Anda di halaman 1dari 6

Latar belakang

Bahasa tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi suatu masyarakat, namun memiliki fungsi
lebih dari itu. Dalam konteks masyarakat majemuk bahasa acap kali disimbolkan sebagai
identitas dari masyarakat itu sendiri, misalnya bahasa Bali merupakan identitas dari masyarakat
Bali. Di mana setiap kelompok masyarakat dapat membuat sistem leksikal atau simbol sendiri
dengan norma adat istiadat masing-masing. Dari itu pula terciptanya ragam bahasa dari setiap
kelompok masyarakat, suku yang memiliki bahasanya masing-masing sehingga membentuk suatu
ragam bahasa yang bervariasi.
Bahasa terus berkembang seiring dengan perkembangan manusianya. Bahasanya juga dapat
dikatakan sebaai pusat pemahaman dan sekaligus kesalahpahaman manusia. Intinya sesuatu yang
bersifat abstrak dapat dijelaskan dengan bantuan bahasa, namun juga sebaliknya sesuatu juga
tidak jelas karena bahasa. Kesalahpahaman juga didasarkan adanya konflik bahasa yang
menimbulkan konflik sosial. Konflik dapat diatasi dengan bahasa setelah dilakukannya klarifikasi.
Maka dari itu, tidak salah jika filsuf bahasa mengatakan jika keunikan manusia bukan terletak
pada tubuh atau pemikirannya, namun pada bahasanya. Kecerdasan manusia dapat tercermin
dalam bahasa. Peradaban manusia akan terus berjalan mengikuti perkembangan jika diikuti
dengna bantuan bahasa dalam penerapannya.
Fenomena akan hubungan timbal balik antara bahasa dan masyarakat menjadi dasar lahirnya
kajian sosiolinguistik. Dalam sosiolinguistik, pengertian bahasa sebagai alat penyampaian pesan
terlalu sempit, sebab sosiolinguistik mempertanyakan “who speaks what language to whom, when
and to what end” (Fishman, 1972). Sekalipun jika masyarakat tersebut pemilik sah dari suatu
bahasa, tidak dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut dapat menggunakannya secara bebas.
Sebab ada waktu serta tempat dan konteks norma tertentu ketika seseorang dapat mengucapkan
kata tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu pula.
Hubungan antara bahasa dengan masyarakatnya tidak terlepas dari fenomena-fenomena bahasa
yang terjadi, baik itu dalam masyarakat atau luar masyarakat yang mempengaruhi bagaimana
sistem struktur bahasa dari masyarakat itu sendiri bekerja. Berdasarkan latar belakang tersebut,
dapat dirumuskan masalah bagaimana kajian sosiolinguistik ditilik dari perspektif fenomenologi
fislafat.
Metode
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan dengan analisis data deskriptif. Pengumpulan
data pustaka, pembacaan dan penyimpanan bahan penelitian dan penyuntingan. Penelitian
kepustakaan juga dapat mencakup mempelajari berbagai karya referensi dan hasil studi
pendahuluan yang sejenis, berguna untuk memperoleh landasan teori dari masalah yang diteliti
(Sarwono, 2006). Tinjauan Pustaka juga mengacu pada teknik pengumpulan data melalui telaah
buku, pustaka, catatan dan berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang akan
dipecahkan (Nazir, 2003). Penelitian kepustakaan dilakukan sebab sesuai dengan permasalahan
yang ditelaah, dalam mencari hubungan filsafat fenomenologi dalam kajian sosiolinguistik.
Dengan mengkaji fenomena-fenomena bahasa dan hubungannya dengan masyarakat dalam
aspek sosiolinguistik, filsafat fenomenologi dapat bertindak sebagai metode penelitian dalam
menganalisis lebih mendalam bagaimana hubungan bahasa dan masyarakat dapat dijelaskan.
Kerangka teoritis
Fenomenologi Heidegger
Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna 'ada'. Bahkan, istilah itu sendiri
telah menjadi bagian dari refleksi filosofis selama berabad-abad. Dalam proyek tersebut ia
mempresentasikan tiga tema utama. Pertama, siapa orang ini? Kedua, apa esensi konkretnya?
Dan ketiga, apa itu Eksistensi (Eksistensi: Realitas Tertinggi)?
Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, Heidegger tenggelam dalam kekaguman yang
mendalam terhadap 'keberadaan' dan ingin mengetahui mengapa segala sesuatu 'ada'. Dia sangat
terobsesi dengan "keberadaan" hal-hal, kualitas khusus yang membuat mereka "ada", yang dia
yakini telah diabaikan oleh para filsuf Barat sejak zaman Yunani Kuno Ada dua alasan utama
mengapa kita mendasarkan filosofi kita pada keberadaan .
Pertama, ia prihatin dengan situasi zamannya yang kurang bernuansa religi dan kesadaran akan
keberadaan Tuhan, yang disebabkan oleh kekosongan makna "keberadaan" bagi manusia
modern. Kedua, kekosongan ketidakmampuan manusia untuk memahami Tuhan dan mengenali
keberadaan-Nya. Hal ini juga disebabkan oleh fakta bahwa bahasa lisan 'makhluk' tidak
terdengar, tidak diperbarui dan tidak lagi berkembang, sehingga filsafat harus mencoba mencari
tahu, yaitu membahas 'ada' dan kembali mengambil makna baru.
Meskipun Fenomenologi sebagai aliran epistemologis pertama kali diperkenalkan oleh Edmund
Husserl, istilah tersebut sebenarnya telah digunakan oleh beberapa filsuf. Istilah fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani phainestai, yang berarti "menunjukkan" dan "mengungkapkan diri".
Dalam bahasa Indonesia, istilah gejala sering digunakan. Fenomenologi adalah ilmu tentang
fenomena (logos). Dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa fenomenologi adalah arus
yang membahas fenomena atau hal-hal yang tampak atau muncul.
Secara umum, pandangan fenomenologis ini dapat dilihat dalam dua posisi. Pertama, ini adalah
reaksi terhadap pengaruh positivisme. Kedua, sebagai kritik terhadap pemikiran kritis Immanuel
Kant, khususnya konsepsinya tentang fenomena, yaitu konsepsi Kant tentang proses kognitif
manusia merupakan proses integrasi dari apa yang disebutnya apriori dan posterior. Yang
pertama adalah aktivitas relasional yang aktif dan dinamis dalam konstruksi, berfungsi sebagai
bentuk pengetahuan, dan yang kedua adalah pengalaman terapan, berfungsi sebagai "isi"
(substansi) pengetahuan yang terdiri dari fenomena objek. Mustahil pengetahuan manusia
mencapai Noumena, karena relasi-relasi terlibat aktif dalam konstruksi fenomena menurut
kategori relasinya dengan pengetahuan.
Pemikiran awal Heidegger sangat dipengaruhi oleh Husserl, namun di sisi lain, Heidegger
tampak berusaha keluar dari bayang-bayang gurunya. Dalam ontologi-hermeneutika fakta,
Heidegger mengembangkan beberapa kemungkinan melalui evaluasi ulang terhadap
fenomenologi Heidegger yang dimuat dalam bukunya Logical Investigations untuk membangun
proyek hermeneutik baru. Heidegger memulai dengan mengevaluasi fenomena akar Yunani.
Lebih lengkapnya, Heidegger mengulangi dalam Seud und Zeit menggali akar Yunani dari istilah
fenomenologi. Bagi Heidegger, fenomenologi berakar dari kata phanomenon atau fanestai dan
logos. Phi nomenon berarti "orang yang mengungkapkan dirinya". Dengan kata lain, fenomena
adalah menunjukkan sesuatu sebagaimana adanya. Akhiran ology dari istilah fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani logos. Logos berarti bahasa yang membuat sesuatu terlihat. Dengan
demikian, kombinasi Fanestai (Phanomenon) dan Logos membentuk Fenomenologi.
Pemikiran tidak memberi makna pada fenomena, tetapi yang muncul adalah manifestasi
ontologis dari hal-hal itu sendiri. Tetapi di sisi lain, Heidegger mereduksi fenomena menjadi
objek kesadaran belaka dan bertentangan dengan Heidegger, yang mengangkat fenomenologi ke
kekakuan bahasa matematika. Menurut Heidegger, kesadaran selalu mengandaikan
intensionalitas diarahkan pada sesuatu yang eksternal.
Heidegger meradikalisasi prinsip intensionalitas ini dengan mengatakan bahwa kesadaran tidak
hanya menyadari sesuatu, tidak hanya memiliki konten tematik tertentu, tetapi adalah sesuatu.
Tidak hanya kita mempersepsikan sesuatu, tetapi sesuatu ini membentuk kesadaran kita.
Kesadaran kurang penting daripada keberadaan, tetapi ada hal-hal yang lebih penting daripada
kesadaran. Artinya, fenomenologi Heidegger lebih bersifat epistemologis karena menyangkut
pengetahuan tentang dunia, sedangkan fenomenologi Heidegger lebih bersifat ontologis karena
menyangkut realitas itu sendiri. Heidegger menekankan bahwa fakta keberadaan adalah
pertanyaan yang lebih mendasar daripada kesadaran atau pengetahuan manusia, sedangkan
Heidegger cenderung melihat fakta keberadaan sebagai kriteria keberadaan.
Alih-alih membatasi realitas pada kesadaran subjektif, Heidegger akhirnya memaparkannya pada
subjek itu sendiri. Heidegger memutuskan untuk melihat makna etimologis dari kata
“fenomenologi” dan, selain metode, upaya menuju fenomenologi dan universalitas metode
ilmiah. yang ingin dicapai Heidegger. Menurut Heidegger, fenomena sebagai "hal-hal yang
menampilkan dirinya sebagai objek dengan cara yang khas", seperti yang tersirat dalam ontologi-
hermeneutika fakta, hanya dapat berupa materi dalam ruang. Pemahaman fenomena ini
mensyaratkan bahwa penyelidikan fenomenologis tidak dimulai dengan pengalaman sadar objek,
tetapi berhubungan dengan pengalaman sehari-hari orang dengan objek material di ruang
angkasa. Kata setiap hari adalah kata kunci dalam cara berpikir Heidegger.
Dalam hal ini, Heidegger memiliki tujuan yang berbeda dari proyek Heidegger, mirip dengan
penyelidikan teoritis. Heidegger bertujuan untuk mengidentifikasi objek-objek pengalaman sadar
dan memberikan dasar bagi sains yang valid secara universal, sedangkan Heidegger
menempatkan objek-objek dalam mode keberadaan yang konkret dan temporal, Ia berusaha
membebaskan subjek dari keterbatasan pengalaman mental dan sadar. Bagi Heidegger, objek
penyelidikan fenomenologis hanya mengacu pada objek-objek yang ditempatkan dalam ruang
dan waktu tertentu. Misalnya, ketika muncul saat penyelidikan.
Hasil dan pembahasan
Fenomenologi sendiri merupakan kajian tentang fenomena, yang mana berarti munculnya suatu
kesadaran dalam diri manusia. Fenomenologi ditetapkan sebagai gambaran piker dalam pikiran
sadar manusia yang menunjukkan suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat
atau keinginan).Secara harfiah, fenomenologi merupakan paham yang menganggap bahwa
fenomena adalah sumber pengetahuan serta kebenaran. Di sisi lain, fenomenologi juga
merupakan suatu pemikiran bahwa hasrat kuat untuk memahami apa yang sebenarnya melalui
pengamatan terhadap suatu fenomena atau realitas. Sebab, sesuatu yang terdapat dalam diri
manusia akan merangsang indrawi untuk diterima oleh akal dalam bentuk pengalaman yang
disusun secara sistematis melalui penalaran. Dengan kata lain, melalui penalaran inilah manusia
dapat berpikir secara kritis dalam menyikapi fenomena yang ada.
Dengan kata lain, fenomenologi merupakan kajian bagaimana manusia sebagai subjek memaknai
objek di sekitarnya. Intinya, fenomenologi memiliki pandangan bahwa pengetahuan yang kita
dapatkan/ketahui pada saat ini merupakan pengetahuan yang diketahui pada masa sebelumnya
melalui hal-hal yang pernah dilihat, dirasakan, dan didengar oleh alat indera. Dapat dikatakan
bahwa fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami oleh
manusia.
Salah satu filsuf terkenal, Heidegger memaknai fenomenologi sebagai suatu metode serta ajaran
filsafat. Digunakan sebagai metode, Heidegger menjabarkan langkah-langkah yang harus
ditempuh agar sampai pada fenomena yang murni. Dalam melakukan langkah tersebut, dimulai
dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dalam berusaha kembali pada kesadaran murni
(berpikir kritis). Sedangkan dalam ajaran filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan
penting tentang apa yang ada.
Ditinjau dari penerapan fenomenologi dalam kajian bahasa khususnya sosiolinguistik, pada
dasarnya memiliki hubungan yang saling berkaitan. Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa
dan masyarakat yang mengaitkan dua bidang, di mana dapat dikaji secara terpisah yaitu struktur
bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardaugh, 1984). Di sisi lain,
kajian sosiolinguistik menekankan dengan perincian penggunaan bahasa dalam masyarakat,
seperti pola dan pilihan pemakaian bahasa/dialek dalam budaya tertentu. Hal ini menekankan
posisi fenomenologi dalam kajian sosiolingustik, dapat dikatakan bahwa kajian sosiolinguistik
pada dasarnya berasal dari pengamatan secara langsung terhadap penggunaan bahasa pada
masyarakat, dengan melakukan pendalaman terhadap subjek (manusia) atau penutur suatu
bahasa tertentu, fenomenologi memberikan wadah bagi peneliti untuk mengkaji fenomena
bahasa tersebut dalam suatu budaya masyarakat tertentu.
Hal ini selaras dengan prinsip fenomenologi sebagai suatu keilmuan, yang mana
mendeskripsikan fenomena murni tanpa memanipulasi data. Dengan demikian kajian
sosiolinguistik dalam penerapan ilmu bahasa/linguistik serta sosiologi menuntut pendekatan
holistik sama halnya dengan fenomenologi, sehingga memperoleh pemahaman yang utuh
mengenai fenomena yang diamati, hal inilah yang menjadikan fenomenologi menjadi primadona
dalam keilmuan sosial yang dipakai oleh peneliti sosial.
Tujuan peneliti sosial dalam hal ini pengkaji sosiolinguistik menerapkan fenomenologi dalam
penelitiannya ialah untuk memahami makna. Seorang peneliti bahasa tidak lebih tahu dari pelaku
bahasa dalam budaya tertentu. Maka dari itu, dengan penerapan fenomenologi peneliti dapat
mengamati serta terlibat langsung dalam kehidupan masyarakatnya untuk memahami lebih
dalam objek kajiannya.

Studi sosiolinguistik adalah studi yang menggunakan ekstralinguistik, atau faktor sosial, untuk
menjelaskan bahasa. Hal ini juga berlaku untuk penelitian tentang bahasa politik dan media
massa. Laras bahasa politik dan media massa (elektronik/cetak) dimasukkan dalam survei
sosiolinguistik karena keduanya dibahas dalam konteks sosial penggunaannya dari sudut pandang
Allen D. Grimshaw. Tampaknya praktik linguistik seseorang atau sekelompok orang, yang
meliputi dialek, register, jargon, dll. Hal ini terbentuk karena (1) kedudukan dalam struktur sosial,
seperti kelahiran, bahasa ibu, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, kelas sosial, dan jenis
kelamin, (2) formalitas dan informalitas wacana dan khalayaknya, dan (3) proses produksi
linguistik yang pada akhirnya (4) menentukan produksi interaktifnya.

Pada aspek fenomenologi dalam sosiolinguistik dapat dihipotesiskan bahwa pengaruh budaya,
serta bahasa tertentu ikut membentuk fenomena dan perilaku bahasa elit politik. Sama halnya
dengan kepercayaan kaum Sofis, kegairahan dalam kepiawaian berbahasa mencapai puncaknya
ketika mereka memiliki pandangan jika bahasa merupakan piranti utama dalam mencapai
beragam tujuan. Maka tidak mengherankan sampai saat ini, fenomena tersebut masih tampak jelas
dimanfaatkan sebagai senjata dalam pertarungan politik. Fenomena ini sama halnya dengan
idiolek atau gaya berbahasa presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. Dalam laras gaya bahasa politik
dalam halnya pidato atau wawancara informal, Soeharto selalu menerapkan idiolek, yang mana
menjadi cirikhasnya dalam berbahasa politik.

Idiolek sendiri merupakan variasi bahasa dalam kajian sosiolingustik yang menggambarkan ciri
khas suatu individu atau seseorang yang membentuk gaya bahasa tertentu. Di mana ciri khas ini
dipengaruhi oleh latar belakang dari individu tersebut. Fenomenologi Heidegger berperan
penting dalam aspek sosiolinguistik khususnya kajian variasi bahasa ini, di mana pengamatan
subjek manusia dalam halnya variasi bahasa memberikan jawaban atas faktor-faktor yang
mempengaruhi idiolek tersebut. Fenomena idiolek Soeharto banyak tercermin dalam penggunaan
kalimatnya seperti mengentasken, ditanyken, dikembangken. Di mana akhiran –kan menjadi –
ken, merupakan cirikhas gaya bahasa yang dimiliki oleh Soeharto
Dapat disimpulkan bahwa kajian sosiolinguistik pada dasarnya mengedepankan aliran
fenomenologi Heidegger, dengan melakukan pengamatan akan fenomena antara bahasa pada
suatu masyarakat melalui indrawi menjadi medium untuk menemukan jawaban atas fenomena
yang terjadi.
Daftar pustaka
Hardiman, F. Budi (2003). Heidegger dan Mistik Kesadaran. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Hardiman, F. Budi (2015). Seni Memahami: Hermeneutika dari Schlemaicher sampai
Derrida. Yogyakarta: Kanisius.
Heidegger, Martin (1962). Being and Time, (Judul Asli: Sein und Zeit) Penerjemah. John
Macquarrie dan Edward Robinson. Oxford: Blackwell Publishers.
Jean Grondin (2007), Sejarah Hermeneutik, Dari Plato sampai Gadamer, terj. (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media,), hlm. 45
Jonathan, Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu
Kaelan (2002), Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma,
Cet.III, ), hlm. 193
Nafisul Atho’ Mahsun, Martin Heidegger: Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dasein dan
Pemahaman Eksistensial, dalam: Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi
Filosofis menuju Praksis Islamic Studies,
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Palmer, Robert E. (2003). Hermeneutika: Teori Baru tentang Interpretasi (Judul
Asli: Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer), Penerjemah. Mansur Hery dan Damanhuri
Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespoprodjo, Wasito (2004). Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia Bandung.
Shofiyullah, Filsafat Eksistensiatisme Martin Heidegger, dalam: Filsafat barat: Dari Logika
Baru Rene Descrates hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, Editor: Ilyya
Muhsin, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media)

Anda mungkin juga menyukai