Anda di halaman 1dari 105

KATA PENGANTAR

Mata kuliah Teori Pengoptimuman merupakan salah satu mata kuliah pilihan
bagi mahasiswa Program Studi Matematika Universitas Mataram yang disajikan pada
semester 5 dengan bobot 3 SKS. Dengan melihat obyek dan bobot dari mata kulian ini,
materi-materi yang disajikan dipilih sedemikian hingga mahasiswa yang telah lulus
mata kuliah ini memiliki sejumlah kemampuan dasar yang berkaitan dengan teori dasar
yang berkaitan dengan metode pengoptimuman dan penerapannya.
Buku ini dikemas dalam enam bab. Bab I berisi tentang apa dan bagaimana
terkait dengan teori pengoptimuman, dilengkapi dengan landasan matematika yang
berisi teori-teori yang mendukung dalam teknik pengoptimuman. Bab II tentang
teknik-teknik pengoptimuman tanpa menggunakan konsep kalkulus. Bab III mengupas
tentang tehnik pengoptimuman untuk kasus optimasi tanpa kendala. Bab IV membahas
tentang tentang tehnik pengoptimuman untuk kasus optimasi yang berkendala. Bab V
membahas tentang topik khusus yang berkaitan dengan program geometrik dan pada
Bab VI membahas tentang topik program dinamik.
Buku ini disajikan dengan bahasa sederhana disertai dengan pembahasan
contoh-contoh yang terkait dengan topik yang diuraikan. Pada setiap babnya
disediakan beberapa soal latihan. Mahasiswa diharapkan mempelajari dengan baik dan
cermat setiap metoda dan cara yang dilakukan dalam pemecahan soal-soal pada contoh
yang diberikan dan mengerjakan semua latihan yang ada.
Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih kepada Dekan FMIPA Universtas
Mataram yang memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun buku ini.
Kemudian sebagai penyusun kami menyadari kemungkinan adanya kekeliruan atau
kesalahan pada buku ini, dengan hati terbuka kami menerima segala kritikan dan saran
demi perbaikan buku ini.

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Bab 1. Pendahuluan 1

1.1. Pendahuluan 1
1.2. Landasan Matematika 2
1.2.1. Norma 2
1.2.2. Invers Matriks 4
1.2.3. Karakteristik Nilai Eigen 5
1.2.4. Fungsi dan Diferensial 7
1.2.5. Himpunan Konveks dan Fungsi Konveks 9
1.3. Kondisi Optimal untuk Masalah Optimasi Tidak Berkendala 11
1.4. Latihan 14

15
Bab 2. Optimasi Tanpa Kalkulus
2.1. Ketaksamaan Rata-Rata Aritmatika dan Geometri 15

2.2. Optimasi Menggunakan Ketaksamaan AM-GM 16

2.3. Ketaksamaan Cauchy 18

2.4. Hasil Kali Dalam untuk Matriks Bujur Sangkar 21

2.5. Latihan 23

Bab 3 Optimasi Tanpa Kendala 24

2.1. Metode Steepest-Descent 24


2.2. Metode Newton 30
2.3. Metode Gauss-Newton 33
2.4. Latihan 38

Bab 4. Optimasi Berkendala 40

40
4.1. Kendala
4.2. Klasifikasi Permasalahan Optimasi Berkendala 47
4.2.1 Program Linear (Linear Programming) 47
4.2.2 Program Kuadratik (Quadratic Programming) 49
4.2.3 Program Konveks (Convex Programming) 49
4.2.4 Bentuk Umum Permasalahan Optimasi Berkendala 50
4.3. Metode Transformasi 51
4.4. Pengganda Lagrange (Lagrange Multiplier) 56
4.4.1 Pengganda Lagrange untuk Permasalahan Kendala Persamaan 56
4.4.2 Kasus Khusus : Fungsi Kuadratik dengan Kendala Linear 58
4.4.3 Metode Lagrange untuk Kendala Pertidaksamaan 58
4.5. Teorema Karush-Kuhn-Tucker 60
4.6 . Latihan 62

Bab 5. Program Geometrik 64

5.1 Pendahuluan 64
5.2 Posinomial 64
5.3 Program Geometri Tanpa Kendala 65
5.3.1 Tingkat Kesulitan (degree of difficulty) 65
5.3.2 Syarat Cukup untuk Solusi PG 67
5.4 Solusi Program Geometri Menggunakan Ketaksamaan Aritmatik-
Geometrik 72
5.5 Relasi Primal-Dual dan Syarat Cukup untuk Kasus Tanpa Kendala 73
5.6 Permasalahan Optimasi Berkendala 76
5.7 Penyelesaian Permasalahan Program Geometrik Berkendala 76
5.8 Latihan 78

Bab 6. Program Dinamik 79

6.1 Pendahuluan 79
6.2 Definisi Program Dinamik 80
6.3 Sifat atau Karakteristik Program Dinamis 80
6.4 Multi Tahapan Proses Pengambilan Keputusan 81
6.5 Konsep Suboptimalisasi dan Prinsip Optimalitas dalam Permasalahan
Program Dinamik 83
6.6 Metode Kalkulus untuk Penyelesaian Program Dinamik 85
6.7 Jenis-jenis Pendekatan Program Dinamis 91
6.8 Latihan 94

Daftar Bacaan
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Teori optimasi merupakan salah satu subyek dalam matematika terapan,


matematika komputasi, dan riset operasi yang memiliki ranah aplikasi yang cukup luas
pada berbagai bidang seperti sains, enginering, ekonomi dan bisnis, keuangan, militer,
dan sebagainya. Secara khusus, teori dan metode optimasi merupakan suatu alat untuk
menentukan solusi optimal dari suatu permasalah nyata yang didefinisikan secara
matematika menggunakan metode ilmiah dan alat-alat (teori atau metode) yang terkait
dalam penentuan solusi optimal tersebut.

Penyelesaian permasalahaan optimasi merupakan suatu langkah ilmiah


penentuan solusi optimal atau terbaik terhadap suatu permasalahan nyata yang terdiri
atas serangkaian kegiatan yang meliputi penyusunan model matematika yang terkait
dengan masalah yang dipecahkan. Model matematika ini berkaitan dengan proses
pendefinisian variabel yang merepresentasikan permasalahan yang dihadapi, penentuan
fungsi tujuan, dan fungsi kendala.

Secara umum, model optimasi diberikan oleh Persamaan (1.1.1) berikut ini.

Min f ( x ) dengan x  X , atau Min f ( x ) (1.1.1)


x X

dengan x menyatakan variabel keputusan (decision variable), f ( x) menyatakan fungsi

tujuan (objective function), dan X   n menyatakan himpunan kendala (constrain set)


atau daerah feasibel (feasible region). Secara khusus, permasalahan optimasi dapat
dibedakan atas dua tipe, yaitu optimasi tanpa kendala dan optimasi berkendala.
Permasalahan optimasi tanpa kendala diberikan oleh Persamaan (1.1.2) berikut :

Min f ( x ) (1.1.2)
x X

dan permasalahan optimasi tanpa berkendala diberikan oleh Persamaan (1.1.3) berikut :
2

Min f ( x)
xX
dengan kendala : Ci ( x)  0, i  E , (1.1.3)
C j ( x)  0, j  I .

dengan E dan I berturut-turut menyatakan himpunan indeks untuk kendala berupa


persamaan (equality constraints) dan kendala berbentuk pertidaksamaan (inequality
constraints).

1.2 Landasan Matematika

Pada sub bagian ini akan diuraikan beberapa konsep matematika yang menjadi
dasar pengembangan teori dan metode pengoptimuman, seperti norma, matriks, fungsi,
diferensial, himpunan dan fungsi konveks.

1.2.1 Norma

Pada buku ini, notasi  n dan n berturut-turut menyatakan ruang berdimensi n


atas lapangan real dan lapangan kompleks. Untuk x   n  atau  n  menyatakan n-

tupel, x   x1 , x2 , , xn  dengan xi  atau xi   ; i  1, 2, , n.

Definisi berikut akan memberikan pengertian tentang terminologi norma.

Definisi 1.1 Misalkan x, y   n dan    sebarang. Fungsi  :  n   disebut

norma, jika memenuhi pernyataan berikut ini :


(i). x  0, dan x  0 jika dan hanya jika x  0,

(ii). x   x ,

(iii). x y  x  y .

Untuk x  n , beberapa contoh fungsi norma yang sudah umum dikenal antara
lain :
(1). Norma- l : x 
 maks xk ,
1 k  n
n
(2). Norma- l1 : x 1   xk ,
k 1
1/ 2
 n 2
(3). Norma- l2 : x 2    xk  ,
 k 1 
3

Secara umum, untuk suatu bilangan bulat p didefinisikan Norma- l p sebagai berikut:

1/ p
 n p 
x    xk  (1.2.1)
 k 1 
p

Definisi 1.2. Misalkan A, B   mn dan    sebarang. Fungsi  :  mn  

disebut norma matriks, jika memenuhi pernyataan berikut ini :


(i). A  0, dan A  0 jika dan hanya jika A  0,

(ii). A   A ,

(iii). A B  A  B .

Berkaitan dengan norma- l p pada (1.2.1), norma- l p untuk matriks adalah sebagai berikut

Ax
A p
 sup p
 maks Ax p
(1.2.2)
x0 x x p 1
p

Secara khusus, beberapa definisi norma yang sudah sering dan umum digunakan adalah
(1). Norma maksimum atas vektor kolom:
n
A 1  maks  aij (1.2.3)
1 j  n
i 1

(2). Norma maksimum atas vektor baris:


n
A 1  maks  aij (1.2.4)
1 i  n
j 1

(3). Norma spektral:

A 2  maks  AT A
1/2
(1.2.5)

Selanjutnya berdasarkan definisi norma tersebut di atas, didefinisikan konsep


jarak sebagai berikut.

Definisi 1.3 Misalkan x, y   n . Jarak antara titik x dan y pada ruang  n ,

dinotasikan dengan d ( x, y ), merupakan suatu fungsi d ( x, y ) :  n   n   yang

didefinisikan dengan d ( x, y )  x  y .
4

Berdasarkan definisi norma, berikut ini adalah karakteristik dari fungsi jarak.

Definisi 1.4 Misalkan x, y, z   n .


(i). d ( x, y )  0 dan d ( x, y )  0 jika dan hanya jika x  y ,
(ii). d ( x, z )  d ( x, y )  d ( y , z ),
(iii). d ( x, y )  d ( y , x ) .

Selanjutnya berikut akan diberikan beberapa terminologi konvergensi barisan


vektor pada  n dan barisan matriks pada ruang  mn .

Definisi 1.5 Misalkan xk   n , untuk setiap n bilangan asli. Barisan vektor  xk 


dikatakan konvergen ke- x , jika

lim xn  x  0 (1.2.6)
n

Selanjutnya, misalkan Ak   mn , untuk setiap m, n   . Barisan matriks  Ak 


dikatakan konvergen ke A, jika

lim An  A  0 (1.2.7)
n

Definisi 1.6 Barisan  xk    n dikatakan barisan Cauchy, jika untuk setiap   0


terdapat indeks N   sehingga xn  xm   , untuk setiap n, m  N .

Atau, untuk setiap n, m  N berlaku

lim xn  xm  0 (1.2.8)
n , m 

1.2.2 Invers Matriks

Pada subbagian ini akan diuraikan beberapa teorema dasar yang berkaitan
dengan invers dan invers yang diperumum (generalized inverse) dari matriks.

Teorema 1.7 [Sun dan Yuan, 2006:9]

Misalkan . konsisten norma matriks dengan I  1 dan E   nn sebarang. Jika

E  1 maka I  E matriks nonsingular, dan


5


(I  E)   E k ,
1
(1.2.9)
k 0

dan

1
I  E
1
 . (1.2.10)
1 E

Jika A   nn adalah matriks nonsingular dan A1  B  A   1 maka matrikas B


adalah nonsingular dan memenuhi

B 1    I  A1 B  A1 ,
k
(1.2.11)
k 0

dan

A1
B 1  . (1.2.12)
1  A1  B  A 

Teorema 1.8 [Sun dan Yuan, 2006:10]


Misalkan A, B   nn dan diasumsikan A mempunyai invers dengan A1   . Jika
A  B   dan   1 maka B juga mempunyai invers dan

1
b 1  (1.2.13)
1  

1.2.3 Karakteristik Nilai Eigen

Pada subbab ini, akan diuraikan beberapa terminologi yang terkait dengan nilai
eigen, khususnya yang terkait dengan matriks definit positif, matriks definit negatif,
dan matriks simetrik indefinit.

Definisi 1.9 Misalkan A   nn suatu matriks dan x   n , x  0 . Bilangan   


disebut nilai eigen dari matriks A, jika memenuhi kesamaan berikut:

Ax   x (1.2.14)

Vektor x yang memenuhi Persamaan (1.2.14) disebut vektor eigen yang


berkorespondensi dengan nilai eigen  .
6

Definisi 1.10 Radius spektral dari matriks A didefinisikan dengan

 ( A)  maks i (1.2.15)
1i  n

Misalkan matriks A   nn dengan nilai–nilai eigen 1 , 2 ,, n . Vektor eigen


yang berkorespondensi dengan nilai eigen yang berbeda dari matriks A adalah bebas
linear.

Definisi 1.11 Misalkan A   nn adalah matriks simetrik dan v   n .


(1). Matriks A disebut definit positif jika vT Av  0 , untuk setiap v  0 .
(2). Matriks A disebut semidefinit positif jika vT Av  0 .
(3). Matriks A disebut definit negatif jika  A definit positif atau vT Av  0 , untuk
setiap v  0 .
(4). Matriks A disebut semidefinit negatif jika  A semidefinit negatif atau vT Av  0 .
(5). Matriks A disebut indefinit, jika A bukan semidefinit positif atau semidefinit
negatif.

Misalkan A   nn adalah matriks simetrik. Beberapa karakteristik dari matiks A


adalah sebagai berikut :
(1). Semua nilai eigen dari A adalah bilangan real.
(2). Vektor eigen yang berkorespondensi dengan nilai-nilai eigen yang berbeda dari
matriks A adalah ortogonal.

Berdasarkan Definisi 1.10, beberapa karakteristik yang terkait dengan matriks


simetrik definit posifif, semidefinit positif, definit negatif dan semidefinit negatif.
Misalkan A   nn adalah matriks simetrik.
(1). Matriks A adalah definit positif jika dan hanya jika semua nilai eigen dari matriks
A adalah positif.
(2). Matriks A adalah semidefinit positif jika dan hanya jika semua nilai eigen dari
matriks A adalah non negatif.
(3). Matriks A adalah definit negatif jika dan hanya jika semua nilai eigen dari matriks
A adalah negatif.
(4). Matriks A adalah semidefinit negatif jika dan hanya jika semua nilai eigen dari
matriks A adalah non negatif.
7

(5). Matriks A adalah indefinit jika dan hany jika nilai eigen dari matriks A ada yang
positif dan sekaligus yang negatif.

1.2.4 Fungsi dan Diferensial

Misalkan x   n dan   0. Sekitaran-  (neighborhood) dari vektor x


didefinisikan dengan

N ( x )   y   n | y  x    (1.2.16)

Misalkan D   n dan x  D. Titik x disebut titik interior dari D, jika terdapat


sekitaran-  dari x sedemikian hingga N ( x)  D . Himpunan semua titik interior dari

himpunan D dinotasikan dengan Int ( D ) . Oleh karenanya, Int ( D )  D . Jika setiap


titik pada D adalah titik interior atau Int ( D )  D , maka himpunan D adalah himpunan
buka.

Titik x  D   n disebut titik akumulasi atau titik limit, jika   0,

N ( x)  D  . ini berarti, terdapat subbarisan x 


nk pada D sehingga xnk  x .

Himpunan semua titik limit dari D disebut tutupan (closore) dari D, dinotasikan dengan
D . Jelas bahwa D  D . Selanjutnya, jika D  D atau setiap titik limit pada D
dimuat oleh D maka D adalah himpunan tutup.

Himpunan D   n disebut terbatas, jika terdapat bilangan real M sedemikian

hingga x  M , untuk setiap x  D. Selanjutnya, himpunan D   n dikatakan

himpunan kompak, jika D tutup dan terbatas.

Fungsi f :  n   disebut kontinu di titik c  n , jika untuk setiap   0

terdapat   0 sedemikian hingga jika x  c   maka f ( x)  f (c)   . Dengan

kata lain, untuk setiap x  N (c) , f ( x)  N ( f (c)). Jika fungsi f kontinu untuk setiap
titik pada D maka f dikatakan kontinu pada D.
8

Fungsi kontinu f :  n   dikatakan kontinu terdiferensial di titik c  n , jika

 f 
turunan fungsi f di titik c,   c   ada dan kontinu, i  1, 2, , n. Gradient fungsi f
 xi 
atau Matriks Jacobian untuk fungsi f di titik x n didefinisikan dengan
T
 f f f 
f ( x )   ( x) ( x)  ( x)  (1.2.17)
 x1 x2 xn 

Jika f kontinu terdiferensial di setiap titik pada himpunan buka D   n maka f disebut
kontinu terdiferensial pada D dan dinotasikan dengan f  C1 ( D). Secara umum, jika
fungsi kontinu f ( x), dan f ' ( x), f '' ( x),, f (p) ( x) ada dan kontinu untuk setiap titik pada
himpunan D, maka dinotasikan dengan f  C p ( D).

Fungsi kontinu terdifensial f :  n   dikatakan mempunyai turunan kedua


2 f
yang kontinu di x   n jika adadan kontinu, untuk setiap i, j  1, 2, , n.
xi x j
Matriks Hessian dari fungsi f , 2 f , didefinisikan sebagai matriks simetris berukuran
n  n dengan elemen sebagai berikut

2 f
 f ( x) 
2
 ( x), 1  i, j  n (1.2.18)
i, j xi x j

Atau

 2 f 2 f 2 f 
  
 x1x1 x1x2 x1xn 
 2 f 2 f 2 f 
  
 2 f ( x)   x2 x1 x2 x2 x2 xn 
    
 
 2 f  f
2
2 f 
 x x 
 n 1 xn x2 xn xn 

1.2.5 Himpunan Konveks dan Fungsi Konveks

Himpunan dan funsgi konveks merupakan dua terminologi yang cukup penting
dalam kajian optimasi.
9

1.2.5.1 Himpunan Konveks

Definisi 1.12 Misalkan S   n . Jika setiap x1 , x2  S dan   [0,1] berlaku

 x1  1    x2  S (1.2.19)

maka himpunan S disebut himpunan konveks.

Secara umum, himpunan S   n disebut himpunan konveks, jika untuk setiap


x1 , x2 ,, xm  S berlaku

 x  S
i 1
i i (1.2.20)

m
dengan 
i 1
i  1,  i  0, dan i  1, 2,, m.

Secara geometri, Definisi 1.11 mengindikasikan bahwa jika x1 , x2  S maka segmen

garis antara x1 dan x2 berada pada himpunan S, sebagaimana di ilustrasikan pada


Gambar 1 berikut:

x1
x1 x2 x2

Himpunan Konveks
Himpunan Bukan Konveks

Gambar 1. Ilustrasi himpunan konveks dan himpunan bukan konveks

Pada Gambar 1, himpunan yang pertama (bagian kiri) terlihat bahwa x1 dan x2

serta semua titik pada ruas garis x1 x2 berada pada himpunan S, tetapi pada himpunan

kedua (bagian kanan), x1 dan x2 berada pada himpunan S, tetapi ada bagian pada ruas

garis x1 x2 yang berada di luar himpunan S.

Beberapa karakteristik himpunan konveks adalah sebagai berikut :

1) Misalkan S1 dan S2 adalah himpunan konveks pada  n maka


10

(a). S1  S2 adalah himpunan konveks.

(b). S1  S2   x1  x 2 | x1  S1 , x2  S2  adalah himpunan konveks.

2) Jika S   n adalah himpunan konveks maka


(a). Himpunan interior dari S, Int(S), adalah himpunan konveks.
(b). Tutupan (closure) dari himpunan S adalah himpunan konveks.

1.2.5.2 Fungsi Konveks

Definisi 1.13 Misalkan S   n dan S   merupakan himpunan konveks, serta fungsi

f : S   n . Jika untuk setiap x1 , x2  S dan setiap    0,1 berlaku

f ( x1  (1   ) x2 )   f ( x1 )  (1   ) f ( x2 ), (1.2.21)

maka fungsi f disebut fungsi konveks pada S.


Selanjutnya, jika terdapat c  0 sedemikian hingga untuk setiap x1 , x2  S berlaku

1
f ( x1  (1   ) x2 )   f ( x1 )  (1   ) f ( x2 )  c x1  x2 ,
2
(1.2.22)
2

maka fungsi f disebut fungsi konveks secara seragam (uniformly) pada S.

Jika fungsi f pada S merupakan fungsi konveks (konveks seragam), maka invers

dari fungsi f yaitu   f  merupakan fungsi konkaf /concave (konkaf seragam) pada S,

seperti yang di ilustrasikan pada Gambar 2.

(i) (ii) (iii)


x1 x x2 x1 x x2 x1 x x2

Gambar 2 Ilustrasi grafik (i) fungsi konveks, (ii) fungsi konkaf, dan (iii) bukan fungsi
konveks dan konkaf

Secara geometri, berdasarkan ilustrasi pada Gambar 2, fungsi konveks dapat


diinterpretasikan sebagai suatu fungsi yang grafiknya berada di bawah ruas garis yang
11

menghubungkan titik  x1 , f ( x1 )  dan titik  x2 , f ( x2 )  untuk setiap x   x1 , x2  .

Sebaliknya, grafik fungsi konkaf berada di atas ruas garis yang menghubungkan titik
 x1 , f ( x1 )  dan titik  x2 , f ( x2 )  untuk setiap x   x1 , x2  .

Suatu fungsi f : S   n   dikatakan fungsi konveks tegas (strictly convex)


pada S, jika

f ( x   ( y  x ))  f ( x )   ( f ( y )  f ( x )), x, y  S .

Selanjutnya teorema berikut akan memberikan hubungan antara fungsi konveks dengan
matriks Hessian.

Teorema 1.14 Misalkan S   n suatu himpunan konveks yang tidak kosong dan

misalkan pula f : S   kontinu terdiferensial dua kali, f  C 2 ( S ).

1) Fungsi f adalah fungsi konveks jika dan hanya jika matriks Hessian yang berkaitan
dengan fungsi f adalah matriks semidefinit positif untuk setiap titik di S.
2) Fungsi f adalah fungsi konveks tegas, jika matriks Hessian yang berkaitan dengan
fungsi f adalah matriks definit positif untuk setiap titik di S.
3) Fungsi f konveks seragam jika dan hanya jika matriks Hessian yang berkaitan
dengan fungsi f adalah matriks definit positif seragam untuk setiap titik di S, yaitu
terdapat konstanta m  0 sehingga

m u  u T  2 f (x)u , x  S dan u   n
2

1.3 Kondisi Optimal untuk Masalah Optimasi Tidak Berkendala

Pada subbab ini, misalkan permasalahan optimasi tidak berkendala diberikan


sebagai berikut:

min f ( x), x   n (1.23)

Secara umum, berkaitan dengan permasalahan optimasi tidak berkendala terdapat


dua tipe masalah pengoptimuman yiatu optimum lokal dan optimum global yang
diberikan oleh definisi berikut ini.
12

Definisi 1.15 Titik x  disebut titik minimum lokal (local minimizer),, jika terdapat
  0 sedemikian hingga f ( x )  f ( x), x   n dan x  x    . Kemudian, Titik x 

disebut titik minimum lokal tegas (strict local minimizer), jika terdapat   0
sedemikian hingga f ( x )  f ( x), x   n , x  x , dan x  x    .

Definisi 1.16 Titik x  disebut titik minimum global (global minimizer), jika
f ( x )  f ( x), x   n . Kemudian, Titik x  disebut titik minimum global tegas (strict

global minimizer), jika f ( x  )  f ( x), x   n , dan x  x .

Secara geometri, ilustrasi definisi minimum lokal, minimum lokal tegas dan
minimum global dapat dilihat pada Gambar 3. Pada tataran aplikasi, kebanyakan
algoritma yang diajukan digunakan untuk menentukan minimum lokal. Sedangkan
untuk minimum global merupakan pekerjaan yang cukup sulit, kecuali untuk beberapa
fungsi tertentu yang sudah dikenal karakteristiknya, seperti fungsi kuaratik atau fungsi
polinomial pada umumnya.

Minimum Lokal Tegas 

Minimum Lokal  

Minimum Global  

Gambar 3. Ilustrasi minimum lokal, minimum lokal tegas dan minimum global

Salah satu konsep yang sangat penting dalam menemukan lokasi minimum lokal
adalah arah descent (descent direction) yang didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 1.17 Misalkan f :  n   terdiferensial di titik x   n . Jika terdapat vektor

d   n sehingga

f ( x), d  0, (1.24)

maka d disebut arah descent dari fungsi f di titik x.


13

Kondisi pada teorema berikut merupakan syarat perlu suatu fungsi f memiliki
minimum lokal di titik x   n .

Teorema 1.18 (Syarat Perlu untuk Turunan Pertama)

Misalkan f : D   n   kontinu terdiferensial pada himpunan buka D. Jika x*  D


adalah titik minimum lokal dari (1.23) maka berlaku

f  x    0. (1.25)

Teorema 1.19 (Syarat Perlu untuk Turunan Kedua)

Misalkan D   n himpunan buka, f : D   n   diberika, dan f  C 2 ( D) . Jika

x*  D adalah titik minimum lokal dari (1.23) maka f  x*   0 dan  2 f  x*  adalah

matriks semidefinit positif.

Teorema 1.20 (Syarat Cukup untuk Turunan Kedua)

Misalkan D   n himpunan buka, f : D   n   diberika, dan f  C 2 ( D) . Jika

f  x*   0 dan  2 f  x*  semidefinit positif maka x*  D adalah titik minimum lokal

tegas dari (1.23).

Definisi 1.21 Titik x*   n disebut titik stasioner (titik kritis) untuk fungsi terdiferensial
f, jika f  x*   0 .

Teorema 1.22 Misalkan S   n suatu himpunan konveks tak kosong dan fungsi
f :S . Misalkan pula x*  S titik minimum lokal sedemikian hingga

f  x*   f  x  , x  S0  S . .

(1). Jika f fungsi konveks maka x*  S juga merupakan titik minimum global.
(2). Jika f fungsi konveks tegas maka x*  S merupakan satu-satunya titik minimum
global.
14

1.4 Latihan

1. Misalkan A adalah matriksnon singular berukuran n  n . Buktikan bahwa

x
Ax  .
A1

2. Tunjukkan dengan induksi matematika bahwa himpunan S   n adalah himpunan


konveks jika dan hanya jika untuk setiap x1 , x2 ,, xn  S berlaku

 x  S
i 1
i i

n
dengan  i  0, i  1, 2,, n dan 
i 1
i  1.

3. Misalkan A mn , dan b   m . Buktikan bahwa himpunan

S   x   n | Ax  b, x  0

adalah himpunan konveks.

4. Misalkan D1   x   2 | x1  x2  1, x1  0 dan D2   x   2 | x1  x2  1, x1  0 .

Misalkan pula D  D1  D2 . Tunjukkan bahwa jika D1 dan D2 adalah himpunan


konveks, tetapi himpunan D belum tentu himpunan konveks.
5. Misalkan fi ( x), i  1, 2,, m adalah fungsi konveks yang terdefinisi pada himpunan

konveks D   n . Tunjukkan bahwa fungsi

m
g ( x)    i fi ( x)
i 1

juga merupakan fungsi konveks pada D, dengan i  0, i  1, 2,, m dan


m


i 1
i  1.
15

BAB 2
OPTIMASI TANPA KALKULUS

(OPTIMIZATION WITHOUT CALCULUS)

Pembahasan tentang tehnik atau metode optimasi, biasanya kita tidak terlepas
dari syarat turunan pertama dan kedua dari suatu fungsi, sistem persamaan linier,
operator nonlinier, ukuran jarak dan sebagainya. Bahkan beberapa mahasiswa atau kita
pada umumnya sering kali menganggap bahwa optimasi merupakan suatu topik atau
pokok bahasan yang penyelesaiannya bergantung pada aplikasi dari turunan dan
kalkulus pada umumnya.

Pada bab ini, kita akan mendiskusikan optimasi tanpa menggunakan prinsip dan
tehnik kalukulus, khususnya teori tentang diferensial. Pembahasan tehnik atau metode
optimasi pada bab ini didasarkan pada ketaksamaan rata-rata Aritmatika-Geometri dan
ketaksamaan Cauchy.

2.1 Ketaksamaan Rata-Rata Aritmatika dan Geometri

Sebelum kita membahas tentang ketaksamaan yang melibatkan hubungan


antara rata-rata aritmatika dan rata-rata, berikut diberikan terminologi tentang rata-rata
aritmatia dan geometri secara parsial.

Definisi 2.1 Jika x1 , x2 , , xn adalah bilangan real positif maka :

(1). Rata-rata aritmatika terhadap n data x1 , x2 , , xn adalah

1
AM  ( x1  x2    xn ) , (2.1.1)
n

(2). Rata-rata geometri terhadap n data x1 , x2 , , xn adalah

GM  ( x1.x2 ..xn )1/ n . (2.1.2)

Hubungan antara rata-rata aritmatika(AM) dan rata-rata geometri (GM)


diberikan oleh Teorema berikut :
16

Teorema 2.2 Misal diberikan x1 , x2 , , xn adalah bilangan positif. Hubungan antara

rata-rata aritmatika(AM) dan rata-rata geometri (GM) diberikan oleh ketaksamaan


berikut :

1
( x1.x2 ..xn )1/ n  ( x1  x2    xn ), (2.1.3)
n

dengan tanda sama terpenuhi, jika x1  x2    xn .

Ketaksamaan (2.1.3) dikenal dengan ketaksamaan rata-rata aritmatika dan


geometri (arithmetic mean-geometric mean) yang dikenal dengan AM-GM.

Teorema 2.3 Perumuman dari Ketaksamaan AM-GM

Misalkan x1 , x2 , , xn adalah n bilangan positif dan misalkan pula a1 , a2 , , an adalah


n
bilangan-bilangan positif dengan sifat a
i 1
i  1. Perumuman dari ketaksamaan AM-

GM adalah

x1a1 x2a2  xnan  a1 x1  a2 x2    an xn , (2.1.4)

dengan tanda sama dengan terpenuhi jika dan hanya jika x1  x2    xn .

2.2 Optimasi Menggunakan Ketaksamaan AM-GM

Ilustrasi penggunaan AM-GM untuk penyelesaian permasalahan optimasi


adalah sebagai berikut :

2.2.1 Contoh 1
12 18
Tentukan nilai minimun dari fungsi f ( x, y )    xy, dengan x dan y merupakan
x y
dua bilangan positif.

12 18
Perhatikan suku-suku pada fungsi f ( x, y )    xy. Jika ketiga suku pada fungsi
x y

 12   18 
f ( x, y) dikalikan maka diperoleh      xy   216 . Berdasarkan ketaksamaan
 x  y 
AM-GM berlaku :
17

12 18
  xy
1
 12   18   x y 3

     xy   
 x   y   3

1
1  12 18 
  2163     xy 
3 x y 

12 18
 18    xy (2.2.1)
x y

Ketaksamaan pada (2.2.1) berimplikasi bahwa nilai minimum fungsi


12 18
f ( x, y )    xy terjadi ketika
x y
12 18
  xy  6 (2.2.2)
x y

Kesamaan pada (2.2.2) memberikan x  2 dan y  3 sehingga diperoleh nilai minimum


12 18
untuk fungsi f ( x, y )    xy adalah 18.
x y

2.2.2 Contoh 2

Tentukan nilai maksimum dari fungsi f ( x, y)  xy(72  3x  4 y) dengan x dan y


merupakan dua bilangan positif.

Perhatikan bahwa fungsi f ( x, y)  xy(72  3x  4 y) terdiri atas tiga suku, yaitu x, y ,


dan 72  3x  4 y , serta jumlah ketiga suku-suku tersebut bukanlah suatu konstanta.
Tetapi, kalau dimodifikasi menjadi 3x  4 y  (72  3x  4 y) memberikan hasil yang
konstan yaitu 72. Dengan demikian fungsi f ( x, y) dapat ditulis kembali menjadi

1
f ( x, y )   3x  4 y  (72  3x  4 y) (2.2.3)
12

Karena 3x  4 y  (72  3x  4 y)  72 maka berdasarkan ketaksamaan AM-GM, nilai


maksimum dari fungsi f ( x, y) terjadi jika masing-masing suku tak konstan dari fungsi
f ( x, y) pada (2.2.3) adalah 24.

Akibatnya diperoleh nilai x  8 dan y  6. Substitusi nilai x dan y pada fungsi


f ( x, y) memberikan nilai maksimum untuk fungsi
f ( x, y ) |x 8; y  6  xy (72  3 x  4 y )  1152.
18

2.2.3 Contoh 3

x 4y
Tentukan nilai minimum dari fungsi f ( x, y )  4 x   dengan x dan y
y2 x
merupakan dua bilangan positif.

x 4y
Untuk kasus ini, tulis fungsi f ( x, y )  4 x   menjadi
y2 x

x  2y 2y 
f ( x, y )  4 x     (2.2.4)
y2  x x 

Selanjutnya, tulis kembali fungsi f ( x, y) sebagai berikut

x  2y 2y 
f ( x, y )  4 x    
y2  x x 

Selanjutnya, berdasarkan ketaksamaan AM-GM berlaku

x  2y 2y 
1
4x    
  x   2 y 2 y  4
y2  x x 
 4 x  2    
  y  x x  4
(2.2.5)
x  2y 2y 
4x  2    
y  x x 
 16 
4

Dengan menulis kembali (2.2.4) menjadi

 x  2y 2y 
 4x  y2   x  x  
f ( x, y )  4    (2.2.6)
 4 
 

1
Berdasarkan persamaan (2.2.5) dan (2.2.6) maka diperoleh f ( x, y )  2 . Dengan
4
demikian diperoleh nilai minimum dari fungsi f ( x, y) adalah 8, yaitu ketika masing-
masing suku pada (2.1.5) bernilai 2.

2.3 Ketaksamaan Cauchy

Definisi 2.4 Misalkan x, y   n dengan x   x1 , x2 , , xn  dan y   y1 , y2 , , yn  .

(1). Hasil kali dalan vektor x dan y, dinotasikan x, y , didefinisikan dengan


19

x, y  x1 y1  x2 y2    xn yn . (2.3.1)

(2). Norma vektor x n didefinisikan dengan


x  x, x . (2.3.2)

Definisi 2.5 Misalkan x, y   n dengan x   x1 , x2 , , xn  dan y   y1 , y2 , , yn  .


Ketaksamaan Cauchy berkaitan dengan vektor x dan y memenuhi

x, y  x y (2.3.3)

Ruas kiri akan sama dengan ruas kanan, jika terdapat a   sehingga x  ay.

Permasalahan optimasi yang menggunakan ketaksamaan Cauchy sebagai alat


penyelesaiannya diperlihat oleh contoh-contoh berikut ini.

Contoh 1.

Tentukan nilai terbesar dan terkecil dari fungsi

f ( x, y, z )  2 x  3 y  6 z, (2.3.4)

jika titik ( x, y, z) memenuhi x 2  y 2  z 2  1 .

Berdasarkan ketaksamaan Cauchy, kita peroleh

(22  32  62 )( x 2  y 2  z 2 )  (2 x  3 y  6 z ) 2 , (2.3.5)

Karena syarat x 2  y 2  z 2  1 maka ruas kiri pada (2.3.5) sama dengan 49. Akibatnya
nilai fungsi f ( x, y, z) berada pada interval [7,7] dan kesamaan pada (2.3.5) terjadi
ketika vektor (2,3,6) paralell terhadap vektor ( x, y, z ) , yaitu

x y z
  . (2.3.6)
2 3 6

Kesamaan (2.3.6) memberikan x  t , y  32 t , dan z  3t dengan t 2  94 . Akibatnya,

2
nilai terkecil dari f ( x, y, z )  7 , pada saat nilai x   dan nilai terbesar dari
7
2
f ( x, y, z )  7 , ketika nilai x  .
7
20

Contoh 2.

Permasalahan mendasar pada teori estimasi adalah mengestimasi nilai konstanta c, jika
diberikan sejumlah J data z j  c  v j , j  1, 2, , J dengan v j , j merupakan variabel

acak yang merepresentasikan suatu gangguan (noise) atau kesalahan pengukuran


(measurement error). Jika diasumsikan nilai harapan (ekspetasi) untuk nilai v j , j

adalah E (v j )  0 , nilai v j , j tidak saling berkorelasi atau E (v j , vk )  0, untuk j  k

dan varians dari v j adalah E (v 2j )   2  0.

Estimator linier untuk c diberikan oleh

J
c   b j z j . (2.3.7)
j 1

J
Ingat, bahwa estimator c tidak bias, jika E (c )  c, dengan b
j 1
j  1 . Estimator terbaik

dapat diperoleh dengan meminimumkan E  c  c  .  


2

 

Dengan demikian, ini berarti bahwa b j harus meminimumkan

 J J  J
E   b j bk v j vk    b 2j  2j , (2.3.8)
 j 1 k 1  j 1

dengan kendala
J

b j 1
j  1. (2.3.9)

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kita akan menggunakan ketaksamaan Cauchy.

Pandang kesamaan
J J
1
1   b j   (b j j ) .
j 1 j 1 j

Ketaksamaan Cauchy memberikan

J J
1
1 b  
j 1
2
j
2
j
j 1
2
,
j
21

dengan tanda sama dengan terpenuhi jika dan hanya jika terdapat suatu konstanta, sebut
 , sehingga

1
b j j   , j  1, 2, , J .
j

Akibatnya diperoleh

1
bj   , j  1, 2, , J .
 2j

Berdasarkan persamaan (2.3.9) diperoleh

1
 J
1

j 1
2
j

Akhirnya memberikan nilai untuk estimator

J z
c    j2 . (2.3.10)
j 1 j

2.4 Hasil Kali Dalam untuk Matriks Bujur Sangkar

Trace untuk suatu matriks persegi M, notasi trM , adalah jumlah elemen-elemen
matriks M yang berada di bawah diagonal utamanya. Jika diberikan matriks persegi A
dan B atas lapangan  (semua elemennya merupakan bilangan real).

Trace dari perkalian matriks BT A mendefinisikan hasil kali dalam,

A, B  tr ( B T A).

Hasil kali dalam pada matriks dapat digunakan untuk mendefinisikan norma pada
matriks, yang dikenal dengan norma Frobenius, yaitu :

A  A, A  tr ( AT A). (2.4.1)

untuk setiap matriks persegi A.


22

Berikut akan diberikan sebuah teorema yang berlaku pada suatu matriks simetri
(Teorema Fan). Namun sebelum itu akan diuraikan dulu beberapa terminologi yang
akan digunakan dalam teorema tersebut.

Misalkan S adalah suatu matriks simetris. Definisikan  ( S )   n ,  ( S )   1 , 2 , , n 

adalah vektor yang elemen-elemennya merupakan nilai eigen dari matriks simetris S,
dan D( ( S )) merupakan matriks diagonal yang elemennya adalah elemen dari  ( S ) .
Berdasarkan definisi ini, dapat ditunjukkan bahwa

S   (S ) . (2.4.2)

Misalkan pula   ( S )  menyatakan vektor dari nilai eigen S yang diurut dengan urutan

tidak naik.

Teorema 2.6 (Teorema Fan)

Jika S dan R adalah dua matriks simetris sebarang maka berlaku

tr ( SR )  [ ( S )],[ ( R )] ,

dengan tanda sama dengan terpenuhi jika dan hanya jika terdapat matriks ortogonal U
sedemikian hingga

S  UD ([ ( S )])U T ,

dan

R  UD ([ ( R )])U T .

Akibat dari Teorema Fan, jika matriks S dan R adalah matriks diagonal, maka berlaku

 ( S ),  ( R )  [ ( S )],[ (R)] . (2.4.3)


23

2.5 Latihan

1. Misalkan A menyatakan rata-rata aritmatika dari himpunan berhingga bilangan


positif P, dengan x dan y berturut-turut menyatakan unsur terkecil dan terbesar dari
himpunan P.
Buktikan bahwa xy  A( x  y  A), dan kesamaan terjadi jika dan hanya jika
x  y  A.

2. Minimumkan fungsi
1 4
f ( x)  x 2  2
 4x 
x x

untuk setiap x bilangan positif.


Petunjuk : pandang dua suku pertama dan dua suku terakhir secara terpisah.
3. Tentukan nilai maksimum dari fungsi f ( x, y )  x 2 y, jika x dan y memenuhi
6 x  5 y  45.
Petunjuk : Tulis 6 x  3x  3x .
4. (Ketaksamaan Young) Misalkan p dan q adalah bilangan positif yang lebih besar
1 1
dari 1 dan memenuhi   1. Jika x dan y adalah dua bilangan positif maka
p q

x p yq
xy   ,
p q

dengan kesamaan terjadi jika dan hanya jika x p  y q .


Petunjuk : gunakan perumuman dari ketaksamaan AM-GM.
24

BAB 3
OPTIMASI TANPA KENDALA
(UNCONSTRAINED OPTIMIZATION)

Permasalahan optimasi tanpa kendala dapat dibedakan atas dua metode, yaitu
metode pencarian (search methods) dan metode gradien (gradient methods). Namun
secara umum, khususny untuk permasalahan multidimensi, metode pencarian kurang
efisien. Oleh karenanya pada buku ini hanya akan dibahas tentang metode gradien.

Metode gradien merupakan salah satu metode optimasi yang berdasarkan pada
informasi gradient fungsi yang akan dioptimalkan pada suatu titik tertentu. Pada bagian
ini, kita akan fokus pada tiga metode gradien yang umum yaitu :

(a). Metode Steepest-Descent


(b). Metode Newton
(c). Metode Gauss-Newton

3.1 Metode Steepest-Descent

Misal diberikan suatu permasalahan optimasi

Min F = Min f ( x), untuk x   n . (3.1.1)

Berdasarkan aturan pada Deret Taylor,

F  F  f ( x   )  f ( x)  g T   12  T H  , (3.1.2)

dan   0. Perubahan F dalam fungsi  diberikan oleh

F  g T  . (3.1.3)

Operasi kali pada ruas kanan (3.1.3) adalah kali skalar atau hasil kali dalam (dot
product) antara vektor g dan vektor  .

Jika g   g1 g 2  g n  dan   1 2  n  maka


T T
25

n
F   gi i  g  cos 
i 1

dengan  menyatakan sudu antara vektor g dan vektor  , dan

g   gT g  2 .
1
(3.1.4)

3.1.1 Arah Ascent dan Descent

Perhatikan plot kontur pada Gambar 3.1. Jika x dan x   dua titik yang
berdekatan pada kontur A, maka untuk   0 berlaku

F  g  cos   0 (3.1.5)

Karena F merupakan konstanta pada kontur. Dengan demikian dapat disimpulkan


bahwa besaran sudut  antara vektor g dan vektor  sama dengan 900. Akibatnya
gradien di titik x adalah ortogonal dengan kontur A, seperti yang diilustrasikan pada
Gambar 3.1. Selanjutnya, untuk setiap  , F bernilai maksimum (positif) jika   0 ,
dan  merupakan arah dari fungsi g .

Gambar 3.1 Arah Steepest Descent dan Steepest Ascent.


Sumber : Antoniou dan Lu (2007:121)
26

Pada sisi lain, F bernilai maksimum (negatif) jika    , dan  menyatakan arah
dari fungsi  g. Gradien g dan  g berturut-turut menyatakan arah steepest ascent dan
steepest descent. Secara mendasar definisi terkait dengan hal ini diberikan sebagai
berikut.

3.1.2 Metode Dasar

Misalkan f ( x) adalah fungsi kontinu di sekitaran titik x. Jika d menyatakan


arah steepest-descent di titik X di titik x, yaitu
d  g

maka perubahan sebesar  di titik x diberikan oleh


   d , untuk suatu   0

akan mengurangi nilai fungsi f ( x). Maksimum pengurangan nilai fungsi f ( x) dapat
dipandang sebagai permasalahan mencari solusi permasalahan

Min F  f ( x   d ) (3.1.6)

sebagaimana diilustrasikan seperti pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3.

Gambar 3.2 Konstruksi metode steepest descent.


Sumber : Antoniou dan Lu (2007:122).
27

Gambar 3.3 Arah Steepest Descent dan Steepest Ascent.


Sumber : Antoniou dan Lu (2007:122).

Jika keadaan dari suatu titik x ke suatu titik optimum x* yang menyebabkan
nilai f(x) minimum, maka melalui metode stepest descent arah pencarian ditentukan
oleh nilai  seperti diilustrasikan pada Gambar 3.3. Akibatnya, permasalahan dimensi
banyak (multi-dimensional) semula dapat diselesaikan dengan permasalahan dimensi
satu Persamaan (3.1.1).

Pada kenyataannya, d bukanlah titik yang berada pada arah x* dan selanjutnya
prosedur iterasi harus digunakan untuk menentukan solusi yaitu x* . Dimulai dari titik
x0 , arah d  d0   g dapat ditentukan dan nilai  yang meminimumkan

f  x0   0 d 0  , sebut  0 dapat ditentukan. Selanjutnya titik x1  x0   0 d0 dapat

ditentukan dan selanjutnya dapat dilanjutkan melalui proses iterasi

xk 1  xk   k d k . (3.1.7)

untuk k  1, 2,3, sampai konvergensi dicapai. Prosedur iterasi ini selesai

(terminated), jika  k d k tidak signifikan, atau jika  k  K 0 dengan K konstanta


28

positif kecil. Proses iterasi ini seperti diilustrasikan pada Gambar 3.4. Perhatikan
bahwa pola trayektori dari titik awal menuju titik solusi mengikuti pola zig-zag tetapi
saling tegak lurus.

Gambar 3.4 Arah Steepest Descent dan Steepest Ascent.


Sumber : Antoniou dan Lu (2007:124).

Algoritma Steepest-Descent adalah sebagai berikut :


Langkah 1.
Input x0 dan tetapkan nilai toleransi  (bilangan positif
cukup kecil).
Tetapkan k = 0;
Langkah 2.
Hitung gradien g k dan tetapkan d k   g k .

Langkah 3.
Tentukan k , nilai yang meminimumkan f ( xk   dk )
menggunakan line search.
29

Langkah 4.
Tetapkan xk 1  xk   k d k dan hitung f k 1  f ( xk 1 ).

Langkah 5.
Jika  k d k   maka kerjakan :
Output x*  xk 1 dan f ( x* )  f ( xk 1 ), dan selesai!
Jika tidak,
Tetapkan k  k  1 dan ulangi langkah 2-5.

Jika Hessian dari fungsi f ( x) ada, maka nilai  yang meminimumkan fungsi
f ( xk   d ) , sebut  k , dapat ditentukan secara analitik. Antoniou dan Lu (2007:125)
memberikan formula penentuan nilai  k , jika diberikan H matriks Hessian untuk f ( x)
adalah
g kT g k
  k  , (3.1.8)
g kT H k g k

dan nilai d k   g k maka Persamaan (3.1.7) menjadi

g kT g k
xk 1  xk  T gk . (3.1.9)
gk H k gk

Sebaliknya, jika Hessian untuk f ( x) tidak ada, maka nilai  k dapat dihitung
dengan menggunakan formula (Antoniou dan Lu, 2007:125) :

g kT g k 
2

k 
 
, (3.1.10)
2 f  f k   g kT g k

 menyatakan estimator untuk  , biasanya diberi nilai sama dengan  , dan


dengan  k k 1

untuk iterasi yang pertama nilai   1, serta nilai f  f ( xk   g k ).

Algoritma Steepest-Descent tanpa Line Search :

Langkah 1.
Input x1 dan tetapkan nilai toleransi  (bilangan positif
cukup kecil).
Tetapkan k = 0 dan  0  1.
Hitung f1  f ( x1 ).
30

Langkah 2.
Hitung gradien gk .

Langkah 3.
Tetapkan d k   g k dan  k   k 1.
Hitung f  f ( xk   g k ).
Tentukan nilai  k berdasarkan Persamaan (3.1.10)

Langkah 4.
Tetapkan xk 1  xk   k d k dan hitung f k 1  f ( xk 1 ).

Langkah 5.
Jika  k d k   maka kerjakan :
Output x*  xk 1 dan f ( x* )  f ( xk 1 ), dan selesai!
Jika tidak,
Tetapkan k  k  1 dan ulangi langkah 2-5.

Jika fungsi f ( x)  C 2 ( D), D   memiliki titik kritis minimum lokal x* dan

Hessian dari f ( x) definit positif di titik x  x* maka dapat ditunjukkan bahwa jika xk
cukup “dekat” dengan x (close to x ) dengan

 1 r 
2

f ( xk 1 )  f ( x )  
*
 [ f ( xk )  f ( x )],
*
(3.1.11)
 1 r 

dengan nilai r diberikan oleh


m
r ,
M

untuk m menyatakan nilai eigen terkecil dari Hessian H k dan M menyatakan nilai

eigen terbesar dari Hessian H k .

3.2 Metode Newton

Metode Newton (Newton-Raphson) dibangun berdasarkan aproksimasi


kuadratik dari deretTaylor. Jika  menyatakan gangguan untuk titik x , fungsi
f ( x   ) diberikan oleh formula
n
f 1 n n 2 f
f ( x   )  f ( x)    i    i j . (3.2.1)
i 1 xi 2 i 1 j 1 xi x j
31

Turunan fungsi f ( x   ) respek terhadap parameter  k , k  1, 2,, n dan seting

hasil turunan tersebut sama dengan nol akan memberikan  k yang meminimumkan nilai

fungsi f ( x   ) , yaitu :

f n
2 f
  i  0, untuk k  1, 2, , n (3.2.2)
xk i 1 xi xk

Dalam notasi matriks , Persamaan (3.2.2) dapat ditulis

g  H

Atau,
   H 1 g (3.2.3)

Persamaan (3.2.3) memiliki solusi, jika memenuhi kondisi berikut ini.

1) MatriksHessian non singular.


2) Aproksimasi pada Persamaan (3.2.1) valid.

Secara sederhana, metode Newton-Raphson merupakan suatu metode optimasi


untuk meminimumkan suatu fungsi f :  n  , yaitu menentukan variabel x*

sedemikian hingga f ( x* )  0.

3.2.1 Metode Newton untuk Satu Variabel

Pada kasus ini, permasalahan optimasi yang dilakukan adalah meminimumkan


fungsi satu variabel. Misal fungsi f :    diberikan dan akan diminimumkan, yaitu

mencari x* yang meminimumkan fungsi f , yaitu f ( x* )  f ( x) untuk setiap

x  D  . Untuk mencari x* dilakukan dengan menyelesaikan persamaan f ' ( x)  0.

Seting g (x)  f ' ( x) dan terapkan metode Newton-Rapson pada fungsi g ( x). Oleh

karenanya, permasalahan ini dapat dipandang sebagai permasalahan mencari x*


sedemikian hingga g ( x* )  0 atau dengan kata lain mencari akar persamaan g ( x)  0.

Dengan demikian, algoritma optimasi Newton-Raphson adalah metode iteratif


sebagai berikut :
32

g ( xk )
x k 1  x k  , (3.2.4)
g ' ( xk )

atau,

f ' ( xk )
x k 1  x k  (3.2.5)
f '' ( xk )

3.2.2 Metode Newton untuk Multivariabel

Algoritma Newton-Raphson untuk menentukan akar dari fungsi f :  n   n


mengikuti iterasi berikut ini :

xk 1  xk   J[ g ]( x k )  g ( xk ),
1
(3.2.6)

g j
dengan J[ g ]( x) menyatakan matriks jacobian dari turunan parsial orde satu, ( xk ),
x j

unyuk fungsi g ( x )   g1 ( x ), g 2 ( x ), , g n ( x)  .


T

Untuk meminimumkan fungsi f :  n   , misalkan g ( x)  f ( x) kemudian


tentukan akar dari fungsi g. Kemudian, tahapan iterasi Algoritma Newton-Raphson
diberikan oleh
1
xk 1  xk   2 f ( xk )  f ( xk ), (3.2.7)

dengan  2 f ( xk )  J[ g ]( x) adalah matriks Hessian dari turunan parsian kedua dari


fungsi f.

Selanjutnya, jika Gk   2 f ( xk ), dan g k  f ( xk ) maka Persamaan (3.2.7)


menjadi
xk 1  xk  Gk1 g k , (3.2.8)

dengan sk  xk 1  xk  Gk1 g k sbagai arah Newton. Perhatikan bahwa arah Newton

merupakan arah descent karena memenuhi g kT sk   g kT Gk1 g k  0 jika matriks Gk


adalah matriks definit positif.
33

Algoritma Metode Newton

Langkah 1.
Input x0   n dan tetapkan nilai toleransi  (bilangan
positif cukup kecil).
Tetapkan k = 0
Langkah 2.
Jika gk   , maka slesai!

Langkah 3.
Selesaikan Gk   gk untuk setiap sk

Langkah 4.
Tetapkan xk 1  xk  sk ; dan hitung f k 1  f ( xk 1 ).

Langkah 5.
Tetapkan k  k  1 , dan ulangi langkah 2-4.

Teorema berikut memberikan syarat cukup untuk konvergensi metode Newton.

Teorema 3.1 [Teorema Konvergensi Metode Newton (Sun dan Yuan, 2006)]
Misalkan f  C 2 dan xk cukup dengan solusi permasalahan minimasi x* dengan

g ( x* )  0. Jika matriks Hessian G( x* ) definit positif dan G ( x) memenuhi kondisi


Lipschitz,
Gij ( x )  Gij (y)   x  y , untuk suatu    dan i, j (3.2.9)

dengan Gij ( x) menyatakan elemen baris ke-i dan kolom ke-j pada matriks G(x) maka

untuk setiap k, algoritma Newton (3.2.8) adalah well-defined; dibangun oleh barisan
 xk  konvergen ke x* .

3.3 Metode Gauss-Newton

Pada banyak permasalahan optimasi, fungsi obyektif diberikan dalam bentuk


fungsi terhadap vektor,
f  [ f1 ( x) f 2 ( x)  f m ( x)]T (3.3.1)
34

Dengan f j ( x), j  1, 2, , m adalah fungsi dengan variabel bebas x.

Pada permaalahan seperti ini, fungsi bernilai real F dapat ditulis dalam bentuk
m
F   f j2 ( x)  f T f . (3.3.2)
j 1

Pada kasus ini, jika F dapat diminimumkan menggunakan algoritma multi-dimensi


tanpa kendala, maka fungsi f j ( x ) secara individu adalah minimum dalam bentuk least-

squares. Metode mencari solusi optimal untuk kasus seperti ini dikenal dengan metode
Gauss-Newton.

Jika diberikan sejumlah fungsi, f j ( x), j  1, 2, , m dengan x   n , maka

matriks Jakobian diberikan oleh


 f1 f1 f1 
 x 
x2 xn 
 1 
 f 2 f 2 f 2 

J   x1 x2 xn 

     
 
 f m f m

f m 
 x1 x2 xn 

Bilangan m yang menyakan banyaknya fungsi mungkin saja lebih banyak dari jumlah
variabel elemen x, yaitu bilangan n.

Melalui pendiferensialan fungsi F pada Persamaan (3.3.2) respek terhadap


variabel xi , i  1, 2,, n memberikan

F m f
  2 f j ( x) j , i  1, 2, , n. (3.3.3)
xi j 1 xi

Dalam bentuk matriks dapat ditulis


 F   f1 f 2 f m 
 x 
 x  x1 x1 
 1  1   f1 ( x) 
 F   f1 f 2 f m  
 x   2  x  f ( x) 
x2 x2   2 
 2  2   
         
     f m ( x) 
 F   f1 f 2

f m 
 xn   xn xn xn 
35

Sehingga gradien dari fungsi F, notasi g F , diberikan oleh

gF  2J T f (3.3.4)

Jika diasumsikan bahwa f j ( x )  C 2 , maka Persamaan (3.3.3) memenuhi

m f f 2 f j
2 F m
 2 j j
 2 f j ( x ) , (3.3.5)
xi x j j 1 xi x j j 1 xi x j

untuk i  1, 2,, n. Jika nilai turunan kedua dari f j ( x ) untuk semua j dapat diabaikan
maka Persamaan (3.3.5) menjadi
m f f
2 F
 2 j j (3.3.6)
xi x j j 1 xi x j

Selanjutnya, Hessian dari matriks F, notasi H F , dapat diperoleh

H F  2J T J (3.3.7)

Karena gradien dan Hessian dari F sudah diketahui, maka relasi rekursif metode
Newton diberikan oleh persamaan berikut ini.

xk 1  xk   k (2 J T J ) 1 (2 J T f )
=xk   k ( J T J ) 1 ( J T f )

dengan  k merupakan nilai yang meminimumkan F  xk   d k  .

Sebelum Algoritma Newton dibahas, berikut akan diberikan Algoritma


Matthews dan Davies sebagai algoritma yang mendasari Algoritma Newton, sebagai
berikut :

Algoritma Matthews dan Davies


Langkah 1.
Input H k dan n.
Tetapkan L = 0, D   0.
Jika h11  0, maka set h00  h11 , selainnya set h00  1.

Langkah 2.
For k  2,3,, n do:
36

Set m=k-1, lmm  1.


If hmm  0, set hmm  h00 .
Langkah 2.1
For i  k , k  1,, n do:
Set l jm  h jm / hmm , h jm  0.
Langkah 2.1.1
For t=k, k+1, ... , n do:
Set hit  hit  lim hmt
If 0  hkk  h00 , set h00  hkk .
Langkah 3.
Set lnn  1.

If hnn  0, set hnn  h00 .

For i=1,2, ... , n set dii  hii .


Selesai !

Selanjutnya, Adapun Algoritma Newton sebagaimana yang telah diuraikan di


atas adalah sebagai berikut :

Algoritma Metode Gauss-Newton

Langkah 1.
Input x0   n dan tetapkan nilai toleransi  (bilangan
positif cukup kecil).
Tetapkan k = 0
Langkah 2.
Hitung f jk  f j ( xk ), j  1, 2, , m dan Fk

Langkah 3.
Hitung J k , g k  2 J kT f k , dan H k  2 J kT J k .

Langkah 4.
Hitung Lk dan k
D menggunakan algoritma Matthews dan
Davies.
1
k y .
Hitung yk   Lk g k dan d k  LTk D k

Langkah 5.
Tentukan  k , nilai  yang meminimumkan F ( xk   dk ).

Langkah 6.
Tetapkan xk 1  xk   k d k ;
37

Hitung f j ( k 1), untuk j  1, 2, , m dan Fk 1

Langkah 7.
Jika Fk 1  Fk   maka kerjakan
Output x*  xk 1 , f j ( k 1) ( x* ) untuk j  1, 2, , m dan Fk 1 .
Selesai.
Jika Tidak,
Tetapkan k  k  1 , dan ulangi mulai langkah 3.
38

3.4. Latihan

1. Gunakan metode Steepest-Descent untuk menyelesaikan permasalahan berikut :


(a). Min f ( x), jika f ( x)  2 x12  2 x1 x2  x22  2 x1  2 x2

0
(b). Min g ( x), jika g ( x)  x12  2 x22  4 x1  4 x2 dengan titik awal x0    .
0

2. Untuk soal No. 1.(b) : dengan menggunakan induksi, tunjukkan bahwa


 2 
 3k  2 
xk 1   
 1  
k

     1
 3  

Selanjutnya, tentukan titik x* sedemikian hingga nilai f (x) minimum.


3. Diberikan masalah minimasi
min x12  x22  0, 2 x1 x2  2, 2 x1  2, 2 x2  2, 2.

(a). Tentukan titik x* yang memenuhi kondisi turunan pertama, yaitu


f '( x* )  0.

(b). Tunjukkan bahwa titik x* pada (a) merupakan titik minimum global !
0
(c). Jika titik awal, x0    , berapa banyak iterasi steepest-descent dilakukan
0
agar dicapai titik optimal dengan   1010.
4. Selesaikan permasalahan minimasi,
f ( x)  ( x1  5) 2  ( x2  8) 2  ( x3  7) 2  2 x12 x22  4 x12 x32 ,

menggunakan algoritma steepest-descent.

Mulai dengan x0  1 1 1 dan   106. Verifikasi solusi tersebut


T
(a).

dengan menggunakan kondisi turunan kedua.

(b). Sama dengan no. (a), dengan x0   2,3 0 0  .


T

(c). Sama dengan no. (a), dengan x0   0 2 12  .


T

5. Selesaikan permasalahan minimasi berikut


Min f ( x)  ( x12  x22  1) 2  ( x1  x2  1) 2 ,
39

jika   106 dengan titik awal  4 4  ,  4 4  ,  4 4  , dan  4 4 


T T T T

menggunakan algoritma steepest-descent, kemudian bandingkan hasilnya jika


menggunakan algoritma Steepest-Descent tanpa Line Search.

6. Seleaikan latihan nomor 1.(a) dan 1.(b) menggunakan metode Newton.


7. Selesaikan latihan nomor 5 menggunakan metode Gauss-Newton.
40

BAB 4
OPTIMASI BERKENDALA
(CONSTRAINED OPTIMIZATION)

Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal yang terkait dengan prinsip, metode,
dan algoritma yang berkaitan dengan permasalahan optimasi dengan kendala
(constrained optimization).

4.1 Kendala
Bentuk umum permasalahan optimasi berkendala adalah menentukan vektor
x*   n yang meminimumkan suatu fungsi,
Min f ( x), (4.1.1)
dengan kendala (subject to) :
a1 ( x)  0, untuk i  1, 2,, p. (4.1.2)

c j ( x)  0, untuk j  1, 2, , q. (4.1.3)

Kesamaan pada (4.1.2) disebut kendala persamaan (equality constraints) dengan dan
ketaksamaan pada (4.1.3) disebut kendala pertidaksamaan (inequality constraints).
Permasalahan optimasi dengan fungsi obyektif/fungsi tujuan (objective function)
dan kendala (4.1.2) dan (4.1.3) yang diasumsikan mempunyai turunan kedua dan
kontinu, yaitu ai ( x ), c j ( x )  C 2 untuk i  1, 2, , p dan j  1, 2, , q. Misalkan D

menyatakan daerah feasibel untuk permasalan (4.1.1), yaitu himpunan semua titik-titik
yang memenuhi (4.1.2) dan (4.1.3) :
D   x | ai ( x)  0, untuk i  1, 2, , p dan c j ( x )  0, untuk j  1, 2, , q (4.1.4)

4.1.1 Kendala Persamaan

Misalkan beberapa kendala persamaan diberikan


a1 ( x)  0
 (4.1.5)
a p ( x)  0
41

mendefinisikan suatu permukaan (hypersurface) pada n . Dalam notasi vektor,


Persamaan (4.1.5) dapat ditulis menjadi
a ( x )  [ a1 ( x ) a2 ( x )  a p ( x )]T  0. (4.1.6)

Defini 4.1
Suatu titik x disebut titik regular (regular point) dari kendala (4.1.5), jika titik x
memenuhi Persamaan (4.1.5) dan vektor kolom a1 ( x), a2 ( x), , a p ( x) adalah

bebas linear.

Berdasarkan Definisi 4.1, Suatu titik regular x dari suatu kendala persamaan,
jika titik x tersebut memenuhi kesamaan (4.1.5) dan matriks Jacobian
J e  [a1 ( x) a2 ( x)  a p ( x)]T memiliki rank baris yang penuh. Karena

x   n maka matriks Jacobian J e berukuran n  p . Oleh karenanya, agar titik x   n


menjadi titik regular dari kendala (4.1.5) maka haruslah ukuran p  n . Selanjutnya,

jika p  n , pada banyak kasus jumlah vektor x   n yang memenihi Persamaan (4.1.5)
adalah finit dan permasalahan optimasi (4.1.1) mempunyai solusi trivial.

Contoh 4.2

Diskusikan dan sketsalah daerah feasibel yang memenuhi kendala persamaan berikut :
 x1  x3  1  0 (4.1.7a)

x12  x22  2 x1  0 (4.1.7b)

Solusi :

Matriks Jacobian untuk kendala (4.1.7a) dan (4.1.7b) adalah sebagai berikut :
 1 0 1
J e ( x)  
 2 x1  2 2 x2 0 

Memiliki rank baris 2, kecuali di titik x  [1 0 x3 ]T . Karena x  [1 0 x3 ]T tidak


memenuhi Persamaan (4.1.7b), dan setiap titik yang memenuhi Persamaan (4.1.7a-b)
adalah titik regular untuk kendala (4.1.7). Kendala (4.1.7) mendeskripsikan irisan
antara silinder pada (4.1.7b) dan bidang datar pada (4.1.7a).
42

Perhatikan, Kesamaan pada (4.1.7b) dapat ditulis kembali menjadi

 x1  1  x22  1
2
(4.1.8)

Dalam bentuk persamaan parameter dalam t, Persamaan (4.1.8) dapat ditulis menjadi
x1  1  cos(t ) (4.1.9a)

x2  sin(t ) (4.1.9b)

jika Persamaan (4.1.9) dihubungkan dengan Persamaan (4.1.7a) akan memberikan


x3  2  cos(t ) (4.1.9c)

Persamaan parameter (4.1.9a)-(4.19c) dengan parameter t pada [0, 2 ] menghasilkan


kurva seperti pada Gambar 4.1 berikut ini.

Gambar 4.1 Kurva representasi dari kendala Persamaan (4.1.7)

Pada kasus tertentu, permasalahan optimasi memiliki kendala ai ( x) semuanya


dalam bentuk persamaan linear. Oleh karenanya, Persamaan (4.1.5) menjadi sistem
persamaan linear yang dapat diekspresikan menjadi
Ax  b (4.1.10)
dengan A   pn yang secara numerik sama dengan Jacobian, yaitu A  J e , dan

b   p1 . Karena Jacobiannya merupakan matriks konstanta, sebarang solusi dari


Persamaan (4.1.10)
43

adalah titik regular, jika rank(A) = p. Jika rank(A) = p’< p, maka terdapat dua
kemungkinan yaitu :
rank ( A b )  rank(A), (4.1.11)

atau
rank ( A b )  rank(A). (4.1.12)

Jika Persamaan (4.1.11) terpenuhi, maka terdapat kontradiksi diantara kesamaan yang
ada pada sistem (4.1.11). Oleh karena perlu dilakukan reduksi untuk menghilangkan
yang dua atau lebih kesamaan yang kontradiksi tersebut. Jika Persamaan (4.1.12) yang
terpenuhi dengan rank(A) = p’maka dengan manipulasi aljabar Persamaan (4.1.10)
dapat direduksi menjadi sistem yang ekivalen yang terdiri atas p’kendala kesamaan
linear, yaitu
  b
Ax (4.1.13)

dengan A   p 'n yang memiliki rank p’ dan b   p '1 .

Ketika rank(A) = p’, secara numerik terdapat cara untuk mereduksi Persamaan
(4.1.10) menjadi (4.1.13) yaitu dengan menerapkan singular-value decomposition
(SVD) pada matriks A (lihat Lampiran 1). Penerapan SVD pada matriks A
memberikan
A  U V T (4.1.14)

dengan matriks U   p p , dan matriks ortogonal V   nn , serta

 S 0
 
 0 0  pn

dengan S  diag  1 ,  2 , ,  p '  dan  1   2     p '  0. Akibatnya diperoleh

 A
A U   (4.1.15)
 0 

dengan A  S[v1 , v2 , , v p ' ]T   p 'n dimana vi menyatakan kolom ke-i dari V, dan

Persamaan (4.1.10) menjadi


44

 A b 
  x    .
 0  0

Contoh 4.3
Sederhanakan kendala persamaan berikut ini:
x1  2 x2  3x3  2 x4  4
2 x2  x3  1 (4.1.16)
2 x1  10 x2  9 x3  4 x4  5

Solusi :

Persamaan (4.1.16), dapat ditulis dalam notasi matriks Ax  b sebagai berikut :


 x1 
 1 2 3 2     4 
 0 2 1 0   x2    1 
  x   
 2 10 9 4   3   5 
 x4 

Dapat ditunjukkan bahwa rank  A   rank  A b   2 . Oleh karenanya, kesamaan

pada (4.1.16) dapat direduksi menjadi 2 kesamaan saja, melalui penerapan SVD pada
matriks A dengan
 0, 2717 0,8003 0,5345
U   0,1365 0,5818 0,8018  ,
 0,9527 0,1449 0, 2673 

14,8798 0 0 0

 0 1, 6101 0 0  ,
 0 0 0 0 

 0,1463 0,3171 0, 6331 0, 6908 


 0, 6951 0, 6284 0,3161 0,1485 
V 
 0, 6402 0,3200 0, 6322 0, 2969 
 
 0, 2926 0, 6342 0,3156 0, 6423 

Selanjutnya, berdasarkan Persamaan (4.1.14) dan (4.1.15) diperoleh


2,1770 x1  10,3429 x2  9,5255 x3  4,3540 x4  5, 7135 (4.1.17a)

0,5106 x1  1, 0118 x2  0,5152 x3  1, 0211x4  3, 0587 (4.1.17b)


45

4.1.2 Kendala Pertidaksamaan

Pada sub bab ini akan diuraikan tentang permasalahan optimasi dengan kendala
pertidaksamaan. Diberikan himpunan kendala sebagai berikut :
c1 ( x)  0
c2 (x)  0
(4.1.18)

cq ( x )  0

Berbeda dengan banyaknya kendala sama dengan, banyaknya kendala pertidaksamaan,


q, tidak harus lebih kecil dari banyaknya komponen x, yaitu n. Sebagai contoh, jika
diberikan suatu kasus dengan kendala c j ( x), untuk setiap 1  j  q sebagai fungsi

linear maka kendala pada (4.1.18) merepresentasikan polihedron dengan q facets dan
banyaknya facets pada polihedron adalah tak berhingga (unlimited).

Terhadap kendala pertidaksamaan, terdapat dua isu pokok yang termuat pada
(4.1.18). Berkaitan dengan titik feasibel x, kendala pertidaksamaan (4.1.18) dapat
dibagi dua klasifikasi, yaitu himpunan kendala dengan c j ( x)  0 dan himpunan kendala

dengan c j ( x)  0 . Himpunan kendal dengan sifat c j ( x)  0 disebut dengan kendala

aktif (active constraints) himpunan kendala dengan sifat c j ( x)  0 disebut dengan

kendala tidak aktif (inactive constraints). Sebagai ilustrasi perhatikan Gambar 4.2
berikut ini.

Gambar 4.2 Kendala aktif dan tidak aktif


46

Berdasarkan ilustrasi pada Gambar 4.2, c1 ( x) dan c2 ( x) merupakan kendala tidak aktif,

dan kendala c3 ( x) merupakan kendala aktif.

Pendekatan lain berkaitan dengan kendala pertidak samaan adalah


mengkonversi kendala tersebut menjadi kendala sama dengan. Sebagai ilustrasi,
diberikan permaslahan optimasi sebagai berikut :
Min f ( x), x   n , (4.1.19a)

dengan kendala : ci ( x)  0, untuk i  1, 2,, q . (4.1.19b)


Kendala pada (4.1.19b) dapat ditulis dalam bentuk lain, yaitu

c1 ( x)  c1 ( x)  y1  0
c ( x)  c ( x)  y  0
2 2 2
(4.1.20a)

cq ( x)  c q ( x)  yq  0

yi  0, untuk 1  i  q , (4.1.20b)

dalam hal ini variabel y1 , y2 , , yq disebut sebagai variabel dummy (slack variable).

Kendala (4.1.20b) dapat dieliminasi menggunakan substitusi variabel

yi  y i , untuk 1  i  q.
2

Jika kita misalkan


T
x   x1  xn y  y 
 1 q

maka permasalahan optimasi (4.1.19) dapat ditulis menjadi

Min f ( x ), x  E n  q (4.1.21a)

dengan kendala :

c i ( x )  0, untuk i  1, 2, , q (4.1.21b)


Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat ada hubungan atau relasi antara kendala
pertidaksamaan yang bersifat linear dengan konveksitas dari daerah feasibel yang
didefinisikan oleh kendala yang ada. Daerah feasibel yang didefinisikan oleh kendala
pertidaksamaan (4.1.18) dengan kendala ci ( x), untuk setiap i berupa fungsi linear
merupakan polihedron konveks.
47

Sebagai ilustrasi, kita dapat menuliskan kendala pertidaksamaan (4.1.18) dalam


bentuk matriks sebagai berikut :
Cx  0 (4.1.22)
dengan C   qn dan d   q1. Misalkan D   x | Cx  d  dan asumsikan bahwa

x1 , x2  D. Untuk    0,1 , titik x   x1  (1   ) x2 memenuhi Persamaan (4.1.22)

karena
Cx  Cx1  (1   )Cx2
(4.1.23)
  d  (1   )d  d

Dengan demikian , Cx  d mendefinisikan suatu himpunan konveks.

4.2 Klasifikasi Permasalahan Optimasi Berkendala

Sebelum kita membahas tentang klasifikasi permasalahan optimasi berkendala,


berikut diberikan beberapa terminologi yeng berperan dalam diskusi tentang hal
tersebut. Pada pembahasan selanjutnya, himpunan D menyatakan daerah feasibel


untuk permasalahan optimasi (4.1.1)-(4.1.3), dan himpunan Bx*  x : x  x*   
untuk suatu   0 disebut bola yang berpusat di x* dengan jari-jari  .

Definisi 4.4 Titik x* disebut titik minimum lokal untuk permasalahan optimasi (4.1.1)-
(4.1.3), jika terdapat bola Bx* sehingga Dx*  Bx*  D bukan himpunan kosong dan

 
f ( x* )  min f ( x) : x  Dx* .

Definisi 4.5 Titik x* disebut titik minimum lokal untuk permasalahan optimasi (4.1.1)-
(4.1.3), jika x*  D dan f ( x* )  min  f ( x ) : x  D .

Definisi 4.6 Titik x* disebut titik minimum lokal kuat (strong local minimizer) jika
terdapat bola Bx* sehingga Dx*  Bx*  D bukan himpunan kosong dan x* adalah titik

pembuat minimum pada Dx*

4.2.1 Program Linear (Linear Programming)

Bentuk standar untuk permasalahan program linear (LP) adalah sebagai berikut :
48

Min f ( x)  cT x (4.2.1a)

dengan kendala :
Ax  b (4.2.1b)
x0 (4.2.1c)
untuk suatu c   n1 , A   pn , dan b   p1. Pada permasalahan LP, kita ingin

menentukan vektor x* yang meminimumkan fungsi tujuan f ( x) dengan kendala berupa


fungsi linear pada (4.2.1b) dan kendala (batasan) non negatif pada (4.2.1c).

Selanjutnya, permasalahan LP dapat juga diberikan dalam bentuk tidak standar


berikut ini.
Min cT x (4.2.2a)

dengan kendala :
Ax  b . (4.2.2b)

Dengan menggunakan variabel dummy (slack variable) vektor y  Ax  b , maka


Persamaan (4.2.2b) dapat ditulis menjadi
Ax  y  b (4.2.3a)
dan
y0 . (4.2.3b)

Selanjutnya, jika kita ekspresikan variabel x sebagai selisih dua variabel non
negatif, vektor x   0 dan vektor x   0 , yaitu :
x  x  x

dan misalkan
 x 
 
x   x  
y
 

maka fungsi tujuan (4.2.2a) menjadi

c x  cT 0 x
T
cT

dan kendala (4.2.3b) dapat ditulis menjadi


49

A  A  I  x  b dan x  0.

Berdasarkan konstruksi variabel di atas, permasalahan optimasi tidak standar dapat


ditulis dalam bentuk standar sebagai berikut :

Min c x
T
(4.2.4a)

dengan kendala
Ax  b (4.2.4b)

x  0 (4.2.4c)

c
dengan c   c  dan 
A   A  A  I .
 
 0 

4.2.2 Program Kuadratik (Quadratic Programming)

Bentuk umum dari permasalahan kuadratik (QP) adalah sebagai berikut :


1 T
min f ( x)  x Hx  xT p  c (4.2.5a)
2

dengan kendala
Ax  b (4.2.5b)
Cx  d (4.2.5c)

Pada banyak kasus , Hessian dari fungsi f(x), H, adalah semidefinit positif. Hal
ini berimplikasi bahwa f ( x) fungsi konveks dan daerah feasibel yang ditentukan oleh
Persamaan (4.2.5b) dan (4.2.5c) selalu konveks.

4.2.3 Program Konveks (Convex Programming)

Permasalahan optimasi dalam kelas program konveks (CP) merupakan


permasalahan optimasi dengan karakteristik khusus, yaitu fungsi obyektif dan
kendalanya terdefinisi pada daerah feasibel yang berupa himpunan konveks.
50

Terdapat beberapa tipe atau model permasalahan CP, namun pada bab ini kita
akan mendiskusikan model yang sering digunakan dalam penerapan sains dan teknik
yaitu :
min ln(det P 1 ) (4.2.6a)

dengan kendala
P0 (4.2.6b)
viT Pvi  1, untuk i  1, 2, , L (4.2.6c)

dengan vektor vi , 1  i  L diberikan dan elemen dari matriks P  PT adalah variabel.

Dapat ditunjukkan bahwa P  0 (P matriks positif definit) maka ln(det P 1 ) adalah


fungsi konveks dari P.

4.2.4 Bentuk Umum Permasalahan Optimasi Berkendala

Permasalahan optimasi berkendala (4.1.1)-(4.1.3) dapat dipandang sebagai


permasalahan optimasi dalam bentuk umum (GCO), jika f ( x) berupa fungsi nonlinear
berorde lebih besar dari orde dua, dan bukan konveks global atau paling sedikit terdapat
satu kendal yang tidak konveks.

Contoh 4.7 Diberikan permasalahan optimasi berikut


1
min f ( x)  [( x1  3)2  9]x23
27 3

dengan kendala :
x1
 x2  0
3
x1  3 x2  0
 x1  3 x2  6
x1  0 dan x2  0.

Selidiki apakah permasalahan tersebut di atas termasuk dalam kelas GCO.

Solusi :

Perhatikan bahwa matriks Hessian dari fungsi f ( x) diberikan oleh :


51

2  3( x1  3) x22 
3
x2
H ( x)   
27 3 3( x1  3) x22 3[( x1  3) 2  9]x2 

Catatan : x  3 1 memenuhi semu kendala di atas, tetapi matriks H ( x) indefinit


T

pada titik x, sehingga f ( x) tidak konveks pada daerah feasibel dan permasalahan
optimasi di atas termasuk dalam GCO.

4.3 Metode Transformasi

Metode transformasi merupakan salah satu metode penyelesaian masalah


optimasi berkendala ke dalam permasalahan optimasi tanpa kendala.

4.3.1 Eliminasi Variabel

4.3.1.1 Kendala Persamaan Linear

Diberikan permasalahan optimasi


min f ( x) (4.3.1a)
dengan kendala
Ax  b (4.3.1b)
ci ( x)  0, untuk 1  i  q (4.3.1c)

dimana A   pn memiliki rank penuh, rank ( A)  p, p  n. Dapat ditunjukkan bahwa


semua solusi Persamaan (4.3.1b) dengan karakterisasi

x  A b  [ I n  A A]  (4.3.2)

Dengan A menotasikan pseudo-invers Moore-Penrose dari A, In matriks identitas

berukuran n  n , dan  adalah vektor parameter berdimensi sebarang. Solusi yang


diekpresikan oleh Persamaan (4.3.2) dapat disederhanakan menggunakan dekomposisi
SVD. Selanjutnya, karena matriks A mempunyai rank penuh, rank ( A)  p,
dekomposisi SVD menghasilkan
A  U V T
52

dimana U   p p , matriks ortogonal V   nn , dan    S 0   p p ,

S  diag  1 , ,  p  ,  1   2     p  0. Akibatnya diperoleh

 S 1 
A  AT ( AAT ) 1  V   U T
 0 

dan
0 0  T
I n  A A  V   V  VrVr
T

 0 I n p 

dengan Vr   v p 1 v p  2  vn  yaitu matriks yang memuat r  n  p kolom dari

matriks V. Selanjutnya Persamaan (4.3.2) menjadi


x  Vr  A b, (4.3.3)

dengan    r1 merupakan sebarang vektor berdimensi-r. Kemudian, substitusi


Persamaan (4.3.3) ke dalam Persamaan (4.3.1a) dan (4.3.1c) memberikan permasalahan
optimasi yang ekivalen yaitu
min f (Vr  A b) (4.3.4a)

dengan kendala :
ci Vr  A b   0, untuk 1  i  q (4.3.4b)

dengan kendala persamaan linear yang telah direduksi semula berdimensi n =dim (x)
menjadi berdimensi r  dim( ), dimana r  n.
Berkaitan dengan permasalahan optimasi (4.3.4), terdapat dua kesimpulan yang
dapat diberikan. Pertama, ukuran permasalahan direduksi dari n menjadi r=n-p dan
Persamaan (4.3.4) diselesaikan dengan solusi dalam  * , serta Persamaan (4.3.3)

berimplikasi bahwa  * diberikan oleh

x*  Vr *  A b (4.3.5)

adalah solusi dari permasalahan optimasi (4.3.1).

Kedua, relasi linear antara variabel x dan  yang diperlihatkan oleh (4.3.3)
bahwa derajat ke-nonlinear-an dari fungsi tujuan f(x) dipertahankan pada permasalahan
optimasi (4.3.4). Dengan kata lain, jika permasalahan pada (4.3.1) adalah LP, QP atau
53

CP maka permasalahan yang telah direduksi pada (4.3.4) juga demikian. Kelemahan
dari metode di atas, terletak pada aplikasi SVD terhadap matriks A, terutama jika
ukuran matriks A cukup besar.

Berikut diberikan alternatif metode tanpa menggunakan pendekatan


dekomposisi SVD. Asumsikan matriks A memiliki rank baris yang penuh dan misalkan
matriks P   nn adalah permutasi dari kolom matriks A sehingga

Ax  APPT x   A1 A2  x

dengan A1   p p yaitu memuat p kolom yang bebas linier dari mateik A, dan x  PT x
menyatakan vektor yang diperoleh melalui pengurutan kembali komponen dari vektor
x. Jika dinotasikan
 x 
x    (4.3.6)
 

dengan x   p1 , dan    r1 maka (4.3.1b) menjadi

A1 x  A2  b

yaitu
x  A11b  A11 A2

Hal ini memberikan


 x   A1b  A11 A2 
x  Px  P    P  1 
     (4.3.7)
 W  b 

dimana
  A1 A 
W  P  1 2    n r
 Ir 

b  P  A1 b    n1
1

 
 0 

Akhirnya, permasalahan optimasi pada (4.3.1) tereduksi menjadi permasalahan


optimasi
54

min f (W  b ) (4.3.8a)


dengan kendala
ci (W  b )  0, untuk 1  i  q. (4.3.8b)

Contoh 4.8 :
Gunakan metode eliminasi variabel di atas untuk meminimumkan fungsi
1 T
f (x)  x Hx  xT p  c (4.3.9)
2

dengan kendala pada (4.1.16) dengan x   x1 x2 x3 x4  .


T

Solusi :

Karena rank(A)=rank([A b]) = 2, maka tiga kendala pada (4.1.16) konsisten, tetapi
redundant. Adalah dua kendala pertama pada (4.1.16) adalah bebas linear, sehingga
jika kita misalkan
 x  x  x 
x    dengan x   1  dan    3 
   x2   x4 
maka Persamaan (4.1.16) ekivalen dengan
1 2    3 2   4
0 2  x   1 0   1 
     

yaitu
 2 2  5
x         W  b
 12 0   12

Hal tersebut dapat kita peroleh jika matriks H dan p pada (4.3.9) dipartisi menjadi
H H12   p1 
H   11T 
H 22  p 
dan p
 H12  2

dengan H11   22 , H 22   22 , p1   21 , dan p2   21 maka Persamaan (4.3.9) menjadi

1    T p  c
f ( )   T H
2

dimana
55

  W T H W  H TW W T H  H
H 11 12 12 22

p  H T b  W T H b  p  W T p
12 11 2 1

1 T
c  b H11 b  b p2  c
T

Akibatnya, permasalahan optimasi sekarang tereduksi menjadi permasalahan minimasi


f ( ) tanpa kendala. Dengan menulis,

  W T I  H W 
H   I
 

 adalah matriks definit positif, jika H matriks definit positif. Akhirnya, pada
dengan H
kasus ini diperoleh solusi unik , yaitu :
 x * 
x  
*

 
*

dengan
 1 p dan x *  W *  b .
 *  H

Contoh 4.9

Gunakan veriabel nonlinear untuk menyederhanakan permasalahan optimasi berkendala


berikut ini.
min f ( x)   x14  2 x 42  x 34  x12 x 22  x12 x32 (4.3.10)

dengan kendala
a1 ( x)  x14  x 42  x 34  25  0 (4.3.11a)

a2 ( x)  8 x12  14 x22  7 x32  56  0 (4.3.11b)

Solusi :

Tulis Persamaan (4.3.11b) sebagai


8
x32   x12  2 x22  8
7
56

Kendala pada (4.3.11b) untuk variabel x3 pada Persamaan (4.3.10) dan (4.3.11b) dapat
dieliminasi, sehingga permasalahan optimasi menjadi
57 4 25 72
Min f ( x)=  x1  6 x24  x12 x22  x12  32 x22 (4.3.12)
49 7 7
dengan kendala :
113 4 32 128 2
a1 ( x)  x1  5 x24  x12 x22  x1  32 x22  39  0 (4.3.13)
49 7 7
Tulis kembali Persamaan (4.3.13) ke dalam bentuk
 32   113 4 128 2 
5 x24   x12  32  x22   x1  x1  39   0 (4.3.14)
 7   49 7 
Perhatikan bahwa Persamaan (4.3.14) dapat dipandang sebagai persamaan kuadrat
dalam x22 , sehingga diperoleh solusi

 32  1  212 4 512 2 
x22    x12  32    x1  x1 244  (4.3.15)
 7  10  49 7 
Kemudian substitusi (4.3.15) ke dalam Persamaan (4.3.12), menjadikan permasalahan
optimasi (4.3.12) sebagai permasalahan optimasi satu variabel.

4.4 Pengganda Lagrange (Lagrange Multiplier)

4.4.1 Pengganda Lagrange untuk Permasalahan Kendala Persamaan

Diberikan permasalahan optimasi berikut :


Min f ( x), x   n (4.4.1a)
dengan kendala :
h j ( x)  0, j  1, 2, r dan r  n (4.4.1b)

Definisikan persamaan Lagrange untuk permasalahan (4.4.1) adalah sebagai berikut :


r
L ( x,  )  f ( x )    j h j
j 1 (4.4.2)
 f ( x )   h( x )
T

Teorema 4.10 (Syarat Perlu untuk Permasalahan Optimasi dengan Kendala


Persamaan)
57

Misalkan fungsi f dan kendala h j  C 1 diberikan dan matriks Jacobian

h( x* )
 h1 ( x* ), h2 ( x* ), h3 ( x* ), (4.4.3)
x

memiliki rank sama dengan r. Syarat perlu bahwa x* merupakan titik pembuat
minimum fungsi f dan kendala h j  C 1 adalah terdapat  * sehingga

L * *
( x ,  )  0, untuk i  1, 2, , n (4.4.4a)
xi

L * *
( x ,  )  0, untuk j  1, 2, , r. (4.4.4b)
 j

Perhatikan bahwa kondisi (4.4.4), mengisyaratkan terdapat n  r persamaan


dengan n  r variabel, yaitu x1* , x2* , , xn* , 1* , 2* , , r* .

Contoh 4.11
Diberikan permasalahan optimasi
Min f ( x)  ( x1  2) 2  ( x2  2) 2 (4.4.5a)

dengan kendala h( x)  x1  x2  6.
(4.4.5b)
Solusi :
Pertama, konstruksi persamaan Lagrangian :
L( x,  )  ( x1  2) 2  ( x2  2) 2   ( x1  x2  6). (4.4.6)
Syarat perlu untuk kondisi minimum diberikan
L
 2( x1  2)    0. (4.4.7a)
x1
L
 2( x2  2)    0. (4.4.7b)
x2

L
 x1  x2  6  0. (4.4.7c)

Penyelesaian (4.4.7) memberikan nilai optimum untuk permasalahan (4.4.6) adalah
x1*  3, x2*  3, dan  *  2 dengan nilai f ( x* )  2.
58

4.4.2 Kasus Khusus : Fungsi Kuadratik dengan Kendala Linear

Salah satu kasus penerapan dari metode Lagrangian yang penting adalah
peminimuman fungsi kuadratik definit-positif (positive-definite quadratic),
1 T
f ( x)  x Ax  bT x  c (4.4.8)
2
dengan kendala Cx  d ,
dimana A matriks definit positif berukuran n  n , matriks kendala C berukuran n  n ,
r  n, vektor b dan d masing-masing berukuran n 1 dan r 1.

Persamaan Lagrangian untuk kasus ini diberikan oleh


1 T
L ( x,  )  x Ax  bT x  c   T  Cx  d  (4.4.9)
2
Syarat perlu untuk kondisi minimum (4.4.4) di titik x* adalah eksistensi vektor  *
sehingga
 x L( x* ,  * )  Ax*  b  C T  *  0 (4.4.10a)

  L( x* ,  * )  Cx*  d  0 (4.4.10b)
yaitu :
 A C T   x*   b 
   *    (4.4.11)
C 0      d 
Sehingga solusi untuk permasalahan optimasi (4.4.8) diberikan oleh
 x*  1  b   A CT 
 *   M   , dengan M=  .
  d  C 0 

4.4.3 Metode Lagrange untuk Kendala Pertidaksamaan

Diberikan bentuk umum permasalahan optimasi :


Min f ( x), x   n (4.4.12)
dengan kendala :
g j ( x)  0, j  1, 2, , m. (4.4.13a)

hk ( x)  0, k  1, 2,, r. (4.4.13b)
Kendala pertidaksamaan (4.4.13a) dapat ditransformasi menjadi kendala persamaan
dengan menambahkan varibabel dummy/slack u j , j  1, 2, , m sehingga
59

g j ( x )  u 2j  0. (4.4.14)

Karena g j ( x )  u 2j  0, untuk setiap j  1, 2, , m maka kendala pertidaksamaan

dengan sendirinya terpenuhi. Oleh karenanya, persamaan Lagrangian untuk


permasalahan optimasi (4.4.12) diberikan oleh

L( x, u,  ,  )  f ( x)    j  g j ( x)  u 2j    k hk ( x)
m r
(4.4.15)
j 1 k 1

dengan  j dan k menyatakan konstanta yang berkaitan dengan pengganda Lagrange.

Berdasarkan (4.4.4), syarat perlu untuk kendala yang meminimumkan adalah


L f ( x) m g ( x) r h ( x)
   j j   k k , i  1, 2, , n (4.4.16a)
xi xi j 1 x j k 1 xk

L
 2 j u j  0, j  1, 2, , m. (4.4.16b)
u j

L
 g j ( x)  u 2j  0, j  1, 2, , m. (4.4.16c)
 j

L
 hk ( x)  0, k  1, 2, , r. (4.4.16d)
k
Permasalahan optimasi (4.4.15) dengan kendala (4.4.16a)- (4.4.16b) merepresentasikan
sistem persamaan linear berukuran n  2m  r dengan variabel sebanyak n  2m  r
yang terdiri atas variabel x, u,  , dan .
Contoh 4.12 :
Minimumkan f ( x)  2 x12  3 x22  2 x1 dengan kendala x12  x22  1.
Solusi :
Misalkan u sehingga x12  x22  1  u 2  0 maka

L( x, u ,  )  2 x12  3 x22  2 x1    x12  x22  1  u 2  .

Syarat perlu di titik yang meminimumkan diberikan oleh


L
 4 x1  2  2 x1  0. (4.4.17)
x1
L
 6 x2  2 x2  0. (4.4.18)
x2

L
 2u  0. (4.4.19)
u
60

L
 x12  x22  1  u 2  0  0 (4.4.20)

Penyelesaian (4.4.17)-(4.4.20), jika kita mulai dari (4.4.19) dengan memilih   0 akan
memberikan x1  1/ 2, x2  0, dan u 2  3 / 4. Karena u 2  3 / 4 positif maka kendala
pertidasamaan terpenuhi. Selanjutnya, matriks
4 0 
H  
 0 6 
Adalah non-definit sehingga kandidat titik optimum x0 memberikan nilai
f ( x 0 )  0,5. Selanjutnya, jika dipilh u  0 pada penyelesaian (4.4.19) memberikan

x12  x22  1  0 (4.4.21)


yang berarti bahwa kendala adalah aktif. Berdasarkan (4.4.18) memberikan
x2  0,   3, substitusi ke dalam (4.4.17) memberikan x1  1/ 5, dan berdasarkan

24
(4.4.21) diperoleh x2     0,978. Hasil ini memberikan dua kemungkinan
5
1 24  1 24 
solusi optimal, yaitu x1*    dan x2*     dengan nilai
5 5  5 5 

f  x*   3,189.

4.5 Teorema Karush-Kuhn-Tucker

Sebelum dikemukakan Teorema Karush-Kuhn-Tucker (KKT), berikut diberikan


terminologi tentang masalah konsisten dan super konsisten.

Misal diberikan permasalahan optimasi,


Min f ( x), dengan kendala gi ( x)  0, i  1, 2,, I , (P)
maka daerah feasibel untuk permasalahan optimasi (P) diberikan oleh
D   x : g ( x )  0 .

Definisi 4.13
Permasalahan optimasi (P) disebut konsisten, jika daerah feasibel D   , dan disebut
super-konsisten, jika terdapat x  D sehingga gi ( x)  0, i  1, 2,, I .
61

Teorema 4.14 [Teorema KKT (Byrne, 2007:77)]


Misalkan permasalahan optimasi (P) adalah super-konsisten dan
I
L( x,  )  f ( x)   i gi ( x) menyatakan persamaan Lagrange untuk (P). Maka x*
i 1

merupakan solusi dari (P) jika dan hanya jika terdapat vektor  * sehingga memenuhi
(1).  *  0,

(2). L( x* ,  )  L( x* ,  * )  L( x,  * ) untuk semua x dan  , dan

(3). i* gi ( xi* )  0, untuk setiap i  1, 2, , I .

Teorema berikut merupakan Teorema KKT dalam bentuk gradien dan Teorema
KKT khusus untuk masalah program linear.

Teorema 4.14 [Teorema KKT-Gradient (Byrne, 2007:78)]

Misalkan fungsi f ( x) dan gi ( x) adalah fungsi-fungsi yang terdiferensial. Misalkan

pula permasalahan optimasi (P) adalah super-konsisten. Maka x* merupakan solusi


dari (P) jika dan hanya jika terdapat vektor  * sehingga memenuhi
(1).  *  0,

(2). i* gi ( xi* )  0, untuk setiap i  1, 2, , I .


I
(3). f ( x* )   i*gi ( xi* )  0.
i 1

Misal diberikan permasalahan linear programming:

Min z  cT x dengan kendala Ax  b dan x  0. (LP)

Teorema 4.14 [Teorema KKT untuk LP (Byrne, 2007:79)]

Vektor x* adalah solusi permasalahan (LP) jika dan hanya jika terdapat vektor  * dan
bilangan real r  0 sehingga memenuhi
(1). Ax*  b,

(2). r  c  AT  * , dan

(3). r T x  0,
62

maka  * merupakan solusi dari permasalahan optimasi (LP).

4.6. Latihan

1. Diberikan permasahan optimasi berikut:


M in f ( x)  x  2  y  2 (L4.1)

dengan kendala :
g ( x, y)  y 2  x  0, (L4.1a)

h( x, y)  x 2  y 2  1  0. (L4.1b)
a. Ilustrasikan permasalahan tersebut dengan grafik!
b. Tentukan daerah feasibel untuk permasalahan tersebut!
c. Apakah daerah feasibelnya kosisten atau super konsisten?
d. Tentukan solusi permasalahan (L4.1) jika kendalanya hanya (L4.1b)!
e. Tentukan solusi permasalahan (L4.1) jika kendalanya hanya (L4.1a)!
f. Tentukan solusi permasalahan (L4.1) jika kendalanya hanya (L4.1a) dan
(L4.1b)!

2. Minimumkan fungsi f ( x, y )  x 2  y 2 , dengan kendala x  y  0 .

3. Selesaikan permasalahan optimasi berikut :


min f ( x)  x1  2 x2  11x3  2 x4
dengan kendala
a1 ( x)  x1  x2  x3  x4  3

a2 ( x)  x2  2 x3  4 x4  3

a3 ( x)  2 x3  x4  2

ci ( xi )  xi  0, i  1, 2,3, 4

4. Diberikan permasalahan optimasi berikut ini.


min f ( x)  ( x1  2) 2  x22

dengan kendala
63

c1 ( x)  x1  0
c2 ( x)  x2  0
c3 ( x)  (1  x1 )3  x2  0

(a). Gunakan solusi menggunakan grafik, untuk menunjukkan bahwa x*  [1 0]T


adalah titik minimum global.
(b). Verifikasi bahwa x*  [1 0]T bukan titik regular!

(c). Tujukkan bahwa tidak terdapat 2  0 dan 3  0 sehingga

f ( x* )  2c2 ( x* )  3c3 ( x* )

5. Gunakan syarak KKT untuk menentukan solusi dari permasalahan optimasi Konveks
berikut :
min x12  x22  2 x1  4 x2  9

dengan kendala :
x1  0
x2  0
1
 x1  x2  1,5  0
2
64

BAB 5
PROGRAM GEOMETRIK

5.1 Pendahuluan

Istilah Pemrograman Geometrik (PG) diperkenalkan oleh Duffin, Peterson, dan


Zener pada tahun 1967. Istilah ini diambil dari masalah-masalah geometri yang dapat
diformulasikan sebagai PG. Program Geometrik adalah suatu metode untuk
meminimumkan fungsi tak linear yang berbentuk posinomial. Metode ini dinamakan
Program Geometrik karena dalam pengembangannya menggunakan pertidaksamaan
Aritmetik-Geometrik yang menyatakan hubungan antara penjumlahan dengan
pengandaan beberapa bilangan positif. Program Geometrik menyajikan masalah untuk
meminimumkan fungsi berbentuk posinomial yang disebut fungsi primal atau
memaksimumkan fungsi pengandaan yang disebut fungsi dual yang didapat dengan
menggunakan pertidaksamaan Aritmetik-Geometrik. Pemiinimum fungsi primal dicari
melalui pemaksimuman fungsi dualnya. Pada titik optimalnya, minimum fungsi primal
akan sama dengan maksimum fungsi dual. Berbeda dengan teknik optimasi yang lain,
pada metode ini, nilai optimal fungsi objektif dicari terlebih dahulu, kemudian baru
dicari nilai optimal variabel penyusunnya.

5.2 Posinomial
Fungsi posinomial didefinisikan sebagai :
N
f  X   Pt  X  (5.2.1)
t 1

dengan
Pt  X   ct x1a1t x2a2 t  xnant
N (5.2.2)
 ct  x j jt , t  1, 2, , N ,
a

j 1

dimana ct adalah konstanta real positif, dan a jt adalah konstanta real (positif, nol, atau

negatif), dan parameter x j , 1  j  n adalah variabel berupa bilangan positif. Sebagai

ilustrasi berikut diberikan contoh fungsi–fungsi posinomial :


(1). f ( x1 , x2 , x3 )  6  3x1  8 x2  7 x3  2 x1 x2  3x1 x3  34 x2 x3  9 x22  x32
65

2
(2). g ( x1 , x2 , x3 )  x1 x2 x3  x12 x2  4 x3   5 x31/2
x1 x2

5. 3 Program Geometrik Tanpa Kendala


Diberikan permasalahan Program Geometrik tak berkendala sebagai berikut :

Mencari X   x1 , x2 ,.., xn 
T
(5.3.1)

yang meminimumkan fungsi obyektif (5.3.1)


N N n
f  X   Pt  X   ct  x j jt  ct x1a1t x2a2 t  xnant
a
(5.3.2)
t 1 t 1 j 1

Penyelesaian permasalahan PG (5.3.2), dapat diperoleh menggunakan kalkulus


diferensial sebagai berikut.
Berdasarkan teorema syarat perlu untuk mendapatkan nilai minimum fungsi di suatu
titik maka,
N P
f

j

xk j 1 xk
(5.3.3)
   0, k  1, 2,, n
N
= c x x
a1 j a2 j a( k 1) j a( k 1) j anj
j 1 2 x
k 1 x
k 1 x n
j 1

Kalikan Persamaan (5.3.3) dengan xk , diperoleh

f
 
N
  akj c j x1 1 j x2 2 j  xk ( k11) j xk kj xk ( k11) j  xn nj  0, k  1, 2,, n
a a a a a a
xk (5.3.4)
xk j 1
Atau
f N
xk   akj Pj ( X )  0, k  1, 2,, n (5.3.5)
xk j 1
Untuk menentukan vektor yang meminimumkan f ( X ),

 x1* 
 *
x
X   2

 *
 xn 
kita harus menyelesaikan n buah persamaan pada (5.3.3) secara simultan. Untuk
menjamin bahwa titik X * meminimumkan fungsi f ( X ), syarat cukup harus terpenuhi,
66

yaitu turunan kedua positif. Secara sederhana, syarat cukup ini terpenuhi jika matriks
Hessian, H, dari fungsi f adalah definit positif, yaitu
 2 f 
H X*   (5.3.6)
 xi x j  X *

definit positif. Kemudian, karena setiap kondisi ini memenuhi Persamaan (5.3.4), maka
N

a
j 1
kj Pj ( X * )  0, k  1, 2,, n (5.3.7)

Setelah Persamaan (5.3.7) dibagi dengan nilai minimum dari fungsi f *  f X * maka  
Persamaan (5.3.7) menjadi
N

 a
j 1
*
j kj  0, k  1, 2,, n (5.3.8)

dimana  *j didefinisikan dengan

Pj ( X * ) Pj *
 *
j  (5.3.9)
f* f*
yang menyatakan kontribusi relatif suku ke-j terhadap fungsi objektif optimal.
Berdasarkan Persamaan (5.3.9), maka
N
1 N *

j 1
*
j  ( Pj )  1
f * j 1
(5.3.10)

Kondisi (5.3.8) disebut kondisi ortogonalitas dan kondisi (5.3.10) disebut kondisi
normalitas.
Prosedur untuk menentukan nilai minimum untuk fungsi obyektif, yaitu f * , adalah
sebagai berikut :
Misal diberikan fungsi obyektif
N

 *j
f  f   f    f * f   f * 
* * 1 * 1* * 2
*
*N
j 1 (5.3.11)

P1* P2* PN *
Selanjutnya, berdasarkan (5.3.9) diketahui bahwa f *      maka
1* *2 *N
(5.3.11) menjadi
1* *2 *N
 P*   P *  P *
f *   1*   2*    N*  (5.3.12)
 1    2   N 
Substitusi definisi Pj ( X ) pada (5.2.2),
67

n
P  c j  ( xi* ) ij , j  1, 2,, N
* a
j (5.3.13)
i 1

dan Persamaan (5.3.8) maka Persamaan (5.3.12) menjadi


1* *2 *N
 c   n    c   n   c  n

f *   1*    ( xi* ) ai1    2*    ( xi* ) ai 2     N*    ( xi )
* aiN

 1   i 1     2   i 1    N   i 1 
 N  c  j   N  n *j 
*

* aij 
=   *      ( xi )  
j

 j 1  1    j 1  i 1  
 
(5.3.14)
 N  c  j   n  aij *j 
* N

=   *    ( xi ) j1 
j *

 j 1  1    i 1 
  
*j
N
c 
=   j* 
j 1  1 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka nilai minimum dari fungsi f * dapat

ditentukan menggunakan Persamaan (5.3.14) setelah nilai  *j ditentukan untuk setiap

j  1, 2,, N . Nilai  *j untuk setiap j  1, 2,, N dapat ditentukan menggunakan

(5.3.8) dan (5.3.10), yaitu menentukan solusi sistem yang terdiri atas n  1 persamaan
dengan N buah variabel.

5.3.1 Tingkat Kesulitan (degree of difficulty)


Jika N menyatakan banyaknya suku pada fungsi posinomial (fungsi obyektif
pada program geometrik), dan n menyatakan banyaknya variabel bebasnya, maka
tingkat kesulitan dalam permasalhan program geometrik ditentukan oleh bilangan
N  n 1 . Jika N  n 1  0 atau N  n  1 maka permasalahan PG disebut memiliki
tingkat kesulitan nol (zero degree of difficulty). Pada kasus ini, permasalahan PG
memiliki solusi unik (tunggal). Kemudian, jika N  n  1 maka permasalahan PG
memiliki solusi tidak tunggal. Sedangkan untuk kasus N  n  1 , permasalahan PG ini
dinyatakan tidak dapat diterapkan (not aplicable).

5.3.2 Syarat Cukup untuk Solusi PG


Perhatikan kembali bahwa penentuan nilai  *j untuk setiap j  1, 2,, N

menggunakan (5.3.8) dan (5.3.10) merupakan syarat perlu untuk solusi PG yang
68

diberikan. Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa kondisi tersebut juga merupakan


syarat cukup.
Karena nilai f * dan  *j untuk setiap j  1, 2,, N diketahui, maka nilai optimal

dapat diperoleh berdasarkan


aij

Pj*  *j f *  c j   xi*  , j  1, 2, , N


n
(5.3.15)
i 1

Solusi simultan untuk Persamaan (5.3.15) merupakan prosedur untuk mendapatkan nilai
xi* , i  1, 2,, n. Namun dalam kenyataannya, bukanlah suatu yang mudah untuk

menyelesaikan Persamaan (5.3.15). Oleh karenanya, untuk menyederhanakan


permasalahan ini, tulis kembali Persamaan (5.3.15) menjadi
*j f *
  x1*  x    xn*  , j  1, 2, , N
a1 j * a2 j anj
2 (5.3.16)
cj

Dengan mengambil nilai logaritma (ln) pada kedua ruas Persamaan (5.3.16) diperoleh
 *j f * 
ln 
 c 
 j 

 ln  x1*   x2*    xn* 
a1 j a2 j anj
 (5.3.17)
=a1 j ln  x1*   a2 j ln  x2*     anj ln  xn*  , j  1, 2, , N

Kemudian, substitusi
w i  ln( xi ), i  1, 2, , n (5.3.18)

Maka Persamaan (5.3.17) menjadi


 *j f * 
a1 j w1  a2 j w2    anj wn  ln  , j  1, 2, , N
 c 
(5.3.19)
 j 
Persamaan (5.3.19), pada kasus dengan tingkat kesulitan nol memberikan solusi tunggal
w1 , w2 , , wn . Jika w i , i  1, 2, , n sudah ditentukan maka solusi permasalahan PG
diperoleh melalui
xi*  exp(w i ), i  1, 2,, n (5.3.20)

Dengan cara serupa untuk kasus dengan tingkat kesulitan non negatif yaitu N  n  1,
penyelesaian persamaan (5.3.19) yang merepresentasikan permasalahan dengan N
persamaan dengan n variabel yang tidak diketahui. Melalui penyelesaian persamaan
tersebut akan diperoleh solusi berupa w i  ln( xi ), i  1, 2, , n yang berimplikasi

memberikan solusi xi* .


69

Contoh 5.1 : (Rao, 2009:497)


Misalkan 80 m3 gabah kering akan diangkat menyeberangi sungai. Gabah kering
tersebut akan dibawa menggunakan kotak terbuka dengan panjang x1 meter dan lebar
x2 meter dan tinggi x3 meter. Sepanjang sisi tegak, dasar dan sepasang sisi samping
berharga masing-masing $80, $10, dan $20 per m2. Biaya pengangkutan adalah $1 per
kotak sekali perjalanan. Jika total biaya adalah biaya pembuatan kotak ditambah
dengan biaya pengangkutan (biaya lain diabaikan), maka total biaya dapat dirumuskan
sebagai berikut :
 2 x1 x3 10    2 x2 x3  20    x1 x2  80  
 
f  x1 , x2 , x3   $   80  
   1 
  x1 x2 x3   (5.3.21)
  80  
=$ 80 x1 x2  40 x2 x3  20 x1 x3   
  x1 x2 x3  
dengan x1 , x2 , dan x3 menyatakan ukuran dari kotak pengangkutan, seperti terlihat pada

Gambar 5.1 berikut ini.

Gambar 5.1 Box Berbentuk Kotak Terbuka


Jika Persamaan (5.3.21) dihubungkan dengan bentuk umum persamaan
posinomial (5.2.2), maka diperoleh
c1  80, c 2  40, c3  20, dan c 4  80

 a11 a12 a13 a14   1 0 1 1 


   
 a21 a22 a23 a24    1 1 0 1 
a a34   0 1 1 1 
 31 a32 a33

Kondisi ortogonalitas dan normalitas diberikan oleh


70

1 0 1 1  1   0 
 
1 1 0 1   2   0 
 (5.3.22)
0 1 1 1    3   0 
    
1 1 1 1    4  1 

Persamaan (5.3.22) memberikan


1   3   4  0 (K1)

1   2   4  0 (K2)

 2  3   4  0 (K3)

1  1   3   4  1 (K4)

Berdasarkan (K1) dan (K2), diperoleh


 4  1   3  1   2   2   3 (K5)

Sedangkan (K2) dan (K3) memberikan


 4  1   2   2   3  1   3 (K6)

Persamaan (K5) dan (K6) memberikan


1   2   3

Sementara berdasarkan (K5) diperoleh


 4  1   3  21

Akhirnya, Persamaan (K4) memberikan solusi tunggal


1 2
1*  *2  *3  dan *4  (K7)
5 5
Selanjutnya, nilai optimal untuk fungsi obyektif diberikan oleh
1 1 1 2
 80  5  40  5  20  5  80  5
f 
*
      
1 5  1 5  1 5   2 5 
=  400   200  5 100  5  40000  5
1 1 1 1
5

=  32  1010 
1
5

= $ 200
Untuk menentukan nilai optimal dari masing-masing variabel keputusan
Persamaan (5.3.15) memberikan
1
P1*  80 x1* x2*  1* f *   200   40 (K8)
5
1
P2*  80 x2* x3*  *2 f *   200   40 (K9)
5
71

1
P3*  80 x1* x3*  *3 f *   200   40 (K10)
5
80 2
P4*   *4 f *   200   80
* * *
(K11)
xxx
1 2 3 5
Berdasarkan (K8)-(K11) diperoleh
1 1 x3* 1
x2*  *
 *
; x1
*
 ; x2*  *
2 x1 x3 2 x3

1 2 x3*
* * *
 1  * * ; x3*  2
x1 x2 x3 x3 x3
Hasil ini memberikan
1
x1*  1 m, x2*  m, dan x3*  2 m. (K12)
2
Dengan cara lain, hasil pada (K12) dan Persamaan (5.3.19) memberikan
 200  15  1
1w1  1w2  0w3  ln    ln   (K13)
 80  2
 200  15 
0w1  1w2  1w3  ln    ln 1 (K14)
 40 
 200  15 
1w1  0w2  1w3  ln    ln  2  (K15)
 20 
 200  52 
1w1  1w2  1w3  ln    ln 1 (K16)
 80 
Melalui penjumlahan Persamaan (K13), (K14), dan (K16), kita peroleh
w2  ln(1/ 2)  ln(1)  ln(1)  ln(1/ 2 11)  ln(1/ 2)  ln( x2* )

yang berimplikasi x2*  1/ 2.

Serupa dengan cara di atas, melalui penjumlahan Persamaan (K13), (K15) dan
(K16), kita peroleh
w1  ln(1/ 2)  ln(2)  ln(1)  ln(1/ 2  2 1)  ln(1)  ln( x1* )

yang berimplikasi x2*  1.

Akhirnya, melalui penjumlahan Persamaan (K14), (K15) dan (K16), kita


peroleh
w3  ln(1)  ln(2)  ln(1)  ln(1 2 1)  ln(2)  ln( x3* )

Yang berimplikasi x3*  2.


72

5.4 Solusi Program Geometri Menggunakan Ketaksamaan Aritmatik-Geometrik


Permasalahan PG menggunakan ketaksamaan aritmatika-geometri diberikan
oleh ketaksamaan berikut :
1 p1   2 p2     N pN  p11 p2 2  pN  N (5.4.1)

dengan
1   2     N  1 (5.4.2)

Berdasarkan ketaksamaan (5.4.1) dan substitusi Pi  pi  i , i  1, 2, , N memberikan


1 2 N
P P  P 
P1  P2    PN   1   2    N  (5.4.3)
 1    2   N 
dimana Pi  Pi ( X ), i  1, 2, , N dan bobot 1 ,  2 , ,  N memenuhi Persamaan

(5.4.2). Ruas kiri pada kataksamaan (5.4.3) --yaitu fungsi asli f ( x) -- disebut fungsi
primal. Sedangkan ruas kanan pada ketaksamaan (5.4.3) disebut fungsi predual.
Dengan menggunakan relasi
n
Pj  c j  xi ij , j  1, 2, , n.
a
(5.4.4)
i 1

maka
1 2 N
 P1   P2   PN 
     
 1    2   N 
1 2 N
 n a1 j 1   n
  n

 c1  xi  2  xi  N  xi
a2 j  2 aNj
 c  c 
  i 1   i 1    i 1 
 1   2   N 
     
     
1 2 N
c  c  c   n a  1  n a  2  n a   N 
=  1   2   N    xi i1    xi i 2     xi iN  
 1    2   N   i 1   i 1   i 1  
(5.4.5)
1 2 N   N a1 j 
j 
 xi j    xi nj j  
N a2 j N
a 
c  c  c   x j1
xi
  x j1   x j1 
=  1   2   N 
 1    2   N   1  2   n 
     
Selanjutnya, jika kita pilih bobot  j sehingga memenuhi kondisi normalitas pada

(5.4.2), dan juga kondisi ortogonalitas


N

a 
j 1
ij j  0, i  1, 2,, n (5.4.6)

Persamaan (5.4.5) dapat direduksi menjadi


73

1 2 N 1 2 N
 P1   P2   PN  c  c  c 
        1   2   N  (5.4.7)
 1    2   N   1    2   N 
Akibatnya, ketaksamaan (5.4.3) menjadi
1 2 N
c  c  c 
P1  P2    PN   1   2    N  (5.4.8)
 1    2   N 
Pada ketaksamaan (5.4.8), ruas kanan disebut fungsi dual, g(1 ,  2 , ,  N ) .

Ketaksamaan (5.4.8) secara sederhana dapat ditulis


f g (5.4.9)

5.5 Relasi Primal-Dual dan Syarat Cukup untuk Kasus Tanpa Kendala
Jika f * dan g * berturut menyatakan nilai minimum untuk fungsi primal dan
nilai minimum untuk fungsi dual, maka berdasarkan (5.4.9) berlaku
f  f *  g*  g (5.5.1)

Pada subbab ini, kita bakan membuktikan bahwa f *  g * dan selanjutnya akan kita

buktikan bahwa f * merupakan nilai minimum global untuk f ( X ).


Untuk menederhanakan notasi, notasikan fungsi obyektif f ( X )  x0 dan

melalui transformasi eksponensial ,


exp( wi )  xi atau wi = ln( xi ) (5.5.2)

Selanjutnya, definisikan variabel  j sebagai fungsi bobot dengan


n
c j  xi ij
a
Pj
j   i 1
, j  1, 2, , n. (5.5.3)
x0 x0
yang merupakan bilangan positif dan memenuhi syarat normalitas (5.4.2). Dengan
mengenakan transformasi logaritma pada kedua ruas Persamaan (5.4.2), kita peroleh
n
ln( j )  ln(c j )   aij ln( xi )  ln( x0 ) (5.5.4)
i 1

atau,
  n
ln  j
c    aij w i , j  1, 2, , N (5.5.5)
 j  i 1
74

Permasalahan optimasi yang semula adalah meminimumkan fungsi f ( X ) tanpa


kendala, sekarang menjadi permasalahan peminimuman fungsi x0 dengan kendala

persamaan -- syarat normalitas (5.4.2) dan kesamaan pada (5.5.5). Fungsi obyektif x0

diberikan oleh
N n
x0  e w0   c j  e
aij wi

j 1 i 1
(5.5.6)
N
 n 
=  c j exp   aij wi 
j 1  i 1 

  n 
Karena fungsi eksponensial  exp   aij wi   merupakan fungsi konveks respek
  i 1 
terhadap variabel wi maka fungsi obyektif x0 yang merupakan kombinasi linear dari
fungsi eksponensial, juga merupakan fungsi konveks. Akibatnya, hanya terdapat satu
titik stasioner untuk fungsi x0 , sehingga dengan sendirinya merupakan titik minimum

global. Titik minimum global w0 dapat ditentukan dengan mengkonstruksi fungsi

Lagrangian,

 N  N   j 
L  w, ,    w0      j  1    j  aij wi  w0  ln    (5.5.7)
c
 j 1  j 1   j 

dengan
 w0   1   0 
w     
w   1  ,    2  , dan    1  (5.5.8)
       
     
 wn   N   N 
Pada titik stasioner, syarat perlu untuk peminimuman fungsi x0 memberikan

L
 0, i  0,1, 2, , n (5.5.9a)
wi

L
 0, j  0,1, 2,, N (5.5.9b)
 j

L
 0, j  0,1, 2,, N (5.5.9c)
 j

Persamaan (5.5.9) memberikan beberapa kesamaan berikut ini


75

N N
1    j  0 atau  j 1 (5.5.10)
j 1 j 1

 a
j 1
j ij  0, i  1, 2,, n (5.5.11)

j j
0   0 atau 0  , j  1, 2, , N (5.5.12)
j j
N N

  j 1  0 atau
j 1
j 1
j 1 (5.5.13)

  n
 ln  j
c    aij wi  w0  0, j  0,1, 2, , N (5.5.14)
 j  i 1
Persamaan (5.5.12), (5.5.13) dan (5.5.14) memberikan
N N N


j 1
j  1   0  j  0   j  0
j 1 j 1
(5.5.15)

Nilai dari pengganda Lagrange diberikan oleh


 1, untuk j  0
j   (5.5.16)
 j , j  1, 2, , N
Dengan substitusi (5.5.16) ke dalam Persamaan (5.5.7) memberikan
   N j  n
0     1   wi  aij  j 
N
L  , w    j ln  j   (1  w ) (5.5.17)
c
j 1  j   j 1  i 1
Fungsi Lagrangian pada Persamaan (5.5.17) dapat dipandang sebagai fungsi Lagrangian

berkorespondensi dengan permasalahan optimasi baru dengan fungsi obyektif g ()


yang diberikan oleh

 j N   N c 
j

g ()    j ln    ln     
j
(5.5.18)
c   
j 1  j   j 1  j  
dengan kendala
N


j 1
j 1  0 (5.5.19a)

a 
j 1
ij j  0, i  1, 2,, n (5.5.19b)

Permasalahan optimasi (5.5.18) dengan kendala (5.5.19a) dan (5.5.19b) disebut sebagai
masalah dual untuk problem yang semula (masalah Primal).
76

5.6 Permasalahan Optimasi Berkendala


Permasalahan optimasi berkendala berkaitan dengan program geometrik
diberikan sebagai berikut.
 x1 
x 
Tentukan X   2 

 
 xn 
yang meminimumkan fungsi obyektif
N0 n
f ( X )   c0 j  xi
a0 ij
(5.6.1)
j 1 i 1

dan memenuhi kendala


Nk n
g k ( X )   ckj  xi kij   /  1, k  1, 2, , m
a
(5.6.2)
j 1 i 1

dengan koefisien c0 j ( j  1, 2,, N0 ) dan ckj (k  1, 2,, m; j  1, 2,, N k ) adalah

bilangan positif, dan eksponen (bilangan pangkat) a0ij , (i  1, 2,, n; j  1, 2,, N0 ) dan

akij ,(k  1, 2,, m; i  1, 2,, n; j  1, 2,, N k ) adalah bilangan real. Bilangan m

menyatakan banyaknya kendala, N0 menyatakan banyaknya suku pada fungsi objektif,

dan N k menyatakan banyaknya suku pada kendala ke-k. Serta variabel x1 , x2 , , xn

diasumsikan hanya berupa bilangan positif.

5.7 Penyelesaian Permasalahan Program Geometrik Berkendala


Misal diberikan fungsi obyektif untuk permasalahan optimasi PG sebagai
berikut:
N0 n a0 ij

x0  g 0 ( X )  f ( X )   c0 j  xi (5.7.1)
i 1 j 1

dengan kendala
f k   k 1  g k ( X )   0, k  1, 2, , m (5.7.2)

dimana  k adalah fungsi signum,

1 , g k ( x)  1
k (X )   (5.7.3)
 1 , g k ( x)  1
77

Permasalahan optimasi PG dengan fungsi objektif (5.7.1) dan kendala (5.7.2)


disebut sebagai masalah primal. Permasalahan ini dapat ditrasformasi menjadi
permasalahan optimasi baru yang ekivalen dengan kendala berbentuk linear, disebut
masalah dual. Masalah dual adalah permasalahan maksimisasi dengan fungsiobjektif,
 k kj
m c
Nk Nk 
v       kj

k  0 j 1  kj
 kt 

(5.7.4)
t 1 
dengan kendala syarat normalitas dan ortogonalitas,
N0


j 1
0j 1 (5.7.5)

m Nk

 
k  0 j 1
k akij kj  0, i  1, 2, , n (5.7.6)

Kasus I : Jika permasalahan PG memiliki tingkat kesulitan nol, maka kondisi


normalitas dan ortogonalitas memberikan solusi unik atau tunggal untuk * yang
diperoleh dari fungsi objektif masalah primal,
 k kj*
 ckj
m Nk Nk 
f *  x0*  v( * )    *

k  0 j 1  kj
 kt* 

(5.7.7)
t 1 
Jika f  X  diketahui sebagai permasalahan minimisasi, maka titik stasioner yang

menyebabkan f * minimum dan memenuhi (5.7.7) adalah tunggal dan merupakan


minimum global.
78

5.8 Latihan

1. (Permasalahan dengan tingkat kesulitan nol).


Tentukan X  ( x1 x2 x3 )T yang meminimumkan fungsi obyektif :

f ( X )  20 x1 x3  40 x2 x3  80 x1 x2 ,

dengan kendala

80 8
 10 atau 1
x1 x2 x3 x1 x2 x3

2. Susun dan selesaikan permaslahan dual untuk permasalahan PG pada nomor 1.


3. (Permasalahan dengan tingkat kesulitan satu).
Tentukan X  ( x1 x2 x3 x4 )T yang meminimumkan fungsi obyektif :

f ( X )  x1 x22 x31  2 x11 x23 x4  10 x1 x3 ,

dengan kendala

3x11 x3 x42  4 x3 x4  1,

5 x1 x2  1.

4. (Permasalahan dengan kendala campuran)


Tentukan X  ( x1 x2 x3 x4 )T yang meminimumkan fungsi obyektif :

f ( X )  x1 x22 x31  2 x11 x23 x4  10 x1 x3 ,

dengan kendala

3x1 x31 x42  4 x31 x41  1, dan

5 x1 x2  1.
79 
 

BAB 6
PROGRAM DINAMIK
(DINAMICS PROGRAMMING)

6.1 Pendahuluan

Program dinamis adalah suatu teknik matematis yang biasanya digunakan untuk
membuat suatu keputusan dari serangkaian keputusan yang saling berkaitan. Tujuan
utama dari model ini adalah untuk mempermudah penyelesaian persoalan optimasi yang
mempunyai karakteristik tertentu.

Penemu dan orang yang bertanggung jawab atas kepopuleran program dinamik
adalah Richard Bellman. Pada teknik ini, keputusan yang menyangkut suatu persoalan
dioptimalkan secara bertahap dan bukan secara sekaligus. Inti dari teknik ini adalah
membagi suatu persoalan atas beberapa bagian persoalan yang dalam program dinamik
disebut sebagai tahap, kemudian dipecahkan. Penerapan pendekatan program dinamik
mampu untuk menyelesaikan berbagai masalah seperti masalah pengalokasian sumber
daya, muatan (knapsack), capital budgeting, pengawasan persediaan, dan lain-lain.

Kelebihan dari program dinamik adalah sebagai suatu pendekatan optimalisasi


yang mengalihkan sebuah persoalan kompleks ke dalam sederetan persoalan yang lebih
sederhana yang mempunyai karakteristik utama sebagai tahapan prosedur optimalisasi.
Pada tahapan tersebut pengambilan keputusan dilakukan secara bertahap, sehingga
sangat sesuai untuk persoalan optimalisasi dengan keputusan bertahap yang banyak.
Tidak seperti pemograman linear, tidak ada model matematik standar untuk
perumusan pemrograman dinamis. Akan tetapi, pemrograman dinamis adalah
pendekatan umum untuk pemecahan masalah dan persamaan tertentu yang digunakan di
dalamnya harus dibentuk sesuai dengan situasi masalah yang dihadapi.

Istilah yang biasa digunakan antara lain :


1. Stage(tahap) adalah bagian persoalan yang mengandung decision variable.
2. Alternatif, pada setiap stage terdapat decision variable dan fungsi tujuan yang
menentukan besarnya nilai setiap alternative.

 
 
80 
 

3. State, state menunjukkan kaitan satu stage dengan stage lainnya, sedemikian rupa
sehingga setiap stage dapat dioptimisasikan secara terpisah sehingga hasil optimasi
layak untuk seluruh persoalan.

Pemrograman dinamis dibedakan menjadi pemrograman dinamis masalah


deterministik dan probabilistik. Pemrograman dinamis deterministik dicirikan oleh
keadaan pada tahap berikutnya ditentukan sepenuhnya oleh keadaan dan keputusan
pada tahap sekarang. Masalah deterministik dapat dibedakan antara kasus maksimum
dan minimum. Sedangkan pemrograman dinamis probabilistik keadaan pada tahap
berikutnya memiliki suatu distribusi probabilitas tertentu.

6.2 Definisi Program Dinamis

Program dinamis didefinisikan sebagai salah satu tehnik matematis yang


digunakan untuk mengoptimalkan proses pengambilan keputusan secara bertahap.
Prosedur utama pada tehnik ini adalah membagi suatu persoalan menjadi beberapa
bagian persoalan yang dalam program dinamis disebut tahapan, kemudian memecahkan
tiap tahap dengan mengoptimalkan keputusan atas tiap tahap tersebut dan seterusnya
sampai seluruh persoalan terpecahkan. Singkatnya program dinamis adalah metode
pemecahan masalah dengan cara menguraikan solusi menjadi sekumpulan langkah
(step) atau tahapan (stage) sedemikian hingga solusi persoalan merupakan serangkaian
keputusan yang saling berkaitan.

Program dinamis bekerja dengan cara menguraikan solusi menjadi sekumpulan


langkah yang saling berhubungan. Solusi dari setiap langkah diperoleh melalui solusi
dari langkah sebelumnya. Solusi setiap langkah akan dipakai untuk menemukan solusi
pada langkah beikutnya, sampai akhirnya pada langkah terakhir. Pada langkah terakhir,
solusi yang dihasilkan akan menjadi solusi untuk keseluruhan masalah yang optimal.

6.3 Sifat atau Karakteristik Program Dinamis

Pada dasarnya, tidak semua persoalan optimasi dapat diselesaikan dengan


program dinamis. Salah satu cara untuk mengetahui suatu permasalahan dapat
diselesaikan dengan program dinamis atau tidak, adalah dengan mengenal sifat atau
karakteristik yang ada pada program dinamis.

 
 
81 
 

Berikut ini merupakan sifat dasar atau karakteristik yang dimiliki oleh program
dinamis, yaitu :
a. Persoalan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan (stage), dimana pada masing-
masing tahapan diperlukan adanya suatu keputusan atau solusi.
b. Masing-masing tahapan terdiri atas sejumlah state yang berhubungan dengan
tahapan yang bersangkutan.
c. Prosedur pemecahan persoalan dimulai dengan mendapatakan solusi (keputusan)
terbaik untuk setiap state dari stage terakhir.
d. Solusi pada suatu tahap meningkat dengan bertambahnya jumlah tahapan.
e. Keputusan terbaik pada suatu tahap bersifat independen terhadap keputusan yang
dilakukan pada tahap sebelumnya.
Adapun ciri utama dari program dinamis adalah rangkaian keputusan yang optimal
dibuat dengan menggunakan Prinsip Optimalitas yang berbunyi “jika solusi total
optimal, maka bagian solusi sampai tahap ke-k juga optimal”. Dengan prinsip
optimalitas ini dijamin bahwa pengambilan keputusan pada suatu tahap adalah
keputusan yang benar untuk tahap-tahap selanjutnya.
f. Karena berlakunya prinsip optimalitas, maka terdapat hubungan rekursif yang
mengidentifikasikan keputusan terbaik untuk setiap status pada tahap k memberikan
keputusan terbaik untuk setiap status pada tahap k + 1.

6.4 Multi Tahapan Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan untuk satu tahapan (sebagai bagian dari masalah
multi-tahapan diilustrasikan oleh Gambar 6.1. Proses pengambilan keputusan dapat
dikarakterisasi berdasarkan parameter input atau data (S), variabel keputusan (X) dan
parameter output (T) yang merepresentasikan keluaran yang diperoleh sebagai hasil
dalam membuat keputusan.

Gambar 6.1 Pengambilan Keputusan untuk Permasalahan Satu Tahap (Rao, 2009:546)

 
 
82 
 

Parameter input atau data disebut dengan input variabel state, dan parameter
output disebut output variabel state. Kemudian, fungsi objektif (return, R) merupakan
ukuran efektivitas dalam pembuatan keputusan. Untuk satu tahap pengambilan
keputusan (Gambar 6.1) , output keluaran dari input yang melewati tahapan fungsi
transformasi yang bergantung pada input atau data, S dan variabel keputusan, X yaitu

T  t (S , X ) (6.3.1)
Karena input sistem pada suatu tahapan dipengaruhi oleh keputusan yang kita buat pada
tahapan sebelumnya, maka fungsi return atau fungsi obyektif dapat diformulasikan
dengan

R  r (S, X) (6.3.2)

Secara umum, proses pengambilan keputusan multi tahapan adalah sebagai berikut ini.
Misalkan terdapat n tahap. Pada penerapannya, tahapan ini akan dilabel secara
menurun, n, n  1, n  2, , i  1, i, i  1,  , 2,1. Pada tahapan ke-i, misalkan input state
dinotasikan dengan si 1 dan output state dinotasikan dengan si . Karena sistem berlaku

secara serial, maka output tahap ke- (i  1) akan menjadi input pada tahap ke- i , secara
sederhana seperti terlihat pada Gambar 6.2. State transformasi dan fungsi return untuk
masalah pengambilan keputusan yang berkaitan dengan permasalahan multi tahapan
adalah sebagai berikut :

si  ti ( si 1 , xi ) (6.3.3)

Ri  ri ( si 1 , xi ) (6.3.4)

dengan xi adalah variabel state pada tahap ke-i dan si 1 adalah data pada tahap ke-i+1.

Gambar 6.2 Keputusan berkaitan dengan Permasalahan Multi Tahapan


Sumber : Rao (2009:547)

 
 
83 
 

6.5 Konsep Suboptimalisasi dan Prinsip Optimalitas dalam Permasalahan


Program Dinamik

Permasalahan optimasi program dinamik (PD), dapat diformulasikan sebagai


berikut :

n n
f  x1 , x2 , , xn    Ri  ri ( si 1 , xi ) (6.4.1)
i 1 i 1

dan memenuhi persamaan desain

si  ti ( si 1 , xi ), i  1, 2, , n. (6.4.2)

Program dinamik menggunakan konsep suboptimalisasi dan prinsip optimalitas


dalam penyelesaian suatu permasalahan. Untuk memahami konsep suboptimalisasi dan
prinsip optimalitas dalam penyelesaian suatu permasalahan, perhatikan contoh kasus
desain suatu tangki air dengan kapasitas 100.000 liter dengan biaya yang paling
minimum, seperti yang direpresentasikan oleh Gambar 6.3.

Gambar 6.3 Sistem tangki air (Rao, 2009:550)

 
 
84 
 

Perhatikan, berdasarkan Gambar 6.3 (a), desain tangki air terdapat tiga tahapan
pekerjaan, yaitu (i) mendesain wadah atau tangki penampung air misalnya berbentuk
kotak atau tabung, (ii) mendesain tiang (kolom) penyangga tangki misalnya
menggunakan beton atau rangka baja, dan (iii) mendesain kekuatan fondasinya,
misalnya menggunakan mat atau pile. Dalam hal ini, desain untuk masing-masing
tahapan memerlukan biaya tersendiri, sebut Rk , R j , dan Ri berturut-turut menyatakan

biaya yang dibutuhkan untuk mendesain fondasi, tiang dan wadah air atau tangki.

Gambar 6.4. Ilustrasi tentang konsep suboptimalisasi dan prinsip optimalitas


Sumber : Rao (2009:551).

Dalam pelaksanaan kegiatan desain ini, sistem tangki air di-split menjadi tiga
tahapan tersebut di atas, yaitu desain fondasi, desain tiang, dan desain wadah air.
Untuk menyelesaian permasalahan optimasi sistem tangki air ini, konsep
suboptimalisasi dan prinsip optimalitas diterapkan seperti yang diilustrasikan oleh
Gambar 6.4. Pertama, mulai dengan optimalisasi desain fondasi, yang meliputi bahan,
bentuk dan ukuran yang akan dibuat. Pada tahap ini akan diperoleh keputusan optimal

 
 
85 
 

terkait dengan bentuk, bahan dan ukuran fondasi, dengan pertimbangan kekuatan
menyanggah tiang/kolom dengan biaya yang minimum tanpa memperhitungkan biaya
untuk membuat tiang dan wadah air. Selanjunya, tahap kedua adalah optimalisasi
desain kolom atau tiang penyanggah wadah dengan memperhitungkan fondasi yang
telah diputuskan pada tahap sebelumnya. Terakhir, secara bersamaan dengan hasil
tahap pertama dan kedua (fondasi dan tiang), optimalisasi bentuk, bahan dan ukuran
wadah air sebagai satu kesatuan. Pada tahap akhir ini telah dihasilkan sebuah
keputusan desain tangki air, yang terdiri atas fondasi, tiang dan wadah air sesuai dengan
kriteria yang diinginkan tetapi dengan biaya yang minimum.

Relasi Rekurens

Misalkan fungsi objektif yang ditargetkan meminimumkan fungsi f,

min f ( S , X )  R n ( xn ,s n 1 )  R n 1 ( xn 1 ,s n )    R1 ( x1 , s2 ) (6.4.3)

dimana state dan variabel keputusan ditentukan oleh

si  ti ( si 1 , xi ), i  1, 2, , n (6.4.5)
 

6.6 Metode Kalkulus untuk Penyelesaian Program Dinamik

Sebagai ilustrasi, perhatikan contoh kasus berikut. The four-bar truss seperti
pada Gambar 6.5.

Gambar 6.5 The four-bar truss (Rao, 2009:555)

Misalkan xi menyatakan luas daerah ke-i (i = 1,2,3,4). Panjang batang ke-i , notasi

li , i  1, 2,3, 4 diberikan oleh l1 =l3 = 100 in., l2 = 120 in., dan l4 = 60 in. Bobot dari

truss diberikan oleh

 
 
86 
 

f ( x1 , x2 , x3 , x4 )  0, 01 100 x1  120 x2  100 x3  60 x4 


(6.5.1)
= x1  1, 2 x2  x3  0, 6 x4
 

Berdasarkan analisis struktur bangunan, besarnya gaya yang diberikan oleh batang ke-i
pada simpul (pertemuan batang) A-- ( pi ) , deformasi batang ke-i  di  , kontribusi

batang ke-i terhadap defleksi vertikal di simpul A,  i  pi di  diberikan oleh tabel

berikut ini.

Sumber Rao (2009:557)

Defleksi vertikal di simpul A, diberikan oleh persamaan berikut :

4
1,5625 0, 6750 1,5625 1,3500
d A   i     (6.5.2)
i 1 x1 x2 x3 x4

Oleh karenanya, permasalah optimasi yang berkaitan dengan masalah “four-bar truss”
adalah sebagai berikut :

min f ( X )  x1  1, 2 x2  x3  0, 6 x4 (6.5.3)

dengan kendala

1,5625 0, 6750 1,5625 1,3500


    0,5 (6.5.4a)
x1 x2 x3 x4

xi  0, i  1, 2,3, 4 (6.5.4b)

 
 
87 
 

Karena defleksi pada simpul A merupakan jumlah dari kontribusi setiap batang, yaitu
sebesar 0,5 in. Fenomena defleksi ini dapat dipandang sebagai alokasi sumberdaya ke
sejumlahi kegiatan xi sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 6.6 berikut ini.

Gambar 6.6 Masalah ‘four-bar truss” dalam empat tahapan keputusan


Sumber : Rao (2009:558)

Misalkan s2 menyatakan sumberdaya (displacement) yang tersedia untuk dialokasikan

ke batang/member pertama (tahap 1), 1 kontribusi sumberdaya ke member ke-1, dan

f1* ( s2 ) menyatakan bobot minimum dari memberi ke-1, maka

1,5625
f1* ( s2 )  min  R1  x1  (6.5.5)
x1

sehingga

1,5625
1  , dan x1  0. (6.5.6)
x1

Karena 1  s2 , dan (6.5.5) maka diperoleh

1,5625
x1*  (6.5.7)
s2

Selanjutnya, misalkan s3 menyatakan sumberdaya yang tersedia untuk dialokasikan

kepada dua member pertama,  2 kontribusi sumberdaya kepada member ke-2, dan

f 2* ( s3 ) menyatakan minimum bobot terhadap dua member pertama,

f 2* ( s3 )  min  R2  f1* ( s2 )  (6.5.8)


x2  0

 
 
88 
 

dengan s2 menyatakan sumberdaya yang tersedia setelah alokasi ke tahap 2, yang

diberikan oleh

0, 6750
s2  s3   2  s3  (6.5.9)
x2
Berdasarkan (6.5.5)

 
 
* 0, 6750   1,5625 
f1 ( s2 )  f1  s3 
*
 (6.5.10)
 x   0, 6750  
  s3  
2

  x2  

Kemudian (6.5.8) menjadi     

 
 
 1,5625 
f 2 ( s3 )  min 1, 2 x2 
*
 (6.5.11)
x2  0
  0, 6750  
  s3  
 x2  

Selanjutnya, misalkan

1,5625 1,5625 x2
F ( s3 , x2 )  1, 2 x2   1, 2 x2  (6.5.12)
 0, 6750  s3 x2  0, 6750
 s3  
 x2 

Akibatnya untuk setiap nilai s3 , nilai minimum dari F untuk suatu nilai s3 diberikan
oleh

F (1,5625)(0, 6750) 1, 6124


 1, 2 x2   0, atau x2*  (6.5.13)
x2 ( s3 x2  0, 6750) 2
s3

1,5625 1,9349 2, 6820 4, 6169


f 2* ( s3 )  1, 2 x2*     (6.5.14)
( s3  0, 6750 x2 )
*
s3 s3 s3

Selanjutnya, misalkan s4 menyatakan sumberdaya yang tersedia untuk dialokasikan

kepada tiga member pertama,  3 kontribusi sumberdaya kepada member ke-3, dan

f 3* ( s4 ) menyatakan minimum bobot terhadap tiga member pertama,

f 3* ( s4 )  min  x3  f 2* ( s3 )  (6.5.15)
x3  0

 
 
89 
 

dengan s3 menyatakan sumberdaya yang tersedia setelah alokasi ke tahap 3, yang


diberikan oleh

1,5625
s3  s4   3  s4  (6.5.16)
x3
Persamaan (6.5.14) memberikan

4, 6169
f 2* ( s3 )  (6.5.17)
s4  1,5625 x3
Berdasarkan (6.5.15) dan (6.5.17) diperoleh

 4, 6169 x3 
f3* ( s4 )  min  x3   (6.5.18)
x3  0
 s4 x3  1,5625 

Seperti sebelumnya, misalkan

4, 6169 x3
F ( s4 , x3 )  x3  (6.5.19)
s4 x3  1,5625

Kemudian, untuk setiap nilai s4 , nilai minimum dari F untuk suatu nilai s4 diberikan
oleh

F (4, 6169)(1,5625) 4, 2445


 1  0, atau x3*  (6.5.20)
x3 ( s4 x3  0, 6750) 2
s4

4, 6169 x3* 4, 2445 7,3151 11,5596


f ( s4 )  x 
* *
   (6.5.21)
( s4 x3  1,5625)
3 3 *
s4 s4 s4

Akhirnya, misalkan s5 menyatakan sumberdaya yang tersedia untuk dialokasikan

kepada empat member pertama,  4 kontribusi sumberdaya kepada member ke-4, dan

f 4* ( s5 ) menyatakan minimum bobot terhadap empat member pertama,

f 4* ( s5 )  min  x4  f3* ( s4 )  (6.5.22)


x4  0

dengan s4 menyatakan sumberdaya yang tersedia setelah alokasi ke tahap 4, yang


diberikan oleh

1,3500
s4  s5   4  s5  (6.5.23)
x4
Persamaan (6.5.21)-(6.5.23) memberikan

 
 
90 
 

 11,5596 
f 4* ( s5 )  min 0, 6 x4   (6.5.24)
x4  0
 s5  1,3500 x4 

Seperti sebelumnya, misalkan

11,5596 x4
F ( s5 , x4 )  0, 6 x4  (6.5.25)
s5 x4  1,3500

Kemudian, untuk setiap nilai s5 , nilai minimum dari F untuk suatu nilai s5 diberikan
oleh

F (11,5596)(1,3500) 6, 44
 0, 6   0, atau x4*  (6.5.26)
x4 ( s5 x4  1,3500) 2
s5

11,5596 x4* 3,864 16, 492 20,356


f 4* ( s5 )  0, 64 x4*     (6.5.27)
( s5 x4  1,3500)
*
s5 s5 s5

Selanjutnya, karena nilai s5 diberikan sebesar 0,5 in. bobot minimum dari struktur
dapat dihitung melalui

20,356
f 4* ( s5  0,5)   40, 712 lb. (6.5.28)
0,5
Sedangkan nilai optimum untuk variabel desain diberikan oleh (6.5.26),
(6.5.20), (6.5.13), dan (6.5.7) sebagai berikut :

x4*  12,88 In 2

1,3500
s4  s5   0,5  0,105  0,395 in.
x4*
 

4, 2445
x3*   10, 73 In 2
s4

1,5625
s3  s4   0,3950  0,1456  0, 2494 in.
x3*

1, 6124
x2*   6, 47 In 2
s3

0, 6750
s2  s3   0, 2494  0,1042  0,1452 in.  
x2*

 
 
91 
 

1,5625
x1*   10, 76 In 2 . 
s2

6.7 Jenis-jenis Pendekatan Program Dinamis

(a). Program Dinamik Deterministik


Pendekatan program dinamik masalah deterministik, yaitu program dinamik
dengan karakteristik bahwa keadaan pada tahap berikutnya ditentukan sepenuhnya oleh
keadaan dan keputusan atau kebijakan pada tahap sekarang. Pada tahap n, proses akan
berada pada suatu keadaan sn . Pembuatan keputusan kebijakan xn selanjutnya

menggerakkan proses ke keadaan sn1 pada tahap (n+1). Kontribusi sesudahnya


terhadap fungsi tujuan di bawah kebijakan yang optimal telah dihitung sebelumnya
sebagai f n*1 ( sn 1 ) . Keputusan kebijakan xn juga memberikan kontribusi kepada fungsi
tujuan.
Kombinasi kedua nilai ini akan memberikan nilai f n ( sn , x n ) yaitu kontribusi n

tahap ke depan pada fungsi tujuan. Pengoptimalan terhadap xn f n* ( sn )  f n ( sn , xn* ) .

Setelah ditemukan xn* dan f n* ( sn ) untuk setiap nilai sn , selanjutnya prosedur


penyelesaiannya bergerak mundur satu tahap. Program dinamik deterministik dapat
diuraikan dengan diagram yang ditunjukkan dibawah ini :

Gambar 6.7 Program dinamik deterministik

(b). Program Dinamik Probabilistik

Program dinamik probabilistik berbeda dengan program dinamik deterministik.


Pada program dinamik deterministik, keadaan pada tahap berikutnya sepenuhnya

 
 
92 
 

ditentukan oleh keadaan dan keputusan kebijakan pada tahap sebelumnya. Sedangkan
pada program dinamik probabilistic, terdapat suatu probabilitas keadaan mendatang
dengan distribusi peluang tetap yang ditentukan oleh keadaan dan keputusan kebijakan
pada keadaan sebelumnya.

Karakteristik pada program dinamik probabilistik yaitu :


o Stage berikutnya tidak seluruhnya ditentukan oleh stage dan keputusan pada
stage saat ini, tetapi ada suatu distribusi peluang terhadap apa yang akan terjadi
berikutnya.
o Distribusi peluang ini seluruhnya ditentukan oleh state dan keputusan pada stage
saat ini.

Struktur dasar dalam pemrograman dinamik probabilistik diilustrasikan oleh


gambar berikut ini.
 

 
Gambar 6.8 Struktur program dinamik probabilistik

Keterangan gambar :

o s melambangkan banyaknya keadaan yang mungkin pada tahap (stage) ke


( n  1) dan keadaan ini digambarkan pada sisi sebelah kanan sebagai 1, 2, …,s.
(p1, p2, …, ps) adalah distribusi peluang terjadinya suatu state berdasarkan state
sn dan keputusan xn pada stage n.

 
 
93 
 

o ci adalah kontribusi dari stage n terhadap fungsi tujuan jika state berubah
menjadi state i
o f n ( sn , xn ) menunjukkan jumlah ekspektasi minimal dari tahap n ke depan,

dengan diberikan status dan keputusan pada tahap n masing-masing sn dan xn .

Karena adanya struktur probabilistik, hubungan antara f n ( sn , xn ) dan

f n 1 ( sn , xn ) agak lebih rumit dibandingkan dengan program dinamik


deterministik.

Dua metode pendekatan yang umum digunakan dalam penerapan program


dinamis probabilistik yaitu rekursif maju (forward atau up-down) dan rekursif mundur
(backward atau bottom- up). Misalkan x1 , x2 , , xn menyatakan variabel keputusan
yang harus dibuat pada masing-masing tahap 1, 2, …, n.
Maka,
(1). Langkah maju (forward atau up-down) : bergerak mulai dari tahap 1, terus
maju ke tahap 2,3,..,n. Urutan variabel keputusan adalah x1 , x2 , , xn .
(2). Langkah mundur(backward atau bottom-up) : bergerak mulai dari tahap n,
terus mundur ke tahap n  1, n  2, , 2,1 . Urutan variabel keputusan adalah
xn , xn 1 , , x1 .

 
 
94 
 

6.8 Latihan

1. Rute pesawat udara yang menghubungkan 16 kota (A, B, C, ..., P) diberikan oleh
Gambar 6.9. Rute perjalanan antara suatu kota dengan kota lainnya, hanya dapat
dilakukan seperti yang ada pada gambar, dimana bobot sisi menyatkan biaya
digunakan jika melewati segment tersebut. Jika seseorang ingin melakukan
perjalanan dari kota A ke kota P dengan biaya minimum, tentukan rute perjalanan
tersebut menggunakan program dinamik!

Gambar 6.9 Digram rute perjalan disetai biaya yang digunakan

2. Berdasarkan Gambar 6.9, tentukan rute dan biaya perjalanan minimum, jika
seseorang melakukan perjalan dari kota D ke kota M.
3. Sutau sistem memiliki tiga subsistem yang memuat beberapa komponen yang
disusun secara paralel, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.10. Bobot dan
realibilitas dari semua komponen diberikan oleh tabel berikut.

Subsistem, i Bobot setiap komponen, Realibilitas setiap komponen,


Wi (lb) ri
1 4 0,96
2 2 0,92

 
 
95 
 

3 6 0,98

Gambar 6.10 Tiga subsistem yang dihubungkan secara seri.

Realibilitas dari subsistem i diberikan oleh R i  1  (1  ri ) ni , i  1, 2,3 dengan ni


menyatakan banyaknya komponen yang terhu bung secara paralel pada subsistem i,
dan secara keseluruhan realibilitas sistem diberikan oleh R  R1  R2  R3 . Pada kasus
ini, sudah ditetapkan paling sedikit satu dan tidak boleh lebih dari tiga komponen pada
suatu subsistem. Jika total payload adalah 20 lb maka tentukan banyaknya komponen
yang digunakan pada setiap subsistem i, i=1,2,3 untuk memaksimalkan realibilitas
keseluruhan sistem.

 
 
DAFTAR BACAAN

Byrne,Charles L., 2007, A First Course in Optimization, Lecturer Notes.

Diwekar, U., 2008, Introduction to Applied Optimization, Second Edition, Springer, USA.

Fletcher, R., 2000, Practical methods of Optimization, Second Edition, John Wiley & Sons,
Inc., New York.

Antoniou, Andreas dan Lu, Wu-Sheng, 2007, PRACTICAL OPTIMIZATION : Algorithms


and Engineering Applications, Springer, USA.

Venkataraman, P., 2002, Applied Optimization with MATLAB Programming, John Wiley &
Sons, Inc.,New York.

Rao, Singiresu S., 2009, Engineering Optimization: Theory and Practice, Fourth Edition,
John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.

Sarker, Ruhul A. dan Newton, Charles S., 2008, Optimization Modelling A Practical
Approach, CRC Press - Taylor & Francis Group, New York.

Sun, W dan Yuan, YX., 2006, Optimization Theory and Methods : Nonlinear Programming,
Springer Optimization and Its Applications, Springer, USA.
Lampiran A. Konsep Aljabar dan Matriks

A.1 Ruang  n atau  n


Permasalahan nyata sering kali melibatkan variabel yang cukup banyak, oleh
karenanya perumusan masalah optimasi yang terkait dengan suatu permasalahan nyata
sangat mengandalkan konsep matriks atau vektor. Berkaitan dengan penotasian
tersebut, maka lambang dan operasi matriks pun menjadi suatu hal yang sangat penting
untuk kuasai atau disepakati.
Dalam penotasian matriks, notasi  n menyatakan ruang vektor dengan n elemen
kolomnya merupakan bilangan real. Notasi  n1 menyatakan matriks dengan ukuran
n 1 , yaitu suatu matriks dengan jumlah baris adalah n dan jumlah kolom adalah 1 dan
setiap elemennya merupakan bilangan real. Secara umum, notasi  nm menyatakan
matriks yang setiap elemennya merupakan bilangan real dengan ukuran n  m , yaitu
suatu matriks dengan jumlah baris adalah n dan jumlah kolom adalah m.
Serupa dengan  n , notasi n menyatakan ruang vektor dengan n elemen
kolomnya merupakan bilangan kompkleks. Notasi n1 menyatakan matriks dengan
ukuran n 1 , yaitu suatu matriks dengan jumlah baris adalah n dan jumlah kolom
adalah 1 dan setiap elemennya merupakan bilangan kompleks. Secara umum, notasi
nm menyatakan matriks yang setiap elemennya merupakan bilangan kompleks
dengan ukuran n  m , yaitu suatu matriks dengan jumlah baris adalah n dan jumlah
kolom adalah m.

A.2 Bebas Linear dan Basis

Sejumlah vektor v1 , v2 , , vn   n disebut bebas linear (linearly independent),


jika
n

 v
i 1
i i 0 (A.1)

berimplikasi  i  0, untuk i  1, 2, , n. Sebaliknya, vektor v1 , v2 , , vn   n disebut

bergantung linear (linearly dependent), jika terdapat konstanta  k  0 untuk suatu k,

k  1, 2, , n sehingga (A.1) terpenuhi.


Misalkan S   n dan x, y  S . Jika terdapat konstanta  dan  sehingga
z   x   y maka z disebut kombinasi linear dari x, y  S . Himpunan semua

kombinasi linear dari vektor v1 , v2 , , vn  adalah subruang  n yang disebut subruang

yang direntang oleh v1 , v2 , , vn  , dinotasikan dengan span v1 , v2 , , vn  .

Himpunan B  v1 , v2 , , vn  disebut basis untuk S   n , jika

(1). B merupakan himpunan yang bebas linear di S, dan


(2). Setiap v di S, dapat ditulis sebagai kombinasi linear dari B  v1 , v2 , , vn  .

A.3 Range dan Rank Matriks

Diberikan sistem persamaan linear (SPL)


Ax  b (A.2)
dengan A   mn , x   n1 , dan b   m1. Jika dinotasikan kolom ke-i dari matriks A

sebagai ai   m1 , 1  i  n yaitu A   a1 , a2 ,  , an  dan misalkan x   x1 , x2 , , xn 


T

maka Persamaan (A.2) dapat ditulis sebagai


n

a x
i 1
i i b (A.3)

Berdasarkan ekspresi pada (A.3), Persamaan (A.2) memiliki solusi jika


b  span a1 , a2 ,  , an 

Subruang span a1 , a2 ,  , an  disebut sebagai range dari matriks A, dinotasikan R ( A).

Selanjutnya, dimensi dari R ( A) disebut rank dari matriks A, dinotasikan rank (A).

A.4 Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Nilai eigen dari matriks A   mn didefinisikan sebagai n akar dari persamaan
karakteristik
det( I  A)  0 (A.4)

Jika dinotasikan n nilai eigen 1 , 2 ,, n  dengan  ( A) maka untuk setiap i   ( A)

terdapat vektor tak nol vi   n sehingga

Avi  i vi (A.5)
Vektor tak nol vi   n di atas disebut dengan vektor eigen dari matriks A yang

bersesuaian dengan nilai eigen i . Eksistensi vektor eigen tidak tunggal.

A.5 Matriks Simetris


Matriks simetris merupakan salah satu tipe matriks yang sering digunakan
dalam perhitungan optimasi.
Matriks A   aij    nn disebut matriks simetris, jika untuk setiap

i, j  1, 2, , n, dan i  j berlaku aij  a ji .

Salah satu sifat yang menarik dari matriks simetris adalah sebagai berikut. Jika
A adalah matriks simetris maka terdapat matriks ortogonal X   nn , yaitu
XX T  X T X  I n sehingga

A  X X T (A.6)
dengan   diag 1 , 2 , , n  .

Matriks simetris A disebut matriks definit positif, semidefinit positif, definit


negatif dan semidefinit negatif berturut-turut jika xT Ax  0, xT Ax  0, xT Ax  0, dan

xT Ax  0.
Matriks A   aij    nn maka matriks simetri pada ruang ini disebut dengan

matriks hermitian, yaitu jika A  AH atau A  A* , yaitu aij  a ji . Ingat : jika

a  x  iy maka a  x  iy . Selanjutnya, jika A matriks hermitian maka terdapat

matriks uniter U   nn dan UU H  U H U  I n sehingga

A  UAU H . (A.7)

A.6. Singular-Value Dekomposition (SVD).


Diberikan matriks A  nn dengan rank(A) = r, terdapat matriks uniter
U   mm dan U   mn sehingga
A  U V H (A.8)

dengan
S 0

0 0  mn
dan
s  diag  1 ,  2 , ,  r 

dengan  1   2     r  0. Dekomposisi matriks pada (A.8) dikenal dengan

singular-value dekomposition (SVD) dari matriks A.

Anda mungkin juga menyukai