Anda di halaman 1dari 6

Nama : Mia Komala Riska Yunita

Nim & Kelas : 191010200489/ 07HUKE012

Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Anak Dan KDRT

INVENTARISASI HAK-HAK WANITA DALAM UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

Hak-hak perempuan diatur dalam: Undang-Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Politik UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu

1. Dalam memahami dan mengoperasionalkan hak-hak perempuan dalam kehidupan keluarga,


masyarakat, bernegara, bahkan antar negara, maka sistem hukum kita seyogyanya tidak
mendiskriminasikan perempuan. Hak-hak politik, perkawinan, ketenagakerjaan, pendidikan,
kesehatan dan hak dibidang hukum, diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 (UU HAM), yaitu :

1. Pasal 46 Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan


legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus
menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan

2. Pasal 47 Seorang wanita yang menikah dengan seseorang pria


berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk
mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya.

3.Pasal 48 Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di


semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan.

4. Pasal 49 (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan,
jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan.

(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam


pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita.

(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
5. Pasal 50 Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk
melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh
hukum agamanya.
6. Pasal 51 (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-
anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. (2)
Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak. (3) Setelah putusnya perkawinan,
seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan
harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

2. Tenaga kerja perempuan, termasuk kaum buruh memiliki hak-hak khusus sesuai dengan
fungsi reproduksinya, yang telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antara hak-hak buruh perempuan tersebut
adalah hak cuti melahirkan, hak cuti haid, dan hak menyusui. Namun, saat ini masih
banyak perusahaan yang tidak memberikan hak-hak buruh perempuan itu.

1. Pasal 81 (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan


disebutkan bahwa pekerja/buruh
perempuan yang dalam masa haid
merasakan sakit dan memberitahukan
kepada pengusaha, tidak wajib bekerja
pada hari pertama dan kedua pada waktu
haid.

2. Pasal 82  (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan,


bahwa pekerja/buruh perempuan berhak
memperoleh istirahat selama 1,5 bulan
sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5
bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan.
3. Pasal 84 Undang-Undang Ketenagakerjaan, setiap
buruh juga tetap berhak mendapat upah
penuh selama menjalankan cuti, termasuk
cuti hamil dan melahirkan bagi para buruh
perempuan. Kemudian, pada Pasal 185
peraturan yang sama disebutkan pula
bahwa bagi pengusaha yang melanggar
ketentuan dalam Pasal 82 tersebut, maka
akan dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun, dan/atau denda
paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak
Rp 400 juta.

3. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, Menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan melaksanakan tindakan
pencegahan, antara lain, menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi
tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 44 (!) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

4. Pemberlakuan Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, dipandang


sebagai kemajuan positif sebab mengakomodasikan tuntutan jaman, baik itu kepada ibu
maupun anak. Undang-undang tersebut merupakan solusi yang dianggap terbaik untuk
memberi jalan keluar terhadap permasalahan terkait dengan status dan kedudukan hak
perempuan dan anak hasil perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI)
dengan Warga Negara Asing (WNA). Di dalam UU tersebut, menerapkan azas- azas
kewarganegaraan universal, yaitu asas Ius Sanguinis, Ius Soli dan Campuran.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.


Memuat kesimpulan yaitu: Pertama, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia memberikan jaminan kewarganegaraan perempuan
dan anak dari hasil perkawinan campuran. Berdasarkan ketentuan tersebut menyatakan
bahwa perempuan atau ibu diberikan kesempatan untuk mempertahankan
kewargaengaraan Indonesianya dan anak dari hasil perkawinan campuran mendapat hak
untuk menentukan atau memilih kewarganegaraan. Hak tersebut diberikan jika telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan setelah berusia 18 tahun. Kedua, ketentuan yang
mengatur untuk memilih kewarganegaraan kepada anak hasil perkawinan campuran
diberikan hanya pada anak yang tercatat atau didaftarkan di Kantor Imigrasi. Sedangkan
yang tidak terdaftar tidak mendapatkan hak-hak seperti yang dinyatakan dalan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
1. Pasal 26 (1) Perempuan Warga Negara Indonesia
yang kawin dengan laki-laki warga negara
asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum negara asal
suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat
perkawinan tersebut.

(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang


kawin dengan perempuan warga negara
asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum negara asal
istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat
perkawinan tersebut.

(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga
Negara Indonesia dapat mengajukan surat
pernyataan mengenai keinginannya kepada
Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali
pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.

(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) dapat diajukan oleh
perempuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak
tanggal perkawinannya berlangsung.

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini membahas tentang Tindak Pidana Perdagangan
Orang, dan yang di maksud adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pasal 43 (1) Saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang berhak memperoleh
Ketentuan mengenai perlindungan saksi kerahasiaan identitas.
dan korban dalam perkara tindak pidana
perdagangan orang dilaksanakan (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 pada ayat (1) diberikan juga kepada
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi keluarga saksi dan/atau korban sampai
dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam dengan derajat kedua, apabila keluarga
Undang-Undang ini. saksi dan/atau korban mendapat ancaman
baik fisik maupun psikis dari orang lain yang
berkenaan dengan keterangan saksi
dan/atau korban.
Pasal 45 (1) Untuk melindungi saksi dan/atau
korban, di setiap provinsi dan
kabupaten/kota wajib dibentuk ruang
pelayanan khusus pada kantor kepolisian
setempat guna melakukan pemeriksaan di
tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai


pembentukan ruang pelayanan khusus dan
tata cara pemeriksaan saksi dan/atau
korban diatur dengan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 46 (1) Untuk melindungi saksi dan/atau
korban, pada setiap kabupaten/kota dapat
dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi
saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata


cara dan mekanisme pelayanan terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu Undang-undang ini


merumuskan aturan tentang bentuk diskriminasi positif (affirmative action) berupa kuota
30% bagi perempuan di ranah politik Indonesia. affirmative action merupakan kebijakan,
peraturan atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan posisi dan
kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan
politik, seperti kelompok miskin, penyandang cacat, buruh, petani, nelayan dan lain-lain,
termasuk di dalamnya kelompok perempuan.

Pasal 6 (5) Komposisi keanggotaan KPU, KPU


Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus)

Anda mungkin juga menyukai