Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah

Etika Bisnis dan Profesi

Program Studi Akuntansi

Disusun Oleh:

1. Dixi Andrianto 190500047


2. Githa Ayuningtyas 190500058
3. Dian Mahardika 190500067
4. Dena Rishawa 200400016
5. Siti Rokhyati 200400045

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga para penulis dapat menyusun makalah ini tepat

pada waktunya. Makalah ini membahas pengenaan Good Corporate Governance (GCG).

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi

dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, para penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari

Tuhan Yang Maha Esa.

Para penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari

bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis

harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Jakarta, Oktober 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH ........................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii
BAB I ................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................... 8
BAB II .................................................................................................................................. 9
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 9
2.1 Pengertian Good Corporate Governance (GCG) ..................................................... 9
2.2 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) ............................................ 12
2.3 Manfaat Good Corporate Governance (GCG) ....................................................... 18
2.4 GCG dan Hukum Perseroan di Indonesia .............................................................. 20
2.5 Organ Khusus dalam Penerapan GCG ................................................................... 25
2.6 Komisaris dan Direktur Independen ...................................................................... 26
2.7 Komite Audit ........................................................................................................ 28
2.8 Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary) ........................................................ 30
2.9 GCG dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ................................................. 30
2.10 GCG dan Pengawasan Pasar Modal di Indonesia................................................... 31
2.11 GCG Perbankan di Indonesia ................................................................................ 32
BAB III ............................................................................................................................... 34
PENUTUP .......................................................................................................................... 34
3.1 Simpulan............................................................................................................... 34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mulai populernya istilah “tata kelola perusahaan yang baik” atau yang lebih dikenal

dengan istilah asing good corporate gocernance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari

maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar, baik yang ada

di Indonesia maupun yang ada di Amerika Serikat. Runtuhnya sistem ekonomi komunis

menjelang akhir abad 20, menjadikan sistem ekonomi kapitalis sebagai satu-satunya sistem

ekonomi yang paling dominan di seluruh dunia. Sistem ekonomi kapitalis ini makin kuat

mengakar berkat arus globalisasi dan perdagangan bebas yang mampu dipaksakan oleh

negara-negara maju penganut sistem ekonomu kapitalis. Ciri utama sistem ekonomi

kapitalis adalah kegiatan bisnis dan kepemilikan perusahaan dikuasai oleh individu-

individu/sektor swasta.

Dalam perjalanannya, beberapa perusahaan akan muncul sebagai perusahaan-

perusahaan swasta raksasayang bahkan aktivitas dan kekuasaannya telah melebihi batas-

batas suatu negara. Para pemilik dan pengelola kelompok perusahaan-perusahaan raksasa

ini bahkan mampu memengaruhi dan mengarahkan berbagai kebijakan yang diambil oleh

para pemimpin politik suatu negara untuk kepentingan kelompok perusahaan mereka

dengan kekuatan uangnya. Sering kali terjadi pemerintah suatu negara yang seharusnya

menjadi kekuatan terakhir sebagai pengawas, penegak hukum, dan pengendali perusahaan-

4
perusahaan tidak berdaya menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para

pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut.

Salah satu contoh akibat dari praktik bisnis yang tidak etis adalah krisis ekonomi

yang menimpa Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, seperti: Thailand, Korea

Selatan, Hongkong, Filipina, dan Malaysia serta mega-skandal yang menimpa perusahaan-

perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Tidak sulit untuk mencari penyebab utama krisis

dan mega-skandal tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis---bahkan cenderung

kriminal---yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena

kekuatan mereka yang sangat besar di satu sisi, dan tidak berdayanya aparat pemerintah

dalam menagakkan hukum dan pengawasan atas perilaku pelaku bisnis ini.

Pola krisis di Indonesia—sebagaimana juga di beberapa negara Asia lainnya sekitar

tahun 1997—diawali oleh aksi para spekulan mata uang (yang notabene juga merupakan

pelaku bisnis perdagangan mata uang asing) sehingga memberi tekanan berat pada mata

uang lokal di beberapa negara di Asia (dolar Hongkong, bath, peso, rupiah). Akibatnya

terjadi penurunan nilai mata uang lokal, naiknya suku bunga bank, meningkatnya kredit

macet, dan anjloknya indeks harga saham (I.P.G Ary Suta dan Soebowo Musa, 2004).

Sebelum krisis terjadi, perusahaan-perusahaaan besar di Indonesia dibawah payung

beberapa kelompok konglomerat yang mendominasi perekonomian telah melakukan

pinjaman dalam valuta asing (US$) dalam jumlah spektakuler pada lembaga-lembaga

perbankan Indonesia. Merosotnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS secara drastis

menyebabkan utang para konglomerat ini dalam rupiah menggelembung bagaikan balon

sehingga tidak mampu lagi membayar bunga dan cicilan utang mereka pada bank. Dari itu,

kemudian muncul kredit macet yang menimpa lembaga-lembaga perbankan Indonesia. Hal

5
ini menimbulkan efek domino, yaitu hancurnya sistem perbankan di Indonesia yang pada

akhirnya menimbulkan krisis ekonomi, politik, dan sosial yang sangat kompleks.

Beberapa perusahaan besar di Indonesia ada yang bermasalah dan bahkan tidak

mampu lagi meneruskan kegiatan usahanya akibat menjalankan praktik tata kelola

perusahaan yang buruk (bad corporate governance). Contohnya antara lain: bank-bank

yang telah dilikuidasi/dimerger (Bank Pembangunan Indonesia—Bapindo, Bank Dagang

Negara—BDN, Bank Bumi Daya—BDN, Bank Export-Import—Bank Exim); PT

Indorayon (sebuah perusahaan pabrik kertas di Sumatra Utara); PT Dirgantara Indonesia

(sebuah pabrik pesawat terbang berkantor pusat di Bandung); dan PT Lapindo Brantas

(sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo, Jawa Timur). Kejatuhan

beberapa bank tersebut tidak bijaksana (unprudential kredit policy). Kredit diberikan dalam

jumlah besar kepada beberapa kelompok usaha besar tanpa melalui suatu kajian yang

cermat dan objektif atas studi kelayakan bisnis mereka. Akibatnya, bank-bank pemerintah

tersebut mengalami kesulitan keuangan karena kelompok usaha besar ini tidak mampu

mengembalikan pinjaman dan buanganya.

Pada intinya, timbulnya krisis ekonomi di Indonesia ini disebabkan oleh tata kelola

perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola pemerintahan yang

buruk pula (bad corporate governance) sehingga memberikan peluang besar timbulnya

praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akibat berbagai praktik tata kelola

perusahaan yang buruk oleh perusahaan-perusahaan besar ini bukan saja telah

menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia tetapi juga mempengaruhi perekonomian AS

dan Dunia. Untuk mengatasi krisis gelombang pertama pada awal tahun 2000-an,

pemerintah AS bertindak cepat untuk meredam kepanikan para investor dengan

6
mengeluarkan undang-undang yang terkenal dengan nama Sarbanes-Oxley act of 2002.

Undang-undang ini berisi penataan kembali Akuntansi Perusahaan Publik , tata kelola

perusahaan, dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, Undang-undang ini

menjadi acuan awal dalam menjabarkan dan menegakkan GCG, baik di AS maupun di

Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan pada makalah

ini adalah:

a. Apa yang dimaksud dengan GCG?

b. Mengapa konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat?

c. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi konsep GCG?

d. Sejauh mana Undang-undang Perseroan Terbatas di Indonesia telah

mengakomodasi prinsip GCG tersebut?

e. Hubungan antara GCG dengan reformasi BUMN di Indonesia?

f. Peran Bapepam dalam menegakkan prinsip GCG bagi semua lembaga-lembaga

yang terkait dalam rangka mewujudkan pasar modal yang adil, efektif dan efisien?

g. Peran BI dalam menegakkan prinsip GCG bagi dunia perbankan di Indonesia?

7
1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui segala hal mengenai konsep GCG

b. Untuk mengetahui segala hal mengenai prinsip-prinsip dasar yang melandasi

konsep GCG

c. Untuk mengetahui undang-undang Perseroan Terbatas di Indonesia telah

mengakomodasi konsep GCG

d. Untuk mengetahui hubungan GCG dengan reformasi BUMN di Indonesia

e. Untuk mengetahui peran Bapepam dalam menegakkan prinsip GCG bagi lembaga-

lembaga yang terkait dalam rangak mewujudkan pasar modal yang adil, efektif, dan

efisien.

f. Untuk mengetahui peran BI dalam menerapkan prinsip GCG bagi dunia perbankan

di Indonesia.

g. Menambah wawasan para pembaca dan dapat menjadi referensi untuk penulis-

penulis lainnya.

8
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Good Corporate Governance (GCG)

Istilah “corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury

Committee, Inggris pada tahun 1922 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporannya

yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report (dalam Sukrisno Agoes, 2006). Istilah isi

sekarang menjadi sangat populer dan telah diberi banyak definisi oleh berbagai pihak. Di

bawah ini diberikan berbagai definisi dari beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan .

a. Cadbury Committee of United Kingdom:

“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors,

the government, employees, and other internal and external stakeholders in respect to

their right and responsibilities, or system by which companies are directed and

controlled.” {“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang

saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta

para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-

hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan

mengendalikan perusahaan.”}

b. Forum for Corporate Governance in Indonesia—FCGI (2006)—tidak membuat

definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of United

Kingdom, yang kalau diterjemahkan adalah: “...seperangkat peraturan yang mengatur

hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,

9
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya

yang berkaitan dengan hak-hak dam kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu

sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”

c. Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai

suatu sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi,

pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang

baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan

perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.

d. Organization for Economic and Developement—OECD (dalam Tjager dkk., 2004)—

mendefiniskan GCG sebagai: “The structure through which shareholders, directors,

managers, set of the board objectives of the company, the means of attaining those

objectives and monitoring performance.” {“ Suatu struktur yang terdiri atas para

pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai

perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau

kinerja."]

e. Wahyudi Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006) mendefinisikan GCG sebagai: "...

mekanisme administratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen

perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok

kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan

dalam bentuk berbagai aturan permainan dan sistem insentif sebagai kerangka kerja

(framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan dan cara-cara

pencapaian tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan."

10
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat diketahui bahwa GCG dapat diberi

pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas. Definisi yang disampaikan oleh OECD

dapat mewakili pengertian dalam arti sempit, sedangkan definisi yang diberikan oleh

Cadbury Committee, Sukrisno Agoes, dan Wahjudi Prakarsa dapat mewakili pengertian

GCG dalam arti luas.

1. Wadah Organisasi (Perusahaan, sosial, pemerintahan)

2. Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-

prinsip, serta nilai-nilai yang melandasi praktik bisnis yang sehat.

3. Tujuan  Meningkatkan kinerja organisasi

 Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan

 Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang

signifikan dalam pengelolaan organisasi

 Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak

dirugikan

4. Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang,

dan tanggung jawab:

 Dalam arti sempit: antar pemilik/pemegang saham, dewan

komisaris, dan dewan direksi

 Dalam arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan

11
2.2 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep GCG memperjelas dan

mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu

organisasi. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mencoba

untuk mengembangkan beberapa prinsip yang dapat dijadikan acuan baik oleh pemerintah

maupun para pelaku bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar para pemangku

kepentingan tersebut. Prinsip-prinsip OECD (dalam Sukrisno Agoes, 2006) mencakup lima

bidang utama, yaitu: hak-hak para pemegang saham (stockholders) dan perlindungannya;

peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya,

pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu; transparansi terkait dengan

struktur dan operasi perusahaan; serta tanggung jawab dewan (maksudnya Dewan

Komisaris dan Direksi) terhadap perusahaan, pemegang saham, dan pihak-pihak yang

berkepentingan lainnya. Secara ringkas, prinsip prinsip tersebut dapat dirangkum sebagai

berikut:

a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness)

b. Transparansi (transparency)

c. Akuntabilitas (accountability)

d. Responsibilitas (responsibility)

Dalam hubungannya dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN),

Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan Keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002

tentang Penerapan GCG (Tjager dkk., 2003). Ada lima prinsip menurut keputusan ini,

yaitu:

a. Kewajaran (fairness)

12
b. Transparansi

c. Akuntabilitas

d. Pertanggungjawaban

e. Kemandirian

Selanjutnya, National Committee on Governance (NCG, 2006) memublikasikan

"Kode Indonesia tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Indonesia's Code of Good

Corporate Governance)" pada tanggal 17 Oktober 2006. Sebagaimana dinyatakan dalam

kata pengantarnya oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Boediono,

walaupun Kode Indonesia tentang GCG ini bukan merupakan suatu peraturan, tetapi dapat

menjadi pedoman dasar bagi seluruh perusahaan di Indonesia dalam menjalankan usaha

agar kelangsungan hidup perusahaan lebih terjamin dalam jangka panjang dalam koridor

etika bisnis yang pantas. Dalam kode GCG ini, NCG mengemukakan lima prinsip GCG,

yaitu:

a. Transparansi (transparency)

b. Akuntabilitas (accountability)

c. Responsibilitas (responsibility)

d. Independensi (independency)

e. Kesetaraan (fairness)

Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh NCG hampir sama dengan yang

diungkapkan oleh Menteri Negara BUMN. Penjelasan singkat atas masing-masing prinsip

yang telah dikemukakan dapat diberikan sebagai berikut:

a. Perlakuan yang setara (fairness) merupakan prinsip agar para pengelola

memperlakukan semua pemangku kepentingan secara adil dan setara, baik

13
pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, pemodal) maupun

pemangku kepentingan sekunder (pemerintah, masyarakat, dan yang lainnya). Hal

inilah yang memunculkan konsep stakeholders (seluruh kepentingan pemangku

kepentingan), bukan hanya kepentingan stockholders (pemegang saham saja).

b. Prinsip transparansi (disebut juga prinsip keterbukaan), artinya kewajiban bagi para

pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan

penyampaian informasi. Keterbukaan dalam menyampaikan informasi juga

mengandung arti bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan

tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan. Tidak boleh ada hal-hal yang

dirahasiakan, disembunyikan, ditutup-tutupi, atau ditunda-tunda

pengungkapannya.

c. Prinsip akuntabilitas adalah prinsip di mana para pengelola berkewajiban untuk

membina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan

(financial statements) yang dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan kejelasan fungsi,

pelaksanaan, dan pertanggungjawaban setiap organ sehingga pengelolaan berjalan

efektif.

d. Prinsip responsibilitas (lebih sering disebut prinsip tanggung jawab) adalah prinsip

di mana para pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua

tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai

wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya. Prinsip tanggung jawab ada sebagai

konsekuensi logis dari kepercayaan dan wewenang yang diberikan oleh para

pemangku kepentingan kepada para pengelola perusahaan. Tanggung jawab ini

14
mempunyai lima dimensi, yaitu: ekonomi, hukum, moral, sosial, dan spiritual yang

dijelaskan sebagai berikut:

 Dimensi ekonomi, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam

bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi para pemangku kepentingan.

 Dimensi hukum, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam

bentuk ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku; sejauh mana

tindakan manajemen telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

 Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggung jawab tindakan

manajemen tersebut telah dirasakan keadilannya bagi semua pemangku

kepentingan.

 Dimensi sosial, artinya sejauh mana manajemen telah menjalankan corporate

social responsibility (CSR) sebagai wujud kepedulian terhadap kesejahteraan

masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan perusahaan.

 Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu

mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah

sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.

e. Kemandirian sebagai tambahan prinsip dalam mengelola BUMN, artinya suatu

keadaan di mana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan bersifat

profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, dan bebas dari

tekanan/pengaruh dari mana pun yang bertentangan dengan perundang-undangan

yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat.

Sebenarnya, tiga dari keempat prinsip GCG tersebut-transparansi, akuntabilitas,

dan tanggung jawab-mempunyai arti yang sangat erat dan tumpang-tindih. Laporan

15
keuangan yang lengkap dan benar (prinsip akuntabilitas) merupakan salah satu alat

pertanggungjawaban (prinsip tanggung jawab) para pengelola (manajemen, direksi)

kepada para pemangku kepentingan. Namun harus dipahami bahwa wujud

pertanggungjawaban manajemen tidak terbatas hanya dalam bentuk penyampaian laporan

keuangan (dimensi ekonomis) saja, tetapi juga mencakup empat dimensi lainnya (hukum,

moral, sosial, dan spiritual). Laporan keuangan yang baik adalah laporan keuangan yang

menyajikan kinerja keuangan apa adanya, tidak ada yang disembunyikan, dan disusun

berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Ini berarti bahwa laporan keuangan

yang disusun harus mengikuti prinsip transparansi. Namun harus dimengerti bahwa laporan

keuangan hanya salah satu jenis informasi yang berhubungan dengan aktivitas perusahaan.

Prinsip transparansi menghendaki penyampaian seluruh informasi, baik yang bersifat

keuangan maupun non-keuangan secara lengkap, benar, dan tepat waktu kepada seluruh

pemangku kepentingan.

Keempat prinsip ini-kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab-

sebenarnya merupakan jawaban langsung atas permasalahan/skandal yang dihadapi oleh

dunia usaha, bukan saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Sebagaimana telah

disinggung sebelumnya, berbagai skandal yang marak dihadapi oleh dunia usaha terjadi

dalam bentuk:

a. Perlakuan tidak adil yang dihadapi oleh satu atau beberapa pemangku kepentingan.

Misalnya, rekayasa pengajuan pinjaman (credit proposal) yang dilakukan oleh

direksi perusahaan untuk memperoleh kredit bank tentu lebih menguntungkan

kepentingan pemegang saham dan merugikan kepentingan pemangku kepentingan

lainnya-dalam hal ini adalah bank. Contoh lain adalah insider trading yang dilakukan

16
oleh direksi perusahaan untuk kepentingan pribadi. Hal ini sangat merugikan para

pemegang saham publik. Proses penawaran saham publik (Initial Public Offering-

IPO) atau proses emisi saham baru sering kali hanya menguntungkan pemegang

saham mayoritas dan merugikan pemegang saham minoritas. Dari masalah-masalah

tersebut akhirnya memunculkan prinsip perlakuan yang setara (fairness) di antara

pemangku kepentingan.

b. Maraknya rekayasa laporan keuangan dan sering timbulnya insider trading yang

dilakukan oleh para eksekutif puncak baik di Indonesia maupun AS yang bahkan

melibatkan beberapa akuntan publik ternama, akhirnya mempertegas kembali

pentingnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

c. Munculnya berbagai kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sangat canggih,

korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pelaku bisnis dan oknum

birokrasi pemerintahan sangat merugikan masyarakat dan perekonomian secara

keseluruhan. Timbulnya berbagai kerusakan hutan, pencemaran udara dan air,

pemanasan global, dan sebagainya, semuanya ini mencerminkan lemahnya wujud

kesadaran dan tanggung jawab dari para eksekutif puncak dan oknum pejabat

pemerintah terkait. Hal ini telah mempertegas kembali pentingnya prinsip tanggung

jawab yang harus diikuti oleh para eksekutif dan seluruh pemangku kepentingan

perusahaan terkait. Namun harus diingat bahwa wujud tanggung jawab meliputi lima

dimensi, yaitu: ekonomi, hukum, moral, sosial, dan spiritual.

17
2.3 Manfaat Good Corporate Governance (GCG)

Salah satu akar krisis ekonomi di Indonesia dan krisis pasar modal di AS adalah

buruknya kinerja perusahaan-perusahaan besar yang sebagian besar merupakan perusahaan

publik yang telah terdaftar di bursa. Buruknya kinerja ini disebabkan oleh berbagai praktik

kecurangan yang dilakukan oleh para eksekutif perusahaan-perusahaan tersebut. Praktik-

praktik manipulasi ini sangat merugikan para investor sehingga para investor tidak percaya

lagi pada institusi pasar modal dan institusi pengawas pasar modal tersebut. Akibat

kepanikan dan kehilangan kepercayaan, para investor tersebut melakukan penarikan modal

besar-besaran secara beruntun dari bursa sehingga menimbulkan tekanan berat pada indeks

harga saham di bursa.

Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan

kepercayaan para investor dan institusi terkait di pasar modal. Sebagaimana telah

dikemukakan sebelumnya, tujuan penerapan GCG adalah untuk meningkatkan kinerja

organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang praktik manipulasi dan kesalahan

signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk. (2003) mengatakan bahwa

paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:

a. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukkan

bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-

perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.

b. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya

krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola

perusahaan.

18
c. Internasionalisasi pasar-termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal-

menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.

d. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat menjadi

dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis

yang kini telah banyak berubah.

e. Secara teoretis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat

dari penerapan GCG adalah:

a. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing.

b. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah.

c. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi

perusahaan.

d. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap

perusahaan.

e. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.

Konsep GCG merupakan upaya perbaikan terhadap sistem, proses, dan seperangkat

peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan

memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan kewajiban semua pemangku kepentingan

dalam arti luas dan khususnya organ RUPS, Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi dalam

arti sempit. Namun harus disadari bahwa betapa pun baiknya suatu sistem dan perangkat

hukum yang ada, pada akhirnya yang menjadi penentu utama adalah kualitas dan tingkat

kesadaran moral dan spiritual dari para aktor/pelaku bisnis itu sendiri.

19
2.4 GCG dan Hukum Perseroan di Indonesia

Kegiatan perusahaan (perseroan) di Indonesia didasarkan atas payung hukum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Namun Undang-

Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU nomor 40 Tahun 2007, yang dimaksud

dengan Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan

berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya

terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang Undang

ini serta peraturan pelaksanaannya.

Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007,

dikatakan alasan pencabutan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 untuk diganti dengan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Pertimbangan tersebut antara lain karena adanya

perubahan dan perkembangan yang cepat berkaitan dengan teknologi, ekonomi, harapan

masyarakat tentang perlunya peningkatan pelayanan dan kepastian hukum, kesadaran

sosial dan lingkungan, serta tuntutan pengelolaan usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip

pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Beberapa ketentuan lama

yang masih relevan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 masih

dipertahankan. Namun ada beberapa ketentuan baru yang ditambahkan, yang kalau

dicermati dengan baik sebenarnya merupakan penyempurnaan rambu-rambu secara garis

besar yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan (corporate governance).

Ketentuan yang disempurnakan ini, antara lain:

20
a. Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi yang

ada, seperti: telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya

(Pasal 77).

b. Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status badan

hukum dan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan.

c. Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan

Komisaris, termasuk mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan

d. Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur secara

eksplisit tentang GCG. Meskipun begitu, Undang-Undang ini mengatur secara garis besar

tentang mekanisme hubungan, peran, wewenang, tugas dan tanggung jawab prosedur dan

tata cara rapat, serta proses pengambilan keputusan dari organ minimal yang harus ada

dalam perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan

Komisaris. Di samping itu juga diatur mengenal persyaratan dan tata cara pengangkatan

serta pemberhentian anggota Dinkat dan Dewan Komisaris.

Wewenang dari ketiga organ ini diatur dalam Bab Pasal 1 sebagai berikut:

ayat 4 Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ

Perseroan yang mempunyal wewenang yang tidak diberikan kepada Direkal atau

Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/

atau anggaran dasar.

ayat 5 Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh

atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan makad

21
dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar

pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

ayat 6 Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan

pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta

memberi nasehat kepada Direksi

Secara lebih spesifik, wewenang, tugas, dan tanggung jawab ketiga organ ini dapat

diringkas sebagai berikut:

1. RUPS

a. Menyetujui dan menetapkan perubahan Anggaran Dasar Perusahaan (Pasal 19

ayat 1).

b. Menyetujui pembelian kembali dan pengalihan saham Perseroan (Pasal 38 ayat

1).

c. Menyetujui penambahan dan pengurangan modal Perseroan (Pasal 41 ayat 1 dan

Pasal 44 ayat 1).

d. Menyetujui dan mengesahkan laporan tahunan termasuk laporan keuangan

Direksi serta luparan tugas pengawasan Komisaris (Pasal 69).

e. Menyetujui dan menetapkan penggunaan laba bersih, penyisihan cadangan dan

dividen serta dividen interim (Pasal 71 dan Pasal 72).

f. Menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan,

pengajuan pailit. perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran

perseroan (Pasal 89).

g. Menyetujui pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris

(Pasal 94 dan Pasal 111).

22
h. Menetapkan besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi dan Komisaris (Pasal

56 dan Pasal 113)

2. Dewan Komisaris

a. Melakukan tugas dan tanggung jawab pengawasan ataS kebijakan pengurusan,

jalannya pengurusan pada umumnya, dan memberikan nasehat kepada Direkst

(Pasal 108 dan Pasal 114)

b. Bertanggung jawabs renteng secara pribadi atas kerugian perseman bila yang

bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 114 ayat 3

dan ayat 4)

c. Bertanggung jawab renteng secara pribadi atas kepailitan perseroan bila

disebabkan oleh kesalahan dan kelalaian dalam menjalankan tugas pengawasan

dan pemberian nasehat (Pasal 115)

d. Diberi wewenang untuk membentuk komite yang diperlukan untuk mendukung

tugas Dewan Komisaris (Pasal 121).

3. Dewan Direksi

a. Menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan

kebijakan yang dianggap tepat dalam batas yang ditetapkan Undang-Undang dan

Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 92)

b. Bertanggung jawab renteng dan penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan

bila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal

97)

c. Mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98)

23
d. Wajib membuat Daftar Pemegang Saham, risalah RUPS, dan risalah rapat

Direksi (Pasal 100 ayat la)

e. Wajib membuat laporan tahunan (pasal 100 ayat 1b)

f. Wajib memelihara seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan, dan dokumen

Perseroan lainnya ditempat kedudukan Perseroan (Pasal 1c dan Pasal 2)

g. Wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan, atau

menjadikan jaminan utang Perseroan (Pasal 102)

Dengan demikian, RUPS merupakan organ tertinggi dan memegang wewenang

tertinggi dalam perusahaan yang berbadan hukum PT. Anggota Dewan Komisaris dan

Dewan Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Dewan Komisaris bertugas untuk

mengawasi tindakan Dewan Direksi serta memberikan nasehat dan arahan kepada Dewan

Direksi dalam menjalankan operasi perusahaan. Dewan Direksi bertugas untuk

menjalankan kegiatan operasi perusahaan berdasarkan arahan dan garis besar kebijakan

yang telah ditetapkan oleh RUPS, Dewan Komisaris, serta Anggaran Dasar Perseroan yang

berlaku dalam koridor hukum. Uraian tugas, wewenang, hak, dan tanggung jawab masing-

masing organ ini selanjutnya dituangkan dalam Anggaran Dasar Perseroan.

Sehubungan dengan sistem hukum yang berkaitan dengan organ Direksi dan

Komisaris ini, dapat dijumpai adanya dua sistem pengelola puncak (top management) suatu

perseroan, yaitu model Anglo-Saxon dan model Kontinental (Indra Surya dan Ivan

Yustiavandana, 2006). Model Anglo Saxon (disebut juga single-board system) diikuti oleh

Amerika Serikat dan Inggris. Dalam sistem ini tidak dikenal adanya pemisahan antara

Direksi (selaku pelaksana) dengan Dewan Komisaris (selaku pengawas). Kedua fungsi ini

disatukan dan disebut sebagai Board of Directors. Dalam sistem kontinental, yang dianut

24
oleh negara-negara Eropa selain Inggris yang juga dianut oleh Indonesia, menggunakan

model two-board system, di mana organ Dewan Direksi sebagai eksekutif Perseroan

dipisah dengan organ Dewan Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas dan penasehat

Direksi.

2.5 Organ Khusus dalam Penerapan GCG

Meskipun ketentuan mengenai organ perseroan telah diatur dalam Undang-Undang

Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan selanjutnya dituangkan kembali di dalam

Anggaran Dasar Perseroan, namun dalam praktiknya organ ini belum mampu menjamin

terselenggaranya tata kelola perusahaan yang sehat. Hal ini karena sifat undang-undang

hanya mengatur ketentuan-ketentuan secara garis besar saja sehingga pasti ada ketentuan-

ketentuan dalam undang-undang yang memerlukan petunjuk pelaksanaan (juklak) atau

petunjuk teknis (juknis) lebih lanjut dalam bentuk peraturan atau pedoman yang

dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berwenang serta institusi atau organisasi profesi

terkait.

Indra Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) menyebutkan paling tidak diperlukan

empat organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:

a. Komisaris Independen

b. Direktur Independen

c. Komite Audit

d. Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)

25
2.6 Komisaris dan Direktur Independen

Istilah independen sering diartikan sebagai merdeka, bebas, tidak memihak, tidak

dalam tekanan pihak tertentu, netral, objektif, punya integritas, dan tidak dalam posisi

konflik kepentingan. Namun dalam kaitannya dengan konsep komisaris atau direktur

independen, perlu dicermati terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan independen. Indra

Surya dan Ivan Yustiavandana (2006) mengungkapkan ada dua pengertian independen

terkait dengan konsep komisaris dan direktur independen tersebut.

Pertama, komisaris dan direktur independen adalah seseorang yang ditunjuk untuk

mewakili pemegang saham independen (pemegang saham minoritas). Sebagaimana diatur

dalam Undang Undang Perseroan, anggota Direksi dan Komisaris diangkat dan

diberhentikan oleh RUPS, sedangkan keputusan yang diambil dalam RUPS didasarkan atas

perbandingan jumlah suara para pemegang saham. Hak suara dalam RUPS tidak

didasarkan atas satu orang satu suara, tetapi didasarkan atas jumlah saham yang

dimilikinya. Sebagai konsekuensinya, keputusan penetapan dan pemberhentian anggota

komisaris dan direksi akan selalu berasal dari kepentingan pemegang saham mayoritas.

Oleh karena itu, para anggota Direksi dan Komisaris tersebut tentunya akan selalu berpihak

kepada kepentingan pemegang saham mayoritas dan sering kali mengabaikan dan

merugikan kepentingan para pemegang saham minoritas atau para pemangku kepentingan

lainnya. Oleh karena itu, bila anggota Dewan Direksi dan Dewan Komisaris lebih dari satu,

maka setidaknya ada satu orang direktur dan komisaris yang mewakili kepentingan

pemegang saham minoritas atau kepentingan pihak lain di luar kepentingan pemegang

saham mayoritas.

26
Kedua, komisaris dan direktur independen adalah pihak yang ditunjuk tidak dalam

kapasitas mewakili pihak mana pun dan semata-mata ditunjuk berdasarkan latar belakang

pengetahuan, pengalaman, dan keahlian profesional yang dimilikinya untuk sepenuhnya

menjalankan tugas demi kepentingan perusahaan. Jadi, pengertiannya di sini lebih luas

dibandingkan pengertian pertama. Komisaris dan direktur independen diangkat semata-

mata karena pertimbangan "profesionalisme" demi kepentingan perusahaan. Yang

dimaksud dengan kepentingan perusahaan di sini adalah kepentingan bagi seluruh

pemangku kepentingan, bukan hanya pemegang saham mayoritas atau pemegang saham

minoritas.

Selain kedua pengertian tersebut, sebenarnya masih ada pengertian ketiga yang

biasa dipakai dalam kode etik akuntan publik, yang dalam konteks ini sering dikenal

dengan istilah independent in fact dan independent in appearance. Independent in fact

menekankan sikap mental dalam mengambil keputusan dan tindakan yang semata-mata

didasarkan atas pertimbangan profesionalisme dari dalam diri yang bersangkutan tanpa

campur tangan, pengaruh, atau tekanan dari pihak luar. Sementara itu, independent in

appearance dilihat dari sudut pandang pihak luar yang mengharapkan calon yang

bersangkutan (calon auditor, komisaris, atau direktur) secara fisik tidak mempunyai

hubungan darah (kepentingan langsung) dengan perusahaan dan/atau dengan para

pemangku kepentingan lainnya yang dapat menimbulkan keraguan bagi pihak luar tentang

kenetralan yang bersangkutan. Misalnya, calon komisaris/direktur masih memiliki

hubungan keluarga (sebagai menantu, besan, anak, saudara, dan sebagainya) dengan para

pemegang saham mayoritas atau para pemangku kepentingan lainnya, atau mempunyai

bukti kepemilikan utang-piutang dengan perusahaan sehingga menyebabkan timbulnya

27
konflik kepentingan antara kepentingan pribadi calon yang bersangkutan dengan

kepentingan perusahaan. Pada pengertian kedua mengenai komisaris dan direktur

independen yang telah disebutkan, pengertian tersebut sama dengan pengertian

independent in fact yang semata-mata didasarkan atas pertimbangan profesionalisme saja.

Namun dalam pengertian ketiga, pertimbangan profesionalisme saja tidak cukup;

persyaratan independent in appearance juga harus dipenuhi.

Bila mencermati aturan dari PT Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-305/BEJ/07-2004

Pasal III.1.6., dijumpai syarat menjadi direktur independen adalah sebagai berikut:

a. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Pemegang Saham Pengendali

Perusahaan tercatat yang bersangkutan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum

penunjukan sebagai direktur tidak terafiliasi.

b. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Komisaris dan Direktur lainnya dari

Perusahaan Tercatat.

c. Tidak bekerja rangkap sebagai Direksi pada perusahaan lain.

d. Tidak menjadi Orang Dalam pada lembaga atau profesi penunjang pasar modal yang

jasanya digunakan oleh Perusahaan Tercatat selama 6 (enam) bulan sebelum

penunjukkan sebagai Direktur.

2.7 Komite Audit

Menurut Subur (2003) yang dikutip I Putu Sugiartha Sanjaya, syarat-syarat yang

harus dipenuhi untuk menjadi anggota Komite Audit adalah sebagaiberikut:

a. Anggota Komite Audit harus memiliki keseimbangan keterampilan dan pengalaman

dengan latar belakang usaha yang luas.

28
b. Anggota Komite Audit harus independen, objektif dan hokumlonal.

c. Anggota Komite Audit harus memiliki integritas, dedikasi, pemahaman yang baik

mengenai organisasi, lingkungan bisnis serta risiko dan hokuml.

d. Paling sedikit anggota komite audit harus memiliki pengertian yang baik tentang

analisa dan penyusunan laporan keuangan.

e. Ketua Komite Audit harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan terampil

berkomunikasi dengan baik. Selain hal tersebut, menurut Keputusan Ketua Bapepam

Nomor: Kep-41/PM/2003 menambahkan bahwa anggota Komite Audit tidak

merangkap jabatan yang sama pada perusahaan lain pada periode yang sama.

Keberadaan Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor SE-

03/PM/2002 (bagi perusahaan publik) dan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-

103/MBU/2002 (bagi BUMN). Komite Audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai

oleh Komisaris Independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta

menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Dalam pelaksanaan

tugasnya, Komite Audit mempunyai fungsi membantu Dewan Komisaris untuk (i)

meningkatkan kualitas Laporan Keuangan, (ii) menciptakan iklim disiplin dan

pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam

pengelolaan perusahaan, (iii) meningkatkan efektifitas fungsi internal audit (SPI) maupun

eksternal audit, serta (iv) mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Dewan

Komisaris/Dewan Pengawas.

Kewenangan Komite Audit dibatasi oleh fungsi mereka sebagai alat bantu DK,

sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya sebatas rekomendasi kepada DK),

kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa eksplisit dari DK, misalmya

29
mengevaluasi dan menentukan komposisi auditor eksternal, dan memimpin suatu

investigasi khusus. Peran dan tanggung jawab Komite Audit akan dituangkan

dalamCharter Komite Audit yang secara umum dikelompokkan menjadi tiga bagian besar,

yaitufinancial reporting, corporate governance, dan risk and control management.

Pada akhirnya, suatu Dewan Komisaris yang aktif, canggih, ahli, beragam dan yang

terpenting independen yang menjalankan fungsinya secara efektif dan dibantu oleh Komite

Audit adalah yang paling baik untuk ditempatkan dalam memastikan implementasi Good

Corporate Governance berjalan dengan baik sehingga kecurangan (fraud) maupun

keterpurukan bisnis dapat dihindari.

2.8 Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)

Jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis

karena orang dalam jabatan ini berfungsi sebagai pejabat penghubung (liason officer) tau

semacam public relations/ investor relations antara perusahaan dengan pihak diluar

perusahaan.tugas utama sekretaris perusahaan antara lain menyimpan dokumen

perusahaan, Daftar Pemegang Saham, risalah rapat direksi dan RUPS, serta menyimpan

dan menyediakan informasi penting lainnya bagi kepentingan seluruh pemangku

kepentingan.

2.9 GCG dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Pada awalnya tujuan dibentuknya BUMN adalah merupakan penjabaran dan

implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.” Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk

30
hokum BUMN yaitu Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan

(Perjan). Tjager dkk (2003) selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN

ini ada kaitannya dengan belum efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di

BUMN tersebut. Contohnya pemberian remunerasi yang berlebihan kepada direksi. Tujuan

GCG diatur dalam pasal 4 adalah:

a. Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,

akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan

memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.

b. Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan efesien, serta

memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemendirian organ.

c. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan

dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab social BUMN

terhadap para pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar

BUMN.

d. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.

e. Menyukseskan program privatisasi.

2.10GCG dan Pengawasan Pasar Modal di Indonesia

Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai

instrument keuangan jangka panjang hoku diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang

maupun modal sendiri, baik yang terbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta.

Keberadaan pasar modal ditentukan oleh lembaga-lembaga penunjang pasar modal, antara

lain:

31
a. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;

b. Bursa Efek;

c. Lembaga Kliring;

d. Investor;

e. Akuntan public; dan

f. Konsultan hukum.

2.11GCG Perbankan di Indonesia

Menyadari tata kelola perbankan di Indonesia masih lemah, dalam upaya menata

kembali manajemen dan kegiatan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan

peraturan No 8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 januari 2006 tentang implementasi GCG oleh

Bank-bank komersial. Secara garis besar, peraturan ini mengatur tentang :

 Prosedur pengelolaan melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung

jawab, independensi dan kesetaraan

 Tujuan implementasi GCE, minimal untuk merealisasikan:

o Kejelasan tugas dan tanggung jawab Dewan komisaris dan Dewan Dereksi

o Kelengkapan dan implementasi tugas komite dan unit pelaksana fungsi internal

audit bank

o Kinerja ketaan, fungsi auditor internal dan eksternal

o Implementasi manajemen resiko termasuk system pengendalian internal

o Ketentuan dalam pihak-pihak terkait dan dana dalam jumlah besar

o Rencana strategi bank

o Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan

32
 Jumlah komposisi, kriteria dan independensi Dewan Komisaris

 Jumlah, komposisi, kriteria dan independensi Dewan Direksi

 Komite

 Ketaatan, Fungsi Auditor Eksternal dan Internal

 Implementasi Management Resiko

 Ketentuan Dana

 Rencana Strategis Bank

 Aspek Transparansi Kondisi Bank

 Konflik Kepentingan dan Pelaporan Internal

 Laporan dan Asesmen Implementasi GCG

 Implementasi GCG di Cabang Luar Negeri

 Sanksi-sanksi

 Ketentuan Peralihan

 Ketentuan Penutup.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu struktur yang terdiri atas para

pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan,

dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja. Terkait

prinsip-prinsip GCG, terdapat lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu kewajaran

(fairness), transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kemandirian. Indra Surya

dan Ivan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan

GCG adalah memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing, mendapatkan

biaya modal (cost of capital) yang lebih murah, memberikan keputusan yang lebih baik

dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan, meningkatkan keyakinan dan

kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap perusahaan, dan melindungi direksi

dan komisaris dari tuntutan hukum.

Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007,

dikatakan alasan pencabutan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 untuk diganti dengan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Pertimbangan tersebut antara lain karena adanya

perubahan dan perkembangan yang cepat berkaitan dengan teknologi, ekonomi, harapan

masyarakat tentang perlunya peningkatan pelayanan dan kepastian hukum, kesadaran

sosial dan lingkungan, serta tuntutan pengelolaan usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip

34
pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Beberapa ketentuan lama

yang masih relevan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 masih

dipertahankan. Namun ada beberapa ketentuan baru yang ditambahkan, yang kalau

dicermati dengan baik sebenarnya merupakan penyempurnaan rambu-rambu secara garis

besar yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan (corporate governance).

Indra Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) menyebutkan paling tidak diperlukan

empat organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:

a. Komisaris Independen

b. Direktur Independen

c. Komite Audit

d. Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)

Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk hokum BUMN

yaitu Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan (Perjan). Tjager dkk

(2003) selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN ini ada kaitannya

dengan belum efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di BUMN tersebut.

Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai instrument

keuangan jangka panjang hoku diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal

sendiri, baik yang terbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Menyadari tata

kelola perbankan di Indonesia masih lemah, dalam upaya menata kembali manajemen dan

kegiatan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan No

8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 januari 2006 tentang implementasi GCG oleh Bank-bank

komersial.

35
1

Anda mungkin juga menyukai