Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PAPER/ARTIKEL ILMIAH KELOMPOK

PENDIDIKAN PANCASILA
KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM
Kasus Korupsi Bantuan Sosial dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Oleh:
Kelompok 2 - PPS72

1) Resti Kumala Anggraini (19/446531/TK/49636)


2) Aaliyah Calista Adli (20/456108/TK/50238)
3) Alifatul Azzahro’ (20/456110/TK/50240)
4) Atanasius Tora R.K (20/456114/TK/50244)
5) Jalu Jagad Maharsi Pamungkas (20/456117/TK/50247)
6) Kayla Aleycia Azis (20/456118/TK/50248)
7) M. Tanzilul Alif R. H (20/456120/TK/50250)
8) Mohammad Ibnu Abdillah (20/456121/TK/50251)

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2021
I. LATAR BELAKANG
Kasus korupsi di Indonesia sudah tidak dapat dikendalikan lagi kasus
korupsi ini mayoritas melibatkan para pejabat tinggi negara. Dalam berbagai
jenis survei mengenai korupsi, Indonesia merupakan salah satu negara
terkorup di dunia. Berbagai kasus korupsi dari yang bernilai kecil hingga
besar terjadi secara terus menerus tanpa adanya kendali yang dapat
menghentikan. Hukum di Indonesia pun juga tidak memberikan efek jera bagi
para pelaku korupsi sehingga kasus demi kasus korupsi akan terus
bermunculan. Hal ini diperparah dengan hukum di Indonesia yang dapat
dibeli dibuktikan dengan banyaknya aparatur hukum yang terlibat dalam
kasus suap.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Indonesia Corruption Watch
(ICW) yang diakses secara online, jumlah penindakan kasus korupsi selama
enam bulan awal tahun 2021 mencapai 209 kasus. Jumlah ini meningkat
dibandingkan periode yang sama di tahun 2020, yakni sebesar 169 kasus.
Nilai kerugian negara akibat korupsi pada semester 1 2020 sebesar Rp. 18,173
triliun, kemudian pada semester 1 2021 nilainya sebesar Rp. 26,83 triliun.
Kenaikan nilai kerugian negara akibat korupsi ini sebesar 47,6 persen. Dan
pada empat tahun belakangan ini kerugian negara selalu menunjukkan
peningkatan, sedangkan penindakan kasus korupsi fluktuatif.
Akhir-akhir ini kasus korupsi yang masih menjadi pembicaraan oleh
masyarakat adalah kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) untuk penanganan
pandemi Covid-19, korupsi ini melibatkan Juliari Batubara, yang merupakan
mantan Menteri Sosial. Kasus ini berawal dari adanya program pengadaan
bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020
dengan nilai berkisar Rp. 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan
dilaksanakan dengan 2 periode. Hal ini menunjukkan seorang Menteri Sosial
pun dapat melakukan praktek korupsi bahkan dalam keadaan pandemi
sekalipun, hal ini mencerminkan seorang pemimpin yang tidak bertanggung
jawab dan tidak dapat melayani rakyat dengan baik. Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis menyusun makalah dengan judul “Kasus Korupsi
Bantuan Sosial (Bansos) Penangan Pandemi Covid-19”.

II. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang disebut dengan korupsi?
2. Faktor- faktor apa sajakah yang melatarbelakangi terjadinya korupsi?
3. Bagaimana ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur korupsi?
4. Bagaimana strategi yang dapat diterapkan untuk meminimalisir korupsi?
5. Bagaimana korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara?
6. Bagaimana peran pemerintah dalam menangani kasus korupsi Juliari
Batubara?
7. Bagaimana menjadi pemimpin/wakil rakyat yang ideal di dalam suatu
negara yang demokratis?

III. PEMBAHASAN
United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan bahwa
korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik untuk
memperkaya diri sendiri melalui penyuapan, gratifikasi, pemerasan,
nepotisme, penggelapan, dan pencucian uang. Di dalam preamble United
Nations Convention Against Corruption yang telah diterima oleh Majelis
Umum PBB pada 31 Oktober 2003, korupsi merupakan ancaman bagi
keamanan dan kestabilan masyarakat (threat to the stability and security of
societies). Korupsi dapat merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi
(undermining the institutions and values of democracy), merusak nilai-nilai
moral dan keadilan (undermining ethical values and justice), membahayakan
“pembangunan yang berkelanjutan” dan “rule of law” (jeopardizing
sustainable development and the rule of law), serta mengancam stabilitas
politik (threaten the political stability).
Menjawab permasalahan di atas, kita perlu mengetahui terlebih dahulu
faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya korupsi. Faktor tersebut
terbagi menjadi tiga poin penting, yaitu monopoli, diskersi, dan akuntabilitas.
Adanya kekuatan monopoli yang dimiliki pemerintah untuk dapat
mengendalikan atau mengakses sumber daya alam dan sumber daya manusia,
serta perundang-undangan menyebabkan timbulnya suatu korupsi. Menurut
Zemanovicova, monopoli dalam pelayanan publik dengan skala besar terjadi
ketika adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran dalam
pelayanan publik dan adanya eksklusifitas dalam memberikan akses atas
informasi. Dari permasalahan tersebut, diperlukan kemampuan untuk
meminimalisasikan pengendalian tersebut melalui desentralisasi tugas. Kedua,
adanya diskresi (wewenang) yang dimiliki oleh pejabat publik membuka
peluang untuk disalahgunakan melakukan korupsi. Hal ini terjadi disebabkan
oleh adanya prosedur yang kompleks dan proses yang panjang sehingga
membuat masyarakat cenderung mengambil jalan pintas. Melihat adanya
dukungan dari internal pemerintah dan cenderung ingin cepat maka
masyarakat lebih memilih untuk membayar lebih mahal kepada pegawai
pemerintah tersebut. Faktor terakhir yang memicu terjadinya korupsi adalah
minimnya akuntabilitas. Akuntabilitas terbagi atas 3 komponen penting yaitu
partisipasi warga Negara dalam proses politik dan pemerintahan, birokrasi
yang efektif, dan implementasi peraturan perundang-undangan. Minimnya
akuntabilitas dapat terlihat dari cara pengambilan keputusan dan tindakan
yang dilakukan oleh pejabat publik (Hardjaloka, 2014).
Di Indonesia, ketentuan mengenai korupsi diatur melalui Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999, ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana
korupsi dalam KUHP ditemui pengaturannya secara terpisah di beberapa pasal
pada tiga bab, yaitu :
a. Bab VII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni pada
pasal 209,210 KUHP.
b. Bab XXI tentang perbuatan curang, yakni pasal 387 dan 388 KUHP.
c. Bab XXVII tentang kejahatan jabatan, yakni pada Pasal 415, 416, 417,
418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Rumusan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam
KUHP, dapat dikelompokkan atas empat kelompok tindak pidana (delik),
yaitu:
a. Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari pasal 209, 210,
418, 419 dan Pasal 420 KUHP.
b. Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri dari Pasal 415, 416,
dan Pasal 417 KUHP.
c. Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang
terdiri dari pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.
d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir
dan rekanan; yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP.
Dengan demikian, secara keseluruhan di dalam KUHP terdapat 13
buah pasal yang mengatur dan membuat rumusan tindak pidana, yang
kemudian dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (Danil,2021). Kasus
korupsi Bansos yang melibatkan mantan Menteri Sosial yaitu Juliari Batubara
ini menimbulkan banyak kerugian bagi negara. Pada 6 Desember 2021, KPK
menetapkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus
suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 2020 di Jabodetabek.
Penyidikan tersangka Juliari saat itu merupakan lanjutan dari penangkapan
KPK pada Jumat, 5 Desember 2021. Selain itu, KPK juga menetapkan
Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabuke
sebagai tersangka suap. Program pengadaan bansos penanganan Covid-19 ini
berupa pembagian sembako senilai 5,9 triliun. Matheus dan Adi mengambil
fee Rp. 10.000 per paket sembako dari nilai Rp. 300.000 per paket sembako.
Pada Mei sampai November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak
pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian
I M dan Harry Sidabuke serta PT. RPI yang diduga milik Matheus.
Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui
Juliari dan disetujui oleh Adi. Pada pelaksanaan paket bansos sembako
periode pertama diduga diterima fee Rp. 12 miliar yang pembagiannya
diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi.
Terdapat pendekatan yang cukup ampuh dalam melawan korupsi di
Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan
melalui tata konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern
mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam tatanan seperti ini harus
muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang yang juga harus
mendukung terciptanya tata pemerintahan dan masyarakat yang bebas dari
korupsi. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif,
tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun, memiliki ruang kebebasan
menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan. Dengan demikian akan
terbentuk lingkungan kebaikan yang memungkinkan seluruh pihak untuk
melakukan pengawasan, dan pihak lain diatasi. Namun, konsep ini penulis
akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan.
Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar
bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara efektif,
dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko
sangat tinggi dengan hasil yang sedikit. Konstruksi integritas nasional, ibarat
Masjidil Aqsa yang suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen,
kantor auditor negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan
masyarakat sipil yang anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Diatas bangunan
nan suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih
baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang
kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan korupsi yang
menghambat pembangunan yang paripurna.
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa,
dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah
dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, pengungkapan kasus
korupsi, kolusi, dan nepotisme ini seringkali tidak diimbangi dengan
penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan
kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
“Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu
besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan relatif lemahnya moral dan
integritas aparat penegak hukum (Ismansyah, 2010).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth
mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada dua strategi yang dapat
diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi
yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang
berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata
kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu
benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta
dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral
yang tinggi.
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil, dan
konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, kolusi dan
nepotisme dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar
harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama pada prinsip
equality before the law.
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang
penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme,
komitmen, tanggungjawab, dan integritas moral yang tinggi dalam
menyelesaikan kasus-kasus korupsi (Langseth, 2000).
Selain ketiga strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye,
dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya
untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of
integrity sebagai berikut: (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3)
lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies), (5)
media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil,31 dan (8) lembaga-lembaga
penegakan hukum (Dye dkk, 1998) .
Sementara itu, dalam perspektif yang agak berbeda, Indriyanto
Senoadji berpendapat bahwa untuk meminimalisasi korupsi yang telah
menjadi satu permasalahan sistemik dan terstruktur yang sangat utuh terakar,
kuat serta permanen sifatnya diperlukan usaha yang maksimal bagi penegakan
hukum, yaitu melalui pendekatan sistem itu sendiri (systemic approach).
Pendekatan sistemik sebagaimana ditawarkan oleh Indriyanto Senoadji
memiliki dua lapis makna, yaitu: (1) maksimalisasi peran sistem ”Peradilan
Pidana” secara luas, (2) koordinasi dan kepaduan antara aparat-aparat penegak
hukum (Polisi, Jaksa dan Pengadilan, bahkan termasuk advokat) dan (3)
pembenahan hukum yang meliputi struktur/legal structure, substansi/legal
substance, dan budaya hukum/legal culture (Senoadji, 2006).
IV. SOLUSI PERMASALAHAN
Tindak pidana korupsi harus diberantas secara tegas. Selain merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, korupsi juga merusak sistem
perekonomian. Sebagai imbasnya, sebanyak apapun sumber daya alam dan
kekayaan yang dimiliki oleh negara kita, tidak akan mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan jika korupsi masih banyak ditemukan. Segala
potensi yang dimiliki pun seakan tidak berarti. Layanan publik yang masih
buruk, tingkat kesehatan rendah, pendidikan yang tidak terjamin, tingkat
pendapat masyarakat yang masih memprihatinkan, dan banyak lagi indikator
negara makmur yang belum bisa dicapai. Dengan kata lain, harapan untuk
mewujudkan Indonesia maju masih jauh dari realita yang ada.
Menurut buku Anti Korupsi yang diterbitkan oleh KPK, salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi adalah
dengan melakukan perbaikan sistem. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak
sistem di Indonesia yang justru membuka celah terjadinya tindak pidana
korupsi. Salah satu contohnya yaitu prosedur pelayanan publik yang rumit
sehingga memicu terjadinya penyuapan. Hal serupa juga ditemukan dalam
sistem perizinan, pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya. Dengan
demikian, perbaikan sistem sangat penting dilakukan untuk dapat
meminimalkan terjadinya tindak pidana korupsi. Hal yang dapat dilakukan,
misalnya dengan membuat sistem pelayanan publik yang efisien dengan
sistem pengawasan terintegrasi. Dalam pelaksanaannya pun, diperlukannya
nilai-nilai integritas yang dijunjung tinggi pada masing-masing pemangku
jabatan guna memberi contoh teladan yang baik kepada masyarakat. Selain
itu, diperlukannya pula koordinasi kerja sama yang baik antar pemerintah
daerah dengan kementerian/lembaga terkait dalam melakukan langkah-
langkah perbaikan.
Kedua, solusi dapat dilakukan yaitu dengan melakukan edukasi dan
kampanye. Salah satu hal penting dalam pemberantasan korupsi adalah
kesamaan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan
adanya persepsi yang sama, pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara
tepat dan terarah. Edukasi dan kampanye memiliki peran strategis dalam
pemberantasan korupsi. Melalui edukasi dan kampanye, maka dapat
membangkit kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak
masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta
membangun perilaku dan budaya antikorupsi. Akan tetapi, edukasi dan
kampanye tidak akan membawa pengaruh yang besar pada aspek
berkehidupan di Indonesia jika tidak adanya kesadaran penuh pada setiap
individu akan pentingnya menjauhi tindak pidana korupsi. Sebaiknya, sedari
dini dan sekecil apapun yang kita lakukan dalam aspek kehidupan, sudah
ditanamkan dalam diri akan kesadaran menjauhi perbuatan korupsi. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan menanamkan pendidikan moral sedari dini
dan menanamkan nilai religius secara intensif.
Nilai-nilai Pancasila sangat sesuai dan sejalan dengan solusi untuk
mencegah tindak pidana korupsi. Jika setiap individu memiliki pemahaman
moral yang baik serta memiliki keyakinan sebagai makhluk Tuhan, maka
aspek berkehidupan yang dilakukan sekecil apapun akan cenderung mengarah
pada hal-hal positif atau jauh dari hal-hal yang menyimpang. Dalam hal ini,
pejabat sebagai pemangku pelaksana pemerintahan yang mana merupakan
wakil rakyat dan berkewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya, seharusnya
paham dan betul-betul menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam dirinya.
Pancasila merupakan dasar negara Indonesia, maka begitu pula seharusnya
para pejabat negara menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan
negara ini. Jika setiap pejabat sadar akan nilai-nilai Pancasila, yang mana
nilai-nilai tersebut adalah dengan menyadari sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan, berkewajiban mensejahterakan rakyat Indonesia,
bertanggung jawab dalam menjalankan kepemimpinan jabatan, serta adil
kepada seluruh rakyat Indonesia, maka peluang untuk menginginkan korupsi
akan sulit ditemukan.

V. KESIMPULAN
Kasus korupsi di Indonesia yang mayoritas melibatkan para pejabat
tinggi negara sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Berdasarkan berbagai
survei, Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia dan jumlah
penindakan kasus korupsi selama enam bulan awal tahun 2021 mencapai 209
kasus. Selama empat tahun terakhir, kerugian negara berbanding terbalik
dengan penindakan kasus korupsi yang fluktuatif.
Salah satu kasus korupsi dilakukan oleh Juliari Batubara, mantan
Menteri Sosial, terkait Bansos untuk penanganan pandemi Covid-19 yang
berupa paket sembako dengan nilai berkisar Rp. 5,9 triliun yang bertotal 272
kontrak dan dilaksanakan selama 2 periode. Akibat tindakannya tersebut,
Juliari Batubara dikenai hukuman pidana bersama Matheus Joko Santoso, Adi
Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabuke sebagai tersangka suap.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak
pidana korupsi adalah dengan melakukan perbaikan sistem serta melakukan
edukasi dan kampanye. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah
memiliki nilai-nilai yang sudah sangat sesuai dan sejalan dengan solusi untuk
mencegah tindak pidana korupsi, maka demikian seharusnya yang dilakukan
oleh khususnya para pejabat negara untuk tetap menanamkan nilai-nilai
Pancasila dalam menjalankan kewajiban.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Danil, E. (2021). Korupsi: Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasannya-
Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada.
[2] Dye, Kenneth M. dan Stapenhurst R., “Pillars of Integrity: The Importance of
Supreme Audit Institutions in Curbing Corruption”, dimuat dalam EDI
Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank,
1998
[3] Hardjaloka, L. (2014). Studi penerapan e-government di indonesia dan negara
lainnya sebagai solusi pemberantasan korupsi di sektor publik. Jurnal Rechts
Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 3(3), 435-452.
[4] Ismansyah, I., & Sulistyo, P. A. (2010). Permasalahan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme di Daerah serta Strategi Penanggulangannya. Jurnal Demokrasi,
9(1).
[5] Langseth, Petter, “Bagaimana Memerangi Langsung Praktek Korupsi”, dimuat
dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari – Maret 2000
[6] Radjagukguk, E. (2008). Advokat dan Pemberantasan Korupsi. Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM, 15(3), 329–337.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol15.iss3.art3
[7] Senoadji, Indriyanto, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Penerbit
Konsultan Hukum Prof. Seno Adji dan Rekan, Jakarta, 2006
[8] Zemanovicova, Economic Aspects of Corruption (United Kingdom:Oxford
University Press, 2013).

Anda mungkin juga menyukai