Anda di halaman 1dari 168

1

POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI DI


INDONESIA
Sebuah Tinjauan Kritis

Robertus Robet
2

Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia: Sebuah Refleksi Kritis

© 2008 ELSAM

Editor Bahasa: Erasmus Cahyadi


Editor Isi: Eddie Sius Riyadi

Cetakan Pertama: Agustus 2008

Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi
manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia di Indonesia.

Penerbitan ini dimungkinkan atas kerja sama antara ELSAM dan ICTJ Jakarta

Penerbit:

ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat


Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519
E-mail: office@elsam.or.id; Web-site: www.elsam.or.id
3

Kata Sambutan Agung Putri

Saudari-saudara, warga republik yang kami hormati.

Dalam rangka mendirgahayukan momen peringatan hari berdirinya Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang ke-15, di antara pelbagai kegiatan seremonial yang
konvensional maupun progresif, ELSAM menerbitkan dua buku. Buku yang pertama,
yang ditulis oleh Robertus Robet, mengangkat sebuah subjek khusus dan besar yang
fenomenal dalam lebih dari dua dekade di pelbagai belahan dunia dan satu dekade di
Indonesia, yaitu “keadilan transisional” (transitional justice). Sebenarnya, ELSAM telah
banyak mempublikasikan subjek ini sebelumnya dalam seri buku bertajuk “seri
transitional justice” yang kurang lebih terdiri dari 8 judul, jurnal DIGNITAS (dua edisi),
buletin ASASI, dan pelbagai briefing paper dan position paper. Yang membedakan buku
yang ditulis Robertus Robet dibanding beberapa terbitan kami sebelumnya adalah bukan
sekadar soal perspektif yang digunakan, tetapi terutama soal penempatan posisi ELSAM
di dalamnya.

Dari segi perspektif, Robet melihat persoalan transisi politik bukan sebagai suatu
keniscayaan demokratisasi melainkan sebuah kontingensi. Kontingensi ini tampak bukan
sekadar dalam pertarungan Realpolitik melainkan juga dalam kontestasi gagasan
normatif. Karena itu, politik hak asasi manusia juga bersifat kontingen. Dalam
kontingensi seperti itulah ELSAM mau tidak mau dengan segala daya dan
kemampuannya berupaya memainkan perannya. Peran itu terasa sulit dilakoni di samping
karena realitas Realpolitik baik di tingkat birokrasi dan mesin politiknya maupun di
tingkat civil society yang tidak terkonsolidasi dengan baik, juga karena pertarungan
gagasan itu – tidak seperti di Afrika Selatan dan Amerika Latin – kurang didukung oleh
kalangan akademisi yang mumpuni.
4

Buku kedua, yang ditulis oleh Abdul Manan, sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah
biografi ELSAM. Secara umum, buku ini tidak berkisah tentang pergulatan “batin”
ELSAM tetapi lebih menyorot pada beberapa gagasan-gagasan, program-program dan
agenda besar yang diusung ELSAM, yang secara signifikan berkontribusi pada
perkembangan demokrasi, penegakan keadilan, dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia di Indonesia. Terlepas dari berbagai tantangan dan hambatan yang dijumpai
Elsam dalam pergulatannya mempromosikan HAM, buku ini mengangkat beberapa
pengalaman faktual tentang keberhasilan ELSAM dalam advokasi kasus-kasus
pelanggaran HAM di Indonesia, advokasi kebijakan, dan penyelenggaraan pendidikan
publik berupa pelatihan dan kursus hak asasi manusia bagi para human rights defenders.
Tidak kurang dari itu, buku kedua ini juga menyoroti soal peran ELSAM dalam
menginisiasi, mendukung, meneruskan, dan merawat beberapa gagasan besar dan penting
seperti gerakan studi hukum kritis dan kaitannya dengan gagasan “negara hukum
demokratis” (rule of law), hak atas penentuan nasib sendiri (right to self-determination)
dan hak-hak masyarakat adat, keadilan transisional (termasuk di dalamnya adalah soal
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

Apa maksud dari penerbitan kedua buku tersebut? Lebih dahulu lagi, apa maksud kita
merayakan hari jadi ELSAM? Bukanlah karena kelatahan kita melakukan ini, melainkan
karena kita mau sejenak memetik momen kontemplatif dan reflektif di tengah banalitas
aksi keseharian kita. Peringatan hari lahir adalah momen kultural untuk merenungi
kebermaknaan diri dan merebut kembali otentisitas yang sempat menguap bersama
keringat aksi kita. Sejarah perdaban berkisah – bahkan sampai pada zaman audiovisual
sekarang ini – bahwa tidak ada hal lain yang lebih membawa kita ke kontemplasi tentang
makna kehadiran kita di dunia ini ketimbang berenang dalam arus kata-kata. Biarkan kata
itu menghampiri kita, dan sejenak berhentilah kita berkata-kata. Biarkan kita diam,
jangan ada kata terucap. Biarkan kata-kata itu yang berkata.

Demikianlah. ELSAM bersama teman-temannya mau merayakan hari lahir itu dalam
keheningan, lalu kemudian mendengarkan untaian kata dari kedua buku tersebut. Seorang
pembaca yang sejati adalah seorang yang mampu berhening dan membiarkan arus kata-
5

kata dari sebuah buku menghampirinya bahkan menyerbunya, lalu tiba giliran dia untuk
menilai, merenung, mengkritik, merekomendasikan, meniati, dll. Pembaca yang sejati
adalah seorang yang selalu memposisikan dirinya sebagai “sang pemula” dalam
menghadapi sesuatu. Ketertarikannya adalah sensasi ketertarikan sang pemula.
Ketertarikan sang pemula adalah ketertarikan tanpa beban, tanpa pretensi, tanpa praduga,
tanpa penghakiman.

Saudari-saudara sesama warga republik mungkin sudah memiliki prapengetahuan tentang


ELSAM, termasuk gagasan-gagasannya, program dan agendanya, kekurangan dan
kelebihannya. Tetapi, bersikap sebagai “sang pemula” akan membawa Anda pada sebuah
realitas lain yang mungkin tidak akan pernah Anda dapatkan kalau Anda sudah selalu
memiliki prapengetahuan dan praduga. Sikap sang pemula adalah sikap yang kita
butuhkan sekarang ini untuk membangun sebuah konsolidasi masyarakat sipil untuk
kembali menegakkan dan merebut kembalinya politik. Sikap sang pemula adalah sikap
sang demokrat sejati, sang republikan berkeutamaan, seorang negarawan yang handal dan
setiawan.

Akhir kalam, semoga kehadiran kedua buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan
hari lahir ELSAM yang ke-15 ini menggugah kita untuk sejak saat ini saling “hadir”
sebagai “sang pemula” yang otentik, penuh ketertarikan, penuh pesona, dan penuh
ketakterdugaan. Republik ini sudah muak dengan banalitas. Republik ini merindu agen-
agen progresif, penuh pesona, dan kreatif. Semoga.

Jakarta, 14 Agustus 2008

Dra. Agung Putri, M.A.


(Direktur Eksekutif ELSAM)
6

Kata Sambutan Asmara Nababan

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, biasa disingkat ELSAM, kami dirikan 15
tahun yang lalu dalam semangat untuk turut memperjuangkan dan mencapai visi
terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan
menghormati hak asasi manusia. Visi tersebut masih sangat relevan hingga sekarang,
karena meskipun rejim otoriter telah diganti dengan rejim demokrasi namun berbagai
ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia masih terus berlangsung, bahkan
pelanggaran berat hak asasi manusia masa lampau tidak atau belum dapat diselesaikan.

Untuk memperjuangkan dan mencapai visi tersebut, kami telah merumuskan misi sebagai
sebuah organisasi non-pemerintah (ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik
hak sipil, politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. Misi
ini dilakukan melalui serangkaian program dan tindakan yang saling berkaitan dan
berkesinambungan, muali dari riset, pelatihan, pengembangan jaringan, hingga advokasi
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dialami masyarakat dan, tentu saja, kebijakan
publik yang berdampak terhadap hak asasi manusia, dalam 15 tahun terakhir ini.

Dalam rangka perayaan ulang tahun ELSAM yang ke-15, sekaligus bersamaan dengan
peringatan 10 tahun reformasi, juga 100 tahun kebangkitan nasional dan 63 tahun
kemerdekaan Indonesia, serta 60 tahun Deklarasi Universal HAM, kami menerbitkan
buku yang merekam ideal yang kami perjuangkan serta bagaimana pengalaman ELSAM
dalam memperjuangkannya. Tentu maksud dari buku ini tidak untuk gagah-gagahan,
namun jauh melampaui itu semua, yang utama kami maksudkan tetap sebagai salah satu
usaha berkontribusi bagi gerakan hak asasi manusia di Indonesia. Melalui buku ini, kami
bermaksud berbagi wawasan dan pengalaman ELSAM dalam memperjuangkan hak asasi
manusia di Indonesia. Ini bukan buku yang bercerita tentang kisah sukses, tetapi
7

memaparkan berbagai masalah-masalah, peluang, tantangan, serta hambatan yang


dihadapi dalam kurun 15 tahun dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

Dengan rasa gembira kami menyambut penulisan dan penerbitan buku ini, yang telah
merespon dan menjawab maksud kami untuk berbagi wawasan dan pengalaman tersebut.
Apa yang ingin kami bagikan ini ditulis dan diterbitkan dalam dua buku yang berbeda
namun saling berhubungan. Kedua buku ini ditulis oleh penulis yang berkomitmen dan
dari luar ELSAM, untuk mendukung objektivitas, namun dengan tetap memanfaatkan
dokumen-dokumen resmi ELSAM serta mewawancarai sejumlah pihak, khususnya dari
lingkungan para pendiri, pengurus, dan aktivis ELSAM, selain memanfaatkan informasi
dari media massa serta pemerhati ELSAM.

Buku pertama, berjudul “Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia” ditulis
oleh Sdr. Robertus Robet, aktivis muda yang energik sekaligus sekretaris jendral
Perhimpunan Pendidik Demokrasi (P2D). Buku ini merekam ideal yang diperjuangkan
ELSAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
khususnya yang terjadi di masa lalu, secara berkeadilan dalam konteks masa transisi
politik pasca-Soeharto. Buku kedua, berjudul “Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam
Memperjuangkan HAM” ditulis oleh Sdr. Abdul Manan, wartawan muda penuh
komitmen sekaligus sekretaris jendral Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Buku ini
merekam pengalaman ELSAM sebagai sebuah ornop yang memperjuangkan hak asasi
manusia di Indonesia dengan berbagai problem dan tantangan yang dihadapi, dari masa
pendiriannya hingga kini, sejak dominannya wacana pembangunan di bawah rejim
otoriter hingga reformasi dan transisi demokrasi.

Kami berterima kasih kepada Sdr. Robertus Robet dan Sdr. Abdul Manan yang telah
menjawab dan merealisasikan maksud kami dengan meluangkan waktu – dalam berbagai
kesibukannya – serta perhatian dan komitmennya bagi penulisan kedua buku yang sangat
berharga ini. Juga haturan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
mendukung dan memungkinkan kedua buku ini disusun dan terbit.
8

Akhir kata, kami berharap kedua buku ini dapat berguna bagi para pembaca dan
mencapai maksud kami untuk berbagi wawasan dan pengalaman dalam upaya kita
bersama untuk memperjuangkan hak asasi manusia demi mencapai Indonesia yang lebih
beradab, demokratis, dan berkeadilan.

Selamat membaca.

Jakarta, 17 Agustus 2008

Asmara Nababan
(Ketua Badan Pengurus Perkumpulan ELSAM)
9

Daftar Isi:

Kata Sambutan
Daftar Isi
Pendahuluan: Politik Hak Asasi Manusia dan Emansipasi

Bab 1: Relasi antara Negara dan LSM dan Fragmentasi Keagenan


Pengantar
Asal Usul dan Mistifikasi
Diskursus Normatif
Fragmentasi dan Pergeseran Keagenan Politik
Penutup: Apa yang Tersisa?

Bab 2: Kritik Atas Logika Transisi di Indonesia


Pengantar
Pembakuan Transisi yang Mematikan Politik
Demokrasi sebagai Perjumpaan yang Partikular dan Universal
Kondisi-Kondisi Diskursif Hak Asasi Manusia di Indonesia
Batas-Batas Ekuivalen Politik
Kesimpulan

Bab 3: Ketegangan dan Dinamika dalam Diskursus Politik Transisi


Pengantar
Akar Kekejaman: Munculnya Negara Otoritarian
Konfigurasi Politik Wacana KKR
Menolak KKR: Mengharapkan Ada Eichmann di Jakarta?
Penutup

Bab 4: Pertarungan Merebut Kebenaran Masa Lalu


10

Pendahuluan
Sejarah Kekerasan Orde Baru
Pertarungan Memperebutkan Masa Silam di Era Pasca-Orde Baru
Masa Depan Indonesia ada di Masa Lalu

Penutup: Tentang Kebenaran Politik


11

Pendahuluan:

Politik Hak Asasi Manusia dan Emansipasi

Ada paradoks dalam perkembangan hak asasi manusia belakangan ini. Paradoks itu
tampak dari dua kecenderungan yang sepertinya saling menihilkan. Di satu sisi, orang
mengakui kemajuan-kemajuan dalam legalisasi norma-norma serta instrumen hak asasi
dengan berbagai ratifikasi konvenan hak-hak sipil dan politik serta kovenan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Juga diakui makin berkembangnya diskursus mengenai hak
asasi itu sendiri yang diikuti dengan intensitas yang makin tinggi untuk membasiskan
segala urusan di bawah payung hak. Selain itu, pada saat yang sama seiring dengan
menguatnya isu hak, praktik politik juga secara perlahan mulai lebih berorientasi pada
demokrasi dan cara-cara damai, sebagaimana terlihat dalam isu “reformasi” berbagai alat
represi Negara serta efisiensi birokrasi. Namun demikian, di sisi yang lain, pada saat yang
sama makin banyak juga orang yang resah dengan meluasnya berbagai bentuk konflik
dalam masyarakat, intoleransi, dominasi dan pernyataan kebencian di ruang publik serta
ketidakpuasaan sejumlah korban atas penyelesaian kejahatan kemanusiaan di masa lalu.
Ketidakpuasaan ini juga bisa ditambah dengan kenyataan bahwa di saat kita menikmati
kebebasan sipil dan demokrasi, pada saat yang sama kerja-kerja lembaga HAM semacam
Komnas-HAM, misalnya, dianggap lebih buruk ketimbang kerja lembaga yang sama di
masa politik otoritarian. Demokrasi tidak hanya menginstalasikan berbagai kemajuan,
pada saat yang sama – di atas kemajuan itu – ia juga mentransparansikan berbagai
persoalan dalam perjuangan dan pelembagaan hak asasi. Demokrasi telah merelatifkan
segala jenis perjuangan yang semula dianggap prinsipil beserta peralatan institusionalnya.
12

Dulu, di masa otoritarianisme, hak asasi – dalam hal ini terutama hak kebebasan politik –
merupakan isu paling subtansial. Dengan itu, di bawah legitimasi melawan
otoritarianisme, kita mempunyai kebiasaan untuk mempersatukan hak asasi dan
demokrasi menjadi satu kesatuan. Itu terjadi karena memang secara konkret keduanya
absen dalam kepolitikan otoritarianisme, sehingga mempersatukan keduanya dalam satu
nafas tuntutan perjuangan sebagai imajinasi politik menjadi relevan untuk menggantikan
otoritarianisme.

Setelah rejim otoritarian runtuh, demokrasi menjadi arena di mana segala norma, nilai
dan ideologi diinstalasikan di atasnya. Akibatnya, di jaman demokrasi ini, hak asasi
secara normatif telah dipisahkan dengan demokrasi dan direlatifkan setidaknya dengan
isu hak-hak yang lain kalau bukan oleh ideologi-ideologi politik yang relatif “baru”.
Pemisahan ini kemudian juga diikuti dengan pemisahan aktor-aktor pengusungnya; dulu
lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga advokasi serta gerakan mahasiswa
dianggap sebagai satu-satunya tiang penyangga civil society, tetapi sekarang orang
berbicara mengenai partai dan komisi-komisi sebagai tiang utama perjuangan
kepentingan. Ini diikuti dengan makin banyaknya orang-orang yang dulunya aktivis hak
asasi manusia beralih profesi dan “naik kelas” menjadi aktivis partai dan anggota di
komisi-komisi.

Keadaan ini memperlihatkan satu kecenderungan asimetris yakni bahwa, di satu sisi,
sebagai imajinasi emansipasi yang berjasa mendobrak politik otoritarian, hak asasi terus
dianggap sebagai nilai perjuangan substantif, sementara pada arah yang lain, seiring
dengan penjamakan kekuasaan dalam demokrasi, berbagai bentuk pengelolaan dan
peralatan pengorganisasiannya justru semakin terfragmentasi. Dengan kata lain, dewasa
ini terjadi diskrepansi yang mendalam antara imajinasi esensial hak asasi dengan cara
memperjuangkannya. Diskrepansi inilah yang menghasilkan suatu keadaan yang
membingungkan dalam hak asasi kita dewasa ini: semakin banyak ayat-ayat HAM
diakomodasi, semakin kuat pula ketidakpuasaan orang terhadap kondisi perlindungan dan
jaminan hak asasi di Indonesia.
13

Dalam situasi paradoksal ini, banyak pejuang hak asasi bersikap gamang sehingga sering
kali mereka mengambil sikap yang sama dengan berbagai kelompok yang sejak dulu
memang telah bersikap sinis terhadap demokrasi. Kekecewaan para korban dan penggiat
advokasi terhadap keadaan seperti itu membawa mereka kepada semacam tuduhan
fatalistik bahwa demokrasi dan kebebasan bukan lain hanya sejenis “alat” saja dari
kepentingan borjuasi asing. Ditambah dengan keadaan di mana Negara relatif lemah,
sementara lembaga judikatif dan legislatif dipenuhi oleh korupsi, sinisme terhadap
demokrasi dengan gampang diarahkan menjadi kebencian terhadap demokrasi. Di sini
para aktivis HAM dengan gampang berpotensi menjadi satu deret dengan para
pendukung Soeharto dan kaum fundamentalis. Orang terperangkap dalam suatu keadaan
"memaki-maki demokrasi” sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki
itu adalah buah dari demokrasi. Dengan kata lain, dalam praktik dan pengalaman saat ini
di Indonesia kita menemukan adanya kebingungan yang mengarah kepada destruksi
akibat pemisahan antara hak asasi dengan demokrasi.

Di titik ini – untuk menghindari kekecewaan dan destruksi yang lebih parah – kita perlu
membangun kesadaran yang baru, tidak hanya mengenai makna yang terpisah-pisah dan
khusus antara demokrasi dan hak asasi, tetapi juga tentang praktik dan konsepsi yang
menjembatani keduanya yakni: politik. Persoalan ini dapat dirumuskan dalam satu
formulasi sebagai: bagaimana politik hak asasi dijalankan dalam tatanan demokrasi?

Hak asasi manusia, sebagaimana kita mengerti dari perjuangannya sepanjang sejarah –
baik perjuangan dalam arti praktik advokasi “non-legal” sehari-hari dalam wujud
perlawanan para korban maupun dalam arti legaliasasi dan diplomasinya – pada dasarnya
bukan lain adalah imajinasi universalitas yang tanpa batas mengenai keadilan dan
martabat manusia. Ia bisa dirumuskan dalam hukum, pasal dan ayat-ayat, namun ia tidak
akan pernah selesai dan terpuaskan dalam “fullness” melalui ayat-ayat, konvensi dan
diplomasi itu. Ia akan terus berkembang seiring dengan tuntutan dan perilaku dari jaman
ke jaman. Sementara demokrasi bukan lain adalah fasilitas yang memberikan
kemungkinan bagi segala nilai dan imajinasi untuk mengungkapkan dirinya: baik
imajinasi universal semacam hak asasi maupun imajinasi lain yang bertentangan dengan
14

hak asasi dan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, di dalam demokrasi, hak asasi
memang memiliki segi-segi substansial, namun di sisi yang lain ia juga tetap merupakan
“contested political imaginary” yang bersifat “cair” dan tetap harus berhadapan dengan
musuh-musuhnya sendiri.

Di titik ini, untuk “mengamankan” hak asasi, kita membutuhkan pandangan dan konsepsi
yang lebih fundamental tentang hak asasi dan politik. Selama ini dalam paraktik dan
kebiasaan lama, kita selalu memandang hak asasi manusia hanya sebatas sebagai hukum
semata-mata. Kita biasanya melupakan basis dan pengandaian utama hak asasi manusia
yakni politik itu sendiri.

Pentingnya politik dalam hak asasi manusia dapat dilihat dalam logika fungsional hak
asasi manusia itu sendiri. Hak asasi dapat berfungsi sebagai hak asasi hanya apabila ia
memenuhi prasyarat yakni bahwa pertama secara normatif ia bersifat fundamental dan
universal; kedua, ia berada dalam jaminan suatu institusi politik umum; ketiga, ia menjadi
bagian dari sistem hukum institusi kenegaraan itu. Artinya, hak asasi selalu bertautan
dengan idealisasi, negara dan proses kewargaan di dalamnya. Singkatnya, hak asasi
manusia selain berdiri sebagai norma universal, ia juga mesti selalu dipikirkan dengan
mengandaikan adanya kapabilitas Negara dan kepolitikan umum yang dinamis dan
mendukungnya, serta politik dan hukum kewargaan yang progresif baik dalam rupa
partisipasi warga maupun dalam rupa akomodasi dalam konstitusi. Tanpa ketiga unsur
ini, jelas hak asasi akan mandeg. Hak asasi tanpa politik dan citizenship tidak akan
pernah berfungsi menjadi hak asasi.

Hak-hak kaum minoritas misalnya, sebelum ia dikenal melalui normativitasnya saat ini,
pada mulanya ia berakar dalam perjuangan emansipasi kelompok-kelompok kulit
berwarna di berbagai belahan dunia dalam menghadapi praktik-praktik imperialisme,
perbudakan serta rasisme dan kebijakan yang diskriminatif. Begitu juga hak-hak kaum
buruh yang berakar dalam perjuangan persamaan dan kesejahteraan serta pergolakan
revolusioner terutama di Eropa menjelang dan dalam masa Revolusi Industri. Hak-hak
kesamaan di hadapan hukum yang kini secara universal diakui dalam konstitusi berbagai
15

negara juga memiliki akar yang panjang dalam sejarah perjuangan dan revolusi di negara-
negara terutama Perancis. Sementara hak-hak sipil dan politik yang lebih terperinci
mengenai jaminan bebas dari ancaman siksaan, penghancuran kebudayaan, memiliki akar
yang kuat dalam trauma Holocoust selama Perang Dunia II.

Akar kejadian dari kemunculan hak-hak itu memang kini menjadi sejarah, namun
demikian meski secara tekstual ia telah dirumuskan sebagai hak, persoalan-persoalan
dalam pemenuhan dan perjuangan untuk mencapainya masih terus terjadi di berbagai
belahan lain di muka bumi, bahkan di Negara-negara maju di mana hak-hak itu sendiri
pernah secara gemilang dilahirkan. Di Amerika Serikat, misalnya, meski ia merupakan
tempat di mana beragam hak-hak kebebasan dijunjung tinggi dan dirumuskan, tidak
berarti sekarang rakyatnya tidak memerlukan lagi perjuangan hak asasi. Meluasnya peran
dan kontrol Negara dalam kehidupan sipil belakangan ini menunjukkan bahwa Negara itu
pun masih mempunyai masalah dan rakyatnya tetap perlu memperjuangkan pendirian-
pendirian yang fundamental atas kebebasannya. Dengan kata lain, sekali lagi, kita mesti
menyadari bahwa hak asasi bisa menjadi hak asasi manusia hanya dengan mengandaikan
suatu perjuangan politik.

Begitupun dalam kasus “reformasi” dan demokrasi di Indonesia, hak asasi tidak akan
berhenti atau “penuh” hanya karena rejim Soeharto sudah dijatuhkan, ia juga tidak akan
menjadi lebih mudah setelah demokrasi mekar. Ini tentu saja berakar dari kenyataan
bahwa hak asasi itu sendiri memang adalah imajinasi yang tiada habis-habisnya, yang
sama tak terbatasnya dengan harapan dan cita-cita manusia mengenai good life dan good
society. Selain itu adalah fakta bahwa di dalam demokrasi itu juga dimungkinkan
tumbuhnya kekuatan-kekuatan politik yang beraneka ragam, menghasilkan lawan-lawan
dan tantangan baru bagi hak asasi sendiri. Di titik ini, menjadi penting untuk menghindari
segala godaan untuk puas pada kehadiran bebagai bentuk pembakuan hak asasi ke dalam
hukum dan terikat pada modus-modus institusionalisasinya yang lama.

Di sini menjadi beralasan bagi buku ini untuk memulai sebuah upaya membuka
kesadaran “subjektif” dari para aktor yang selama ini bergiat dalam advokasi hak asasi
16

dengan mengungkapkan bagaimana aktor utama hak asasi dan demokrasi terbentuk
secara diskursif dalam suatu kepolitikan yang dinamis. Dengan menjelaskan bagaimana
“LSM” yang selama ini mengklaim dirinya pelopor juga ternyata terus berubah dan
dikenai relasi serta kontradiksi dari jaman ke jaman, maka diharapkan para aktivis LSM
sekarang bisa memahami dirinya sebagai produk dari suatu sejarah dan peristiwa politik.
“Citra diri” yang dimiliki yaitu sebagai pejuang juga terus berubah dan bergerak ke
berbagai arah sebagaimana tampak dalam pergeseran fungsi-fungsi keaktoran dan
keagenan sekarang. Menyadari dan berkehendak untuk mengubah dunia di luar sana
harus juga diikuti kesadaran bahwa “aku” sendiri terus berubah. Paparan ini tidak
dimaksudkan untuk mendorong suatu perelatifan yang mengarah pada oportunisme
politik bagi LSM-LSM, melainkan untuk memberikan dasar pertimbangan baru bagi
kemungkinan pembentukan, rekonstruksi bagi model-model pengorganisasain baru yang
lebih memadai.

Upaya ini dilanjutkan dalam bab dua buku ini yang memberikan semacam refleksi
teoretis melalui kritik terhadap paradigma transisi yang konvensional. Bab mengenai
“kritik terhadap logika transisi” bermaksud untuk menunjukkan kekeliruan dalam
paradigma perubahan di Indonesia yang terlalu mengandalkan model dan trajektori yang
baku. Pembakuan dalam skenario-skenario perubahan yang “objektif” ini mengakibatkan
keterbatasan imajinasi dalam perubahan sekaligus mematikan aspirasi perubahan yang
luas dan tak terbatas ke dalam skema-skema hukum dan institusi formal belaka. Buku ini
juga melihat adanya kemungkinan bahwa perubahan yang diskematisasi dalam
penggalan-penggalan tahap yang sudah jadi itu secara “ideologis” berimplikasi bagi
pemandulan gerakan sosial yang semula menjadi motor perubahan dan menjadikannya
lebih sebagai perjuangan dalam koordinat prosedur dan institusional. Dari situ, melalui
kritiknya, bagian ini bermaksud mengajukan suatu cara pandang yang membebaskan hak
asasi dari keterbatasan perjuangan legal-objektifnya dan mengembalikan hak asasi
sebagai perjuangan emansipasi.

Upaya untuk mengembalikan hak asasi sebagai proyek emansipasi yang bersifat politis
dilanjutkan melalui paparan dalam dua bab berikutnya, yaitu bab tiga dan empat. Dalam
17

bab tiga disajikan semacam peta umum mengenai persoalan serta posisi-posisi keagenan
dalam politik transisi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan politik perebutan
“ingatan” di Indonesia. Dengan memahami “ingatan dan sejarah” sebagai wilayah yang
diperebutkan oleh berbagai kelompok dalam demokrasi, maka jelas ditunjukkan bahwa
“ingatan” itu sendiri adalah sebuah arena politik ketimbang sekadar arena hukum.
Akibatnya, di sini hukum itu sendiri harus dipahami bukan lain hanya sekadar
kepanjangan tangan kekuasaan politis semata yang saling berkontestasi untuk mengusai
“kesadaran/ketaksadaran” publik akan sejarah kemanusiaan itu sendiri.

Kenyataan ini yang kemudian secara lebih konkret ditunjukkan dalam ironi perselisihan
dalam tubuh para aktor sendiri dalam mendefinisikan makna kebenaran dalam politik
ingatan, antara yang berpaku terus pada trajektori legal transisionis dalam model
pengadilan di satu sisi dan model non-pengadilan (KKR) di sisi yang lain. Kegagalan
dalam cara pandang transisionis terbukti secara telak terutama dalam kebangkrutan
skenario legalis, di mana pengadilan-pengadilan hak asasi yang diadakan untuk
mengadili beberapa kejahatan hak asasi di masa lalu ternyata memang hanya berhenti
pada “mengadili” untuk kemudian malah membebaskan dan meloloskan sejumlah
terdakwa. Kebangkrutan ini makin diperdalam dengan kepercayaan buta kepada
mekanisme hukum sebagai satu-satunya mekanisme untuk menyelesaikan perkara yang
sesungguhnya perkara politik dalam kasus dibatalkannya UU KKR dalam judicial review
yang ironisnya diajukan oleh sejumlah korban dan LSM. Kegagalan ini tidak hanya
membuktikan semacam “kenaifan” politik dan absennya pemahaman akan “yang politik”
dalam persoalan hak asasi manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa pembakuan
transisionis memang tidak dapat dipakai apabila hak asasi tetap mau diusung sebagai
agenda politik emansipasi.

Namun demikian, buku ini juga tidak mau berhenti pada kritik yang mengesankan
fatalisme. Buku ini mau menekankan pada supremasi yang politis dalam
memperjuangkan hak asasi serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dibukanya di
masa depan. Oleh karena itu, pada bagian penutup, buku ini mengajak kita untuk melihat
persoalan politik ingatan dan sejarah sebagai bagian dari politik kebenaran. Dengan itu ia
18

bermaksud membuka lagi kesadaran bahwa sejauh hak asasi dimengerti sebagai politik
emansipasi maka seluruh kegagalan legal yang terjadi sebelumnya bukanlah sebuah titik
final yang mengakhiri segala upaya.

Kini di jaman di mana advokasi hak asasi bisa lebih gampang mendekat ke para politisi
dan para aktivis bisa “relatif mudah” masuk ke komisi-komisi maka semestinya politik
hak asasi tetap berpeluang dan bisa dilakukan secara lebih matang. Yang terpenting di
sini – sebagaimana dikemukakan dalam bab penutup – pada akhirnya memang adalah
fidelity, keyakinan dan kesetiaan dalam harapan mengenai suatu misteri bahwa
emansipasi masih mungkin ada lagi.
19

Bab 1

Relasi antara Negara dan LSM dan Fragmentasi Keagenan

Pengantar

Satu dasawarsa lalu, banyak pihak mendeklarasikan jaman ini sebagai jaman hak asasi
manusia. Deklarasi ini bermula datang dan seiring dengan optimisme orang akan matriks
kepastian sejarah yang sama yang digaungkan oleh pemikir politik kontemporer
mengenai kepastian akan demokrasi dengan “civil society” sebagai soko-gurunya. Dari
sini, muncul kombinasi yang diagungkan: nilai-nilai universalitas hak asasi di satu sisi
dengan keagenan politik civil society di sisi yang lain. Dalam politik Indonesia Orde Baru
masa itu, kedua kekuatan ini bertumpu pada satu tubuh kepolitikan yang juga sempat
dianggap primadona pada jamannya yakni Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM.
Dari sini boleh dikatakan muncul triadic politik alternatif yang menjadi formula bagi
perjuangan demokrasi Indonesia era Orde Baru: hak asasi-civil socity dan LSM.

Kini, setelah rejim Orde Baru jatuh dan demokrasi dicapai serta diinstalasikan sebagai
pranata dalam tubuh Negara, primadona itu kini nyaris kehilangan gincu, bedak dan daya
tariknya. Dulu dalam suasana otoritarian kekerasan dibuat oleh Negara dan keadilan tidak
mendapatkan tempat, hak asasi dipinggirkan dan diharamkan dari hukum nasional dan
konstitusi, sementara partisipasi dan kesadaran politik ditekan sama sekali. Kini dalam
era demokrasi yang strukturnya dibangun oleh topangan LSM, donor dan mantan
penguasa, semua yang semula ditolak oleh Negara Orde Baru kini diambil alih sebagai
milik Negara demokratis atau pemerintahan reformasi yang baru.
20

Untuk hak asasi manusia Negara menyediakan komisi nasional hak asasi manusia, untuk
korupsi Negara menyediakan KPK, untuk kecelakaan dan penyelewengan hukum Negara
menyediakan bermacam-macam komisi, untuk keadilan, partisipasi, kritik, dinamisasi
dan perubahan politik Negara mendorong beranak-pinaknya partai politik dan organisasi-
organisasi masyarakat. Singkatnya, apa yang semula merupakan fasilitas politis yang
dimiliki secara ekslusif oleh LSM kini beralih menjadi milik Negara. Bukan hanya itu,
peralihan dalam instasalsi ideal kepolitikan ini juga kemudian diikuti dengan pergeseran
sekutu terpentingnya: lembaga donor menjadi lebih tertarik untuk mendanai kegiatan
lembaga-lembaga atau komisi-komisi pemerintah ketimbang LSM.

Dari sini komponen triadik hak asasi-civil socity-LSM pada akhirnya dilepaskan satu
demi satu. Hak asasi kini sudah jadi hak yang konstitusional, sementara civil society –
setelah menguatnya era partai-partai – adalah konsep usang yang memang nyaris tidak
diperlukan lagi. Akibatnya, yang jadi pertanyaan kemudiana adalah apa yang tersisa
untuk LSM? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting bagi kita untuk menelusuri secara
singkat perjalanan LSM.

Asal Usul dan Mistifikasi

Pada tahun 1985, dilakukan sebuah survei mengenai pemetaan masalah “LPSM-LPSM”
[Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat] Indonesia. Survei itu tergolong sangat
serius karena disokong oleh lebih dari 10 LSM terbesar di Indonesia pada era itu plus
dukungan dari Asia Foundation; dipimpin oleh Adi Sasono selaku Ketua Steering
Committee, sementara risetnya sendiri dipimpin oleh Fachry Ali. Semangat ber-LSM
jaman itu dengan segera bisa ditangkap dengan memperhatikan sebuah paragraf dari
laporan survei tersebut yang menegaskan posisi unik sebagai berikut:

Pada masa kolonial LPSM Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dari gerakan
politik yang beroposisi terhadap pemerintah Hindia belanda. Dimensi
pengembangan masyarakat tetap hadir pada LPSM seperti pada masa itu yaitu
berupa pengembangan akan harga diri masyarakat banyak sebagai suatu bangsa. SI
atau SDI boleh dilihat sebagai LPSM yang kemudian mengembangkan sayap
21

politiknya, yang tentu saja sedikit berbeda dengan Muhammadiyah yang sudah
sejak berdirinya, tetap konsisten dengan pengembangan masyarakat. 1

Adalah antusiasme yang luar biasa berlebihan ketika survei ini dengan cara simplistis
membentangkan cara pikir transhistoris dalam meletakkan relasi dan peran LSM. Dengan
menyebut peran pada masa kolonial, pendirian dalam survei memasang sejumlah
kekaburan mengenai pertama bahwa seolah-olah LPSM (dengan istilah dan definisi yang
seteknis-teknisnya) telah ada dan dikenal di masa kolonial. Kedua, bahwa apa yang
disebut sebagai LPSM itu berciri aktivitas dalam rangka “pengembangan harga diri
masyarakat banyak sebagai suatu bangsa”. Dan ketiga, bahwa SI dan SDI boleh dilihat
sebagai LPSM yang kemudian mengembangkan sayap politiknya. Penggambaran ini jelas
mengaburkan antara gerakan kemerdekaan menentang kolonialisme, baik yang
menggunakan politik identitas (seperti SI) maupun bukan (pra-negara modern lokal)
dengan konsern di dalam politik kewargaan dalam berhadapan dengan kuasa negara
modern dan pasar. Hal kedua yang juga dikaburkan di sini adalah aspek historitas dan
latar belakang sosial pembentukan LSM itu.

Sama sekali berbeda dengan seting kolonial, di mana isu dominan yang muncul adalah
tanah air dan kemerdekaan sebagai komunitas bangsa. Dalam seting awalnya di masa
Orde Baru, peran dan kedudukan dari apa yang dikenal sekarang sebagai LSM senantiasa
dikaitkan atau bahkan diletakkan sebagai bagian dari konsep lain yang lebih kompleks
dan canggih yakni konsep civil society. Kerangka ini telah menghasilkan pendasaran
yang sangat kuat bagi pembentukan karakter politik maupun definisi konseptual lembaga-
lembaga ini yakni sangat berbasis kelas menengah, memiliki ideologi yang beragam
dalam arti renggang, luwes dan memasang jarak dengan institusi dan aparat negara.
Untuk bisa menjelaskan pembentukan asal-usul semacam ini kita mesti melihat dua
kecenderungan; yang pertama adalah pembentukan diskursus LSM sebagai entitas yang
tumbuh dalam dan mempengaruhi proses politik dan perubahan sosial di Indonesia yang

1
Fachry Ali, Rasmi dan Ali Mustafa (1985), “Laporan Hasil Survey Pemetaan Masalah LPSM-
LPSM Indonesia”, dokumen ini merupakan hasil riset yang dsponsori oleh 15 organisasi LP3ES, Bina
Swadaya, Bina Desa, Yayasan Indonesia Sejahtera, LSP, PKBI, WALHI, LBH, Yayasan Lembaga
Konsumen, BK3, PPA, P3M, CUSO dan Asia Foundation, hlm. 14.
22

khas, dan kedua adalah kekuatan politik normatif sebagaimana yang disampaikan oleh
organisasi dan pendirian sejumlah aktivis pembela hak asasi manusia di era awal Orde
Baru, dan ketiga adalah kita mesti kembali ke ide kritik ekonomi politik pembangunan di
masa tahun 70-an awal di mana masa ini ditunjuk oleh banyak kalangan sebagai masa
awal munculnya LSM, yang kemudian mewarisi karakter dan pendirian kepada yang ada
sekarang.

Semula banyak kalangan lebih suka menggunakan ornop (organiasai non-pemerintah)


untuk menamai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang melakukan aktivitas-
aktivitas sosial-politik penyadaran masyarakat dan kritik terhadap pemerintah. Istilah ini
disukai karena beberapa alasan: pertama, karena ia mencerminkan otonomi dan
demarkasi dengan kekuasaan, dan kedua karena ia mengesankan kritik dan alternatif
langsung dari kebijakan pemerintah. Namun justru karena potensi watak demikianlah,
maka pemerintah kemudian tidak menyukai istilah ini. Akibatnya para aktivis ornop
sendiri pada waktu itu, untuk menghindari pertentangan dengan pemerintah, memutuskan
untuk tidak meneruskan pemakaian istilah ini.

Di masa kini pemerintah lebih akrab menyebut lembaga-lembaga ini dengan LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat). Penggunaan istilah LSM ini sebenarnya kurang tepat
karena ia dipakai secara sangat overlapped, hendak menyebut siapa saja yang berada di
luar pemerintah baik itu serikat buruh, kelompok-kelompok paguyuban tani, kelompok
studi, yayasan-yayasan yang mengurus HAM di kota-kota ataupun kelompok-kelompok
paguyuban kedaerahan dan profesi yang kurang resmi serta lembaga-lembaga bantuan
hukum. Semuanya dicampur-adukkan di dalam satu istilah.

Ismid Hadad mencoba memberikan pembedaan yaitu dengan memisahkan antara apa
yang disebutnya dengan kelompok primer (kelompok-kelompok tani, paguyuban-
paguyuban di komunitas dan serikat-serikat rakyat) dan kelompok sekunder (kelompok
yang membantu pendirian dan pengembangan kelompok primer). Kelompok primer
inilah yang lebih tepat disebut sebagai LSM sementara kelompok sekunder yang
bertindak sebagai fasilitator atau mediator atau perantara disebut sebagai LPSM.
23

Dari pembagian ini, secara sosiologis terdapat satu hal penting yakni soal otentisitas.
Implisit di dalam pembagian ini, Hadad menegaskan bahwa LSM memiliki keterkaitan
yang organik dengan kepentingan-kepentingan masyarakat yang sesungguhnya. Jadi di
sini tidak ada aspek representasi; LSM adalah presentasi langung dari kepentingan
rakyat banyak. Dengan demikian jelaslah bahwa organisasi-organisasi yang bertebaran di
perkotaan yang dihuni oleh para sarjana lulusan universitas meskipun bergembar-gembor
dengan kegiatan tani dan buruh tidak dapat disebut sebagai LSM karena tidak ada petani
dan buruh sungguhan di situ, atau dengan kata lain tidak ada otentisitas aktor, yang ada
adalah si sarjana yang pandai membuat proposal dan program. LPSM memang adalah
kategori yang secara fungsional paling pas buat kalangan kedua ini.

Namun demikian, tidak semua orang segera sepakat dan menerima pengistilahan ini.
Mungkin karena istilah LPSM ini apabila kita blejeti secara jujur maka sebenarnya
dengan gampang kita bisa memahami bahwa istilah LPSM itu adalah sebuah penghalusan
dari istilah calo atau broker, yang tentu saja sangat tidak nyaman bagi para aktivis LSM
itu sendiri.

Namun demikian, bahasa politik dan hukum Orde Baru sendiri pada waktu itu telah
terlanjur mendefiniskan kelompok-kelompok ini dengan istilah tunggal yakni LSM.
Terutama di masa-masa akhirnya, Orde Baru kerap menyebut siapa saja yang mengkritik
pandangan dan kebijakannya dengan sebutan LSM. 2 Jadi dengan begitu istilah LSM
bukan lagi sekadar sebutan yang dipakai untuk organisas-organisasi di luar pemerintah
melainkan lebih merupakan tuduhan dari pemerintah kepada kelompok-kelompok yang
menentang dirinya. Dari sini barulah muncul semacam identitas balik, di mana pada
akhirnya para aktivis itu kemudian juga menerima dan mulai mendefinsikan diri mereka
sebagai LSM secara lebih kuat.

2
Penyebutan semacam ini juga berlaku terhadap organisasi-organisasi yang menyebut dirinya
sebagai partai oposisi seperti misalnya PRD di masa lalu yang meski mendeklarasikan dirinya sebagai
partai, kerap disebut sebagai LSM. Begitu juga dengan gerakan mahasiswa yang jelas-jelas dilakukan oleh
kelompok-kelompok mahasiswa sering juga disebut sebagai LSM.
24

Dengan demikian terjadi pergeseran aspek otentisitas dalam makna swadaya


sebagaimana disebut oleh Hadad pada bagian muka. Kalau sebelumnya LSM itu
sebenarnya digunakan untuk menyebut aktivitas kelompok-kelompok masyarakat bawah
maka kini para sarjana kota yang ketiban pulung menyandang istilah ini. Pemerintah
lebih tertarik untuk bertengkar dengan para sarjana dan aktivis kota ketimbang petani,
dan para aktivis kota ini juga merasa nyaman disebut sebagai “masyarakat swadaya”,
sehingga keduanya rupanya menjalin kesepakatan diam-diam untuk menggunakan istilah
LSM ini tidak lagi kepada petani dan buruh tetapi kepada yayasan-yayasan yang
beroperasi di ibu kota provinsi yang bekerja dengan press conference, riset dan studi.

Dari sinilah sebenarnya terjadi proses substitusi dari apa-apa yang seharusnya dilakukan
dan menjadi wilayah grass root menjadi apa-apa yang diatasnamakan oleh kelompok
menengah di atasnya di ibu kota provinsi. Substitusi kepentingan ini berlaku secara
sangat kuat. Dari sini pula klaim-klaim politik LSM itu kemudian dibasiskan dan
diperkuat.

Diskursus Normatif

Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah pemberangusan kehidupan politik secara umum
pasca-1965, negara Orde Baru yang tampil sebagai pemenangnya nyaris mendominasi
seluruh aspek kehidupan sosial dan politik pada waktu itu. Keadaan ini sedikitnya
disokong pula oleh semacam sikap reseptif dari politisi maupun intelektual yang anti
terhadap rejim Soekarno yang hidup di jaman itu. Kritik dan independensi yang mereka
gaungkan untuk menghadapi dan menjatuhkan Soekarno yang dituduh sebagai diktator
pada waktu itu, rupanya tidak dapat secara serta merta dan lancar digunakan untuk
menilai praktik politik rejim baru sesudahnya. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri
bahwa satu-satunya politik yang berlaku pada saat itu adalah “politik” sebagaimana yang
dimiliki dan dikendalikan oleh rejim Soeharto.

Sisa terakhir dari politik yang masih dimiliki oleh kalangan non-state pada waktu itu
hanyalah sejenis normative politics yang sangat terbatas, yang bersimpul pada isu dan
25

tuntutan yang juga sangat normatif, dalam beberapa hal bahkan metafisis (dalam kasus
Yap Thiam Hien misalnya yang pendirian-pendirian kemanusiaannya sedemikian rupa
bercampur dan didasari oleh pandangan-pandangan religiositasnya) yakni isu hukum dan
hak asasi manusia. Di dalam isu inilah kelompok-kelompok yang nanti disebut sebagai
civil society atau non-state actor ini hadir dan melaksanakan sejumlah aktivitas untuk
melakukan kritik dan kontrol (meski sangat minim) terhadap praktik pelaksanaaan kuasa
Orde Baru pada waktu.

Di wilayah normatif inilah tampil dua orang yang sangat bersemangat dan berpengaruh
yakni: Yap Thiam Hien dan HJC. Princen. Kedua orang ini adalah pelopor pemberani
yang membuka jalan untuk tampilnya politik hak asasi manusia yang subtil dan sangat
ideal di masa itu. Pada tahun 1966 seperti mendahului dan memancang fondasi, Princen
mendirikan kantor Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia yang sangat berperan
dalam mengawasi praktik-praktik penahanan dan pemenjaraan para pendukung Soekarno
oleh Orde Baru. Di sinilah Princen menjadi salah satu yang pertama dalam memberikan
dasar-dasar praksis untuk menjaga apa yang dikenal orang sebagai “hak-hak dan
kebebasan sipil”.

Sementara di masa di mana Orde Baru masih menikmati suasana paginya, Yap Thiam
Hien dengan lantang telah berteriak:

… melihat seakan-akan “Orde Lama” semuanya des duivels dan “Orde Baru”
segalanya der engelen bukan saja penglihatan yang kabur, melainkan juga secara
implisit, tanpa disadari, mengakui diri sendiri sebagai anak setan (Yap, 1966). 3

Dari segi politik, Yap adalah bagian dari salah satu pemenang pada waktu itu, karena ia
pun anti-PKI dan anti-Soekarno. Namun berbeda dengan pendukung Orde Baru lainnya,
sikap Yap menentang Soekarno dan PKI rupanya lebih dimotivasi oleh rasionalitas dan
ideal tertentu ketimbang kepentingan politik dan perebutan kuasa semata. Ini terbukti dari
fakta bahwa rasionalitas dan moralitas itu masih ia teruskan untuk menghadapi potensi
26

kejahatan yang dilakukan oleh Orde Baru, sehingga kemudian sama seperti Princen, pada
akhirnya ia pun harus berhadapan dan mengalami represi oleh rejim yang ikut ia dirikan.

Merelatifkan watak dan eksistensi dari Orde Baru dan Orde Lama menjelaskan hal
terpenting dari suatu pendirian politik yang go beyond interest, nyaris resi. Dengan
mengatakan “Orde Lama bukanlah iblis dan Orde Baru bukan pula malaikat” telah
ditegaskan pentingnya suatu arena di luar politik yang lebih inti dan fundamental yaitu
faktor kesadaran manusia dan kebebasan serta otonomi individu dalam memandang dan
menjinakkan politik itu sendiri. Sikap ini yang mestinya dipakai untuk mengatasi sistem
kuasa apa pun.

Di sini jarak atau demarkasi otomatis menjadi penting: “tidak Orde Lama tidak pula Orde
Baru”. Dari sikap semacam inilah diwariskan gagasan yang mulai memilah-milah mana
kuasa mana ideal; mana negara dan mana bukan negara; mana pejuang moral dan mana
yang politik; mana yang discourse of ethics dan mana yang discourse of power. 4 Inilah
salah satu etik atau semacam stand point yang hingga kini masih dipakai oleh LSM di
Indonesia untuk menunjukkan “kemurnian” pendiriannya. Sehingga dengan demikian,
kritik dan gugagatan mereka terhadap negara selain didasarkan atas perbedaan dan
aspirasi prinsip dalam memandang kehidupan politik yang demokratis juga didasarkan
atas semacam “pandangan hidup” bahwa “ber-LSM” berarti harus menjaga jarak dan
hidup terpisah dari tujuan dan ruang lingkup kuasa negara.

Inilah salah satu tradisi dan gagasan penting yang dipakai oleh banyak LSM sepanjang
Orde Baru untuk menilai diri mereka satu sama lain. Di titik ini, posisi ini nyaris
menggambarkan figur intelektual yang dibayangkan oleh Benda, yang mengganggap
rasionalitas dan kemanusiaan harus diletakkan di atas apa yang disebutnya political
passion, karena menurutnya politik, bagaimanapun, selalu melibatkan uang dan

3
Dipetik dari Pledoi Pembela Kedua dalam kasus Dr. Subandrio. Dikutip dari Yap Thiam Hin
(1998), Negara, HAM dan Demokrasi (ed. Daniel Hutagalung), Jakarta: YLBHI, hlm. 216.
4
Dengan pembedaan itu, Yap meletakkan dirinya paralel dengan pendirian discourse of ethics dari
Habermas, keduanya tiba pada kesepakatan untuk melihat politik sebagai perwujudan tertinggi dari
moralitas dan kebebasan dasar. Untuk istilah Habermas ini lihat dalam Simon Chambers (1995),
27

kekuatan. 5 Dua hal yang by nature sangat bertentangan dengan pendirian LSM yang mau
mengambil jarak dengan kekuasaan apa pun.

Dengan dasar pendirian yang sangat normatif dan moralis semacam ini maka tidak
mengherankan juga apabila konsep civil society yang kemudian berkembang dalam tema
advokasi LSM di Indonesia menjadi konsepsi yang sangat homogen. Dipakai untuk
menjelaskan semua pihak yang berada di luar negara dan tetap menjaga batas itu dapat
disebut sebagai civil society. Di sini gambaran mengenai pertarungan dan perubahan
politik beserta aktor-aktornya memang menjadi sangat sederhana; terbatas pada
dialektika dan relasi state dan society dalam pengertian dan definisi yang paling luas.
Akibatnya gagasan dan pandangan yang partikularistik dalam artian perhatian kepada
entitas-entitas yang lebih kecil seperti entitas gender, kelas dan kultur memang tidak
dilihat secara khusus.

Akibatnya jelas, secara politik konsepsi ini sangat menekankan peran kaum profesional,
golongan menengah dan intelektual kota sebagai motor utama penggerak. Di sini menjadi
sangat masuk akal bahwa kemudian dari segi aktor LSM-LSM itu banyak sekali dipimpin
dan digerakkan oleh para sarjana hukum dan para lulusan universitas mantan aktivis
gerakan mahasiswa. Sementara dari segi ide(ologi) gerakan LSM yang muncul kemudian
sangat berpusat pada ide-ide liberal mengenai kebebasan dan peran negara yang minim
dalam politik.

Jumlah CSO’s di Indonesia (tahun 2000)

Category Number of Organisations


Think tanks and research organisations 41
Student and youth Association/Alumni groups 36
Humanitarian and walfare groups 305
Business/Professional asss., cahmbers of trade and 555

“Discourse and Democratic Practise” dalam K. White (ed.), The Cambridge Companion to Habermas,
Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 233-255.
5
Julien Benda (1969), The Treason of the Intellectual, New York: Norton Place Publication.
28

commerce
Union and Labour Groups 20
Media and Journalist Associations 17
Legal organisations, advocacy, and monitoring groups 36
Women Organisation 38
Environment groups 18
Leisure Organisations, cultural foundation and clubs 109
Religius Organisations 58
TOTAL 1.322
Sumber: UNSFIR berdasarkan MASINDO (2000) Association and NGO’s Guide 2000. 6

Tabel di atas meski tidak secara langsung menunjuk LSM, namun fakta dan gambaran
umum yang ditampilkannya mempertegas pandangan sebelumnya yang menyebutkan
bahwa gerakan LSM sangat berwatak kelas menengah. Dari 1.322 organisasi yang ada
hanya 20 organisasi yang merupakan organisasi buruh. Dari jumlah itu tidak ada
organisasi petani dan kaum grass root yang lainnya. Absennya peran dan keberadaan
kelompok-kelompok grass root itu memperjelas beberapa kemungkinan yakni pertama
bahwa paling tidak hingga tahun 2000, yakni 2 tahun setelah jatuhnya rejim Soeharto,
memang tidak terbentuk suatu persekutuan politik yang memadai di kalangan grass root;
dan yang kedua, kalaupun ada maka persekutuan-persekutuan itu memang harus dicari
dan ditemukan dalam cerita dan selubung yang lebih besar yakni selubung politik kelas
menengahnya. Dengan kata lain yang terjadi adalah proses substitusionalisme yang
dimainkan oleh organisasi-organisasi yang lebih menonjol, besar dan vokal terhadap
organisasi grass root yang ada.

Dari Normativitas Hukum ke Normativitas Pembangunan

Jadi tidak dapat dipungkiri, setuju ataupun tidak, salah satu faktor pembentuk karakter
LSM selama Orde Baru yang utama adalah semacam idealisme untuk melakukan
evaluasi normatif terhadap negara. Karenanya di titik ini hukum dan diskursus HAM
kemudian memang menjadi instrumen utama untuk dijadikan sandaran evaluasi itu.
29

Posisi semacam itu tentu saja dapat dengan mudah dipahami. Sebagai rejim yang baru
terbentuk, Orde Baru membawa persoalan hukum dan kemanusiaan yang kompleks dan
mengerikan: pembantaian jutaan orang, pemberangusan partai-partai dan organisasi
politik, penahanan dalam kamp-kamp tahanan dan penghilangan orang. Dengan demikian
“adalah normal” apabila perhatian orang harus berkisar pada wilayah penataan dan
perbaikan wajah politik dari rejim yang baru terbentuk itu. Dengan kata lain,
mengencangnya dan tampilnya isu HAM dan hukum (hak-hak sipil dan politik) yang
segera memang mengikuti atau boleh dikatakan paralel dengan rejimentasi politik yang
terbentuk pada masa itu.

Barulah setelah masa-masa “pembangunan” ekonomi dan sosial berjalan dan rejim politik
yang terbentuk makin memiliki kekuatan nyata untuk melakukan kontrol dan penindasan
terhadap pembangkang, maka isu HAM dan tuntutan terhadap keadilan menurun dengan
sendirinya. Isu HAM tenggelam dan makin dipinggirkan dalam wacana politik Orde Baru
pada akhir 60-an itu, sementara isu “negara hukum” yang biasanya memang hanya
berfungsi sebagai suplemen dari isu HAM tampil dalam bentuk yang sangat low profile;
karitatif, prosedural, nyaris sama sekali tidak memiliki daya kritik yang memadai
terhadap praktik kekuasaan yang terpusat.

Maka seiring dengan mengencangnya pembangunan kapitalisme Orde Baru yang


tercermin dalam menguatnya peran negara sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan
industri, tuntutan-tuntutan politik yang normatif sekalipun makin mundur ke belakang.
Pada titik ini, negara yang makin kuat mulai menjalankan strategi baru dalam berelasi
dengan masyarakat. Implikasi dari pembesaran kekuasan negara itu sangat terlihat dari
cara bagaimana orang pada jaman ini menilai diri dan perananan LSM serta relasinya
dengan negara.

6
Dikutip kembali dari Iwan Gardono Sujatmiko (2001), “Wacana Sivil Society di Indonesia”,
Masyarakat Jurnal Sosiologi, Edisi 9, 2001.
30

Ada dua perkembangan penting. Yang pertama, munculnya psikologi subordinat dalam
mendefinisikan peran LSM. Ismid Hadad salah satu yang menjadi tokoh LSM pada
waktu itu menuliskan dan ia mempercayai bahwa untuk menjawab “tantangan Repelita V
yakni bagaimana secara efektif memperbaiki nasib 55 juta rakyat yang masih berada di
bawah garis kemiskinan” selayaknya pemerintah bekerja sama dengan LSM yang
memiliki kemampuan untuk menjangkau golongan miskin.7 Pada titik ini Hadad
kemudian menganjurkan agar LSM sendiri pun mendefinisikan dirinya dalam tingkat
harmonisasi tertentu dengan pemerintah. Konsisten dengan harmonisasi itu, ia pun
meletakkan fungsi LSM dalam tiga kategori yang sangat moderat yakni pertama fungsi
yang komplementer yakni menjalankan proyek-proyek yang tidak dapat digarap oleh
pemerintah; kedua fungsi subsider yakni melakukan peran tambahan untuk melengkapi
proyek pemerintah; dan ketiga fungsi perantara yaitu memediasi komunikasi antara
lembaga birokrasi dengan grass root. Jadi dengan demikian fungsi LSM di sini benar-
benar ditempatkan selaku kepanjangan tangan pemerintah.

Dalam situasi dan modus hubungan yang sangat subordinatif bercampur dengan kerelaan
banyak orang kemudian mengusulkan untuk mengganti istilah ornop yang sering dipakai
waktu itu sebagai terjemahan bebas dari istilah Inggris non-governmental organisation
(NGO) karena istilah “non-pemerintah” di situ dianggap terkesan oposan, terkesan
organisasi tandingan dan pengganti pemerintah. Inferioritas ini rupanya juga seiring dan
seirama dengan keinginan pemerintah sendiri mengingat hal yang sama juga ditekankan
oleh Emil Salim yang waktu masih menjabat sebagai Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Emil Salim menegaskan bahwa istilah ornop itu lebih berakar pada
tradisi Eropa yang berkesan “against the establishment” sementara di Indonesia peran
NGO “by nature tidak berakar dan tidak berorientasi pada sikap anti-pemerintah.”8

Karakter semacam ini juga disepakati oleh tokoh seperti Dawam Rahardjo ketika ia
memaparkan peran tokoh Dr. Sutomo. Dawam menyebut Dr. Sutomo sebagai pelopor
LSM di Indonesia. Menurut Dawam, berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya

7
Ismid Hadad (1983), “Menampilkan Potret Pembangunan Berwajah Swadaya Masyarakat”,
Prisma, No 4, April 1983, hlm. 3-25.
31

yang secara tegas berkonfrontasi dengan penjajah, Sutomo malah memilih aktivitas-
aktivitas yang “non-radikal” dan “non-politik” seperti meningkatkan pendidikan dan
kesadaran rakyat dan memperbaiki kondisi sosial ekonomi”. 9

Sikap dan pilihan reseptif yang berkembang pada masa itu kemudian memang
mendorong kepada suatu penyakit umum yang diderita oleh kebanyakan orang Indonesia
ketika itu yakni phobia politik. Tidak hanya orang Indonesia, Geoffrey B Hainsworth
yang menempatkan LSM sebagai pihak terhormat dan mentereng yakni sebagai kekuatan
ketiga antara pasar dan negara pun menderita phobia dan menganjurkan untuk phobia
yang sama: 10

Kecurigaan terhadap LPSM oleh pejabat-pejabat tertentu mungkin


merupakan hambatan yang lebih sulit disingkirkan guna meluruskan
pelaksanaan operasi di tempat-tempat tertentu dan sehubungan dengan
jenis-jenis fungsi tertentu LPSM harus jauh-jauh menghindari masalah
“politik” dan ia harus berhati-hati mengenai “pemolitikan” kepentingan
kelompok yang dikaitkan dengan mereka. 11

Adalah sulit untuk dimengerti bagaimana mungkin orang yang sama yang mengatakan
LSM sebagai “gerakan ketiga” dari pasar dan negara, yang di tingkat jargon hanya tipis-
tipis saja perbedaaanya dengan slogan-slogan untuk gerakan politik seperti Manifesto
Komunis, menganjurkan sebuah praksis yang sangat bertolak belakang dan ironis
“menghindar masalah politik”. Bagaimana mungkin institusi ketiga setelah pasar dan
negara bisa menolak terhindar dari politik? Bukankah dari nama dan posisinya sendiri
pun sudah nama dan posisi yang sangat politis?

8
Lihat wawancara Emil Salim dalam Prisma, No 4, April 1983, hlm. 66.
9
M. Dawam Raharjo (1988), “Dokter Soetomo: Pelopor LSM?”, Prisma No 7, Tahun 1988, hlm.
11-24.
10
Geoffrey. B Hainsworth (1983), “Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan Perataan
Pembangunan”, Prisma No 4, April 1983, hlm. 38-53.
11
Hainsworth, ibid., hlm. 55.
32

Jadi jelas sebenarnya di sini, ada semacam kekaburan antara sikap intelektual tentang apa
dan bagaimana peran LSM seharusnya dengan perhitungan akan berbahayanya
kekuasaan negara pada waktu itu yang sangat otoriter.

Namun demikian isu “pemolitikan” dan anjuran untuk “jauh-jauh menghindari masalah
politik” itu tidak semuanya didengar dan diikuti oleh semua orang di jaman itu. Di tahun
yang sama, bertentangan dengan Hainsworth dan Hadad, Abdul Hakim yang waktu itu
menjabat sebagai Manajer Eksekutif LBH Indonesia berpendirian berbeda, dan nyaris
seperti mendeklarasikan sebuah partai politik ia menulis:

Golongan militer dan birokrat merupakan kelompok-kelompok sosial yang


terorganisir secara rapi dan mempunyai visi dan ideologi yang relatif
homogen, yaitu ide persatuan nasional. Ideologi persatuan nasional ini
memberikan legitimasi penting bagi naiknya golongan militer dan birokrat
ke panggung kekuasaan politik … Dalam pada itu, kelompok-kelompok
sosial di luar sektor negara umumnya merupakan kelompok sosial yang
kurang terorganisir secara rapi dan secara ideologis tercerai berai. 12

Di sini jelas dalam pendirian Hakim, bahwa politik dan perjuangan politik tidak mungkin
disingkirkan dalam aktivitas LSM, bahkan politik menjadi state of nature LSM dalam
pendiriannya, karena ketimpangan dalam akses terhadap kekuasaan antara golongan
penguasa (militer dan birokrat) dengan golongan diluar negara.

Kesenjangan akses tehadap kekuasan inilah yang menurut Hakim melahirkan problem
dasar keadilan. Untuk itu ia kemudian mengusulkan suatu isu yang sama sekali berbeda
dengan diskursus LSM di jaman itu yakni apa yang disebutnya dengan Pembangunan
Hukum yang responsif-progresif yakni “cara untuk mendorong dan mempercepat proses
emansipasi sosial masyarakat di lapis bawah”. 13 Dengan demikian di luar usulan dan
ajakan agar LSM bertindak reseptif, menjadi kepanjangan tangan program pembangunan

12
Lihat dalam Abdul Hakim G. Nusantara (1983), “Mencari Strategi Pembangunan Hukum”,
Prisma No. 4 April 1983, hlm. 58.
33

negara, Hakim justru datang dengan istilah baru yang berbeda dengan wacana dominan
per-LSM-an pada waktu itu.

Melengkapi pendiriannya yang sangat politis dalam melihat peran LSM, ia kemudian
menegaskan keperluan-keperluan baru untuk mencapai emansipasi itu yakni dengan:
pertama, menciptakan kondisi yang memungkinkan kelompok bawah dapat
mengorganisasikan perjuangannya; kedua, memperbesar akses masyarakat bawah ke
lembaga-lembaga peradilan; ketiga, ornop harus meningkatkan peranannya untuk
“menyadarkan hak-hak masyarakat” dan “merencanakan program litigasi baru yang
diarahkan untuk merangsang munculnya “jurisprudensi baru yang responsif-progresif;
keempat, bersama pemerintah membantu masyarakat bawah untuk membangun
organisasi yang mandiri sebagai alat perjuangan kepentingan; kelima, diberlakukannya
peradilan tata usaha negara; keenam, meneliti seluruh keputusan-keputusan peradilan.

Pendirian-pendirian ini menegaskan sisa-sisa kekuatan kritik yang masih ada dari
normative politics yang muncul di era awal Orde Baru. Hanya berbeda dengan Yap dan
Princen yang benar-benar berpatok pada gagasan moralis mengenai hukum dan HAM,
bagi Hakim, hukum dan HAM itu memang mengalami sejumlah perubahan yang
menjadikan ideal normatif itu menjadi lebih radikal dan struktural. Namun jelas,
kehadiran ini membuktikan fakta lain yakni bahwa subordinasi di bawah pembangunan
kapitalisme Orde Baru tidak pula sepenuhnya menguasai LSM di Indonesia di awal 80-an
itu.

Ruang dalam kerenggangan kuasa Orde Baru itu sendiri kemudian makin menemukan
tempatnya yang lebih kondusif sebagai akibat krisis minyak yang terjadi di pertengahan
tahun 1980-an yang memaksa negara untuk mulai membuka sumber-sumber dan
investasi ekonomi lain. Sehingga dengan itu keterikatan dengan faktor internasional
memang menjadi lebih intens sehingga struktur dan relasi ketergantungan Indonesia
dengan lembaga-lembaga keuangan dunia pun semakin terbentuk secara matang. Di titik
inilah faktor baru masuk dalam relasi LSM dan negara yakni faktor internasional atau

13
Nusantara, ibid., hlm. 62.
34

faktor international community yang pada gilirannya nanti akan sangat menentukan dan
memberikan dimensi baru dalam ketegangan hubungan antara LSM dengan rejim Orde
Baru.

Pada titik ini, dengan perubahan pada aras ekonomi politik nasional dan internasional
tersebut, memang muncul kebutuhan dan tuntutan baru dalam melihat masalah dan
subjek advokasi. Di sini anjuran-anjuran untuk “menjauhi politik” bisa juga dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengajak LSM agar lebih terfokus pada isu-isu kerakyatan yakni
keadilan sosial dan kemiskinan. Sehingga dalam beberapa hal “menjauhi politik” dalam
anjuran ini, bisa pula dilihat sebagai anjuran untuk tidak terlibat dalam “politik elite” atau
politik di wilayah infrastruktur negara. Pada titik ini, arus utama yang memang muncul
seiring dengan derasnya wacana pembangunan yang juga dikencangkan oleh pemerintah
adalah wacana mengenai “empowerment” dan gerakan pendidikan penyadaran serta
pendampingan masyarakat, terutama dalam kerangka melihat relasi-relasi yang
memproduksi ketimpangan dalam masyarakat. Kecendrungan ini secara tepat kemudian
dirumuskan oleh Hanmann sebagai berikut:

Kebutuhan reorientasi pembangunan dari yang bersifat top-down ke arah grass


root membutuhkan peran LSM. Di sini meskipun tetap meletakkan peran LSM di
dalam kerangka paradigma pembangunan, Hannam menyebutkan bahwa efek
politik dari peran ini dengan sendirinya pun akan tampak bahwa “kalau kelompok
swadaya terbentuk maka kaum miskin akan lebih terorganisir, lebih sadar akan
perubahan dan tatanan sosial. 14

Sebagai kelanjutannya, pada momen ini LSM mendapatkan sandaran ideologisnya yang
kedua setelah “normative politics” sebelumnya. Di luar wacana negara hukum dan
HAM, isu mengenai kemiskinan dan perubahan struktural mulai masuk ke dalam wacana
dominan perjuangan LSM di Indonesia.

14
Lihat dalam Peter Hanmann (1988), “Pengembangan Bentuk Pembangunan Alternatif:
Pengalaman LSM di Indonesia”, Prisma No. 4, Tahun 1988, hlm. 3-14.
35

Dari sinilah subject matter LSM itu mulai bergeser atau paling kurang menemukan
dimensi terbarunya yakni dimensi ekonomi-politik. Seiring dengan itu, kecendrungan ini
sendiri bertepatan dengan keadaan-keadaan baru di dalam gerakan sosial lainnya di
Indonesia seperti gerakan mahasiwa yang mulai membawa isu-isu kerakyatan dengan
modus komite-komite aksi pembelaan rakyat terutama petani pada masa itu, ditambah
dinamika baru intelektual di kampus-kampus yang terorganisir di dalam kelompok-
kelompok studi dengan ide-ide dan perspektif yang lebih radikal. Pada titik ini benih-
benih untuk tumbuhnya kekuatan politik baru muncul, kombinasi dari keterorganisiran
dan pencarian aktor-aktor perubahan baru serta ideologi perubahan.

Potensi inilah yang dilihat oleh pengamat semacam Liddle dan Eldridge. Eldridge, secara
optimistik tiba pada kesimpulan dan harapan yang sama dengan Arief Budiman bahwa –
dalam kalimat Arief – “LSM telah menjadi saluran yang absah bagi partisipasi sosial dan
politik yang sebelumnya telah dibendung oleh pemerintah.” 15 Dengan kata lain LSM
pada erea 80-an itu telah berhasil bergerak go beyond normative politics yang dominan di
era awal Orde Baru dan menghadirkan tantangan tersendiri terutama pada praktik
pembangunan kapitalisme Orde Baru.

Tantangan ini, tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh negara. Pada tahun 1985 keluar
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang mengenakan kontrol ketat terutama
dalam hal asal-usul pendanaan bagi LSM. Sementara pada tahun 1990 keluar lagi
Instruksi Mendagri No. 8 tahun 1990 (inmendagri) tentang Pembinaan LSM. Inmendagri
tersebut meminta dilakukannya inventarisasi dan pembinaan terhadap semua LSM di
bawah Departemen dalam Negeri serta diberlakukannya kontrol dengan melarang LSM
terlibat politik harus memelihara ideologi persatuan dan melaporkan dirinya ke
pemerintah.

15
Arief Budiman sebagaiman dikutip dalam Philip Eldridge (1989), “LSM dan Negara”, Prisma
No. 7, Tahun 1989.
36

Perkembangan dan perubahan ini dengan sendirinya menghadirkan warna dan karakter
baru dalam relasi LSM dan Negara di Indonesia secara umum, Eldridge merangkum
ketegangan itu di dalam tabel sebagai berikut:

Matriks: Model LSM


Orientasi 1 2 3
Kerja Sama Tingkat Politik Tingkat Tinggi: Penguatan di Tingkat
Tinggi: Pembangunan Mobilisasi Akar Akar Rumput
Akar Rumput Rumput
Kerja sama dengan Ya Terbatas Tidak
program-program
pemerintah
Pembangunan atau Pembangunan Mobilisasi Mobilisasi
Mobilisasi
Panetrasi Struktur Menengah Tinggi Rendah
Negara
Hubungan antara Setengah bergantung Dukungan Timbal Otonomi
Kelompok-kelompok balik
kecil dengan LSM
Oreientasi terhadap Akomodatif Perubahan
Struktur Negara
Diambil dari Eldridge (1989).

Dalam sudut pandang empiris, kategori yang dikembangkan Eldridge di atas tampak
cukup mencerminkan pemetaan posisi dan aspirasi LSM di Indonesia terutama dalam
relasinya dengan negara. Namun demikian, penggambaran semacam ini boleh dibilang
sangat ditentukan oleh cara pandang Eldridge yang melihat posisi dan relasi itu dalam
kacamata dan sudut pandang LSM sebagai aktor utama. Pendekatannya sangat
institusional-behavioralistik. Akibatnya, dengan pendekatan semacam ini, Eldridge
kurang bisa menjelaskan sebab-sebab dan latar belakang mengapa relasi semacam itu
tercipta. Terbentuknya relasi yang panetratif, non-akomodatitf atau non-penetratif atau
akomodatif di dalam LSM yang berbeda-beda dalam banyak hal tidak ditentukan semata-
mata oleh pilihan otonom yang berakar watak genuine LSM itu sendiri, melainkan lebih
37

banyak ditentukan oleh model mobilisasi dan penerapan kuasa politik rejim Orde Baru
serta watak ideologis dari LSM yang dimaksud.

Dengan demikian, Eldridge di sini kurang memperhatikan aspek-aspek terpenting dalam


politik korporatis negara Orde Baru pada waktu itu serta model-model akomodasinya
terhadap lingkungan di luar struktur negara. Akibatnya, ia cenderung untuk
menghomogenkan watak dan dinamika LSM yang berbeda-beda itu ke dalam sebuah
relasi umum yang non-politis dan non-ideologis. Dilupakan fakta bahwa cara LSM yang
berbeda dalam merespon kebijakan negara juga sangat menentukan terhadap bagaimana
negara merespon tantangan LSM-LSM itu sendiri; artinya harus ditegaskan fakta mana
saja kolaborator dan mana saja penantang otoritarianisme.

Namun demikian, keterbatasan analisis Eldridge ini tentu saja dapat dipahami mengingat
setting analisis tahun 80-an di mana gejolak dan protes kelompok-kelomppok sosial yang
menantang kebijakan negara sendiri pun masih sangat minim. Secara kasar memang bisa
dimengerti bahwa watak LSM secara umum pada era itu memang masih dipengaruhi oleh
diskursus pembangunan dan perpanjangan tangan negara.

Dominasi diskursus pembangunan Orde Baru ini bergeser dan mengalami tantangan yang
signifikan dan memasuki tahap yang kurang dibayangkan oleh analisis Eldridge, baru
terjadi pada akhir 80-an dan awal 90-an. Pada saat itu, aktor pendobrakan terhadap
diskursus pembangunan Orde Baru bertambah makin luas dengan melibatkan kelompok-
kelompok masarakat baru seperti buruh yang menyatu dengan gerakan mahasiswa serta
keterlibatan komunitas internasional yang makin intens dalam isu hak asasi manusia di
Indonesia. 16

16
Di awal tahun 90-an harus juga dicatat peran dari kelompok advokasi dan studi yang berbasis
pada kepentingan perempuan yakni Kelompok KALYANAMITRA. Meskipun pada era itu kelompok itu
tidak secara langsung dan terbuka menyampaikan program dan aktivitas yang menyampaikan tantangan
terbuka terhadap negara (sebagaimana LSM HAM lainnya) namun kelompok ini memberikan sumbangan
yang besar, dan yang sangat dini bagi terbentuknya kelompok-kelompok advokasi perempuan pada jaman
sesudahnya. Pada masa itu salah satu kegiatan KALYANAMITRA yang menonjol di publik adalah
program kampanye menentang perkosaan, selain pengorganisasin studi dan diskusi kritis bahkan cenderung
subversif di era itu.
38

Salah satu batu penjuru yang memperlihatkan secara gamblang pendobrakan itu adalah
dengan munculnya kasus Kedung Ombo di tahun 1989. Perlawanan masyarakat terhadap
kasus ini memperlihatkan tiga hal penting: yaitu pertama adalah bahwa perlawanan itu
secara radikal membalik paradigma kemitraan LSM dengan pemerintah yang pada
awalnya dikesankan sebagai hubungan suka sama suka; kedua, kasus itu juga
menjungkirbalikan paradigma pembangunan Orde Baru yang sangat bergantung pada
fasilitasi dan saran-saran Bank Dunia dan IMF dan; ketiga, kasus ini menjadi pengantar
bagi kemunculan relasi dan pertemuan antara LSM dengan aktor lama perubahan politik
di Indonesia, yaitu gerakan mahasiwa. Dari kasus ini, pengalaman dan kekuatan baru
tumbuh dalam diri LSM di Indonesia. Kritik mereka terhadap lembaga-lembaga
pembangunan dunia yang intens dan keras dalam kasus itu mengantarkan mereka ke
dalam pertautan yang lebih intens dengan lembaga-lembaga internasional, sementara di
dalam negeri persekutuan yang mereka jalin dengan komite aksi dan kelompok-
kelompoik mahasiswa memberikan tenaga baru bagi mereka dalam merespon kebijakan-
kebijkan sosial politik Orde Baru pada waktu itu.

Dari Jaman Pembangunan ke Jaman Hak

Pada tahun 1993, tahun di mana Komnas HAM didirikan, beberapa peristiwa dan debat
penting mengenai LSM sedang hangat-hangatnya berlangsung di media masa.

Ketua Komisi X DPR Markus Wauran, anggota FPP DPR Jusuf Syakir, dan Wakil
Ketua Komisi II DPR Soetardjo Soerjogoeritno secara terpisah di sini kemarin
menegaskan keberadaan LSM yang berorientasi pada kepentingan donatur jelas
melanggar ketentuan Instruksi Mendagri 8/1990. Karena itu mereka minta
Mendagri segera turun tangan. 17

Lebih jauh lagi artikel yang sama menyampaikan pernyataan sebagai berikut:

17
Media Indonesia, 24 Juni 1993.
39

… tidak ada pihak yang melarang LSM menerima bantuan luar negeri tapi yang
diharapkan [adalah] mereka tidak bekerja demi kepentingan pemberi dana, bukan
menelanjangi negeri sendiri. 18

Dana dan donor asing merupakan isu paling sensitif sekaligus paling sering diangkat
dalam setiap konflik dan ketegangan antara negara versus LSM di Indonesia, bahkan
hingga 10 tahun terakhir setelah tahun 1993 itu. Dari isu ini tampak satu hal yang pasti
yakni bahwa ketidakmampuan LSM dalam mengelola dan menggalang dana untuk
dirinya sendiri merupakan the weakest link yang paling diminati untuk dipakai oleh
pemerintah untuk menghantam karakter LSM. Di kalangan pemerintah, terdapat dua
pandangan simultan yakni pertama bahwa hidup LSM bergantung pada donor asing dan
sekaligus – karena itu – pemerintah asing bisa memperalat LSM-LSM tersebut untuk
menancapkan kepentingannya di Indonesia. Menghantam donor asing – yang pada
konteks itu merupakan satu-satunya sumber hidup LSM – jelas merupakan semacam
senjata pamungkas untuk menekan dan mematikan LSM. Yang jadi pertanyaanya di sini
adalah mengapa dan bagaimana mungkin soal donor asing ini dikaitkan dengan LSM?

Pertautan politik antara LSM dan pihak asing sebenarnya telah disinyalir dan dihadapi
oleh rejim Soeharto dan pada waktu itu diantisipasi dengan menerbitkan UU No. 8/ 1985
yang mengharuskan laporan dan kontrol ketat terhadap penggunaan dana asing oleh
LSM. Namun demikian, kekhawatiran dan “kejengkalan” rejim terhadap LSM dan donor
asing dalam konteks itu memang bisa dirujuk dari figur yang memperlihatkan himpitan
kepentingan antara isu-isu yang dibawa oleh LSM yang paralel dengan tuntutan sejumlah
pemerintah asing.

Sebagaimana diketahui, peran dan intervensi lembaga-lembaga pembangunan asing


sebenarnya telah diterima dan bahkan demikian marak di era 80-an. Ini tampak dari
demikian kuatnya wacana pembangunan dan peran bank dunia, IGGI dan yang lainnya
dalam panorama pembangunan ekonomi Orde Baru. Namun demikian pada era tersebut,
bantuan dan hubungan dengan lembaga asing itu masih berjalan dalam satu skenario

18
Media Indonesia, 24 Juni 1993.
40

semata-mata yakni bantuan atau asistensi pembangunan untuk Indonesia. Artinya dimensi
menjadi tujuan memang adalah pembangunan kapitalisme Orde Baru itu sendiri. Dimensi
inilah yang kemudian berubah ketika Indonesia memasuki era 90-an, yang semula
sepenuhnya ekonomi tanpa syarat politik; kini dukungan itu berubah. Dimensi sosial dan
politik mulai masuk sebagai bagian dalam prasyarat bantuan ekonomi internasional itu,
salah satunya adalah dimensi hak asasi manusia. Atas kehadiran dimensi baru ini, rejim
Soeharto ternyata sama sekali tidak menduga dan tidak memiliki kesiapan untuk
melakukan strategi akomodasi yang seperti apa dan bagaimana untuk menghadapinya.
Oleh karenanya tidak mengherankan apabila ia kemudian mengambil satu-satunya jalan
yang paling kuno dan konservatif yakni kembali kepada pertahanan dan pangkuan
mekanisme strategi partikularisme: ideologi nasional, kepentingan nasional, budaya
nasional, ideologi Pancasila yang dipertentangkan dengan ideal HAM yang dianggap
sebagai ide barat dan asing.

Dimensi baru yang mempertautkan ekonomi dan HAM ini tampak dan menjadi demikian
nyata sebagian justru sebagai akibat dari sejumlah kebijakan nasional Indonesia. Salah
satu dan yang paling menonjol adalah politik keamanan yang opresif di Timor Timur
yang tampak pada Peristiwa Pembantaian di Santa Cruz, Dili 12 Desember 1991 yang
menewaskan sekitar 271 orang. 19 Peristiwa itu secara berbalik boleh dikatakan telah
memakan kerapihan politik luar negeri Orde Baru, karena sebagai kesudahannya reaksi
internasional yang demikian besar memaksa Orde Baru untuk mulai memperhatikan
HAM. 20 Sebagai reaksinya pemerintah pada waktu itu membentuk semacam tim yang
dipimpin oleh sejumlah perwira militer untuk meneliti pelanggran HAM di sana. 21

Momen lain yang juga dapat dirujuk untuk menilai sikap dan psikologi Orde Baru yang
demikian sensitif terhadap kepentingan asing dalam kaitannya dengan HAM dan LSM
bisa dirujuk lagi dalam peristiwa pembubaran kelompok negara-negara donor yang
tergabung dalam IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) karena J.P. Pronk

19
http://www.etan.org/timor/SantaCRUZ.htm.
20
Di tahun yang sama juga Indonesia untuk pertama kalinya bersedia dan diterima menjadi
anggota Komisi Tinggi HAM PBB.
41

mantan Menteri Pembangunan dan Kerja sama Belanda dianggap terlalu campur tangan
dalam persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia. 22

Selain itu salah satu yang juga paling penting dalam pembentukan psike-politik Orde
Baru terhadap HAM dan isu “kepentingan asing” adalah juga tekanan pemerintah dan
parlemen Amerika Serikat yang secara terang-terangan mulai mengaitkan ekonomi
dengan praktik perlindungan HAM. Ini muncul dalam isu seputar pencabutan fasilitas
GSP (Generalised System of Preferences) yakni pengurangan bea masuk untuk produk-
produk Indonesia ke Amerika Serikat. Isu dan ancaman pencabutan GSP ketika itu
berkaitan dengan isu perlindungan hak-hak buruh dan praktik buruh anak di Indonesia. 23
Bukan kebetulan juga, bahwa di sepanjang tiga tahun terakhir yakni dari 1990 hingga
1993, gejolak perburuhan di Indonesia memang meningkat secara drastis, yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah pemogokan buruh dari tahun ke tahun, sebagai contoh
angka pemogokan yang terjadi di tahun 1993 untuk Jabotabek saja (219) berjumlah lebih
tiga kali lipat dari jumlah pemogokan di tahun 1991 (61 kasus). 24 Jadi, memang di sini
terdapat sinergi yang luar biasa antara resistensi terhadap kebijakan perindustrian di

21
Dari sini, konon wacana HAM itu bergulir sedemikian rupa sehingga titik klimaksnya adalah
terbentuknya Komnas HAM pada tahun 1993, yang dilahirkan melalui sebuah keputusan presiden.
22
Aspek-aspek yang lebih rinci mengenai hubungan tekanan internasional dan politik akomodasi
Orde Baru dalam isu HAM, lihat dalam Cornelius Lay dan Pratikno (2002), Komnas Ham 1993-1997:
Pergulatan dalam Otoritarianisme, Yogyakarta: Fisipol UGM.
23
Dua tahun kemudian, yaitu di tahun 1995, isu mengenai GSP ini diperluas terutama oleh Human
Right Watch yang menyebut halangan-halangan kebebasan berserikat, keterlibatan tentara dalam konflik
perburuhan selain isu buruh anak sebagai salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh Perwakilan
Dagang Amerika. Lihat Petisi Human Rights Wacth, 14 Juni 1995. Lihat juga dalam http://www.hartford-
hwp.com/archives/54b/019.html. Ancaman pencabutan GSP ini segera direspon oleh pemerintah melalui
penegasan Menteri S.B. Joedono dalam Media Indonesia, 9 Agustus 1993 yang mengatakan bahwa
memang masih terdapat perusahaan yang belum memperlakukan buruhnya dengan baik namun, perusahaan
Indonesia tidaklah seburuk sebagaimana yang dibayangkan oleh pihak asing tersebut. Lihat juga dalam,
http://www.greenleft.org.au/back/1993/112/112p15a.htm.
24
Untuk ini lihat dalam Nugroho Katjasungkana dan Teten Masduki (1993), “Buruh, Negara,
Demokratisasi,” dalam Mulyana W. Kusumah dkk. (penyunting), Demokrasi antara Represi dan
Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Jakarta: YLBHI. Dalam artikel
tersebut digambarkan peningkatan intensitas pemogokan dari tahun ke tahun sebagai berikut:

Tahun Jumlah Pemogokan


1988 39
1989 19
1990 61
1991 114
1992 251
1993 (Jabotabek) 219
42

Indonesia yang dilakukan oleh buruh dan LSM-LSM perburuhan dengan perubahan-
perubahan kebijakan luar negeri pemerintahan Eropa dan Amerika.

Dalam sudut pandang pemerintah, tentu saja mereka dengan segera bisa menunjuk
keterlibatan LSM sebagai sebab dan sumber yang meniupkan isu buruh dan HAM hingga
mampir di meja perwakilan dagang Amerika dan forum-forum Internasional. Dengan
demikian, dua “kebencian” tumpah sekaligus: satu kepada LSM sebagai pihak dari dalam
yang – sesuai istilah dalam Media Indonesia waktu itu “menelanjangi negeri sendiri” –
dan tentu saja pihak asing. Pada titik ini tercipta sejenis kombinasi yang aneh dari politik
kambing hitam Orde Baru terhadap LSM atau siapa saja yang dianggap bertentangan
dengan kepentingannya, di mana kadang-kadang sesorang atau LSM bisa dituduh sebagai
“komunis” atau PKI di suatu saat, sementara di saat yang lain pihak yang sama bisa juga
dituduh sebagai antek asing atau pro-Barat.

Fakta ini sebenarnya mengindikasikan dua hal, yaitu pertama jelas bahwa memang dalam
posisi politik, LSM sebenarnya sangat lemah karena dengan gampang dia bisa menjadi
target tuduhan dan stigmatisasi politik apa pun; kadang komunis kadang agen asing,
hingga sekarang. Kedua adalah terbukanya tabir yang lebih penting tentang sikap
ideologis dan pragmatisme Orde Baru, yakni bahwa sebenarnya dalam praktik, Orde
Baru lebih tunduk kepada kepentingan-kepentingan pragmatisnya dalam mengakumulasi
kekuasaan dan uang ketimbang menjalankan suatu proyek ideologi tertentu yang
sistematis dan menyeluruh. Jadi sangat berbeda dengan fasisme Nazi, di mana kekejaman
dilangsungkan paling tidak atas nama doktrin sosial tertentu, meskipun kekejaman Orde
Baru ada pada tingkat slogan yang dinyatakan sebagai “demi menjaga kemurnian
Pancasila” tetapi sejatinya kekejaman itu dilakukan tanpa pamrih ideologi apa pun.
Kekejaman Orde Baru adalah kekejaman telanjang dari kepentingan segelintir rejim yang
dibungkus oleh kebohongan dan hantu ideologi. Ini yang selama bertahun-tahun
terpancang sebagai rejim yang membodohi dan menguasai jutaan orang.
43

Dalam kerangka ini, sikap Orde Baru yang anti terhadap LSM sebenarnya lebih
disebabkan oleh aktivitas mereka yang mengganggu kepentingan-kepentingan yang lebih
jauh dari akumulasi kekuasan dan uang rejim pada waktu itu. Bukan karena alasan
ideologi tentang “pihak asing” “barat” sebagaimana yang biasa disebutkannya.

Hal lain yang juga memperkuat dugaan di atas adalah fakta bahwa sesungguhnya
kebanyakan kritik dan gugatan LSM terhadap pemerintah dilandaskan atas argumen dan
tuntutan yang sangat normatif dan berbasis hak, bahkan dari kelompok-kelompok
opsosisi yang sering dituduh kiri dan Marxis sekalipun. Ini tampak dalam isu-isu
dominan mengenai hak upah, hak berserikat, hak menyatakan pendapat, hak mimbar di
kampus, dan hak asasi manusia di Timor Timur. Jadi meskipun metode gugatannya
dilakukan dalam aktivitas yang tampak radikal seperti melalui pemogokan, unjuk rasa
dan orasi-orasi publik, namun isi dan tema pokok dari gugatannya tetaplah – secara
ideologis – bersifat sangat moderat. Sehingga memang sangat sulit untuk menemukan
kenyataan yang berarti yang bisa menghubungkan kegitan LSM dengan “ideologi
komunisme”.

Hal lain yang juga harus dikemukakan di sini untuk melihat watak LSM di masa itu
adalah bahwa kebanyakan gugatan mereka di era awal 1990-an lebih banyak merupakan
reaksi atas kebijakan-kebijakan dan prilaku represif aparat pemerintah yang dianggap
melanggar prinsip dan hukum-hukum yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Ini kelihatan
dari kasus-kasus HAM yang muncul di tahun 1993 yang kebanyakan adalah kasus
kekerasan Negara. 25

Dengan demikian sulit juga untuk membenarkan tuduhan pemerintah bahwa tuntutan
LSM pada masa itu didasari oleh kepentingan ataupun sikap ideologis tertentu: entah itu
dari kiri entah itu dari Barat, karena sikap demikian itu lahir lebih atas dasar reaksi
kemanusiaan yang spontan terhadap segala kekejaman politik yang tumbuh pada waktu
itu. Dengan demikian harus dikemukakan di sini bahwa pada awalnya dan dari dasarnya:

25
Sebagaiman dikutip dari Hendardi dan Benny K. Harman (1993), “Orde Baru dan
Pembungkaman Pers”, dalam Mulyana W. Kusumah dkk. (penyunting), ibid. hlm. 2-16.
44

pilihan dan sandaran LSM pada isu HAM sama sekali bukan disebabkan atas dorongan
dan sikap ideologis dan politis tertentu, misalnya saja liberalisme, melainkan lebih karena
dorongan pragmatis yakni karena hanya melalui isu dan himbauan HAM sajalah
kekejaman negara bisa dilawan waktu itu. Jadi tegasnya, alasan isu HAM dipilih sebagai
wahana perjuangan kepentingan bukan karena LSM di Indonesia pada waktu itu
menganut paham liberal terlebih dahulu, tetapi karena isu itu masih relatif lebih gampang
dicerna oleh rejim yang bekuasa. 26 Orang-orang seperti almarhum Marsinah dan kawan-
kawan tentu tidak mengerti istilah-istilah semacam liberalisme, “apa itu kepentingan
barat” ataupun GSP, mereka bahkan mungkin tidak perduli semua itu. Yang mereka tahu
bahwa upah rendah, hidup susah, harus protes. Dengan kata lain sikap politik LSM dan
kebanyakan aktivis pada waktu itu memang lebih bersifat “spontan” nyaris anti-
fondasional.

Dengan sumber-sumber rujukan dan koalisi baru itu, secara perlahan makin lebarlah jarak
antara LSM dan Negara. Apabila dulu LSM menerima saja “posisi” sebagai partner dan
perpanjangan program pembangunan nasional, kini mereka bergerak menjauh dari negara
dengan identifikasi diri yang sama sekali lain: civil society. Di sini kehendak yang paling
radikal dalam istilah “non-pemerintah” muncul lagi, tidak dalam istilah tetapi justru
dalam praktik. Di sini pula diskursus lama tentang resi di era awal Orde Baru dulu,
muncul lagi, kali ini dengan penafsiran dan klaim politik yang lebih luas; bukan lagi
sekadar kelas menengah, pengacara melainkan juga meliputi kelompok-kelompok yang
lebih beragam: buruh, kaum miskin kota, petani, mahasiswa, ibu-ibu dan anak.

Dari pemaparan di atas, kita melihat secara jelas bahwa konsepsi dan relasi LSM dengan
negara berubah dari ke waktu sesuai dengan strategi resistensi dan akomodasi yang
mereka mainkan bersama-sama. Dalam kerangka ini, meski kecenderungan dominan bisa
kita identifikasi namun tetap saja kita tidak dapat menggeneralisasi karakter LSM-LSM

26
Istilah dan rumusan ini diambil dari gagasan Judith N. Skhlar tentang “putting cruelty first” dan
Liberalism Without Foundation. Bagi Shklar ada dua jenis Liberalisme: yang pertama adalah yang
metafisik yang mencari pendasaran-pendasaran filosofis terus menerus; yang kedua adalah liberalisme yang
lebih pragmatis yang bekerja untuk mencari dan menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan konkret
seperti kekejaman dan kekerasan. Lihat dalam Skhlar, Judith N. Skhlar dan Yack Bernard (eds.) (1996),
45

ke dalam kompartemen-kompartemen yang baku sebagaimana dilakukan oleh Eldridge


ataupun Corten. Pada titik ini dengan memahami tantangan, karakter negara Orde Baru,
serta karakter dasar LSM yang sangat berorientasi kosmopolitan di satu sisi sementara di
sisi lain mengklaim pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya sangat lokal dan kasuistik, kita
mendapatkan kenyataan bahwa justru karena hendak secara tegas menetapkan batas
hubungannya dengan wilayah negara, maka LSM justru tidak pernah dapat benar-benar
lepas dari relasi, negosiasi maupun kontradiksi dengan negara. Kritik dan gugatan mereka
dalam suara yang paling radikal sekalipun sekali lagi dalam banyak hal justru
memperlihatkan keterkaitan dan aspirasi mereka terhadap negara.

Dengan kata lain meskipun pada level tertentu, secara politik dan ideologi mereka bisa
mendatangkan tantangan yang signifikan terhadap praktik kekuasaan yang kejam dan
menindas, namun di sisi yang lain, di saat yang sama, peran ini tidak dapat diteruskan
dalam kerangka yang lebih luas dan radikal mengingat batasan-batasan sruktural yang
mereka ciptakan sendiri dalam peran-peran mereka dan dari pilihan independensi mereka.
Pilihan untuk bersikap lebih otonom terhadap Negara, menggiring mereka untuk mencari
sandaran lain yakni kepada donor asing dan komunitas internasional mengingat lemahnya
politik kelas pada masa itu. Pilihan ini, untuk sesaat mendatangkan manfaat dan
efektivitas, karena beberapa tahun kemudian kombinasi tekanan dunia internasional,
krisis ekonomi serta gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan Soeharto dari
kekuasaanya. LSM-LSM yang sebelumnya dalam banyak hal kurang berpengaruh secara
langsung terhadap dinamika penjatuhan Soeharto pada hari-hari “reformasi” itu,
mendapatkan kembali perannya yakni dalam mengisi isi ideal dari “era transisi”.

Fragmentasi dan Pergeseran Keagenan Politik

Setelah era gegap gempita penjatuhan Soeharto redup, kepolitikan sesudahnya dimaknai
sebagai sebidang ruang yang pasti yang hanya bisa diperbarui melalui penataan norma
dan institusionalisasi. Ini berlangusng terutama setelah hampir semua pihak bersikap

Liberalism Without Illusions: Essays on Liberal Theory and the Political Vision of Judith N. Skhlar
University of Chicago Press: Chicago.
46

kompromistis terhadap sisa kekuasaan Soeharto dan menerima pemerintahan B.J.


Habibie, untuk kemudian ikut berkompetisi di pemilu yang ditawarkan pemerintahan
Habibie. Penerimaan itu secara dramatis menginterupsi gairah reformasi yang
sebebenarnya masih memiliki energi untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang
lebih berarti.

Konsensus dan moderasi yang tercipta kemudian terasa makin kuat manakala dunia
internasional yang pada masa Soeharto terkesan lebih dekat kepada kalangan LSM, mulai
mengubah pendiriannya dan melihat pentingnya menjaga stabilitas dan “konsolidasi
demokrasi” terkawal di tangan pemerintah. Dari situ dukungan mereka terhadap pemilu
serta pemerintahan Habibie menjadi faktor yang kuat bagi perubahan relasi LSM dan
Negara kemudian.

Gejala ini secara halus pertama-tama dapat dilihat dalam perubahan kebijakan para donor
terhadap LSM dan pemerintah. Apabila sebelumnya – pada masa Soeharto – banyak
LSM dapat mengakses secara langsung ke lembaga-lembaga donor di negara-negara
donor tertentu, tetapi kini para donor mulai bertindak secara lebih efisen sambil
mendesakkan agenda kerja sama yang tegas antara LSM dan pemerintahan pasca-
Soeharto. Ini kelihatan dari terbentuknya lembaga “Partnership” yang bertindak selaku
“konsorsium” dari dana-dana negara donor terutama negara-negara Eropa.
Pembentukannya menandai tidak hanya pergeseran pola relasi LSM dengan sekutu awal
mereka (komunitas internasional) tetapi juga perubahan dalam sikap dan otonomi mereka
terhadap pemerintah. Apabila dahulu dana diberikan dalam kerangka kritik terhadap
pemerintah maka dengan Partnership dana negara donor diberikan dalam kerangka
“kemitraan” yang mengharuskan kerja sama LSM dan pihak-pihak pemerintah terkait.
Partnership sendiri dibentuk dengan kepemimpinan yang terdiri dari sejumlah pejabat
negara dengan para elite LSM.

Gejala lain yang harus disinggung di sini adalah begitu pemerintahan baru diterima, maka
secara tidak langsung diterima pula logika politik transisionis di mana secara mudah
sejarah politik kemudian dibelah antara masa lalu dengan masa kini. Setelah pembelahan
47

itu, politik transisi segera diminta mengambil bentuk. Dalam upaya yang terburu-buru itu,
kelompok-kelompok kerja sama baik LSM maupun segenap pihak di kalangan
pemerintah mengambil model-model transisi yang telah tersedia. Ini menghasilkan
pembakuan ganda; pembakuan pertama adalah ketika perubahan politik dibakukan
sebagai penggalan transisi; pembakuan kedua adalah dalam rangka mengisi penggalan
transisi itu Indonesia mengambil model yang sudah baku dari pengalaman Negara lain.
Ini yang kemudian melahirkan semacam objektifikasi politik reformasi yang memiliki
implikasi-implikasi penting yakni: terjadinya pergeseran dari keagenan yang berbasis
kelas ke keagenan partai; dari keagenan yang pluralistik ke keagenan yang tunggal
humanitarian (dari keagenan yang plural seperti buruh petani, mahasiswa menjadi
korban); pergeseran dalam relasi LSM-negara; pergeseran dalam ideal HAM dengan
komunitas internasional.

Fragmentasi dan Relativisme Politis

Pergeseran dalam keagenan politik yang paling penting dan drastis terjadi seiring dengan
pertumbuhan partai politik. Pada mulanya penamaan civil society sebenarnya lebih
berfungsi sebagai penampung dari beragam aspirasi politik tetapi yang mengerucut pada
satu hal, yakni kritik terhadap Orde Baru. Dengan demikian civil society pada dasarnya
lebih merupakan semacam diskursus yang memberikan identitas umum dan demarkasi
politik yakni bagi mereka yang berada di luar garis Orde Baru.

Munculnya beragam partai politik menghapus garis demarkasi itu sekaligus memberikan
identitas baru. Dari sini sebenarnya qua konsep civil society memang sudah mulai
bangkrut. Orang yang semula tergabung dalam sistem identifikasi oposisional terhadap
Orde Baru menggantikan sistem identifikasi menjadi anggota atau warga dari partai
tertentu. Dengan itu horizon keterlibatan politik juga berubah, apabila semula horizon
kepolitikan itu langsung mengarah pada tubuh kekuasaan negara dalam artian yang luas,
maka kini, setelah menjadi anggota partai, horizon politik mengalami keterbatasan akibat
institusionalisasi dan administrasi di dalam partai; ia bukan lagi warga dari politik
oposisi, ia sekarang warga dari partai tertentu. Akibatnya referensinya terhadap politik
48

pun menjadi berubah. Apabila semula ia bisa mengambil sikap langsung pada kekuasaan
negara maka di dalam partai sikap yang sama harus diperhitungkan ulang karena perlu
memperhatikan sistem kekuasaan dalam partai.

Perubahan ini juga secara relatif menghasilkan gerak kembali kepada ideologi dalam
bentuk partikularitasnya. Dari sini tubuh civil society itu terfragmentasi ke dalam tubuh
kepolitikan yang lebih beragam dan pejal sekaligus. Dalam gerak kembali dan
fragmentasi itu; permusuhan bergeser menjadi persaingan. Dari satu front (civil society)
yang bermusuhan dengan front Soeharto bergeser menjadi persaingan antara beragam
partai dan kelompok politik. Dengan itu, fragmentasi dan ideologisasi sekaligus juga
berarti konsensualisasi. Sejak saat itu, konsep musuh politik bergeser dan digantikan
menjadi pesaing politik.

Dengan demikian pada akhirnya pluralitas ideologis ini sekaligus juga secara unik dan
paradoks menghasilkan relativisme politik. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi
perdebatan mengenai bagaimana politik transisi disusun. Dalam keadaan di mana konsep
“musuh” telah ditiadakan, maka politik dan aspirasi yang radikal diusir dari gelanggang
politik transisi. Relativisme ini juga berlaku bagi cara pandang kebanyakan mengenai
“masa lalu” dan “masa depan” Indonesia. Satu contoh, misalnya, Soeharto direlatifkan
secara unik dengan “mengurangi jasa” tetapi sekaligus dilakukan dengan “mengurangi
bobot kejahatannya” di masa lalu, sehingga akibatnya tak ada satu hal pun yang bisa
dikenakan kepadanya.

Pergeseran dari Keagenan Sosial ke Keagenan Humanitarian

Pergeseran atau gerak fragmentasi ke partai dan ideologi partai secara sosial
mengakibatkan terserapnya komponen-komnponen dalam civil society itu ke dalam
gugus identitas baru yang merelatifkan peran mereka sebelumnya. Akibatnya, muncul
kebingungan untuk menandai mereka yang dahulu berada di dalam marjin civil society
tapi kini berada di dalam partai politik. Untuk mengatasi itu, metabolisme politik dan
49

sosial di dalam tubuh LSM-LSM menghasilkan suatu proses selektif yang nyaris alamiah
dengan hadirnya kategori keagenan yang baru yakni korban.

Istilah korban menandai sebuah sistem keagenan yang didefinisikan secara residual yakni
dikenakan kepada mereka yang dahulu pernah bersama-sama di dalam civil society,
menjadi korban kekerasan negara sekaligus tetap untuk bergerak di luar sistem
identifikasi partai politik. Dengan demikian, pengalaman kekerasan secara tidak sengaja
dijadikan patokan bagi “keberanggotaan” mereka di dalam tubuh keagenan politik yang
baru.

Kecenderungan ini mendapatkan penguatan sosialnya terutama juga setelah tragedi


kerusuhan Mei menjelang kejatuhan Soeharto. Kerusuhan itu menghasilkan suatu
landscape yang masif mengenai korban manusia yang secara gampang dihanguskan
dalam konflik politik yang juga secara getir dan telanjang terpampang dalam pemahaman
politik orang Indonesia. Dari sini, kejadian itu menegaskan kenyataan yang sering terjadi
dalam sejarah politik Indonesia yakni bahwa politik dan perubahan sekaligus harus
menjadi trauma bagi semua pihak.

Tragedi Mei itu dikonstruksi dalam masivitas yang hampir setara dengan kejadian 65
yang mulai dilupakan, sehingga dengan itu ia secara politis dan sosial bersifat produktif
dalam mentransformasi seluruh sejarah dan persoalan kekerasan negara yang menumpuk
dan terakumulasi menjadi fakta yang tersaji dalam kekinian politik transisi. Dengan itu ia
memberikan warna dan makna baru bagi sejarah kekerasan di Indonesia.

Dalam hal pembentukan identitas politik, rekonstruksi historis ini memang relatif
berhasil. Ini terbukti dari semakin masuk dan terserapnya seluruh eksponen sosial selama
masa reformasi ke dalam sistem penandaan ini, yaitu yang semula bergerak dalam sistem
identifikasi yang beragam yakni sebagai gerakan buruh, gerakan petani, mahasiswa, dan
intelektual mulai berubah dan masuk ke dalam sistem identifikasi yang tunggal yakni:
korban. Terlebih bagi kelompok-kelompok politik korban kekerasan Orde Baru tahun
1965, dalam kondisi di mana partai politik dan fragmentasi ideologis yang terjadi secara
50

politis bersikap diskriminatif terhadap mereka, maka mereka tidak bisa memasuki sistem
identifikasi primordialnya atau masuk ke dalam partai politik mereka sendiri (PKI
misalnya), sehingga identifikasi politik sebagai korban menjadi satu-satunya sistem
identifikasi yang bisa mereka gunakan untuk memperjuangkan hak-hak politik mereka.

Akibat lebih lanjut dari pergeseran dan penunggalan ke dalam sistem identifikasi selaku
korban ini adalah bergesernya basis dari peran aktor politik yang ada. Aktor-aktor yang
semula berbasis secara sosial dan ekonomi-politik berubah menjadi berbasis hak atau
humanitarian. Dari sini, dapat kita nilai bahwa proses ini secara pas bersesuaian dengan
kecenderungan konsensualisasi dan normativisasi politik transisi yang memang sejak
awal dikencangkan oleh elite-elite kekuasaan baru bersama-sama dengan para Negara
donor.

Dengan demikian reformasi, fragmentasi keagenan dan re-ideologisasi politik yang


berlangsung dirancang dalam alur besar sebagai mistar politik yang mendorong
konsensus normatif serta institusionalisasi. Di sini, sejak awal, persoalan dan tuntutan
politis yang lebih radikal seperti keadilan memang mulai ditumpulkan.

Dengan itu, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa penunggalan identifikasi ke


dalam identitas korban itu tidak bermanfaat atau salah. Sebagaimana ditegaskan pada
bagian sebelumnya, proses ini harus dipahami sebagai implikasi politis dari pencarian
diskursus politik yang bisa dijadikan pegangan bersama setelah sandaran pada diskursus
civil society kehilangan makna politisnya. Selain itu, kehadirannya juga mesti dipahami
sebagai akibat dari kenyataan pahit akan ketiadaan suatu politik radikal yang benar-benar
terorganisir. Lebih jauh lagi, identifikasi ini sendiri memang menjadi mutlak diperlukan
manakala perubahan politik yang ada telah terlanjur didefinisikan dalam matriks transisi
yang baku. Kehadiran korban diperlukan supaya objetifikasi normatif agenda transisi ini
menjadi genap. Dengan demikian, kemunculan diskursus politik ini harus dipahami
sebagai “yang bisa dari apa yang mungkin ada”.

Penutup: Apa yang Tersisa?


51

Objektifikasi politik transisi berikut seluruh matriks keagenannya, pada akhirnya juga
berakibat dalam perubahan pola hubungan LSM dan Negara secara umum. Perubahan ini
berlangsung oleh karena normativitas transisionis itu kini menjadi kompartemen yang
terbangun dalam koordinat institusionalisasi kepolitikan reformasi yang menjamin
keberadaan baik negara maupun masyarakat. Hak asasi misalnya sudah bukan lagi tema
dalam norma yang dimiliki secara ekslusif oleh LSM tetapi juga oleh negara, terlepas dari
kenyataan bahwa dalam praktik negara lebih kerap mengingkarinya.

Lebih jauh lagi, institusionalisasi itu sendiri mengandaikan adanya penerimaan bahwa
reformasi bahkan perubahan politik secara umum memang sejatinya harus terlokalisasi di
dalam tubuh, dan oleh, negara. Akibatnya, dalam keadaan dan latar belakang di mana
kekuatan-kekuatan di dalam negara tidak banyak berubah, maka agenda institusionalisasi
itu tidak berada di tangan normativitas reformasi yang paling moderat sekalipun. Dengan
kata lain, reformasi dan institusionalisasi boleh dibilang memiliki sifat “menjebak”
karena ia mengambil alih agenda kepolitikan reformasi itu, memoderasikannya dan
mengatur irama serta arahnya.

Dalam keadaan itu, ditambah dengan makin tergerusnya basis legitimasi sosial akibat
kemunculan beragam partai politik, maka pilihan-pilihan politik buat LSM menjadi
sangat terbatas. Dengan itu, betapapun ia memiliki sikap yang keras terhadap negara pada
saat yang sama ia juga tetap mesti tunduk pada pola permainan dan konsensus dengan
negara.

Dengan perubahan dan pergeseran ini, maka meskipun LSM bisa terus menerus
menghidupkan dan mereproduksi klaim lamanya selaku “fasilitator” masyarakat, namun
dalam kenyataan ia sudah tidak lagi memegang dan mengendalikan peran itu. Perubahan
dalam format donor yang disertai ketidaksiapan LSM sendiri dalam mengatur serta
membangun masyarakat basis yang mampu mengurus dirinya secara otonom, ditambah
dengan tawaran yang lebih nyata dari partai politik menjadikan klaim dan basis keagenan
politiknya menjadi tergerus. Sebagian LSM menghadapi gejala ini dengan menaikkan
52

volume dan frekuensi kritik untuk tetap berarti, sebagian lagi mengubah orientasi dengan
mencoba merogoh kekosongan “hegemonik” pada lubang kekuasaan politik yang oleh
karena pragmatisme yang ekstrem sama sekali kosong intelektualitas. Sebagian lagi
berubah menjadi lembaga-lembaga konsultan pembangunan dan pemilihan umum.
Sebagian lagi banting stir jadi pebisnis bendera partai. Sebagian lagi, sambil menutupi
diri dari kegagalan, membangun organisasi “meradikalisasi diri sendiri” sedemikian rupa
sambil mengutuk dunia tanpa henti.

Selain itu, gejala terakhir yang juga menimbulkan efek penting bagi orientasi LSM dan
pergeseran keagenan politiknya adalah dalam soal perang Irak, isu terorisme dan
fundamentalisme. Kecenderungan dalam konservatisme neoliberal yang memunculkan
berbagai ketegangan baru di dunia, telah melahirkan respon yang berbeda-beda di
berbagai tempat. Dalam konteks Indonesia, terjadi fragmentasi dan gerak kembali kepada
ideologi yang berjalan secara timpang karena hanya diisi oleh artikulasi politik Islam,
pragmatisme dan nasionalisme kuno. Respon terhadap konservatisme neoliberal terutama
terartikulasi dalam politik Islam.

Dari segi idea, kenyataan semacam ini pada dasarnya mendatangkan tantangan ganda
bagi segelintir LSM yang kini masih tersisa. Ia seperti terpojok pada dua pilihan yang
sangat terbatas: berpihak dan meneruskan kerja samanya dengan negara-negara donor
tradisional yang dulu membantunya tetapi yang tangannya juga berdarah dalam perang
Irak atau menolaknya dengan implikasi dan kemungkinan berpihak pada kelompok
fundamentalisme agama?

Di dalam ancaman kehilangan peran dan kekosongan keagenan politik, sejumlah LSM
merespon dengan mengambil bentuk ekspresi politik yang ganjil. Radikalisme yang
disuguhkan kepada diri sendiri mendorong sebagian LSM mengambil pilihan untuk
melakukan koalisi-koalisi setengah hati dengan fundamentalisme agama. Di sini, demi
menjaga identitas, ia mengorbankan esensi politik ideologisnya. Dari sini, kenyataan
bahwa terdapat kebingungan dalam merumuskan sistem identitas baru dalam politik
demokratis yang telah berubah menjadi sangat jelas terpampang.
53

Bab 2

Kritik Atas Logika Transisi di Indonesia27

Pengantar

Hampir seluruh instalasi kepolitikan yang menjadi aspirasi demokratis di masa otoritarian
telah didirikan di masa kini: partai politik yang bebas dan beragam, pers yang merdeka,
hak asasi manusia serta komisi-komisi negara yang bahkan jumlahnya sudah berlebihan.
Bagi sebagian pihak, demokrasi sendiri bahkan sudah dianggap mulai “membosankan”
sehingga dengan itu mereka sudah mulai beranjak meninggalkan demokrasi dan
mengajukan beragam keinginan baru. Semangat, aspirasi dan dinamika perubahan
seakan-akan sudah tidak diperlukan. Hari-hari reformasi nyaris tinggal kenangan,
semacam the good old days yang manis tapi lapuk.

Kelapukan itu dengan segera dapat dikonfirmasi dengan seluruh realitas hukum dan
politik hukum yang mengisi tahun-tahun belakangan ini, di mana hampir seluruh
peralatan hukum yang selama ini dijejalkan sebagai prosedur yang bisa menjamin
keadilan transisional telah habis terpakai: UU Partai Politik, Pemilu dan Amendemen
Konstitusi. Tanda fenomenal dari keusangan masa reformasi kemudian dapat dilihat
dalam tiga peristiwa, yaitu: pertama, dibentuknya peradilan hak asasi manusia untuk
kasus Timor Leste yang dianggap sukses dengan membebaskan seluruh pejabat Indonesia
dari tuntutan; kedua, dicabutnya Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,

27
Bentuk dasar naskah ini pernah diterbitkan dengan judul “Dari Transisi ke Kontingensi: Hak
Asasi Manusia di Era Pasca-Soeharto” dalam Jurnal Dignitas, Vol. III, No. 1, Tahun 2005, hlm. 191-217.
54

dan; ketiga, tentu saja kematian Soeharto yang sebelumnya telah dilapangkan dengan
pencabutan tuntutan hukum terhadapnya oleh Kejagung.

Masa lalu sudah dikubur, memori tragedi ditutup besi hukum. Pada akhirnya yang tersisa
adalah rayuan untuk semata-mata memandang “ke depan” dan melupakan sejarah.
Seluruh proses dan mekanisme penutupan sejarah serta pengingkaran terhadap keadilan
transisional itu bersifat resmi, sah, karena dilakukan melalui jalan hukum yang
konstitusional yang sesuai dengan tuntutan reformasi itu sendiri. Bahkan dalam hal
pembatalan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi, hal itu tampak tragis
dan menyedihkan justru sebagian sebagai akibat manuver sejumlah korban sendiri dan
egotisme segelintir legalis di LSM-LSM yang lebih banyak berfikir demi kepentingan
isu-isu mereka sendiri tanpa mempertimbangkan segi-segi politis dan sensitivitas dari isu
pembantaian tahun 1965.

Dengan kata lain, yang terjadi saat ini adalah kita dibujuk untuk menerima saja tatanan
demokrasi tanpa kritik dan pengingkaran terhadap Orde Baru. Inilah demokrasi without a
cause, demokrasi tanpa pendasaran emansipatif. Di titik inilah sesungguhnya kita
kemudian menemukan deadlock terbesar dalam demokrasi kita, yakni bahwa ia – sebagai
sintesis – dipaksa untuk hidup dalam imperatif yang sama dengan yang mestinya
menjadi tesisnya; sintesis diperosotkan sebagai tesis. Ini yang membuat demokrasi
sekarang tetaplah bukan atau belum demokrasi, karena secara “moral” ia tidak pernah
dimurnikan dari musuh-musuh lamanya.

Maka kini, yang jadi persoalan adalah dalam keadaan di mana seluruh peralatan politik
demokratis yang disediakan dalam matriks transisi itu sudah habis dan menguap, apa
yang masih bisa dilakukan untuk mengisi cause dalam demokrasi sekarang? Sejauh mana
sebuah kepolitikan dengan basis emansipasi masih dimungkinkan?

Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan dua strategi. Yang pertama adalah secara
epsitemik kita mesti mengubah cara pandang terhadap perubahan politik, dalam hal ini
kita harus menolak cara pandang transisionis yang melihat perubahan politik sebagai
55

bongkahan-bongkahan periode besar: otoritarianisme-transisi-demokrasi-konsolidasi


demokrasi dan sebagainya. Yang kedua, sejauh yang hendak diusahakan politik, maka
yang normatif dan transendental mesti dinomorduakan.

Pembakuan Transisi yang Mematikan Politik

Pandangan dominan mengenai proses demokratisasi dan hak asasi manusia di Indonesia
berpusat pada kombinasi dua tesis besar yakni tesis universalis dan tesis transisionis-
mekanis. Tesis universalis yang berkembang dalam era pasca-otoritarian di Indonesia
pada dasarnya merupakan kombinasi dari ide liberal dan libertarian yakni pandangan
demokrasi dan hak asasi manusia yang menganggap standpoint “the primacy of the
universal over the particular” sebagai sumber utama dan sarana penumbangan kekuasan
politik otoritarian plus anggapan bahwa salah satu tujuan pokok dan objektif dari politik
alternatif otoritarian adalah sedemikian rupa meminimalisasi kapasitas sosial, politik
negara karena dianggap di masa lampau ia merupakan sumber segala bentuk perampasan
hak-hak dan kebebasan individual. Jadi yang satu menekankan universalitas dan yang
satunya menekankan kebebasan individual.

Namun terlepas dari perbedaan penekanan mengenai peran negara dalam distribusi dan
keadilan (negara minimum, versus negara regulasionis), liberal maupun libertarian, sama-
sama bersepakat pada pandangan mengenai individu sebagai pembawa hak-hak dan
mandat hukum yang universal serta tertinggi dan mengabaikan sama sekali kekuatan dari
praksis politik diferensial kolektif (misalnya gerakan buruh, petani, gerakan perempuan,
mahasiswa) di dalam ruang sosial yang mengisi bentuk politik dari ideal universal
tersebut.

Tesis transisionis melihat perubahan politik dan perjuangan HAM sebagai proses dan
prosedur yang baku yang dapat digambarkan dalam model pentahapan politik yang pasti
nyaris matematis, dan terstandardisasi yakni dari non-demokrasi-transisi-dan demokrasi
penuh. Pandangan semacam ini, sangat dipengaruhi oleh gagasan Huntington mengenai
konsolidasi demokrasi dari negara-negara yang mengalami gelombang demokrasi ketiga.
56

Menurutnya, pada fase ini terdapat problem-problem khusus seperti masalah reformasi
politik militer, mengatasi masalah kekejaman di masa lalu dan pendirian kebudayaan
politik demokratis. Melalui pengamatan itu, Huntington melihat adanya semacam pola-
pola besar dalam gelombang demokrasi. Pola-pola ini yang kemudian cenderung untuk
dijadikan model baku perubahan politik dunia ketiga.

Dalam penerapannya, model dan pembakuan proses politik ini secara apriori meramalkan
bahwa proses-proses dalam politik pasca-otoritarian akan secara naturalistik memang
mengarah kepada pembentukan kepolitikan yang baru yang dengan itu mengandaikan
kebenaran adanya “demokrasi yang penuh” itu memang tersedia secara politik apabila
kita berhasil mengkonsolidasi democratic security. 28 Politik dilihat dalam penggalan-
penggalan periodik atau masa antara dari situasi perubahan politik dari masa otoritarian
dan/atau kediktatoran menuju ke arah demokrasi.29 Jadi di dalam pengertian transisi ada
asumsi mengenai tahapan dan spasi dari suatu tipe rejim otoritarian menuju ke arah
“partial democracy” dan kemudian demokrasi penuh.

Trajektori baku transisi ini tergambarkan dalam penjabaran yang lebih rinci melalui
model yang dibangun oleh Pinkney di bawah ini yang untuk beberapa hal memang
melanjutkan saja paparan dari transisionis semacam Huntington.

Tabel: Basis Kelemahan Rejim Otoritarian dan Kemungkinan Pembentukan


Rejim Transisi

TITIK LEMAH REJIM ARAH DAN MODEL KONSEKUENSI YANG


OTORITARIAN TRANSISI YANG MUNGKIN MUNGKIN TERJADI BAGI

28
Lihat dalam Samuel P. Huntington (1991), Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Grafiti
Pers.
29
Apabila kita mengikuti cara pandang Huntington maka transisi dalam konteks gelombang
demokrasi di seluruh dunia bisa dipetakan dalam tiga tahapan sesuai dengan tiga gelombang demokrasi
yang pernah terjadi yakni transisi yang melahirkan gelombang demokratisasi pertama yang terjadi dalam
periode 1828-1826 yang secara historis berakar pada Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika; kemudian
transisi menuju gelombang demokratisasi kedua dalam kurun 1943-1962, dan yang terakhir adalah
gelombang demokrasi ketiga yang dimulai pada tahun 1974 yang dimulai pada masa jatuhnya kediktatoran
di Portugal. Lihat dalam Samuel P. Huntington (1991), ibid., hlm. 15-28.
57

TERJADI REJIM TRANSISI


Aliran-aliran dan perbedaan Pengunduran diri secara Berkelanjutannya peran
dalam tubuh militer otoritarian bertahap dan sistemik militer disertai menguatnya
peran elite sipil.
Keputusan dan kebijakan yang Pengunduran rejim yang Berlanjutnya peran militer,
tidak populer dan tidak efektif terjadi secara lebih cepat. pembersihan petinggi-petinggi
politik, dilanjutkan oleh peran
elite sipil.
Rejim yang tidak efektif secara Mundur di bawah tekanan Rejim pengganti menghadapi
umum. permanen warisan permasalahan yang
membuatnya tetap lemah
sedemikian rupa; berlanjutnya
kekuasaan elite sipil dan
peran militer.
Disintegrasi politik dan Pengunduran secara cepat. Berlangsungnya kekuasan
administrasi. elite sipil dan militer; namun
rejim demokratis yang
terbentuk hanya memiliki
kapasitas yang terbatas.
Disintegrasi ekonomi Pengunduran cepat. Berlangsungnya kekuasan
elite sipil dan militer; namun
rejim demokratis yang
terbentuk hanya memiliki
kapasitas yang terbatas.
Perubahan sosial yang tidak Variatif Peran militer ataupun elite sipil
terkendali. yang besar sementara
kapasitas rejim demokratis
yang terbentuk bervariasi
dengan persoalan sosial dan
ekonomi.

Sumber: Pinkney, Robert.(1993), Democracy in the Third World, Buckingham:


Philadelphia, Open University Press, hlm. 160.

Tabel Pinkney mempraktikkan logika linear perubahan politik yang secara keliru
mengasumsikan demokrasi dan sejarah politik sebagai barang padat yang tidak bisa
berubah. Dalam matriks ini, instabilitas dan perubahan dimaknai sebagai semata-mata
58

kemungkinan dalam otoritarianisme. Sementara dengan otoritarianisme yang dirujuk


adalah bentuk formalnya saja. Kesalahan terbesar dari tabel Pinkney ini adalah bahwa ia
sama sekali tidak mampu mencakup kenyataan misalnya: pertama, instabilitas yang justru
menjadi gejala umum dan ciri utama dalam demokrasi; kedua kemungkinan bahwa
meskipun bentuk formalnya telah dijatuhkan, otoritarianisme masih bisa hidup dalam
bentuk-bentuk tubuh politik yang non-formal.

Inkonsistensi yang sama sebenarnya juga telah ada di dalam pandangan Huntington
mengenai gelombang-gelombang demokrasi, misalnya ketika ia mengajukan Argentina
dan Italia sebagai negara-negara yang mengalami “first long wave democratization” pada
periode antara 1828-1926. Namun demikian setelah terbukti ketika Argentina jatuh –
bahkan dua kali – dalam kediktatoran dan Italia jatuh ke dalam fasisme, Huntington
secara “gampangan” menamakan kejatuhan demokrasi ini sebagai gelombang balik saja.
Ketimbang memikirkan ulang kelemahan dialektis dalam standardisasi teoretisnya dan
mengakui bahwa demokrasi pada substansinya selalu terbuka dan karenanya tidak dapat
dikonseptualisasi secara tertutup, ia malah “menambal” kelemahan itu dengan
menamakan secara sederhana gejala kejatuhan demokrasi itu sebagai “reverse wave”.

Pada titik ini argumen transisionsis ini mencoba menghadirkan semacam ilusi mengenai
sesuatu yang disebut sebagai “demokrasi lengkap dan lestari” yang bisa dicapai apabila
masa transisi berhasil dilampaui dan demokrasi berhasil “dikonsolidasi”. Sebagai
akibatnya, dengan landasan ilusif semacam itu, transisionis biasanya bernegosiasi dengan
pendekatan institusional yang meletakkan agenda politik terbatas pada urusan prosedural
dan penataan infrastruktur formal pasca-otoritarianisme. Dengan begitu, demokrasi bagi
transisionis adalah demokrasi dalam pengertian yang sangat terbatas: normatif,
institusionalis dan sangat prosedural.

Salah satu penerapan pandangan transisionis dapat dilihat misalnya dalam sodoran
mereka mengenai “pola dan isi dari transisi politik”, yang di dalam Huntington
dielaborasi dalam konsepnya mengenai konsolidasi demokrasi, yakni bahwa dalam
rangka memperkuat demokrasi maka diperlukan upaya penanganan terhadap kejahatan.
59

Pandangan ini juga gagal memahami bahwa bahkan di negeri-negeri di mana lembaga-
lembaga demokrasi yang ada telah dianggap paripurna sekalipun dan telah berdiri lebih
awal, demokrasi masih menghadapi tantantangan-tantangan nyata yang mensyaratkan
pertarungan yang fundamental secara tersendiri sebagaimana terlihat dalam kasus
Perancis di tahun 2002, di mana demokrasi Perancis dan masa depan Perancis sebagai
negeri kebebasan dan hak asasi manusia terancam oleh kemunculan neo-fasisme yang
diwakili oleh munculnya pemimpin neo-fasis Le Pen. Contoh lain yang bisa diungkap di
sini adalah pengalaman demokrasi Amerika yang kini harus menghadapi tantangan global
dan pertanyaan serta kritik mendasar mengenai demokrasi, keadaban publik dan hak asasi
manusia, sebagai akibat kebijakan agresi dan unilateral dari pemimpin politik mereka
sendiri.

Di titik ini, jelas bahwa gagasan yang melihat politik sebagai sebuah fase mekanis di
mana demokrasi dinyatakan sebagai barang jadi yang bisa dipetik secara apriori adalah
ilusi besar. Transisionis melupakan fakta bahwa untuk dapat benar-benar demokratis,
maka demokrasi harus membawakan dirinya sebagai “tidak lengkap”. Sebab kondisi-
kondisi yang memungkinkan demokrasi itu sendiri pada saat yang sama juga selalu
menghasilkan kondisi-kondisi yang merintangi pemenuhan demokrasi itu secara penuh.
Sebagai contoh, toleransi dan kebebasan yang dimungkinkan oleh demokrasi pada
praktiknya juga memberikan kemungkinan untuk hidupnya paham-paham dan partai
yang tidak sepenuhnya menyetujui demokrasi pluralis. Artinya, di hadapan realitas politik
ini setiap agen selalu memegang kewajiban dan mandat politik untuk senantiasa hidup
dalam situasi keterbukaan. Justru, persis manakala muncul niat untuk menutup celah
dalam demokrasi, maka demokrasi akan menjadi bukan demokrasi lagi melainkan
totalitarianisme.

Demokrasi sebagai Perjumpaan yang Partikular dan Universal

Apabila kita melihat demokrasi dan hak asasi manusia sebagai imajinasi terluas dari
pergulatan dan perjuangan politik umat manusia maka dengan mudah kita bisa
60

memeriksa kesalahan-kesalahan klaim politik transisionis. Yang utama adalah mereka


gagal menafsirkan dan memperoleh pengertian mengenai apa makna dari “the political”
atau “yang politis” yang melibatkan agen-agen sosial, proses “rantai kesadaran” dari
agen-agen 30 yang terus berubah dari waktu ke waktu.

Misalnya, dalam konteks penumbangan rejim-rejim otoritarian di dunia ketiga.


Kehancuran dan perlawanan terhadap totaliterianisme di negara-negara dunia ketiga tidak
pertama-tama disebabkan oleh adanya seperangkat ide transendental tentang hak
universal yang secara lengkap dipegang oleh beragam kelompok masyarakat kelas bawah
yang ditindas. Melainkan pengalaman konkret partikular dalam penindasan, disakiti,
dihancurkan martabatnya yang membuat mereka kemudian mencari penalaran
instrumental untuk menghadapi sang rejim. Dengan demikian cakrawala imajinatif dalam
penindasan yang spesifiklah yang menuntun mereka. Bukan pertama-tama pelaksanaan
ide universalitas itu yang mendobrak kekuasan rejim politik itu, melainkan pertemuan
pengalaman penindasan dalam horizon kebersamaan itulah yang menjadi alas bagi
resistensi.

Pengalaman bersama dalam ruang sempit totaliterian inilah yang kemudian membentuk
rantai kesadaran (chains of equivalence) dari aktor-aktor yang berbeda ini. Rantai inilah
yang kemudian secara politik berhasil mengangkat dan mengekspresikan kesamaan serta
mentransendensi beragam identitas partikular dari setiap agen (kaum minoritas, buruh,
petani, mahasiswa, perempuan) ke dalam suatu political demand yang memiliki dimensi
universal. Jadi di dalam proses transendsensi inilah kemudian aspek partikular dari sosial
itu dinegasikan.

Dengan begitu, universalitas (persamaan, kebebasan, dll.) hanya bisa relevan apabila
didefiniskan dan diisi dengan dan dalam kekuatan dari yang partikular. Universalitas
memang memiliki peran tetapi itu hanyalah sebatas sebagai sebuah “tempat kosong”
yang mempersatukan perangkat-perangkat tuntutan equivalensial dari keberagaman agen-

30
Mengenai konsepsi ini lihat dalam Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985), Hegemony and
Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics, London: Verso.
61

agen sosial di masyarakat. Ia adalah semata-mata “political imaginary” yang hanya


bermanfaat apabila berhasil dipetik dari dunia ide yang dibawa keluar dari buntalan
mitosnya dan untuk selanjutnya diisi dengan praksis politik yang konkret.

Determinasi partikular terhadap yang universal bisa dijelaskan dengan cara yang berbeda
dengan mengambil contoh gerakan perempuan di abad ketujuh-belas sebagaimana
diungkap Laclau dan Mouffe. Menurut mereka, hanya apabila dari momen di mana
democratic discourse atau dalam kasus ini kita sebut saja sebagai political imaginary
(misalnya equality, justice) tersedia untuk mengartikulasikan bentuk-bentuk resisten yang
berbeda-beda terhadap subordinasi maka kondisi-kondisi yang memungkinkan
perlawanan terhadap ketidakadilan menjadi mungkin.

Dari pengalaman gerakan perempuan, keduanya meyakinkan bahwa persamaan dan


kesataraan sebagai democratic discourse yang berdimensi muncul menjadi penantang
segala bentuk ketidakadilan dan subordinasi hanya dengan melalui beberapa proses.
Pertama adanya relasi subordinasi di mana agen (dalam hal ini misalnya perempuan atau
budak) berada di bawah kendali putusan pihak lain (misalnya tuan dan majikan ataupun
suami dalam hubungan keluarga). Pada kondisi ini, ketegangan dan resistensi tidak secara
otomatis muncul. Yang muncul dalam setiap relasi subordinasi adalah biasanya
bekerjanya proses differential position atau the logic of difference. Dalam pengertian
Laclau dan Mouffe dijelaskan sebagai proses identifikasi di mana antara agen satu
dengan yang lain dalam hal ini antara “suami” dengan perempuan, budak dan majikan
dibuka secara jelas. Kondisi ini kemudian berubah menjadi relasi opresi di mana situasi-
situasi subordinasi kemudian bertransformasi menjadi situasi antagonistik sebagai akibat
adanya penafsiran dan pasokan atas makna dari subordinasi. Di titik ini peran poltical
imaginary menjadi signifikan dalam memberikan demarkasi dan identitas politik antara
the oppressor vis-á-vis the oppressed. Kondisi yang ketiga adalah relasi dominasi, di
mana sebagai akibat dari penguatan political imaginary, hubungan-hubungan subordinasi
yang mendasari opresi itu kemudian secara jelas bisa dilihat dan dinilai oleh pihak
ataupun agen-agen yang berada di luar situasi-situasi subordinasi itu. Relasi dominasi
adalah relasi subordinasi yang telah mengalami transendensi dan penafsiran dari pihak
62

ketiga. Proses inilah yang kemudian memungkinkan pembentukan chains of equivalence


dan perjuangan perempuan menghadapi ketidakadilan menemukan artikulasinya yang
hegemonik dan universal.

Sekali lagi, yang mau ditegaskan di sini adalah kenyataan bahwa “seting universal” atau
katakanlah prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan dan persamaan harus terlebih
dahulu di-imposed sebagai matriks imajinasi sosial atau sebagai instrumen konstitutif
dalam proses artikulasi politik dari aktor-aktor yang plural dan partikular, setelah itu
barulah ia menjadi berarti dalam perubahan politik yang diinginkan.

Dengan demikian apa yang disebut sebagai universal sebenarnya harus diartikan sebagai
relative universality, karena realisasinya sangat ditentukan oleh suatu tindakan politik.
Momentum universalitas adalah sesuatu yang unachievable, ia selalu memprasyaratkan
tindakan pemenuhan. Di titik ini democratic discourse ataupun HAM itu sendiri haruslah
dimengerti sebagai totalitas antara ideal dan tindakan. Keduanya berelasi dalam suatu
proses dialektik yang tiada habis-habisnya. Upaya orang untuk memberi definisi politik,
perluasan makna maupun pemenuhannya terus berkembang dan berubah seiring dengan
situasi-situasi dan tantangan yang ada. Demokrasi, hak asasi manusia serta segala jenis
ideal politik yang pernah disusun orang sebagai political imaginary hingga kini masih
terus menjadi isu dambaan betapapun orang telah berusaha mencapainya; mengubah dan
membetulkan sistem kemasyarakatan, menjatuhkan dan membangun suatu rejim politik,
tetap saja ia tidak akan pernah mencapai situasi fullness.

Demokrasi dan hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan Lefort31 adalah “momen
kosong” atau “penanda kosong” di dalam Laclau, yang untuk mencapi makna politik
terbaiknya diperlukan upaya agar mencapai efektivitasnya bagi perjuangan emansipasi.
Ini bisa secara empiris dilihat dari apa yang dirumuskan orang mengenai hak asasi
manusia pada era pasca-Perang Dunia Ketiga sebagai hasil refleksi atas perang dan
kebiadaban fasisme, bukan masih menjadi ideal dan terus berubah hingga sekarang;

31
Claude Lefort (1988), Democracy and Political Theory, Cambridge: Polity Press.
63

bahkan ia makin variatif dengan kehadiran jenis-jenis hak baru mulai hak-hak
perempuan, hak-hak minoritas dan masyarakat adat.

Dengan posisi semacam ini maka jelaslah bahwa demokrasi dan perjuangan hak asasi
manusia, sebagai bagian dari suatu perjuangan politik, berjalan sebagai suatu pengalaman
yang terus menerus terbuka dan undecidable. Apa yang universal tampil untuk kemudian
menegasikan identitas partikular. Namun demikian, isi dan pembentukan makna di
dalamnya terjadi hanya melalui dan di dalam pertarungan politik untuk hegemoni, di
mana tuntutan partikular diuniversalisasikan dan tuntutan yang lainnya dimarjinalkan.

Salah satu contoh yang dengan sangat baik digambarkan oleh Laclau adalah mengenai
kembalinnya Peron di tahun 1973. Sebagaimana diketahui setelah kudeta militer tahun
1955, rejim Peron tersingkir dari panggung politik Argentina. Selanjutnya Argentina
dikuasi oleh kuasi rejim militer dan pimpinan politik sipil yang sama sekali tidak
memiliki kapabilitas untuk memenuhi tuntutan-tuntutan rakyat melalui institusi
kepolitikan yang ada. Dengan demikian terjadilah serial suksesi kepemimpinan yang
justru makin lemah legitimasinya dan makin menanggung beban kumulatif kekecewaan
politik rakyat.

Di sinilah kemudian tuntutan politik ini berubah menjadi “the logic of difference” di
mana kelompok-kelompok partikular seperti gerakan buruh, kaum miskin dan
tunawisma, pengangguran bertemu dalam artikulasi yang sama. Pada titik inilah
kemudian dihasilkan momen universalitas, di mana kelompok-kelompok kepentingan
yang berbeda berada dalam suatu wilayah diskursif yang sama – dipersatukan oleh
kepentingan dan tuntutan politik – bukan dipersatukan oleh prinsip metafisik “original
position” ala liberal. Di titik inilah the logic of difference bertransformasi menjadi “the
logic of equivalence”. Proses ini berlangsung sepanjang 10 tahuh lebih yakni antara tahun
1960-an hingga tahun 70-an, sementara Peron sendiri pada saat itu, masih berada dalam
pengasingannya di Madrid. Seiring dengan dan dalam proses de-institusionalisasi yang
kencang inilah kemudian aspirasi Peronis terus berkembang dan mengisi dari jauh
kebuntuan politik yang terjadi saat itu. Peronisme pada akhirnya menjadi satu-satunya
64

pilihan logis yang memperasatukan barisan popular, ia dengan kata lain menjadi
(counter) hegemonic block yang potensial menggantikan rejim politik yang ada saat itu.
Pada akhirnya di tahun 1973, setelah kemenangan dalam pemilu, Peron kembali ke
Argentina, kali ini bukan sebagai buangan tetapi sebagai presiden yang terpilih
kembali. 32 Ia bukan lagi empty signifier atau political imaginary, dia telah menjadi the
real.

Kemungkinan dan analisis sejenis bisa juga diajukan untuk konteks Indonesia. Politik
pasca-Soeharto, sebagaimana yang telah berlangsung hingga saat ini sama sekali tidak
memiliki jaminan untuk mencegah kembalinya politik dan aspirasi “Soehartois” atau
katakanlah Orde Baru. Kemungkinan ini, paling tidak bisa terjadi akibat sejumlah faktor.
Pertama, karena konsekuensi politik dari kehadiran kondisi demokrastis sendiri yang
mengharuskan untuk memberikan toleransi kepada perbedaan dan aspirasi politik, bahkan
terhadap Orde Baru sekalipun. Kedua adalah fakta bahwa perubahan-perubahan dan
praktik kekuasan yang berlangsung justru makin menurunkan kualitas dan legitimasi
politik demokratis yang telah diraih sebagaimana terlihat dalam berbagai kasus
penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, seiring dengan dua
kecendrungan di atas, di tingkat yang lain, pada saat yang sama, terdapat tuntutan
partikular dari kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat seperti buruh, petani
penggarap, kaum miskin perkotaan dan kelas menengah yang tidak pernah dapat dipenuhi
secara memuaskan oleh rejim politik yang ada.

Kombinasi dari faktor-faktor tersebut pada tahap yang lebih jauh berkemungkinan
mendeinstitusionalisasikan rejim dan pranata demokratis yang ada, untuk kemudian
menghasilkan sejenis ruang vacuum yang mendelegitimasikan kepemimpinan politik
demokratis apa pun. Sementara pada saat yang sama political demands dari beragam
kepentingan dan agen seperti gerakan buruh, petani, mahasiswa, kamum miskin dan tuna
wisama, kelompopk-kelompok agama, kelas menengah dan terpelajar, terus menerus
tumbuh dan membesar tanpa dapat dibendung. Tuntutan politik ini mungkin saja
berkembang dan membentuk chains of equivalence baru.

32
Lihat dalam Ernesto Laclau (1996), Emancipation(s), London, New York: Verso, hlm. 54-55.
65

Selain itu dalam situasi di mana partai-partai politik yang ada sama sekali tidak mampu
memberikan jawaban dan akomodasi yang memadai, maka adalah wajar apabila
kemudian massa popular ini kemudian kembali mancari dan melihat Orde Baru sebagai
faktor dan alternatif. Dalam situasi kekosongan semacam itu, “Soehartois” yang pandai
dan teruji akan dengan mudah memanfaatkan situasi ini untuk membentuk hegemonic
block baru dan kembali ke panggung politik.

Situasi-situasi seperti ini sesungguhnya telah mulai berlangsung dan terjadi di depan
mata. Yang kurang dalam proses antagonistik ini adalah upaya “Soehartois” untuk
menemukan titik artikulasi atau pembentukan discourse dominan, yang bisa
mempersatukan seluruh kekuatan politik yang ada dalam suatu political frontier untuk
menghadapi rejim politik saat ini. Apabila ia berhasil menemukan dan membentuk
kesatuan artikulatif ini, maka secara politik ia memiliki kesempatan dan kekuatan untuk
mentransformasikan dirinya kembali dari “the empty signifier” dari the “ancient regime”
menjadi the real.

Karenanya di sini sekali lagi hendak ditegaskan, demokrasi bukanlah dan tidak pernah
akan menjadi “barang jadi” atau sesuatu yang “fullness” dan decidable, sehingga dapat
diramalkan dan difasekan sebagai sebuah “historical neccessity”. Demokrasi adalah
“floating signifier” yang terus menerus bergerak seiring dengan tindakan dan pertarungan
politik yang mengisi di dalamnya. Dengan situasi ini, hak asasi manusia pun sangat
bergantung dari proses pertarungan sejenis. Dalam konteks di mana ideal mengenai
“national security” dan “organic state” masih demikian kuat, maka perjuangan hak asasi
manusia yang bertujuan memulihkan hak-hak korban dan menghukum para pelaku, akan
dengan segera berhadapan dengan dominant discourse mengenai “melemahkan TNI
berarti melemahkan NKRI”.

Di sini, impunity hanya merupakan reflkeksi dari artikulasi kepentingan militer dan
kelompok politik konservatif yang sedang menguat, yang hanya bisa diselesaikan oleh
66

suatu pertarungan politik baru dengan kekuatan yang memadai. 33 Ini hanya sekadar
ilustrasi dari perbedaan implikasi teoretis yang mungkin antara transisionis yang
menganggap demokrasi sebagai fase dengan finalitas ilusif dengan gagasan politik yang
melihat demokrasi lebih sebagai “political imaginary”.

Kondisi-Kondisi Diskursif 34 Hak Asasi Manusia di Indonesia

Berlandaskan pemahaman dan kritik teoretis di atas maka dengan segera kita bisa
memposisikan HAM sebagai bagian dari sebuah democratic discourse mengingat
perjuangan HAM merupakan bagian inheren dalam perjuangan demokrasi itu sendiri.
Ideal-ideal dalam perjuangan HAM adalah sekaligus ideal-ideal dalam perjuangan
demokrasi. Dalam konteks Indonesia, apabila kita hendak secara lebih mendalam melihat
sejauh mana relasi HAM dengan tantangan terbarunya maka ada baiknya terlebih dahulu
memetakan “discursive conditions” dari perjuangan HAM di Indonesia.

Untuk itu kita bisa melihatnya melalui sejumlah faktor.

Faktor pertama adalah pembentukan negara dan rejim politik dalam kaitannya dengan
dinamika kapitalisme pinggiran di negara-negara dunia ketiga. Faktor ini membantu kita
untuk melihat sejauh mana pembangunan kapitalis di negara-negara dunia ketiga yang
kebanyakan didukung oleh rejim-rejim otoritarian berpengaruh terhadap pembentukan
dan keberlangsungan watak negara dan kemudian persoalan-persolan demokrasinya.

Banyak pengamat mendefinisikan ketegangan sosial dan politik yang berlangsung hingga
kini merupakan hasil dari berlanjutnya pertentangan antara kepentingan-kepentingan dan

33
Dalam konteks ini kaum transisionis yang – dengan segala hormat – saat ini gigih
memperjuangkan keberlangsungan impunity melalui kritik legal prosedural, gagal melihat dan
merefleksikan pengalaman politik bahwa militer dan kepentingan militer hanya bisa dihadapi dan dihadang
melalui pertarungan politik yang konkret, sebagaimana tercermin dari pengalaman pertarungan gerakan
mahasiswa sepanjang 1998-2000 yang berhasil mengalahkan politik militer dalam RUU Keadaan Bahaya
pada waktu itu.
34
Untuk detail tentang hal ini lihat dalam James Putzel (1997), “Why Has Democratisation been a
weaker impulse in Indonesia and Malaysia than in the Philiphines?” dalam Potter (eds.), ibid., hlm. 240-
269.
67

perebutan antara faksi-faksi politik-modal domestik berhadap-hadapan dengan faksi-faksi


politik-modal yang bermaksud meletakkan kembali penataan ekonomi di bawah
bimbingan kekuatan-kekuatan multinasional. 35 Gejala dan ketegangan ini sebenarnya
telah berlangsung semenjak menjelang jatuhnya Soeharto.

Untuk itu dalam beberapa hal yang substansial, jatuhnya Soeharto harus diartikan sebagai
penyingkiran tiran binaan modal asing yang telah dianggap makin lamban dan inefisien
(korup) serta makin condong menyeret ekonomi dan penataan modal ke tangan
lingkungan-lingkungan terdekatnya sendiri terutama keluarga. Keberatan ini tampak
misalnya dari protes Bank Dunia dan WTO sebagai akibat dari kebijakan industri
otomotif menjelang era kepemimpinan Soeharto yang memangkas pajak dan
diskriminatif demi melapangkan jalan perusahan golongan pemodal kroni untuk
mengelola bisnis tersebut. Ini hanya salah satu contoh. Hal lain yang juga krusial
menyangkut perubahan ini adalah bahwa para pimpinan badan keuangan dunia melihat
ketidakmampuan rejim itu untuk secara sungguh-sungguh memusnahkan inefisiensi
dalam ekonomi akibat korupsi dan “politik palak”, sebagaimana tersebut dalam
rekomendasi Bank Dunia tahun 1997.

Dengan demikian, kejatuhan Soeharto dan dimulainya era pasca-Soeharto di satu sisi
dapat dilihat sebagai implikasi dari ketidakmampuannya untuk memperbarui dan
menyegarkan model pembangunan kapitalis di Indonesia. Artinya dari sudut ini, tidak
heran apabila kelanjutan perubahan sosial dan politik di Indonesia di kemudian hari amat
ditentukan oleh model-model asistensi lembaga-lembaga dan rejim modal Internasional.

Dari sini menjadi jelas, bahwa terlepas dari sejumlah aspirasi dan radikalisme yang
sempat berkembang dan menjadi atmosfir di sepanjang tahun-tahun penjatuhan rejim
Orde Baru tersebut, agenda utama perubahan tetaplah dipegang di bawah kendali dan
kepentingan untuk tetap mempertahankan model pembangunan kapitalis di Indonesia.

35
Untuk ini lihat dalam tulisan Robert Imam (2003) dalam I. Wibowo, Francis Wahono,
Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat.
68

Di sini politik-ekonomi dan struktur korupsi yang dibangun dan diwariskan oleh
pembangunan kapitalisme era Soeharto dianggap lebih sebagai “tumor”. Soeharto di
masa akhir kekuasanya adalah penyakit akut bagi ekspansi dan penataan baru
kapitalisme, sehingga untuk itu ia harus dioperasi dan dipotong sehingga tidak merusak
keseluruhan tatanan fisik yang ada, dioperasi tanpa perlu mematikan si pasien secara
permanen. Hal ini terbukti ketika pada masa-masa sesudah penjatuhannya, Indonesia
makin bergerak jauh dari mimpi-mimpi kaum radikal mengenai tatanan masyarakat
alternatif. Sebaliknya, makin hari ia justru makin jauh terlibat dan terjebak dalam struktur
ketergantungan.

Pada titik ini, implikasi politik yang terjadi adalah bahwa agenda perubahan politik
ataupun proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia berjalan dan berada dalam
suatu discourse yang sangat terbatas bahkan dalam hal yang fundamental masih sangat
bersifat konservatif . Keterbatasan ini tampak dari tidak terakomodasinya tuntutan aktor-
aktor polititk grass root seperti gerakan buruh dan petani untuk terciptanya struktur yang
memungkinkan perluasan keadilan. Sebaliknya, setting agenda pasca-Soeharto kembali
menyodorkan agenda modernis tentang pembangunan ekonomi yang sama sekali tutup
mata terhadap kegagalan kebijakan tersebut di masa lalu dan mengabaikan keterkekangan
kelompok-kelompok petani dan buruh dalam relasi sosial ekonomi yang tidak adil dan
eksploitatif di bawah model kebijakan tersebut. Lebih dari itu, pergolakan dan tuntutan
otentik gerakan petani dan buruh di masa-masa “reformasi” itu secara tragis diberangus
tidak hanya melalui peralatan hukum dan keamanan yang represif tetapi juga melalui
mekanisme arbitrase dan appraisal yang disponsori oleh lembaga-lembaga donor melalui
makelar mereka yang tersebar di lemabaga-lembaga swadaya masyarakat domestik
(LSM).

Menguatnya seting modernis ini semakin mencolok ketika satu demi satu rejim politik
yang muncul pada era sesudahnya, sama sekali tidak memperlihatkan upaya untuk
mengubah secara signifikan kebijakan ekonomi-politik yang diwariskan olehnya,
khusunya dalam relasinya dengan kapitalisme. Ini terlihat dari absennya kebijakan sosial
alternatif yang memperkuat dan melindungi golongan miskin. Sebaliknya, proses
69

ketergantungan ini bergerak ke arah yang lebih parah dengan lahirnya sejumlah kebijakan
dan kecenderungan untuk memprivatisasikan secara vulgar dan primitif tidak hanya
perusahaan-perusahaan milik negara, tetapi juga “institusi-institusi yang berfungsi
menjamin kepentingan publik yang luas seperti sekolah, kesehatan atau rumah sakit,
listrik dan air. Lebih dari itu, pergerakan ke arah modernisasi-neoliberal ini juga makin
tampak dari paradigma dan argumen yang berkembang dalam usulan perubahan pasal-
pasal ekonomi dalam konstitusi Indonesia, yang bukannya makin diarahkan untuk
memberikan perlindungan kepentingan publik dari ekspansi pasar tetapi malah justru
meminta keterlibatan pasar dalam segi-segi yang lebih luas. Dari hari ke hari, karakter
social state makin digerus dan dilemahkan.

Dengan demikian, pada titik ini bisa dengan segera terlihat bahwa orientasi perubahan
politik yang berlangsung selama kurun waktu akhir 90-an ini sangat ditentukan oleh
pandangan mengenai “minimum state” yang melihat negara sebagai setan besar.
Reformasi dan demokrasi di Indonesia dimengerti dan dikonstruksi sebagai perlucutan
secara radikal kapasitas politik dan sosial serta ekonomi negara, sebagai satu-satunya cara
untuk memperluas kebebasan politik. Di sini, dalam konteks hak asasi manusia, reformasi
dan demokrasi di Indonesia sebenarnya begitu terpaku pada perluasan negative liberty,
sangat membatasi diri pada isu-isu civil and political rights.

Bahkan dalam beberapa hal tampak kecenderungan untuk mengkontraskan antara


preferensi terhadap isu civil liberties dengan partisipasi dan perlusan keadilan sosial.
Pengkontrasan ini tampak dari pemikiran dan praktik untuk – misalnya dalam
pengalaman reformasi Indonesia – membuat demarkasi yang rigid, misalnya antara
gerakan mahasiswa dengan gerakan buruh dan gerakan rakyat miskin lainnya. Hal ini
secara nyata tampak dari misalnya upaya untuk melokalisir dan manjadikan kampus-
kampus sebagai satu-satunya domain politik reformasi dan membentengi kampus dari
keterlibatan pihak ketiga seperti buruh, petani dan kaum miskin. Sebagai akibatnya
tuntutan perluasan keadilan sosial sama sekali tidak masuk dalam agenda perubahan.
Implikasi ideologis dari praktik ini adalah ia telah mendaur ulang gagasan klasik yang
melihat bahwa ide-ide kebebasan bertolak belakang secara tegas dengan ide-ide keadilan
70

dan persamaan. Akibatnya, isu civil liberties dianggap incompatible dengan penguatan
emansipasi.

Dari sudut pandang teoretis, pembedaan secara rigid antara isu civil liberties dengan
partisipasi ini sebenarnya berakar dari ortodoksi politik liberal yang menganggap bahwa
ide-ide partisipasi dan equality yang pada awalnya banyak digemakan oleh sosialisme
dianggap sama sekali bertentangan dengan ideal demokrasi (yang dalam konsensus
ortodoks diidentikkan dengan liberal). Ortodoksi ini sama sekali buta terhadap sejumlah
perkembangan dan pergeseran, baik dari pendukung sosialisme misalnya seperti Laclau
dan Mouffe (1999) 36 ataupun Miliband (1994) 37 yang justru secara gigih membela ideal
demokrasi pluralis, maupun pergeseran yang ditunjukkan oleh liberal semacam Rawls
(2000) 38 yang secara komprehensif mencoba mengkampanyekan liberalisme dalam
semangat yang lebih egaliterian.

Juga dalam sejumlah perubahan, isu-isu dalam civil liberties seperti kebebasan berpolitik,
oposisi, pers bebas, meski sering kali diletakkan sebagai prioritas utama dalam suatu
momen – misalnya dalam keperluan menantang politik represif negara otoritarian – bisa
berfungsi untuk dijadikan sebagai landasan awal yang kuat untuk perjuangan politik lebih
lanjut dengan isu-isu perluasan keadilan yang lebih luas. Dalam pengalaman ini sering
kali penjatuhan rejim otoritarian melalui artikulasi ideal civil liberties sering kali menjadi
prasyarat untuk tumbuhnya tuntutan partisipasi dan equality dalam perubahan sosial yang
lebih struktural.

Segi lain yang juga penting dikemukan di sini adalah fakta historis bahwa dalam masa
gejolak, terjadi juga penciptaan demarkasi politik antara kampus/gerakan mahasiswa vis-
à-vis gerakan popular seperti buruh, petani dan kaum miskin lainnya merefleksikan
reproduksi ideologi elitisme Orde Baru yang melihat rakyat banyak dan partisipasi
popular sebagai ancaman terhadap kekuasaan dan kedamaian politik. Dengan demarkasi
ini gagasan mengenai kemungkinan perubahan politik apa pun akan selalu diletakkan

36
Lihat dalam Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1999), op. cit.
37
Ralph Miliband (1994), Socialism For A Sceptical Age, Cambridge: Polity Press.
71

dalam suatu jalur “normal”, elitis dan tertutup. Jelaslah bahwa sejak awal perubahan
politik pasca Soeharto memang dilakukan dalam suatu “konsensus umum” untuk meng-
exclude-kan gerakan rakyat. Pada titik inilah, suka atau tidak suka, konsensus elitisme ini
sebenarnya secara ideologis cocok dengan kepentingan dan agenda pembaruan yang
didorong oleh kapitalisme internasional untuk mendorong perubahan yang tidak radikal
dan terbatas di Indonesia.

Faktor Kedua adalah faktor struktural, menyangkut aspek historis yang menentukan
pembentukan struktur kuasa dalam, antara negara dan masyarakat serta implikas relasi-
relasi tersebut dalam pilihan-pilihan strategis aktor-aktor. Struktur kuasa di sini dilihat
dalam pandangan Bob Jessop sebagai kapasitas para aktor untuk mentransformasikan
lingkungan sosial dan politik.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa krisis dan perubahan politik serta kejatuhan
Soeharto tidak dapat dikatakan sebagai hasil inversi dari dalam yang memunculkan suatu
tatanan sosial alternatif. Kejatuhan Soeharto juga dipengaruhi oleh sinergi antara koreksi
kapitalisme internasional yang mengusung ide reformasi ekonomi, politik oposisi dengan
agenda yang sangat terbatas yakni suksesi dan tuntutan yang gradual serta krisis
legitimasi dalam tubuh rejim itu sendiri. Dengan kata lain arah dan agenda perubahan
politik di Indonesia juga banyak diwarnai oleh sebab-sebab atau fator-faktor dalam
struktur ekonomi internasional, yang akarnya telah mendistorsi secara historis melekat
pada setiap upaya perubahan di Indonesia.

Ketergantungan dan distorsi ini, bisa dijelaskan melalui pemahaman atas pembentukan
struktur kapitalisme di Indonesia yang ditanamkan oleh kolonialisme Eropa. Sebagimana
diketahui sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia ditandai oleh beberapa ciri. Pertama,
pengintegrasian struktur ekonomi kolonial ke dalam struktur ekonomi internasional
melalui jalur perdagangan Eropa Tengah. Kedua, bahwa kolonialisme Belanda tidak
pernah membangun suatu fundasi industrialiasi yang mapan. Yang dibangun Belanda
adalah struktur perekonomian esktraktif seperti perkebunan, kehutanan dan tambang

38
Lihat dalam John Rawls (2002), A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Pers.
72

dengan menghancurkan sektor dan kehidupan pertanian tradisional demi memenuhi


tuntutan permintaan perdagangan eksport internasional. Ketiga, bahwa dalam kerangka
mempertahankan hegemoni kolonialnya, Belanda sendiri membangun semacam
faksionalisasi dalam penataan modal di era itu beriringan dengan politik segregasi rasial
yang dikembangkannya yakni dengan membagi-bagi penguasaan modal atas identitas
etnis.

Sebagai akibat dua jenis kebijakan itu, lahir problem struktural dalam sistem dan corak
kapitalisme di Indonesia yakni tidak terintegrasinya sektor agraria dengan sektor industri
sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat Eropa kebanyakan, di mana industri
merupakan kelanjutan ataupun evolusi dari perkembangan sektor agraris.
Inkompatibilitas antara sektor agraris dan industri ini melahirkan semacam “kantong”
sosial yang kosong dalam struktur sosial di Indonesia yakni sektor informal dan
kelebihan angkatan kerja yang berlimpah. Inilah yang juga kemudian menjadi salah satu
faktor penentu dalam dinamika kapitalisme di Indonesia. Selain itu, akibat model
kolonial yang tidak hanya menghancurkan petani dan buruh (kelas) tetapi juga
menghancurkan basis-basis ekonomi domestik (faksi modal domestik) yang menjadi
pesaingnya, maka sistem kapitalisme yang diwariskan oleh Belanda adalah sekaligus
kapitalisme yang rasis. Selain itu, ketiadaan kekuatan borjuasi domestik yang diakibatkan
oleh politik adu-dombanya, di kemudian hari mewariskan distorsi baru dalam
pembentukan negara modern di Indonesia.

Ketika kekuasan kolonial itu pergi, ketiadaan kekuatan ekonomi dan gerakan sosial yang
kuat dalam formasi pasca-kolonial mengundang keterlibatan dan kehadiran intensif
kekuatan-kekuatan politik seperti tentara, golongan priyayi dan intelektual. Inilah awal
yang nyata dari fakta dan penjelas dimulainya ketiadaan gerakan dan politik kelas di
Indonesia. Sebaliknya, politik dalam artian negara sudah sejak awalnya berada dalam
genggaman antara golongan tentara, priyai, intelek serta kekuatan asing. Ini pulalah yang
menjelaskan mengapa kapitalisme yang tumbuh di Indonesia adalah kapitalisme yang
dikawal oleh kediktatoran bukannya demokrasi sebagaimana di negara-negara Eropa.
73

Implikasi politik dari perkembangan ini sangat jelas: yakni bahwa negara modern yang
terbentuk beserta struktur kepolitikannya secara substansial sangat bergantung pada
pendefinisian peran dan kedudukan tentara – ini yang menjadi awal klaim historis tentara
dan justifikasi mereka untuk bercokol dalam politik dan kontrol. Selain itu negara yang
terbentuk juga menjadi sangat berwatak teknokratis dan birokrasi yang tumbuh sebagai
aparatur dari negara modern tersebut berwatak feodalistik. Ini merupakan benih dan cikal
bakal budaya otoritarianisme di Indonesia.

Melalui penjelasan ini, dengan segera kita bisa mengetahui bahwa sumber-sumber
problem demokrasi dan hak asasi manusia kita di masa kini sangatlah akut dan melekat
pada sejarah pembentukan negara modern dan kapitalisme di Indonesia itu sendiri. Ini
pula yang menjadikan agenda demokrasi dan pilihan-pilihan strategis politik demokrasi
di Indonesia menjadi begitu terbatas yakni antara ikut serta kepada kepentingan-
kepentingan kekuatan asing sebagai kelanjutan hegemoni kolonial ataukah bertekuk lutut
di bawah kekuasaan despotis militeristik yang mengandalkan pesona populis dan
nasionalistik atau kesantunan hipokrasi si priyai. Di titik ini, militer dengan klaim
pemegang kesatuan identitas nasional serta kapitalisme internasional yang didukung oleh
perangkat idelogi pembangunan modernis menjadi pihak yang terus menentukan dalam
politik. Mereka merupakan penanda penting dalam pertarungan mengisi makna hak asai
manusia di Indonesia.

Faktor ketiga adalah keterbatasan ideal politik. Proses perubahan yang dialami oleh
Indonesia dikawal dan dipicu oleh suatu gagasan politik yang sederhana dan terbatas,
yakni reformasi. Reformasi adalah discourse dominan yang memang secara politik
berhasil membentuk semacam antagonisme baru dalam politik antara yang “pro-
reformasi” dan “pro-Soeharto”. Reformasi menjadi semacam titik artikulatif dari segenap
politik oposisi yang ada terhadap rejim politik Soeharto. Reformasi memang berhasil
mengikat dan menjadi chains of equivalence dari kelompok-kelompok yang beragam
mulai dari golongan muda, mahasiswa, pelajar ibu-ibu, kelompok Islam, tentara bahkan
birokrat di dalam tubuh pemerintahan sendiri. Sebagai hasilnya, gerakan reformasi
74

berhasil mengukuhkan dirinya sebagai semacam hegemonic block yang meggantikan


bangunan kuasa rejim politik Soeharto.

Semenjak saat itu seluruh gerakan politik yang terlibat dalam proses transisi menjadikan
reformasi sebagai sumber normatif baru untuk mengukur dan mengevaluasi perjalanan
kekuasaan di masa-masa sesudahnya hingga kini. Dalam konteks kejatuhan Soeharto,
reformasi adalah discourse yang pertama-tama diajukan oleh IMF dan negara-negara
donor sebagai proposal untuk mengatasi krisis ekonomi yang baru melanda. Proposal ini
diajukan paling tidak dalam salah satu rekomendasi dari negara-negara G8. 39 Dalam
penafsiran ini, tentu reformasi dimengerti dan dimaksudkan dalam kerangka yang sangat
terbatas yakni perubahan kebijakan ekonomi ala IMF. Jadi reformasi pada awalnya
adalah memang istilah untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia era Soeharto di bawah
bimbingan IMF.

Pergeseran discourse reformasi dari discourse ekonomi semata-mata menjadi discourse


politik baru terjadi setelah adanya tuntutan yang lebih radikal menyatakan bahwa
reformasi dalam arti perubahan kebijakan ekonomi saja tidak cukup, tetapi reformasi
harus diartikan pertama-tama sebagai perubahan politik yang lebih luas. Sebagai jalan
keluar dari krisis – menurut mereka – reformasi haruslah diperluas untuk mengarah
kepada reformasi ekonomi, sosial dan politik.40 Pendirian ini tentu saja mengundang
reaksi yang keras dari tubuh rejim politik itu sendiri. Hartono yang ketika itu adalah
Menteri dalam Negeri, misalnya bersikeras mendesak untuk tidak digunakannya istilah
reformasi karena terkesan radikal. 41 Ia sekaligus juga meminta untuk dilakukan
pembatasan terhadap meluasnya discourse itu untuk “jangan utak-atik kepemimpinan
nasional”. 42 Permintaan ini tampaknya kemudian direspon dari dalam sendiri, melalui
pernyataan Wiranto yang waktu itu menjabat sebagai Pangab dengan mulai mengajukan
discourse baru mengenai reformasi ketika ia mengatakan bahwa “ABRI mendukung

39
Kompas, 17 Mei 1998.
40
Republika, 19 April 1998.
41
Republika, 19 April 1998.
42
Media Indonesia, 18 April 1998.
75

reformasi yang konstitusional, gradual dan konseptual”.43 Namun demikian, terlepas dari
ketegangan yang ada, reformasi telah terlanjur menjadi hegemoni yang mempersatukan
seluruh tuntutan politik di masa itu. Ia menjadi titik artikulatif dari berbagai macam
kepentingan dan keagenan politik yang berbeda-beda: IMF, tentara, mahasiswa,
intelektual, agamawan. Hingga pada akhirnya reformasi menjadi political frontier yang
berhasil mengalahkan rejim politik Soeharto.

Perjalanan discourse ini kemudian juga berubah seiring output politik yang muncul,
kejatuhan Soeharto mengubah formasi chains of equivalence yang sebelumnya terbentuk
dan menyatu menjadi mulai terpecah antara mereka yang menerima pengangkatan
Habibie dan antara mereka yang kemudian menolak pewarisan kekuasaan semacam itu.
Di sini reformasi terbelah dalam dua artikulasi baru yakni antara discourse “reformasi
damai” yang banyak didukung oleh kalangan politik Islam yang masih menghendaki
reformasi namun terlebih dahulu menerima Habibie di satu sisi vis-à-vis discourse
“reformasi total” yang melihat politik dalam teori derivatif yakni bahwa karena Habibie
menerima pewarisan politik dari Soeharto maka otomatis Habibie adalah sama dengan
pendahulunya sehingga harus ditolak.

Yang jelas, semenjak saat itu, reformasi sendiri sebagai discourse telah mulai diserap
sebagai bagian dari instrumentasi politik dan ideal terbatas rejim politik baru yang
berkuasa. Perlahan-lahan reformasi kemudian mulai dilepaskan dari keterkaitannya
dengan gerakan politik di luar negara. Pada titik ini aspek artikulatifnya mulai
dilenyapkan. Dan seiring dengan proyek institusionalisasi dan formalisasi politik yang
kemudian berlangsung, reformasi sebagai political frontier kemudian redup; ia tinggal
menjadi bagian dari retorika kosong kepolitikan pasca-Soeharto. Ia memang berhasil
menjadi titik pijak penggulingan rejim politik Soeharto, namun dalam banyak hal yang
substansial ia tidak berkemampuan untuk melakukan pembaruan yang signifikan dan
memadai.

43
Republika, 19 April 1998.
76

Pada akhirnya terbukti bahwa political frontier yang terbentuk dan bertumpu pada
reformasi memang sangat menekankan dan melulu mengarah pada reformulasi elite
politik. Sehingga setelah proses itu berlalu, terdapat kepercayaan untuk menyerahkan
penataan politik yang terbentuk kepada prosedural politik formal yang berorientasi
modernis. Proses kepolitikan pada era pasca-Soeharto ini secara mentah diarahkan pada
legalitas dan dilepaskan atau bahkan dihindarkan dari upaya untuk melanjutkan
pertarungan politik dan pembentukan frontier baru. Sebagai akibatnya, kepolitikan yang
terbentuk sama sekali gagal merepresentasikan kebutuhan-kebutuhan dan isu-isu yang
mendasar dalam masyarakat seperti keadilan dan kesetaraan. Hal lain yang kemudian
terpinggirkan sebagai akibat dari kuatnya formalisasi politik adalah partisipasi politik
yang emansipatoris.

Ini adalah salah satu sebab mengapa dalam proses perubahan ini, banyak kelompok pada
akhirnya memilih untuk kembali pada ideal lama mengenai politik komunal. Formulasi
dan pembakuan politik yang berlangsung secara intens, menutup secara abortif
pergulatan dan konflik sosial yang tercermin dari krisis demi krisis sebelumnya. Inilah
yang mengakibatkan konflik-konflik tersebut pada akhirnya lebih memilih jalan komunal.

Batas-Batas Ekuivalen Politik

Dengan melihat discursive conditions di atas maka kita bisa melihat beberapa faktor yang
sangat menentukan dalam pembentukan dan pertarungan democratic discourse dan hak
asasi manusia di Indonesia pada era pasca-Soeharto.

Pertama adalah bahwa pergulatan demokrasi dan hak-hak asasi manusia di Indonesia
sangat ditentukan oleh ketegangan-ketegangan dalam pembangunan kapitalisme di
Indonesia; yang sangat bergantung pada regulasi kapitalisme internasional, negara yang
intervensionis, disertai dengan kelemahan-kelemahan struktural dalam tubuh industri
nasional dan aktor-aktor dalam gerakan sosialnya. Ketegangan ini juga melibatkan
persaingan warisan kolonial antara faksi-faksi bisnis domestik yang selain selalu lemah
berhadapan secara politik dengan negara juga termakan secara akut dalam persaingan
77

dengan isu etnisitas. Oleh karenanya, tidak heran bila hingga saat ini pun pembangunan
kapitalis di Indonesia masih terus dibayang-bayangi oleh persoalan rasial selain soal-soal
ketimpangan lainnya.

Kedua adalah bahwa sebagai akibat dari situasi-situasi di atas, perubahan politik rejim
Soeharto sebenarnya hanya berhasil memuaskan kebutuhan demokratis yang sangat
terbatas yakni pada isu-isu seputar kebebasan politik dan institusionalisasi infrastuktur
politik yang baru. Kepentingan untuk mencapai kebebasan yang maksimum pada tahap
tertentu memang sangat bermanfaat dan efektif untuk menjadi democratic discourse
dalam upaya menggantikan rejim politik otoritarian, namun pada tahap selanjutnya
keterbatasan isu ini menjadi relatif ringkih terutama dari agenda neoliberal yang
dikencangkan oleh kapitalisme internasional. Orientasi pasar yang radikal yang disertai
dengan tindakan permanen untuk memangkas peran-peran negara lebih banyak
dimanfaatkan oleh korporasi-korporasi yang bermaksud menguasai sumber daya secara
privat. Pada titik ini, meski perluasan kebebasan berhasil diraih namun perluasan
keadilan gagal diakomodasi.

Ketiga, dengan kegagalan perluasan keadilan dan tertutupnya negara dari akses
partisipasi popular, krisis dan konflik sosial gagal memanfaatkan perubahan yang ada
untuk menghasilkan “negosisasi” dan rekonsiliasi, dan berlanjut dalam bentuk-bentuk
konflik dan kekerasan komunal. Di sinilah gerakan sosial di Indonesia dimanipulasi, di
mana arah dan tujuan gerakan mereka diubah sedemikian rupa sehingga gagal mencapai
target yang sebenarnya dan mengalir dalam konflik dan tragedi di antara mereka sendiri,
sebagaimana terjadi dalam banyak kasus kerusuhan sosial di berabagai tempat di
Indonesia di masa-masa krisis hingga masa pasca Soeharto ini.

Keempat, manipulasi logika perubahan sosial yang mendasar terjadi dalam bentuk
menguatnya politik agama dan fundamentalisme agama. Gerakan konservatif ini bukan
hanya menunda gerak demokrasi ke arah yang lebih progresif, ia bahkan telah diarahkan
untuk melawan dan membunuh demokrasi. Ini yang membuat demokrasi Indonesia tidak
78

pernah menemukan formatnya yang matang sehingga aspirasi-aspirasi dalam wilayah


sosial tidak pernah juga bisa dituntaskan secara maksimal.

Keenam, dari segi keagenan, formasi politik pasca-Soeharto ditandai secara jelas dan
pertama-tama oleh perubahan relasi kuasa yang semula sangat bersifat monolitik dan
sentralistik, berpusat pada negara menjadi tersebar dalam gugus politik baru yang
beragam. Penyebaran relasi kuasa ini dengan sendirinya melahirkan keagenan baru dalam
kepolitikan Indonesia baik dalam tubuh negara sendiri maupun dalam wilayah society.
Salah satu realitas muncul – untuk menunjukkan fenomena ini – adalah berperannya
raja-raja kecil, bekas-bekas birokrat, laskar-laskar dan bentuk-bentuk paramiliter dalam
kepolitikan nasional yang memperlihatkan fakta bahwa negara tidak lagi menjadi
pemegang otoritas represif satu-satunya. Dengan demikian, apabila kita menerima logika
bahwa emansipasi selalu mengikuti di mana kuasa bermuara, maka pembebasan dari
politik agama, rasisme, pelecehan terhadap kebebasan perempuan, intoleransi menjadi
agenda yang sangat penting di masa pasca-Soeharto ini.

Kesimpulan

Dengan realitas ketegangan dan kontradiksi ini, maka jelaslah bahwa setiap transisi
secara mendasar mencerminkan situasi-situasi dialektis di mana demokrasi lebih banyak
berlaku sebagai continuum relative justice yang menempatkan pembaru secara terpaksa
harus tetap hidup bersama dengan kekuatan-kekuatan yang berasal dari rejim lama dan
dipaksa untuk berada dalam situasi ketidakstabilan yang ringkih sebagai akibat dari
berlangsungnya strategi kontestasi dan antagonisme yang terus menerus satu sama lain.
Oleh karena itu, demokrasi tidak berperan dan tidak akan dapat dilekatkan dengan istilah
“transisi”, demokrasi adalah kontingensi: sensitif terhadap perubahan, sangat bergantung
pada tindakan dan bergerak seiring manuver-manuver politik yang dilakukan setiap agen.

Refkleksi antagonistik berbagai kekuatan dalam transisi sebenarnya bahkan implisit


diakui misalnya oleh deskripsi transisionis semacam Hayner (1994) yang ketika
menjelaskan karakter, cara kerja serta respon rejim politik yang ada dari komisi-komisi
79

kebenaran di berbagai negara, secara tidak langsung justru membuktikan bahwa proses
politik dari rejim otoritarian tidak pernah dapat digambarkan dalam suatu model yang
seragam dan baku, setiap negara bergulat masing-masing dengan tantangan dan
kontradiksi politik yang muncul secara khusus.44 Ataupun penjelasan awal dari Graeme
Simpson mengenai perbedaan kerja antara komisi kebenaran di Afrika Selatan dengan
Chili maupun Jerman Pasca-PD II sebagai akibat dari konteks dan warna kepolitikan
yang berbeda antara keduanya. 45 Perbedaan ini sebenarnaya secara jelas mengindikasikan
aspek partikular dari klaim perjuangan universal hak asasi manusia.

Pandangan yang sama juga bisa kita perlakukan di Indonesia dengan melihat kegagalan
upaya penyelesaian sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Jelas tampak
bahwa persoalan ini adalah soal bagaimana mengambil bagian dalam pertarungan politik
yang terus menerus, yang hingga kini pun masih belum bisa terselesaikan. Periode yang
disebut orang sebagai periode transisi – kalaupun ada – mungkin telah berlalu lama dari
sekarang dengan meninggalkan peroblem-problem kepolitikan “transisinya” yang masih
terus membayang dan menantang di depan mata kita. Ini sekali lagi membuktikan bahwa
transisi sebenarnya bukanlah suatu konsep yang tepat untuk menunjukkan keadaan
demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi dan hak asasi manusia tidak dapat
diperiodesasikan dan disebut dalam penggalan. Ia meta-stable untuk pergulatan terus
menerus. Ia tidak mengenal rekonsiliasi melainkan antagonisme.

Dengan situasi ini maka jelaslah setiap upaya perjuangan demokrasi dan hak asasi
manusia mensyaratkan suatu situasi “awas” yang permanen. Ia membutuhkan sensibilitas
mutlak. Sensibilitas ini tersebar dalam dua kebutuhan: sensibilitas dalam arti memahami
faktor dan agen-agen baru yang plural dan partikular di satu sisi, serta sensibilitas dalam
arti stamina untuk terus menerus bersedia menghadapi tantangan baru di sisi yang lain.

44
Lihat dalam Priscilia B. Hayner (1994), “Fifteen Truth Commissions - 1974 to 1994: A
Comparative Study”, Human Rights Quarterly, Vol. 16. No. 4.
45
Lihat dalam Graeme Simpson (tanpa tahun) “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika
Selatan: Beberapa Pelajaran Untuk Masyarakat dalam Transisi”, paper tanpa tahun dan penerbit.
80

Dalam kebutuhan sensibilitas baru ini, ada baiknya juga kita bersiap untuk memasuki
suatu democratic discourse yang baru yang menghendaki kita untuk secara tegas
membangun suatu demarkasi baru dengan posisi keagenan yang juga baru. Di sini
sensibilitas kontingensi ini sangat berguna misalnya untuk memahami gejala
komunalisme dan fundamentalisme yang berkembang belakangan ini yang disatu sisi
memang mungkin saja dihasilkan oleh politik komunal domestik, namun di sisi yang lain
pembiakan fundamentalisme ini sendiri juga harus dipahami sebagai respons terhadap
ekspansi globalisasi neoliberal. Universalitas konvensional tidak memiliki kepekaan
untuk melihat gejala ini sebagai respon terhadap persoalan yang lebih besar, dan
cenderung memberi label pada gejala ini sebagai gejala keterbelakangan semata-mata. Di
sini mau tidak mau kita harus sepakat dengan apa yang disebut oleh Johan Galtung
dengan autisme politik neoliberal, yang melihat kemunculan-kemunculan fanatisme,
regionalisme dan sebagainya semata-mata sebagai kesalahan para penganutnya dan
dilepaskan sama sekali dari peran kesalahan politik Barat di banyak negara dunia ketiga.

Sensibilitas ini pada gilirannya mendorong kita untuk mencari dasar baru dalam rangka
splitting the difference, menyisihkan agen-agen lama yang usang yang dahulu mungkin
saja pernah bersekutu dalam chains of equvalence lama dalam menjatuhkan Soeharto
(neoliberal, fundamentalis, rasis). Yang kedua, mencari suatu artikulasi hegemonik baru
yang mampu mempersatukan kelompok-kelompok sosial baru, mentransformasi
kepentingan dan aspirasi partikular untuk dijadikan ground gerakan yang berwatak
solidaritas baru. Sehingga dengan demikian, di satu sisi perjuangan HAM sendiri dapat
melepaskan diri dari ikatan tradisionalnya dengan hipokrasi “politik double standard”
negara-negara adikuasa, sementara di sisi lain ia juga mampu mentransformasi ideal
partikular yang berkembang di tingkat domestik untuk memasuki isu dan front yang lebih
luas. Di sini kita harus memilih dan menentukan strategi baru untuk mempertemukan
keprihatinan lokal yang ada dengan modus solidaritas global yang saat ini berpotensi
besar dalam menantang dominasi globalisasi neoliberal. Dengan mentransformasikan dua
kecenderungan ke dalam suatu political frontier yang baru, perjuangan HAM di
Indonesia tidak hanya akan menyumbang pada upaya perlindungan dan pemenuhannya di
81

tanah air tetapi juga menyumbang pada pembentukan solidaritas dan keadilan global
yang baru.

Juga dengan fakta bahwa sementara agen-agen yang mengklaim sebagai sumber normatif
konvensional gagasan HAM seperti PBB dan Amerika Serikat tengah mengalami krisis
besar di dalam dirinya, maka sebenarnya perjuangan HAM di Indonesia dan di seluruh
dunia sebenarnya ditantang untuk memasuki arena baru. Kita diberi kesempatan untuk
merumuskan dan mendefiniskan agenda perjuangan HAM itu dalam suatu discourse yang
lebih matang dan otonom. Di sini pula terletak kesempatan baru untuk negara-negara
pasca-kolonial seperti Indonesia untuk mentransformir dasar-dasar moralitas HAM yang
sebelumnya lebih banyak diwarnai oleh pengalaman dan trauma perang dunia kedua,
menjadi HAM dengan dasar-dasar dan moralitas dari pengalaman serta pengharapan
perjuangan demokrasi emansipatif di Indonesia sendiri.
82

Bab 3

Ketegangan dan Dinamika dalam Diskursus Politik Transisi

Pengantar

Untuk menghadapi, mengubah dan benar-benar hijrah dari politik otoritarian, suatu
masyarakat membutuhkan peralatan yang kompleks dan tak terbatas. Pengalaman
perubahan politik di berbagai negara memperlihatkan bahwa sebuah transisi yang paling
radikal sekalipun, baik negara-negara pasca-kolonial seperti Amerika Latin, Afrika dan
Asia, maupun di negara-negara Eropa Timur tidak pernah bisa menemukan formulasi dan
bentuk yang tuntas, penuh dan absolut. Sensasi perubahan radikal muncul pada
momentum tertentu, biasanya pada saat di mana rejim otoritarian mencapai titik
terlemahnya. Namun sesudahnya impian demokrasi harus segera dikonkretkan ke
hadapan pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat itu membangun dirinya secara
lebih baik dan menegasikan watak lamanya? Artinya demokrasi dan perubahan politik
ternyata tidak dapat diselesaikan sekali jalan pada momen itu juga.

Hal ini sebenarnya normal terjadi, sejauh kita berhasil dalam memahami karakter-
karakter pokok perubahan politik. Biasanya momentum yang hadir dalam pertarungan
politik “transisi” memang berhasil mengubah salah satu pilar dari bangunan sosial
struktur otoritarian yang ada, yakni dalam segi aktor atau agen. Namun demikian struktur
sosial dan politik otoritarian bukanlah bangunan yang berdiri di atas fondasi tunggal. Hal
tersebut hidup dan direproduksi oleh pertalian yang kompleks dari relasi-relasi kuasa
yang terjalin antara para aktor dan institusi. Hal itu juga diperkuat oleh reproduksi non-
material lainnya seperti: ideologi, kebudayaan dan bahkan mentalitas tertentu. Artinya
83

aktor hanyalah salah satu tampilan dari struktur ini. Di luar itu, otoritarianisme atau apa
pun namanya masih bisa bekerja dalam mekanisme dan relasi yang kokoh. Penjatuhan
sebuah rejim otoritarian – meski bahkan diakhiri dengan menghukum secara mutlak sang
rejim dan keluarganya sekalipun (sebagaimana terjadi di Rumania ) – tidak secara serta
merta mengakhiri bangunan otoritarian secara keseluruhan. Dengan kata lain penggantian
sebuah rejim otoritarian – apakah melalui cara transplacement, replacement ataupun
transformasi sebagaimana dimodelkan oleh mimpi Huntington – sama sekali tidak
menjamin perubahan watak yang lebih mendasar dari suatu susunan kepolitikan
otoritarian. Susunan kepolitikan baru dari rejim-rejim pasca-otoritarian menyediakan
pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai bagaimana menyusun batasan-batasan antara
peradaban politik baru dengan politik lama? Bagaimana mempertahankan kemajuan dan
memperluas secara terus-menerus keadilan yang substansial?

Menjawab persoalan-persoalan di atas, Indonesia menempuh jalan yang tidak


meyakinkan. Untuk menjawab pertanyaan tentang meneruskan demokrasi dan
memperluas keadilan, Indonesia menjawab dengan rutinitas pemilu multi-partai, slogan
antikorupsi, otonomi daerah dan ketidakjelasan program ekonomi. Sementara untuk
menjawab persoalan demarkasi otoritarianisme dan demokrasi dikembangkanlah wacana
“how to deal with the past?”, sebagai semacam rumusan baku persoalan transisi.
Rumusan ini seakan-akan menjadi semacam simpul yang mempertautkan segala masalah
pasca-otoritarian dan dianggap dapat memberikan arah untuk menyeret perjalanan
kepolitikan ke arah demokrasi yang sebenarnya.

Dari pertanyaan inilah kemudian publik Indonesia disodorkan pada dua paket
mekanisme, yakni bahwa kejahatan kemanusiaan rejim otoritarian di masa lalu
diselesaikan melalui sebuah mekanisme politik dalam Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi ataukah diselesaikan melalui jalur peradilan. Cara yang pertama didasarkan
pada pengalaman negara-negara pasca-kolonial di Amerika Latin dan Afrika. Sementara
cara yang kedua lebih banyak didasarkan pada pengalaman-pengalaman pasca-perang
dunia kedua dan pengalaman negara-negara bekas Eropa Timur. Pertanyaannya di sini
adalah apakah benar atau sejauh manakah dua mekanisme ini – baik komisi kebenaran
84

ataupun peradilan dan penghukuman – memang mampu benar-benar memberikan


semacam fondasi baru yang mengukuhkan demarkasi politik dari yang lama ke arah
peradaban politik yang baru?

Untuk menjawab pertanyaan ini dua hal mesti tersedia di sini. Pertama adalah gambaran
yang tepat mengenai persoalan latar belakang dan karakter-karakter dasar dari apa yang
disebut sebagai kepolitikan lama itu – yang kejam, otoriter, korup, despotis. Kedua
adalah kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki, baik komisi kebenaran maupun
peradilan dan penghukuman dalam menghadapi dan menjawab pertanyaan yang
bersumber dari latar belakang dan karakter-karakter dari soal kekejaman serta
otoritarianisme yang pertama di atas. Keduanya harus diperbandingkan sedemikian rupa
untuk meneliti kompatibilitas antara satu dengan yang lainnya.

Akar Kekejaman: Munculnya Negara Otoritarian

Eropa adalah salah satu tempat di dalam sejarah di mana drama dan tragedi kemanusiaan
terpenting dan terdahsyat pernah berlangsung. Sebelum Karl Marx mengungkap
kehancuran manusia akibat kapitalisme dan industrialiasasi awal, Eropa sebelumnya telah
mengalami abad-abad penuh peperangan yang panjang dan bertubi-tubi, dominasi
kegelapan monarki absolut, inkuisisi gereja Katolik, hingga fasisme modern NAZI dan
belakangan pergolakan di Eropa Timur. Negeri-negeri kecil di belahan batas mediterania
seperti Turki dan Yunani telah pula mencicipi tragedi yang sama: perang perbatasan
berlarut-larut, bahkan di Yunani perang saudara antara golongan kiri dan golongan kanan
yang didukung Amerika, memecah belah dan memakan korban yang besar di negara itu.
Pengalaman-pengalaman dalam menempuh tragedi demi tragedi inilah yang barangkali
membuat Eropa, terutama Eropa Tua (Jerman, Perancis, Belgia) memiliki sikap skeptis
terhadap perang-perang baru yang belakangan ditawarkan oleh negara semacam Amerika
Serikat dan Inggris dalam kasus Afghanistan dan Irak.

Bukan hanya itu, perjalanan sejarah panjang juga yang barangkali menghantarkan Eropa
berada dalam semacam kepekaan yang sangat tinggi terhadap kekerasan. Ada semacam
85

refleksi umum yang telah mengkristal, yang memberikan sejenis moralitas tertentu untuk
memandang modus-modus kekejaman sebagai bukan bagian yang patut dari kehidupan
masyarakat manusia.

Refleksi semacam ini tercermin tidak hanya dalam pandangan politik orang Eropa secara
umum, tetapi juga tampak dari pembangunan pemikiran sosial dan politik di kalangan
intelektual Eropa hingga masa kini. Habermas misalnya, pernah menegaskan bahwa
pandangan sosial intelektual di Eropa pasca-Perang Dunia Kedua memang dipengaruhi
secara sangat kental oleh tragedi Holocoust. Tragedi itu memberikan dimensi baru yang
benar-benar berarti bagi kebanyakan orang Eropa yang tercermin dari bagaimana
kemudian mereka memandang politik, negara dan kekuasaan, serta tentang bagaimana
membentengi masyarakat terhadap bahaya kekejaman dan keberulangan kekotoran
semacam itu, sambil terus tetap menjaga kebebasan dan pluralisme. 46 Refleksi ini yang
memberi petunjuk kepada kita bagaimana Eropa dalam hal substansial sebenarnya telah
menemukan akar kekerasan dalam dirinya dan berupaya untuk keluar dari belitan akar
itu. Seperti generasi muda Yunani sekarang yang berhasil memandang politik dan
perbedaan ideologi secara lebih “santai” sebagai hasil dari kesadaran dan pengetahuan
bahwa banyak saudara dan keluarga mereka di masa lalu telah terbunuh sia-sia akibat
perang saudara yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat dalam rangka
membantai golongan kiri di sana. Pengetahuan ini mendatangkan ketenangan
(rekonsiliasi) dan kedamaian umum, karena akarnya telah diketahui dan dilampaui.

Intelektual di Indonesia masih meraba-raba dan kesulitan untuk mampu menjejakkan


semacam fondasi dan refleksi baru dalam kepolitikan di Indonesia sekarang agar bisa
keluar dari rantai kekerasan dan belenggu kekejaman di masa silam. Sementara generasi
baru di Indonesia, belum bisa setenang dan sesantai kawan muda segenerasinya di
Yunani. Salah satunya disebabkan karena ketidakberhasilan kita di sini dalam
melepaskan diri dari belitan akar kekejaman masa lalu. Namun di luar kegelisahan itu,
dalam kerangka mencari batas dan pusaran akar kekejaman, ada dua tulisan penting yang

46
Untuk ini lihat dalam Detlef Hoster, Habermas: An Introduction, Philadelphia: Penndridge
Books, 1992.
86

mesti dibahas di sini. Yang satu berasal dari pendapat sejarawan Asvi Warman Adam dan
yang satu lagi berasal dari ilmuwan politik Daniel Dhakidae.

Dalam menelusuri akar kekejaman masa lalu, Asvi mengemukakan argumen yang sangat
penting. Ia mengajukan kemungkinan cara pandang pertama yakni cara pandang anti-
fondasional, bahwa dalam penelusuran ini tidak penting untuk mencari “akar” atau
pendasaran dari rangkaian kasus-kasus kekejaman yang telah terjadi. Di sini diandaikan
bahwa kekejaman itu lebih didasarkan atas alasan-alasan faktual yang contingent, tidak
berada dalam suatu struktur relasi tertentu, dan oleh karenanya yang ada hanya kasus-
kasus kekejaman, tidak ada akar kekejaman. Cara pandang yang kedua yakni cara
fondasional, justru melihat sebaliknya, diasumsikan bahwa kekejaman ini berakar pada
suatu praktik dan struktur rejim politik tertentu. Oleh karena itu, penelusuran akar
kekejaman itu harus seiring dengan pembentukan suatu rejim yang spesifik. 47

Bertolak dari dua pandangan ini, Asvi sendiri kemudian mengajukan usulan untuk
melihat kekejaman itu melalui penggabungan sudut kasus per-kasus dan rangkaian
sekaligus. Ditilik dari usulan ini, sebenarnya Asvi secara tidak langsung meletakkan
dirinya pada argumen yang pertama (non-fondasional), sebab dengan mencampurkan
cara pandang yang menekankan rentetan kasus dengan yang fondasional, maka
sebenarnya Asvi telah meletakkan aspek yang fondasional sebagai bagian dari rentetan
kasus-kasus belaka. Dengan begitu secara tidak langsung ia sedikit merelatifkan asumsi
akan adanya dan penulusuran mengenai akar kekejaman di Indonesia.

Namun yang menarik adalah apabila diperhatikan secara teliti, sesungguhnya terdapat
kejanggalan kecil dalam alasan mengapa ia tiba pada usulan untuk menghindari
pencarian akar kekejaman itu. Kejanggalan itu adalah bahwa di titik ini, ia tidak
mengemukakan argumen konseptual atau historis untuk mendukung usulan dan
pilihannya itu. Yang dilakukannya adalah mengajukan alasan yang dilandasi oleh

47
Lihat dalam Asvi Warman Adam, “Lembaran Kelam yang Harus Disingkap: Masalah
Periodisasi dan Cara Pengungkapannya”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi (eds.), Pencarian Keadilan
di Masa Transisi, Jakarta: ELSAM, 2003, hlm. 229-251.
87

pertimbangan yang lebih bersifat pragmatis dan strategis-politis. Asvi mengemukakan


bahwa:

Jadi, kalau memang tidak bisa diawali dari tanggal 1 Oktober 1965 sebagai akibat
respons politik dari kalangan gerakan politik Islam garis keras dan militer, maka
dapat muncul pada tanggal 5 Juli 1959. Sepanjang periode 5 Juli 1959 sampai
Oktober 1965 itu juga terjadi tindak pelanggaran HAM, yang antara lain dilakukan
oleh kelompok kiri. Jadi, PKI dan underbouw-nya melakukan aksi sepihak dan
lain-lain dengan menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan persoalan yang
dihadapi oleh Taufik Ismail dan kawan-kawannya di kalangan budayawan. 48

Dengan argumen ini, maka sebenarnya Asvi bukan lagi menempatkan usulannya dalam
dua pilihan sebelumnya (kasus per-kasus dan non-fondasional ataupun fondasional), ia
justru sebenarnya mendasarkan argumennya pada posisi yang lain lagi, yakni argumen
kuasa (power). Pilihannya untuk menolak mencari akar kekejaman ke dalam sebuah rejim
politik didasarkan atas pandangan relativisme bahwa “toh ada sedikit-sedikit kekejaman
yang sama di rejim-rejim yang lain, meski kekejaman tahun 1965 memang berat, tetapi di
tahun sebelumnya golongan kiri juga melakukan pelanggaran HAM”, sehingga dengan
begitu tantangan dan penolakan dari sementara pihak menjadi patut dipertimbangkan.
Kedua, Asvi lebih memberatkan aspek “balancing of power”, yang tampak dari
kalimatnya yang menyatakan “akibat respons politik dari kalangan gerakan politik Islam
garis keras dan militer”. Jadi kekhawatiran bahwa apabila ditetapkan tahun 1965, tahun
awal Orde Baru sebagai awal untuk menelusuri akar dari kekejaman seterusnya, maka
kelompok politik Islam garis keras dan militer akan menentang sedemikian rupa,
sementara dua kekuatan ini adalah kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh
dalam eksistensi politik Indonesia kontemporer.

Asvi sendiri kemudian tidak menjelaskan secara eksplisit mengapa kedua kelompok ini
mesti menentang? Apakah karena lebih didasarkan pada perseteruan politik-ideologis
semata-mata sehingga kalau pengungkapan dimulai pada tahun 1965 maka akan dirasa
kurang fair? Ataukah karena alasan lain, yakni kekhawatiran akan kebenaran yang
88

terungkap yang akan menguak siapa-siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab
terhadap tragedi 65 itu dan apa motif sebenarnya?

Dari sini Asvi agaknya kembali kepada argumen perimbangan lagi. Ia akhirnya
mengusulkan agar pencarian akar kekejaman itu dimulai sejak lahirnya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 dan berakhir pada bulan Mei 1998. Untuk ini ia berargumen bahwa pilihan ini
diambil karena:

Pertama, pada tahun dikeluarkannya Dekrit Presiden itu menandai Demokrasi


Terpimpin di mana kekuasaan mulai memusat pada negara, bukan pada rakyat.
Kedua, diperlukan adanya ketulusan dari berbagai elemen nasional untuk
menekankan pentingnya rekonsiliasi sebagai bukan ajang balas dendam. 49

Dengan dua argumen ini, maka pada akhirnya Asvi sekali lagi menegaskan dua hal, yakni
bahwa akar kekejaman itu dapat dicari dari titik di mana di Indonesia terbentuk praktik
kekuasaan otoritarian. Kedua, proses pencarian dan pendefinisian akar kekejaman itu
sakarang harus dilakukan dengan memperhitungkan aspek power yang bekerja dalam
kelompok-kelompok politik yang ada hingga sekarang di Indonesia. Dengan demikian
bagi Asvi penemuan kembali akar kekejaman itu sejak pagi-pagi sekali adalah penemuan
yang sudah dinegosiasikan atau direkonsiliasikan. Di titik ini harus diterima pandangan
realis bahwa sejarah sekali lagi lebih ditentukan oleh relasi dan konfigurasi kuasa yang
konkret dalam masyarakat daripada sekadar perjalanan fakta yang murni dan tak
tersentuh.

Namun sekali lagi, penunjukkan ini bukan tanpa masalah. Walaupun barangkali benar
bahwa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno memenuhi kriteria tipikal sebagai
sebuah rejim otoritarian, namun mempersamakan rejim ini dengan sebuah rejim bengis di
bawah Soeharto tentu akan mendatangkan masalah dan pertanyaan tersendiri.

48
Ibid., hlm. 236.
49
Lihat Asvi Warman Adam dalam Kasim dan Riyadi, ibid., hlm. 236-237.
89

Barangkali benar ada sejenis kepemimpinan politik yang menuju kepada otoritarianisme
di dalam Demokrasi Terpimpin, tapi dari sudut relasi dan dampak-dampak kuasa yang
lebih luas jelas terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok dan mendasar antara era
Soekarno dan Soeharto. Di dalam Demokrasi Terpimpin memang benar terdapat
kekerasan dan pelanggaran kebebasan dasar seperti pemberangusan partai politik dan
aspirasi kebudayaan. Namun demikian Soekarno dan Demokrasi Terpimpin bukanlah
golongan yang memulai sebuah tradisi pembantaian massal dan pembunuhan politik. Jadi
di titik ini, apabila dipersamakan akan mendatangkan masalah tersendiri terutama dalam
segi kebenaran konseptualisasi politik. Namun demikian dengan argumennya yang
kedua, Asvi memang menganjurkan kita untuk tidak terlampau ketat dengan kategorisasi
kerangka konseptual mengenai rejim dan tipe rejim politik tersebut. Dengan argumen
kedua itu ia sepertinya lebih menyarankan untuk memulai rekonsiliasi itu bahkan dari
konsep sehingga meski dari segi kedahsyatan, tragedi 65 memang adalah tragedi yang
banyak memakan korban, namun toh dia menganjurkan untuk mencari akar kekejaman
itu bukan hanya dari situ tetapi dari tahun 1959.

Argumen mengenai tahun 1959 dan akar kekejaman ini, secara tidak langsung ditolak
oleh Daniel Dhakidae. Seperti menjawab Asvi, Dhakidae menegaskan kenyataan historis
dan watak politik yang melatar belakangi alasan-alasan Dekrit 5 Juli itu. Di mana di
dalam kasus ini, Soekarno tidak dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan tindakan
yang otoriter. Karena menurut Dhakidae:

… lahirnya Dekrit 5 Juli 1959 pada dasarnya karena Presiden Soekarno mendapat
pengaruh dan tekanan yang hebat dari kalangan militer … Kendati dengan Dekrit
Presiden, namun itu bukan berarti pula kemenangan Bung Karno sebagai
pemimpin negara atas rakyatnya. Memang Bung Karno bersikap sangat keras
terhadap kekuatan militer DI/TII. Namun kekerasan Bung Karno lebih karena
tekanan kalangan Angkatan Darat. 50

50
Dhakidae dalam Kasim dan Riyadi, ibid., hlm. 267-268.
90

Jadi berbeda dengan Asvi, Dhakidae tidak melihat 5 Juli 1959 sebagai titik awal
munculnya negara otoritarian yang menjadi akar pertama kekejaman di Indonesia.
Meskipun di situ Dhakidae memang mengisyaratkan bahwa benar terlihat adanya pihak
utama yang memang telah mulai bertindak mengawali kecenderungan-kecenderungan
otoritarian yakni militer. Sehingga dengan itu, implisit dikatakan olehnya bahwa
sebenarnya tidak ada persoalan pertentangan dan alasan ideologis atau paling tidak
alasan-alasan perbedaan politik dan aspirasi ideologis di dalam masyarakat bukan
merupakan latar belakang yang paling kuat dalam menyebabkan munculnya
pemberangusan dan kekerasan politik terhadap golongan Islam pada waktu itu. Bukan
Soekarno yang berkehendak melakukan pemberangusan politik itu, melainkan militer.
Akibatnya, dengan sendirinya Dhakidae memang lebih mengajak kita untuk mencari titik
awal yang lain, bukan di tahun 1959.

Untuk menentukan secara cermat kapan dan di mana akar kekejaman dimulai ia
kemudian mengajukan 5 kriteria untuk menentukannya. Pertama, bahwa kekejaman itu
dilakukan dalam cara yang sistematis, dilakukan dalam intensitas tinggi, dilakukan
dengan target yang dipilih untuk keperluan politik tertentu. Kedua, kekejaman itu
dilakukan oleh state apparatus yang didukung oleh sayap-sayap organ di bawahnya
(institusionalized crime). Ketiga, bersifat massive consequences against the people
melibatkan pelaku dan korban yang massal. Keempat, menghasilkan asymetric relations
between the perpetrators and victims, di mana penghancuran pertama dilakukan oleh
negara dengan dukungan kelompok-kelompok lain di dalam masyarakat, sementara
sesudah proses ini kekuatan yang kemudian muncul di dalam tubuh negara digunakan
untuk menghancurkan kekuatan masyarakat lain secara umum. Kelima, kejadian tersebut
berhubungan dengan isu keadilan dan hukum.

Jadi berbeda dengan Asvi yang lebih tertarik untuk menetapkan garis dalam spektrum
periodisasi historis, dan memang hanya selintas memberikan indikasi politik mengenai
munculnya praktik otoritarian sebagai akar kekejaman, Dhakidae memberikan semacam
bantuan kategorisasi politik yang jauh lebih memadai untuk menentukan kapan dan di
91

mana akar kekejaman itu dimulai. Terlepas bahwa mungkin ukuran ini dibuat dalam
suatu strartegi berfikir post factum.

Namun demikian, sebelum berangkat lebih jauh dengan katagorisasi Dhakidae ini, ada
beberapa persoalan substansial yang perlu kita bahas dari apa yang dipaparkannya.
Pertama, agaknya Dhakidae mempersamakan “cara dan teknis kekejaman” yang
disebutnya pertama sebagai identik dengan cara dan teknik kekejaman yang dilakukan
oleh Nazi. Namun apabila kita perbandingkan dengan kenyataan tahun 65, identifikasi ini
akan menghadapi satu soal yang serius. Teknik dan cara kekejaman yang dilakukan oleh
Nazi yang sistematis, memilih dan terencana itu dilakukan oleh sebuah rejim politik yang
telah berdiri secara utuh dan kokoh. Jadi praktik fasis itu diproduksi oleh aparat di dalam
sebuah rejim yang terkonsolidasi, sementara dalam tragedi 65 – meski jumlah korban
yang muncul menyerupai kedahsyatan holocaust – kekejaman dan kekejian itu tidak
dilakukan oleh sebuah rejim yang tengah berkuasa dalam hal ini rejim Soekarno. Justru
yang menjadi korban dari kekejaman sistematis itu adalah rejim politik itu sendiri.
Artinya, dari sudut pelaku, kurang tepat apabila dikatakan bahwa aparat dari suatu rejim
yang terkonsolidasilah yang melakukan semua itu. Dengan begitu, kategori pelaku di sini,
dalam konteks 65 haruslah dicari dalam relasi-relasi yang lebih kompleks dan luas yang
melibatkan penalaran sejarah dan geopolitik internasional pada waktu itu.

Kedua, dengan penjelasan Dhakidae itu, kita bisa mengambil sedikit kesimpulan
mengenai praktik dan sejarah politik di Indonesia. Kekejaman dan kegilaan fasistik
muncul tidak sebagai semacam praktik yang didasarkan atas semacam ideologi organis
ala fasisme Hitler, melainkan lebih didasarkan atas semacam “pilihan rasional” pragmatis
untuk keperluan menghancurkan sebuah rejim dan golongan politik. Artinya di sini
terjadi semacam ketidaksesuaian antara ideologi politik (misalnya untuk melaksanakan
Pancasila secara murni dan konsekuen) yang dibangun untuk melegitimasi kegilaan itu
dengan praktik politiknya sendiri (pembantaian dan pemenjaraan secara sewenang-
wenang). Selain itu kenyatan ini memaparkan kepada sejenis fakta yang penting, yakni
bahwa ternyata dalam hal tertentu para pelaku dan inisiator pembantaian 65 telah
mempraktikkan kekejaman yang lebih sadis dari Nazi sendiri, karena bahkan Nazi
92

membutuhkan sejenis legitimasi ideologis yang rapih dan ketat untuk bisa melakukan
pembantaian itu, semantara di Indonesia kekejaman luar biasa seperti itu terjadi “hanya
demi” memenuhi kebutuhan memusnahkan sebuah rejim politik.

Dengan demikian pada titik ini, makna terpenting dari mencari akar pelaku adalah:
pertama, melakukan pelacakan dari mana dan bagaimana “teknik dan cara” serta
teknologi kekejaman fasisme itu diturunkan dan “diidealkan” dalam benak orang
Indonesia pada waktu itu. Para transmitor dan inisiator dari teknik kebiadaban inilah yang
mestinya dilihat sebagai pelaku utama. Kedua adalah melacak alasan, kepentingan serta
motif dari pelaku-pelaku. Di titik ini, persoalan mengenai siapa pelaku harus melampaui
hubungan-hubungan pelaku di tingkat aparat negara, dan menyentuh aspek keterlibatan
kekuatan-kekuatan asing yang bermain dalam konteks geopolitik penjatuhan Soekarno
pada waktu itu. Di titik ini, sangat masuk akal untuk meneliti kemungkinan bahwa
inisiator utama dari pemusnahan secara sistematis terhadap golongan kiri di Indonesia
harus dilihat dalam konteks perang dingin, di mana pihak luar yang sering disebut-sebut,
seperti CIA, menyumbangkan peran cukup sentral dalam membangun inisiatif-inisiatif
dan bantuan kepada pihak militer di dalam negeri untuk melakukan pembantaian-
pembantaian itu.

Namun demikian, dengan meneliti kriteria Dhakidae yang pertama (metode dan cara
fasis) dengan kriterianya yang kedua (institutionalised crime), maka memang sekali lagi
kita melihat sejenis inkonsistensi, karena dalam konteks Indonesia metode dan cara fasis
itu tidak secara merta dilakukan oleh sebuah institutionalised crime yang diorganisir oleh
rejim penguasa, melainkan justru diorganisir untuk menghancurkan sebuah rejim yang
berkuasa. Namun demikian inkonsistensi dapat dengan segera dipahami apabila sekali
lagi, dua ciri itu kita letakkan dalam konteks kesejarahan yang konkret. Dalam pandangan
ini, pengalaman tahun 1965 memang memperlihatkan bahwa penggunaan metode dan
teknik fasis dilakukan sebagai sebuah langkah lanjut untuk menghabisi dan
memusnahkan kekuatan golongan-golongan politik tertentu. Hebatnya, itu digunakan
bukan oleh perintah dari rejim yang secara de facto berkuasa, namun dilakukan oleh
unsur-unsur politik yang menentang rejim yang berkuasa. Inilah yang oleh Dhakidae
93

disebut sebagai simpul yang pertama dari kejahatan kemanusiaan di Indonesia, yakni di
mana banyak kekuatan politik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, tiba pada
kesepakatan yang brutal untuk menggunakan kekejaman tertinggi menghabisi lawan
politik. Di simpul pertama ini, korban utama adalah golongan kiri dan pengikut
Soekarno.

Kalau sekiranya semua kriteria di atas kita pakai untuk membedah dan
mengklasifikasikan seluruh tindak pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, maka
dengan sendirinya tidak satu pun peristiwa yang bisa menyamai apa yang telah
dikerjakan oleh rejim politik Orde Baru sejak Oktober 1965 … Peristiwa tersebut
tidak saja telah melahirkan ketegangan kehidupan sosial-politik. Lebih dari itu,
terdapat pula implikasi yang berupa serangkaian pembunuhan massal terhadap
orang-orang berhaluan politik komunis … 51

Selanjutnya, metode dan teknik ini serta pengalaman menggunakannya pada simpul
pertama kemudian mengalami sejenis objektifikasi. Itu menjadi sui generis yang dipakai
secara simultan oleh penguasa baru untuk menghabisi lagi lawan-lawan berikutnya.
Inilah simpul kedua yang disebut oleh Dhakidae dan yang menjadi korbannya kali ini
adalah golongan Islam di dalam Orde Baru.

Dengan keberhasilan berbagai penghancuran lawan-lawan politiknya itu, Orde Baru


kemudian bergerak dalam suatu tatanan kepolitikan yang makin kuat dan terkonsolidasi.
Dari sini rejimentasi dari sebuah proyek otoritarian makin jelas dan terbentuk secara
makin solid. Di titik inilah proyek pembangunan dan politik keamanan Orde Baru
terbentuk dan memakan korban berikutnya: DOM di Aceh, kejahatan kemanusiaan di
Papua, kasus-kasus pembunuhan buruh dan petani, penghilangan orang, dan lain-lain.
Inilah yang disebut dengan simpul ketiga.

Dengan penelusuran konseptual ini, Dhakidae menghantarkan kita kepada pemahaman


dan sistematika yang lebih terpadu dan masuk akal. Dengan cara ini, ia mengajak kita
untuk tidak dengan serta merta menyerah pada kompromi dan strategi pragmatis demi
94

menjaga perimbangan kepolitikan dengan golongan politik Islam dan militer. Dalam
strategi Dhakidae, pihak Islam politik harus diajak justru karena mereka sendiri pada
gilirannya merupakan korban yang menempati simpul kedua dalam misteri kejahatan
Orde Baru. Sementara, keterlibatan mereka seputar kasus 65 harus dilihat keterkaitannya
dengan propaganda dan inisiatif-inisiatif adu domba militer. Di titik ini, penjelasan
Dhakidae memberikan batasan-batasan yang lebih jelas dan correct, karena dengan itu ia
mengajak kita untuk menghindar dan menyerah untuk menegosiasikan kebenaran dalam
sejarah politik dengan keadaan politik saat ini. Selain itu jelas di dalam Dhakidae, bahwa
dengan menyebut simpul pertama untuk tragedi 65 maka ia menegaskan pertama bahwa
praktik fasistik yang diikuti oleh munculnya Orde Baru merupakan awal dan akar dari
kekejaman dan kejahatan kemanusiaan dalam sejarah politik Indonesia sepanjang masa.

Sekarang persoalannya adalah apabila kita setuju dengan Dhakidae, maka pertanyaan
yang harus kita jawab adalah sejauh mana makna, kekuatan dan motif dalam
pertanyaan “how to deal with the past” itu mampu berhadapan dan menyelesaikan
problem seberat itu? Mampukah sebuah komisi kebenaran atau bahkan sederet peradilan
HAM, atau apa pun namanya, menyelesaikan sebuah “masa lalu” bernama praktik
fasisme dan rejim otoritarian? Bagaimana itu mungkin?

Pemahaman dan analisis umum yang berlaku dan dilakukan pada masa-masa di mana
pemerintahan Soeharto masih berkuasa menegaskan suatu sikap yang jauh lebih jelas dan
dalam hal yang substansial jauh lebih benar dan bermanfaat, yakni sikap yang
menyatakan bahwa fasisme dan atau otoritarianisme pada masa itu adalah musuh yang
harus dilawan. Mengenai cara melawannya, massa pada waktu itu menawarkan sejenis
sikap oposisi yang substantif dan sangat politis. Di sinilah sebenarnya titik yang
terpenting itu berada. Di masa itu terdapat semacam sikap dan perlawanan yang nyaris
instingtif tentang politik, semacam naluri yang memperjelas posisi bahwa jalan politik

51
Dhakidae dalam Kasim dan Riyadi, ibid., hlm. 256.
95

alternatif adalah satu-satunya pilihan untuk melawan praktik otoritarianisme ataupun


fasisme Orde Baru. 52

Politik dan kesadaran politik semacam ini yang makin kabur di dalam masa transisi ini.
Ketika orang meletakkan fasisme sebagai bagian dari serangkaian upaya untuk “how to
deal with the past”, orang benar-benar meletakkannya ke dalam kompartemen
memorabilia, diperlakukan semacam situs dan barang antik. Dari sini kemudian yang
terjadi adalah ancaman konkret yang sebenarnya masih bertahan dianggap telah benar-
benar berlalu. Ini adalah ironis, karena di saat mereka mencoba meletakkan semua itu
sebagai masa lalu, pada saat yang sama fasisme itu sendiri terus hidup dan makin
menguat. Artinya, ada sejenis mistifikasi di mana bahasa yang dipakai ternyata tidak
secara tepat menggambarkan realitas politik yang ada.

Kesulitan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam otoritarianisme dan fasisme


Soeharto sebenarnya menandaskan bahwa senyatanya fasisme dan otoritarianisme itu
bukanlah sesuatu yang terletak di kompartemen memori belakang atau di masa lalu, sama
sekali bukan. Ia adalah tantangan masa kini. Dari segi figur, memang mungkin kita tidak
lagi harus berhadapan dengan sang Der Führer atau Soeharto sendiri, tetapi fasisme
sebagai ideal politik untuk segolongan orang, entah orang baru ataupun pengikut lama,
rupanya masih menjadi primadona dan pilihan politik yang masuk akal. Dalam dimensi
saat ini bahkan itu bisa jadi tidak lagi sekadar semacam “praktik yang dipetik secara
instrumental dan pragmatis”, itu bahkan bisa saja telah bertranformasi menjadi semacam
cita-cita politik dengan sokongan kekuatan ideologi yang lebih tersistematisasi.

Namun yang mengherankan, gejala dan kondisi-kondisi semacam ini tidak dihadapi
dengan semangat dan metode sebagaimana ia dihadapi di masa Soeharto dulu, yakni
melalui politik oposisi yang radikal. Yang dipakai orang saat ini adalah eksperimen
melalui dua jalan: yang pertama adalah jalan pengadilan dan yang kedua adalah sebuah
eksperimen baru yakni dengan jalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini dapat dilihat

52
Mengenai penamaan rejim fasis untuk Orde Baru lihat dalam Daniel Dhakidae, Cendekiawan
dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
96

paling tidak dari kesimpulan Komnas HAM atau yang lebih dikenal dengan “Prinsip-
prinsip Surabaya” 53 mengenai “mekanisme merealisasikan keadilan di dalam masa
transisi”, yang seperti sebuah litani menderetkan rapalan-rapalan berikut sebagai
“mekanisme merealisasikan keadilan”:

1. Menguak kebenaran
2. Pengakuan
3. Penghukuman
4. Pemulihan korban
5. Mekanisme hukum, peradilan HAM ad hoc.
6. Mekanisme non-legal, komisi keberanan dan rekonsiliasi
7. Berdasarkan standard hukum internasional
8. Hukum nasional yang sesuai dengan HAM universal.

Jelas, implisit dalam mekanisme ini hanya terdapat dua jalan utama saja sebenarnya:
jalan pengadilan dan jalan non-pengadilan: peradilan atau Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.

Konfigurasi Politik Wacana KKR

Sampai pada titik ini, gambaran-gambaran kabur dari jalan peradilan dan penghukuman
ini menghantarkan keyakinan banyak orang untuk memilih dan melirik sebuah paket
transisi yang satu lagi yakni Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Salah satu
inisiator utama dan pendukung produksi gagasan tentang paket ini adalah ELSAM. Pada
mulanya inisiatif tentang KKR tidak terformulasikan dalam sebuah paket yang lengkap
yang di dalamnya dimensi perlindungan dan jaminan HAM itu dilekatkan. Di sini, pada
awalnya, isu tentang KKR lebih merupakan inisiatif para elite politik pada era transisi
awal yang disampaikan secara sepotong-potong dan lebih dalam nuansa serta kegunaan
politik yang kabur dan berubah-ubah. Sehingga bahkan dalam penyebutannya pun sering

53
Untuk ini lihat dalam bagian akhir dari sebuah buku yang merupakan rangkuman dari seminar
lokakarya Komnas HAM tahun 2001 yang berjudul Keadilan dalam Masa Transisi, Jakarta: Komnas
97

kali ia berubah-ubah sedemikain rupa dari “rekonsiliasi” menjadi “rembug nasional”,


kemudian berubah lagi menjadi “rujuk nasional”, lalu kembali ke “rekonsiliasi” lagi.
Perubahan-perubahan nama ini mengindikasikan pergeseran dalam konsepsi para
inisiatornya masing-masing, yang di dalam hal ini jelas-jelas merepresentasikan
pandangan dan kepentingan politik yang berbeda-beda satu sama lain.

Ungkapan rekonsiliasi yang diletakkan dalam kerangka pemenuhan sebuah politik


transisi yang lengkap disuarakan secara keras oleh Nurcholis Madjid, Wiranto dan Abdul
Hakim Garuda Nusantara. Pernyataan itu sendiri sebenarnya lebih merupakan reaksi
lanjutan dari ungkapan yang sama yang sebelumnya telah lebih dahulu dilontarkan oleh
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan Uskup Belo. 54 Hal yang sama dinyatakan
juga oleh Romo Mangunwijaya. Namun pada waktu, orientasi yang diajukan oleh Gus
Dur, Megawati, Bello dan Mangunwijaya terfokus pada masalah-masalah yang
menyangkut persoalan-persoalan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh pola kekuasaan
negara dalam hubungannya dengan Timor Timur dan Irian Jaya pada waktu itu.

Ide ini kemudian berkembang dalam wacana publik pada waktu itu dan mulai menyeret
pemikiran orang ke arah mekanisme dalam kerangka konsepsional yang lebih jelas. Dari
sini, harian Kompas kemudian menegaskan penggunaan istilah rekonsiliasi nasional, dan
Nurcholis, Abdul Hakim serta Wiranto makin memperkuat penggunaan istilah ini. Dalam
konteks pemikiran di masa itu memang tampak jelas bahwa wacana rekonsiliasi nasional
sejak awal diletakkan dalam kerangka pemenuhan suatu kebutuhan politik integratif
yakni dengan membebankan kepadanya tugas – sebagaimana Nurcholis – untuk
menghapus politik balas dendam. Sementara Wiranto meletakkannya dalam kerangka
untuk “membangun kembali satu visi dan menghindari saling salah menyalahkan.”
Sementara menurut Abdul Hakim, rekonsiliasi ini penting untuk “menjamin persatuan
dan kesatuan dan kredibilitas rejim pasca-Orde Baru melalui mekanisme
pertanggungjawaban hukum.” 55 Pendapat-pendapat ini kemudian diperkencang lagi oleh

HAM, 2001.
54
Suara Merdeka, 18 Juli 1998.
55
Kompas, 31 Agustus 1998.
98

harian yang sama dengan mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution dengan ide
perlunya dibentuk sebuah lembaga Komite Rekonsiliasi Nasional. 56

Dari sini dengan segera kita bisa melihat bahwa inisiatif rekonsiliasi sejak awal telah
menarik minat dari berbagai kepentingan politik. Tampaknya masing-masing pihak telah
menaruh motif dan kemauannya masing-masing atas sebuah mekanisme nasional yang
sama. Jadi perebutan kepentingan untuk mengisi wacana dan institusi ini berikutnya
memang telah dimulai, bahkan sebelum wacananya disampaikan secara lengkap dan
utuh. Tidak heran apabila, panglima TNI pada waktu itu (Wiranto), dengan segera
menyatakan minat dan dukungan yang kuat untuk upaya itu. Di sini jelas ia berbicara
dengan sudut kepentingan militer pada waktu itu. Bukan hanya itu, orang seperti Budi
Hardjono, yang pada waktu itu – meski sudah masuk masa Habibie – masih menikmati
posisinya selaku ketua fraksi PDI dukungan Soeharto di DPR, juga menyambut inisiatif
tersebut. Tentu saja dengan buru-buru menambahkan harapan bahwa “agar rekonsiliasi
tercapai, Habibie diharapkan merangkul semua kelompok oposan di tengah
masyarakat.” 57 Orang seperti Budi Hardjono – dan Harmoko pada saat yang sama – telah
bisa membaca dan memposisikan secara cerdik inisiatif transisi ini untuk keuntungan dan
perlindungan politik di pihaknya dari serbuan kelompok oposisi yang makin jelas tampil
dalam mimpi buruk Budi Hardjono. Di sini apa yang dimaksudnya sebagai oposan tidak
lain adalah Megawati, orang yang ia khianati sebelumnya. 58

Dalam konfigurasi awal ini, pembentukan wacana rekonsiliasi itu sendiri masih sangat
kabur. Orang seperti Hakim yang sudah pasti memiliki pengetahuan lengkap mengenai
gagasan rekonsiliasi sebagai paket politik transisi belum juga secara detail menjabarkan
motif utama dari sebuah inisiatif rekonsiliasi dalam era transisi. Justru, gambaran yang
lebih jelas dalam arti memberikan akses kepada publik untuk secara lebih terbuka

56
Kompas, 1 September 1998.
57
Republika, 2 September 1998.
58
Namun demikian selain menampilkan konfigurasi dari berbagai kepentingan dan aktor-aktor,
tetap saja ada sejenis die hard yang demi menjaga kepentingan penguasa dukungannya ia secara membabi
buta tidak berfikir lagi dalam cara yang lebih cerdik dan elegan sebagaimana Wiranto ataupun Budi
Hardjono. Salah satunya adalah A. A. Baramuli yang bicara atas nama ketua DPA mengatakan bahwa “tak
cukup alasan Rekonsiliasi Nasional”, alasannya DPR, ABRI, DPA, Parpol, dll. sudah cukup mencerminkan
beragam aspirasi dalam masyarakat. Untuk ini lihat dalam Republika, 1 September 1998.
99

meneliti kekuatan politik dari mekanisme ini datang dan dibuka oleh seorang mantan
Jenderal Orde Baru, Rudini, ketika setelah menegaskan permintaan agar Habibie
memprakarsai Rekonsiliasi Nasional ia menyatakan bahwa:

proses rekonsiliasi dapat diwujudkan lewat pendekatan politik dan hukum.


Pertama, pendekatan politik, misalnya tentang kejadian di masa lalu yang
dilakukan ABRI. ABRI kan waktu itu disuruh menumpas gerombolan. Ini kan
secara politik benar ... (kedua) pendekatan hukum … tidak dipungkiri ada oknum
yang menyimpang. Mereka ini bisa dikenakan proses hukum.

Dengan ini, Rudini secara tidak langsung telah memberikan dimensi how to deal with the
past dan dimensi pelaku sekaligus, meski tentu saja di dalam Rudini ini dilakukan di
dalam motif mempertahankan impunitas. Namun dari usulan sekaligus pledoi prematur
singkatnya itu, kita sebenarnya sudah bisa menilai bahwa aspek pokok dari sebuah
proyek transisi dalam mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi sedikit telah
terungkap.

Pemerintah Habibie memang segera merespon inisiatif-inisiatif tersebut dengan


membentuk “Tim Rekonsiliasi Nasional” bersama-sama dengan Komnas HAM. 59 Namun
demikian jangan dikira bahwa tim ini dibentuk dalam sebuah kerangka kerja
sebagaimana yang kita pahami sebagai sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Rejim
Habibie sejak awal telah meletakkan keperluan transisi itu dalam kerangka yang sangat
terbatas dan memang lebih dimaksudkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan
Orde Baru dan tentara terlebih dahulu. Ini tampak dari pernyataan Muladi, yang pada
waktu itu menjabat sebagai menteri kehakiman di kabinet Habibie, yang menampik
kemungkinan rekonsiliasi termasuk “perlakuan terhadap mantan presiden” (Soeharto
masksudnya), dan menyerahkan keanggotaan tim tersebut kepada seorang Menko
Polkam. 60 Walaupun dari sudut Komnas HAM, sempat dikemukakan juga kemungkinan

59
Pembentukan tim ini merupakan hasil pertemuan antara Habibie dengan Komnas HAM yang
pada waktu itu diwakili oleh Marzuki Darusman, pada tanggal 4 September 1998. Dalam susunan
keanggotaan, di sini diambil dari pemerintah (Menko Polkam, Menkeh, Mendagri dan Menhan/Pangab)
dan Komnas HAM, Kompas, 5 September 1998.
60
Republika, 5 September 1998.
100

dan orientasi untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM, yang disebut-sebut


secara gencar adalah dalam kasus Aceh saja.

Namun demikian memang menjadi makin lebih jelas adanya dua kecenderungan dalam
ide tentang tim ini. Kecenderungan yang pertama adalah yang lebih hendak mengadopsi
pikiran dan rumusan transisional yang merujuk pada pengalaman negara-negara transisi
lainnya dalam menuntaskan kejahatan kemanusiaan di masa lalu, sehingga dengan
demikian pembongkaran kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim di
masa lalu menjadi hal yang paling penting dilakukan oleh komisi ini. Kecenderungan ini
tampaknya ditekankan oleh figur Marzuki Darusman dan Asmara Nababan di Komnas
HAM yang pada saat itu memang banyak berhubungan dengan kalangan LSM.
Sementara kecenderungan kedua lebih menekankan kepada tujuan-tujuan integratif yang
mengandaikan bahwa blanket amnesty memang semestinya diberlakukan kepada para
pelaku sebagaimana tercermin dalam pikiran-pikiran pimpinan tentara dan kabinet
Habibie pada waktu itu. Dua kecenderungan inilah yang tampak mengental dan menjadi
ganjalan utama untuk segera berdirinya tim rekonsiliasi ini.61

Namun demikian di luar perbedaan kecenderungan ini, situasi politik yang serba ringkih
pada waktu itu rupanya kemudian turut memberikan dimensi baru dan tafsiran lain bagi
rejim Habibie, yang kemudian memiliki kecurigaan tertentu terhadap niat dan usulan
sejumlah kalangan untuk melibatkan tokoh-tokoh nasional di dalam tim ini. Keterlibatan
ini rupanya dilihat dalam kerangka dan kebutuhan politik yang sangat lain: yakni
ancaman terhadap kekuasaan. Ini secara lugas diungkap oleh Marzuki Darusman sebagai
berikut:

… Rekonsiliasi yang dicita-citakan … agaknya tak mungkin dilaksanakan dalam


waktu dekat. Hal ini terjadi karena belum ada persamaan persepsi antara
masyarakat dan pemerintah … Menurut pemerintah untuk mencapai rekonsiliasi
adalah dengan cara menentramkan keadaan. Selanjutnya menerima apa yang
terjadi saat ini sebagai sebuah kenyataan lalu secara bersama-sama mencari

61
Media Indonesia, 17 Oktober 1998.
101

pemecahannya dengan dasar kenyataan yang ada. Sedangkan arti rekonsiliasi yang
beredar di masyarakat ditangkap pemerintah adalah upaya untuk mengubah
pemerintahan dengan membentuk suatu pemerintahan sementara atau
presidium. 62

Bukan hanya Habibie sebenarnya yang menafsirkan rekonsiliasi sebagai jalan untuk
tujuan kekuasan politik. Kwik Kian Gie dari PDIP rupanya juga menafsirkan ide itu
dalam stand point yang sama meski dengan posisi kepentingan yang berbeda dengan
Habibie, ketika dia mengatakan “saya tidak tahu maksud rekonsiliasi nasional … yang
paling penting adalah Pemilu seadil-adilnya.” 63 Jadi dua seteru ini, baik Habibie maupun
Kwik melihat kemungkinan bahwa rekonsiliasi sebagai ancaman terhadap prospek
kekuasaan politik kelompok masing-masing. Habibie takut tim rekonsiliasi itu akan
dipelintir menjadi presidium yang mengambil alih kekuasaanya, sementara Kwik
khawatir akan kemungkinan terjadinya distribusi kekuasan dengan keberadaan tim
rekonsiliasi ini, sementara Kwik berkeyakinan kalau di Pemilu nanti kelompoknya tentu
akan dominan dan menentukan dalam distribusi kekuasan itu. Jadi, implisit di dalam
kekhwatiran Habibie maupun Kwik, tim rekonsiliasi ini akan menggerus jatah kekuasan
yang mungkin mereka peroleh. Di titik inilah kemudian ide dan wacana rekonsiliasi ini
kemudian makin kabur. Ujungnya, ketika tafsiran politik atas mekanisme ini makin
mengental, maka kemudian wacana ini pun bergeser dari rekonsiliasi nasional menjadi
rembug nasional, yang mengindikasikan menguatnya orientasi bagi-bagi kekuasaan
antara elite politik pada waktu itu. 64

Indikasi ini tidak dapat dibantah mengingat bahkan tokoh-tokoh seperti Gus Dur dan
Nurcholis Madjid yang merupakan inisiator awal wacana rekonsiliasi ikut serta dalam
pergeseran wacana ini. Mereka sama sekali tidak berupaya untuk mempertahankan
maksud dan makna otentik di dalam konsepsi rekonsiliasi nasional yang mereka ajukan,
malahan turut mencair dengan keterbelakangan dan kebuntuan konseptual rejim politik
pada waktu. Dari sinilah juga kemudian pergeseran wacana itu makin mengencang dan

62
Merdeka, 19 Oktober 1998.
63
Merdeka, 7 September 1998.
102

bercampur-campur bahkan sempat berubah lagi dari rembug nasional menjadi dialog
nasional. Di sini keperluan sebagaimana diinginkan dalam pandangan transisionis makin
menjauh dan menghilang.

Upaya untuk memunculkan kembali wacana ini dalam dimensi yang lebih utuh kemudian
muncul kembali melalui sebuah artikel di Kompas tepat pada hari HAM Internasional
tahun 1998 yang ditulis oleh Abdul Hakim. Di sini Abdul Hakim menegaskan tiga hal
penting: pertama, keharusan untuk meletakkan rekonsiliasi di dalam perspektif HAM
yang utuh; kedua, untuk itu rekonsiliasi harus diarahkan dalam kerangka menyelesaikan
pelanggaran berat HAM dan kebijakan politik yang menyertainya yang dilakukan oleh
rejim Orde Baru; dan ketiga, bahwa upaya itu tidak mungkin dilakukan oleh rejim
Habibie, dan untuk itu rekonsiliasi yang berperspektif HAM itu harus menunggu lahirnya
pemerintahan baru dari hasil pemilu yang demokratis agar bisa terwujud. 65 Dengan
artikel ini, Abdul Hakim tidak hanya mengingatkan publik untuk kembali kepada
kebutuhan awal dari sebuah rejim transisi yang “normal” serta mengangkat kembali
wacana rekonsiliasi. Lebih dari itu, dengan ini Abdul Hakim juga memberikan dimensi
baru dalam perdebatan orang pada waktu itu mengenai makna rekonsiliasi, yakni dimensi
HAM dan akuntabilitas negara. Oleh Hakim penafsiran yang sangat terbelakang
mengenai rekonsiliasi nasional sebelumnya diseret ke dalam rujukan yang lebih
konsepsional dan bertanggung jawab.

Dari paparan itu kita bisa memahami bahwa memang sejak jauh-jauh hari wacana
rekonsiliasi dan KKR memang telah dikepung oleh konfigurasi berbagai kepentingan
politik, yang di sisi lain justru menunjukkan posisi strategis dari mekanisme ini. Dalam
konfigurasi ini kita bisa memperhatikan sejumlah kencenderungan. Pertama,
kecenderungan untuk meletakkan rekonsiliasi nasional dalam tujuan integratif-impunitif,
yakni demi stabilitas dan tanpa melalui proses pertanggungjawaban apa pun (blanket
amnesty) sebagaimana kita lihat dalam kemauan rejim Habibie dan tokoh tentara Orde

64
Munculnya wacana Rembug Nasional dikeluarkan oleh Lemhanas melalui ketuanya pada waktu
itu Agum Gumelar, Kompas, 24 November 1998.
65
Untuk ini lihat artikel Abdul Hakim G. Nusantara, “Rekonsiliasi dalam Perspektif HAM”,
dalam Kompas, 10 Desember 1998.
103

Baru. Kecendrungan kedua, integratif-impunitif terbatas, adalah rekonsiliasi dalam tujuan


persatuan dan perdamaian, dengan pengungkapan masalah-masalah di masa lampau tapi
sangat terbatas dan sangat bergantung serta dipengaruhi oleh gagasan-gagasan dan
komitmen-komitmen antara elite politik yang ada. Kecenderungan ini tampak dalam
pikiran tokoh seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid dan Frans Seda. Kecenderungan ketiga
adalah integratif-punitif, rekonsiliasi nasional dalam skema Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dengan tujuan penyelesaian dan pertanggunjawaban kejahatan kemanusiaan
di masa lampau, sebagaimana diinginkan sejumlah tokoh LSM dan sebagian figur
Komnas HAM. Kecenderungan keempat, legalis-punitif, adalah menolak sama sekali
rekonsiliasi karena menganggapnya sebagai benteng kekebalan bagi para pelaku
pelanggran HAM. 66 Mereka yang menolak KKR ini terbagi ke dalam dua pemikiran lagi,
yakni yang menganjurkan proses judisial melalui peradilan HAM sebagai jalan
penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, sementara yang lain menganjurkan untuk
dibentuknya Komisi Kebenaran dan Keadilan yang dianggap akan lebih memberikan
dimensi punitive dan keadilan bagi korban, ketimbang KKR yang mengesankan amnesti
dan kompromi.

Dengan konfigurasi itu maka jelaslah bahwa upaya pendefinisian makna dan isi
rekonsiliasi nasional itu dengan sendirinya mencerminkan pertarungan politik yang lebih
kompleks dan melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan yang beragam. Pertarungan
ini memperlihatkan bahwa perumusan ideal transisi dalam konteks Indonesia, sedikit
banyak masih memperlihatkan keterlibatan dari rejim lama. Ini mempertegas fakta bahwa
perubahan politik di Indonesia tidak secara radikal berhasil menghancurkan kekuatan
rejim otoritarian, sehingga berbagai ganjalan dalam penyusunan agenda politik pasca-
Soeharto sendiri menjadi harga yang harus dibayar. Kenyataan betapa inisiatif ini
senyatanya sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang ada, makin terbukti dengan
jelas ketika pada masa-masa berikutnya pertarungan politik semakin memanas. Wacana
ini dengan sendirinya kembali hilang dari perdebatan umum.

66
Untuk yang menolak salah satunya datang dari sikap PBHI yang diwakili oleh Hendardi dan
Arbi Sanit yang melihat rekonsiliasi sebagai mekanisme untuk impunitas dan pengawetan totaliter, Suara
104

Wacana ini baru terangkat lagi ke permukaan setelah terbentuk pemerintahan baru di
bawah Gus Dur, yaitu dimulai dari usulan Fraksi Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya
TAP MPR tentang Rekonsiliasi Nasional, 67 yang kemudian, pada bulan Maret 2000
disetujui oleh fraksi-fraksi MPR. Hal itu dilanjutkan dengan pernyataan permintaan maaf
Presiden Gus Dur pada waktu itu atas keterlibatan Banser dalam pembantaian 65,
pembebasan tapol dan napol, dan dilanjutkan dengan pembuatan RUU mengenai Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang melibatkan sejumlah tokoh LSM di dalamnya. Dalam
masa-masa itu, presiden sendiri pun bahkan menyempatkan diri untuk berkunjung ke
Afrika Selatan dan melakukan pembicaraan khusus mengenai pengalaman KKR di
negara tersebut. 68

Namun demikian, di masa keperisidenannya yang singkat, ia juga tidak dengan segera
berhasil menginstitusionalisasikan wacana ini menjadi sebuah komisi, sehingga apa yang
banyak ia gaungkan di masa awalnya dulu juga gagal terbentuk di dalam
pemerintahannya. Justru salah satu yang berhasil dilakukan di jaman itu adalah perangkat
dan mekanisme judisial – yang belakangan nanti dianggap menjadi alternatif dari KKR –
dalam rupa peradilan HAM ad hoc yang di masa itu akan dipakai untuk mengadili para
pelaku kejahatan kemanusiaan di Timor Leste. Meskipun demikian, wacana ini makin
mendapatkan bobot yang lengkap dan bentuk serta perspektif HAM yang dulu diminta
oleh Abdul Hakim secara perlahan makin terpenuhi.

Tepat ketika Hakim menyatakan bahwa model Afrika Selatan adalah yang paling ideal
untuk Indonesia, 69 pada saat yang hampir bersamaan Gus Dur bertemu dengan Komisi
Kebenaran Afrika Selatan. Di titik ini, wacana KKR makin mendapatkan format dan
rujukan yang kian lengkap dibandingkan dengan rujukan-rujukan sebagaimana diajukan
oleh para inisiatornya di era Habibie. Semenjak saat itu istilah rekonsiliasi dirujuk secara
lebih cermat dengan diawali dengan wacana kebenaran, karenanya komisi yang diusulkan
kemudian pun tidak lagi disebutkan dengan nama yang campur baur dengan kepentingan

Pembaruan, 9 September 1998.


67
Kompas, 8 Desember 1999.
68
Kompas, 10 April 2000.
69
Republika, 15 Maret 2000.
105

politik spesifik dan tanpa visi sebagaimana sebelumnya (Dewan Rekonsiliasi,


Rekonsiliasi Nasional, dsb.), tapi makin disebutkan dengan mendekati rujukan
pengalaman dan konsepsi yang lebih jelas yakni Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pada titik ini, dimensi kebenaran diterima dalam konfigurasi wacana ini. Dari titik ini
orang kemudian menunggu RUU KKR yang sedang dibuat oleh pemerintah untuk
melihat wujud konkret dari lembaga itu. Namun, belum sempat RUU tersebut keluar,
Indonesia kembali disibukkan dengan pertarungan politik antar elite kekuasan, akibatnya
wacana ini kembali tenggelam sampai akhirnya kepresidenan Gus Dur diakhiri.

Menolak KKR: Mengharapkan Ada Eichmann di Jakarta?

Berakhirnya masa pemerintahan Gus Dur tidak menghentikkan perjalanan wacana ini
untuk menuju pembentukan diri yang makin solid dan konkret. Pada tanggal 29 Maret
2003, Abdul Hakim telah menjabat ketua Komnas Ham menyampaikan permintaan agar
pemerintah segera mengajukan RUU KKR kepada DPR. Beberapa bulan dari permintaan
itu, pemerintah menyampaikan RUU tersebut dan DPR akhirnya membentuk sebuah
Panitia Khusus untuk RUU ini. Dari sini perjalanan wacana KKR dimulai lagi, dan kali
ini konfigurasi politik yang terbentuk serta kehendak kuasa di dalamnya telah makin
terformulasi dalam debat kalimat-kalimat pasal di dalam RUU itu. Kali ini perhatian
tercurah tidak pada konfigurasi wacana yang kompleks yang berasal dari kepentingan
elite politik beragam sebagaimana sebelumnya.

Pada titik ini terdapat perdebatan di dua tingkatan: yang pertama adalah perdebatan
antara mereka yang menginginkan KKR untuk lebih berfungsi dalam kerangka
penegakan HAM yang substansial dan punitif tanpa meninggalkan pentingnya aspek
peradilan HAM, dengan mereka yang menginginkan KKR bekerja dalam kerangka yang
sangat terbatas integratif-impunitif. Di sini terdapat LSM-LSM seperti ELSAM, sejumlah
wakil-wakil korban dan sejumlah figur di Komnas HAM. Yang kedua adalah debat yang
terjadi di kalangan LSM sendiri yang sebagian menunjukkan debat yang kabur, yakni
antara mereka yang mempertentangkan KKR dengan peradilan HAM dan menghendaki
jalan justisia untuk penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, dengan mereka yang
106

melihat KKR bisa dikombinasikan dengan peradilan HAM, sehingga KKR tidak perlu
dipertentangkan dengan peradilan HAM.

Untuk debat yang pertama, kita bisa melihat pertentangan dalam konfigurasi politik di
belakang wacana KKR. Ini merupakan kelanjutan pertarungan yang telah dimulai pada
masa Habibie, yang lebih mencerminkan kehendak perubahan versus kehendak para
pelaku yang bertahan di belakang birokrasi dan kekuasaan militer yang masih ada di
pemerintahan dan DPR. Arena debat ini terfokus pada materi RUU yang ada. Yang satu
mengharapkan KKR benar-benar bekerja dalam kerangka yang luas sehingga mampu
menjangkau dan membersihkan akar kekejaman di dalam sejarah politik Indonesia,
sementara lawan-lawannya menghendaki KKR dengan kerja yang sangat terbatas.

Dalam debat yang kedua, mereka yang menolak KKR melihat bahwa dalam perdebatan
yang pertama (antara ELSAM dan pemerintah-DPR) konfigurasi pertarungan itu
memperlihatkan kemungkinan bahwa pihak pelaku akan lebih punya peluang
memenangkan pertarungan ini. Ini ditandai dengan sejumlah indikator: Pertama,
gagalnya usulan untuk mencabut TAP MPR tentang pelarangan Marxisme-Leninisme,
gagalnya pencabutan TAP MPR yang melarang ajaran-ajaran Soekarno, tidak adanya
upaya dari pemerintah untuk merehabilitasi korban 65 dan nama baik mantan presiden
Soekarno. Indikasi-indikasi ini memcerminkan masih kuatnya kekuatan konservatif yang
tidak mengehendaki kebenaran sejarah terungkap, dan akar kekejaman itu diurai. Indikasi
kedua adalah gejala yang tampak dari kegagalan peradilan HAM yang sudah berlangsung
serta terbenturnya upaya komnas HAM untuk menyeret pelaku kejahatan kemanusiaan
dalam kasus Tri Sakti, Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998. Semua itu mengindikasikan
absennya kondisi yang memungkinkan kerja KKR dilakukan saat ini. Dengan argumen
itu maka mereka melihat sulit untuk mengubah RUU KKR agar lebih berpihak pada
korban, dan akhirnya mereka menuntut agar DPR menunda pembahasan RUU ini di
DPR. 70

70
Pendapat ini disampaikan oleh aktivis seperti alamarhum Munir dari Imparsial dan Usman
Hamid dari Kontras, serta sejumlah aktivis orang hilang di Ikohi, Kompas, ibid.
107

Namun demikian, dari sikap demikian itu kelompok ini kemudian “melompat” dari
argumen kritik ke kesimpulan yang abolisionis yang ekstrem, yakni menolak KKR.
Dengan sikap ini, kita sulit memahami posisi dasar mereka. Yang mana yang
sesungguhnya mereka tolak? Apakah ide tentang KKR ataukah RUU-KKR dari
pemerintah itu? Ini menjadi tidak jelas. Namun demikian pada akhirnya semua lebih
terang ketika mereka kemudian muncul dengan argumen bahwa peradilan HAM-lah yang
lebih memadai untuk penyelesaian kejahatan di masa lalu. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa yang mereka tolak adalah keduanya, yaitu baik RUU-nya maupun ide
tentang KKR-nya sekaligus.

Dari mereka yang meminta peradilan HAM untuk kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di
masa lalu, sulit bagi kita untuk mendapatkan argumen yang relatif lengkap yang bisa
memberikan pandangan tentang di mana kemungkinan dari mekanisme itu bisa dipakai
untuk secara efektif menyelesaiakan akar kekejaman di Indonesia.

Ada beberapa keraguan yang bisa disampaikan di sini. Pertama adalah keraguan yang
berbasis pada fakta-fakta empiris tentang pengalaman peradilan HAM ad hoc yang telah
berlangsung yakni peradilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM di Timor Leste dan
Kasus Tanjung Priok, serta berbagai kegagalan dan kerapuhan mekanisme pra-peradilan
yang telah dilakukan oleh Komnas HAM selama ini. Kedua adalah keraguan konseptual
mengenai sejauh mana cara ini cukup memadai untuk menangani sebuah kejahatan dari
rejim neo-fasis dan menghantarkan sebuah transisi yang benar-benar transisi dari rejim
tersebut, sebagaimana yang diminta oleh para pendukung paham legalis ini sendiri.

Dari pengalaman empirik yang ada, telah bisa kita ukur dengan jelas kapasitas dari
sebuah jalan legal dalam menghadapi ampas dari sebuah rejim fasis. Yakni bahwa pada
saat yang terakhir para pendukung jalan legal ini harus terpaksa memuaskan diri sendiri
dalam ekspresi minimalis dengan mengatakan bahwa “minimum ada jenderal yang
dibawa ke pengadilan” soal dihukum atau tidak itu urusan lain. 71

71
Terdapat kesulitan untuk menunjukan wakil-wakil atau juru bicara untuk pikiran ini, mengingat
dalam perdebatan di Indonesia banyak pihak berpendapat hanya melalui media dan sangat kurang bahan-
108

Ekspresi semacam ini mengisyaratkan sejumlah hal. Pertama, bahwa dalam situasi di
mana perubahan politik dalam masa transisi dianggap tidak mampu menghasilkan
keadilan yang mutlak dari hasil gelora momentum gerak perubahan yang spontan, di
mana masyarakat luas tidak berhasil menghukum secara langsung para penjahat HAM
dari rejim Soeharto, maka upaya yang tersedia untuk meraih kembali keadilan itu adalah
melalui jalan menghukum para pelaku. Untuk itu satu-satunya jalan yang masuk akal
adalah melalui peradilan. Dengan kata lain peradilan dianggap sebagai substitusi
sekaligus kompensasi dari kegagalan penghukuman politik. Kedua, ada anggapan bahwa
keberadaan sebuah mekanisme yang menghasilkan penghukuman paling minimum
sekalipun yang diatur oleh sebuah hukum positif telah dianggap cukup untuk
memberikan bukti-bukti kualitatif bahwa masa lalu, dan pelaku kejahatan di masa lalu
telah berhasil ditaklukkan. Jadi ada sejenis mental victory yang berhasil didapat. Yang
menjadi target utama pada titik ini memang adalah psikologi politik umum. Diharapkan
akan datang semacam rasa jera dan sekaligus pengakuan akan hukum dan politik baru
dari para pelaku (dengan bersedia diadili dan dihukum). Ketiga, cara umum untuk
penundukkan pelaku kejahatan HAM adalah dengan mengkriminalisasikan yang
bersangkutan, dengan harapan bahwa setelah proses ini berlangsung, publik yang lebih
luas akan terseret pada moralitas baru yang ditimbulkan oleh hukum tersebut. Dari sini
kalangan ini kemudian berharap bahwa kriminalisasi ini akan dengan sendirinya menjadi
nilai normatif baru yang dianut oleh suatu masyarakat.

Dengan demikian, pandangan legalis ini menganggap dan mempercayai bahwa: pertama,
pemerintahan-pemerintahan yang terbentuk pasca-rejim otoritarian itu memang memiliki

bahan tertulis yang mempresentasikan posisi pikiran legalis ini secara jernih. Mengenai KKR di Indonesia
misalnya, banyak pihak yang menyampaikan pikiran yang kurang jernih dalam membedakan KKR dan
RUU KKR. Banyak tulisan yang menyamaratakan kedua hal yang sangat berbeda ini; sehingga kadang kala
menjadi meragukan, apa yang sebenarnya mereka kritik. Apakah menolak RUU-nya? Ataukah mekanisme
KKR secara umum yang mereka tolak untuk dipakai di Indonesia? Salah satunya misalnya dari apa yang di
tulis oleh Usaman Hamid, “Mengapa RUU KKR Harus Ditolak?” dalam Berita Kontras, No 8/VIII/2003.
Namun demikian dari argumen yang ambivalen sekalipun, implisit terdapat sebuah hal yang jelas, yakni
bahwa penulis yang bersangkutan menempatkan mekanisme judisial sebagai langkah pokok yang tidak
dapat disubtitusikan. Ini dapat kita tafsirkan ketika Usman menulis “…logika yang dibangun dari
penegasan prinsip hukum ne bis in idem dan hubungan KKR yang substitutif dengan pengadilan ad hoc
109

kapasitas dan kemauan yang sederajat dengan kaum legalis untuk memusnahkan politik
otoritarian yang berasal dari rejim sebelumnya, sehingga dengan itu mereka juga percaya
bahwa peradilan HAM yang dibentuk oleh rejim ini akan berlangsung dan memang
secara moral dan secara hukum memiliki kelengkapan dan kapasitas yang memadai, yang
keputusan-keputusannya bisa menghasilkan norma dan moralitas baru untuk
masyarakatnya. Kedua, pandangan ini juga mengandaikan bahwa setelah peradilan itu
berlangsung maka otomatis si pelaku dengan seluruh atribut dan kekuatan yang berasal
dari latar belakang politiknya di masa lalu akan dengan sendirinya bertransformasi
menjadi manusia baru seiring dengan transformasi normatif yang dilakukan oleh
peradilan tersebut. Ini yang mereka sebut sebagai masyarakat dengan moralitas baru.
Inilah mimpi utama transisionis-legalis di Indonesia.

Keinginan yang tersirat dalam argumen semacam ini sebenarnya sangat terbatas jika
dibandingkan dengan argumen dari tokoh legalis semacam Aryeh Neier, yang di dalam
konteks perdebatan di Indonesia, dalam beberapa hal dijadikan rujukan oleh para legalis.
Dalam kesempatan ini ada baiknya kita sampirkan guru kaum legalis dalam perdebatan
ini. Dengan nuansa normativitas yang nyaris radikal, Neir menegaskan bahwa:

To those who hold such views, the respect for the right of each person inherent in
such an accounting is central to a democratic society. Some leaders of nations
currently undergoing “transition to democracy” are impatient with the demands of
past victims and their families and see these an obstacle to “national
reconciliation” and to their hopes to build stable democratic governments. They
fear that those who might be brought to account for their past abuses may later
take revenge. Such fears are often understandable; but to that extend that society
or government dismisses the principle of accountability as unnecessary, it
undermines its possibilities of becoming a true democracy, in which citizens can
feel confident that their rights are firmly protected. 72

HAM, menurut saya sangat kental dengan keinginan menutup peluang adanya upaya penuntutan.” Ini salah
satu argumen tertulis yang menunjukkan superioritas jalan peradilan di atas jalan yang lain.
72
Aryeh Neier, “What Should be Done About the Guilty?”, dalam Neil J. Kritz
(ed.), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon With Former Regimes,
Washington: United States Institute of Peace, 1995.
110

Jadi Neier, seiring dengan pandangan politik para legalis sebelumnya, juga mempercayai
bahwa rejim-rejim politik transisi memiliki keinginan dan dianggap harus merasa
berkewajiban untuk menghukum para pelaku. Basis utama dan satu-satunya dari
keyakinan Neier ini – juga keyakinan banyak transisionis-legalis di Indonesia – adalah
keyakinan akan niat baik dan kesadaran dari pimpinan politik untuk membangun sebuah
tatanan “true democracy” yang mampu memberikan kepastian dan jaminan hak-hak
terhadap warga negaranya. Neier mengandaikan bahwa transisi politik pasca-otoritarian
itu senantiasa berjalan mulus, dan bahwa rejim politik yang terbentuk sebagai rejim baru
mesti merupakan pembalikan yang total dan signifikan atas rejim sebelumnya, atau
setidaknya harus bersikap demikian dalam pandangan ini.

Dengan begitu bagi Neier, hak-hak korban tidak dapat dikompensasikan dan
dinegosiasikan dengan apa pun, termasuk dengan isu kestabilan demokrasi sekalipun. Ini
kalau para pimpinan rejim baru benar-benar menghendaki suatu demokrasi yang sejati:

To demand accountabilitry , especially so far as exposing the truth is concerned, is


to insist that people not be sacrified for the greater good; that their suffering
should be disclosed, and the responsibility of the state and its agents for causing
that suffering be made clear. 73

Sebagaimana para pendukungnya di Indonesia, pertanggungjawaban dan penghukuman


terhadap pelaku dan negara menjadi mutlak bagi Neier. Dan di titik ini anjuran Neier
mengenai akuntabilitas itu dibaca dan diterjemahkan dalam konteks yang lebih praktis,
yakni dengan meneruskannya kepada mekanisme peradilan sebagai ekspresi tertinggi dari
upaya akuntabilitas dan penghukuman terhadap para pelaku. Dengan kata lain peradilan
dan penghukuman menjadi sartu-satunya ekspresi dari akuntabilitas politik tersebut. Di
sinilah Neier mengilhami transisionis legalis di Indonesia.

73
Lihat Neier, ibid., hlm. 182.
111

Yang menjadi masalah di sini adalah, kalau soal menghukum seberat-beratnya para
pelaku, jangankan Neier maupun para legalis di Indonesia, hampir semua pihak yang
tidak menghendaki neo-fasisme dan menginginkan masa depan yang lebih baik juga tentu
sangat menyetujui dan menginginkan semua itu berlangsung. Hanya soalnya, perubahan
politik yang konkret terjadi tidak selamanya mulus sebagaimana diasumsikan Neier.
Moralitas politik yang terbentuk pun tidak pula segagah dan selengkap sebagaimana yang
diharuskannya. Dalam pengalaman perubahan politik di Indonesia, keharusan-keharusan
Neier sayangnya tidak memiliki basis sosial dan politik yang cukup kuat untuk
mewujudkannya menjadi aktual. Tanpa kekuatan dan basis politik ini, jalan keluar yang
dianjurkannya yakni dengan akuntabilitas melalui sebuah peradilan terhadap pelaku
kejahatan, sungguh malah akan menjadi sebuah tragedi kecil-kecilan yang lain
sebagaimana yang kita jumpai dalam kasus-kasus peradilan HAM di Indonesia sekarang
ini: lepasnya para petinggi militer yang bertanggung jawab secara komando dalam
kerusakan dan tragedi kemanusiaan yang hebat di Timor Leste dari jangkauan peradilan
HAM sejak awal mula, dan dihukumnya sejumlah pelaku-pelaku lapangan, lepasnya dan
ketiadaan tanggung jawab komando para mantan pimpinan tentara dalam kasus
pembantaian Tanjung Priok, dan pembantaian 27 Juli di kantor PDI.

Ternyata, bukannya norma dan moralitas baru yang berhasil ditumbuhkan dari peradilan
tersebut. Yang terjadi justru impunitas terselubung dan kriminalisasi yang salah alamat.
Kegagalan menyingkap, menemukan dan menghukum para pelaku kejahatan yang
sebenarnya telah mengakibatkan berlangsungnya kambing hitam yang dirasionalkan.
Kambing hitam yang memuaskan semua pihak – termasuk para legalis yang mengatakan
“yang penting pernah ada jenderal diadili” tersebut. Bukan hanya itu, peradilan dalam
sistem yang kacau, di mana tangan-tangan pemuja sang Der Führer bekerja dalam
kesigapan yang tidak dibayangkan oleh para aktivis HAM, justru balik menghantam para
korban sendiri. Sebagaimana tampak dalam peradilan HAM kasus kejahatan
kemanusiaan di Timor Leste, di mana para pelaku dan peradilan tersebut membangun
kesan bahwa seakan kejahatan kemanusiaan di tempat itu lebih pada akibat dari konflik
dan kekerasan antara orang Timor sendiri.
112

Demikian pula dalam peradilan kasus 27 Juli dan Tanjung Priok, di mana para prajurit
dan perwira rendahan dipasang sebagai taruhan para pimpinan tentara. Tidak ada yang
berubah dari sini. Peradilan-peradilan yang telah berlangsung tersebut ternyata jauh dari
mimpi-mimpi kaum legalis. Yang lebih parah lagi, bisa disaksikan dalam kasus-kasus
lain yang sudah keburu dibantai oleh para pelaku sebelum lagi masuk ke pengadilan:
kasus Semanggi dan kasus Kerusuhan Mei 1998. Di sini belum lagi sempat bermimpi,
para legalis sudah dibangunkan oleh getirnya keterbelakangan politik yang memaksa
mereka untuk menyaksikan kenyatan betapa para pelaku “yang mereka letakkan di bawah
kolong balai-balai masa lalu” ternyata tetap jaya dan jauh lebih berkuasa dari apa yang
mereka bayangkan.

Dari pengalaman-pengalaman peradilan ini, pelaku-pelaku kejahatan di Indonesia


sungguh jauh berbeda dari apa yang difantasikan dan digambarkan oleh Hannah Arendt 74
mengenai Eichmann, yang dikonsepsikan dalam istilah the banality of evil. Di sini para
pelaku itu sungguh mentereng dengan dikelilingi oleh para pengawalnya masing-masing.
Dirayakan setiap ucapannya dengan dukungan sorak para anak buah dan atasan: sama
sekali tidak banal. Si pelaku bahkan membangun sebuah imaji tentang kuasa yang baru,
yang membuat para hakim dan jaksa di pengadilan-pengadilan itu gagal membangun
sebuah tuntutan yang memadai dan takut untuk mengeksekusi para pelaku sesuai dengan
lembaran-lembaran hukum di meja mereka. Para pelaku di sini sungguh tidak
menunjukkan figur-figur orang biasa sebagaimana Eichmann di pengadilan Yerusalem:
mereka jelas malah memperlihatkan kuasa yang nyaris beyond dari hukum sang hakim.
Ini makin dibuktikan dengan fakta betapa kebanyakan dari mereka justru saat ini masih
aktif dalam dinas-dinas kemiliteran bahkan memiliki posisi yang makin baik di situ.

Di titik ini, legalis-punitif tiba pada ujung yang absurd. Di satu sisi mereka menolak KKR
karena melihat absennya kondisi yang kondusif untuk sebuah KKR yang terbaik. Namun
di sisi lain mereka menganjurkan jalan peradilan HAM – yang sebenarnya secara politik
jauh lebih tidak kondusif. Di satu sisi mereka menginginkan keadilan yang paripurna bagi
korban, sementara di sisi lain jalan yang mereka pilih adalah jalan yang dibuat oleh

74
Untuk ini lihat Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, New York: Viking Press, 1965.
113

konspirasi para pelaku kejahatan itu sendiri. Di satu sisi mereka memimpikan keadilan
yang hanya bisa datang dari jalan pengadilan, sementara pengadilan yang sudah ada
justru mendatangkan impunitas dan kambing hitam. Di satu sisi, kritik dan penolakan
mereka terhadap KKR memang mencerminkan tawaran untuk sikap yang terkesan lebih
radikal, namun demikian pilihan mereka kepada jalan hukum semata-mata membuat
radikalisme itu terbelenggu di dalam ruang kosong.

Namun demikian, lepas dari situasi itu, ada sesuatu yang memang benar dalam indikasi
legalis-punitif, ketika mereka secara implisit melihat adanya hal yang sifatnya
“kompromistis” di dalam KKR. Namun demikian kompromi itu sendiri bukan datang
tanpa alasan, para pendukung KKR berpendapat bahwa:

KKR merupakan strategi dalam menghadapi transisi dari rejim politik otoritarian
ke rejim politik demokratis; ia dibentuk dalam rangka menjaga stabilitas demokrasi
yang masih rapuh. 75

Di dalam argumen itu tertera jelas dua hal yakni: pertama, bahwa out put dari perubahan
politik pasca-Soeharto memang secara riil tidak memungkinkan terjadinya perubahan
yang radikal dan dengan itu situasi negosiatif memang adalah harga yang harus dibayar;
kedua, harga itu dibayar demi menjaga kepentingan yang lebih luas, yakni nasib
demokrasi itu sendiri. Argumen ELSAM ini secara persis mengulang kembali apa yang
dikemukakan oleh inisiator mashur KKR dari Chile, Jose Zalaquett, ketika ia mengatakan
bahwa:

Saya menjadi semakin yakin bahwa memang tidak mungkin untuk menyusun
pedoman-pedoman yang ketat. Kita semua ingin bersandar pada daftar mengenai
apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi dalam jenis
situasi yang seperti ini, hal itu tidaklah bisa dilaksanakan. Anda harus juga melihat
keadaan-keadaan aktual yang dihadapi dalam kerja pemerintahan yang baru
terbentuk tersebut. Kadang dalam situasi tertentu, hal itu bisa merupakan
kemenangan total, sebagaimana yang terjadi di Jerman dan Jepang setelah Perang
114

Dunia. Dalam kasus tersebut, anda dapat mengejar keadilan tanpa tangan anda
terikat. Sekalipun demikian, masih ada jenis situasi transisional yang lain … di
negara-negara yang tidak satu pihak pun memperoleh kemenangan mutlak. 76

Argumen ini secara persis sebenarnya membuka selubung mistifikasi dari apa yang
disebut sebagai transisi. Di dalam transisi memang tidak tersedia sejenis pembalikan total
ataupun benih-benih baru bagi kelanjutan perubahan yang radikal seketika. Justru ketika
orang bersepakat dengan istilah transisi maka sebenarnya ia harus dengan segera
bersepakat pada realitas yang menegaskan bahwa momentum perubahan radikal dan
keadilan mutlak itu justru telah lewat. Karena kalau yang terjadi adalah keadilan mutlak
dan perubahan yang radikal maka kita tidak akan membutuhkan lagi yang namanya
transisi. Realitas ini yang dibuka oleh argumen Zalaquett dan ajakan ELSAM ketika
menawarkan untuk mencari jalan keluar melalui KKR ini.

Namun demikian, legalis-punitif juga sedikit keliru kalau menyangka bahwa pilihan
orang terhadap KKR dengan sendirinya membawa orang itu untuk mengabaikan atau
tidak menyetujui mimpi keadilan melalui jalan pengadilan. Di sini sekali lagi Zalaquett
menegaskan bahwa:

Two considerations … must be balanced-the ethical principles that ought to be


pursued, and actual political opportunities and constraints that ought to be taken
into account. By balancing these factors, ethical principles can be realised to the
fullest possible extent ... It is amidst such complex and changing circumstanbce
that political leaders must obey the call to act responsibily. Since there is no
blueprint to direct their actions, the must rely on good judgment. Responsibility
also requieres taking into account the accomplishment and failures of other
countries that have faced similar challenges. 77

75
ELSAM, Briefing Paper, No.1, Juli 2000, hlm. 10.
76
Wawancara Jose Zalaquett dalam Daan Bronkhorst, Menguak Masa Lalu Merenda Masa
Depan: Komisi Kebenaran di Berbagai Negara, Jakarta: ELSAM, 2002, hlm. 7-8.
77
Lihat Jose Zalaquett, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma of
New Democracies Confronting Past Human Rights Violations” dalam Neil J. Kritz (Ed), Transitional
115

Sementara itu, mengikuti Zalaquett, ELSAM sendiri – yang sering kali secara implisit
dituduh sebagai promotor buta jalan KKR ini – juga menegaskan cara yang mereka
usulkan dengan istilah “Jalan Ketiga”, yakni pandangan untuk menggabungkan antara
dua mekanisme sekaligus, yakni KKR dan pengadilan. Yang dimaksud dengan Jalan
Ketiga adalah “kombinasi antara jalan pengadilan dan pengungkapan kebenaran”. 78 Jalan
Ketiga di sini berbeda dengan Jalan Ketiga Desmond Tutu. Jalan Ketiga dalam gagasan
Uskup Agung itu tampak diposisikan sebagai pengganti dari pengadilan; merupakan
bentuk penghindaran dari dua jalan ekstrem antara pengadilan (model Nuremberg) dan
amnesti umum (blanket amnesty). Berbeda dengan Jalan Ketiga yang diusulkan Desmond
Tutu (yang cenderung mengambil jalan pengampunan kolektif dan menjauhi pengadilan),
Jalan Ketiga yang diusulkan ELSAM masih melihat pengadilan sebagai unsur penting
dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu.

Selain berbasis pada pandangan kontekstual mengenai ketidaklengkapan syarat-syarat


untuk berlangsungnya sebuah keadilan yang mutlak, KKR menurut ELSAM justru
memiliki keunggulan-keunggulan yang – dalam konteks penyelesaian masalah kejahatan
HAM di masa lalu – mampu menjangkau akar persoalan secara lebih sistemik dan
struktural. Daya jangkau serta potensi terbangunnya relasi sosial baru di dalam KKR ini,
dianggap oleh ELSAM mampu memberikan efek pembaruan yang lebih signifikan
ketimbang jalan peradilan semata-mata. Mengutip Paul van Zyl, Ifdhal mengatakan:

Pengadilan dalam hal ini pengadilan pidana, dirancang untuk menegakkan hukum
positif atau tata keadilan yang sudah ada. Bukan dirancang untuk membangun
kembali tata keadilan yang sudah diluluhlantakkan di masa rejim otoritarian…
pengadilan memiliki efek penjelas yang terbatas; ia hanya menyorot kesalahan
individual bukan sistem keseluruhan. 79

Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Washington DC: US Institute of Peace
Press, 1995, hlm. 206.
78
Lihat dalam Ifdhal Kasim, “‘Jalan Ketiga’ Bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
di Masa Lalu”, dalam Kasim dan Riyadi (ed.), op. cit., hlm. 28-29.
79
Ibid., hlm. 31.
116

Dengan demikian apa yang hendak dicapai oleh sebuah Komisi Kebenaran memang jauh
lebih kompleks dibanding dengan apa yang hendak dicapai oleh sebuah peradilan. Di
dalam komisi kebenaran, sejak awal disadari eksistensi dari “the social” dan bahwa target
utama dari kerja pengungkapan kebenaran adalah terutama untuk membongkar kembali
semua lepitan dan sejarah hitam dari “the social” itu. Sehingga dengan demikian, yang
ingin dicapai di sini bukan lagi sekadar “kebenaran faktual” apalagi kebenaran material
semata-mata, melainkan semacam pelurusan dan penyegaran kembali dalam tubuh “the
social” itu, sehingga apa pun yang tumbuh di dalamnya apakah itu ekonomi, politik
ataupun hukum bisa menjadi lebih sehat untuk masa depan. Di titik ini dalam beberapa
hal sebuah komisi kebenaran memang terkesan akan lebih berorientasi pada komitmen
dan konsensus ketimbang penghukuman, walaupun di sini tidak ditutup kemungkinan
bahwa komitmen dan konsensus itu sendiri dicapai setelah proses punitif dilakukan.

Di titik inilah kemudian debat yang lebih rawan menjadi lebih terbuka. Orientasi pada
komitmen dan konsensus tersebut tidak dapat tidak membawa pemikiran ini ke dalam
kemungkinan untuk membicarakan amnesti untuk pelaku. Ifdhal Kasim dari ELSAM
mengemukakan:

Amnesti tidak terelakkan atau merupakan necessary evil dalam konteks transisi
politik, khususnya di negara yang proses transisinya dikendalikan oleh kekuatan-
kekuatan politik rejim yang lalu. Ibarat memakan buah simalakama, pilihannya
adalah menyelamatkan demokrasi (tetapi harus memberikan amnesti) atau
mengajukan ke pengadilan dengan risiko kembali ke sistem politik otoritarian? 80

Namun demikian amnesti yang dimaksud di sini bukanlah amnesti yang diberikan dalam
kerangka memenuhi kebutuhan si pelaku semata-mata, ataupun diberikan secara buta
demi menambal kelemahan dalam politik transisi yang ada. Sebagaimana Zalaquett,
ELSAM kemudian memperjelas syarat amnesti ini dengan kriteria sebagai berikut:

1. Bukan amnesti umum dan bukan self amnesty (blanket amnesty)

80
Lihat dalam Ifdhal Kasim, Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti?, ELSAM: Briefing
Paper, No. 2, Tahun I, Agustus 2000.
117

2. Diberikan setelah kebenaran ditegakkan.


3. Tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
4. Sesuai dengan keinginan rakyat. 81

Namun demikian, yang juga problematik dalam usulan ELSAM ini adalah ketika ia juga
secara lugas mengadopsi syarat ke empat yakni “sesuai dengan keinginan rakyat”
sebagaimana yang diajukan Zalaquett. Istilah sesuai dengan keinginan rakyat di sini
apabila tidak diperjelas akan menimbulkan penafsiran yang salah dalam konteks
Indonesia, mengingat kalimat sedemikian memang sering kali digunakan oleh penguasa
dalam kebutuhan menghimpun legitimasi.

Di dalam Zalaquett “sesuai dengan keinginan rakyat” mengacu pada aspirasi korban yang
kolektif, yang mungkin saja setelah melewati masa panjang dalam sistem politik di mana
mereka hidup kemudian, sistem itu telah memberikan sejumlah keleluasan dan
pengobatan luka masa lalu secara tersendiri, sehingga membongkar kembali kejahatan di
masa lalu justru dikhawatirkan akan mencederai kembali situasi mental mereka. Di titik
ini penguasa harus dengan cermat membaca situasi mental ini. Bagi Zalaquett, sebuah
tuntutan hukum yang buta terhadap kemungkinan iritasi ini di dalam hal tertentu justru
hanya akan lebih mempertontokan arogansi dari sebuah sikap etis tertentu. 82

Namun demikian sekali lagi, sebagaimana kekecewaan kaum legalis akibat tragedi
peradilan HAM Timor Timur dan Tanjung Priok, optimisme ELSAM serta para
pendukung KKR lainnya tampaknya juga mesti diturunkan dan menghadapi tembok yang
sama dalam situasi-situasi sekarang ini. Sebagaimana arena peradilan, arena KKR ini pun
sudah pasti tidak akan menjadi arena yang dibiarkan dimainkan “seenaknya” oleh para
transisionis dan kalangan demokrat. Sudah pasti kalangan dan kekuatan yang tidak
menyukai pengungkapan kebenaran dan tragedi masa lalu akan dengan segera berupaya
mengisi arena tersebut. Dengan fakta bahwa kekuatan mereka jauh menjangkau ke dalam
akses kekuasaan birokrasi, seperti perundangan-undangan dan rekruitmen anggota

81
Ibid., hlm. 9.
82
Lihat dalam Jose Zalaquett, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former
Governments: Principles Applicable and Political Constraints”, dalam Neil J. Kritz (ed.), op. cit., hlm. 3-31.
118

komisi, maka jelas mekanisme KKR ini pun harus siap menjadi ajang baru bagi
impunitas massal pelaku kejahatan kemanusiaan di masa lalu.

Keyakinan yang diagungkan oleh kelompok-kelompok pendukung KKR seperti ELSAM


misalnya, senyatanya masih merupakan asumsi-asumsi yang belum lagi dihadapkan pada
realitas pertarungan yang sebenarnya, ketika komisi itu terbentuk dan bekerja dengan
karakter serta orang-orang di dalamnya. Hal yang jelas telah terjadi – apabila melihat
undang-undang tentang KKR – adalah bahwa sudah pasti KKR tidak akan dapat
menghukum pelaku bahkan dalam tingkat yang paling ringan sekalipun.

Perdebatan ini menghasilkan dua jenis ekstrem; ekstrem yang satu berpijak pada argumen
realis yang lebih dibasiskan pada situasi-situasi konkret politik transisi era pasca-
Soeharto. Sementara yang satu lagi berpijak pada argumen normatif yang berbasiskan
nilai-nilai ideal mengenai mana salah-mana benar. Namun demikian posisi dan argumen
konseptual bukan tujuan pokok di sini. Yang menjadi sasaran dari dua jalan itu adalah
mengenai signifikansi dari keduanya dalam menjangkau akar kejahatan di masa lalu,
sehingga dengan itu di tahap berikut ia mampu membersihkan watak neo-fasis dalam
kepolitikan di Indonesia.

Di titik ini baik legalis-punitif maupun para realis di belakang ide KKR dalam hal yang
substansial akhirnya terjebak pada dua hal yakni: pertama, pada kebanyakan argumen
kaum transisionis, yang menganggap akar kekejaman dan struktur neo-fasis bisa
dihancurkan entah dengan pertama-tama penerapan sangsi hukum dan penegakan
moralitas tertentu, maupun dengan ajakan untuk membentuk komitmen dan konsensus
bersama. Yang kedua, baik para idealis (legalis punitif) maupun para realis pendukung
KKR, pada akhirnya keduanya harus sama-sama tepekur berhadapan dengan kuasa yang
lebih besar di atas ide normatif keadilan mereka masing-masing. Di bawah kuasa ini,
mereka terjerat dalam setting yang telah sedemikian rupa dipersiapkan, entah dalam
sidang-sidang dan peradilan yang semu, entah dalam sebuah komisi kebenaran yang
belum-belum sudah diselewengkan arah dan orientasinya.
119

Selain itu, pada dasarnya kaum transisionis kebanyakan hanya berfikir tentang bagaimana
transisi demokrasi dilakukan dengan resep-resep baku yang pernah ada. Mereka
menganggap bahwa neo-fasisme adalah gejala umum, dan karena itu resep-resep yang
pernah ada pun bisa diberlakukan secara umum. Dalam melihat sumber permasalahan,
kebanyakan kaum transisionis berhenti pada faktor-faktor internal dan domestik dari
kemunculan sebuah rejim otoritarian. Tidak heran apabila daftar mereka hanya menderet
pihak-pihak seperti misalnya: golongan militer, agen-rahasia dan kelompok-kelompok
sipil binaan rejim otoritarian di masa lalu. Di sini kebanyakan kaum transisionis baik
yang pro-KKR maupun yang anti KKR sering kali buta terhadap faktor historis
pembentukan sebuah rejim otoritarian dan neo-fasis di negara-negara dunia ketiga, serta
keterlibatan negara-negara adikuasa yang menyokong pembentukan watak rejim
semacam itu sebagai faktor yang penting.

Mereka yang percaya pada komisi kebenaran, akan puas pada kebenaran faktual tentang
kekerasan di masa lampau, tetapi mereka sudah buru-buru menyerah untuk terus melacak
tentang mengapa politik kekerasan itu terjadi. Sementara, mereka yang berkeras pada ide
peradilan HAM memimpikan peradilan ala Nuremberg yang mengadili penjahat perang
Nazi terjadi di Indonesia. Mereka ini lupa bahwa peradilan semacam itu hanya mungkin
terjadi setelah perang panjang yang menghancurkan Nazi dan memusnahkan Hitler
dimenangkan oleh sekutu.

Dalam kesadaran ini, salah satu cara terbaik yang disediakan oleh pengalaman dan akal
sehat untuk mempertahankan imaji tentang demokrasi dan masyarakat baru itu adalah
dengan segera sadar dari keterpesonaan yang kadaluarsa terhadap momentum itu. Di titik
ini pencarian yang lebih utama adalah pertama-tama merinci dan mencari akar penyebab
kemunculan neo-fasisme, despotisme serta segala kekejaman politik lainnya. Tanpa
penyelesaian ke akar ini, jelas kita tidak akan pernah berhasil menyentuh apalagi
mengubah watak dan infrastruktur politik despotis yang kita lawan.

Di sini mentalitas transisionis sejenis ini mengandaikan beberapa hal penting yakni:
pertama, bahwa masa lalu yakni otoritarianisme telah dilihat sebagai semacam fosil, tapi
120

fosil yang mengganggu pemandangan kita terhadap masa depan, sehingga untuk itu ia
mesti didefinisikan terlebih dahulu untuk kemudian ditempatkan di sebuah tempat
tersendiri. Di titik ini ada sejenis pemahaman yang membenarkan diskontinuitas dari
pertarungan politik. Kedua, dalam pertanyaan itu diasumsikan juga bahwa masa lalu
lebih merupakan pencerminan dari perilaku para aktor semata-mata, sehingga apabila
dipertajam pertanyaan itu akan menjadi “apa yang harus dilakukan terhadap pejabat-
pejabat rejim lama yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan?”. Ketiga, dalam
hubungan yang lebih konkret, mentalitas transisi semacam ini hanya melihat faktor dan
aktor-aktor di dalam tubuh negara sebagai penyebab dari kemunculan kejahatan
kemanusiaan, sementara faktor-faktor internasional yang sering melatar belakangi konflik
dan kejahatan di dalam lingkungan domestik sama sekali tidak dilihat. Keempat,
mentalitas transisi mengandaikan dan memimpikan bahwa segala persoalan transisi dan
kekejaman masa lalu, serta pembelajaran politik baru, dapat diselesaikan oleh semacam
kerja hukum dan kepanitiaan ad hoc.

Dengan demikian mentalitas transisi ini mengalami kesulitan: pertama, cenderung gagal
untuk melihat keperluan kontinuitas dari pergulatan membangun demokrasi; kedua, itu
juga gagal memahami keadilan dalam kerangka dan kebutuhan yang lebih luas, karena
keadilan dianggap lebih sebagai hubungan dan perimbangan pemulihan hubungan para
aktor. Akibatnya pencarian dan perjuangan keadilan dalam kerangka politik transisi di
sini gagal menempatkan kebutuhan perombakan struktur dan relasi yang melahirkan
ketidakadilan itu di dalam agenda kepolitikannya. Kelemahan ketiga adalah dalam
konteks sejarah negeri-negeri yang mengalami otoritarianisme, mentalitas transisi ini
gagal menjangkau keterlibatan pihak-pihak lain di luar panggung-panggung yang mereka
sediakan. Implisit dalam pandangan mereka, aktor satu-satunya dalam politik transisi itu
adalah apa yang disebut sebagai korban dan semata-mata korban. Mereka lupa bahwa
demokrasi dan masyarakat baru juga perlu mengajak dan meminta dukungan dari
kalangan yang lebih luas yakni warga negara lain.

Penutup
121

Dengan meninjau keadaan di atas, maka jelaslah bahwa sejauh kita mau jujur di hadapan
realitas politik yang ada saat ini, maka sebuah kesimpulan kelam mesti dirumuskan di
sini. Yang pertama adalah bahwa dengan melihat baik kegagalan peradilan HAM ad hoc
di Indonesia serta invalidnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka jelaslah dapat
dikatakan bahwa proyek transisi demokrasi kita memang tidak dapat kita tutup dengan
mulus dan sukses sebagaimana yang banyak dikehendaki dan diniatkan oleh kalangan
reformis di Indonesia. Gagalnya dua proyek akhir transisionis, lebih jauh lagi sebenarnya
menggambarkan juga sebuah titik jenuh yang lain dari segala perjuangan yang
menggunakan momen dan diskursus HAM dan demokrasi.

Harus dikatakan inilah saatnya kita mengatakan tutup buku terhadap medan dan strategi
transisionis. Konsepsi demokrasi dan hak asasi yang diusung kaum transisionis memang
telah sangat bermanfaat dan berjasa besar dalam menghantarkan perjuangan
membebaskan diri dari belenggu otoritarian, namun demikian di hadapan persoalan-
persoalan terbaru sekarang ini, strategi – apalagi yang sangat menekankan aspek hak dan
legal – kaum reformis mesti mulai berupaya mencari cara-cara dan strategi baru untuk
melanjutkan upaya perubahan dan pembenahan masyarakat menuju yang lebih baik.
Kegagalan baik pengadilan HAM maupun KKR harus menjadi fondasi baru untuk sebuah
keyakinan akan pentingnya sebuah politik baru demokrasi di Indonesia.
122

Bab 4

Pertarungan Merebut Kebenaran Masa Lalu 83

Pendahuluan

Bab ini akan membahas perjuangan mengungkap kebenaran (truth seeking) terhadap
masa lalu demi pembebasan politik Indonesia saat ini dan masa depan. Pengungkapan
kebenaran di masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dari upaya untuk menuntaskan
kasus pelanggaran HAM masa lalu selain dari unsur pengadilan terhadap pelaku dan
rekonsiliasi. Reformasi 1998 telah menggulirkan wacana pengungkapan kebenaran masa
lalu demi menghormati para korban yang telah menderita akibat politik kekerasan yang
dilakukan oleh rejim Orde Baru.

Pengungkapan kebenaran meliputi berbagai aktivitas seperti penyelidikan kasus


kekerasan di masa lalu, oral history, penerbitan otobiografi dan biografi para korban
kekerasan masa lalu, maupun historiografi baru mengenai berbagai peristiwa kekerasan
di masa lalu. Penyelidikan terhadap kasus kekerasan di masa lalu bisa dilakukan oleh
negara, aktivis ham maupun paguyuban korban. Penyelidikan oleh Negara telah dimulai
sejak jaman pemerintahan Habibie. Tim Pencari Fakta Gabungan (TGPF) dibentuk untuk
menyelidiki peristiwa kerusuhan Mei 1998. Tak lama berselang, pemerintah juga
membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dalam kasus DOM Aceh.

Setelah itu, negara memberi wewenang penuh kepada Komnas HAM sebagai lembaga
Negara yang bertugas untuk menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM. Komnas
HAM kemudian membentuk tim penyelidikan ad hoc untuk menyelediki sejumlah kasus

83
Bab ini merupakan bab sisipan yang ditulis oleh Hendrik Boli Tobi, peneliti di P2D.
123

pelanggaran HAM masa lalu, seperti KPP HAM Timor Timur, KPP Abepura, KPP TSS
(Trisakti, Semanggi I dan II), KPP Tanjung Priok, KPP Penculikan dan Kerusuhan Mei
1998. Penyelidikan juga dilakukan oleh sejumlah organisasi non-pemerintahan dan
paguyuban korban. Paguyuban korban seperti Lembaga Penelitian Korban Pembunuhan
pernah melakukan aktivitas penyelidikan tentang peristiwa 1965 sampai pada penggalian
kuburan massal para korban. 84

Oral history berperan penting dalam mengungkap kekerasan di masa lalu. Meski
dipandang kurang ilmiah dibandingkan dengan sejarah tulisan, tetapi oral history mulai
banyak diperhatikan oleh berbagai kalangan termasuk oleh para sejarawan. 85 Dalam
konteks sejarah tentang kekerasan, oral history mempunyai peran yang penting berkaitan
dengan ketiadaan informasi mengenai nasib para korban yang tak mendapat tempat
dalam sejarah resmi. Selain itu, oral history membantu para korban yang punya kesulitan
dalam menceritakan kegetiran hidup mereka akibat trauma berkepanjangan. Salah satu
karya oral history yang menghadirkan suara para korban adalah buku berjudul Tahun
yang Tak Pernah Berakhir yang diterbitkan oleh Elsam dan ISSI (2004).

Situasi politik yang lebih terbuka pasca-reformasi 1998 memberi ruang bagi para korban
untuk mulai berani menulis tentang pengalaman hidup mereka. Kisah para korban dari
peristiwa 1965 seperti Sulami, Hasan Raid, Achmadi Moestahal, Siauw Giok Thjan,
Kolonel A. Latif, M.F. Siregar hadir sebagai narasi para korban yang telah dihilangkan
dalam sejarah resmi Orde Baru.

Pasca-reformasi, terbukanya ruang kebebasan politik memberikan peluang bagi


pengembangan penulisan sejarah di Indonesia. Historiografi baru mulai marak dilakukan
seiring dengan adanya penemuan bukti-bukti baru dan keberagaman metodologi sejarah.

84
Lihat Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata, Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-Upaya
Pencarian Keadilan Dalam Masa Transisi di Indonesia, Jakarta: Elsam, 2004.
85
Oral history mulai dikenal dalam bidang sejarah, ketika pada tahun 1847, sejarawan Perancis,
Jules Michelet (professor ilmu sejarah di École Normale dan kepala kurator sejarah di Lembaga Arsip
Negara) menulis kisah hidupnya dalam kaitannya dengan revolusi Perancis. Lihat, Paul Thompson, The
Voice of the Past: Oral History, third edition, New York: Oxford University Press, 2000.
124

Historiografi baru menjadikan sejarah lebih kaya. Orang semakin memahami terjadinya
suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu dan keterkaitannya dengan situasi sekarang.

Berbagai aktivitas diatas adalah bagian dari upaya masyarakat termasuk para korban
untuk mengungkap kebenaran di masa lalu. Tetapi, pengungkapan kebenaran tidak hanya
mencakup aktivitas di atas karena pengungkapan kebenaran jauh lebih kompleks dari
sejumlah aktivitas yang dipaparkan di atas. Dalam konteks teori transisi demokrasi,
pengungkapan kebenaran bersama dengan pengadilan dan rekonsiliasi adalah bagian
yang tak terpisahkan dari perjuangan suatu negara untuk menyelesaikan persoalan
pelanggaran HAM masa lalu.

Dalam konteks Indonesia yang baru saja keluar dari sistem politik otoritarian, telah
terjadi sejumlah perubahan positif dalam politik HAM, misalnya negara telah
meratifikasi sejumlah konvenan internasional mengenai HAM seperti Konvenan Anti
Penyiksaan, Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvenan Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Ada perubahan yang lebih baik dalam penanganan konflik di Aceh
dan Papua. Ada pemilu yang bebas, ada keragaman asas partai politik, serta makin
menguatnya kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat.

Di balik tingkat kemajuan politik HAM pasca-Orde Baru, penyelesaian pelanggaran


HAM masa lalu belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Model pengadilan lebih
sering menjadi alat impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM. Model rekonsiliasi
gugur sebelum jauh berkembang. Pengungkapan kebenaran juga belum menunjukkan
hasil yang menggembirakan.

Menurut para penganut konsep transisi demokrasi, situasi di atas adalah ciri khas dari
negara-negara yang baru beralih dari struktur politik otoritarian atau totaliter menuju
struktur politik yang demokratis tanpa melalui revolusi. Kelompok lama yang otoriter
sesungguhnya tidak keluar dari arena politik yang baru. Mereka masih memiliki kekuatan
politik yang mampu mempengaruhi pemerintahan baru. Situasi inilah yang disebut
sebagai transisi demokrasi.
125

Ada beberapa problem dalam konsep transisi demokrasi. Pertama, argumen transisi
didasarkan pada logika linear, yaitu dari politik otoritarian/totaliter ke transisi demokrasi
kemudian menuju ke demokrasi. Argumen yang linear mengabaikan bahwa mungkin saja
keadaan politik dalam tahapan transisi demokrasi itu tidak menuju pada politik demokrasi
tetapi justru bisa berbalik ke politik yang lain.

Kedua, keringkihan ada pada situasi transisi bukan pada demokrasinya. Di balik argumen
ini, ada pengandaian bahwa kalau sudah masuk ke dalam situasi yang demokratis, tidak
ada lagi bahaya dari kelompok lama yang otoriter. Padahal, demokrasi bukanlah suatu
barang jadi atau konsep yang final. Demokrasi justru adalah suatu “ruang kosong”
(meminjam istilah Claude Lefort) yang diperebutkan terus menerus oleh semua pihak
bahkan pihak yang anti demokrasi sekalipun. Jadi, prinsip demokrasi adalah kontingensi.

Ketiga, Argumen tentang demokrasi yang ringkih membuat kita bisa terperangkap dalam
suatu sikap menerima atau lebih tepatnya mengalah demi keselamatan proyek transisi
demokrasi. Karena kita tahu bahwa para pelaku pelanggaran HAM masa lalu masih
punya kekuasaan yang besar, kita terpaksa berkompromi demi keselamatan demokrasi
yang baru mulai tumbuh. Kita lupa bahwa perjuangan meruntuhkan Orde Baru adalah
perjuangan politik yang sesungguhnya terjadi, bukan suatu kompromi politik dengan
penguasa dan para pendukung rejim Orde Baru.

Keempat, fokus kekhawatiran dari kaum transisionis adalah adanya ancaman rejim lama
untuk mengambil alih atau membalikkan proses demokrasi yang telah dicapai. Tetapi
ancaman sesungguhnya bukan terletak pada ancaman fisik dari rejim lama tetapi justru
rejim lama menggunakan mekanisme dan kelembagaan yang terbentuk dalam situasi
politik yang lebih demokratis.

Kelima, dari konsep transisi demokrasi muncul istilah transitional justice. Istilah ini juga
punya problem. Muncul pertanyaan, apakah justice itu hanya berlaku pada situasi
transisi? Pertanyaan berikutnya, kalau sudah demokrasi apakah tidak ada lagi transitional
126

justice? Apakah benar, ada keadilan yang khas dalam situasi transisi yang berbeda
dengan konsep keadilan lainnya?

Berangkat dari kritik terhadap konsep transisi demokrasi, kita perlu cermat dalam
menempatkan perjuangan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi yang
tepat yaitu perjuangan politik tanpa henti dalam situasi yang baru yaitu demokrasi.
Kelompok lama yang otoriter jelas tidak dengan suka rela akan tunduk begitu saja.
Mereka justru menggunakan mekanisme dan kelembagaan yang ada dalam demokrasi,
bukan dengan ancaman kudeta seperti yang dikhawatirkan oleh penganut konsep transisi
demokrasi, mereka akan menggunakan segala cara untuk menghalangi upaya pencarian
keadilan bagi rakyat Indonesia, khususnya para korban.

Kita perlu menyadari bahwa demokrasi bukanlah konsep yang final. Situasi politik
Indonesia pasca Orde Baru memang lebih kondusif, tetapi perjuangan menegakkan
keadilan tak pernah berhenti. Pada titik inilah kita perlu meletakkan perjuangan merebut
sejarah masa lalu dalam kerangka perang ingatan. Pertarungan antara ingatan dari
kelompok yang tak ingin masa lalu diungkap berhadapan dengan ingatan para korban
yang ingin mengungkap pelanggaran HAM di masa lalu.

Memaknai masa lalu bukan sekadar membuat konsensus antara ingatan seperti yang
diinginkan oleh Akihiro Matsuno dan Asvi Warman Adam ketika mereka membicarakan
tentang perlunya sejarawan Indonesia dan Timor Timur untuk bersama-sama menulis
sejarah mereka. Mereka berharap tidak ada penulisan sejarah yang bertolak belakang oleh
sejarawan dari kedua negara agar tidak berdampak buruk bagi hubungan Indonesia
dengan Timor Leste. 86

Memaknai sejarah masa lalu jelas adalah pertarungan politik untuk masa kini dan masa
depan. Pengungkapan masa lalu memiliki implikasi yang luas. Ketika para korban mulai
bercerita tentang penderitaan mereka, ketika para sejarawan membuat narasi baru tentang
suatu peristiwa kekerasan di masa lalu, para pelaku mulai merasa terganggu. Para pelaku

86
Lihat Asvi Warman Adam, Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2004.
127

jelas tidak menghendaki masa lalu diungkap. Mereka akan mempertahankan versi
sejarahnya agar bisa lepas dari tanggung jawab sebagai pelaku pelanggaran HAM masa
lalu. Hasil dari perang ingatan antara korban dan pelaku sangat bergantung pada kekuatan
yang dimiliki oleh para pecinta demokrasi melawan kelompok lama yang otoriter dalam
alam demokrasi saat ini.

Sebelum masuk dalam pembicaraan mengenai pertarungan merebut masa lalu di era
pasca-Orde Baru, kita perlu lebih dahulu mengenali dan memahami bagaimana akar
politik kekerasan di Indonesia. Akar kekerasan itu dimulai dari sejarah berdirinya Orde
Baru.

Sejarah Kekerasan Orde Baru

Kemenangan Orde Baru atas pemerintahan Seokarno diawali oleh pembunuhan massal
pada tahun 1965-1966. Sejak awal, kekuasaan Orde Baru telah berlumuran darah. Politik
kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kekuasaan Orde Baru. Sejarah Orde Baru
tak lain adalah sejarah kekerasan itu sendiri.

Pembunuhan massal dimulai dari operasi militer di bawah pimpinan Kopassus ke daerah-
daerah yang dianggap menjadi basis PKI. Jejak yang ditinggalkan oleh operasi militer
penuh dengan darah. Sungai berubah warna menjadi merah, muncul lubang-lubang
raksasa tempat mayat bergeletakkan, udara dipenuhi dengan bau anyir dan kematian.
Virus kekerasan juga menulari kelompok masyarakat di daerah-daerah. Kekerasan yang
telah dimulai oleh militer menjadi contoh bagi kelompok-kelompok masyarakat yang anti
dengan PKI untuk memulai penyerangan terhadap mereka yang dituduh menjadi anggota
atau simpatisan PKI.

Setelah berhasil mengkonsolidasi politik dan keamanan, rejim Orde Baru menyadari
pentingnya membangun legitimasi sejarah demi keberlangsungan kekuasaannya.
Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan ABRI dan Kepala Pusat Sejarah ABRI adalah
tokoh utama yang berupaya menciptakan sejarah rejim Orde Baru. Nugroho memulai
128

kerjanya dengan menerbitkan sebuah buku berjudul 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1


Oktober-10 November. 87 Tak lama kemudian, Mayor Jendral Suwarto (komandan
Seskoad) mengirim Nugroho dan Ismael Saleh ke AS untuk bertemu dengan Guy Pauker,
seorang analis Indonesia dari Rand Corporation. Dengan bimbingan dari Pauker,
Nugroho dan Ismael Saleh kemudian menulis buku berjudul “The Coup Attempt of the
‘30 September Movement’ in Indonesia”. 88

Penjelasan resmi Orde Baru atas peristiwa 1965 telah dilakukan oleh Nugroho, tetapi itu
tidaklah cukup. Rejim Orde Baru perlu membuat narasi sejarah yang diharapkan akan
diterima oleh rakyat Indonesia dan bertahan selama mungkin. Ada empat narasi utama
yang dibangun oleh rejim Orde Baru yaitu pertama, Orde Baru berhasil menyelamatkan
dan mempertahankan Pancasila. Kedua, Orde Baru adalah representasi dari kekuatan
melawan komunisme. Ketiga, Orde Baru adalah Orde Pembangunan yang bertujuan
untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Keempat tentang Dwi Fungsi ABRI. Keempat
narasi ini saling berkelindan. Orde Baru telah menyelamatkan Pancasila dari
penyelewengan komunis. Dengan pembangunan, Orde Baru bisa menghilangkan bibit-
bibit komunisme yang selalu menggunakan isu kemiskinan. Dwi Fungsi ABRI menjaga
keberlangsungan seluruh bangunan Orde Baru.

Adapun empat narasi sejarah utama Orde Baru adalah sebagai berikut:

1. Penyelamat dan Penjaga Pancasila

Militer pimpinan Soeharto berhasil mematahkan G-30-S dan menumpas anggota dan
simpatisan PKI yang dianggap bertanggung jawab atas G-30-S dalam pembunuhan
massal 1965-1966. Bagi rejim Orde Baru, G-30-S dan PKI mempunyai rencana untuk
mengganti ideologi negara, yaitu Pancasila dengan paham komunisme. Militer berhasil

87
Katherine E. McGregor, “Legacy of a Historian in the Service of an Authoritarian Regime,”
dalam Mary S. Zurbuchen (ed.), Beginning to Remember: The Past in The Indonesian Present, Singapore:
Singapore University Press, 2005, hlm. 216.
88
Katherine E. McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of
Indonesia’s Past, Singapore: NUS Press, 2007, hlm. 66.
129

mengalahkan G-30-S pada tanggal 1 Oktober 1965. Tanggal 1 Oktober, oleh rejim Orde
Baru dijadikan sebagai hari Kesaktian Pancasila.

Pada tahun 1969, rejim Orde Baru mendirikan sebuah monumen di Lubang Buaya yang
menjadi tempat dikuburnya korban G-30-S. Monumen itu diberi nama Monumen
Kesaktian Pancasila. Lagi-lagi kata Kesaktian Pancasila digunakan. Menurut Klaus
H.Schreiner, 89 Monumen Pancasila Sakti menjadi situs ingatan yang penting dalam
sejarah Orde Baru. Selain sebagai simbol kekuasaan dan intepretasi yang resmi, Lubang
Buaya juga menjadi tempat yang melukiskan trauma dalam kisah pembunuhan para
jenderal. Sesuai dengan konsep Pierre Nora tentang fungsi dari situs ingatan, Lubang
Buaya menjadi tempat menyimpan sejarah masa lalu dan sekaligus memicu ingatan para
pengunjung dan rakyat Indonesia tentang keberhasilan Orde Baru menyelamatkan
Pancasila.

Rejim Orde Baru selanjutnya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang
tunggal. Negara menjadi satu-satunya pemegang otoritas yang berwenang menetapkan
mana nilai yang Pancasilais dan mana yang bukan. Penataran P4 adalah implementasi
dari ideologisasi Pancasila. Tujuan dari P4 adalah menciptakan manusia-manusia
Pancasilais. Sebagai satu-satunya pemegang otoritas atas Pancasila, rejim Orde Baru
menganggap semua kebijakannya didasarkan pada Pancasila. Dengan itu, Orde Baru
menyamakan dirinya dengan Pancasila. Konsekuensinya adalah apabila ada
ketidakpuasan, kekecewaan dan penolakan terhadap Negara maka pihak tersebut
dianggap sebagai anti-Pancasila.

2. Anti-komunisme

Rejim Orde Baru merepresentasikan komunisme dengan segala sesuatu yang jahat.
Komunisme dianggap bertanggung jawab atas entitas yang jahat seperti khianat,

89
Klaus H. Schreiner, “Lubang Buaya: Histories of Trauma and Sites of Memory,” dalam Mary
Zurbuchen (ed.), Beginning To Remember: The Past In The Indonesian Present, Washington: University of
Washingthon Press, 2005. Scheiner menggunakan pemikiran dari Sejarawan Perancis, Pierre Nora tentang
lieux de mémoire (sites of memory atau situs ingatan).
130

berontak, serakah dan yang juga tak kalah penting adalah atheis. Sebagai lawannya, rejim
Orde Baru mengindetikkan diri dengan yang baik seperti setia, taat aturan, adil dan
bersandar pada prinsip Ketuhanan.

PKI meski telah dikalahkan dan ditumpas pada 1965-1966, oleh Orde Baru dihidupkan
kembali sebagai hantu yang selalu mengancam kehidupan rakyat Indonesia. Berbagai
hantu komunisme telah “dibangunkan kembali” seperti bahaya laten komunisme,
komunis gaya baru (KGB), organisasi tanpa bentuk (OTB), kiri baru. Hantu itu tak selalu
muncul setiap saat. Hantu itu hadir menakuti-nakuti dan mengancam rakyat ketika sang
penguasa hantu (rejim Orde Baru) membutuhkannya. Namun demikian, efek dari hantu
itu hadir setiap saat dalam kehidupan rakyat Indonesia.

3. Pembangunan

Pembangunan menjadi narasi sejarah yang sangat penting bagi keberlangsungan


kekuasaan Orde Baru. Pembangunan menjadi batas antara masa lalu dan masa kini
sekaligus menjanjikan penghidupan yang lebih baik di masa depan. Dengan merujuk
situasi pemerintahan Soekarno di masa lalu yang penuh dengan kekacauan politik dan
tingkat perekonomian yang sangat buruk, Orde Baru menciptakan citra sebagai orde yang
stabil di bidang politik dan maju di bidang ekonomi.

Pembangunan adalah ideologi Orde Baru untuk memenuhi citranya sebagai orde yang
ingin memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pasar dalam negeri di buka untuk
investasi asing, IMF dan World Bank diundang untuk memberikan pinjaman, para
teknokrat lulusan Barkeley University merumuskan rencana pembangunan. Strategi
pembangunan yang dipilih adalah trickle down effect (teori menetes ke bawah), yaitu
mendorong terciptanya kelompok-kelompok usaha raksasa dalam negeri yang diharapkan
akan meneteskan sebagian kemakmurannya bagi rakyat.

Bagi rejim Orde Baru, pembangunan membutuhkan tingkat politik yang stabil sebagai
prasyarat. Lagi-lagi merujuk pada masa lalu, rejim tak menginginkan liberalisasi politik.
131

Rejim menolak adanya oposisi. Politik kalau perlu disederhanakan sehingga tak tercipta
rivalitas politik. Politik juga harus disterilkan dari kekuatan rakyat melalui konsep massa
mengambang.

Adanya pinjaman dalam jumlah besar, tingkat investasi yang tinggi, strategi
pembangunan yang tepat, dan politik yang stabil telah mendatangkan hasil. Statistik
ekonomi menunjukkan tingkat perekonomian yang tinggi, bangunan-bangunan fisik
menjulang menjangkau langit, para konglomerat berkerumun di sekitar istana dan jalan
Cendana berbagi jatah pembangunan. Tingkat perekonomian yang terus beranjak naik
makin memperkuat legitimasi kekuasaan rejim Orde Baru. Meskipun demikian, selalu
ada penentangan terhadap pembangunan. Penentangan dari rakyat dipandang rejim Orde
Baru sebagai musuh pembangunan yang harus disingkirkan. Pembangunan harus jalan
terus meskipun ada korban. Adanya korban hanyalah ekses di lapangan bukan kesalahan
pada konsep pembangunannya. Di depan pembangunan, korban tak mempunyai nilai apa-
apa.

4. Dwi Fungsi ABRI

ABRI adalah komponen utama dari rejim Orde Baru. ABRI menjadi garda depan yang
mengalahkan G-30-S/PKI. ABRI juga mencitrakan diri sebagai penyelamat dan penjaga
Negara ini, karena itu ABRI berhak untuk memimpin politik Indonesia. ABRI juga terus
mengingatkan akan peran pentingnya dalam sejarah berdirinya Negara ini. Masa lalu
menjadi basis legitimasi peran ABRI di masa kini dan akan datang. Seminar AD ke-2
pada tahun 1966 di Seskoad menghasilkan suatu konsep penting yaitu Dwi Fungsi ABRI.
Konsep ini adalah pengembangan lebih lanjut dari konsep kelompok Suwarto (komandan
Seskoad) mengenai “misi sipil” Angkatan Darat (AD). AD harus berfungsi sebagai
“agency” untuk keamanan nasional, “agency” untuk nation building, “agency” untuk
national growth dan national prosperity. 90

90
R.E. Olson, Soeharto: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2001, hlm. 155-
156.
132

Dwi Fungsi ABRI berarti ABRI mempunyai fungsi pertama sebagai alat negara di bidang
pertahanan dan keamanan, dan fungsi kedua adalah Sosial-Politik. Dwi Fungsi ABRI
menjadi legitimasi ABRI untuk mengurus semua hal di negeri ini. Pada jaman Orde Baru,
sebagian besar jabatan publik dipegang oleh militer. Di bidang pertahanan keamanan,
tugas ABRI adalah mengamankan kedaulatan wilayah dan juga keberlangsungan politik
di negeri ini.

Ketika ada gangguan terhadap politik nasional, gangguan terhadap pembangunan, ABRI
tampil ke depan menyingkirkan setiap pihak yang dipandang negara sebagai musuh.
Dengan menggunakan pendekatan keamanan, ABRI mengkontrol secara ketat aktivitas
rakyat Indonesia. Dengan pendekatan keamanan, ABRI berhak bertindak keras terhadap
pihak-pihak yang menjadi korban dari pembangunan, dan pihak-pihak yang
berseberangan secara politik dengan pemerintahan Orde Baru.

Pertarungan Memperebutkan Masa Silam di Era Pasca-Orde Baru

Kekuasaan Orde Baru akhirnya runtuh juga pada tahun 1998. Legitimasi sejarah yang
telah dibangun selama 32 tahun tak cukup menolong keruntuhannya. Penyelamat
Pancasila itu malah menyelewengkan nilai luhur dari Pancasila yang telah dirumuskan
oleh para pendiri bangsa. Hantu komunisme tak lagi menakutkan para mahasiswa.
Pembangunan justru menghasilkan krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak 1997.
Rakyat tak lagi takut menghadapi pendekatan keamanan ABRI, kaum sipil tak rela
segalanya dipimpin oleh ABRI.

Dominasi sejarah Orde Baru telah hilang, kini muncul keragaman sejarah baru. Sejarah
ditulis kembali dalam keragaman metodologi. Ingatan tentang kepahlawanan Orde Baru
kini diganti oleh ingatan tentang dosa-dosa Orde Baru. Para korban yang dulu tersingkir
dari panggung politik Indonesia kini hadir kembali mementaskan cerita-cerita baru
tentang penderitaan di masa silam dan harapan di masa depan.
133

Demokrasi telah membawa nilai-nilai baru seperti penghormatan terhadap kemanusiaan,


kebebasan dan kesetaraan politik serta keadilan ekonomi. Demokrasi mengundang semua
pihak untuk memasuki dan mengisi makna dari demokrasi. Karena semua pihak boleh
masuk dan mengisi demokrasi, maka para korban yang dulunya dipinggirkan di jaman
Orde Baru kini bebas untuk mengekspresikan dan melaksanakan keinginan mereka.
Tetapi juga pada saat yang bersamaan, kelompok lama yang otoriter di jaman Orde Baru
juga tak dilarang untuk memaknai demokrasi. Demokrasi memungkinkan pihak-pihak
yang berseberangan secara politik untuk bersaing dalam merebut demokrasi. Tak
mengherankan, dalam demokrasi saat ini muncul pertarungan politik antara kekuatan-
kekuatan yang dulu berseberangan, di mana pengungkapan kebenaran masa lalu
merupakan salah satu wacana yang diperebutkan.

Para korban dan pejuang kemanusiaan berjuang untuk mengungkap masa lalu yang tak
adil dan berharap para korban akan mendapat keadilan dan menjadi pembelajaran yang
penting bagi kehidupan politik masa kini dan masa depan. Kelompok-kelompok lama
yang otoriter juga menganggap penting masa lalu, tetapi dengan motif yang berbeda.
Bagi kelompok ini, pengungkapan kebenaran di masa lalu akan mengancam keberadaan
mereka saat ini dan di masa depan. Karena itu mereka akan berusaha dengan sekuat
mungkin menghalangi pengungkapan kebenaran di masa lalu.

Kita bisa melihat bagaimana pertarungan antara kedua kelompok untuk memperebutkan
masa lalu dalam uraian atas sejumlah isu di bawah ini:

1. Peristiwa 1965

Pertarungan narasi 1965:

Hadirnya Narasi Para Korban dan Historiografi Baru Mengenai 1965

Sejak rejim Orde Baru berakhir, muncul kecenderungan baru dalam penulisan sejarah
masa lalu. Rejim Sejarah (meminjam istilah Ruti G.Teitel) yang telah bertahan selama 32
134

tahun, kini mulai digugat. Kebenaran sejarah yang menjadi legitimasi kekuasaan Orde
Baru mulai digugat. Gugatan sejarah itu tidak saja berasal dari para sejarawan, tetapi juga
berasal dari para korban Orde Baru yang mulai menuliskan pengalaman penderitaannya.

Hadirnya narasi sejarah yang baru menggugat kebenaran sejarah yang selama ini dikuasai
oleh para pemenang politik. Rejim politik Orde Baru yang menang dalam kemelut politik
1965 menciptakan rejim sejarahnya demi keberlangsungan kekuasaannya. Monumen
Pancasila Sakti, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Buku Sejarah Nasional Indonesia
(SNI), adalah representasi rejim sejarah Orde Baru.

Para korban Orde Baru menghadirkan kembali masa lalu tetapi dari sudut pandang orang
yang kalah, orang yang trauma dan orang yang telah lama bisu. Mereka tidak hanya
bercerita tentang peristiwa-peristiwa besar, atau tentang kepahlawanan mereka. Mereka
juga bercerita tentang peristiwa-peristiwa kecil, peristiwa yang dekat dalam kehidupan
mereka, tentang derita dan kesenyapan hidup mereka.

Pada saat yang bersamaan, para sejarawan membuat historiografi baru mengenai
peristiwa 1965. Menurut Gerry van Klinken, ada empat arus historiografi di era pasca-
Orde Baru: (1) arus nasionalis ortodoks; (2) historiograsi sosial pada level nasional; (3)
historiografi ethno-nasionalis; dan (4) sejarah lokal. 91 Sejarawan Asvi Warman Adam
menggunakan istilah pelurusan sejarah. Menurut Asvi, sejarah merupakan dialektika
antara masa lampau dengan masa sekarang. Dialog itu tidak berkesudahan antara
sejarawan dan sumber yang dimilikinya. Bila ditemukan data baru, sejarah itu bisa
mengalami revisi. 92

Adanya historiografi baru membawa dampak yang luar biasa dalam penulisan sejarah di
era pasca-Orde Baru. Apa yang terjadi di era 1965 khususnya soal gerakan pada tanggal
30 September, dan tindakan dari ABRI pimpinan Soeharto adalah peristiwa yang menjadi
objek penelitian dan penulisan historiagrafi yang baru. Salah satu buku tentang peristiwa

91
Gerry van Klinken, “The Battle for History After Soeharto,” dalam Mary S. Zurbuchen (ed.),
The Past In The Indonesian Present, Singapore: Singapore University Press, 2005, hlm. 237.
135

1965 adalah buku berjudul Dalih Pembunuhan Massal karangan John Roosa. 93 John
menemukan sebuah bukti baru yang sangat penting berkenaan dengan G-30-S, yaitu
dokumen yang ditulis oleh Brigadir Jendral Suparjo (salah satu wakil komandan G-30-S).
Penemuan dokumen itu telah mempengaruhi John dalam memikirkan kembali tentang
kerumitan dan kemisteriusan dari gerakan 1965 dan kaitannya dengan pembunuhan
massal yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Para Penentang

Pada tahun 1999, Departemen Pendidikan membuat suatu proyek penulisan sejarah yang
dipimpin oleh sejarawan Anhar Gonggong (seorang pengikut Nugroho Notosusanto). 94
Tujuan dari proyek ini adalah memberi arahan kepada para guru sejarah (tingkat dasar
dan menengah) untuk mengatasi perbedaan versi tentang sejarah. Tugas dari proyek ini
adalah mengakhiri ketidakpastian dan konsekuensi negatif yang akan mengancam
kebersamaan.

Bulan Agustus 2007, Depdiknas dan Kejaksaan Agung mengadakan sweeping dan
penarikan dari toko-toko buku atas sejumlah buku-buku pelajaran sejarah yang tidak
mencantumkan PKI dalam G-30-S/PKI. Di beberapa tempat, polisi bersama para guru
membakar ratusan buku pelajaran sejarah yang dianggap tidak sesuai dengan versi
sejarah resmi. Alasan yang dikemukan adalah adanya berbagai versi sejarah terutama
mengenai peristiwa G-30-S/PKI 1965 telah membingungkan para siswa dan orang
tuanya.

Pada waktu yang hampir bersamaan juga terjadi sweeping terhadap buku-buku umum
yang dianggap mengandung ajaran Marxisme-Leninisme. Toko Buku Ultimus di
Bandung diserang sebuah kelompok pemuda. Acara seminar tentang Marxisme
internasional di Bandung dibubarkan, dan seorang pembicara dari luar negeri dideportasi.

92
Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Tride, 2004.
93
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Jakarta:
Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.
94
Van Klinken (2005), hlm. 242.
136

Di salah satu daerah di Jawa Tengah, kelompok-kelompok Islam membubarkan


pertemuan para korban 1965.

Sweeping, pembakaran dan pelarangan terhadap peredaran buku-buku pelajaran sejarah,


buku-buku kiri, serangan terhadap aktivitas ilmiah dan kebudayaan yang dituduh kiri
adalah bentuk dari perang ingatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang anti
terhadap komunisme. Bagi kelompok-kelompok itu, keragaman penulisan sejarah tidak
hanya menimbulkan ketidakpastian terhadap sejarah yang telah diyakini selama tiga
dasawarsa. Keberagaman sejarah dianggap berpotensi mengancam dan menghancurkan
fondasi kebenaran dan legitimasi kekuasaan yang selama ini dipegang oleh kelompok
tersebut.

Pertarungan di wilayah kebudayaan:

Prahara Budaya

Pada tahun 1995, terbit sebuah buku berjudul Prahara Budaya. Buku ini ditulis oleh dua
budayawan Manikebu, 95 D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail. 96 Pokok dari buku ini adalah
memberi gambaran tentang situasi yang terjadi di masa lalu, khususnya serangan dari
pihak Lekra terhadap budayawan Manikebu.

Politik ingatan dari kedua penulis ini sangat jelas, yaitu menghadirkan masa silam versi
mereka guna menghadapi makin populernya karya-karya Pramudya Ananta Toer di mata
generasi muda. Pada level politik nasional, rejim Orde Baru juga menghadirkan hantu
komunisme gaya baru. Tak henti-hentinya, pemerintah mengingatkan masyarakat untuk
waspada terhadap gerakan komunisme gaya baru.

95
Istilah Manikebu memang agak problematik. Istilah ini dipakai oleh kelompok-kelompok yang
anti dengan kubu penanda tangan Manifesto Kebudayaan untuk menghina. Manikebu sering diasosiakan
sebagai maninya kerbau. Namun demikian istilah ini terpaksa dipakai untuk menggambarkan perbedaan
antara kedua kubu budayawan pada dasawarsa 1960-an.
96
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK,
Bandung: Mizan, 1995.
137

Dalam sebuah diskusi di FISIP UI sekitar tahun 1995, Taufik Ismail mendapat reaksi
negatif dari para mahasiswa. Para mahasiswa mempersoalkan nafsu membalas dendam
Taufik terhadap budayawan Lekra yang telah menjadi korban rejim Orde Baru. Beberapa
hari kemudian, seorang pengajar FISIP UI menulis di sebuah harian nasional mengenai
adanya gerakan kiri baru di kampus UI.

Polemik Hadiah Magsasay untuk Pramudya Ananta Toer

Pemerintah Filipina menganugerahkan hadiah Magsasay kepada Pramudya Ananta Toer.


Hadiah Magsasay adalah penghargaan yang prestisius bidang kebudayaan di tingkat Asia
Tenggara. Penghargaan diberikan kepada Pram atas dedikasi dan sumbangannya di
bidang kebudayaan dan kemanusiaan. Pemberian hadiah Magsasay kepada Pram
mendapat reaksi yang beragam di dunia kebudayaan Indonesia. Sejumlah budayawan
termasuk budayawan Manikebu yang dulunya menjadi lawan polemik Lekra mengecam
pemberian hadiah Magsasay kepada Pram.

Para budayawan seperti Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Rendra, Ikranegara, dll., secara
gencar mengingatkan masyarakat tentang apa yang dilakukan Pram di masa silam. Bagi
mereka, Pram bertanggung jawab penuh atas nasib budayawan Manikebu yang tertindas
pada jaman Orde Lama. Mereka menuntut pemerintah Filipina mencabut kembali hadiah
Magsasay buat Pram. Mochtar Lubis yang pernah memperoleh hadiah Magsasay malah
mengembalikan hadiah Magsasay ke pemerintah Filipina.

Sebaliknya, sekitar ratusan budayawan muda mendukung Pram. Termasuk di dalamnya


adalah budayawan Goenawan Muhammad yang dulunya berseberangan dengan Pram.
Para budayawan yang dimotori oleh Jaringan Kerja Budaya menganggap Pram sangat
pantas memperoleh hadiah Magsasay atas karyanya yang monumental, Tetralogi Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Goenawan Muhammad dan Lekra


138

Goenawan Muhammad (GM) adalah seorang budayawan yang unik. GM adalah seorang
penandatangan Manifesto Kebudayaan pada dasawarsa 1960-an. Pada jaman itu, GM
berhadap-hadapan dengan kubu Lekra. Setelah rejim Orde Baru berkuasa, budayawan
Lekra tersingkir dari panggung kebudayaan Indonesia. Ketika budayawan Lekra tampil
kembali ke panggung, tidak seperti rekan-rekannya di kubu Manikebu, GM justru
menyambut dengan baik. Dalam polemik mengenai pemberian hadiah Magsasay terhadap
Pramudya Ananta Toer, GM berbeda dengan rekan-rekan Manikebunya. GM memilih
bergabung dengan budayawan lainnya yang mendukung Pramudya Ananta Toer.

Bentuk penghargaan GM terhadap karya budayawan Lekra juga ditunjukkan melalui


sejumlah tindakan. Ketika Sanggar Bumi Tarung mengadakan pameran seni rupa ke-2 di
Galeri Nasional Indonesia pada tanggal 19-29 Juni 2008, GM menyambut gembira
melalui tulisannya di Kompas.

2. Kerusuhan 27 Juli 1996 dan Penculikan Para Aktivis Pro-Demokrasi

Campur tangan yang besar dari rejim Orde Baru terhadap aktivitas partai politik di
Indonesia telah menimbulkan gejolak dalam tubuh PDI. Kekhawatiran rejim akan
popularitas Megawati Soekarno Putri telah mendorong rejim mengambil kebijakan untuk
mencampuri urusan internal PDI.

Rejim mendorong kembali bekas ketua PDI Soerjadi untuk menandingi karisma dari
Megawati. Ujung dari campur tangan pemerintah adalah diselenggarakannya Konggres
Medan yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang baru mengganti
Megawati. Mayoritas anggota PDI tetap mendukung kepemimpinan Mega. Sebagian
kelompok pro-demokrasi yang bersimpati terhadap Mega turut bergabung. Aliansi
anggota PDI dan kelompok pro-demokrasi lainnya memusatkan kekuatan di markas PDI
di Menteng.
139

Pemerintah semakin marah atas perlawanan kelompok pendukung dan simpatisan Mega,
memutuskan untuk bertindak lebih jauh dengan mendorong kubu Soerjadi dan dibantu
oleh ratusan preman menyerang markas PDI. Dalam serangan itu, jatuh banyak korban.
Penyerangan terhadap markas PDI malah memperbesar masalah. Rakyat melampiaskan
kemarahannya kepada tindakan yang tidak adil oleh para penyerang dengan membakar
sejumlah kantor dan fasilitas umum. Kerusuhan meledak di sebagian wilayah Jakarta
pada tanggal 27 Juli 1996.

Setalah kerusuhan 27 Juli 1996, pemerintah Orde Baru mencari kambing hitam baru yaitu
PRD, sebuah organisasi massa di bawah pimpinan Budiman Soejadmiko. Pemilihan PRD
sebagai kambing hitam berkaitan dengan upaya rejim menghadirkan kembali hantu
komunisme dalam peristiwa 27 Juli 1996. Hantu komunisme dilekatkan pada PRD yang
menurut rejim mempunyai agenda politik kekiri-kirian mirip dengan PKI di masa lalu.

Tak cukup dengan mengkambinghitamkan PRD, rejim Orde Baru terus mengejar dan
menangkap para aktivis PRD. Sebagian pengurus PRD ditangkap dan dipenjarakan, tetapi
ternyata juga berjalan operasi penculikan paksa terhadap sejumlah aktivis PRD, aktivis
pro-demokrasi lainnya dan aktivis partai politik. Operasi penculikan dilakukan oleh
sebuah grup dalam kopassus yang bernama Tim Mawar. Penculikan para aktivis ini
segera mendapat reaksi keras dari sejumlah organisasi dan pejuang kemanusiaan. Kontras
di bawah pimpinan Munir adalah lembaga kemanusiaan yang paling berani dan aktif
mengkampanyekan pembebasan para aktivis yang diculik. Karena kerasnya perjuangan
menuntut pembebasan aktivis yang diculik, militer melepaskan sejumlah aktivis pro-
demokrasi tetapi sebagian aktivis tetap tak jelas nasibnya. Militer tak memberi jawaban
atas nasib para aktivis yang diculik tetapi belum dibebaskan. Setelah reformasi,
perjuangan para korban dan aktivis kemanusiaan untuk menuntut penyelesaian kasus 27
Juli 1996 dan penculikan paksa aktivis pro-demokrasi makin gencar. Kampanye terus
dilakukan agar rakyat terus mengingat akan kejamnya politik Orde Baru.

Dalam penyelesaian kasus 27 Juli 1996, derasnya tuntutan akan penyelidikan dan proses
hukum terhadap para pelaku tak menggerakan hati pemerintahan Megawati untuk
140

mengadili para pelaku. Mega yang menjadi korban dalam penyerangan kantor PDI
memilih diam dan malah mendukung Sutiyoso sebagai gubernur DKI. Padahal, Sutiyoso
disinyalir turut bertanggung jawab atas peristiwa penyerangan kantor PDI.

Dalam kasus penculikan paksa, ada pengadilan terhadap tim Mawar tetapi sebagian besar
bebas. Proses hukum ternyata tak berhasil memperoleh informasi mengenai jalannya
operasi penculikan dan juga tak berhasil mengorek keterangan tentang bagaimana nasib
korban penculikan yang belum dibebaskan sampai saat ini.

3. Trisakti, Semanggi I dan II, dan Kerusuhan Mei

Penderitaan rakyat Indonesia semasa Orde Baru telah mendorong radikalisasi gerakan
rakyat. Kelompok-kelompok mahasiswa dan para pejuang HAM adalah garda depan dari
gerakan reformasi 1998. Rejim Orde Baru semakin khawatir melihat perkembangan dari
gerakan pro-demokrasi di Indonesia.

Mahasiswa yang telah didepolitisasi melalui konsep NKK/BKK bangkit kesadarannya


akan penderitaan rakyat akibat tindakan represif Orde Baru dan pembangunan yang tak
berpihak pada nasib mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Gerakan mahasiswa masa
lalu juga menjadi inspirasi bagi mahasiswa di tahun 1997-1998 untuk melawan
kekuasaan Orde Baru yang otoriter. Mahasiswa teringat para pendahulunya seperti
gerakan mahasiswa 1966, 1974, 1978, kelompok-kelompok studi dan aksi di era 1980-an
yang berani mengatakan tidak kepada penguasa yang lalim.

Aksi mahasiswa menjalar dari kampus ke kampus, dari kota ke kota bahkan sampai
menyeberang lautan ke seluruh pelosok Indonesia. Melintasi kampus negeri dan swasta,
melintasi latar belakang ekonomi mahasiswa. Semuanya serempak meneriakkan yel-yel
reformasi, turunkan harga, dan menuntut Presiden Soeharto mundur. Pada 12 Maret
1998, mahasiswa universitas Trisakti mengadakan aksi di depan kampusnya di Grogol.
Aksi yang semula berjalan damai ternyata berujung duka. Empat mahasiswa tewas
141

diterjang peluru aparat. Kematian empat mahasiswa itu segera mendatangkan simpati dan
kemarahan yang luas dari masyarakat.

Situasi politik yang memanas pasca-penembakan di Trisakti dan psikologi massa yang
marah dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk makin memanaskan situasi politik
nasional. Kelihatan seperti spontanitas massa yang marah akibat tragedi Trisakti, tetapi
kerusuhan yang terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan di hampir seluruh wilayah
Jakarta menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di balik
kerusuhan Mei 1998. Dari segi sasaran, ada korban utama yaitu kelompok masyarakat
keturunan Tionghoa dan masyarakat miskin yang terperangkap dalam gedung-gedung
yang terbakar. Dari segi jenis kelamin, perempuan adalah korban terbanyak. Mereka
dianiaya, diperkosa dan bahkan dibunuh.

Naiknya Wakil Presiden Habibie untuk menggantikan Presiden Soeharto yang mundur
tidak berarti bahwa situasi politik menjadi lebih baik. Mahasiswa menolak mengakui
kepemimpinan Habibie yang dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rejim
Orde Baru. Penolakan ini diekspresikan melalui aksi-aksi mahasiswa yang telah memilih
keluar kampus untuk berdemonstrasi. Dalam aksi demonstrasi di depan kampus
Atmajaya, tentara menyerang dengan menggunakan peluru tajam ke arah mahasiswa.
Akibatnya sejumlah mahasiswa tewas tertembak. Wawan, mahasiswa Atmajaya yang
menjadi relawan kesehatan hendak menolong para korban malah jatuh tersungkur akibat
tertembak dan akhirnya meninggal. Tragedi ini kemudian dikenang sebagai tragedi
Semanggi I.

Masalah kekerasan oleh militer di kampus Atma Jaya belum diselesaikan, jatuh korban
lagi di lokasi yang berdekatan. Kali ini yang menjadi korban adalah Yun Hap, seorang
mahasiswa UI yang bersama teman-temannya di Posko Teknik UI mengadakan aksi
mahasiswa menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Peristiwa
penembakan justru terjadi ketika situasi tengah cooling down. Mahasiswa yang baru
selesai aksi sedang beristirahat di jalur hijau jalan Sudirman. Tak lama berselang melintas
truk tronton yang berisi pasukan tentara dan dari tronton itu, meletus tembakan ke
142

berbagai arah. Akibatnya, Yun Hap tewas tertembak. Ini dikenal sebagai tragedi
Semanggi II.

Pengungkapan kebenaran atas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dilakukan oleh
Komnas HAM. Proses hukum juga dilakukan atas sejumlah prajurit yang dianggap
terlibat dalam peristiwa penembakan di Trisakti. Mahasiswa Trisakti pada awalnya
menyambut positif, tetapi perlahan-lahan meredup setelah proses persidangan
menunjukkan hasil yang sangat mengecewakan. Mahasiswa dan aktivis kemanusiaan
lainnya berupaya untuk memperjuangkan kasus TSS supaya dijadikan sebagai kasus
pelanggaran HAM berat. Para wakil di DPR dipercayakan untuk menentukan kasus TSS,
tetapi hasilnya sungguh mengecewakan. DPR memutuskan bahwa peristiwa TSS bukan
pelanggaran HAM berat. Keputusan politik DPR telah mendorong Kejaksaan Agung
untuk menolak menindaklanjuti hasil laporan Komnas HAM.

Sirnalah harapan para orang tua korban yang meninggal. Orang tua Wawan sangat sedih
karena anak mereka satu-satunya tidak mendapat keadilan. Demikian juga dengan orang
tua dan keluarga dari para korban yang tewas. Dalam pengungkapan kebenaran masalah
kerusuhan Mei 1998, muncul sejumlah problem. Berkembang suatu opini bahwa para
korban yang tewas terbakar adalah para penjarah, karena itu kasus itu tak perlu diungkap.
Persoalan lain adalah sulitnya tim investigasi mendapat informasi dari para korban,
khususnya perempuan yang menjadi korban pemerkosaan.

4. Aceh dan Papua

Aceh:

Di dunia ini, hanya ada satu kisah tentang orang yang memancing dengan linangan
air mata, yaitu di daerah Idi Cut. Dengan linangan air mata, warga yang tinggal di
sekitar sungai Arakundoe, Aceh Timur memancing. Yang dipancing bukan ikan,
tetapi mayat-mayat yang dibenamkan di sungai Arakundoe yang dalam dan deras
arusnya.
143

Tanggal 26 Maret 1999, Presiden Habibie mengunjungi Aceh. Dalam kunjungan itu,
Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh dan keluarga korban Daerah
Operasi Militer (DOM). Wiranto sebagai Menhankam/Pangab juga mengunjungi Aceh
dan berjanji akan mengakhiri DOM dan memulai perdamaian di Aceh. Habibie
membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) atas kasus DOM Aceh di bawah pimpinan Hari
Sabarno. Dalam bekerja, TPF melakukan pertemuan dengan para korban. Berbagai
organisasi sosial di Aceh juga mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para korban.
Dalam suatu pertemuan publik di Idi Cut, seorang ibu membawa anaknya yang masih
berusia 10 tahun. Sebelum pertemuan, anak itu bertanya kepada ibunya, “Ibu, untuk apa
kita ke sana (pertemuan publik)? Nanti kita dilempar ke sungai Arakundoe.” Anak ini
adalah salah satu korban dalam tragedi di Idi Cut pada tanggal 2 Februari 1999, dan
mengalami trauma sejak saat itu. Ketika dia melihat seorang prajurit berpakaian loreng,
anak itu pasti menangis ketakutan.97 Dalam pertemuan dengan perempuan-perempuan
Aceh yang telah kehilangan suaminya (karena meninggal atau hilang selama masa
DOM).

Permintaan maaf yang dilakukan Habibie, pembentukan TPF dan jaminan dari Wiranto,
ternyata tak cukup menghalangi aksi kekerasan oleh pasukan di Aceh. Pada tanggal 3
Mei 1999, Yonif 113 melakukan penyerangan terhadap rakyat yang sedang berkumpul di
daerah Simpang KKA, Kruleng Geukueh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Dalam
penyerangan itu, jatuh korban 65 orang meninggal, 10 orang hilang dan ratusan lainnya
terluka. Dalam peristiwa itu seorang anak kecil berusia 7 tahun bernama Saddam Husein
turut menjadi korban yang tewas. 98 Menurut Kontras, kekerasan terus berlangsung di
Aceh. Kontras mencatat dari tahun 1999 sampai 2002, korban meninggal sebanyak 524
orang, 1720 kasus penghilangan paksa dan 1577 penangkapan sewenang-wenang. 99

Habibie meski telah membentuk TPF, tetapi ternyata tidak menindaklanjuti hasil laporan
TPF. Menkopolkam Feisal Tanjung malah pernah menyatakan bahwa peristiwa

97
Fikar W. Eda dan S. Setya Dharma, Sebuah Kesaksian: Aceh Menggugat, Jakarta: Sinar
Harapan, 1999.
98
Ibid.
144

pembantaian di Aceh tidak terkait dengan masalah HAM. Feisal Tanjung juga
menyatakan bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Aceh merupakan karangan belaka. 100

Menurut pandangan sejumlah mantan pimpinan militer tentang hasil laporan TPF,
jatuhnya korban di Aceh patut disesali, tetapi jangan menghalangi politik ke depan.
Mantan direktur Bais, Letjen Arie Sudewo menyatakan bahwa dalam suatu operasi
militer, tak terhindarkan jatuhnya korban. Korban di Aceh tidak hanya berkaitan dengan
operasi militer Indonesia, tetapi bisa juga korban dari operasi DI/TII, G-30-S.
Menurutnya, lebih baik kita berpikir ke depan. Menurut Theo Syafei, ada upaya
sistematis untuk membuat rakyat semakin berani dan kemudian menghujat ABRI karena
ekses-ekses yang terjadi. Theo berharap agar masyarakat tidak menggeneralisir persoalan
yang terjadi di Aceh. 101

Sampai saat ini, meskipun situasi politik di Aceh semakin damai berkat perjanjian damai
di Helsinki, tetapi tidak berarti bahwa pengungkapan kebenaran di masa lalu menjadi
lebih baik. Laporan TPF tinggal menjadi catatan sejarah, karena para pelaku tak tersentuh
oleh hukum.

Papua:

Selama 35 tahun proses pembangunan di tanah Papua, ia tak ubahnya dijadikan


ideologi dan kebijakan yang dipaksakan. Membuat orang Papua merasa terbuang
di tanahnya. Tidak heran bila ujung-ujungnya pembangunan di tanah Papua ini
justru dilihat sebagai penjajahan. Akibatnya, ramai-ramailah mereka minta
merdeka. (Pendeta Herman Saut)

Tanah Papua, tanah yang luas, kaya dan indah. Tanah yang indah tetapi menyimpan
gejolak dan derita. Tiap tahun, Keuskupan Jayapura membuat laporan tentang kondisi

99
Kontras, Aceh, Damai Dengan Keadilan : Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: Kontras,
2006.
100
Eda dan Dharma (1999), hlm. 157.
101
Ibid., hlm. 215.
145

kemanusiaan di Aceh. Laporan itu berjudul Memoria Passionis (ingatan akan


penderitaan) menunjukkan simpati dari pihak Gereja terhadap nasib rakyat Papua.

Seperti Aceh dan Timor Timur, rejim Orde Baru menggunakan pendekatan keamanan
untuk menjamin kedaulatan NKRI atas wilayah Papua. Pendekatan keamanan yang
awalnya digunakan untuk menghabiskan kekuatan Organisasi Papua Merdeka (OPM),
berubah menjadi operasi yang ditujukan ke masyarakat sipil yang dianggap menjadi
simpatisan OPM. Dari waktu ke waktu, korban terus berjatuhan. Pembunuhan Arnold Ap
(antropolog dan kurator di Museum Daerah Irian Jaya) menunjukkan kebijakan Orde
Baru yang selalu mencurigai aspirasi rakyat Papua termasuk aktivitas memelihara dan
memajukan kebudayaan Papua seperti yang dilakukan oleh Arnold AP.

Ketika situasi politik nasional menjadi lebih demokratis, rakyat Papua mulai aktif
memperjuangkan kepentingan mereka. Pada tanggal 26 Februari 1999, 100 tokoh Papua
(Tim 100) berangkat ke Jakarta untuk berdialog dengan Presiden Habibie. Dalam dialog
itu, Tim 100 mengungkapkan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Keinginan sebagian rakyat Papua untuk merdeka tidaklah mengherankan. Berbagai
kebijakan pembangunan dan pendekatan keamanan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru
telah memupuk kekecewaan yang sangat besar terhadap Indonesia. Rakyat Papua marah
karena tanah-tanah ulayatnya dirampas demi pertambangan, lokasi transmigrasi, peluang
kerja hanya terbatas bagi rakyat Papua yang berpendidikan, sektor ekonomi dikuasai oleh
para pendatang. 102 Akumulasi dari kekecewaan dan kemarahan mendorong perluasan
dari gerakan menuntut kemerdekaan.

Sikap politik pemerintah Indonesia berbeda-beda sejak dari jaman pemerintahan Habibie.
Dalam pemerintahannya yang singkat, Habibie tidak banyak mengambil kebijakan
terhadap rakyat Papua, kecuali bertemu dengan tim 100. Di era Gus Dur, ada perubahan
kebijakan yang lebih positif terhadap aspirasi rakyat Papua. Gus Dur melalui pendekatan
budaya memulai pengakuan atas identitas ke-Papua-an. Dengan mengganti nama Irian

102
Rodd McGibbon, Plural Society in Peril: Migration, Economic Change, and the Papua
Conflict, Washington: East-West Center Washington, 2004.
146

Jaya menjadi Papua, Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui identitas orang Papua
dan memulai pendekatan baru terhadap rakyat Papua.

Sikap politik pemerintahan Megawati telah menyebabkan kekecewaan bagi rakyat Papua.
Megawati membuat kebijakan pemekaran wilayah Papua. Rakyat Papua kecewa karena
janji Mega untuk meningkatkan status otonomi khusus tidak terlaksana. Pemerintahan
SBY diharapkan akan membawa perubahan dalam relasi pusat dan Papua. Dalam
sejumlah pernyataannya, SBY akan mendahulukan solusi politik daripada militer, politik
yang akomodatif daripada represi. Pada tanggal 22 Desember 2004, SBY mendirikan
Majelis Rakyat Papua. 103

Kebijakan militer di Papua sesungguhnya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan


meski telah ada perubahan politik nasional. Obsesi akan keutuhan NKRI telah membuat
militer selalu mencurigai aspirasi rakyat Papua. Berbagai laporan pelanggaran HAM oleh
lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan di Papua menunjukkan bahwa rakyat Papua
masih menjadi korban di wilayahnya sendiri. Pembunuhan Theys Eluay, Ketua Dewan
Presidium Papua menunjukkan TNI belum meninggalkan pola-pola militer pada jaman
Orde Baru. Meskipun ada kecaman terhadap pembunuhan Theys, TNI mengganggap para
pelaku telah menjalankan tugas negara. Bahkan, Jendral Ryamizard Ryacudu (KSAD
jaman pemerintahan Megawati) menggelari para pembunuh Theys sebagai pahlawan
yang melaksanakan tugas bangsa. 104

Ketidakkonsistenan dan ketidakberpihakan pemerintah pusat terhadap rakyat Papua telah


membuka mata rakyat Papua akan bayang-bayang politik Orde Baru yang masih
menggelayuti perjalanan rakyat Papua ke depan. Kebijakan Megawati yang menolak
pandangan rakyat Papua yang menentang pemekaran berlatar belakang kecurigaan
pemerintahan Megawati atas konsekuensi dari status otonomi khusus (otsus) di Papua.
Menurut John Ibo (ketua DPRD Papua), Megawati dan BIN telah mendapat laporan dari

103
Richard Chauvel, Constructing Papuan Nasionalism: History, Etnicity, and Adaptation,
Washington: East-West Center Washington, 2005, hlm. 88.
104
Richard Cauvel and Ikrar Nusa Bhakti, The Papua Conflict: Jakarta’s Perceptions and
Policies, Washington: East-West Center Washington, 2004.
147

kelompok elite politik Papua bahwa otsus akan mempersiapkan kemerdekaan untuk
Papua. Ada celah-celah dalam UU No.21/2001, khususnya mengenai pengakuan akan
bendera Papua, lagu kebangsaan Papua. Padahal bendera dan lagu adalah bagian dari
representasi kultur bangsa Papua. 105 Kecurigaan terhadap atribut-atribut identitas Papua
seperti bendera dan lagu mengingatkan kita akan kekhawatiran rejim Orde Baru atas
aktivitas Arnold A.P., yang memajukan identitas Papua melalui lagu dan tari rakyat
Papua. Masa lalu itu belum mau pergi.

5. Tanjung Priok 1984

Kasus kekerasan di Tanjung Priok adalah ekspresi dari kebijakan rejim Orde baru yang
selalu curiga pada kebangkitan politik Islam di Indonesia. Peristiwa Tanjung Priok
(September 1984) terjadi sebagai akibat dari akumulasi ketegangan antara rejim Orde
Baru dengan kelompok Islam. Upaya rejim Orde Baru untuk menjadikan Pancasila
sebagai asas tunggal bagi semua organisasi politik dan organisasi massa di seluruh
Indonesia, telah mendapat penolakan yang luas dari kelompok-kelompok Islam.
Ketegangan ini terus mewarnai relasi Orde Baru dengan kelompok-kelompok Islam
sebelum terbentuknya ICMI.

Kejadian Tanjung Priok bermula ketika seorang tentara dituduh mengotori kesucian
sebuah mesjid di sebuah tempat di Tanjung Priok. Insiden berkembang menjadi tindakan
kekerasan militer yang membubarkan secara paksa aksi warga Tanjung Priok yang
menuntut pelaku pengotoran tempat ibadah itu dihukum. Dalam peristiwa itu, jatuh
korban ratusan orang meninggal dan luka-luka. Lanjutan dari peristiwa itu adalah
penangkapan beberapa tokoh Islam yang kemudian divonis penjara.

Terhadap peristiwa itu, Soeharto menyatakan:

105
Sefnat Momao, Papua dalam Bayang-Bayang Pemekaran vs Otsus: Rakyat Papua Hendak
Dibawa ke Mana?, Yogya: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004.
148

Nyatanya yang jadi alasannya waktu itu (insiden Tanjung Priok) ialah mengenai
Pancasila. Yang bersangkutan menentang ditetapkannya Pancasila sebagai satu-
satunya asas dalam ketatanegaraan kita.

Setelah reformasi, sejumlah tokoh yang menjadi korban dari peristiwa Tanjung Priok
mulai menuliskan narasinya sendiri tentang peristiwa itu. Mereka menentang versi Orde
Baru mengenai sebab dan kronologi peristiwa Tanjung Priok. Komnas HAM membentuk
tim investigasi atas kasus Tanjung Priok dan menyebutkan sejumlah nama petinggi
militer seperti Benny Murdani dan Tri Soetrisno.

Pengadilan di tingkat pertama atas Tanjung Priok telah menghukum sejumlah prajurit dan
komandannya, yaitu dari komandan Regu III, Yon Arhanudse 06 beserta 10 anak
buahnya, kemudian Komandan Distrik Militer (Kodim) 0502/Jakarta Utara, Kepala Seksi
operasi Kodim 0502, dan mantan komandan PM Kodam V Jaya. Tetapi pada tingkat
banding semua terdakwa dibebaskan. Hasil pengadilan sangat mengecewakan para
korban dan keluarganya.

Saat ini berkembang wacana tentang islah di mana warga Tanjung Priok terbelah menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok yang setuju dengan islah dan kelompok yang menolak
islah.

6. Timor Timur

Timor Timur telah merdeka. Tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia. Meskipun
demikian, pengungkapan kekerasan oleh rejim Orde Baru di masa lalu tetap berjalan.
Politik bumi hangus, pembentukan laskar sipil bersenjata pro-Indonesia, tak mampunya
TNI dalam mempertahankan situasi damai di Timor Timur menjelang dan pasca-jajak
pendapat 1999 telah menimbulkan reaksi yang keras dari dunia internasional.

Pemerintah Indonesia merespon tuntutan dunia internasional dengan mengadakan


pengadilan HAM ad hoc atas kasus kekerasan di Timor Timur dan memberi wewenang
149

kepada Komnas HAM untuk mengadakan investigasi atas kasus kekerasan di Timor
Timur. Hasil pengadilan (sampai ke tingkat banding) ternyata membebaskan seluruh
pimpinan dan prajurit TNI dan Polri. Yang terhukum hanya satu tokoh sipil yaitu Eurico
Guterres (wakil panglima PPI). Hasil pengadilan sangat ironis karena kesalahan hanya
ditimpakan kepada seorang tokoh sipil.

Komnas HAM membentuk KPP Timor Timur untuk mengadakan investigasi atas kasus
kekerasan di Timor Timur. Hasil laporan KPP Timor Timur dipuji banyak kalangan
aktivis kemanusiaan. Laporan KPP Timor Timur justru mendatangkan friksi politik di
tubuh Komnas HAM. Aisyah Amini, seorang anggota Komnas HAM mengecam laporan
KPP terutama soal keputusan KPP mengumumkan nama-nama para petinggi TNI dan
Polri yang terlibat dalam kekerasan di Timor Timur. Dan ternyata Aisyah Amini tidak
sendirian. Ia didukung oleh sejumlah anggota Komnas HAM yang punya latar belakang
militer, Polri dan birokrat. 106

Hasil pengadilan HAM ad hoc Timor Timur yang sangat mengecewakan mendorong
Komisi HAM PBB memutuskan untuk mengirim Tim Ahli untuk mengadakan investigasi
lebih mendalam mengenai kasus kekerasan di Timor Timur. Tim Ahli akhirnya
merekomendasikan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengadakan pengadilan
internasional terhadap para pelaku pelanggaran HAM. Pemerintah Indonesia yang
semakin khawatir dengan perkembangan investigasi memutuskan untuk bekerja sama
dengan pemerintah Timor Leste. Pada saat yang sama, pemerintah Timor Leste juga
mempunyai kebutuhan untuk menjalin hubungan baik dengan Indonesia.

Bertemunya kedua kepentingan dari kedua negera berujung pada pembentukan Komisi
Keadilan dan Persahabatan (KKP). Sejak awal, KKP telah mengisyaratkan bahwa hasil
laporan KKP tidak akan diteruskan ke proses hukum. KKP tidak akan merekomendasikan
adanya pengadilan internasional atas kasus kekerasan yang dulu pernah terjadi di Timor
Timur. Setelah berkali kali mengalami perpanjangan masa kerjanya, KKP berhasil

106
Cornelis Lay, Pratikno, dkk., Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi Politik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
150

merampungkan laporan akhirnya pada bulan Juli 2008. Pada intinya laporan ini
menyebutkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan di Timor
Timur.

Respons terhadap hasil laporan KKP cukup beragam. Presiden menyambut baik laporan
KKP dan menyerukan perlunya semua pihak untuk belajar dari kesalahan di masa lalu.
Ketua DPR, Agung Laksono juga menyambut baik dan mendesak pemerintah untuk
menindaklanjuti laporan KKP. Sejumlah organisasi kemanusiaan di Indonesia memuji
keberanian KKP untuk menyebut para pelaku pelanggaran HAM berat. Selain itu tidak
adanya rekomendasi untuk diadakannya amnesti juga mendapat pujian.

Reaksi yang lain berasal dari tokoh-tokoh militer yang disebutkan sebagai pelaku
kekerasan. Meskipun mereka tidak setuju dengan laporan KKP, tetapi karena tidak
adanya rekomendasi pengadilan membuat mereka tidak menanggapi secara keras. Justru
suara keras penolakan berasal dari dua anggota DPR dari Fraksi PDIP yaitu Permadi dan
Sutradara Ginting. Menurut keduanya, Indonesia harus menolak laporan KKP karena
tidak berdasar pada fakta dan bersifat memojokkan Indonesia di dunia internasional.
Tanggapan yang lain justru tidak menyoroti pada kebenaran dari laporan tetapi motif dari
pengumuman laporan oleh KKP yang dikaitkan dengan makin dekatnya pemilihan
presiden 2008. Paling tidak ada dua nama bakal calon presiden Indonesia yang tersangkut
dalam peristiwa Timor Timur, yaitu Wiranto dan Prabowo. SBY juga dituding
memanfaatkan faktor waktu dalam menerima dan mengumumkan hasil laporan KKP.

Masa Depan Indonesia ada di Masa Lalu

Walter Benjamin, seorang filsuf dan budayawan dari aliran teori kritis menempatkan
masa lalu dari orang-orang yang menderita sebagai sumber inspirasi bagi upaya
pembebasan di masa kini dan masa depan. 107 Masa lalu bagi Benjamin bukanlah sudah
lewat atau telah mati. Masa lalu justru punya daya hidup bagi manusia untuk merealisir
151

tujuan-tujuannya. Benjamin mengambil contoh tentang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah


gambaran yang ditentukan oleh kegagalan dan ke-tidaksampai-an untuk meraih
kebahagiaan di masa lalu. Kebahagiaan adalah tuntutan dan potensi masa lalu yang
belum dipenuhi, dan karenanya harus dipenuhi. 108

Pemikiran Benjamin ini penting untuk kita kembangkan dalam usaha mempertahankan
semangat dalam mengungkapkan kebenaran di masa lalu. Di tengah situasi politik yang
transaksional yang dipraktekkan oleh para politisi yang saling melakukan politik dagang
sapi, bertahannya politik yang hanya mengejar kepentingan pribadi, kita berharap bahwa
kekuatan para korban tidaklah redup. Sampai saat ini, ingatan akan penderitaan para
korban di masa lalu tetap menjadi sumur inspirasi yang tak habis-habisnya bagi upaya
kemanusiaan mengungkap masa lalu demi pembebasan di masa kini dan masa depan.
Sampai saat ini, Komnas HAM masih meneruskan upayanya untuk mengungkap
kebenaran dalam empat peristiwa di masa lalu, yaitu peristiwa 1965, Petrus, DOM Aceh
dan Papua. KKP telah menyelesaikan laporan akhirnya. Meski ada kekurangan, tetapi
secara keseluruhan hasil laporan itu sangatlah positif bagi pengungkapan kebenaran masa
lalu.

Syarikat (Masyarakat Syantri untuk Advokasi Rakyat) tak kenal menyerah, berusaha
menjembatani golongan-golongan yang seakan-akan tak terjembatani, yaitu antara eks-
tapol 1965 dengan kelompok santri NU. 109 Dua kelompok ini pada masa lalu saling
berhadap-hadapan dalam politik nasional dan lokal.

Kontras masih setia dengan tugasnya sebagai lembaga kemanusiaan yang berjuang untuk
melawan politik kekerasan di Indonesia dan mendampingi korban dan keluarganya.
Elsam dan PUSdEP masih setia dengan studi dan advokasinya mengenai wacana
pengungkapan masa lalu dan rekonsiliasi. Bagaimana dengan para korban? Sampai saat

107
Pemikiran Walter Benjamin diambil dari tulisan G.P. Sindhunata, “Memoria Passionis Walter
Benjamin dan Teologi Politik,” dalam Budi Susanto (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.
108
Ibid., hlm. 207.
109
Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi
Pasca-Soeharto, Jakarta: Elsam, 2004, khususnya uraian tentang Syarikat dan aktivitasnya.
152

ini, para korban peristiwa 1965 masih tetap bersemangat meraih keadilan. Tubuh renta
tak menghalangi mereka untuk terus berjuang. LPKP dan Pakorba masih tetap semangat
mengumpulkan rekan-rekan sesama korban. Para seniman dan budayawan eks-Lekra
masih terus berkarya sampai saat ini.

Para korban di Aceh masih terus berjuang memperoleh keadilan meski situasi di Aceh
sudah lebih damai. Bagi mereka, situasi damai seharusnya tak menghalangi upaya
mencari keadilan. Orang-orang Papua berpaling ke masa lalu, jauh sebelum Papua
menjadi wilayah Indonesia. Sebagian orang Papua masih punya ingatan tentang hidup
yang lebih damai di masa lalu. Kepercayaan pada koreri (pembebasan dalam konteks
kepercayaan orang Papua) akan dicapai di masa depan. 110

Keluarga korban penculikan masih menyimpan harap akan kembalinya aktivis pro-
demokrasi yang diculik. Sampai saat ini orang tua dari salah seorang aktivis yang diculik
tidak mengunci pintu kamar anaknya. Orang tua itu berharap anaknya akan kembali
keharibaan mereka, entah kapan mereka tidak tahu. Mereka tidak ingin kalau anaknya
pulang, anaknya tak bisa masuk ke rumah yang terkunci. Demikian juga dengan istri dari
Wiji Tukul yang merindukan untaian kata-kata indah yang mengalir lewat puisi dari
suaminya tercinta. Para mahasiswa masih tetap memperjuangkan keadilan dalam
peristiwa TSS. Demikian juga dengan keluarga korban dan korban dari kerusuhan Mei
1998. Keluarga korban Tanjung Priok masih tetap berharap akan datangnya keadilan,
walaupun islah telah mulai dilakukan.

Basis etis dari penderitaan korban di masa lalu masih ada. Basis etis ini membutuhkan
tindakan politik yang tak kenal henti. Memperebutkan masa lalu tidak saja menyangkut
persoalan etis tetapi juga persoalan pertarungan politik merebut demokrasi. Dalam politik
yang lebih demokratis saat ini, kelompok-kelompok lama yang otoriter tidak hanya
mengandalkan pada kekuatan fisik seperti pada jaman Orde Baru. Mereka justru
menggunakan mekanisme dan kelembagaan yang demokratis. Tidak mengherankan,
representasi mereka ada di DPR, Pengadilan dan MA, Kejaksaan Agung, pemerintah

110
Enos H. Rumansara, Kargoisme, makalah tidak diterbitkan, 2007.
153

bahkan di Komnas HAM sekalipun. Berbagai kemandekan dalam upaya pengungkapan


kebenaran justru melalui mekanisme yang ada dalam sistem demokrasi.

Para korban dan pecinta kemanusiaan perlu memahami dan meletakkan perjuangan
mengungkap kebenaran di masa silam sebagai perjuangan politik yang riil seperti yang
pernah dilakukan oleh gerakan reformasi. Jelas, perjuangan mengungkap kebenaran di
masa lalu bukanlah suatu perjuangan yang mudah. Perjuangan ini membutuhkan energi
yang besar dan strategi yang tepat. Energi sesungguhnya telah kita punyai yaitu
penderitaan para korban. Strategi perjuangan membutuhkan kecermatan kita untuk
memahami bagaimana cara kerja kelompok lawan.

Pada akhirnya, demokrasi menjadi wahana bertarungnya politik yang menghendaki


pengungkapan kebenaran di masa lalu berhadapan dengan politik yang menghalangi dan
menghilangkan pengungkapan kebenaran di masa lalu. Pertarungan itu ada di berbagai
lokasi, mulai dari Pemerintah, DPR, Pengadilan dan Kejaksaan serta dalam agenda
perjuangan aktivis kemanusiaan serta kelompok korban.
154

Penutup

Tentang Kebenaran Politik

Dengan berakhirnya hampir seluruh peralatan legal transisionis, maka secara umum
politik hak asasi dan demokrasi mengalami tiga keadaan yakni pertama normalisasi,
yakni keadaan di mana fakta-fakta dan kesan yang semestinya dan sebelumnya tidak
benar, ganjil, tidak menyenangkan dan tidak dapat ditolerir (misalnya pembantaian
massal, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan) pada akhirnya dianggap menjadi normal
serta diterima untuk ditelan dalam rutinitas. Normalisasi ini tidak hanya akan merusak
sendi-sendi kemanusiaan mereka yang pernah menjadi korban, tetapi yang lebih luas lagi
ia juga merusak sendi-sendi kemanusiaan mereka-mereka yang sama sekali bukan pelaku
dan bukan korban karena dengan itu setiap orang didorong masuk ke dalam kebohongan
massal untuk menerima kedurjanaan. 111

Yang kedua adalah makin kuatnya modus pengingkaran akan kebenaran (states of
denial). Seiring dengan menguatnya normalisasi secara umum, mereka-mereka yang
dahulu terlibat sebagai pelaku dalam tindak kedurjanaan kemanusiaan juga akan makin
mudah untuk melakukan berbagai upaya untuk lari dari tanggung jawab masa lalu dengan
berbagai cara seperti membangun kerja sama strategis dengan berbagai institusi, aktor
untuk menutupi sejarah dan mengukuhkan lagi keistimewaan politik mereka di dalam
masyarakat (collution and cover up).

Yang terakhir adalah makin kuatnya dislokasi dan atomisasi politik. Apabila dalam
proses pengingkaran, memori korban dirampok dan ditenggelamkan dalam berbagai
155

rutinitas dan perkara oleh para pelaku secara langsung, maka dalam dislokasi politik,
memori dan sejarah kejahatan secara tidak langsung justru dilunturkan sendiri oleh para
korban dan pendukungnya melalui proses-proses yang kita sebut saja sebagai “pengalihan
dari kebenaran” secara tidak langsung. Ini terjadi misalnya dalam berbagai kejadian di
mana para korban didorong untuk lebih mementingkan perbedaan-perbedaan atribut dan
simbolik yang tidak penting di kalangan mereka ketimbang berkonsentrasi pada
pengungkapan kebenaran itu sendiri. Dalam beberapa hal upaya yang terlampau keras
untuk mengukuhkan otoritas dan pandangan moral hukum tertentu menjadikan kelompok
menjadi “fanatik” hanya pada satu cara dan ekslusif terhadap yang lain, sehingga
menjadikan kebenaran sebagaimana dalam dirinya bukan yang diluar sana. Ini bisa
membuat para korban secara politik dan sosial kemudian terpecah-pecah, sementara para
pimpinanya bisa makin terserap ke dalam rutinitas politik mainstream.

Ujung dari keadaan ini adalah bahwa demokrasi kita menjadi demokrasi yang secara
ironis ditandai dengan gejala apa yang disebut oleh Stanley Cohen sebagai tired of truth.
Yang jadi persoalan besar adalah, oleh karena pemahaman kita mengenai demokrasi
terlanjur sangat dipengaruhi oleh pandangan baku transisionis dan normatif maka
keadaan kekurangan akan kebenaran ini cenderung bisa segera diterima sebagai semacam
ciri atau bahkan “kondisi alamiah atau takdir politik” dari kelemahan perubahan politik di
Indonesia. Dengan itu, kita menerima demokrasi sambil mengabaikan tujuan-tujuan
kebenaran yang sebelumnya memberikan pendasaran bagi demokrasi itu sendiri. Keadaan
ini memberikan kita imperatif yang dapat dirumuskan: terima demokrasinya tapi tolak
pendasaran kebenarannya!

Sejak awal, tulisan ini mengajak kita untuk mengubah terlebih dahulu pandangan kita
mengenai transisi dan demokrasi. Yakni bahwa demokrasi bukanlah penggalan dalam
sebuah skenario perubahan yang pasti dan terstandardisasi secara normatif. Tulisan ini
dengan berbasis pada pandangan Laclau dan Mouffe serta Lefort menekankan bahwa
supaya ada ruang bagi segala kemungkinan maka demokrasi harus didefinisikan terlebih

111
Untuk pengertian dan proses ini secara lebih mendalam dan ekstensif lihat dalam Stanley
Cohen (2002), States of Denial: Knowing About Atrocities and Suffering, Cambridge: Polity Press, hlm. 51-
156

dahulu sebagai keterbukaan atau “ruang kosong” menurut Lefort. Lantas, dari sini baru
kemudian menjadi penting pula untuk mengubah pandangan kita mengenai kebenaran
dan prosedur kebenaran yakni dari yang normatif-transendental menjadi yang politis.
Bagaimana ini dipahami?

Selama ini Paham Kebenaran yang menjadi dasar dari pandangan hak asasi secara umum
adalah kebenaran yang transendental normatif. Paham Kebenaran ini berpegang pada
gagasan dasar bahwa dunia dan manusia memiliki sebuah intrinsic nature dan esensi
seperti misalnya kebebasan dan otonomi. Pandangan mengenai “adanya esensi” ini yang
secara apriori dipakai sebagai standard untuk membangun kategori-kategori mengenai
sifat-sifat dan keadaan-keadaan manusiawi dan tindakan-tindakan manusia termasuk
politik, sosial dan ekonomi. Intinya, oleh karena manusia dan dunia sudah terlebih
didefinisikan sebagai A maka cara bertindak, cara membangun relasi dengan sesama dan
dunia mesti disesuaikan dengan definisi awal ini. Dengan demikian, yang disebut sebagai
kebenaran adalah selalu mengandaikan adanya seperangkat norma objektif yang mesti
dipancang sebagai dasar konsensus bersama yang menjadi dasar tindakan. Sesuatu
disebut benar apabila berada dalam terang kesesuain dengan kategori dan standardisasi
norma-norma tersebut.

Cara kerja gagasan hak asasi manusia secara jelas mengacu pada sistem kebenaran
semacam ini. Hak asasi manusia mengandaikan adanya semacam esensi terlebih dahulu
mengenai manusia yakni bahwa “manusia itu dilahirkan dalam kebebasan” dan bahwa
kebebasannya tidak dapat direnggut atas nama apa pun. Esensi ini yang menjadi sumber
dari kategori normatif yang kemudian diturunkan darinya ke dalam hukum yang
melindungi kebebasan dan hak-hak hidup. Dari sini ia kemudian terstandardisasi menjadi
rujukan. Selain itu, oleh karena kategori dan esensi yang diajukannya ini menjangkau
manusia secara umum maka ia sekaligus juga memiliki klaim universal di dalamnya.

Dari penalaran ini maka misalnya apabila seorang anggota korban pembantaian tahun
1965 menuntut kebenaran maka argumen yang mesti disuguhkan kepadanya adalah

75.
157

karena menurutnya apa yang terjadi kepadanya tidak sesuai dengan esensi dasarnya
sebagai manusia sebagaimana diasumsikan dalam konsensus mengenai manusia secara
umum dan tidak sesuai dengan pandangan serta kategori normatif yang diturunkan dari
esensi itu. Di sini kebenaran benar-benar berarti sebagai kesesuaian terhadap hukum
selaku penjabaran kategori transendental mengenai manusia. Oleh karena itu, lebih jauh
lagi, strategi atau prosedur utama yang dipilih sebagai jalan untuk mencapai kebenaran
adalah strategi hukum. Apabila dalam suatu keadaan hukum mengenai itu belum ada atau
buruk, maka upaya itu akan diarahkan pada pembuatan hukum atau perbaikan hukum
terlebih dahulu.

Sebagaimana telah diungkapkan dalam bab-bab sebelumnya, wawasan semacam inilah


kiranya yang mendasari politik hak asasi manusia pasca-Soeharto di Indonesia. Yang
menjadi persoalan adalah wawasan ini sangat kurang memperhatikan “tindakan” di luar
kategori esensialnya yang justru sering lebih berperan dalam membentuk hukum. Selain
itu, kepercayaan buta kepada hukum juga sering kali salah, karena banyak hukum tidak
dibentuk berdasarkan kemauan atau motif untuk benar-benar menjabarakan kategori
normatif transendental universal melainkan lebih sebagai saluran dari berbagai
kepentingan saja.

Inilah yang secara kental terlihat dalam antusiasme bahkan pemberhalaan terhadap
peradilan hak asasi manusia yang dilanjutkan dengan kebingungan dan fatalisme
manakala kemudian peradilan tersebut ternyata bukannya menetapkan keadilan dan
mengukuhkan kebenaran normatif tetapi malah justru membebaskan para tersangka
utamanya. Begitu juga dengan yang terjadi dalam kekonyolan amendemen Undang-
Undang KKR ke Mahkamah Konstitusi yang demi rigiditas normatif melupakan segi-
segi mendasar dalam lingkungan politik yang konkret. Akibatnya, kini setelah UU itu
dibatalkan secara hukum bukannya kepuasaan akan keadilan yang muncul melainkan
kekosongan akan kebenaran.

Di sini, para pejuang HAM yang begitu bersemangat bergegas dalam hafalan akan pasal-
pasal dalam berbagai konvensi membeku dalam legalitas yang mereka bangun sendiri.
158

Buruknya, kegagalan akibat kepercayaan buta kepada hukum ini tidak kunjung
menyadarkan orang untuk melihat segi politis di luar atau yang mengendalikan
mekanisme hukum itu; seberapa jauh kekuatan mereka sendiri? Seberapa jauh kekuatan
kelompok-kelompok yang tidak setuju? Seberapa kuat mereka mempengaruhi opini
publik? Sejauh mana pengorganisasian mereka mampu mendesakkan agenda dan
tuntutan itu. Pada titik ini, dalam kasus pembatalan UU KKR misalnya, ironi terjadi
manakala penggunaan forum Mahkamah Konstitusi itu secara paralel mempertemukan
para pejuang hak asasi ini dengan musuh-musuhnya sendiri yang rupanya sama-sama
tidak menghendaki UU tersebut. Momen hukum itu rupanya mengekuivalenkan mereka
dan kompetitornya. Pada titik ini, sebenarnya sejak awal sudah bisa dibaca bahwa
pengejaran terhadap kebenaran normatif bisa sangat menjebak apabila tidak
diperlengkapi dengan kesadaran yang lebih penting yakni kesadaran akan yang politis.

Dengan itu, maka tidak pelak lagi, dalam suasana kekalahan yang tragis kebenaran
historis yang demikian kompleks dan unik telah digantungkan pada sekeping prosedur.
Kegagalan dari prosedur itu sendiri sudah dianggap sebagai tiang gantungan dari
kebenaran yang diperjuangkan. Akan tetapi – ini yang menjadi poin krusial di sini –
apakah dengan kegagalan di medan hukum maka kebenaran “transisional” sudah benar-
benar mampus dan tidak dimungkinkan lagi? Pada titik ini kita menemukan kebesaran
dari “yang politik”. Politik selalu menyediakan kemungkinan dan keleluasaan baru
bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun supaya kebenaran selalu memiliki
peluang untuk muncul.

Namun demikian untuk membangkitkan kembali kebenaran dari kubur normatifnya


dibutuhkan satu syarat yakni merontokkan kategori dan prosedur normatif dan
memperlakukannya sebagai salah satu cara atau alat saja dari yang politis. Dengan
demikian normativitas dan hukum tidak boleh dianggap sebagai ujung atau tujuan dari
kebenaran. Mengapa? Karena kebenaran sendiri memang tidak memiliki finalitas!
Bagaimana ini dijelaskan?
159

Filsuf kontemporer Perancis Alain Badiou pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah
sesuatu yang mengambil tempat dari waktu ke waktu. Kebenaran adalah sesuatu yang
“dibuat”; ia dideklarasikan, dikomposisikan dan dijunjung oleh subjek yang “dipanggil”
dan ditundanya. Dengan demikian ia bukan seperangkat kategori normatif yang menjadi
penggaris untuk mengukur dan menciptakan prosedur bagi tindakan manusia. Baik
kebenaran dan manusia bersifat okasional dan terkecuali; keduanya berjumpa dalam
kejadian. Setiap kebenaran tidak dapat dirujuk kembali kepada kerangka objektif apa
pun, baik yang dianggap sebagai penyebabnya maupun yang dianggap sebagai tujuannya.
Dengan demikian di sini diandaikan bahwa “setiap subjek meyakini sesuatu tanpa
mengetahui mengapa.” Inilah yang oleh Badiou disebut dengan fidelity.

Kebenaran akan Kebenaran semacam ini dapat dibuktikan secara lebih baik dalam
momen politik. Sebagai contoh dalam konteks perubahan politik di Indonesia, sebelum
tahun 1998 tidak ada satu pun pihak baik di dalam negeri maupun para pengamat di luar
negeri yang percaya bahwa Soeharto akan jatuh dari kekuasaanya. Banyak orang
memang bisa melihat gejala dan tanda-tanda krisis ekonomi, tetapi kehebatan para pakar
dan analis itu tetap tidak mampu memprediksi kejatuhan Soeharto. Namun demikian,
persis ketika dinamika reformasi itu kemudian menjatuhkan Soeharto maka pada saat
itulah momen kebenaran itu terkuak. Pada titik ini hanya manusia-manusia yang memiliki
fidelity kepada peristiwalah – yakni mereka yang secara tekun, meski di dalam bahaya,
terus meyakini bahwa pada saatnya Soeharto akan jatuh – yang mampu menangkap dan
berjumpa dengan kebenaran.

Dengan demikian di sini Kebenaran hanya bisa dialami dalam perjumpaan yang khas
yakni di dalam kejadian yang bersifat singular dengan mensyaratkan kesetiaan akan
peristiwa itu sendiri. Kebenaran justru adalah segala hal yang meleset dari perkiraan dan
standardisasi objektif metafisis. Oleh karena itu, dalam mempelajari gejala perubahan
politik di tempat lain, misalnya pengalaman “transisi demokrasi” di Afrika Selatan,
meskipun kita mengetahui dan merasakan segi universal dari pergulatan rakyat Afrika
Selatan dalam membebaskan dirinya dari Apartheid namun tidak dengan serta merta
pengalaman yang sama secara sama dapat kita alami di sini, karena meskipun pergulaan
160

itu universal namun pengalaman Kebenaran yang dialami di sana pada saat yang sama
juga bersifat singular bagi mereka. Ia tidak dapat dikualifikasi sebagai pola objektif. Ia
hadir sebagai anugrah bagi mereka yang percaya akan keadilan yang selama ini ditindas
di Afrika.

Kebenaran selalu diproduksi dalam situasi tertentu yang spesifik. Setiap kebenaran
singular selalu memiliki akarnya di dalam kejadian (event). Sesuatu mesti terjadi dulu,
supaya yang baru ada. Dengan demikian, kebenaran hanya merekah melalui proklamasi
penuh militansi dari orang yang memiliki fidelitas kepada kejadian. Di titik ini orang
tersebut berubah menjadi subjek dalam nama kejadian. Di sini meskipun setiap orang
dapat menjadi subjek, namun oleh karena kebanyakan individu biasa hidup dalam
objektivitas rutinitas (rejim re-presentasi), maka hanya orang yang memiliki fidelitas
untuk mengintervensi dan menemukan tindakan baru yang dapat disebut sebagai subjek.
Di sini pula, mereka yang sebelumnya dikalahkan, dihancukan martabatnya dalam
penjara-penjara Orde Baru, disingkirkan dari hak-haknya oleh karena mereka meyakini
perjuangan itu dan terus mengupayakan maka kebenaran itu “muncrat” ke hadapan
mereka. Di sinilah yang semula korban dan yang kalah bertransfromasi menjadi subjek
politik baru. Dengan demikian, seorang pemenang politik tidak diukur pertama-tama dari
kemenangan dalam pengadilan-pengadilan yang memperkarakan perbuatan Negara
melainkan mereka yang terus setia meskipun kalah di saat ini.

Oleh karena itu, kebenaran (vérité), manusia dan kejadian adalah keseluruhan aspek
dalam satu proses: kebenaran mengada melalui subjek yang memproklamasikannya dan
dalam kerangka itu, ia menjadi subjek dalam fidelitasnya kepada kejadian. Filosof Slavoj
Žizĕk mereformulasikannya dengan adagium “our path toward truth, coincide with truth
itself. Dengan demikian maka manusia, kebenaran dan situasi tidak dapat dipastikan
melalui pengetahuan yang mapan atau melalui hukum serta kategori normatif terlengkap
sekalipun. Dari sini manusia dalam perjumpaan dengan kebenaran adalah manusia yang
sangat ekslusif dalam artian ia singular tetapi sekaligus juga universal; manusia dengan
kualitas semacam Lenin, Mandela serta siapa pun yang saat ini masih terus berjuang.
161

Yang juga terpenting di sini adalah dengan mendefinisikan manusia sebagai potensi bagi
sebuah situs (evental site) dari kebenaran yang diyakini dan ternyatakan maka politik
menjadi pendasaran dan cakrawala yang lebih luas. Politik menjadi cakrawala yang tidak
berhingga yang mengundang manusia untuk menemukan jawaban-jawaban dari dunia
yang belum ternamai.

Politik tidak pernah bisa dimapankan dalam sebongkah periodesasi rejim, karena politik
yang otentik hanya berdiang dalam kehendak untuk mengubah koordinat situasi
ketakmungkinan. Oleh karena itu, menjadi jelas pula bagi kita apa makna keadilan dan
ketidakadilan. Kita tidak pernah bisa memaknai keadilan karena sesungguhnya ia adalah
konsepsi filsafat saja dari ketidakadilan. Sebaliknya ketidakadilanlah yang dapat kita
pahami yakni melalui pengamatan terhadap akibat-akibatnya yakni penderitaan manusia
dan revolusi sebagai gerakan untuk melawanya. Keadilan dengan demikian juga adalah
momen yang segera menguap dan tak terpahami. 112 Ia hanya bisa dimaknai dalam susah
payah perjuangan nyata.

Pada titik ini, dalam pengalaman Indonesia, upaya untuk menemukan Kebenaran
memang sudah kehilangan momentum apabila ia hanya dinilai dalam kacamata
transisionis dan normatif. Namun demikian, sejauh kita bersandar pada fidelitas maka
bibit Kebenaran itu sebenarnya masih terus tertanam dalam potensi kemanusiaan kita
sendiri. Di sini yang jadi soal bukanlah menang atau kalah dalam suatu pertarungan rutin
prosedural yang dangkal, melainkan pada kehendak untuk terus melampaui yang dangkal
tapi menjengkelkan itu. Persis sebagaimana dikatakan dalam bagian akhir Bumi Manusia
ketika Minke tertunduk dan mengatakan, “Kita kalah, Ma.” Yang terus dijawab oleh sang
Nyai “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

112
Lihat dalam Alain Badiou (2005), Meta Politics, London dan New York: Verso, hlm. 96.
162

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman, “Lembaran Kelam yang Harus Disingkap: Masalah Periodisasai
dan Cara Pengungkapannya”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre (eds.),
Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Jakarta: ELSAM, 2003, hlm. 229-251.
Adam, Asvi Warman, Pelurusan Sejarah Indonesia, Tride, Yogyakarta, 2004
Adam, Asvi Warman, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2004
Ali, Fachry, Rasmi dan Mustafa, Ali (1985), Laporan Hasil Survei Pemetaan Masalah
LPSM-LPSM Indonesia, dokumen ini merupakan hasil riset yang dsponsori oleh
15 organisasi LP3ES, Bina Swadaya, Bina Desa, Yayasan Indonesia Sejahtera,
LSP, PKBI, WALHI, LBH, Yayasan Lembaga Konsumen, BK3, PPA, P3M,
CUSO dan Asia Foundation.
Badiou, Alain, 2005, Meta Politics, London dan New York: Verso.
Benda, Julien, 1969, The Treason of The Intellectual, New York: Norton Place
Publication.
Berita Kontras, No 8/VIII/2003.
Bronkhorst, Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran di
Berbagai Negara, Jakarta: ELSAM, 2002, hlm. 7-8.
Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik
Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta: Elsam, 2004
Cauvel, Richard and Ikrar Nusa Bhakti, The Papua Conflict: Jakarta’s Perceptions and
Policies, East-West Center Washington, 2004.
Chambers, Simon, 1995, “Discourse and Democratic Practise” dalam K. White (ed.), The
Cambridge Companion to Habermas, Cambridge: Cambridge University Press,
hlm. 233-255.
Chauvel, Richard, Constructing Papuan Nasionalism : History, Etnicity, and Adaptation,
East-West Center Washington, 2005
163

Cohen, Stanley, 2002, States of Denial: Knowing About Atrocities and Suffering,
Cambridge: Polity Press.
Dhakidae, Daniel, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Hutagalung, Daniel (ed.), 1998, Negara, HAM dan Demokrasi, Jakarta: YLBHI.
Eda, Fikar W, & S. Setya Dharma, “Sebuah Kesaksian: Aceh Menggugat,” Sinar
Harapan, 1999.
Eldridge, Philip, 1989, “LSM dan Negara,” Prisma No 7, Tahun 1989.
ELSAM, Briefing Paper, No. 1, Juli 2000, hlm. 10.
Farid, Hilmar & Rikardo Simarmata, Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-Upaya
Pencarian Keadilan Dalam Masa Transisi di Indonesia, Jakarta: Elsam, 2004
Hadad, Ismid, 1983, “Menampilkan Potret Pembangunan Berwajah Swadaya
Masyarakat,” Prisma, No 4, April 1983, hlm. 3-25.
Hainsworth, Geoffrey. B, 1983, “Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan
Perataan Pembangunan,” Prisma No 4, April 1983, hlm. 38-53.
Hanmann, Peter 1988, “Pengembangan Bentuk Pembangunan Alternatif: Pengalaman
LSM di Indonesia,” Prisma No.4, Tahun 1988, hlm. 3-14.
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, New York: Viking Press, 1965.
Hayner, Priscilia B, 1994, “Fifteen Truth Commissions - 1974 to 1994: A Comparative
Study” dalam Human Rights Quarterly, vol 16. No 4.
Hendardi dan Benny K. Harman, 1993, “Orde Baru dan Pembungkaman Pers,” dalam
Mulyana W. Kusumah dkk. (penyunting), Demokrasi antara Represi dan
Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Jakarta:
YLBHI.
Huntington, Samuel. P, 1991, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Grafiti Pers.
Imam, Robert, 2003, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme,
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat.
Kasim, Ifdhal, (2000), “Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti?,” ELSAM Briefing
Paper, No. 2, Tahun I, Agustus 2000.
164

Kasim, Ifdhal “‘Jalan Ketiga’ Bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Masa Lalu”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi (eds.), Pencarian Keadilan di
Masa Transisi, Jakarta: ELSAM, 2003.
Katjasungkana, Nugroho dan Teten Masduki (1993), “Buruh, Negara, Demokratisasi,”
dalam Muklyana W. Kusumah dkk. (penyunting), Demokrasi antara Represi dan
Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, YLBHI:
Jakarta.
Kontras, Aceh, Damai dengan Keadilan?: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Kontras,
2006.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe, 1985, Hegemony and Socialist Strategy: Toward A
Radical Democratic Politics, London: Verso.
Laclau, Ernesto, 1996, Emancipation(s), London, New York: Verso.
Lay, Cornelius dan Pratikno, 2002, Komnas HAM 1993-1997: Pergulatan dalam
Otoritarianisme, Yogyakarta: Fisipol UGM.
Lefort, Claude, 1988, Democracy and Political Theory, Cambridge: Polity Press.
McGibbon, Rodd, 2004, Plural Society in Peril: Migration, Economic Change, and the
Papua Conflict, East-West Center Washington.
McGregor, Katherine E, “Legacy of a Historian in the Service of an Authoritarian
Regime,” dalam Mary S. Zurbuchen (ed.), Beginning to Remember: The Past in
The Indonesian Present, Singapore University Press, Singapore, 2005
McGregor, Katherine E, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of
Indonesia’s Past, NUS Press, Singapore, 2007.
Miliband, Ralph, 1994, Socialism For A Sceptical Age, Cambridge: Polity Press.
Moeljanto, D.S & Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK,
Mizan, 1995.
Momao, Sefnat, Papua Dalam Bayang-Bayang Pemekaran vs Otsus: Rakyat Papua
Hendak Dibawa Kemana?, Yogya: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004.
Neier, Aryeh, “What Should be Done About the Guilty?”, dalam Neil J. Kritz (ed.),
Transitional Justice: How emerging Democracies Reckon with Former Regimes,
Washington: United States Institute of Peace, 1995.
165

Nusantara, Abdul Hakim G, 1983, “Mencari Strategi Pembangunan Hukum,” dalam


Prisma No. 4 April 1983, hlm. 58.
Nusantara, Abdul Hakim G., “Rekonsiliasi dalam Perspektif HAM”, dalam Kompas, 10
Desember 1998.
Olson, R.E, Soeharto: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2001.
Paul Thompson, The Voice of the Past: Oral History, third edition, New York: Oxford
University Press, 2000.
Pratikno, Cornelis Lay, dkk., Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi
Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Putzel, James, 1997, “Why Has Democratisation Been a Weaker Impulse in Indonesia
and Malaysia than in the Philiphines?” dalam Potter, Goldblatt, Kiloh dan Lewis
(eds), Democratization, Cambridge: Open University Press dan Polity Press.
Raharjo, M. Dawam, 1988, “Dokter Soetomo: Pelopopr LSM?”, Prisma No 7.
Komnas HAM, 2001, Keadilan dalam Masa Transisi, Jakarta: Komnas HAM.
Rawls, John, 2002, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Pers.
Rumansara, Enos H., “Kargoisme,” makalah tidak diterbitkan, 2007
Roosa, John, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto,
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.
Schreiner, Klaus H., “Lubang Buaya: Histories of Trauma and Sites of Memory,” dalam
Mary Zurbuchen (ed.), Beginning To Remember: The Past in the Indonesian
Present, University of Washingthon Press, 2005.
Simpson, Graeme (tanpa tahun) “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan:
Beberapa Pelajaran Untuk Masyarakat dalam Transisi,” paper tanpa tahun dan
penerbit.
Sindhunata, G.P., “Memoria Passionis Walter Benjamin dan Teologi Politik,” dalam
Budi Susanto (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Skhlar, Judith N. dan Yack Bernard (eds.), 1996, Liberalism Without Illusions: Essays on
Liberal Theory and The Political Vision of Judith N. Skhlar, Chicago: University
of Chicago Press.
166

Sujatmiko, Iwan Gardono, 2001, “Wacana Sipil Society di Indonesia”, MASYARAKAT


Jurnal Sosiologi, Edisi 9, 2001.
van Klinken, Gerry, The Battle for History After Soeharto, dalam Mary S.Zurbuchen
(ed.), Beginning To Remember: The Past In The Indonesian Present, Singapore:
Singapore University Press, 2005.
Zalaquett, Jose (1995), “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The
Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”
dalam Neil J. Kritz (ed.), Transitional Justice: How Emerging Democracies
Reckon with Former Regimes, Washington DC: US Institute of Peace Press, 1995
Zalaquett, Jose (1995), “Confronting Human Rights Violations Committed by Former
Governments: Principles Applicable and Political Constraints”, dalam Neil J.
Kritz (Ed), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with
Former Regimes, Washington DC: US Institute of Peace Press, 1995.

Daftar Harian:

Kompas
Republika
Media Indonesia
Republika
Suara Pembaruan
Merdeka

Situs Internet:
http://www.etan.org/timor/SantaCRUZ.htm
http://www.hartford-hwp.com/archives/54b/019.html.,
http://www.greenleft.org.au/back/1993/112/112p15a.htm.
167

Tentang Penulis

Robertus Robet lahir di Tanjungkarang, 16 Mei 1971. Menyelesaikan pendidikan S-1 di


Jurusan Sosiologi FISIP UI dan S-2 dalam bidang “Twentieth Century Political Thought
and Theory” di University of Birmingham, Inggris. Sehari-hari aktif sebagai Sekretaris
Jenderal P2D dan dosen tetap Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta. Ini
merupakan buku ketiganya setelah masing-masing yang pertama dan kedua
Republikanisme dan Keindonesiaan: Sebuah Pengantar (2007), Kembalinya Politik:
Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek (2008, ditulis bersama
Bagus Takwin, Daniel Hutagalung, Eddie Sius Riyadi dan Tony Doludea).
168

PROFIL ELSAM

Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy)
yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus
1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan,
memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada
umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan
hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam
berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan
dan penyebaran informasi hak asasi manusia.

Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM

Dewan Pengurus:
Ketua: Asmara Nababan, S.H.; Wakil Ketua: Drs. Hadimulyo, M.Sc.; Sekretaris: Ifdhal
Kasim, S.H.; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, S.H.,
Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M., Maria Hartiningsih, Kamala
Chandrakirana, M.A., Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M., Johny Simanjuntak, S.H.,
Raharja Waluya Jati, Mustafsirah Marcoes, M.A., Fransisca Ery Seda, Ph.D., Dra. Agung
Putri, M.A., Ester Rini Pratsnawati.

Pelaksana Harian:
Direktur Eksekutif: Dra. Agung Putri, M.A.
Deputi Direktur Bidang Program: A.H. Semendawai, S.H., LL.M.
Deputi Direktur Bidang Urusan Internal: Otto Adi Yulianto, S.E.
Staf: Atnike Nova Sigiro, S.Sos., M.Sc., Betty Yolanda, S.H., Elisabeth
Maria Sagala, S.E., Ester Rini Pratsnawati, Adyani Hapsari
Widowati, Ikhana Indah, S.H., Indriaswati Dyah Saptaningrum,
S.H., LL.M., Maria Ririhena, S.E., Mariah, Triana Dyah P., S.S.,
Yuniarti, S.S., Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M., Amiruddin,
S.S., M.Si., Eddie Sius Riyadi, Elly Pangemanan, Ignasius
Prasetyo J., S.E., Ignasius Taat Ujianto, Khumaedi, Kosim, Paijo,
Sentot Setyosiswanto, S.Sos., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H.,
Wahyu Wagiman, S.H., Zani.

Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919
2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email: office@elsam.or.id, atau
elsam@nusa.or.id; Website: www.elsam.or.id

Anda mungkin juga menyukai