbangkan jumlah
anak yang dilahirkanya, serta menghindari lahirnya anak yang terinfeksi HIV.
Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan dengan HIV adalah kondom,
karena bersifat proteksi ganda. Jenis kontrasepsi lainya (kontrasepsi hormonal jangka
panjang (pil, suntik dan implan) bukan kontraindikasi bagi ODHA. Namun, interaksi
obat ARV dengan kontrasepsi hormonal (terutama yang menggandung estrogen) perlu
diperhatikan.
Menurut panduan WHO tahun 2004 perempuan dengan HIV umumnya dapat
menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dengan beberapa kondisi khusus,
yaitu:
Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV tanpa gejala-gejala
AIDS.
Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV yang meminum ARV
dan secara klinis baik.
Jika seorang pengguna AKDR terinfeksi HIV atau jika pengguna AKDR dengan HIV
kemudian menderita AIDS, AKDR tidak harus dicabut. Namun, perempuan tersebut
harus dipantau kemungkinan terkena PID.
Pasca persalinan perlu konseling ulang mengenai pertimbangan jumlah anak yang akan
dilahirkannya. Jika ibu dengan HIV tetap ingin memiliki anak, dianjurkan jarak antar
kelahiran minimal 2 tahun.
C. Mencegah terjadinya penularan dari ibu dengan HIV kepada bayi (profilaksis, tes)
Bentuk intervensi berupa:
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT) maupun konseling singkat dari
petugas kesehatan
c. Pemberian obat anti retroviral(ARV)
d. Persalinan yang aman
e. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi
D. Memberikan dukungan psiokologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV,
beserta bayi dan kerluarganya
Upaya PMTCT tidak berhenti setelah ibu melahirkan, karena ibu tersebut terus
menjalani hidup dengan HIV di tubuhya, maka dukungan psikologis, sosial dan
perawatan sepanjang waktu tetap dibutuhkan. Jika bayi dari ibu tersebut tidak
terinfeksi HIV, masa depanya tetap perlu dipikirkan, karena adanya kemungkinan
orang tua bayi meninggal dunia. Sedangkan bila bayi terinfeksi HIV, pengobatan ARV
diperlukan seperti odha lainya.
Dengan dukungan prikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupanya, sehingg ia akan betindak bijak dan positif untuk
senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar tidak
terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
Penatalaksanaan Obstetri
Untuk mencegah penularan HIV ke anak, beberapa hal perlu diperhatikan.
a. Upaya menurunkan kadar viral load serendah – rendahnya dengan:
- Deteksi dini
- ARV (Anti Retroviral)
- Pola hidup sehat .
b. Pemilihan metode kelahiran tergantung:
- Viral Load
- Kesiapan sarana kesehatan: kewaspadaan universal, saran dan prasarana, SDM
medis dan non medis.
- Status obstetrik
Penelitian meta-analisis 15 studi kohort prospektif tahun 1999 yang melibatkan 7800
pasangan ibu-bayi menunjukan, bahwa seksiko sesarea terjadwal atau elektif, yaitu seksio
sesarea yang dilakukan sebelum onset persalinan dan/atau pecah ketuban, dikaitkan
dengan berkurangnya penularan dari ibu ke anak sekitar 55-80% tanpa profilaksis ARV dan
dengan ZDV saja. Penelitian lain tahun 2004 yang melibatkan 2900 kehamilan
mendaptkan, bahwa terapi ARB kombinasi dikaitkan dengan kejadian penularan yang
sangat rendah dan dengan viral load <1000 kopi/ml, angka penularan dari ibu ke anak
secara bermakna lebih rendah dengan ARV kombinasi dibanding dengan ARV tunggal (0,6%
vs 2,2%) tetapi tidak berbeda dengan cara persalinan. Data observasional dari 4500
perempuan pada European collaborative study menemukan diantara perempuan dengan
viral load yang tidak terdeteksi, seksio sesarea elektif tidak menunjukan keuntungan
tambahan dalam menurunkan penularan.
Seksio sesarea elektif sebaiknya dilakukan pada kehamilan 38 minggu, berdasarkan
pemeriksaan klinis dan USG, untuk meminimalkan risiko timbulnya persalinan atau pecah
ketuban sebelum prosedur seksio sesarea. Perempuan yang direncanakan seksio sesarea
tetapi datang dengan tanda-tanda persalinan atau pecah ketuban dini sebaiknya
dikonseling dan dikelola sesuai dengan kadar viral load terakhir, terapi ARV, dan perkiraan
lama persalinan (dilatasi serviks, pendaratan seviks, dan lamanya pecah ketuban).
Seksio sesarea setelah pecah ketuban ≥4 jam kurang memberikan keuntungan
dalam menurunkan risiko penularan dari ibu ke anak.
Penentuan cara persalinan memerlukan konseling keuntungan dan kerugian cara
persalinan pervaginam atau seksio sesarea, termasuk mobiditas dan mortalitas maternal,
serta besaran resiko penularan bayi. Persalinan pervaginam dimungkinkan, bila:
1. Ada persetujuan tindakan medis dengan informasi yang sejelas-jelasnya (informend
consent)
2. Viral load tidak terdeteksi (HIV-RNA <1000 kopi/ml)dan/atau meminum ARV secara
teratus sesuai prosedur minimal 4 minggu.
Rekomendasi-rekomendasi dalam hal memberi makan bayi bagi ibu dengan HIV
a. Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi, karena komposisinya
yang lengkap dan ideal bukan hanya bagi pertumbuhan serta perkembangan otak
yang optimal, tetapi juga untuk perlindungan dari sebagai penyakit.
b. Pada ibu dengan HIV dan AIDS , maka terdapat risiko transmisi HIV melalui ASI (5-
20%).
c. Pada ODHA tidak dianjurkan untuk memberikan ASI, bila pemberian susu formula
memenuhi syarat AFASS, yaitu:
Acceptable (dapat diterima), artinya tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu
untuk memberikan susu formula pada bayinya.
Feasible (layak), artinya ibu dan keluarga punya waktu pengetauan, dan
keterampilan memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula
kepada bayi.
Affodarble (terjangkau) artinya ibu dan keluarga mampu membeli susu formula,
tersedia air bersih, bahan bakar untuk memasak dan perlengkapan lain yang
dieperlukan untuk menyapkan susu formula yang memenuhi syarat.
Sustainable (berkelanjutan) artinya susu formula dijamin dapat diberikan setiap
hari, siang dan malam selama usia bayi belum mencapai 6 bulan dan diberikan
dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin
keberadaanya hingga bayi berusia setidaknya 6 bulan.
Save (aman), artinya susu formula harus disimpan secara higienis, tidak
terkontaminasi, saat penyiapanya tersedia air bersih dan takaranya dapat
mencukupi kebutuhan gizi bayi, disuapan dengan tangan dengan peraltan
bersih, serta tidak berdampak peningkatkan penggunaan susu formula pada
masyarakat, khususnya para ibu menyusui.
d. Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan kepada ibu dengan HIV
untuk menyusui ekslusif selama 6 bulan
e. Bila ibu memilih untuk menyusui ekslusif maka ibu harus mendapat ART.
f. Bila ibu memilih menyusui ekslusif, hentikan pemberian ASI sesegera mungkin
apabila syarat AFASS sudah terpenuhi dan beralih ke susu formula.
g. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian ASI bersama dengan susu
formula ataupun makanan/minuman lain), karenan memiliki risiko penularan HIV
pada bayi yang tertinggi. Hal ini disebabkan pemberian susu formula yang
merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus yang
mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah bayi.
h. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu, setelah mendapat informasi dan
konseling secara lengkap, harus didukung oleh semua pihak.
Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV
a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible,
acceptable, sustainable, safe).
b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI
ekslusif yang jangka pemberianya singkta atau alternatif ASI lainya, yaitu:
Pasteusasi/memanaskan ASI perah.
Mencari ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah
dibuktikan HIV negatif.
c. Bila ibu memilih menyusui bayi, ibu harus memahami teknik menyusui yang benar
untuk menhindarkan peradangan payudara (mastitis) dan lecet pada puting yang
dapat mempertinggi risiko bayi tertular HIV.
2. Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai
tubuh dengan penggunaan peralatan steril dan mematuhi standar prosedur
operasional serta memperhatikan kewaspadaan umum
3. pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik sebagaimana
dimaksud meliputi
-program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta
dukungan psikososial
-mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiate menjalani
program terapi rumatan
-mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan
penularan seksual
-layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis
2. Profilaksis
pemberian ARV pasca pajanan dan kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis
dengan ketentuan :
-Setiap bayi baru lahir dari ibu HIV dan AIDS harus segera mendapatkan
profilaksis ARV dan kotrimoksazol.
-Dalam hal status HIV belum diketahui, pemberian nutrisi sebagai
pengobatan penunjang bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud
a. pasien harus dipersiapkan dengan konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar
akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan hal lain
terkait dengan terapi ARV
b. Pasien harus memiliki pengawas minum obat (PMO), yaitu orang dekat pasien yang
akan mengawasi kepatuhan minum obat.
c. Pasien harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan klinis dengan teratur.
Memulai ARV
Sebelum memulai terapi, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
2. Pemeriksaan fisik lengkap
3. Pemeriksaan laboratorium rutin
Penilaian klinis yang mendukung adalah sebagai berikut:
1. Menilai stadium klinis infeksi HIV
2. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan erat dengan HIV di masa lalu
3. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan
pengobatan
4. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi
pemilihan terapi
Riwayat Penyakit
Pertanyaan tentang riwayat penyakit meliputi :
1. Kapan dan dimana diagnosis HIV ditegakkan
2. Kemungkinan sumber infeksi HIV
3. Gejala dan keluhan pasien saat ini
4. Riwayat penyakit, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk infeksi
oportunistik
5. Riwayat penyakit dan pengobatan termasuk kemungkinan kontak dengan TB
sebelumnya
6. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
7. Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
8. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
9. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
10. Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
1. Berat badan, tanda vital
2. Pemeriksaan fundus mata : retinitis dan papil edema
3. Selaput lendir orafaringeal, kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukiplakia, HSV
4. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
5. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka ; berkurangnya fungsi motoris dan
sensoris
6. Pemeriksaan saluran kelamin/ alat kandungan
7. Kulit : herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular eruption
(PPE), dermatitis saborik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan
8. Limfadenopati
9. keadaan kejiwaan
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan sebelum memulai terapi dengan
antiretroviral adalah :
1. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan rapid hiv 1 positif diulangi 3
kali dengan sample yang sama dan reagen yang berbeda.
2. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
3. Pemeriksaan darah lengkap (terutama Hb) dan kimia darah terutama fungsi hati
dan fungsi ginjal
4. Pemeriksaan kehamilan
BAB VI
PENUTUP
Pedoman pelayanan HIV AIDS di RS Permata Keluarga Karawang digunakan sebagai acuan
dalam melaksanakan berbagai program penanggulangan HIV AIDS bagi seluruh jajaran
kesehatan yang terkait dalam pelayanan HIV AIDS di rumah sakit. Keberhasilan pelayanan
HIV AIDS di rumah sakit sangat bergantung pada adanya kebijakan, dedikasi, kerja keras
dan kemampuan para penyelenggara pelayanan serta komitmen bersama untuk mencapai
hasil maksimal yang berkualitas.