Anda di halaman 1dari 3

AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN

ALASAN pembangunan, maka alam ini pun habis dijarah oleh manusia. Alasan keperluan hidup manusia,
membuat lingkungan di muka bumi semakin hari semakin tidak nyaman untuk dihuni. Tanda-tanda ke
arah itu sudah sangat jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam ada di mana-mana. Saat ini
asap mengancam  kita. Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, , muncul pertanyaan, apakah
ibadah kita yang akan kita jalani bermanfaat bagi kelestarian alam, mampu membendung dari perilaku  
buruk yang merusak bumi ini? Atau seperti ibadah rutinitas yang tidak bermakna?

Salah satu penyebab serius anomoli sosial dan kerusakan lingkungan adalah keserakahan manusia.
Manusia banyak melakukan eksploitasi sumber daya alam seperti air, udara, hutan, danau, laut, mineral
tambang emas, perak, nikel, batu bara diambil tanpa batas. Nah, melalui ajaran Islam sebenarnya kita
ingatkan bahwa perilaku  berkelebihan tidak hanya merusak lingkungan dan anomoli sosial tetapi
menjauhi diri kita dari Allah SWT. Syariat Islam mengajarkan kita agar tidak bersifat serakah (tamak) dan
mengeksploitasi  alam yang berlebihan, Muslim yang beriman adalah mampu menahan diri dari
perbuatan-perbuatan yang serakah, individualis, tamak, rakus, merusak sesama manusia serta merusak 
alam dan lingkungan.

Banyaknya kerusakan alam dan bencana yang terjadi seperti kebakaran hutan, banjir, pemanasan global,
tanah longsor dan bencana  ekologis lainnya, merupakan akibat dari keserakahan manusia yang
berlebihan.

Dalam kearifan lokal Melayu yang bersendi syara’, disebutkan bahwa ketika manusia tidak
mengendalikan diri dengan ajaran agama, tidak dipandu dengan adat, dan tidak mempunyai tradisi yang
baik, maka dia akan mendatangkan bencana  dalam kehidupan. Kemudian, kerusakan itu akan berbalik
mengancam manusia itu sendiri. Ini yang akan mempercepat kehancuran atau kiamat kecil, meskipun
kiamat yang sebenarnya adalah rahasia Allah semata. Keadaan ini sudah dibidai oleh orang patut Melayu
: “Apabila rusak alam sekitar. Sempi tidak dapat berlegar. Goyah tidak dapat bersandar. Panas tidak
dapat mengekas. Hujan tidak dapat berjalan. Teduh tidak dapat berkayuh. Apabila alam sudah binasa.
Bala turun celaka tiba. Hidup melarat terlunta-lunta. Pergi kelaut malang menimpa. Pergi ke darat miskin
dan papa. Pergi ke laut ditelan ombak. Pergi ke darat kepala tersundak. Hidup susah kepala pun sesak.
Periuk terjerang nasi tak masak. Apabila alam menjadi punah. Hidup dan mati takkan semenggah. Siang
dan malam ditimpa musibah. Pikiran kusut hati gelebah. Apabila rusak alam lingkungan. Disitulah puncak
segala kemalangan. Musibah datang berganti-gantian. Celaka melanda tak berkesudahan. Hidup
sengsara binasalah badan. Cacat dan cela jadi langganan. Hidup dan mati jadi sesalan. Apabila alam
porak poranda, di situ tumbuh  silang sengketa. Aib datang malu menimpa”.
Dalam pandangan kearifan ekologis orang Melayu  bahwa ajaran agama dipahami dan dihayati oleh
manusia sebagai sebuah cara hidup,  dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi
yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Selalu ingin mencari dan membangun harmoni di
antara manusia, alam , masyarakat yang bersifat eco religius dengan didasarkan pada pemahaman dan
keyakinan bahwa yang spritual  menyatu dengan yang material. Harmoni dan keseimbangan sekaligus
juga dipahami sebagai prinsip atau nilai paling penting dalam tatanan ecocosmis. Ini sejalan dengan
Firman Allah SWT dalam Alquran : “Allah yang telah menciptakan tujuh langit berlapis. Kamu sekali-kali
tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu tang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang. Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang”. (QS al-Mulk:3).

Pengaruh langsungnya makna ayat ini adalah setiap perilaku manusia, bahkan sikap batin yang paling
tersembunyi di lubuk hatinya, harus ditempatkan dalam konteks yang skaral, dalam spritualitas, konsep
ini membangun konstruksi eco-religius. Maka, baik secara individual maupun kelompok, perilaku dan
sikap batin manusia harus murni, bersih, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia , maupun terhadap
alam. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik, yang tidak boleh dirusak dengan perilaku yang
merugikan, menjadi prinsip akhlak yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai kegiatan  ibadah dan
dengan nilai-nilai kesalehan sosial seperti sedekah, zakat, infak dan kepekaan terhadap manusia dan
lingkungan. Dalam konteks ini ibadah tidak hanya hubungan manusia dengan Allah dan sesama
manusia, tetapi juga hubungan harmonis manusia terhadap lingkungan dan alam semesta ini sejalan
dengan ajaran Alquran:  “Dan janganlah kamu berbuat  kerusakan di muka bumi sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Dialah
yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum  kedatangan rahmat-Nya hingga
apabila angin itu telah membawa angin mendung, kami halau ke suatu daerah tandus, lalu kami turunkan
hujan di daerah itu. Seperti itulah kami membangkitkan orang-orang yang mati, mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh dengan seizin Allah. Dan tanah
yang tidak subur, tanam-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda
kebesaran kami, bagi orang-orang yang bersyukur.(Al-A’raf: 56-58).

Dalam hal ini, konsep akhlak  adalah tuntutan inheren manusia dan lingkungan alam semesta. Akhlak ini
tidak hanya menyangkut perilaku manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan dirinya dan
juga dengan alam dan dengan Allah SWT. Makna ibadah dalam konteks ini ada keyakinan eco-religius,
bahwa sikap batin dan perilaku yang salah, terhadap merusak hubungan dengan sesama manusia dan
lingkungan  akan mendatangkan malapetaka dan bencana baik bagi diri sendiri maupun  tanggung jawab
manusia kepada Allah sebagai khalifah di muka bumi. Dalam konteks itu dapat dipahami bahwa semua
bencana alam banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan di laut, diserang
hama dan taun semuanya dianggap sebagai bersumber dari kesalahan sikap batin dan perilaku manusia,
baik terhadap alam dan kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Ini sejalan dengan Firman Allah dalam
Alquran: “Telah nampak kerusakan di dart dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sbagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang
benar. Katakanlah : adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-
orang terdahulu. Kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah”. (QS Ar-
Rum: 41-42).

Perlu ada rekonstruksi dan revitalisasi dalam bentuk kesalehan ritual dan sosial dalam melihat makna
ibadah  dalam konteks lingkungan hidup yang tidak akan membawa bencana baik untuk sesama yang
dirugikan maupun untuk alam yang telah dieksploitasi. Dengan kata lain, perilaku berakhlak, baik
terhadap sesama manusia, maupun terhadap alam, adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan ,
dari akhlakul karimah tersebut yang menghargai dan tunduk kepada ketentuan sunnatullah. Di sinilah
ajaran Islam dapat menjaga keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan Sang Pencipta,
dan manusia dengan lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai