Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL KEGIATAN

PERENCANAAN PROGRAM GIZI BALITA DI RW 12


KELURAHAN TANDANG KOTA SEMARANG

Dosen Pengampu :

Ir. Purwanti Susantini, M.Kes

Ria Purnawian Sulistiani, S.Gz, M.Gz

Sri Hapsari SP, S.Gz, M.Gz

Disusun Oleh :

Anindya Putri Prameswari G0B020067

Rahma Wicharlanty Achmadi G0B020068

Azizah Nurul Izah G0B020069

Anis Lestari G0B020070

Salsabila Alifia Tsabita G0B020071

PROGRAM STUDI D3 GIZI

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Balita adalah anak usia dibawah lima tahun yang ditandai
dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi sangat
pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik,
mental dan sosial (Merryana Adriani,2016). Pada masa ini tumbuh
kembang sel-sel otak anak begitu pesat sehingga membutuhkan
asupan nutrisi dan stimulus yang mendukung secara optimal.
Balita sangat rentan terhadap kelainan gizi karena pada saat ini
mereka membutuhkan nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Selain itu juga balita sangat pasif terhadap
asupan makannya sehingga balita akan sangat bergantung pada
orang tuanya (Setyawati & Hartini,2018).
Gizi atau nutrisi merupakan suatu komponen yang paling
penting dalan menunjang keberlangsungan proses pertumbuhan
dan perkembangan dimana gizi merupakan elemen yang terdapat
dalam makanan dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
tubuh (Gizi et al., 2018). Salah satu masalah gizi yang terjadi pada
anak balita adalah gizi kurang. Gizi kurang adalah gangguan
kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang
diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berpikir, dan semua hal
yang berhubungan dengan kehidupan (Iskandar et al., 2013).
Status gizi buruk merupakan salah satu masalah yang sering
terjadi pada anak terutama di Indonesia. Status gizi seseorang bisa
dipengaruhi oleh faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor
tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi salah satunya
adalah kesehatan lingkungan. Menurut Soekirman (2000)
penyebab kurang gizi secara langsung adalah konsumsi makanan
tidak seimbang dan penyakit infeksi. Hadirnya penyakit dalam
tubuh akan membawa pengaruh terhadap keadaan gizi anak.
Infeksi akan mempengaruhi nafsu makan anak sehingga anak
menolak makanan yang diberikan. Penolakan terhadap makan
berarti berkurangnya asupan zat gizi dalam tubuh anak, padahal
tubuh anak memerlukan masukan yang lebih banyak sehubungan
dengan adanya penghancuran jaringan yang disebabkan oleh bibit-
bibit penyakit itu sendiri maupun penghancuran jaringan untuk
memperoleh protein yang diperlukan untuk pertahanan tubuh,
keadaan akan semakin memburuk bila infeksi itu disertai muntah
yang mengakibatkan hilangnya zat gizi dan cairan, hal tersebut
akan mengakibatkan berat badan anak turun dengan cepat
(Pudjiadi, 2001).
Status gizi balita di pengaruhi banyak factor, baik penyebab
langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung yang
mempengaruhi status gizi adalah asupan makanan dan penyakit
infeksi yang di derita balita. Sedangkan penyebab tidak langsung
yang mempengaruhi status gizi adalah ketersediaan pangan, pola
asuh anak, kesehatan lingkungan, pendapatan orang tua,
pendidikan orang tua serta perilaku hidup bersih dan sehat
keluarga.

Menurut (WHO, 2012), jumlah penderita gizi kurang di dunia


mencapai 104 juta anak dan keadaan gizi kurang masih menjadi
penyebab sepertiga dari seluruh penyebab kematian anak di
seluruh dunia. Asia Selatan merupakan daerah yang memiliki
prevalensi gizi kurang terbesar di dunia, yaitu sebesar 46 %,
disusul sub Sahara Afrika 28 %, Amerika Latin/Caribbean 7%,
dan yang paling rendah terdapat di Eropa Tengah, Timur, dan
Commonwealth of Independent States (CEE/CIS) sebesar 5%.

Menurut (World Health Organization, 2016) sekitar 7,7% atau


52 juta anak di bawah 5 tahun secara global mengalami kejadian
gizi kurang, persentasi anak di bawah 5 tahun dengan status gizi
kurang tertinggi terdapat di Southern Asia sebesar 15,4%, di
osceania sebesar 9,4%, di Asia Tenggara sebesar 8,9%, di Afrika
Barat Sebesar 8,5% dan persentasi anak di bawah 5 tahun dengan
status gizi kurang terendah terdapat di Amerika Utara sebesar
0,5%. Keadaan gizi kurang pada anak balita juga dapat di jumpai
di Negara berkembang, salah satunya termasuk di Negara
Indonesia (UNICEF Indonesia 2013).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan


permasalahan gizi yang kompleks. Prevalensi gizi kurang balita di
Indonesia pada tahun 2013 terdapat balita dengan gizi kurang
sebesar 19,6% , balita dengan gizi buruk sebesar ,5,7% dan balita
dengan gizi lebih sebesar 4,5%. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional balita gizi kurang tahun 2007 sebesar (18,4 %)
dan tahun 2010 sebesar (17,9 %), prevalensi gizi kurang pada
balita tahun 2013 terlihat meningkat (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Indonesia (RISKESDAS)
tahun 2018, prevalensi kejadian gizi kurang di Indonesia tahun
2018 sebesar 17,7%,tetapi angka ini belum memenuhi target
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2019 yaitu 17,0% (Kemenkes RI, 2018).

Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk menurut data Riskesdas


pada tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah terdapat 19,6% balita
kekurangan gizi yang terdiri dari 5,7% balita dengan gizi buruk,
13,9% berstatus gizi kurang dan 4,5% balita dengan gizi lebih. Hal
ini belum sesuai dengan target Standar Pelayanan Minimal (SPM)
tahun 2019. Data Profil Kesehatan Kota Semarang menyebutkan
status gizi kurang pada balita tahun 2013 sebanyak 801 anak
(0,9%). Sedangkan pada tahun 2014 presentase balita yang
mengalami gizi kurang meningkat menjadi 804 anak (2.73%).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas maka


untuk membatasi ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini
dibuat rumusan masalah yaitu bagaimana status gizi balita dan
faktor faktor yang mempengaruhi status gizi di RW 12 Kelurahan
Tandang Kota Semarang tersebut?
1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Tujuan umum dari proposal ini adalah untuk mengambarkan
status gizi balita dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
B. Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan dan menilai status gizi balita di RW 12
Kelurahan Tandang Kota Semarang
2. Mendeskripsikan dan menilai asupan makanan balita di
RW 12 Kelurahan Tandang Kota Semarang
3. Mendeskripsikan dan menilai penyakit infeksi pada balita
di RW 12 Kelurahan Tandang Kota Semarang
4. Mendeskripsikan dan menilai ketersediaan pangan di RW
12 Kelurahan Tandang Kota Semarang

1.4 Manfaat
A. Bagi Masyarakat
Agar responden dan masyarakat dapat menambah
pengalaman dan meningkatkan pemahaman tentang status gizi
balita dan factor-faktor yang mempengaruhinya
B. Bagi Akademik
Dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
pembangunan kualitas pendidikan selanjutnya dimasa yang
akan datang.
C. Bagi Instansi Kesehatan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi bagi instansi kesehatan khususnya program gizi
puskesmas dalam perbaikan gizi masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Balita

Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini
ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat dan disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-
zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas yang tinggi.
Akan tetapi, balita termasuk kelompok yang rawan gizi serta
mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang
dibutuhkan. Konsumsi makanan memegang peranan penting dalam
pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak sehingga konsumsi
makanan berpengaruh besar terhadap status gizi anak untuk
mencapai pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak (Ariani, 2017).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu
tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah
lima tahun. Menurut Sediaotomo (2010), balita adalah istilah
umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak pra sekolah (3-5
tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang
tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air
dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah
baik, namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita
merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan pasa masa itu menjadi
penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak pada
periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang
kembali, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan
balita merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan
setiap individu berbeda-beda, bisa cepat maupun lambat tergantung
dari beberapa faktor, yaitu nutrisi, lingkungan dan sosial ekonomi
keluarga
2.2 Definisi Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi


makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan anatara status
gizi kurang, baik dan lebih. Status gizi adalah keadaan tubuh
sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Dibedakana antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih.
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien,
sehingga memungkinkan petumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami
kekurangan satu atau lebih zat-zat esensial. Status gizi lebih terjadi
bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan,
sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan
gizi terjadi baik pada status gizi toksis membahayakan. Gangguan
gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih.
(Almatsier, 2008).

Masalah gizi yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian


adalah masalah gizi kurang. Status gizi kurang biasanya disebut
dengan Kurang Energi Porotein (KEP). KEP pada dasarnya terjadi
karena kurangnya konsumsi pangan sumber energi yang
mengandung zat gizi makro (zat tenaga, zat pembangun dan
lemak).untuk menentukan masalah KEP ini dapat dilakukan
pengukuran antropometri. Dampak yang ditimbulkan dengan
adanya kekurangan gizi pada balita, akan mengalami gangguan
fisik, mental dan aktual. Lebih lanjut gizi buruk pada anak balita
berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan. Keadaan status gizi
balita sangat dipengaruhi oleh pemberian ASI sebagai sumber
makanan utama (anonim, 2012).

Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari


ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional
imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya,
di samping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk
disantap (Arisman, 2009).
2.3 Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung


dan penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara
langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis,
biokomia, dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak
langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik
vital dan faktor ekologi.

a. Penilaian Secara Langsung, (Mary E, 2009)yaitu:


1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh
manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi . Antropometri
sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri
merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara
beberapa parameter disebut indeks antropometri (Mary E,
2009).
Menurut Mary E beberapa indeks antropometri yang
sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U)
tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB)
a) Indeks berat badan menurut umur(BB/U)
Merupakan pengukuran antropometri yang
sering dilakukan digunakan sebagai indikator dalam
keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan
keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi
terjamin. Berat badan memberikan gambaran
tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh
sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang
mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu
makan dan menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status
gizi sekarang. Berat badan yang bersifat labil,
menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan
status gizi seseorang saat ini (Current Nutritional
Status) (Mary E, 2009).
b) Indeks tinggi badan menurut umur(TB/U)
Indeks TB/U disamping memberikan status
gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan
status ekonomi.
c) Indeks berat badan menurut tinggi badan(BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear
dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan
kecepatantertentu.
Berbagai indeks antropometri, untuk
menginterpretasinya dibutuhkan ambang batas.
Penentuan ambang batas yang paling umum
digunakan saat ini adalah dengan memakai
standar deviasi unit (SD) atau disebut jugaZ-
Skor.
Rumus perhitungan Z-Skor adalah :

nilai individu subyek – nilai median baku rujukan


Z − Skor =
nilai simpang baku rujukan

BB/U :
Gizi Baik :bila nilai Z-Score ≥ -2SD sd +2 SD
Gizi kurang :bila nilai Z-Score <-2 SD sd ≤-3SD
d) Umur
Umur sangat memegang peranan dalam
penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan
menyebabkan 8 interpretasi status gizi yang salah.
Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi
badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak
disertai dengan penentuan umur yang tepat.
Kesalahan yang sering muncul adalah adanya
kecenderungan untuk memilih angka yang mudah
seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu
penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat.
Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1
bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah
dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari
tidak diperhitungkan.
2) Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat


penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini
didasarkan atas perubahan- perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidak cukupan zat gizi. Hal ini dapat
dilihat pada jaringan epitel (suppervicial epithelial tissues)
seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada
organ- organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid.

3) Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah


pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain : darah, urin, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otak.

4) Biofisik

Penentuan status gizi secara nonfisik adalah metode


penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan.

b. Penilaian secara tidak langsung, (Arisman, 2009) yaitu:


1) Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan
status gizi secara tidal langsung dengan melihat jumlah dan
jenis zat gizi yang dikonsumsi. Anamnesis tentang asupan
pangan merupakan satu tahap penilaian status gizi yang
paling sulit dan tidak jarang membuat penilai frustasi karena
berbagai sebab. Pertama, manusia memiliki sifat lupa
sehingga orang sering tidak mampu mengingat dengan pasti
jenis (apalagi jumlah) makanan yang telah disantap. Kedua,
manusia sering mengedepankan gengsi jika diberi tahu
bahwa makanan mereka akan dinilai, pola “pangan” pun
dipaksakan berubah.
Metode survei konsumsi makanan untuk individu antara lain
:
a) Metode recall 24jam
Prinsip metode ini yaitu dilakukan dengan
mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang
dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.
b) Metode esthimated food record
Dalam metode ini, responden diminta untuk
mencatat semua makanan yang dikonsumsinya setiap
kali sebelum makan dalam urusan rumah tangga atau
menimbang berat dalam periode tertentu (2-4 hari
berturut-turt), termasuk cara persiapan dan pengolahan
makanan tersebut.
c) Metode penimbangan makanan ( foodweighting)
Dalam metode ini responden menimbang dan
mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden
selama satu hari. Biasanya dilakukan beberapa hari
tergantung tujuan, dana penelitian dan tenaga yang
tersedia.
d) Metode dietary history
Metode ini memberikan gambaran tentang pola
konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu cukup
lama (biasa 1 minggu, 1 bulan atau 1 tahun). Metode ini
terdiri dari 3 komponen, yaitu wawancara (termasuk
recall 24 jam), frekuensi penggunaan sejumlah bahan
makanan menggunakan daftar (chek list) untuk
mengecek kebenaran 10 recall 24 jam, dan pencatatan
konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang.
e) Metode frekuensi makanan (food frequency)
Adalah untuk memperoleh data frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi
selama periode tertentu diperoleh gambaran pola
konsumsi bahan makanan. jadi selama periode tertentu
seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan
metode frekuensi makanan dapat memperoleh
gambaran pola konsumsi bahan makanan secara
kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih
lama dan dapat membedakan individu berdasarkan
ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling
sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi.
Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar
bahan makanan atau makanan dan frekuensi
penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu.
Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner
tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang
cu`kup sering oleh responden.

Langkah-langkah Metode frekuensi makanan (Laksmi


W, 2009):

1. Membuat kuesioner frekuensi pangan


berdasarkan kebutuhan zat gizi yang diteliti
khususnya pangan sumber vitamin dan mineral
tertentu serta kebiasaan makanmasyarakat
2. Daftar nama makanan dan minuman dibuat
berdasarkan kelompok pangan lalu dibuat
kategori respon berapa kali frekuensi yang ada
terhadap daftar nama makanan dan minuman
termasuk suplemen yng sudah dibuat. Frekuensi
pangan yang ditulis berupa berapa kali perhari
hingga berapa kali pertahun, setelah itu dibuat
rata-rata harian
3. Responden diminta untuk memberi tanda pada
daftar 11 yang tersedia pada kuesioner mengenai
frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya.
4. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi
penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama
bahan makanan yang merupakan sumber-
sumber zat gizi tertentu selama periode
tertentupula.
5. Contoh penggunaan frekuensi makanan misal
roti dikonsumsi dalam seminggu ada tiga kali
dan dalam sehari satu kali, maka frekuensinya
sebanyak (3hari x 1kali)/7hari = 0,4 kali perhari.

Langkah-langkah penggunaan kuesioner frekuensi


pangan:

a. Melakukan pendekatan pada


responden(rapport)
b. Menanyakan kesediaan responden untuk
terlibat dalam penelitian dan konsekuensi dari
penelitian (informed consent dan ethical
clearance)
c. Mulai menanyakan kepada subjek dari
makanan pokok atau pangan sumber
karbohidrat yang biasa dikonsumsi setiap hari,
setiap minggu, setiap bulan, atau bahkan
sampai satutahun.
d. Mengisikan kolom perhari dengan frekuensi
suatu makanan atau bahan makanan tertentu
yang dimakan dalam satuhari.
e. Semua data nama makanan dan minuman serta
suplemen sudah terisi dengan frekuensi, maka
semua data frekuensi dijadikan dalam hari;
berapa kali perhari. Bila data yang diperoleh
dalam minggu, maka frekuensi dibagi tujuh hari
(7 hari), bila data dalam bulan maka frekuensi
dibagi tiga puluh hari (30hari).
2) Statistikvital
Pengukuran gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
12 kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan
kematian sebagai akibat penyebab tertentu dan data lainnya
yang berhubungan dengangizi.
3) Faktorekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil
interaksi beberapa faktor fisik, fisiologis dan lingkungan dan
budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung
dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-
lain ( Arisman,2009).

2.4 Permasalahan Gizi

Masalah Gizi di Indonesia Masalah gizi pada hakikatnya


adalah masalah kesehatan masyarakat, tetapi penanggulagannya
tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah
multifaktor, karena itu pendekatan penanggulangan nya harus
melibatkan berbagai sektor yang terkait. Sektor terkait tersebut
adalah bidang kesehatan dan di luar kesehatan. Keberhasilan
program gizi, sebesar 30% ditentukan oleh sektor kesehatan atau
gizi yang disebut dengan intervensi spesifik dan sebesar 7% oleh
sektor luar kesehatan yang disebut dengan intervensi sensitif
(Supariasa et al, 2017). Masalah gizi, meskipun sering berkaitan
dengan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu
berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus
tertentu, seperti dalam keadaan kritis (bencana kekeringan, perang,
kekacauan sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul akibat
masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu
kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk semua
anggotanya. Menyadari hal itu, peningkatan status gizi masyarakat
memerlukan kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat
untuk meperoleh makanan yang cukup jumlah dan mutunya,
Dalam konteks ini, masalh gizi tidak lagi semata-mata masalah
kesehatan, tetapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan
masalah kesempatan kerja (Supariasa et al, 2017).Masalah gizi di
Indonesia di negara berkembang pada umumnya masih didominasi
oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi,
masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), masalah
Kurang Vitamin A (KVA), dan masalah obesitas terutama di kota-
kota besar (Supariasa et al, 2017)
2.3.1 Kurang Energi Protein (KEP)

Kurang Energi Protein (KEP) Kurang Energi Protein


(KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak tersebut KEP
apabila ditandi dengan BB/PB atau BB/TB dengan ambang
batas antara -2 SD sampai dengan -3 SD dengan rujukan WHO,
2005 (Supariasa et al, 2017). Orang yang mengidap gejala
klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya Nampak
kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu, marasmus, kwashiorkor,
marasmus-kwashiorkor. Childhood stunting atau tubuh pendek
pada masa anak merupakan akibat kekurangan gizi kronis atau
kegagalan pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai
indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak.
Childhood stunting berkorelasi dengan gangguan
perkembangan neurokognitif dan riiko menderita penyakit tidak
menular di masa depan.

2.3.2 Stunting

Stunting atau pedek merupakan kondisi gagal tumbuh


pada bayi (0-11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari
kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama
kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada
masa awal setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru
nampak setelah anak berusia 2 tahun. Masalah anak pendek
(stunting) merupakan salah satu permasalahan gizi yang
dihadapi di dunia, khususnya di negara-negara miskin dan
berkembang (Unicef, 2013). Indikator yang digunakan untuk
mengidentifikasi balita stunting adalah berdasarkan indeks
Tinggi badan menurut umur (TB/U) menurut standar WHO
child growth standart dengan kriteria stunting jika nilai z score
TB/U < -2 Standard Deviasi dan kurang dari -3SD (severely
stunted) ( WHO, 2013 ). Sedangkan faktor risiko adalah
variabel‐ variabel yang terkait dengan peningkatan suatu risiko
atau kejadian penyakit tertentu. Banyak faktor yang
menyebabkan tingginya kejadian stunting pada balita.
Penyebab langsung adalah kurangnya asupan makanan dan
adanya penyakit infeksi (Unicef, 1990; Hoffman, 2000;Umeta,
2003). Faktor lainnya adalah pengetahuan ibu yang kurang,
pola asuh yang salah, sanitasi dan hygiene yang buruk dan
rendahnya pelayanan kesehatan (Unicef, 1990). Selain itu
masyarakat belum menyadari anak pendek merupakan suatu
masalah, karena anak pendek di masyarakat terlihat sebagai
anak-anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti anak
kurus yang harus segera ditanggulangi. Demikian pula halnya
gizi ibu waktu hamil, masyarakat belum menyadari pentingnya
gizi selama kehamilan berkontribusi terhadap keadaan gizi bayi
yang akan dilahirkannya kelak (Unicef Indonesia, 2013).
Intervensi yang menentukan untuk dapat mengurangi
prevalensi stunting dilakukan pada 1.000 hari pertama
kehidupan (HPK) dari anak balita

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi


Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan
UNICEF dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi
beberapa tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak
balita, baik penyebab langsung, tidak langsung, dan pokok
masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu
a. Faktor Langsung
Pertama, penyebab langsung yaitu makanan dan penyakit
infeksi yang mungkin diderita.
1) Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi pangan rumah tangga atau secara
perorangan merupakan cara pengamatan langsung yang
dapat menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut
daerah, golongan sosial ekonomi dan sosial budaya.
Konsumsi pangan lebih sering digunakan sebagai salah
satu teknik untuk memajukan tingkat keadaan gizi
(Moehji, 2003).
2) Infeksi
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan
yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang
mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang
diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang.
Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya
tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga
mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan
akhirnya mudah terkena gizi 13 kurang (Soekirman, 2000).
Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan
yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi. Menurut Schaible & Kauffman (2007)
hubungan antara kurang gizi dengan penyakit infeksi
tergantung dari besarnya dampak yang ditimbulkan oleh
sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri. Beberapa
contoh bagaimana infeksi bisa berkontribusi terhadap
kurang gizi seperti infeksi pencernaan dapat menyebabkan
diare, HIV/AIDS,tuberculosis, dan beberapa penyakit
infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan anemia dan
parasit pada usus dapat menyebabkan anemia. Penyakit
Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan bersih,
pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola
asuh anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000).
b. Faktor tidak langsung
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga,
pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola
asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan
serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga
faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang
cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga
terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan
pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak
terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef, 1998).
1) Ketersediaan Makanan
Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan pangan
dapat ditunjukkan oleh konsep yang dikeluarkan oleh
Unicef bahwa ketersediaan pangan yang cukup di tingkat
rumah tangga akan mempengaruhi dikonsumsi makanan
semua anggota keluarga dan selanjutnya status gizi yang
baik atau seimbang dapat diperoleh tubuh untuk tumbuh
kembang, aktifitas, kecerdasan, pemeliharaan kesehatan,
penyembuhan penyakit dan proses biologis lainnya.
Hubungan antara ketersediaan pangan pola konsumsi
terhadap status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu (Dyahdalam dwi wahyu, 2013).
1. Jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan
tersedia
Jika Produksi pangan meningkat dan masyarakat
mampu menjangkau pangan tersebut maka
kebutuhan gizi masyarakat akan terpenuhi.
2. Tingkat pendapatan
Jika tingkat pendapatan masyarakat tinggi, maka
daya beli masyarakat juga akan meningkat sehingga
kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan juga
akan meningkat dan kebutuhan gizi masyarakat
juga akan terpenuhi
3. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi mempengaruhi pola konsumsi
masyarakat.Pola konsumsi masyarakat haruslah
mengandung Unsur 3B (Bergizi, Berimbang,
Beragam). Jika pengetahuan tentang gizi
masyarakat tinggi, maka kesadaran akan pentingnya
makan makanan bergizi juga meningkat sehingga
kebutuhan gizi masyarakat juga akan terpenuhi.
2) Pola Asuh
Pola asuh adalah salah satu faktor yang erat kaitannya
dengan tumbuh kembang anak. Pola asuh dalam konteks
ini, mencakup beberapa hal yaitu : perhatian/dukungan ibu
terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping
pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan
dan penyimpanan makanan, praktek kebersihan atau
hygiene & sanitasi lingkungan, serta perawatan balita
dalam keadaan sakit seperti mencari tempat pelayanan
kesehatan. (Engle, 1997)
Menurut Engle et al (1997), pola asuh adalah
kemampuan dan masyarakat untuk menyediakan waktu,
perhatian dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fisik,
mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dalam
anggota keluarga lainnya. Pola asuh dimanifestasikan
dalam 6 hal yaitu (1) perhatian atau dukungan untuk wanita
seperti pemberian waktu istirahat yang tepat atau
peningkatan asuhan makanan selama hamil, (2) pemberian
ASI dan makanan pendamping anak, (3) rangsangan
psikososial terhadap anak dan dukungan untuk
perkembangan mereka, (4) persiapan dan penyimpanan
makanan (5) praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan
(6) perawatan anak dalam keadaan sakit meliputi praktek
kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan
kesehatan (Sunarti, 1989).
Kekurangan gizi pada anak balita dapat terjadi karena
kurangnya pola asuh ibu pada anak balita serta hygiene dan
sanitasi lingkungan yang tidak sehat, prilaku ibu yang
kurang baik terhadap perawatan kesehatan balitanya.
Pelaksanaan pengasuhan anak bertujuan agar anak
memiliki kecakapan hidup. Pengasuhan harus merespon
rangsangan yang bersumber dari anak baik dalam
pemberian makanan, kebersihan dan dalam permainan anak
(Sunarti 2004).
3) Kesehatan Lingkungan
Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), kesehatan
lingkungan adalah usaha-usaha pengendalian/pengawasan
keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan
atau yang dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan
perkembangan fisik, keseluruhan,dan daya tahan hidup
manusia. Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang
sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan
manusia. Upaya pengendalian vector tersebut dilaksanakan
secara terintegrasi dengan berbagai upaya pokok dalam
pelaksanaan penyehatan dan pengamanan substansi
lingkungan (Depkes, 2010). Keadaan sanitasi lingkungan
yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis
penyakit antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran
pencernaan. Apabila anak menderita infeksi saluran
pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang
menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi sehingga
lingkungan 16 berpengaruh dalam status gizi seseorang.
Seseorang yang kekurangan zat gizi akan mudah terserang
penyakit dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa dkk,
2002).

2.6 Penyebab Masalah Gizi


1) Pengetahuan Gizi
Pengetahuan tentang gizi adalah kepandaian memilih
makanan yang merupakan sumber zat-zat gizi dan kepandaian
dalam mengolah bahan makanan. Status gizi yang baik penting
bagi kesehatan setiap orang termasuk ibu hamil, ibu menyusui
dan anaknya. Pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat
penting dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan
dengan baik sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang
seimbang (Suhardjo, 2005).
2) Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan sangat menentukan bahan makanan
yang akan dibeli. Pendapatan merupakan faktor yang penting
untuk menetukan kualitas dan kuantitas makanan, maka erat
gubungannya dengan gizi (Suhardjo, 2005)
3) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang
berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya
(Notoatmodjo, 2003). Perilaku kesehatan (health behavior)
adalah setiap tindakan yang diambil oleh seorang individu
yang berpendapat bahwa dirinya sehat dengan maksud untuk
mencegah terjadinya penyakit atau mengenalnya pada stadium
permulaan (Salan, 2008).
4) Besar Keluarga
Besar keluarga atau banyaknya anggota keluarga
berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah ragam
pangan yang dikonsumsi anggota keluarga (Suhardjo, 2005).
Keberhasilan penyelenggaraan pangan dalam satu keluarga
akan mempengaruhi status gizi keluarga tersebut. Besarnya
keluarga akan menentukan besar jumlah makanan yang di
konsumsi untuk tiap anggota keluarga. Semakin besar umlah
17 anggota keluarga maka semakin sedikit jumlah konsumsi
gizi atau makanan yang didapatkan oleh masing-masing.

2.7 Penyebab Masalah Gizi Lainnya


Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas
adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk
bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara
asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya
mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan


menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional, yang
bertujuan untuk menggambarkan masalah gizi pada balita di RW
12 Kelurahan Tandang Kota Semarang.

3.2 Lokasi dan Waktu Pengambilan Sampel


Penelitian ini dilaksanakan di RW 12 Kelurahan Tandang Kota
Semarang yang berlokasi di Jalan Tandang Kota Semarang
kecamatan tembalang Pengambilan data dan pengolahan data pada
bulan November 2022.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga
yang memiliki anak balita yang berasal dari keluarga yang
tinggal di kecamatan tembalang , yaitu berjumlah 76 orang
balita.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 50 orang
balita. Responden dalam penelitian ini adalah ibu atau
pengasuh balita.
3.4 Jenis dan Cara Pengolahan Data
3.4.1 Pengumpulan data
a. Data Primer

Data identitas orang tua, balita, pengetahuan ibu


tentang gizi, penyakit infeksi, hygine sanitasi, asi
ekslusif, pola asuh diperoleh dengan cara wawancara
menggunakan kuisioner dan data pola konsumsi diukur
dengan Food Recall 24 Jam.

b. Data Sekunder

Data sekunder meliputi data umum desa yang


mencakup data geografis desa, mata pencaharian,
jumlah penduduk, serta agama dan kepercayaan.
Dikumpulkan melalui informasi dari Kader Posyandu
RW 12 Kelurahan Tandang Kota Semarang.

3.5 Pengolahan dan Analisis Data


A. Status gizi balita
Dengan menggunakan baku standar WHO-NCHS,
berdasarkan 3 indikator pengukuran status gizi balita yaitu
BB/TB, BB/U, TB/U. Dapat dikategorikan sebagai berikut :
A. BB/U:
1) Gizi buruk : < - 3SD
2) Gizi kurang : < - 2 SD s/d ≥ - 3 SD
3) Gizi baik : < - 2 SD s/d + 2 SD
4) Gizi lebih: > + 2 SD

Rumus Perhitungan

Nilai individu − nilai median


ZscoreTB/U =
nilai median − nilai sp. baku

B. BB/TB
Dengan beberapa kriteria :
a. Gemuk : > 2 SD
b. Normal : > -2 SD s/d 2 SD
c. Kurus : < -2 SD s/d -3 SD
d. Kurus sekali : < -3 SD

Rumus Perhitungan
Nilai individu − nilai median
Zscore BB/TB =
nilai median − nilai sp. baku

C. TB/U
Dengan beberapa kriteria :
a. Tinggi : > 2 SD
b. Normal : > -2 SD s/d 2 SD
c. Pendek : < -2 SD s/d -3 SD
d. Sangat Pendek : < -3 SD
Rumus Perhitungan
Nilai individu − nilai median
Zscore TB/U =
nilai median − nilai sp. baku
D. IMT/U
Dengan beberapa kriteria :
a. Gemuk : > 2 SD
b. Normal : > -2 SD s/d 2 SD
c. Kurus : < -2 SD s/d -3 SD
d. Kurus sekali : < -3 SD

E. Pendapatan
Diolah dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan
keluarga selama 1 bulan , lalu dikategorikan menjadi :
Tinggi : ≥ Rp,2.454.000.,
Rendah : < Rp,2.454.000.,

F. Tingkat Pengetahuan Ibu


1. Pengetahuan
Memberi skor masing – masing jawaban dari responden
dengan cara setiap jawaban yang benar diberi nilai 1,
sedangkan yang salah diberi nilai 0, kemudian dijumlahkan.
jumlah jawaban yang benar
x 100%
jumlah soal

Dikategorikan menjadi :

a. Baik : > 80% jawaban benar


b. Sedang : 60-80 % jawaban benar
c. Kurang : 60 % jawaban benar
G. Penyakit Infeksi

Data ini diperoleh dengan cara wawancara


menggunakan metode kuisioner dan observasi serta
berdasarkan catatan penyakit balita, kemudian data
dikategorikan menjadi 2, yaitu :

1. Menderita penyakit infeksi : apabila balita sedang sakit


atau pernah sakit dalam 3 bulan terakhir.
2. Tidak menderita penyakit infeksi apabila tidak pernah
sakit dalam 3 bulan terakhir.

H. Hygine Sanitasi
1. Memberi skor pada setiap pertanyaan
2. Menjumlahkan semua skor jawaban masing responden
3. Merata-ratakan semua skor responden
4. Mengkategorikan skor kesehatan lingkungan menjadi :
Baik : ≥ 70 rata-rata
Kurang : ≤ 70 rata-rata

I. ASI Ekslusif
Data diperoleh dengan cara wawancara menggunakan
metode kusioner dengan skor jawaban Ya = 1 dan Tidak = 0.
Dikategorikan menjadi :
1. ASI Ekslusif : Pemberian asi saja selama 0-6 bulan
2. Tidak ASI Ekslusif : Ada tambahan makanan

J. Pola Asuh
Data diperoleh dengan cara wawancara metode kuisioner
dengan menkategorikan balita diasuh oleh orang tua,
penitipan, baby sister dll

K. Asupan Makanan

Data diperoleh dari hasil wawancara langsung


dengan cara food recall 24 jam kemudian data bahan
makanan tersebut dikonversikan kedalam berat kemudian
dibandingkan dengan AKG dengan kategori :

a. Baik : ≥ 100% AKG


b. Sedang : 80 – 99% AKG
c. Kurang : 70 – 80% AKG
d. Defisit:<70%AKG

Anda mungkin juga menyukai