Anda di halaman 1dari 10

MENAKAR PELUANG PENCAPAIAN PENURUNAN STUNTING

SULAWESI SELATAN
(Ahmad Faqhruddin Abdur-Rabb)
Esai ini disampaikan sebagai kelengkapan berkas posisi program manager satgas
stunting di Perwakilan BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan, April 2022.

A. Pendahuluan

Persoalan stunting merupakan salah satu faktor yang berpotensi menghambat


perbaikan kualitas modal manusia di Indonesia. Hal ini diindikasikan dari relatif
masih tingginya tingkat prevalensi stunting Indonesia yang berada di atas
rekomendasi World Health Organization (WHO). WHO menyarankan prevalensi
stunting berkisar di bawah 20 persen dari populasi balita, sedangkan Indonesia di
tahun 2021 masih berada pada tingkat 24,4 persen. Secara nasional, angka
tersebut juga menunjukkan capaian penurunan prevalensi stunting masih belum
optimal, mengingat target yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2021 adalah
pada tingkat 21,1 persen. Pencapaian yang masih rendah tersebut menuntut
kinerja yang lebih baik berbagai stakeholder terkait agar mampu merealisasikan
target penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen di tahun 2024,
sebagaimana yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Kontribusi daerah pada berbagai level pemerintahan sangat menentukan


sejauh mana realisasi target di tahun 2024. Jika diamati berdasarkan sebaran
prevalensi stunting berdasarkan provinsi, sebagian besar provinsi di Indonesia
mengalami kasus stunting yang tergolong tinggi (Gambar 1). Studi Status Gizi
Balita (SSGI) Kementerian Kesehatan tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya
terdapat enam provinsi yang memiliki tingkat prevalensi stunting di bawah 20
persen, diantaranya Bali (10,9%), DKI Jakarta (16,8%), D.I. Yogyakarta (17,3%),
Kepulauan Riau (17,6%), Lampung (18,5%) dan Kepulauan Bangka Belitung
(18,6%). Tingkat prevalensi provinsi lainnya berkisar antara 20,9 persen hingga
37,8 persen. Sejumlah daerah provinsi yang memiliki prevalensi stunting di atas
30 persen adalah Nusa Tenggara Timur (37,8%), Sulawesi Barat (33,8%), Aceh
(33,2%), Nusa Tenggara Barat (31,4%) dan Sulawesi Tenggara (30,2%).

1
37,80
33,80
33,20
31,40
30,20
30,00
29,80
29,70
29,50
29,00
28,70
27,50
27,50
27,40
27,40
26,20
25,80
24,80
24,50
24,50
24,40
23,50
23,30
22,80
22,40
22,30
22,10
21,60
20,90
18,60
18,50
17,60
17,30
16,80
10,90

KEP. RIAU
LAMPUNG

SULSEL
DKI JAKARTA

JABAR
KALTIM

SULTENG
SUMSEL

NTB
MALUKU UTARA
RIAU

SULBAR
JATIM

PAPUA
D.I. YOGYAKARTA

BENGKULU

ACEH
BALI

SULUT

PAPUA BARAT

KALSEL
KEP. BABEL

SUMBAR

GORONTALO
KALTENG

MALUKU
BANTEN

SUMUT

KALTARA

NTT
JATENG

JAMBI

KALBAR

SULTRA
INDONESIA

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2021

Gambar 1. Tingkat Prevalensi Stunting berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun


2021 (dalam persen)

Spesifik pada Sulawesi Selatan (Gambar 1), dapat diamati bahwa posisi
stunting Sulawesi Selatan cenderung bersifat moderat pada level 27,4 persen.
Capaian ini membuat Sulawesi Selatan memiliki peluang untuk mengejar target
nasional relatif lebih cepat dibandingkan dengan 13 provinsi lainnya. Peluang
tersebut memungkinkan dicapai dengan asumsi program pencegahan stunting
terhadap keluarga berisiko dapat berjalan optimal dan penanggulangan balita
terindikasi stunting dapat dikoreksi dalam 1.000 Hari Kelahiran Pertama (HPK).

Jika diamati berdasarkan perkembangannya dalam beberapa tahun


terakhir (Gambar 2), prevalensi stunting Sulawesi Selatan turun sekitar 8,3 persen
dari tahun 2018 hingga tahun 2021. Penurunan ini tergolong cukup signifikan
karena berhasil menggeser Sulawesi Selatan dari posisi empat tertinggi prevalensi
stunting se-Indonesia ke posisi empat belas. Dengan kata lain, status stunting di
Sulawesi Selatan berubah dari status sangat berat menjadi status moderat dalam
kurun waktu kurang dari empat tahun. Meskipun demikian, kejadian stunting di
Sulawesi Selatan masih harus terus ditekan, memperhatikan tingkat prevalensinya
masih cukup tinggi di atas rata-rata nasional di tahun 2021. Pemerintah Sulawesi
Selatan menargetkan stunting turun hingga 21,5 persen di tahun 2022. Target ini
memungkinkan dipenuhi jika kelompok sasaran dapat dijangkau melalui program
pencegahan stunting secara optimal.

2
40
35,7
35
30,6
30 27,4

25
21,5
20

15

10

0
2018 2019 2020* 2021 2022**
Sumber: Kementerian Kesehatan, 2021; dan Media Indonesia, 2022
*survei tidak dilakukan karena Pandemi Covid-19
**target yang ditetapkan pemerintah provinsi

Gambar 2. Tren Prevalensi Stunting Sulawesi Selatan Tahun 2018-2022 (dalam


persen)

Kejadian stunting pada dasarnya bersifat multidimensional. Indikasi


stunting bahkan bermula sejak anak masih di rahim ibunya. Apriluana dan Fikawati
(2018) menerangkan determinasi kekurangan gizi janin yang tidak optimal
memberi risiko tinggi anak terlahir dengan indikasi stunting. Pendekatan dalam
melihat situasi ini biasa juga disebut dengan pendekatan faktor spesifik yang
terasosiasi dengan kondisi gizi dan kesehatan. Di sisi lain, kondisi ekonomi dan
sosial budaya juga memberikan pengaruh signifikan terhadap kejadian stunting di
suatu wilayah. Pendekatan ini sering kali disebut dengan pendekatan faktor
sensitif. Fenomena perkawinan usia anak/usia dini, misalnya, menjadi salah satu
determinan terhadap kejadian stunting (Permatasari, 2021).

Survei Sosial Ekonomi nasional (Susenas) tahun 2020 mengungkapkan


bahwa Sulawesi Selatan termasuk dalam sepuluh provinsi dengan tingkat
perkawinan usia anak yang tinggi, yaitu mencapai 8,19 persen. Kurniawan dan
Syahril (2019) menjelaskan bahwa sebagian besar kejadian perkawinan anak
berasal dari rumah tangga dengan kondisi ekonomi yang lemah atau 40 persen
terbawah. Selain itu, studi ini juga mengungkapkan bahwa semakin rendah tingkat
pendidikan maka semakin besar kemungkinannya untuk menikah di usia antara
13-19 tahun, kecenderungan ini lebih tinggi terlihat pada gender perempuan.
Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh pada pola asuh dan pola makan
anak. Dalam hal ini, literasi kesehatan yang dibutuhkan bagi perkembangan

3
optimal anak menjadi sangat krusial. Untuk itu, konteks perkawinan usia anak/dini
berpotensi menjadi faktor tidak langsung atau faktor sensitif dari kejadian stunting.
Fenomena tersebut perlu ditekan agar dapat memutus rmata rantai jebakan
masalah ekonomi dan kesehatan (stunting) di Sulawesi Selatan.

Sejauh ini, pemerintah telah menyelenggarakan serangkaian program


pencegahan dan penanggulangan stunting yang berangkat dari kerangka strategi
kebijakan pada Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan
Penurunan Stunting. Inovasi kebijakan juga dilakukan oleh pemerintah Sulawesi
Selatan dalam upaya mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut di daerah.
Meskipun demikian, tingkat prevalensi stunting Sulawesi Selatan (27,4%) masih
berada di atas rata-rata nasional (24,4%). Artikel ini bertujuan untuk menguraikan
sejumlah program percepatan penurunan stunting tersebut, baik yang berangkat
dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta baik yang secara
langsung maupun tidak langsung menyasar perbaikan gizi balita (pendekatan
faktor spesifik dan pendekatan faktor sensitif).

B. Pembahasan

Merujuk pada Strategis Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting 2018-


2024, stunting atau lebih awam disebut kerdil merupakan kondisi gagal tumbuh
yang dialami oleh anak di usia awal kehidupan yang disebabkan oleh kekurangan
gizi kronis atau penyakit infeksi dalam jangka panjang. Kondisi stunting
menyebabkan fisik dan otak anak tidak berkembang secara optimal, sehingga
anak stunting tampak lebih pendek dibandingkan anak seusianya dan dalam
jangka panjang cenderung lebih rentan mengidap penyakit kronis, bahkan
seringkali rendah secara kemampuan kognitif. Menurut standar pengukuran yang
ditetapkan WHO, seorang anak anak berstatus stunting atau pendek jika rasio
"#
panjang badan dibandingkan dengan umur ( $ ) lebih rendah dari minus dua

standar deviasi (-2 SD) (de Onis dan Blössner, 2003).

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab terjadi stunting pada


balita. Beberapa studi terkait determinan kejadian stunting telah dikaji oleh peneliti
sebelumnya, seperti yang diteliti oleh Apriluana & Fikawati, 2018. Keduanya
mengamati bahwa kondisi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), pendidikan ibu,
pendapatan rumah tangga, perilaku hidup sehat dan sanitasi menjelaskan variabel
kejadian balita stunting di Indonesia. Secara spesifik, penelitian tersebut

4
menunjukkan bahwa status BBLR meningkatkan kemungkinan stunting pada usia
enam dan dua belas bulan, dimana bayi yang lahir di bawah 10 persen dari berat
badan normal memiliki risiko dua kali lipat untuk stunting. Dari sisi tingkat
pendidikan ibu, terbukti secara statistik bahwa anak dari ibu yang belum/tidak
menyelesaikan pendidikan dasar memiliki probabilitas berstatus stunting lebih
tinggi dibandingkan anak dari ibu yang menuntaskan pendidikan menengah.
Temuan ini didukung oleh riset Kristanto (2017) yang menerangkan bahwa tingkat
pendidikan ibu berhubungan erat dengan wawasan literasi kesehatan yang
dimilikinya. Hal ini kemudian mempengaruhi pilihan mereka dalam mengonsumsi
pangan dan memenuhi asupan gizi seimbang bagi dirinya dan anaknya. Meskipun
seorang ibu tersebut berasal dari kelompok pendapatan menengah ke bawah,
dengan wawasan kesehatan yang dimiliki akan memungkinkan baginya
mengambil alternatif sumber gizi, protein, dan lemak bagi keluarganya.

Selanjutnya, dalam penelitian Apriluana dan Fikawati (2018) juga


disebutkan bahwa pendapatan rumah tangga yang rendah cenderung
meningkatkan probabilitas stunting bagi balita di rumah tangga tersebut.
Keterbatasan pendapatan seringkali menjadi penghambat utama memenuhi
asupan gizi serta akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Terakhir,
pengaruh sanitasi dan infrastruktur dasar turut memberikan pengaruh terhadap
prevalensi stunting. Rumah tangga dengan balita berstatus stunting ditemukan
memiliki karakteristik perumahan yang masih terbelakang, seperti ketiadaan
fasilitas air bersih, pemanfaataan jamban bersama dengan pembuangan ke aliran
sungai dan semacamnya, jenis atap jerami dan jenis dinding selain semen.
Temuan ini didukung oleh studi yang dilakukan Ahmed et al. (2015) yang
menyebutkan bahwa anak yang berasal dari rumah tangga yang tidak memiliki
akses toilet yang memadai cenderung terjebak ke status stunting sebesar 50
persen dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki toilet mamadai.
Rendahnya akses air bersih dan sanitasi yang memadai akan meningkatkan risiko
penyakit pada saluran pencernaan yang dampaknya sering kali menyebabkan
anak tidak ingin menerima makanan. Hal ini kemudian meningkatkan risiko
kekurangan asupan gizi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting tersebut cukup


menjelaskan masalah stunting yang multidimensional. Dengan kata lain, kejadian
stunting merupakan dampak dari berbagai aspek kehidupan. Untuk itu,
pendekatan dalam merancang program pencegahan dan penanggulangan dalam

5
rangka percerapatan penurunan stunting juga harus berhubungan langsung
dengan faktor determinan yang beragam. Secara umum, determinan tersebut
dibagi menjadi dua, yaitu faktor spesifik dan faktor sensitif. Serangkaian program
pemerintah Sulawesi Selatan dan Perwakilan BKKBN Sulawesi Selatan
dilaksanakan dengan menyasar faktor tersebut agar mampu dicapai target 2024
secara konvergen. Beberapa program yang telah diselenggarakan diuraikan
sebagai berikut.

No Nama Program Deskripsi/Tujuan Sasaran Instansi


Pelaksana
1 Aksi Stop Program inovasi pemerintah Ibu hamil, Dinas
Stunting/Gerakan Provinsi Sulawesi Selatan yang ibu Kesehatan
Masyarakat diadopsi dari strategi percepatan menyusui, Provinsi
Mencegah penurunan stunting nasional Pasangan Sulawesi
Stunting melalui pembentukan Tim Usia Subur Selatan
(Gammara'Na) Pendamping Keluarga (TPK) (PUS) dan
dalam rangka menekan stunting balita
melalui peran pendampingan gizi
dalam bentuk penyaluran paket
vitamin dan pemantauan
kesehatan.

2 Pembangunan Program yang bertujuan untuk Remaja dan Perwakilan


Keluarga, mewujudkan keluarga yang pasangan BKKBN
Kependudukan berkualitas, hidup dalam usia subur Provinsi
dan Keluarga lingkungan yang sehat, melalui Sulawesi
Berencana kelompok kegiatan masyarakat, Selatan
(Bangga Kencana) dalam hal ini difokuskan pada
Bina Kelurga Remaja. Program
ini juga bertujuan untuk
mengurangi angka pernikahan
dini atau pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan berusia
di bawah 20 tahun.

3 Kampung KB Program unggulan BKKBN yang Balita, Perwakilan


bertujuan meningkatkan kualitas remaja, ibu BKKBN
hidup masyarakat di tingkat hamil, Provinsi
kampung atau yang setara lansia, dan Sulawesi
melalui pendekatan yang tenaga Selatan
multisektor dan pelaksanaan kesehatan
delapan fungsi keluarga: 1)
fungsi keagamaan; 2) fungsi
sosial; 3) fungsi cinta kasih; 4)
fungsi perlindungan; 5) fungsi
reproduksi; 6) fungsi sosialisasi;
7) fungsi ekonomi; 8) fungsi
pembinaan lingkungan.

6
4 Pemanfaatan Fasilitas diadakan oleh Tenaga Puskesmas
elektronik- Direktorat Gizi Kementerian kesehatan (melalui
Pencatatan dan Kesehatan dengan tujuan untuk dan Tenaga
Pelaporan Gizi memperkuat proses surveilans pengambil Pelaksana
Berbasis gizi melalui kegiatan kebijakan di Gizi/TPG)
Masyarakat (e- Pemantauan Status Gizi (PSG) tingkat
PPGBM) yang berdasarkan nama dan daerah
alamat penduduk atau by name -
by adress data. Data yang
terhimpunan diharapkan dapat
menjadi input bagi stakeholder di
tingkat daerah dalam
merencanakan program dan
kegiatan.
5 Program Keluarga Program ini dilaksanakan oleh Rumah Dinas
Harapan (PKH) Kementerian Sosial secara tangga Sosial
nasional yang bertujuan untuk miskin, Provinsi
memberikan akses keluarga rumah Sulawesi
miskin, terutama ibu hamil dan tangga yang Selatan
rumah tangga yang memiliki memiliki ibu
anak usia sekolah untuk hamil, rumah
memanfaatkan fasilitas tangga yang
kesehatan dan fasilitas memiliki
pendidikan yang memadai. anak usia
sekolah
6 Bantuan Pangan Program bantuan sosial pangan Rumah Dinas
Non Tunai (BPNT) dalam bentuk non tunai yang tangga Sosial
bertujuan untuk menjamin miskin Provinsi
pemenuhan pangan rumah Sulawesi
tangga miskin melalui Selatan
mekanisme akun elektronik yang
bekerja sama dengan pedagang
bahan pangan/e-warong dan
pihak perbankan. Keluarga
Penerima Manfaat (KPM)
bantuan ini dapat memanfaatkan
kartu elektronik yang diberikan
untuk membeli beras dan telur
sesuai dengan kuantitas dan
kualitas yang diinginkan.
Sumber: Perpres 72/2021; dan website BKKBN, Sekneg, TNP2K dan Kemensos, di akses April 2022

Sejumlah program pemerintah yang tengah berlangsung saat ini telah


mencakup dimensi faktor kejadian stunting yang beragam, baik dari sisi faktor
spesifik maupun dari sisi faktor sensitif. Program Gamara’Na yang merupakan
inovasi strategis Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melakukan penyaluran
insentif paket vitamin untuk ibu hamil untuk menunjang perkembangan janin
secara optimal. Selain itu, TPK di lapangan juga memperkuat fungsi pemantauan
dan konsultasi, termasuk mengambil peran dalam memfasilitasi akses bantuan
sosial bagi kelompok keluarga dampingan. Peran ini mendukung pencapaian

7
program lain, seperti PKH dan BPNT yang dalam tiga tahun terakhir sedang
memperluas cakupan Keluarga Penerima Manfaat (KPM), namun sejauh ini belum
terdapat informasi mengenai KPM PKH dan BPNT yang berstatus berisiko
stunting.

PKH dan BPNT memainkan peran yang sangat krusial kaitannya dalam
percepatan penurunan stunting. Kedua program ini membuka akses pelayanan
kesehatan dan menjamin ketersediaan pangan bagi kelompok miskin yang rentan
terhadap kejadian stunting. Maizunati dan Sulistyaningrum (2019 mengungkapkan
bahwa peningkatan konsumsi zat besi meningkat pada ibu hamil yang menerima
PKH, sementara Aizawa (2020) menjelaskan bahwa terdapat asosiasi positif
antara pengeluaran rumah tangga penerima PKH dengan peningkatan status
nutrisi keluarga tersebut.

Di sisi lain, perwakilan BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan juga terus


menggalangkan program pembangunan keluarga berkualitas melalui BANGGA
KENCANA dan Kampung KB. Kedua program ini menunjang edukasi dan promosi
kesehatan kepada masyarakat secara massif, terukur, dan terpantau dengan
efektif melalui kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR),
dan Bina Keluarga Lansia (BKL). Peningkatan literasi kesehatan dan wawasan gizi
keluarga pada dasarnya harus slelau ditunjang malalui program yang
terlembagakan dengan baik. Tingginya risiko stunting sangat dipengaruhi oleh
minimnya pengetahuan terkait pola asuh, pola makan, dan perilaku hidup bersih.

Terakhir, program penguatan informasi stunting melalui pemanfaatan


fasilitas e-PPGBM. Informasi yang didapatkan dari e-PPGBM diharapkan dapat
menjadi sumber perumusan masalah dan strategi bagi pengambil kebijakan di
tingkat daerah. Secara teknis, penanggung jawab e-PPGBM di lapangan adalah
TPG yang bertugas di puskemas. Beberapa daerah telah menjalankan proses
input informasi lapangan melalui aplikasi ini, termasuk Sulawesi Selatan. Namun
demikian, belum ditemukan informasi sejauh mana cakupan data keluarga yang
telah berhasil dihimpun. Data yang akurat di lapangan sangat memungkinkan
dihimpun melalui pemanfaatan e-PPGBM. Setiawati (2020) mengungkapkan
bahwa kualitas data yang dihasilkan e-PPGBM sangat akurat, namun masih
ditemukan banyak informasi yang kurang lengkap dan pelaporannya tidak tersedia
tepat waktu. Kurangnya pelaksana tenaga gizi puskesmas, beban kerja yang

8
tinggi, serta lemahnya dukungan manajerial diduga menjadi penyebab
pemanfaatan e-PPGBM masih belum optimal.

Melihat sejumlah program yang tengah diselengggarakan di wilayah


Sulawesi Selatan, baik oleh Pemerintah Provinsi maupun perwakilan BKKBN,
Sulawesi Selatan sangat berpeluang mencapai target prevalensi stunting nasional
2024. Peluang ini dapat dilihat dari momentum penurunan prevalensi stunting
dalam lima tahun terakhir, serta massifnya aksi pencegahan dan penanggulangan
dalam rangka percepatan penurunan stunting dari berbagai sektor.

Untuk mewujudkan peluang tersebut, skema penurunan prevalensi


stunting setidaknya harus turun sebesar 4,4 persen rata-rata per tahun sepanjang
2022 hingga 2024. Dukungan dan peran semua pihak yang aktif di dalam program
yang berlangsung menjadi sangat penting. Terlebih lagi, di kabupaten/kota yang
masih memiliki prevalensi stunting di atas 30 persen di tahun 2021, seperti
Jeneponto, Maros, Takalar, Bone, Pangkep, Gowa, Toraja Utara, Enrekang,
Bulukumba dan Sinjai. Beberapa kabupaten tersebut setidaknya harus mencapai
tingkat prevalensi stunting 20 persen ke bawah, sedangkan daerah lainnya
mencapai tingkat prevalensi stunting 10 persen ke bawah agar dapat berkontribusi
pada pencapaian target pembangunan nasional, prevalensi stunting 14 persen di
tahun 2024.

C. Kesimpulan dan Rekomendasi

Sulawesi Selatan merupakan satu di antara beberapa provinsi yang berpeluang


untuk mampu memberikan kontribusi besar dalam pencapaian angka stunting 14
persen secara nasional dalam evaluasi target pembangunan jangka menengah di
tahun 2024 nanti. Hal ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa: 1) Sulawesi
Selatan saat ini berada pada posisi moderat tingkat prevalensi stunting; 2)
Sulawesi Selatan berada dalam momentum penurunan tingkat prevalensi stunting
yang tergolong signifikan; 3) Massifikasi program percepatan penurunan stunting
yang berlangsung berpotensi menyentuh banyak sector yang menjadi penyebab
risiko stunting.

Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, artikel ini


mengajukan beberapa poin rekomendasi. Pertama, program prioritas pencegahan
stunting perlu diarahkan lebih intensif pada kabupaten/kota dengan tingkat
prevalensi stunting yang masih tinggi, tanpa mengesampingkan perhatian ke

9
daerah lainnya. Kedua, penguatan pemantauan dan pembaruan data keluarga
berisiko stunting dengan memanfaatkan sistem pelaporan digital yang tersedia
melalui e-PPGBM perlu dioptimalkan secara menyeluruh di daerah. Ketiga,
Kordinasi dan komunikasi antar-instansi pemerintah, termasuk
lembaga/komunitas lain di luar pemerintahan dengan domain kerja pada isu
stunting, perlu dioptimalkan agar dapat dicapai konvergensi hasil program yang
sesuai dengan harapan semua pihak.

Daftar Pustaka

Ahmed, N., Barnett, I., Longhurst, R., & Khan, A. (2015). Determinants Of Child
Undernutrition In Bangladesh Literature Review Mqsun Report Mqsun
partners are.
Aizawa, T. (2020). Joint Impact of the Conditional Cash Transfer on Child
Nutritional Status and Household Expenditure in Indonesia. Journal of Human
Capital. Chicago Unversity.
Apriluana, G., & Fikawati, S. (2018). Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap
Kejadian Stunting pada Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia
Tenggara. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 28(4), 247–
256. https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.472
de Onis, M., & Blössner, M. (2003). The World Health Organization Global
Database on Child Growth and Malnutrition: Methodology and applications.
International Journal of Epidemiology, 32(4), 518–526.
https://doi.org/10.1093/ije/dyg099
Kementerian Kesehatan. Hasil Studi Status Gizi Balita (SSGI) Tingkat Nasional,
Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2021.
Kristanto, B. (2017). Review Literatur Analisis Pengaruh Faktor Risiko Terhadap
Kejadian Stunting Pada Anak Balita. In Kosala" JIK (Vol. 5, Issue 1).
Maizunati, N. A., & Sulistyaningrum, E. (2019). Impact Evaluation of Program
Keluarga Harapan (PKH): Indonesia conditional cash transfer program on iron
supplements consumption on pregnant women in Indonesia.
Permatasari, C. (2021). Usia Dini dan Risiko Terhadap Kejadian Stunting pada
Baduta di Puskesmas Kertek. Ilmu Kesehatan Masyarakat,
https://doi.org/10.15294/higeia.v6i1.51282
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan
Stunting.
Kurniawan, R & Syahril. (2019). Determinan Perkawinan Usia Anak di Indonesia.
LOGOV Celebes.
Setiawati, H. (2020). Analisis Kualitas dan Pemanfaatan Data e-PPBGM: Studi
Kasus di Puskesmas Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Skripsi
Universitas Gadjah Mada. http://etd.ugm.ac.id
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) 2018-2024.

10

Anda mungkin juga menyukai