Anda di halaman 1dari 21

HIWALAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Fiqh Muamalah Kontemporer

Dosen Pengampu:

Dr. Jamaludin Achmad Kholik, Lc. MA

Disusun Oleh

Kelompok 7:

1. Fatma Dwi Puspitasari (21401100)


2. Dinda Amelia Martharos (21401113)
3. Vicky Wahyu Meilany (21401115)

PROGAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah Fiqh
Muamalah Kontemporer ini, dengan judul “Hiwalah”. Makalah ini akan membahas
mengenai definisi, dasar hukum, rukun dan syarat, pembagian/jenis hiwalah, serta
aplikasi hiwalah dalam perbankan syariah. Hal tersebut kami bahas supaya
menambah wawasan mengenai hiwalah.

Selain itu, makalah ini juga kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Fiqh Muamalah Kontemporer
pada semester 4 Prodi Ekonomi Syari’ah di Institut Agama Islam Negeri Kediri.
Kami menyadari jika masih terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan makalah
kami ini, oleh karena itu kami mohon agar pembaca berkenan memberi kritik dan
saran agar kami dapat memperbaiki dan menyusun makalah yang lebih baik lagi
selanjutnya. Kami juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
seluruh pihak yang terlibat dalam penyusun makalah ini. Semoga makalah Fiqh
Muamalah Kontemporer ini bermanfaat bagi pembaca. Amin

Kediri, 10 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. Definisi Hiwalah ........................................................................................ 3


B. Dasar Hukum Hiwalah ............................................................................... 5
C. Rukun dan Syarat Hiwalah......................................................................... 7
D. Pembagian/Jenis Hiwalah .......................................................................... 11
E. Aplikasi Hiwalah dalam Perbankan Syariah .............................................. 13

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 15

A. Kesimpulan ............................................................................................... 15
B. Saran .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mempermudah dalam bermuamalah, interaksi antar manusia


adalah bagian penting dari kehidupan manusia di dunia. Islam dimaksudkan
untuk dapat menuju kepada falah manusia melalui pembentukan keselarasan
antar kebutuhan yang berhubungan dengan akhlak, harta benda, dan penerapan
keadilan dalam masyarakat sebagai upaya untuk saling membantu. Ajaran Islam
tentang ekonomi, yang berpedoman pada kajian Al-Qur’an, hadis, dan sejarah
Islam, menjadi landasan bagi kemajuan ekonomi. Al-Hiwalah, atau yang lebih
dikenal di masyarakat, gagasan pengalihan utang, merupakan salah satu produk
sampingan dari filosofi ekonomi yang diterapkan pada ranah perbankan syariah.

Hiwalah merujuk pada pengalihan utang dalam kegiatan, memiliki


aturan khusus yang harus dipahami semua. Selanjutnya, umat Islam telah
menggunakan transfer penagihan utang dari zaman Nabi Muhammad SAW,
yang diizinkan oleh syariah. Hiwalah adalah cara saling tolong menolong.
Hiwalah adalah sistem khusus yang dapat disesuaikan dengan manusia. Hal ini
karena hiwalah begitu rumit terjalin dengan keberadaan manusia.

Hiwalah merupakan salah satu cara penyelesaian masalah hutang dan


kredit dalam muamalah karena sering diterapkan dalam situasi seperti ini.
Selain digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang dan kredit, hiwalah
dapat digunakan untuk mentransfer uang dari satu orang ke orang lain, serta
antara perusahaan dan bisnis, seperti yang telah dilakukan oleh sistem
perbankan. Perbankan syariah telah mengambil langkah dalam upaya mereka
untuk mencegah riba, gharar, dan maisyir dalam meciptakan produknya. Salah
satu produk tersebut adalah hiwalah, sebagai produk jasa alternatif di perbankan
syariah.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi hiwalah?
2. Apa dasar hukum hiwalah?
3. Apa saja rukun dan syarat hiwalah?
4. Apa saja pembagian/jenis hiwalah?
5. Bagaimana aplikasi hiwalah dalam perbankan syariah?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi hiwalah
2. Untuk mengetahui dasar hukum hiwalah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat hiwalah
4. Untuk mengetahui pembagian/jenis hiwalah
5. Untuk mengetahui aplikasi hiwalah dalam perbankan syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hiwalah

Menurut bahasa, kata al-hiwalah huruf ha’ dibaca kasrah atau kadang-
kadang dibaca fathah, berasal dari kata at-tahawwul yang berarti al-intiqal
(pemindahan/pengalihan). Orang Arab biasa mengatakan, hala ‘anil ‘ahdi yaitu
“berlepas diri dari tanggung jawab”. Abdurrahman al-Jaziri berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan al-hiwalah, menurut bahasa adalah
“pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain”. Sedangkan pengertian
hiwalah secara istilah, para Ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya,
antara lain sebagai berikut:

1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud al-hiwalah adalah memindahkan beban


utang dari tanggung jawab muhil (orang yang berutang) kepada tanggung
jawab muhal ‘alaih (orang lain yang punya tanggung jawab membayar
utang pula).
2. Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, al-hiwalah adalah pemindahan atau
menjual hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada
pihak yang lain.

Hiwalah merupakan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi penguncian tanggungan atau
hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi
tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).1

1
Nizaruddin, Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah. Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah.Vol. 1 No. 2 (2013). Diakses dari https://e-
journal.metrouniv.ac.id/index.php/adzkiya/article/view/1051/904, pada tanggal 5 April 2023, pukul
12.51 WIB.

3
Hiwalah diartikan sebagai transfer utang pihak pertama kepada pihak
lain, karena pihak pertama berhutang kepada pihak kedua atas dasar suka sama
suka atau saling percaya satu sama lain. Sementara para ahli fiqih memberikan
definisi yang berbeda terhadap pengertian hiwalah. Mayoritas ahli fiqih
menyatakan bahwa hiwalah adalah pengiriman tagihan (hutang) dari
tanggungan seseorang kepada orang lain untuk menanggungnya.2

Hiwalah juga merupakan pemindahan hutang dari orang yang berhutang


kepada orang lain yang wajib menanggung kewajiban untuk membayar hutang
tersebut. Dalam praktiknya, terjadi pemindahan hak atau tanggungan seseorang
kepada orang lain. Para ulama menjelaskan secara rinci dalam transaksi hiwalah
terjadi penghapusan beban hutang yang semulanya orang yang berhutang
(muhil) sehingga menjadi kewajiban muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban
membayar utang) menanggungnya.

Hiwalah ini merupakan sistem yang unik yang sesuai untuk di


adaptasikan kepda manusia. Hal ini karena hiwalah sangat erat hubungannya
dengan kehidupan manusia. Hiwalah sering terjadi dalam permasalahan piutang
piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah piutang-piutang
dalam muamalah adalah hiwalah. Hiwalah bukan saja digunakan untuk
menyelesaikan masalah piutang-piutang akan tetapi bisa juga digunakan
sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang lain.3

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat


diartikan bahwa pengertian hiwalah adalah pemindahan hak menuntut atau
tanggung jawab utang seseorang untuk menuntut dari pihak pertama kepada
pihak lain atas persetujuan dasar dari pihak yang memberi utang.

2
Doli Witro, Qaidah Furu’fi Al-Hiwalah, Sebuah Tinjauan Umum Qaidah Furu’ Al-Hiwalah, An
Overview, Vol. 5 No. 1 (2021). Diakses dari
https://jurnalfasya.iainkediri.ac.id/index.php/qawanin/article/view/68/60, pada tanggal 5 April
2023, pukul 12.53 WIB.
3
Ferdy Saputra, Pemahaman Mayarakat tentang Mudharabah (Qiradh), Hiwalah, Dan Syirkah
Dalam Islam, Jurnal Syariah dan Hukum. Vol. 1 No. 1 (2021). Diakses dari
https://mail.ejournal.staindirundeng.ac.id/index.php/maqasidi/article/view/602/357, pada tanggal 5
April 2023, pukul 12.55 WIB.

4
B. Dasar Hukum Hiwalah

Hiwalah ini disyariatkan oleh agama Islam dan diperbolehkan


menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari, karena terdapat unsur maslahat
bagi diri pribadi maupun orang lain dan adanya kemudahan dalam
bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama,
mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi
kebutuhan mereka, membayar utangnya dan menenangkan hati mereka. Dasar
hukum hiwalah terdapat dalam al-Qur’an, hadis, ijma’.4

Berikut merupakan ayat yang dapat dijadikan landasan dalam


melakukan transaksi menggunakan akad hiwalah, yaitu:

1. Al-Qur’an
a. Surat Al-Baqarah ayat 280

َ‫صدَّقُ ْوا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُم ْون‬ َ ‫عس َْرةٍ فَنَظِ َرة ٌ ا ِٰلى َم ْي‬
َ َ ‫س َرةٍ ۗ َوا َ ْن ت‬ ُ ‫َوا ِْن َكانَ ذُ ْو‬
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahuinya”. (QS Al-Baqarah: 280).
Maksud dari ayat tersebut yaitu apabila orang yang kamu
utangi itu mengalami kesulitan ekonomi, tidak punya uang untuk
melunasinya maka tundalah tagihannya sampai kondisi keuangannya
membaik dan mampu melunasi utangnya. Bila kalian bersedekah dia
dengan tidak menagih utangnya atau membebaskan sebagian
utangnya, itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui keutamaan
tindakan kalian itu disisi Allah ta'ala.

4
Novanda Eka Nurazizah, Implementasi Akad Hiwalah dalam Hukum Ekonomi Islam di Perbankan
Syariah, Jurnal Perbankan Syariah, Vol. 2 No. 1 (2021), hlm. 87. Diakses dari
https://ejournal.iaiskjmalang.ac.id/index.php/nisbah/article/view/218/176, pada tanggal 6 April
2023, pukul 12.59 WIB.

5
b. Surat Al-Baqarah ayat 282
ٰٓ
َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن ا ِٰلى ا َ َج ٍل ُّم‬
‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْو ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم كَات ٌِۢبٌ بِ ْالعَدْ ِل‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
melakukan hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar”. (QS Al-Baqarah: 282).
Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa dalam utang-piutang
atau transaksi yang tidak kontan hendaklah dituliskan sehingga ketika
ada mencolok dapat dibuktikan. Dalam kegiatan ini juga diwajibkan
untuk ada dua orang saksi yang adil dan tidak merugikan pihak
manapun, saksi ini adalah orang yang menyaksikan proses utang-
piutang secara langsung dari awal.
2. Hadis

Akad hiwalah diperbolehkan untuk dilakukan sebagaimana merujuk


pada hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah
Bersabda, “Menunda pembayaran utang bagi yang mampu adalah suatu
kezaliman. Apabila (utang) seorang di antara kalian dialihkan kepada
pihak yang mampu, maka hendaklah ia menerimanya”.

Terdapat hadits lain yang juga meriwayatkan makna yang sama


yaitu hadits yany diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal yaitu, “Barangsiapa
yang dialihkan ke orang yang kaya, maka hendaklah diturutinya”.

Selain itu juga terdapat hadits yang berbunyi:

‫مطل الغني ظلم وإذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع‬

Artinya: “Menunda-nunda oleh orang kaya adalah penganiayaan,


dan apabila salah seorang diantara kamu diikutkan (dipindahkan) kepada
orang yang mampu maka ikutilah”. (HR Bukhori Muslim).

Penjelasan dari hadis tersebut yaitu, Rasulullah mengisyaratkan


kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang

6
menghiwalahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima
hiwalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang
dihiwalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama suka
membolehkan akad hiwalah dengan catatan, hiwalah dilakukan atas hutang
yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hiwalah adalah proses
pemindahan hutang bukan pemindahan barang.

3. Ijma’

Di samping itu, terdapat juga kesepakatan para ulama (ijma’) yang


menyatakan bahwa tindakan hiwalah boleh dilakukan. Para ulama dilarang
membolehkan hiwalah, karena hal ini sejalan dengan kaidah dasar di bidang
muamalah, bahwa semua bentuk muamalah diperbolehkan dalam Islam
kecuali ada dalil yang tegas melarangnya. Hiwalah dibolehkan pada utang
yang tidak berbentuk barang/benda, karena hiwalah adalah pinjaman hutang
karena sebab itu harus pada uang atau krwajiban finansial.5

C. Rukun dan Syarat Hiwalah


1. Rukun Hiwalah

Dikemukakan pada umunya bahwa keputusan suatu akad harus


diawali dengan yang namanya rukun dan syaratnya dari suatu kesepakatan
tersebut. Rukun adalah bagian yang dipenuhi dengan peristiwa, suatu, atau
tindakan danbersifat mutlak. Sedangkan syarat adalah suatu hal, peristiwa,
atau tindakan yang sifatnya harus ada. Suatu akad harus memenuhi beberapa
rukun dan syarat. Suatu perbuatan secara sah dalam hukum islam
merupakan rukun yang akan terpenuhi. Rukun adalah bagian yang tidak

5
Muhammad Izazi Nurjaman dan Doli Witro, Transformasi Akad Tabarru’ menjadi Akad
Muawadhat: Analisis Akad Hiwalah dan Akan Kafalah di Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal
Penelitian Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 6 No. 2 (2021), hlm. 165. Diakses dari
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/al-mustashfa/article/view/8748/4036, pada tanggal
9 April 2023, pukul 13.19 WIB.

7
akan terpisahkan oleh suatu perbuatan atau lembaga, dan akan menentukan
sah atau tidaknya perbuatan.6

Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan


yang melakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan
menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak
ketiga). Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada
6 yaitu:

a. Muhil, yaitu orang yang berutang kepada pihak yang haknya


dipindahkan.
b. Muhal, adalah orang yang menerima pemindahan hak, pemberi
pinjaman, yaitu pemilik piutang yang wajib dibayar oleh pihak yang
memindahkan utang.
c. Muhal ‘alaih, adalah penerima akad pemindahan utang.
d. Piutang milik muhal yang wajib dilunasi oleh muhil (objek hukum
akad pemindahan utang).
e. Piutang milik muhil yang wajib dilunasi oleh muhal ‘alaih.
f. Shighat (ijab dan qabul).
2. Syarat Hiwalah
Adapun syarat-syarat dari akad hiwalah, sebagai berikut:
a. Syarat-Syarat Shighah
Akad al-hiwalah terbentuk dengan terpenuhinya ijab dan qabul
atau sesuatu yang semakna dengan ijab qabul, seperti dengan
pembubuhan tanda tangan diatas nota al-hiwalah, dengan tulisan dan
isyarat. Ijab adalah pihak al-muhil berkata, “aku alihkan kamu kepada
si Fulan”. Qabul adalah seperti pihak al-muhal berkata, “saya terima
atau saya setuju”. Ijab dan qabul diisyaratkan harus dilakukan di majlis
dan akad yang ada disyaratkan harus final, sehingga didalamnya tidak
berlaku khiyar majlis ataupun khiyar syarat.

6
Muhammad Rizki Naufal, Aplikasi Akad Hawalah dalam Pengambil-Alihan Hutang dari
Perbankan Konvensional, (Tesis Universitas Islam Indonesia, 2018), hlm. 33-34

8
c. Muhil/peminjam yang berhutang serta berpiutang orangnya harus dalam
kecakapan tindakannya secara hukum harus dilakukan dengan orang
yang berakal. Jika dilakukan dengan anak-anak ataupun orang gila maka
hukumnya tidak sah.
d. Muhal/pemberi pinjaman yang berpiutang kepada muhil orangnya
harus:
1) Tindakannya mahir dalam bentuk akad seperti baligh.
2) Dalam persetujuan pihak muhal atau pihak kedua ke pihak pertama
harus ada persetujuan dalam Mazhab Hanafi.
e. Muhal ‘alaih/penerima hiwalah yang wajib membayar hutang dan
berutang kepada muhil orangnya harus:
1) Kecakapan dalam tindakan hukum harus baligh.
2) Dalam persetujuan oleh pihak ketiga tidak mengisyaratkan hal itu
dalam Mazhab Hanafi serta Mazhab Maliki, Hambili dan juga
Syafi’i.
f. Muhal bih/hutang muhil kepada muhal, diisyaratkan:
1) Sesuatu yang dialihkan itu merupakan bentuk utang piutang yang
sudah pasti bukan sedang dalam masa khiyar. Para ulama
bersepakat bahwasannya persyaratan ini berlaku pada utang muhal
bih (utang pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua). Untuk
utang muhal ‘alaih (pihak ketiga) kepada muhil (pihak pertama).
Persyaratan ini menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali juga
berlaku, akan tetapi tidak berlaku oleh Mazhab Hanafi.
2) Apabila pengalihan utang tersebut dalam bentuk hiwalah
muqayyadah, para ulama fiqih semuanya sepakat bahwa baik utang
pihak pertama kepada pihak kedua (muhal bih) maupun utang pihak
ketiga terhadap pihak pertama (muhal bih), harus sama rata jumlah
dan kualitasnya. Apabila antara kedua utang itu terdapat perbedaan
jumlah (misal utagnya dalam bentuk uang) atau pada perbedaan
kualitas (misal dalam bentuk barang), maka hiwalah tersebut tidak
sah. Namun, jika dalam bentuk pengalihannya hiwalah mutlaqah

9
sebagaimana yang dibenarkan oleh Mazhab hanafi, maka kedua
utang tersbut tidak harus sama, baik dari jumlah maupun
kuantitasnya.
3) Pada waktu jatuh tempo kedua utang tersebut harus sama waktu
pembayarannya. Jika jatuh tempo pembayaran utangnya terjadi
perbedaan waktu, maka hiwalah tersebut tidak sah.
a) Pemindahan utang/hiwalah adanya utang tidak disyaratkan dari
penerima hawalah/pemindahan utang, kepada pemindah utang.
b) Adanya pemindahan utang/hawalah yang tidak disyaratkan
dari sesuatu yang diterima oleh pemindahan utang dari pihak
yang menerima hawalah/pemindahan utang sebagai hadiah
atau imbalan.
g. Sighat/ Ijab qabul menurut Fatwa DSN MUI No. 12/DSNMUI/IV/2000
tentang hiwalah:
1) Para pihak dalam pernyataan ijab dan qabul dinyatakan harus
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
persetujuan (akad).
2) Akad tersebut harus dituangkan secara tertulis atau sah melalui
korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
KHES dalam Pasal 318 menyatakan, Kontrak persetujuan (akad)
harus dinyatakan oleh pihak secara lisan atau langsung, tulisan, atau
isyarat.
Dalam Pasal 320 menyatakan:
1) Peminjam harus memberitahukan kepada pemberi pinjaman bahwa
ia akan memindahkan utangnya kepada pihak lain.
2) Syarat diperbolehkannya akad hiwalah/pemindahan utang akan
disetujui pemberi pinjaman mengenai rancangan peminjam untuk
memindahkan utangnya.

10
3) Yang bisa dilakukan oleh akad hiwalah/pemindahan hutang yaitu
jika pihak penerima hiwalah/pemindahan hutang menyetujui
keinginan peminjam.7
Berdasakan beberapa isi uraian diatas dapat diketahui sesungguhnya
ada beberapa rukun yang harus dipenuhi untuk berakad supaya sah yakni
harus ada pihak yang berakad, sesuatu hal yang akan diakadkan, tujan
berakad, serta ijab qabulnya jelas, termasuk syarat yang harus dipenuhi
dalam setiap berakad yakni akad hiwalah.

D. Pembagian/Jenis Hiwalah
Akad hiwalah dibagi beberapa bagian oleh mazhab Hanafi. Dilihat dari
segi objek akad, akad hiwalah dibagi menjadi dua yaitu hiwalah dayn dan
hiwalah haqq. Hiwalah dayn (pemindahan utang) yaitu pemindahan kewajiban
membayar hutang. Sedangkan hiwalah haqq (pemindahan hak) yaitu
pemindahan yang hak utangnya dituntut. Ditinjau dari segi lain, hiwalah terbagi
menjadi dua menurut jenis rukun yakni pemindahan sebagai ganti dari
pembayaran utang pihak muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua)
yakni hiwalah muqayyadah (pemindahan bersyarat) dan pemindahan utang
yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama
(muhil) kepada pihak kedua (muhal) yakni hawalah mutlaqah (pemindahan
mutlak).8
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian. Ditinjau
dari segi objek akad, maka hiwalah dapat dibagi dua, apabila yang dipindahkan
itu merupakan hak menuntut utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-
haqq (pemindahan hak). Sedangkan jika yang dipindahkan itu berkewajiban
untuk membayar utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain
(pemindahan utang). Ditinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua pula, yaitu:

7
Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqih Muamalah di Lembaga Keuangan dan Bisnis
Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), hlm. 135-136
8
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, (Jakarta:
Kencana, 2018), hlm. 384

11
1. Hiwalah Al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat)
Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari
pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh, jika A
berpiutang kepada B sebesar satu juta rupiah. Sedangkan B berpiutang
kepada C juga sebesar satu juta rupiah. B kemudian memindahkan atau
mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang terdapat pada C
kepada A, sebagai ganti pembayaran utang B kepada A. Dengan demikian,
hiwalah al-muqayyadah, pada satu sisi merupakan hiwalah al-haqq, karena
B mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C kepada A. Sedangkan pada
posisi lain, sekaligus merupakan hiwalah addain, karena B mengalihkan
kewajibannya membayar utang kepada A menjadi kewajiban C kepada A.
2. Hiwalah Al-Mutlaqah (Pemindahan Mutlak)
Hiwalah al-mutlaqah yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan
sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.
Contoh, jika A berutang kepada B sebesar satu juta rupiah. C berutang
kepada A juga sebesar satu juta rupiah. A mengalihkan utangnya kepada C,
sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada B, tanpa menyebutkan
bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti dari pembayaran utang C
kepada A. Dengan demikian hiwalah al-mutlaqah hanya mengandung
hiwalah ad-dain, karena yang dipindahkan hanya utang A terhadap B
menjadi utang C terhadap B.

12
Skema hiwalah di atas dapat di jelaskan bahwa A (muhal) sebagai
pihak pertama yang memberi utang kepada B (muhil), sedangkan pihak
kedua B (muhil) yang berhutang kepada A (muhal) dan yang mengajukan
pengalihan utang, kemudian pihak ketiga yaitu C (muhal ‘alaih) yang
menerima pengalihan utang dan utang itu sendiri disebut al-muhal bih.9

F. Aplikasi Hiwalah dalam Perbankan Syariah

Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk


membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
usahanya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan hutang. Untuk
mengantisipasi kerugian yang akan timbul bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang
memindahkan hutang dengan yang berhutang. Karena kebutuhan supplier akan
di likuiditas, maka ia meminta hank untuk mengalih piutang. Bank akan
menerima pembayaran dari pemilik proyek. Kontrak hiwalah biasanya
diterapkan dalam hal-hal berikut:

1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2. Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
3. Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah.
Hanya saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar fee, sedangkan
pembahasan fee tidak di dapati dalam kontrak hiwalah.10

Sebagai asas kemaslahatan bagi masyarakat, suatu akad harus


mendatangkan kemaslahatan dalam kehidupan muamalah karena tujuan syariah

9
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 108
10
Nizaruddin, Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, (STAIN: Jurai Siswa
Metro, 2021), hlm. 8

13
adalah untuk meningkatkan kemaslahatan umat dalam pemeliharaan amanah,
akal, jiwa, keturunan dan kekayaan, yang tertuang dalam Al-Qur’an. Hiwalah
kemudian dalam implementasinya di perbankan syariah harus sesuai dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia
yaitu fatwa Nomor 12/DSN/-MUI/IV/2000 tentang hiwalah. Hiwalah ini halal
karena ada manfaatnya, dalam aktivitas manusia dalam kemudahan muamalah.
Karena hiwalah termasuk dalam akad tabbaru yang bertujuan untuk tidak
mencari keuntungan, namun jika ingin mendapatkan keuntungan, biasanya bank
syariah menggunakan hiwalah bil ujrah tetapi hanya terdapat pada hiwalah
mutlaqah, jadi muhal ‘alaih boleh meminta ganti rugi. Untuk ketersediaannya
jelas tetapi harus sesuai kesepakatan bersama. Walaupun untuk hiwalah bil
ujrah masih banyak yang mengalaminya karena takut merusak makna hiwalah,
namun pendapat yang paling kuat adalah pendapat bolehnya mengambil ujrah
untuk akad mohon bantuannya jika ada kerelaan kedua belah pihak dan hal
tersebut tidak mengandung kegiatan ribawi, dan yang dipungut atas jasanya
bukan pada akad pinjaman atau yang berpotensi menjadi akad piutang.

Contoh implementasi teknis di perbankan syariah seperti yang dilakukan


di PT. Bank BRI Syariah KCP Soreang dimana pekerjaan lapangan penulis
adalah akad pengalihan hutang nasabah ke pihak bank. Posisi nasabah adalah
meminta bantuan pihak bank agar dapat membayar hutang akad terlebih dahulu
kepada debitur. Kemudian pihak bank kemudian menagih debitur tersebut.
Bantuan pihak bank dalam membayar utang terlebih dahulu, namun pihak bank
biasanya membebankan biaya jasa penagihan. Namun dalam menentukan besar
kecilnya biaya jasa tergantung dari resiko dalam piutang tersebut. Dalam akad
hiwalah ini, manfaat dan keuntungannya adalah:

1. Dimungkinkan dapat menyelsaikan piutang dengan segera.


2. Tersedia dana bagi yang membutuhkan.
3. Menjadi sumber dana penghasilan non pembiyaan bagi bank syariah.11

11
Neni Hardiati dan Januri, Al-Hiwalah dan Implementasinya pada Perbankan Syariah di Tinjau
dari Kaidah Fiqih, Syntax Idea, Vol. 3 No. 1, (Januari 2021), hlm. 204. Diakses dari

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hiwalah adalah pemindahan hak menuntut atau tanggung jawab utang


seseorang untuk menuntut dari pihak pertama kepada pihak lain atas
persetujuan dasar dari pihak yang memberi utang. Dasar hukum hiwalah
terdapat dalam al-Qur’an, hadis, ijma’. Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan
Hambali, rukun hiwalah ada 6 yaitu, muhil, muhal, muhal ‘alaih, piutang milik
muhal yang wajib dilunasi oleh muhil (objek hukum akad pemindahan utang),
piutang milik muhil yang wajib dilunasi oleh muhal ‘alaih, serta shighat (ijab
dan qabul). Sedangkan syarat hiwalah yaitu, pihak berhutang atau muhil rela
melaksanakan akad ini, produk hutang harus dibayarkan sesuai haknya yang
sama, pihak muhal ‘alaih harus bertanggung jawab dalam menanggung hutang
setelah adanya kesepakatan bersama muhil, pihak muhal atau pemberi hutang
harus menyetujui akad hiwalah, serta hutang tetap berada dalam jaminan
pelunasan.

Dilihat dari segi objek akad, akad hiwalah dibagi menjadi dua yaitu
hiwalah dayn dan hiwalah haqq. Ditinjau dari segi lain, hiwalah terbagi menjadi
dua menurut jenis rukun yakni pemindahan sebagai ganti dari pembayaran
utang pihak muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua) yakni hiwalah
muqayyadah (pemindahan bersyarat) dan pemindahan utang yang tidak
ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama (muhil) kepada
pihak kedua (muhal) yakni hawalah mutlaqah (pemindahan mutlak). Dalam
praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya. Hiwalah kemudian
dalam implementasinya di perbankan syariah harus sesuai dengan fatwa yang

https://www.jurnal.syntax-idea.co.id/index.php/syntax-idea/article/view/932/579, pada tanggal 08


April 2023, pukul 04.12 WIB.

15
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia yaitu
fatwa Nomor 12/DSN/-MUI/IV/2000 tentang hiwalah.

B. Saran

Dari penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam


memahami materi-materi yang telah diuaraikan di atas, dengan berbagai
keterbatasan sumber dan bahan yang dikumpulkan, sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya kekurangan. Sebagai pertimbangan, penulis menyarankan
agar pembaca dapat mencari berbagai literatur lain demi melengkapi materi
terkait yang belum secara sempurna dibahas dalam makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. 2021. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hardiati, Neni dan Januri. 2021. Al-Hiwalah dan Implementasinya pada Perbankan
Syariah di Tinjau dari Kaidah Fiqih. Syntax Idea, Vol. 3 No. 1. Diakses dari
https://www.jurnal.syntax-idea.co.id/index.php/syntax-
idea/article/view/932/579, pada tanggal 08 April 2023, pukul 04.12 WIB.
Naufal, Muhammad Rizki. 2018. Aplikasi Akad Hawalah dalam Pengambil-Alihan
Hutang dari Perbankan Konvensional. Tesis Universitas Islam Indonesia.
Nizaruddin. 2013. Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah.
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 1 No. 2. Diakses dari https://e-
journal.metrouniv.ac.id/index.php/adzkiya/article/view/1051/904, pada
tanggal 5 April 2023, pukul 12.51 WIB.
Nizaruddin. 2021. Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah.
STAIN: Jurai Siswa Metro.
Nurazizah, Novanda Eka. 2021. Implementasi Akad Hiwalah dalam Hukum
Ekonomi Islam di Perbankan Syariah. Jurnal Perbankan Syariah, Vol. 2
No. 1. Diakses dari
https://ejournal.iaiskjmalang.ac.id/index.php/nisbah/article/view/218/176,
pada tanggal 6 April 2023, pukul 12.59 WIB.
Nurjaman, Muhammad Izazi dan Doli Witro. 2021. Transformasi Akad Tabarru’
menjadi Akad Muawadhat: Analisis Akad Hiwalah dan Akan Kafalah di
Lembaga Keuangan Syariah. Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Syariah,
Vol. 6 No. 2. Diakses dari
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/al-
mustashfa/article/view/8748/4036, pada tanggal 9 April 2023, pukul 13.19
WIB.
Saputra, Ferdy. 2021. Pemahaman Mayarakat tentang Mudharabah (Qiradh),
Hiwalah, Dan Syirkah Dalam Islam. Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1 No.
1. Diakses dari

17
https://mail.ejournal.staindirundeng.ac.id/index.php/maqasidi/article/view/
602/357, pada tanggal 5 April 2023, pukul 12.55 WIB.
Sjahdeini, Sutan Remy. 2018. Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek
Hukumnya. Jakarta: Kencana.
Soemitra, Andri. 2019. Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqih Muamalah di Lembaga
Keuangan dan Bisnis Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group.
Witro, Doli. 2021. Qaidah Furu’fi Al-Hiwalah, Sebuah Tinjauan Umum Qaidah
Furu’ Al-Hiwalah, An Overview, Vol. 5 No. 1. Diakses dari
https://jurnalfasya.iainkediri.ac.id/index.php/qawanin/article/view/68/60,
pada tanggal 5 April 2023, pukul 12.53 WIB.

18

Anda mungkin juga menyukai