Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akidah Akhlak

Tentang

Hubungan Al Qur’an dan Hadits

Dosen Pembimbing : AHSIN, MA

Disusun Oleh :

ABD. GANI

N I M : 2161201812

INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS AHMAD DAHLAN

JAKARTA

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Bismillahir-Rahmanir-Rahim

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta‟ala, Tuhan semesta
alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi
Muhammad Shallallahu „Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya, serta para
pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan kelak. Dan tak lupa saya bersyukur atas
tersusunnya Makalah ini yang berjudul “Hubungan Al Qur’an dan Hadits”.

Tujuan dalam menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu
pengetahuan kita semua, dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Akidah Akhlak.
Dengan terselesaikannya makalah ini, maka tidak saya mengucapkan terimakasih kepada
pihak- pihak yang berperan dalam membantu penyusunan makalah ini hingga selesai
seperti saat ini.

Akhir kata saya mengharapkan adanya kritik dan saran atas kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna
khususnya bagi Mahasiswa/Mahasiswi Institut Tekhnologi dan Bisnis Ahmad Dahlan
Jakarta dan juga semua pihak.

Kalimantan Selatan, 16 April 2022

Abd. Gani
DAFTAR ISI

Halaman Judul .....................................................................................................1


Kata Pengantar ................................................................................................................... 2
Daftar Isi ............................................................................................................................. 3

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................................ 4

Bab II Pembahasan
A. Pengertian Al-Qur‟an ............................................................................................. 5
B. Pengertian Hadits .................................................................................................... 6
C. Hubungan Al-Qur‟an Dan Hadits........................................................................... 9

Bab III Penutup


Kesimpulan ................................................................................................................. 14
Daftar Pustaka ............................................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang menjadi teladan bagi umat dan
rahmat bagi seluruh alam, dalam sejarah perannya bukan hanya sebagai Rasulullah,
beliau juga pemimpin masyarakat, hakim, panglima perang, bahkan kepada negara,
dan di sisi lain beliau adalah seorang suami dan juga ayah.
Kehidupan Muhammad terbatas akan ruang, waktu, dan tempat. Ia hidup di
masa tertentu dan tidak semua orang dapat menemuinya. Karena itu peran para
sahabat dan tabi‟in, dalam memberitakan semua yang berasal dari Rasulullah, baik
ucapan, perbuatan, taqrir, sifat dan keinginannya, sangat berarti untuk menjadi
pedoman bagi hidup manusia.
Pada dasarnya al-Qur‟an sebagai mukjizat Muhammad adalah kitab yang
sempurna. Namun, ada ayat-ayat tertentu yang harus dijelaskan secara rinci baik
makna, hukum yang terkandung di dalam, atau cara melakukannya dan lain-lain.
Inilah peran yang diambil Rasulullah melalui sunnah-sunnahnya.
Hadits memiliki peranan penting sebagai salah satu sumber hukum Islam,
adapun fungsinya untuk memperkuat isi kandungan al-Qur‟an, untuk memperjelas
makna kandungan al-Qur‟an yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut,
untuk membatasi keumuman ayat al-Qur‟an sehingga tidak berlaku pada bagian-
bagian tertentu, dan untuk menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur‟an.
Semua fungsi di atas menempatkan kedudukan Hadits sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sumber hukum Islam, karena itulah tidak ada alasan bagi seorang
Muslim untuk meninggalkan salah satunya atau hanya mengamalkan satu saja dari
kedua sumber hukum tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas maka Rumusan Masalahnya.
1. Apa pengertian Al-Quran?
2. Apa Pengertian Hadits?
3. Apa Hubungan antara Al-Quran dan Hadits?

C. Tujuan
Tujuannya adalah:
1. Untuk mengetaui pengertian Al-Quran
2. Untuk mengetahui pengertian Hadits
3. Untuk mengetahui hubungan antara Al-Quran dan Hadits
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Quran
1. Pengertian Al-Qur‟an
Menurut bahasa, kata Al-Qur‟an adalah bentuk masdar yang berasal dari
kata qoro‟a yang memiliki makna sinonim dengan kata qiro‟ah, yaitu bacaan.
Menurut istilah, Al-Qur‟an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dalam bahadsa arab, riwayatnya mutawattir. Oleh karena itu
terjemahan Al-Qur‟an tidak disebut sebagai Al-Qur‟an.
Para ahli ilmu kalam berpendapat bahwa Al-Qur‟an itu adalah lafal yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai
surah An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari
sifat-sifat kebendaan.
Dr. A. Yusuf Al-Qosim memberukan definisi Al-Qur‟an dengan
menyebutkan identitasnya :
“Al-Qur‟an ialah kalam mu‟jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan dengan mutawattir, dan
membacanya adalah ibadah.”
Al-qur‟an merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua
dalil dan hukum syari‟at.
2. Keistimewaan Al-Qur‟an
Dari beberapa pengertian Al-Qur‟an diatas maka dapat diketahui bahwa Al-
Qur‟an memiliki keistimewaan-keistimewaan yaitu :
a) Lafadz dan maknanya datang dari allah swt, dan diwahyukan kepada
Rosululloh SAW melalui perantaraan malaikat jibril. Nabi tidak merubah
kalimat maupun pengertian (makna)nya, dan hanya menyampaikan apa yang
beliau terima. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur‟an dengan
makna, inilah yang membedakan Al-Qur‟an dengan Hadits Qudsy. Karena
Hadits Qudsy merupakan perkataan Nabi yang maknanya merupakan wahyu
dari Allah SWT.
b) Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa arab, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surah Yusuf ayat 2 :
ٌَُٕ‫ِإََّا أ َ َْزَ ْنَُاِ ُ قُ ْزآًَا َع َز ِتيًّا نَ َعهَّ ُك ْى ت َ ْع ِقه‬
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)
Berdasarkan hal tersebut, maka terjemahan Al-Qur‟an kedalam bahasa
lain tidak disebut sebagai Al-Qur‟an dan karenanya maka tidak sah sholat
menggunakan terjemahan Al-Qur‟an.
c) Al-Qur‟an disampaikan/ diterima melalui jalan mutawattir, sehinnga
menimbulkan keyakinan dan kepastian akan kebenaranya. Dia dihafal dalam
hati, dibukukan dalam mushaf dan disebar luaskan keseluruh negeri. Allah
menjamin terpeliharanya Al-Qur'an sebagiamana firman-Nya dalam surah Al-
Hijr ayat 9 yang berbunyi:
ُ ِ‫إََِّا ََحْ ٍُ َ ََّز ْنَُا ان ِذّ ْك َز َٔ إََِّا َنّ ُ َنحاف‬
. ٌَٕ‫ظ‬
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr : 9)
3. Kehujjahan Al-Qur‟an
Semua ayat-ayat dalam Al-Qur‟an merupakan hujjah yang dapat diterima
secara yakin. Alasan bahwa Al-Qur‟an adalah hujjah bagi ummat manusia, dan
hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang harus ditaati ialah : bahwa Al-
Qur‟an itu diturankan dari sisi Allah SWT, dan di sampaikan kepada umat manusia
dengan jalan yang pasti, dan tidak terdapat keraguan mengenai
kebenarannya.Segala hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an merupakan hukum
yang pasti dan tidak terdapat keraguan didalammya.

B. Hadits
1. Pengertian Hadits
Secara lughowiyah hadits berarti baru, hadits juga dapat diartikan “sesuatu
yang dibicarakan dan dinukil.”
Menurut istilah ahli hadits yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah segala
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang berupa perkataan,
perbuatan, dan pengakuan/ ketetapan Rasulullah SAW, yang berposisi sebagai
petunjuk dan tasyri‟.
Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh hadits adalah perkataan,
perbuatan dan penetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW setelah
kenabiannya. Adapun perkataan, perbuatan dan penetapan beliau sebelum
kenabiannya tidak dianggap sebagai hadits.
2. Kehujjahan Hadits
Para ulama bersepakat bahwa sunnah merupakan sumber syari‟ah yang
ketentuan-ketentuannya sejajar dengan Al-Qur'an. Hal ini jika hadits tersebut
merupakan hadits yang mutawattir (shohih). Hukum islam merupakan apa yang
terkandung dalam Al-Qur'an menurut penjelasan rosul melalui sunnahnya
Bukti tentang kehujjahan hadits sebagai sumber hukum didasarkan kepada
beberapa ayat Al-Qur'an, diantaranya yang terdapat dalam surah Ali-Imran ayat 32
:
ٍَ‫سٕ َل فَإٌِ ت ََٕنَّ ْٕا فَإ ِ ٌَّ هللاَ الَ ي ُِحةُّ ْان َكافِ ِزي‬ َّ َٔ َ‫قُ ْم أ َ ِطيعُٕا هللا‬
ُ ‫انز‬
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(Ali-Imran:32)
3. Bentuk-bentuk Hadits
Ada beberapa macam Hadits yaitu Hadits qauliyah (perkataan Nabi), Hadits
fi‟liyah (perbuatan Nabi) dan Hadits taqririyah (ketetapan Nabi). Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1. Hadits Qauliyah
Hadits Qauli Yang dimaksud dengan Hadits Qauli, ialah segala bentuk
perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain
Hadits tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan
petunjuk syara‟, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan
dengan aspek akidah, syari‟ah maupun akhlaq. Diantara contoh Hadits Qauli
adalah Hadits tentang do‟s Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang yang
mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu.
Diantara contoh Hadits Qauli adalah Hadits tentang do‟s Rasulullah
SAW yang ditujukan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan
menyampaikan ilmu. Hadits tersebut berbunyi:
ٗ‫اي ٍم فِ ْق ٍّ اِ َن‬ ِ ‫ظح ُ َحتَّٗ يُ َث ِهّغَّ ُ َغي َْزِ ُ فَ ِاَّّ ُ ُربَّ َح‬
َ ‫اي ٍم فِ ْق ٍّ نَي‬
ِ ‫ْس ِتفَ ِق ْي ٍٓ َٕ ُربَّ َح‬ َ ‫س ًِ َع ِيَُّا َح ِذ ْيخًا فَ َح ِف‬
َ ‫ّللا ُ ْايزا ًء‬ ّ ‫ََض ََّز‬
‫يز‬
ِ ‫ال‬ْ ‫ص َحح ُ ُٔالَجِ ا‬ َ ‫ص ْانعَ ًَ ِم ِ ّلِلِ َٔ ُيَُا‬ ُ َ‫ة ُي ْس ِه ٍى اَتَذًا ا ِْخال‬ ُ ‫صا ٍل الَيَ ِغ ُّم َعهَ ْي ِٓ ٍَّ قَ ْه‬َ ‫ث ِخ‬ ٌ َ‫َي ٍْ ُْ َٕ ا َ ْف َقّ ُ ِي ُّْ ُ حَال‬
ُ ‫َٔنُ ُز ْٔ ُو ْان َج ًَاع ِح فَا ٌَِّ دَع َْٕت َ ُٓ ْى ت ُ ِح ْي‬
.)‫ظ ِي ٍْ َٔرائِ ِٓ ْى (رٔاِ احًذ‬
Artinya: Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan
perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikan kepada orang lain,
karena banyak orang berbicara mengenai fiqih padahal ia bukan ahlinya. Ada
tiga sifat yang karenanya tidak akan timbul rasa dengki dihati seorang
muslim,yaitu ikhlas beramal semata-mata kepada Allah SWT, menasihati,taat,
patuh kepada pihak penguasa dan seti terhadap jama‟ah. Karena sesungguhnya
doa mereka akan memberikan motivasi dan menjaganya) dari belakang.(HR
Ahmad).
Menurut rangkinya Hadits qauli menmempati urutan pertama dari
bentuk-bentuk Hadits lainnya. Urutan ini menunjukkan kualitas Hadits qauli
menempati kualitas pertama diatas kualitas Hadits fi‟li dan Hadits taqriri
2. Hadits Fi‟liyah
Hadits Fi‟liyah Yang dimaksud dengan Hadits fi‟liyah yaitu segala yang
disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita.
Seperti Hadits tentang shalat diatas kendaraan:
ُ ‫أٌ رسٕل هللا صهّي هللا عهيّ ٔسهّى َع َهٗ َرا ِحهَ ِت ِّ َح‬
ْ َٓ ‫يج ت َٕ َّج‬
)ّ‫ت ِت ِّ (يتفق عهي‬ ّ ‫ي‬ُّ ‫َكا ٌَ انُّ ِث‬
Artinya: Nabi SAW diatas tunggangannya, kemana saja tunggangnnya itu
menghadap. (H.R Mutafaq „alaih, juga at-Turmudzi dan Ahmad Amir bin
Rabi‟ah).
Kualitas Hadits fi‟li menduduki rangking kedua setelah Hadits qauli.
Untuk mengetahui Hadits yang termasukkatagori ini, diantaranya terdapat
kata-kata ka/yakunu, atau raitu/raina.
3. Hadits Taqririyah
Hadits taqririyah yaitu Hadits yang berupa ketetapan Nabi Muhammad
terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabat Nabi
membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para
sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau
mempersalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para
sahabat sebagai dalil taqriri yang dapat dijadikan hujjahatau mempunyai
kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara‟.
Diantara contoh Hadits taqriri ialah sikap Rasulullah membiarkan para
sahabat dalam memberikan penafsiran sabdanya tentang salat pada suatu
peperangan, yang berbunyi:
)ٖ‫ضَّ (رْٔانثخز‬ ْ َ‫ص ِهّي ٍََّّ ا َحذ ٌ ْانع‬
َ ‫ص َز ِاالّ ِفي تَُِي قُ َزي‬ َ ُ‫الَ ي‬
Artinya: Janganlah seorangpun shalat ashar kecuali nanti di bani Quraidhah.
(H.R Bukhari)
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat
perintah tersebut, sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat
ashar. Sedangkan segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut
dengan perlunya segera menuju bani Quraidhah dan serius dalam peperangan
dan perjalananya, sehingga bisa shalat ashar tepat pada waktunya. Sikap para
sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW tanpa ada yang disalahkan atau
diingkarinya.
Contoh lainnya dapat pula dilihat, misalnya pada sebuah Hadits tentang
sikap Rasulullah terhadap jawaban mu‟adz bin jalal atas pertanyaan yang
disampaikan kepadanya ketika akan diutus unutuk menyelesaikan perkara
dengan Alqur‟an, Hadits dan Ijtihadnya. Pada Hadits lain disebutkan juga
Rasul membiarkan para sahabat memakan daging biawak, akan tetapi Nabi
sendiri tidak memakan daging tersebut dan tidak mengharamkannya. (H.R
Muttafaqun „alaih dari Ibnu Umar).
Berupa ketetapan Nabi Muhammad terhadap apa yang datang atau
dilakukan para sahabatnya. Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu
perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa memberikan penegasan,
apakah beliau membenarkan ataupun menyalahkannya. Sikap Nabi yang
demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri. Dengan
maksud dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk
menetapkan suatu ketentuan syarak.
C. Hubungan Al-Qur’an dan Hadits
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama sebagai "Segala sesuatu
yang dinisbahkan kepada Muhammad SAW., baik ucapan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabimaupun
sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian Hadits hanya pada "ucapan-
ucapan Nabi Muhammad SAW. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila
mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka
ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian Hadits seperti yang dikemukakan
oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT
yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan
hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan
Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi
berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa
athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal
yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan
sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada
beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT
dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus
dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang
melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn
Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul SAW. Itu sebabnya dalam
redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat
kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap
mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka
dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.
(Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul SAW.
dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan
pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan
syarat keabsahan iman seseorang,demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah
Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara hadits dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung
oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan
demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu,
dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia
ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara
tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong.
Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan
Hadits, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi SAW.
Di samping itu, diakui pula oleh ulama Hadits bahwa walaupun pada masa sahabat
sudah ada yang menulis teks-teks Hadits, namun pada umumnya penyampaian atau
penerimaan kebanyakan Hadits-Hadits yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan
para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan Hadits dari segi otensititasnya
adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan
Hadits karena sekian banyak faktor baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di
samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga
mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya
Hadits-Hadits Nabi SAW.
Fungsi Hadits terhadap Al-Quran Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW.
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau
bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan
sifat serta fungsinya. 'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam
bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah
mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan
dengan pembinaan hukum syara'.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim
menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah
yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan
bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau
menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang
kedua memperjelas,merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-
Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah Hadits atau Sunnah dapat
berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran?
Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan
Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak
ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi SAW. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-
hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini
Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka
jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-
Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah)
sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan
maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul SAW.
melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang
istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada
hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah
SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit
jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan Hadits yang
berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-
wurud. Disini,pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam
bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits,
menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang
luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka
menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka
menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan,mereka menolaknya karena Al-Quran lebih
utama untuk diikuti."
Pendapat diatas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang
menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya.
Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan
sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh Hadits. Pendapat yang
demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya.
Mereka berpendapat bahwa hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan
dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan Hadits tersebut, seperti
adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan Hadits
dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam
pandangan mereka, Hadits yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya,
haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah),
bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga
pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai
ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian
maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah
mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya? Harus digaris bawahi
bahwa penolakan satu Hadits yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama
kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala
seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali
mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan
mengabaikan yang tidak meyakinkan (Hadits).
Pemahaman atas Makna Hadits Seperti dikemukakan di atas, Hadits, dalam arti
ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW., pada umumnya
diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks Hadits tersebut, tidak
sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi SAW. Walaupun
diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi
Hadits, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun
demikian, problem menyangkut teks sebuah Hadits masih dapat saja muncul.
Apakah pemahaman makna sebuah Hadits harus dikaitkan dengan konteksnya
atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau
mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan?
Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman
makna Hadits.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi
Muhammad SAW. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak
sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap
hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan
kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya
dengan manusia lainnya. Setiap Hadits dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks
tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan
larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'.
Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para
sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya
secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid,
mendengar Nabi SAW. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga
Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda
kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami Hadits tersebut secara
tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks Hadits tersebut
secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu kecuali
di tempat itu.
Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka
melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam
kasus terakhir ini,tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan
pendekatan berbeda dalam memahami teks Hadits.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks Hadits, tidak terkecuali
dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya
ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-Hadits Nabi SAW., harus dipertahankan bunyi
teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-
teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai
maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk
yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk
mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm
yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam, 115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap
hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan Hadits. Itu sebabnya Al-Syafi'i
berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal
nikah dan zawaj, karena bunyi Hadits Nabi SAW. menyatakan, "Istahlaltum
furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan
seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan
kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan
tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-
ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus
dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya
adalah ma'qul alma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-
ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy
juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak
dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut
diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap
teks-teks Hadits menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan
lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan
mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks Hadits, dengan alasan kemaslahatan.
Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan
keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran
dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran
dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut
bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadits.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits/ As-
Sunnah merupakan rujukan utama bagi hukum Syari‟at islam. Al-Qur`an dan Hadits
(sunnah) merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Sunnah mempunyai fungsi menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur`an dan dapat
pula berdiri sendiri dalam menentukan sebagian dari pada beberapa hukum Syari‟at.
Bila Al-Qur`an telah mengatur suatu hukum secara nash, maka sunnah ada
kalanyamengukuhkan hukum yang telah ada pada Al-Qur'an tersebut, Sehingga
permasalahan tersebut memiliki dua dasar hukum yang dapat dijadikan hujjah.
Jika Al-Qur`an memberikan aturan secara global, maka sunnah akan
memberikan penjelasan tentang maksudnya. Kemudian, penjelasan sunnah tidak
mungkin keluar dari lingkup alternatif yang diberikan oleh Al-Qur`an.
Dan jika terdapat suatu permasalahan yang belum terdapat hukumnya didalam
Al-Qur'an, maka rosululloh melalui sunnahnya akan menetapkan hukum bagi
permasalahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdus Salam Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi, Ensiklopedia Imam Syafi‟i : Biografi dan
Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah, terj. Usman Sya‟roni, Jakarta:
Hikmah: 2008.
http://irhamni-za.blogspot.com/2010/11/hubungan-hadits-dengan-al-quran-
oleh.htmldiakses pada tanggal 20-11-2018
Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur‟andan Terjemahan, Arab Saudi: Mujamma‟
Al-Malik Fahd Li Thiba‟at al-Mushhaf, 1990.
Khathib, Ajaj, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1998.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, cet. 4, Jakarta: Amzah, 2010.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992
Ranuwijaya,Utang, Ilmu Hadits, cet. 3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet.5, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2010.
Sulaiman PL, M.Noor, Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Wahid, Ramli, Abdul Sejarah Pengkajian Hadits di Indonesia, cet. 1, Medan: IAIN Press,
2010.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadits, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis
cet. 2, Bandung: Mizan, 2009.

Anda mungkin juga menyukai