Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH PERADABAN ISLAM

“ ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD S.A.W. ”

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah
Peradaban Islam
Dosen Pengampu:
Dwi Putra Syahrul Muharom, M.Ag.

Disusun Oleh
KELOMPOK 3:
DELLA AULIA ANDRIANA (21401084)
ULIL MAWADDATUR ROHMAH (21401085)
SYARAH VINA ADELIA PUTRI (21401086)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
TP. 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk hidup dan masih diizinkan
untuk menikmati dan melihat keindahan ciptaan-Nya. Sholawat serta salam
semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh ilmu pengetahuan
seperti sekarang ini. Dan dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat
waktu.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas dari Bapak Dwi Putra Syahrul
Muharom,M.Ag.. selaku dosen dari mata kuliah Sejarah Peradapan Islam.
Program studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Kediri
yang membahas tentang “Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan berupa kritik yang membangun
agar bisa memperbaiki kesalahan yang ada. Kami berharap semoga makalah ini
dapat mudah dipahami dan memberikan manfaat serta pengetahuan bagi pembaca
makalah ini.
Wassalamualikum wr.wb

Kediri, 23 September 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

SAMPUL ...........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR .......................................................................................................2
BAB I .................................................................................................................................4
PENDAHULUAN .............................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG ...............................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH ..........................................................................................4
C. TUJUAN PENULISAN ............................................................................................5
BAB II ...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN ................................................................................................................5
A. SEJARAH HIDUP NABI MUHAMMAD S.A.W. ..................................................5
B. PEMBENTUKAN NEGARA MADINAH..............................................................12
BAB III ............................................................................................................................25
PENUTUP .......................................................................................................................25
A. KESIMPULAN ........................................................................................................25
B. SARAN ...................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw telah membawak
bangsa arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak beradap dan tidak terkenal,dan
di abaikan oleh bangsa lain, menjadi bangsa yang maju, ia dengan cepat bergerak
mengembangkan dunia,membina suatu ke budayaan dan peradaban yang sangat
penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.
Secara esensial kehadiran Nabi Muhammad pada masyarakat Arab adalah
terjadinya kristalisasi pengalaman baru pada dimensi ketuhanan yang
mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termaksud hukum-hukum
yang digunakan pada masa itu. Keberhasilan Nabi Muhammad dalam
memenangkan kepercayaan Bangsa Arab relative singkat. Kemampuannya dalam
memodifikasi jalan hidup orang-orang Arab yang sebelumnya jahiliah kejalan
orang-orang yang bermoral Islam. Dalam berdakwah Nabi Muhammad tidak
hanya menggunakan aspek kenabiannya dengan menggunakan tablig namun juga
menggunakan strategi politik dengan memunculkan aspek-aspek keteladanannya
dalam menyelesaikan persoalan. Seperti, dakwah di Mekkah yang terbagi menjadi
dua yaitu dakwah secara diam-diam dan dakwah secara terbuka. Disini dapat kita
lihat adanya strategi Nabi dalam menyeru umat manusia untuk beribadah kepada
Allah Swt. Walaupun dalam menjalankan perintah Allah, Nabi mendapat banyak
tantangan yang besar dari berbagai pihak namun atas izin Allah segalah hal yang
dilakukan Nabi dapat berjalan lancar.
Semakin bertambah jumlah pengikut Nabi semakin besar pula tantangan yang
harus di hadapi Nabi, mulai dari cara diplomatic di sertai bujuk rayu hingga
tindakan kekerasan di lancarkan orang-orang quraisy untuk menghentikan dakwa
Nabi. Namun Nabi tetap pada pendirian untuk menyiarkan agama Islam. Sistem
pemerintahan dan strategi politik Nabi dapat kita lihat jelas setelah terbentuknya
negara Madinah. Di sini Islam semakin kuat dan berkembang karena bersatunya
visi misi masyarakat Islam. Peradabannya salah satunya yaitu Piagam Madinah.
Melalui Piagam Madinah Nabi Muhammad memperkenalkan konsep negara ideal
yang di warnai dengan wawasan, transparansi, partisipasi, adanya konsep
kebebasan dan tanggung jawab sosial politik secara bersama.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah penting sebagai
berikut,
1. Bagaimana riwayat hidup Nabi Muhammad S.A.W. ?
2. Bagaimana pembentukan negara Madinah?

4
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui dan menjelaskan riwayat hidup Nabi Muhammad S.A.W.
dari sebelum diangkat menjadi Rasul hingga Tahun duka cita dan Isra‟ Mi‟raj
2. Dapat mengetahui dan menjelaskan bagaimana pembentukan negara Madinah

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH HIDUP NABI MUHAMMAD S.A.W.


1. Sebelum Diangkat Menjadi Rasul
Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin tanggal 20 April 571 M tahun
Gajah di suatu tempat yang tidak jauh dari Ka‟bah, ia berasal dari kalangan
bangsawan Quraisy dari Bani Hasyim, sementara masih ada bangsawan Quraisy
yang lain, yaitu Bani Umaiyah. Tapi Bani Hasyim lebih mulia dari Bani Umaiyah.
Ayahnya Abdullah bin Abdul Muththalib dan ibunya Aminah binti Wahab. Garis
nasab ayah dan ibunya bertemu pada Kilab bin Murrah. Apabila ditarik ke atas,
silsilah keturunan beliau baik dari ayah maupun ibunya sampai kepada Nabi
Isma‟il AS dan Nabi Ibrahim AS. Tujuh hari dari kelahirannya, kakeknya Abdul
Muththalib mengundang semua orang Quraisy dalam suatu selamatan jamuan
makan, ketika itu Abdul Muththalib memberi nama Muhammad kepada cucunya
itu. Nama tersebut terasa aneh bagi mereka yang hadir dan mempertanyakannya
kepada Abdul Muththalib dan mereka berkata; “Sungguh di luar kebiasaan,
kenapa diberi nama Muhammad”, dijawab oleh kakeknya; “Agar menjadi orang
terpuji di langit dan terpuji di bumi”.1 Sudah menjadi kebiasaan orang Arab, anak-
anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita kampung dengan maksud
agar mendapatkan udara desa yang masih bersih dan pergaulan masyarakat yang
baik bagi pertumbuhan anakanak. Ketika Muhammad lahir wanita-wanita dari
desa Sa‟ad lebih, kurang 60 km dari Makkah, datang ke Makkah menghubungi
keluarga-keluarga yang akan menyusukan anak mereka dengan mengharapkan
upah. Karena kondisi ekonomi Aminah yang lemah tidak ada di antara wanita-
wanita tersebut yang mau mengasuh Muhammad kecuali Halimah setelah minta
izin sama suaminya Haris, mau mengasuhnya sambil berharap mudah-mudahan
Tuhan memberkati kehidupan mereka. Aminah dan Abdul Muththalib pun
melepaskannya dengan penuh senang hati.2Deceritakan lebih lanjut bahwa
kehadiran Muhammad dalam keluarga miskin tersebut sungguh membawa berkah.

1
Team Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 2001), hlm. 260
2
Ibid., h. 260

5
Rumput yang digunakan mengembala kambing tumbuh subur, kambing yang
mereka pelihara menjadi gemuk-gemuk, air susunya menjadi banyak sehingga
kehidupan mereka yang suram dan susah berubah menjadi penuh bahagia dan
kedamaian, mereka percaya anak yatim itulah yang membawa berkah dalam
kehidupan mereka, sengsara membawa nikmat. Ketika ia masih tiga bulan dalam
kandungan Ayahnya meninggal dunia pada saat pergi berniaga ke Yatsrib,
sementara ibunya Aminah wafat di Abwa sewaktu pulang dari menziarahi makam
Abdullah, ketika itu ia berusia 6 tahun. Kakeknya Abdul Muthalib mengasuhnya
selama dua tahun, kemudian kakeknya itu pun meninggal dunia pula dalam
usianya 8 tahun, dan ia diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Dari kisah Nabi
tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab hak asuh anak apabila ayahnya
meninggal berturut-turut dari ibu ke kakek, kemudian ke paman. Ada dua jenis
pekerjaan yang dilakukannya sebelum menjadi Rasul. Pertama, mengembala
kambing ketika ia bersama ibu susuannya Halimahtus Sa‟diyah tinggal di desa.
Kedua, berdagang ketika ia tinggal bersama pamannya, ia mengikuti pemannya
berdagang ke negeri Syam, sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri. Dalam
perjalanan itu, di Bushra, sebelah selatan Syria (Syam) dia bertemu dengan
pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta itu melihat tanda-tanda kenabian pada
diri Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Pendeta itu
menasehati Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki Syria, sebab
dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahi tanda-tanda itu akan berbuat
jahat terhadapnya.3Sebagai seorang pemuda ia tidak mengikuti kebiasaan
masyarakat di kala itu, yaitu minum Khamar, berjudi, mengunjungi tempat-tempat
hiburan dan menyembah berhala. Secara populeria dikenal sebagai seorang
pemaaf, rendah hati, berani dan jujur, sehinggaia dijuluki al-Amin. Sebagai
seorang pedagang, selain ia berdagang dengan pamannya,ia juga melakukan
kerjasama dagang dengan Khadijah, seorang janda kaya. Khadijah memberinya
modal untuk berdagang ke negeri Syam, dan beliau memperoleh untung besar.
Khadijah tertarik pada kejujuran dan akhlaknya yang baik, dan ingin menjadi
suaminya, setelah sebelumnyaia berkali-kali menolak pinangan bangsawan
Quraisy.
Dari dua pekerjaan yang dilakukan Nabi menjelang usiannya 25 tahun
memberi modal kepadanya untuk dapat hidup lebih mandiri kelak. Mengembala
kambing adalah pekerjaan yang memerlukan kesabaran kuat, sementara
berdagang melatih kejujuran di saat sulitnya mencari orang yang jujur waktu itu.
Dalam usia 25 tahun, Abu Thalib menawarkan keponakannya itu kepada Khadijah
binti Khuwailid. Tawaran Abu Thalib diterima Khadijah. Pernikahan Nabi dengan
Khadijah binti Khuwailid berlangsung ketika Muhammad berusia 25 tahun dan
Khadijah 40 tahun dengan mahar 20 ekor unta. Dalam kehidupan rumah tangga,
suami istri itu hidup bahagia dan saling mencintai. Muhammad tidak pernah
menyakiti hati istrinya dan sebaliknya istrinya ikhlas menyerahkan segalanya

3
M. Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1990), h. 59

6
untuk suaminya. Harta kekayaan istrinya itu memberi kesempatan kepada Nabi
Muhammad membantu orang-orang miskin dan tertindas serta memerdekakan
budak-budak. Bahkan budak-budak yang dimiliki Khadijah sebelum mereka
menikah, semuanya dimerdekakan, di antaranya Zaid ibn Tsabit yang kemudian
menjadi anak angkat Nabi.4Dari pernikahan Nabi dengan Khadijah telah
melahirkan, dua orang anak laki-laki, masing-masing Qasim dan Abdullah
keduanya meninggal selagi masih kecil, karena sedihnya tidak mempunyai anak
laki-laki beliau mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai anak angkat, pada awalnya
beliau sempat memanggilnya Zaid ibn Muhammad, tetapi kemudian ditegor agar
kembali kepada nama semula, itu artinya anak angkat tidak dapat disamakan
dengan anak kandung. Selain itu, ada empat orang anak perempuan, masing-
masing Zainab, Rukayah, Ummu Kalsum, dan Fatimah. Semua mereka mencapai
usia dewasa. Di antara anak perempuannya, hanya Fatimah yang melahirkan dua
anak laki-laki, yaitu Hasan dan Husein dari perkawinannya dengan Ali bin Abi
Thalib. Nabi Muhammad tidak pernah menikah sampai Khadijah meninggal, saat
Nabi Muhammad berusia 50 tahun.Setelah Khadijah binti Khuwailid meninggal
Nabi Muhammad SAW. menikah lagi dengan sepuluh orang wanita. Kesebelas
istri Nabi itu disebut Ummul Mukminin (ibu orangorang yang beriman), masing-
masing sebagai berikut; 1) Khadijah binti Khuwailid, 2) Saudah binti Sam‟ah, 3)
Aisyah binti Abu Bakar 4) Zainab binti Huzaimah, 5) Juwairiyah binti Haris, 6)
Sofiyah binti Hay, 7) Hindun binti Abi Umaiyah, 8) Ramlah binti Abi Sofyan, 9)
Hafsah binti Umar ibn Khaththab, 10) Zainab bnti Jahsy dan 11) Maimunah binti
Haris.5 Ditambah seorang hamba sahaya hadiah dari raja Mesir, bernama Mariyah
al-Qibthiyah. Dari Mariyah ini, Nabi memperoleh seorang anak laki-laki lagi di
Madinah yang diberi nama Ibrahim, tetapi anak beliau inipun meninggal dunia
dalam usia lebih kurang dua tahun, sama seperti dua anak Nabi sebelumnya,
beliau sempat menangis karena kehilangan putranya yang dicintainya itu. Dalam
usia 35 Tahun, Muhammad telah memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang
pemimpin. Ketika itu, kaum Quraisy memperbaiki dinding Ka‟bah dan kemudian
mereka bertengkar. Masing-masing kabilah merasa lebih berhak meletakkan
kembali Hajar al-Aswad pada tempatnya. Akhirnya mereka meminta Muhammad
untuk menyelesaikan persoalan itu. Muhammad meletakkan batu itu di atas
sehelai kain dan meminta para wakil kabilah memegang ujungnya dan kemudian
mengangkatnya bersama-sama. Batu itu kemudian diambilnya dan diletakkannya
pada tempatnya. Mereka menerima putusannya itu. Nama Muhammad semakin
popular di kalanagan penduduk Makkah, setelah berhasil mendamaikan para
pemuka Quraisy tersebut. Dari peristiwa di atas dapat diketahui bahwa
Muhammad sebagai seorang al-Amin telah mendapat kepercayaan penuh dari
pemimpin Quraisy untuk menyelesaikan persoalan perselisihan yang terjadi di

4
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 263

5
Ibid., hlm. 274.

7
antara mereka. Modal kepercayaan inilah yang kelak menjadi kunci sukses
Muhammad di dalam mengemban misi kerasulannya.
2. Diangkat Menjadi Rasul
Menjelang usia 40 tahun, selama satu bulan dalam setiap tahun Muhammad
mengasingkan diri ke Gua Hira‟ untuk merenungi alam dengan ciptaannya.
Istrinya Khadijah memberi dukungan penuh terhadap keinginannya tersebut.
Disediakannya makanan untuk dibawa suaminya Muhammad sebagai bekal ke
Gua Hira‟ itu.
Demikianlah dilakukan Muhammad setiap tahun. Ketika usianya 40 tahun,
pada tanggal 17 Ramadhan 611 M, malaikat Jibril mendatanginya menyampaikan
wahyu Allah yang pertama surat al-Alaq (ayat 1-5). Berarti secara simbolis
Muhammad telah dilantik sebagai Nabi akhir zaman. Nabi Muhammad SAW
menceritakan peristiwa yang dialaminya itu kepada istrinya Khadijah.
Rasulullah dibawa Khadijah menghadap seorang pendeta Nasrani yang
berpengetahuan luas, bernama Waraqah bin Naufal. Setelah Nabi menceritakan
pengalamannya itu, Waraqah berkata: “Inilah malaikat yang diturunkan Allah
SWT. pada Nabi-nabi sebelummu…” Setelah wahyu pertama itu datang,
terputuslah wahyu selama lebih kurang dua tahun, kemudian Jibril datang lagi
untuk membawa wahyu yang kedua, Surah al-Mudatsir (ayat 1-7). Dengan
turunnya wahyu kedua itu, maka berarti Nabi sudah mulai wajib menyampaikan
dakwah.
3. Tahap-Tahap Dakwah
Rasulullah berdakwah melalui beberapa tahap. Pertama, secara diam-diam di
lingkungan keluarga dan sahabat dekatnya. Diterima oleh istrinya Khadijah, anak
pamannya Ali, anak angkatnya Zaid bin Hãritsah, serta sahabat dekatnya Abu
Bakar. Melalui Abu Bakar, masuk Islam pula Utsman bin Affan, Zubeir bin
Awwam, Saad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah,
Abu Ubaidah bin Jarrah, dan beberapa budak dan fakir miskin. Dakwah ini
berlangsung selama tiga tahun.
Kedua, dakwah kepada keturunan Abdul Muthalib. Hal ini dilakukan setelah
turunnya wahyu ketiga, sûrah AlSyu‟ara‟ (ayat 214). Nabi mengumpulkan dan
mengajak mereka supaya beriman. Akan tetapi Abu Lahab beserta istrinya
mengutuk Nabi, sehingga turun Sûrah al-Masad (ayat 1-5).
Ketiga, dakwah kepada semua orang setelah wahyu Allah sûrah al-Hijir (ayat
94). Pada tahap ini dakwah ditujukan kepada semua lapisan masyarakat, tidak
terbatas hanya kepada penduduk Makkah saja, tetapi juga termasuk orangorang
yang mengunjungi kota itu.

8
Dengan usahanya yang gigih tanpa mengenal lelah, hasil yang diharapkan
mulai terlihat. Jumlah pengikut Nabi makin hari semakin bertambah. Mereka
terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja dan orang miskin. Meskipun
kebanyakan mereka orang-orang lemah, namun semangat mereka sungguh
membaja. Itu sebabnya, dakwah Nabi pada mulanya diterima oleh kaum lemah
dari rakyat jelata. Setelah dakwah Nabi dilakukan secara terangterangan itu,
semakin hari semakin bertambah jumlah pengikut Nabi dan pemimpin Quraisy
mulai pula berusaha menghalangi dakwah Rasul tersebut, bahkan semakin keras
tantangan yang dilancarkan mereka.
Menurut Ahmad Syalabi ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy
menantang dakwah Islam yang disampaikan Nabi itu.6 Pertama, Para pemimpin
Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat. Kedua, Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian
dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad
SAW berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Ketiga, Takut
kehilangan mata pencaharian karena pemahat dan penjual patung memandang
Islam sebagai penghalang rezeki mereka. Keempat, Nabi Muhammad SAW
menyerukan persamaan hak antara hamba sahaya dan bangsawan. Hal ini tidak
disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy. Kelima, Taklid kepada nenek moyang
adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
4. Tantangan Kaum Quraisy
Dengan demikian, kaum Quraisy menentang dakwah Nabi dengan bertahap.
Pertama, membujuk, karena kekuatan Nabi terletak pada perlindungan Abu
Thalib yang amat disegani itu. mereka meminta Abu Thalib memilih satu di
antara dua: yaitu memerintahkan Muhammad agar berhenti dari dakwahnya atau
menyerahkannya kepada mereka untuk dibunuh. Abu Thalib mengharapkan
Muhammad agar menghentikan dakwahnya. Namun Nabi menolak dengan
mengatakan “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah
ini. Walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya”.
Abu Thalib sangat terharu mendengarkan jawaban keponakannya itu, kemudian ia
berkata “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.
Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid bin
Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan
tampan untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad SAW, Walid bin Mughirah
berkata kepada Abu Thalib “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan
Muhammad kepada kami untuk kami bunuh”. Usul ini langsung ditolak keras oleh
Abu Thalib.
Kecewa dengan jawaban Abu Thalib itu, mereka langsung kepada Nabi
Muhammad SAW. membujuknya dengan menawarkan tahta, wanita dan harta

6
Ahmad Syalabi, op.cit., h. 87-90.

9
asal Nabi bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Nabi
dengan mengatakan “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan
kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini
sehingga agama ini menang atau aku binasa karenanya”.
Kedua, mengintimidasi. Karena gagal dengan cara membujuk, para pemimpin
Quraisy melakukan tindakantindakan kekerasan lebih intensif dari sebelumnya.
Budakbudak yang masuk Islam disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para
pemimpin Quraisy menyuruh setiap keluarga untuk menyiksa anggota
keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali. Untuk menghindarkan
kaum muslim dari tindakan kekerasan ini, Nabi memerintahkan mereka hijrah ke
Habasyah (Ethiopia). Rombongan pertama, pada tahun kelima dari kerasulannya,
di bawah pimpinan Usman bin Affan diikuti 15 orang (10 pria dan 5 wanita)
berangkat ke Habasyah, termasuk isteri Usman, Rukayah bintiMuhammad.
Rombongan kedua, di bawah pimpinan JA‟far bin Abi Thalib diikuti 81 orang
(80 pria dan 1 wanita, yaitu Ummu Habibah, puteri Abu Sofyan). Mereka diterima
raja Ethiopia, Negus. Mengetahui hal itu Pimpinan Quraisy mengirim Amr bin
Ash dan Abdullah bni Abi Rabi‟ untuk membujuk raja Negus agar menolak
kehadiran umat Islam di sana, tetapi Raja menolak permintaan mereka . Di tengah
kekejaman pemimpin Quraisy terhadap umat Islam meningkat, dua orang kuat
kaum Quraisy masuk Islam, Hamzah dan Umar bin Khaththab yang membuat
posisi umat Islam semakin kuat.
Ketiga, memboikot seluruh keluarga Bani Hasyim. Untuk melumpuhkan
kekuatan kaum muslimin, pemimpin Quraisy melakukan pemboikotan terhadap
seluruh keluarga Bani Hasyim. Karena menurut mereka kekuatan Nabi terletak
pada keluarganya yang melindunginya, baik yang belum maupun yang sudah
masuk Islam. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini.
Tidak seorang pun penduduk Makkah diperkenankan melakukan hubungan jual
beli dengan Bani Hasyim. Akibatnya banyak di antara keluarga Bani Hasyim yang
menderita kelaparan. Hanya karena kasihan beberapa pemimpin Quraisy,
pemboikotan ini dihentikan. Tindakan pemboikotan ini dimulai pada tahun ke-7
dari kanabian hingga tahun ke-10 menjelang Abu Thalib dan Khadijah meninggal,
hal itu berlangsung selama 3 tahun.
5. Abu Thalib dan Khadijah Wafat
Tidak lama setelah pembaikotan itu dihentikan, pada tahun ke-10 dari kenabian,
Nabi Muhammad SAW berganti menghadapi tiga peristiwa yang menyedihkan
pula sehingga tahun itu disebut dengan tahun duka cita. Bararti selesai dari tahun
pembaikotan memasuki tahun kesedihan dan kepedihan atau yang lebih dikenal
dengan tahun duka cita.
Adapun tiga peristiwa tersebut; Pertama, pamannya, Abu Thalib, pelindung
utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun.

10
Kedua, tiga hari setelah itu, meninggal dunia pula istrinya, Khadijah, dalam
usia 65 tahun. Sepeninggal dua pendukung utamanya itu, kafir Quraisy tidak
segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarah mereka terhadap Nabi. Melihat
reaksi penduduk Makkah yang semakin brutal itu, terutama pamannya Abu Lahab
dan istrinya. Nabi kemudian berusaha menyebar luaskan Islam keluar kota
Makkah, yaitu ke negeri Thaif.
Ketiga, ketika Nabi berdakwah di Thaif, beliau diejek, disoraki, dan dilempari
batu, bahkan sampai terluka di bagian kepala dan badannya.
Dari tiga peristiwa yang menyedihkan Nabi tersebut di atas menjadi penyebab
tahun itu disebut dengan tahun duka cita dalam sejarah Islam. Perlu dicatat, tidak
ada satu Rasul-pun sebelum Nabi Muhammad yang sampai dikenal dengan tahun
duka cita kecuali hanya Nabi Muhammad s.a.w. saja.
6. Tahun Duka Cita dan Isra’ Mi’raj
Dalam situasi berduka cita di tahun duka cita yang dialami Nabi secara
beruntun tahun ke-10 dari kenabian tersebut di atas Allah mengisra‟ mi‟rajkan
Nabi Muhammad SAW, pada tahun ke-10 itu juga, antara lain, tujuannya adalah
untuk menghibur hati Nabi yang sedang berduka cita tersebut. Berita Isra‟ Mi‟raj
itu menggemparkan masyarakat Makkah. Nabi yang kesulitan mengumpulkan
orang Makkah untuk menyampaikan berita isra‟ mi‟raj ini dapat dibantu Abu
Jahal dengan harapan kaumnya mendustakan Nabi, sedang bagi orang beriman,
peristiwa ini merupakan ujian keimanan. Melalui isra‟ mi‟raj itu, kewajiban sholat
lima kali sehari semalam mulai dilaksanakan.
Kaitan antara tahun duka cita dengan isra‟ mi‟raj Nabi adalah untuk menghibur
hati Nabi yang sedang berduka cita ketika itu dengan memperlihatkan beberapa
Rasul yang juga mendapat tantangan dari kaumnya sekaligus memohon
pertolongan Allah Swt. menghadapi tantangan orang-orang kafir itu.
Ternyata setelah peristiwa Isra‟ mi‟raj, muncul perkembangan besar bagi
dakwah Islam. Karena sejumlah penduduk Yatsrib yang terdiri dari suku Aus dan
Khazraj yang berhaji ke Makkah, mereka menemui Nabi dan masuk Islam dalam
tiga gelombang.7
Pertama, pada tahun ke-11 kenabian, 6 orang dari suku Khazraj menemui Nabi
dan menyatakan diri masuk Islam. Mereka mengharapkan Nabi agar bersedia
mempersatukan kaum mereka yang saling bermusuhan di Yatsrib.
Kedua, pada tahun ke-12 kenabian, terdiri dari 10 orang suku Khazraj, 2 orang
suku Aus dan seorang wanita menemui Nabi dan menyatakan ikrar kesetiaan
kepada Nabi; “Kami tidak akan mencuri, tidak berbuat zina, tidak akan
membunuh anak-anak kami, tidak akan fitnah memfitnah dan tidak akan

7
Ibid., h. 104-105

11
mendurhakai Nabi Muhammad SAW.8 Rombongan ini kembali ke Yatsrib
sebagai juru dakwah Nabi di Yatsrib.
Ketiga, pada tahun ke-13 kenabian, sebayak 73 orang dari Yatsrib meminta
kepada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Saat ini Nabi ditemani pamannya
Abbas yang belum lagi masuk Islam. Abbas meminta kepada merega agar
benarbenar membela Nabi, baru dia izinkan hijrah ke Madinah. Selanjutnya Nabi
minta perjanjian dari mereka; “Saya ingin mengambil perjanjian dari kamu
semua, bahwa kamu akan menjaga saya sebagaimana kamu menjaga keluarga dan
anakanak kamu sendiri”. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala macam
ancaman. Nabi menyetujui usul yang mereka ajukan.9
Setelah kaum Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dan orang-
orang Yatsrib itu, mereka semakin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum
muslimin. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk
hijrah ke Yatsrib. Dalam waktu dua bulan, lebih kurang 150 orang kaum muslimin
telah meninggalkan kota Makkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tinggal
bersama Nabi di Makkah. Keduanya menemani dan membela Nabi sampai Nabi
hijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy sudah merencanakan akan membunuhnya.
Dalam musyawarah kafir Quraisy yang berencana hendak membunuh Nabi,
Abdul Jahal mengusulkan agar pembunuhan dilakukan oleh seluruh kabilah Arab
melalui wakil masing-masing. Dengan cara begini, keluarga Nabi tidak akan
mampu menuntut balas atas kematiannya. Berita tentang rencana pembunuhan
Nabi itu diberitahukan Allah Swt. kepada Nabi dan diperintahkan agar segera
meninggalkan kota Makkah.

B. PEMBENTUKAN NEGARA MADINAH


1. Nabi Muhammad Menjadi Kepala Negara di Madinah
Sejarah menyebutkan bahwa ketika Rasusullah SAW. berada di Mekkah, ia
dengan gigih menyiarkan Islam, namun usaha itu tidak memperoleh hasil yang
menggembirakan. Nabi dan pengikutnya secara politis benar-benar terpojok dan
terjepit. Di saat yang sama keadaan masyarakat Yatsrib (sebelum Madinah) saat
itu sedang bergolak. Yatsrib yang terdiri atas banyak komunitas kesukuan10 dan
agama terjadi konflik politik (perang Bu‟ăth, perang antara suku Aus dan

8
Ibid., h. 105.
9
Ibid., h. 106-1
10
Diantara komunitas sukunya adalah; komunitas suku/kaum Yahudi (Pendatang), kaum Aus,
Khazraj (komunitas arab selatan), dan kumunitas Badui. Lihat M. Zuhri, Potret Keteladanan
Kiprah Pilitik Muhammad Rasulullah cet. ke-1 (Yogyakarta: LESFI, , 2004), p. 29.

12
Khazraj)11 yang berkepanjangan. Hal ini terjadi karena kepongahan, praktik
monopoli dan dominasi ekonomi dari orang- orang Yahudi.12
Ketika konflik semakin besar, bangsa Yahudi sering berkata “tunggulah, rasul
terakhir kalian yang akan segera tiba dan dengan pertolongannya, kami akan
mengunguli kalian”.13 Hal ini mengakibatkan mereka yang merasa tertindas
berkepanjangan selalu berharap seseorang yang dapat menjadi pemimpin untuk
menyelamatkan mereka dari penindasan ekonomi dan politik.
Ketika kaum Yatsrib mendengar risalah kenabian Muhammad, mereka
berdiskusi panjang sesama tokoh Yatsrib dan mengundang Nabi Muhammad
untuk datang ke Yatsrib sebagai juru damai di antara mereka.14 Akhirnya setelah
beberapa kali bertemu dengan nabi beberapa di antara mereka memutuskan untuk
memeluk Islam sebelum di dahului kaum Yahudi. Afzalur Rahman mengatakan
pemimpin mereka pergi ke Mekkah dan menyepakati sebuah bai‟at „Aqabah
(perjanjian „Aqabah) dengan Rasulullah. Dalam perjanjian „Aqabah yang ke dua,
salah satu kesepakatannya adalah untuk saling melindungi antara kaum Yatsrib
dengan Rasulullah.15 Peristiwa bersejarah inilah yang mengubah arah Bai‟at
„Aqabah (perjanjian Aqabah) adalah perjanjian kesetian antara muslim Madinah
yang sedang berhaji dengan Nabi Muhammad yang dilakukan di sebuah
lembah/bukit (al-Aqabah). Bai‟at pertama berlangsung pada tahun 620 M. Utusan
yang datang kepada bai‟at pertama terdiri dari 12 orang. Adapun bai‟at kedua
berlangsung pada tahun 622 M. Sebanyak 73 orang Yatsrib yang sudah memeluk
Islam datang kembali ke Mekkah mempertegas pengakuan keislaman mereka dan
pembelaan kepada Nabi Muhammad. Salah satu kesepakan yang diperoleh dalam
perjanjian „Aqabah yang kedua dapat dilihat dari dialog Nabi dengan kaum utusan
dari Yatsrib. Nabi bersabda “Aku menawarkan persekutuan dengan kalian untuk
bersedia melindungiku sebagaimana kalian melindungi kaum perempuan dan
perjalanan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari kelompok tertindas menjadi
kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Hijrahnya Nabi ke Yatsrib dan
dijadikannya ia sebagai seorang pemimpin, merupakan titik awal kehidupan
politik bagi Nabi Muhammad sebagai pemimpin Negara Islam yang masih kecil,
yang kemudian diikuti oleh berbagai kejadian, perjanjian, dan perang, yang

11
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. ke-II (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2009), p. 67
12
Ibid., p. 30
13
Afzalur Rahman, Muhammad: Encyclopaedia of Seerah, terj. Taufik Rahman cet. ke-1
(Bandung: Pelangi Mizan, , 2009), p. 13.
14
Karim, Sejarah., p. 67
15
Bai‟at „Aqabah (perjanjian Aqabah) adalah perjanjian kesetian antara muslim Madinah yang
sedang berhaji dengan Nabi Muhammad yang dilakukan di sebuah lembah/bukit (al-Aqabah).
Bai‟at pertama berlangsung pada tahun 620 M(Bandung: Sinar Baru Algensindo, ,2002), p. 97

13
semuanya menjadi saksi atas kebesarannya sebagai negarawan yang ber-ibu kota
Madinah.16
Proses pengangkatan Nabi sebagai pimpinan (kepala negara) ini berdasarkan
kesepakatan yang disebut dalam perjanjian, bukan berdasarkan wahyu. Dalam
ilmu politik, proses ini disebut “kontrak sosial”.17 Implikasi bai‟at adalah proteksi
dan kerjasama yang saling menguntungkan. Sama halnya masyarakat kesukuan
menerapkan sebuah sistem politik proteksi, suku yang kuat dapat diminta
melindungi suku yang lemah.
Pada masa awal-awal kehidupan di Madinah, Rasulullah dihadapkan pada
situasi yang sanga sulit kaum Muhajir (pengungsi dari Mekkah) hidup serba
kekurangan, tidak berdaya, dan tidak mempunyai berbagai sarana kehidupan.
Sementara itu, kaum Yahudi Madinah bersekongkol dengan orang-orang musyrik
Mekkah untuk memusuhi kaum Muslim mengancam untuk menyerang Madinah,
menghacurkan komunitas Muslim yang masih kecil.18
Menghadapi kenyataan yang sangat sulit itu, Nabi Muhammad mengambil
serangkaian langkah untuk mengukuhkan Negara Islam Madinah yang baru
didirikan itu baik secara sosial, politik, maupun ekonomi. Langkah pertama yang
dilakukan Nabi adalah membangun masjid untuk tempat ibadah, berkumpul dan
bermusyawarah dengan masyarakat Madinah. Selanjutnya Nabi menegakkan
otoritas politik dan memelihara hukum ketertiban di seluruh wilayah suku-suku di
dalam dan di sekitar Madinah. Kemudian, Nabi membuat berbagai perjanjian
dengan kepala-kepala suku arab dan suku-suku Yahudi di sekitar Madinah.
Perjanjian yang sangat fenominal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di
Madinah dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah perjanjian dengan 12
kelompok masyarakat yang diwakili oleh tiga kelompok besar, yakni kaum
muslim, orang Arab yang belum masuk Islam, dan kaum Yahudi dari Bani Nadir
dan Bani Quraizah.19 Perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Piagam
Madinah (Mitsaq al-Madinah).20 Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat
peraturan-peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat
Madinah yang majemuk. Di antara substansi konstitusi tersebut adalah pertama,
membangun ikatan persaudaraan timbal-balik antara kaum Muhajir (pengungsi

16
Terj. Khatur Suhardi cet. ke- 4 (Solo: Pustaka Mantiq, , 1993), p. 257
17
Ubaidillah, et. all., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani
(Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), p. 75.
18
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1984), p. 92
19
Karim, Sejarah., p. 69-70.
20
Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press,
1992), p. 30. Bandingkan dengan Hawwa, Ar-Rasul., p. 275. Dan Rahman, Muhammad., p. 12.

14
Mekkah) dan kaum Anshar Madinah21 guna mendekatkan mereka, baik secara
ekonomi maupun sosial, sehingga keduanya menjadi komunitas sosial.22
Kedua, kebebasan untuk orang bangsa Yahudi. Di Madinah saat itu, terdapat
banyak suku Yahudi yang kuat dan berkuasa. Mereka menjalin hubungan yang
erat dan teratur dengan kaum Quraisy, maka, perjanjian dengan kaum Yahudi
sangat dibutuhkan untuk melindungi komunitas Muslim dari pelbagai
kemungkinan permusuhan, pemberontakan, atau persekongkolan mereka (Yahudi-
Quraisy) untuk menjatuhkan kaum Muslim. Salah satu isi perjanjiannya adalah
kebebasan beragama dan berpikir bangsa Yahudi dijamin, kehidupan dan
kekayaan mereka dilindungi oleh Negara Islam, serta pelbagai bentuk tindakan
kriminal dinyatakan ilegal.23
Dengan dicapainya kesepakatan ini, telah lahir sebuah masyarakat baru di
Madinah. Suku-suku yang semula saling berperang dilebur menjadi satu
komunitas Muslim dengan non- Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik,
saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya,
saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama. Semua warganya
menjadi sederajat di dalam Negara Madinah.24 Perjanjian ini juga menjadikan
mereka warga negara yang sederajat dengan warga negara lainnya. Perjanjian ini
menjadi luar biasa karena mengesahkan otoritas legal dan politis Nabi
Muhammad sebagai Kepala Negara Madinah yang disepakati bersama.
Dibuatnya Konstitusi Madinah oleh nabi tak lain hanya untuk mengatur urusan
dan jaminan hak-hak kaum Muhajir dan Anshar, serta orang-orang Yahudi. Hal
ini tidak hanya mengakui nabi sebagai Kepala Negara, melainkan juga
menyatakan bahwa Madinah merupakan Kota Suci dengan semua kesucian yang
dimiliki Kota Mekkah. Setiap orang mempunyai kesamaan derajat, kebebasan
beragama tanpa diskriminasi apapun.
2. Sifat dan Kekuasaan Badan-Badan Negara (Tata Negara)
Untuk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, keadilan, dan kedamaian,
maka dalam pemerintahan atau kekuasaan politik terdapat tugas-tugas pelayanan
dan pengaturan publik, seperti penyelenggaraan pemerintahan, sekretariat negara,
adanya pembagian propinsi yang dikepalai seorang wali (gubernur), adanya

21
al-Ghazali, Fiqh al-Sierah, sebagaimana dikutip Zuhri, Potret., p. 35. Karim, Sejarah., p. 69.
22
Afzalur Rahman, Muhammad., p.15

23
Zuhri, Potret. p. 35
24
Ibid., p. 15.

15
departement-departement,25 penyeleggaraan peradilan dan penegakan hukum,
penegakan HAM, penetapan perundang-ditangani oleh lembaga tersendiri.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di masa Nabi Muhammad SAW,
pemerintahannya sangat sederhana. Tidak ada pemilahan atau pembagian
kekuasaan sebagaimana yang tergambar dalam Lembaga Yudikatif, Eksekutif,
Legislatif, Dewan Pertimbangan, dan Lembaga Pemeriksa Keuangan seperti yang
dijumpai di zaman modern. Nabi adalah punguasa tunggal, memegang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Tidak pernah ada pembicaraan
tentang batasan waktu (periodisasi) memerintah. Bahkan, ia juga tidak
mengangkat menteri untuk kabinet kekuasaannya. 26
Meski demikian, dalam praktiknya Nabi Muhammad SAW menjalankan
pemerintahan tidak terpusat di tangannya. Unsur legislatif, eksekutif, dan
yudikatif secara eksplisit telah ada.
1. Badan Legislatif kewenangannya tidak seperti pemerintahan modern. Pada
masa Nabi Badan Legislatif tidak dapat membuat produk hukum yang bertolak
belakang dengan al- Qur‟an dan sunnah . Lembaga ini tidak punya otoritas untuk
merumuskan konstitusi, produk hukum, atau mengamandemen perundangan yang
bertolak belakang dengan al-Qur‟an dan sunnah . Lembaga ini hanya dapat
mengkodifikasi pelbagai jenis peraturan yang ada dalam al- Qur‟an dan sunnah.27
Untuk mengambil suatu keputusan politik misalnya, dalam beberapa kasus yang
dipandang penting dan dalam keadaan darurat Nabi melakukan konsultasi (Syura)
dengan pemuka-pemuka masyarakat. Dewan Syura pulalah yang memberinya
nasehat mengenai semua urusan administratif, militer, serta urusan sosial dan
politik. Sedangkan pengambilan keputusan aktual dan pelaksanan keputusan itu
merupakan kewajiban pribadinya yang harus ia laksanakan tanpa bantuan
siapapun.28 Ada 4 cara yang ditempuh Nabi dalam mengambil keputusan politik,
yaitu:
a. Mengadakan musyawarah dengan sahabat senior.
Dalam konteks ini misalnya bagaimana Nabi dengan sahabat senior
bermusyawarah mengenai tawanan perang Badar. Abu Bakar meminta agar
tawanan tersebut dibebaskan dengan syarat meminta tebusan dari mereka,
sedangkan Umar menyarankan supaya mereka dibunuh saja.

25
Karim, Sejarah., p. 75.
26
Zuhri, Potret., p. 61.
27
Rahman, Muhammad., p.25.
28
Ibid., p. 3

16
b. Meminta pertimbangan kalangan profesional.
Dalam hal ini misalnya, Nabi menerima usulan Salman al-Farisi untuk membuat
benteng pertahanan dalam perang Ahzab menghadapi tentara Quraisy dan sekutu-
sekutunya dengan menggali parit-parit di sekitar Madinah.
c. Melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak luas bagi
masyarakat ke dalam forum yang lebih besar. Untuk hal ini dapat dilihat pada
musyawarah Nabi dengan sahabat tentang strategi perang dalam rangka
menghadapi kaum Quraisy Mekkah di Perang Uhud.
d. Mengambil keputusan sendiri.
Ada beberapa masalah politik yang langsung diputuskan Nabi dan
mengesampingkan keberatan-keberatan para sahabat, seperti yang terjadi dalam
menghadapi delegasi Quraisy ketika ratifikasi Perjanjian Hudaibiyah. 29
2. Eksekutif. Eksekutif hanya bisa menjalankan Hukum Syariah sebagaimana
termaktub dalam al-Qur‟an dan sunnah serta mengukuhkan kehidupan sosial yang
berdasarkan prinsip kebaikan, kesalehan, dan keadilan sesuai dengan perintah
Allah. Ketaatan masyarakat kepada eksekutif harus dalam kerangka ketaatan
kepada Allah. Rasulullah menerangkan batas-batas ketaatan pada eksekutif dalam
sabda-sabda berikut:
“Jika seorang budak hitam yang cacat diangkat menjadi pemimipin kalian dan dia
memimpin kalian sesuai dengan ketetapan kitab suci, dengarkanlah dan taati dia.
Dengarkan dan patuhilah meski gubernur kalian adalah seorang budak Abiyssinia
dengan kepala yang hitam legam seperti kismis, tidak ada ketaatan kepada mahluk
dalam rangka memaksiati sang Khalik. Ketaatan itu hanya diberikan dalam hal-
hal yang benar (dan saleh). Jika seseorang menyaksikan sesuatu yang tidak
disukai dari pemimpinnya, dia harus bersabar karena tiadalah seseorang
memisahkan diri dari jamaah lalu mati, kecuali matinya itu seperti mati pada
zaman jahiliyah, Tidak boleh taat dalam perbuatan dosa. Taat diwajibkan demi
melakukan kebaikan dan kesalehan.”30
3. Yudikaif. Batas-batas kekuasaan dalam Yudikatif (dalam terminologi Islam
sering disebut qadhā) juga didefinisikan secara tegas oleh Hukum syari‟ah.
Yudikatif ini terlihat dengan adanya pembentukan Departemen Kehakiaman di
mana Nabi sebagai ketua pengadilannya.31Wewenang kekuasaan dan operasi
lembaga diselenggarakan dalam koridor al-Qur‟an dan sunnah, sebagaimana

29
Alkhotob, Kepemimpinan., p.7.
30
Ibid., p.25-26.
31
Karim, Sejarah., p. 75

17
dikemukakan al-Qur‟an ketika memerintahkan rasulullah sebagai hakim pertama.
Rasulullah secara eksplisit menjelaskan sifat dan wewenang kerja hakim ketika
beliau mengutus Mu‟adz bin Jabal ke Yaman sebagai Hakim. Rasulullah bertanya
kepada Mu‟adz bagaimana caranya mengambil keputusan. Mu‟adz menjawab
bahwa dia akan memutuskan berbagai keputusan berdasarkan al-Qur‟an, lalu nabi
kembali bertanya, apa yang harus dilakukan jika tidak ditemukan keterangan dan
petunjuk dari al-Qur‟an? Mu‟adz menjawab akan memutuskan dengan sunnah
rasulullah. Rasulullah kembali bertanya, bagaimana kalau tidak ditemukan
keterangan dan petunjuk dari sunnah rasulullah? Mu‟adz menjawab bahwa ia akan
berijtihad dengan segenap kekuatan intelektual-ruhaniyahnya untuk membuat
keputusan, lalu rasulullah menepuk dada Mu‟adz bin Jabal sambil berkata “Segala
puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulul-Nya terhadap
hal-hal yang diridhainya.”32Dalam menjalankan roda pemerintahan Negara
Madinah,nampaknya Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Al-Qur‟an tidak memberikan intruksi yang
spesifik mengenai masalah ini. Namun, sejumlah sunnah rasul memberikan
petunjuk bahwa Kepala Negara merupakan penguasa tertinggi dalam sebuah
Negara.
Rasulullah adalah pemimpin legeslatif, kepala eksekutif, dan sekaligus hakim
tertinggi. Kendati demikian, tiga fungsi dan departemen ini beroperasi secara
independen di bawah pengawasan Kepala Negara. Ia tidak mencampuri urusan
internal rakyatnya, tapi seluruh keputusan final terjadi berdasarkan pertimbangan
dari/atau merujuk kepadanya.33
Wilayah dan kegiatan eksekutif berada di bawah pengawasan dan perintah
langsung Kepala Negara. Untuk Badan Yudikatif, Kepala Negara mengangkat
sejumlah hakim. Namun, hakim tidak sepenuhnya bebas mengambil keputusan
dan putusan hukumnya tidak dapat dipengaruhi atau diubah oleh Kepala Negara
(independen). Jika ada aduan tindakan kriminal (jinayah/pidana) atau gugatan
sipil (perdata) yang menggugat tindakat Kepala Negara, aduan ini tetap
diperlakukan sama sebagaimana kasus-kasus hukum lainnya, tanpa memberikan
pertimbangan khusus. Sebab Hukum itu tidak membeda-bedakan manusia
berdasarkan status dan latar belakang kelas sosial, ekonomi, atau politiknya. Jika
terjadi perselisihan di antara badan-badan Negara tentang masalah apa pun, itu
harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai keputusan akhir. Ketika
perselisihan ini telah diselesaikan secara adil, mereka harus menghormati dan
menerima keputusan Hukum Syariah itu.34

32
Abi Dawud Sulaiman bin Asy‟ab as-Sijistany, Sunan Abi Daud (Bairut: Dar Ibn Hazm, 1998), p.
526
33
Rahman, Muhammad., p. 26.
34
Ibid., p. 27

18
3. Sistem Administrasi Negara
Barkaitan dengan masalah Administrasi Negara, pada masa pemerintahan Nabi
Tidak ada staf admnistratif khusus yang membantu pekerjaannya serta tidak ada
kantor yang monumental untuknya. Nabi menangani pelbagai urusan negara dari
masjid atau rumahnya. Tidak ada pula departemen-departemen yang memisahkan
antara kelompok eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Seluruh tata administrasi diselenggarakan secara efisien dan efektif serta tidak
ditunda-tunda. Instruksi diberikan kepada para gubernur, petugas pengumpul
zakat, administrator, pemimpin angkatan meliter, para pemimpin agama (imam),
para duta atau wakil utusan, dan para pekerja lainnya dilingkungan
pemerintahannya.35
Nabi mengangkat dan berkorespondensi dengan para gubernur propinsi serta
pengumpul zakat, memeriksa laporan penerimaan zakat dan jizyah mengawasi
serta mendistribusikan dana zakat dan jizyah secara tepat kepada yang berhak
menerimanya, mendistribusikan dana keberbagai suku Muslim, dan
mengorganisasikan serta mengutus pasukan ke berbagai penjuru negeri. Nabi juga
mempersiapkan berbagai ekspedisi militer, mengadili kasus-kasus kriminal dan
pelanggaran sipil, mengambil langkah-langkah untuk menghentikan
pemberontakan dan tindakan subversif yang dilakukan oleh berbagai suku di
wilayah Arab.36Di samping, itu Nabi Muhammad juga menyusun rencana
strategis untuk menerima utusan suku-suku dan duta asing.
Pendapatan Negara
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, terdapat lima sumber
pendapatan Negara, yaitu:37
1. Ghanimah, adalah harta rampasan yang diperoleh setelah pasukan bertempur.
Ghanimah, empat perlimanya dibagikan kepada para bala tentara. Negara hanya
dapat jatah seperlimanya (khums) yang kemudian oleh Nabi didistribusikan
kepada orang-orang yang berhak menerimanaya. 38
2. Fai, adalah harta rampasan yang diperoleh tanpa melalui perang. Harta fai
menjadi sumber pendapatan negara yang kadang-kadang saja. Harta fai oleh Nabi

35
M. Fethullah Gulen, Versi Terdalam Kehidupan Rasul Muhammad Saw, cet. ke- 1(Jakart:
RajaGrafindo persada, , 2002), p. 275.
36
Ibid., p. 276.
37
Rahman, Muhammad., p. 33
38
QS. Al-Anfal {8}: 41.

19
dibagikan untuk Allah, rasulullah, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang- orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.39
3. Zakat, untuk zakat didistribusikan untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan.40
4. Jizyah, adalah pajak keamanan dari wilayah-wilayah non- Muslim dewasa yang
mengikat perlindungan dengan pemerintahan nabi. Akan tetapi mereka yang
menggabungkan diri untuk menjadi tentara dibebaskan dari bebab pajak ini.
5. Kharaj, Pajak tanah yang ditarik dari petani non-Muslim sebagai kompensasi
bagi pemberian hak kepemilikan tanah kepada mereka (semacam pajak bumi).
Besaran pajak yang diberikan kepada negara sebesar lima puluh persen, biasanya
diperoleh dalam bentuk barang. Penghasilan kharaj dan jizyah dibelanjakan untuk
menggaji tentara dan digunakan untuk berbagai keperluan perang.41
Nabi mengatur urusan perekonomian masyarakat Madinah demikian adilnya.
Berbeda dengan sebelum Nabi tiba di Madinah, pasar Madinah ketika itu
dimonopoli oleh sistem kapitalisnya Yahudi, di mana arus keluar masuk pasar
dikandalikan secara strategis oleh mereka. Nabi Muhammad kemudian
membangun pasar Muslim melalui tangan Abdurrahman bin „Auf, seorang
sahabat saudagar kaya yang menjadi salah satu pilar ekonomi kaum Muslim. Nabi
juga melakukan pengawasan (hisbah) pada pasar dengan menunjuk penanggung
jawab urusan tersebut kepada sahabat Said bin Said Ibnul „Ash. 42
Nabi juga menerapkan harta ghanimah (rampasan perang) sebagai kekuatan
pendukung perekonomian pemerintahan dan perekomoinan masyarakat, demikian
halnya dengan jizyah (upeti dari wilayah-wilayah yang mengikat perlindungan
dengan pemerintahan nabi). Secara keseluruhan harta-harta tersebut
diklasifikasikan dalam Baitul Mal secara terpisah. Seperti yang disebutkan oleh
Sa‟id Hawa dalam Ar-Rasulullah Muhammad Saw, bahwa pemerintahan Islam
memiliki pusat keuangan negara yang disimpan di Baitul Mal. Baitul Mal dibagi
kedalam empat klasifikasi;
1. Baitul Mal khusus menyimpan harta zakat,
2. Baitul Mal khusus sebagai hasil dari pemungutan jizyah dan kharaj,
3. Baitul Mal yang khusus menyimpan harta ghanîmah dan rikaz
39
QS Al-Hasyr (59): 7.
40
Qs. At-Taubah (9): 60.
41
Rahman, Muhammad., p. 33
42
Hawwa, Ar-Rasul., p. 270.

20
4. Baitul Mal yang khusus menyimpan barang-barang yang tidak diketahui
kepemilikannya.43
Satu hal yang belum pernah terjadi pada peradaban-peradaban lainnya adalah
Nabi mengubah sistem perekonomian dikala itu yang sarat praktik ribawi dengan
segala bentuknya kemudian dihilangkan dan diganti dengan sistem Islam.
Perdagangan dan jual beli tidak lagi monopoli si kaya atas si miskin. Pinjam
meminjam, musyărakah atau mudhărabah juga ditetapkan berdasarkan prinsip-
prinsip yang adil lagi penuh maslahat serta menghilangkan kemudharatan.
Penghapusan sistem pajak sebagaimana terjadi di negara-negara besar ketika itu
(Romawi dan Persia) dengan sistem zakat, dan lain-lain.44
4. Negara Madinah Sebagai Prototype Negara Modern
Terlepas dari ada atau tidak adanya perintah kepada Nabi untuk menjadi Kepala
Negara, tidak dapat dipungkiri bahwa secara empirik, Nabi adalah kepala Negara
yang bercorakkan demokrasi tapi republik (teokrasi). Negara Madinah dapat
dikatakan sebagai negara dalam pengertian yang sesungguhnya, karena telah
memenuhi syarat-syarat pokok pendirian suatu negara. Unsur Negara menurut
Wirjono Prodjodikoro ialah adanya wilayah, rakyat, pemerintah dan Undang-
Undang Dasar/konstitusi (berdaulat).45 maka semua unsur itu telah terdapat dalam
negara yang dipimpin oleh Nabi. Kalau di Mekkah Nabi memimpin kelompoknya,
maka setelah di Madinah Nabi memimpin semua kelompok.
Proses pengangkatan Nabi sebagai pimpinan (Kepala Negara)
Berdasarkan kesepakatan yang disebut dalam perjanjian (bai‟at „Aqabah)
dengan para wakil kelompok-kelompok sosial (suku-suku), bukan berdasarkan
wahyu. Dalam ilmu politik, proses ini disebut “kontrak sosial”.46 Kontrak sosial
adalah suatu teori yang mengajarkan bahwa kekuasaan politik diperoleh melalui
perjanjian masyarakat.47 Artinya, kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan
legitimasinya diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain bahwa
dalam perjanjian masyarakat itu terjadi penyerahan kekuasaan oleh anggota
masyarakat pada seseorang atau lembaga. Bai‟at „Aqabah yang berupa

43
Ibid., p. 389

44
Gulen, Versi., p. 297.
45
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik (Bandung: Eresco, 1981), p. 13. Lihat
juga Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. Ke-11 (Jakarta: Gramedia, 1988), p. 41.
46
Ubaidillah, et. All., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani
(Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), p. 75. Lihat juga J. Suyuti Pulungan, Prinsip., p. 73.
47
Ibid.

21
perjanjian/kesepakatan hingga melahirkan Piagam Madinah sebagaimana telah
disebut sebelumnya, dapat diidentifikasi sebagai praktik kontrak sosial. Karena
dalam peristiwa-peristiwa itulah Nabi memperoleh kekuasaan politik dan
keabsahan untuk mengatur dan mempimpin masyarakat dalam “skup”
pemerintahan Negara Madinah.
Bila Madinah yang dipimpin oleh Nabi dikatakan sebuah “Negara”,
sebagaimana maksud negara yang dimulai dengan negara kota seperti yang
diprakarsai Yunani, maka tanpak jelas bahwa wilayahnya adalah Madinah dan
sekitarnya. Ia didukung oleh warga Madinah yang terdiri atas berbagai kelompok.
Landasan ideal pengangkatan Nabi sebagai Kepala Negara adalah kontrak sosial
(Perjanjian „Aqabah), dan landasan formilnya/konstitusinya adalah “Piagam
Madinah”. Pemerintahannya berdulat, ditandai dengan dukungan warga
mayoritas. Visinya jelas, mengatur segala persoalan untuk mencapai maslahat
bersama, terutama meredakan konflik yang berkepanjangan selama Nabi belum
hijrah ke Madinah. Selain itu, Kalau dianalogikan dengan konteks politik
sekarang, tadinya Nabi merupakan pemimpin partai, selanjutnya menjadi
pemimpin bangsa. Ajaran Islam memungkinkan ia menjadi Kepala Negara,
karena agama yang dibawanya memerintahkannya sebagai rahmat li al „alamīn,
menciptakan suasana damai dan saling menyayangi, jauh dari konflik.
Nabi Muhammad tak hanya dikenal sebagai pemimpin umat Islam, tapi ia juga
dikenal sebagai seorang negarawan teragung, hakim teradil, pedagang terjujur,
pemimpin militer terhebat, dan pejuang kemanusiaan tergigih. Muhammad
terbukti telah mampu memimpin sebuah bangsa yang awalnya terbelakang dan
terpecah belah, menjadi bangsa yang maju, yang bahkan sanggup menggalahkan
bangsa-bangsa lain di dunia pada masa itu. Posisi Nabi sebagai pemimpin
tertinggi kemudian diakui oleh seluruh wilayah kekuasaan dan rival yang ada.
Dapat dipastikan, kerajaan- kerajaan besar dan kecil di sekitar (di luar)
pemerintahan Nabi seluruhnya mengakui eksistensi kepemimpinan tersebut.
Terlebih lagi pasca penaklukkan kota Mekkah terjadi, negara super power
Romawi dan Persia bahkan terkejut. Pasca keberhasilan perang Mu‟tah
misalnya, sejumlah kabilah-kabilah yang bersekutu dengan Romawi seperti
Dumah, Tabuk, Ailah, Taima‟ Jarba‟ Adruj‟ dan lain-lain melepaskan diri dan
bergabung bersama kaum Muslim. Bahkan sejak perang Tabuk terjadi, perbatasan
Islam langsung berhadap-hadapan dengan perbatasan kekuasaan Romawi.
Bila melihat proses pengangakatan Nabi menjadi kepala yang melalui proses
“kontrak sosial” yaitu diangkat/baiat oleh perwakilan masyarakat, suku/kabilah
Madinah dalam peristiwa perjanjian/bai‟at „aqabah, serta menilik sistem
ketatanegaraan, administrasi negara dan politik internasionalnya, terlihat bahwa
bentuk Madinah yang pimpin oleh Nabi merupakan sebuah negara. Namun
demikian, Nabi Muhammad tetaplah hanya seorang Nabi, karena negara bukanlah
tujuan kenabiannya. Bahwa segala aktifitas Nabi dalam struktur pemerintahan
telah terlaksana, itu tetap tercakup ke dalam fungsi kenabiannya. Institusi

22
daulah/imamah tidak berada di luar fungsi kenabian dan tidak pula merupakan
rukun iman.48Iman bukan negara, dan negara hanyalah sebagai akibat yang perlu
dari iman bukan sebaliknya.49 Nabi Muhammad harus dipatuhi bukan karena dia
seorang Kepala Negara, tetapi karena ia adalah Rasul Allah. 50 Berbeda halnya
dengan seorang presiden/raja kepatuhan rakyat kepadanya karena ia adalah
seorang presiden/raja.
Konsep ketatanegaraan yang dijalankan Nabi bukanlah suatu kewajiban iman
bagi umatnya. Karena itulah, detail-detail penataan, menegakkan
daulah/kekhalifahan/negara tidak mempunyai dasar konstitusional dari al-Quran.
Bentuk Negara merupakan suatu hal yang dinamis dan progresif di dalam sifat
dan kondisinya Hal ini terbukti bagaimana sistem pemerintahan/negara pada masa
setelah Nabi. Setelah Nabi wafat, Nabi tidak mewasiatkn sistem pemerintahan
seperti apa yang akan dilanjutkan oleh penerusnya.
Setelah Nabi wafat, sistem pemerintahan memang tetap melanjutkan kebijakan
Nabi. Sedangkan apa yang belum diatur/ada pada masa Nabi, para khilafah
melakukan ijtihad (semacam ijtihad Umar). Yang membedakan Sistem
pemerintahan Nabi dengan penerusnya terletak pada proses pengangkatan kepala
negara/pemerintahan, dimana pada masa al-Khulafã al-Rãsyidŭn mereka dipilih
langsung oleh para sahabat melalui mikanisme demokratis. Siapa yang terpilih,
maka sahabat yang lain berhak untuk memberkan bai‟at (sumpah setia) pada calon
yang terpilih tersebut.51 Masa Khalifah Abu Bakar, ia dipilih melalui
perwakilan/delegasi dari para qabilah/suku (sahabat Anshar dan Muhajirin).
Peristiwa pengangkatan Abu Bakar ini dikenal dengan nama “Bai‟at Saqiyah”.
Pengangkatan Umar Ibn Khattab melalui penunjukkan yang dilakukan oleh Abu
Bakar sebelum ia meninggal. 52 Pengankatan Usman bin Affan, dilakukan lebih
sempurna lagi, yaitu dipilih melalui musyawarah tim formatur yang dibentuk oleh
Umar sebelum wafatnya. 53 Sedangkan dalam pengangkatan Ali bin Abi Thalib
melalui kontrak sosial.54

48
Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyyah., terj. Anas Wahyuddin, Pemikiran
Politik Ibnu Taymiyyah (Bandung : Pustaka, cet. 2, 2001), p. 99.

49
Ibid
50
Ibid, p. 102-103.
51
Karim, Sejarah., p. 77.
52
Ibid., p. 84
53
Ibid., p. 90.
54
“Peralihan Kekuasaan dalam Khulafaur Rasyidin
“http://pustakakhusus.blogspot.com/2008/06/peralihan-kekuasaan-dalamkhulafaur.

23
Pengangkatan Abu Bakar dan Usman jika dikontekskan dengan sistem negara
modern saat ini laiknya perwakilan masyarakat kelompok Ahlu Al-Aqd Wa Al-
Ahl (DPR-nya), Hal ini sama dengan proses pemilihan presiden yang dipilih oleh
DPR sebagai wakil rakyat. Sedangkan mekanisme pengangkatan Umar dapat
disamakan dengan sistem monarki/kerajaan) langsug ditunjuk oleh penguasa
sebelumnya. Dan berkaiatan dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib ia ditunjuk
berdasarkan kontrak sosial meski akhirnya menimbulkan pihak-pihak yang
beroposisi dengannya.
Setelah masa al-Khulafã al-Rãsyidŭn barakhir, sistem pemerintahan tidak lagi
berbentuk ke khalifahan, tetapi lebih pada sistem kerajaan (munarki absolut)
dan/atau sistem dinasti (Dinasti Abbasyiayah dan umayah) dimana pemimpinnya
dipilih berdasarkan warisn secara turun temurun. Misalnya, khalifah Mu'awiyah
bin Abi Sufyan dari dinasti Umaiyah mengangkat putranya Jazid sebagai khalifah.
Begitu seterusnya.
Dari Pemikiran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk negara boleh apa
saja (dinamis), asalkan bisa merealisasikan tujuan-tujuan sebuah negara, yaitu
kemaslahatan umat manusia, menciptakan keadilan dan menegakkan syari‟at
Allah. Umat Islam tidak harus mempunyai hanya seorang pemimpin/khalifah,
tetapi dibolehkan adanya beberapa khalifah (pemimpin) dan beberapa negara yang
menjadi daerah kekuasaan masing-masing penguasa tersebut. Terpecah-pecahnya
dunia Islam secara geografi adalah sebuah kenyataan bahwa setiap bagian telah
menjadi sebuah entitas politik yang berdiri sendiri. Teori klasik mengenai
kekhalifahan yang universal tidak dapat menerima dan menghilangkan kenyataan
ini. Persatuan umat Islam hanya dapat diwujudkan melalui kerjasama antara
entitas-entitas politik baik regional maupun internasional. Jadi tidaklah penting
untuk mendesak dunia Islam dalam satu kesatuan politik

24
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Nabi Muhammad telah memberikan teladan begitu sempurna. Semua aspek


telah ia tegakkan, prinsip dan aturan-aturan yang disertai batasan-batasannya.
Dalam perspektif politik Nabi Muhammad adalah seorang penguasa dan Kepala
Negara yang berdaulat. Dan bentuk negara tersebut merupakan prototype dari
bentuk ketatanegaraan yang bersifat demokratis. pada masa periode Madinah
Rasulullah semakin membuat Islam kuat dengan para sahabat maka dimulailah
titik untuk lebih memperluas penyebaran Islam. sejarah pemikiran dan peradaban
dalam bidang ini sangat berpegang teguh dengan sumber ajaran Al-Qur'an dan
Hadist, yang mana dari situ Islam datang membawa sistem sosial dan bilateral
dalam kurun waktu 23 tahun selama Rasulullah diutus sampai akhir hayatnya.
Dalam kajian politik Islam sendiri, belum ditemukan sistem
ketatanegaraan/pemerintahan masa siapa yang akan dijadikan sebagai representasi
ketatanegaraan Islam. Tidak ada sistem yang baku yang harus dipegangi dalam
bernegara dan/atau memilihkepala negara. Sistem yang diterapkan Abu Bakar,
berbeda dengan masa Umar, dan seterusnya. Apalagi sistem pemilihan masa bani
Umayah dan Bani Abbasiyah. Dengan kata lain, sistem pemilihan kepala negara
dalam Islam mengalami perubahan mengikuti perkembangan situasi sosiohistoris
yang mengitarinya.
Sistem/bentuk pemerintahan demokratis konstitusional yang berlandaskan
nilai-nilai syari‟at dan berlandaskan keinginan rakyat serta memberikan rakyat
ruang untuk berpartisipasi dalam politikjuga bisa merealisasikan nilai-nilai
keadilan justru lebih relevan dan sejalan dengan asas demokrasi yang sedang
populer saat ini. Bahkan bisa menjadi acuan para negarawan untuk membangun
sebuah tatanan pemerintahan. Dengan adanya konsepsi di atas inilah, dapat
dirumuskan bahwa praktik kenegaraan bukan atas dasar nas formal (tekstual),
akan tetapi berdasarkan kemaslahatan yang dapat dirasakan oleh orang banyak.
Dengan demikian, dasar maslahat mempunyai peranan di dalam masalah
kenegaraan tersebut.

B. SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung
jawabkan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. Ke-11, Jakarta: Gramedia, , 1988.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1998.

Dr. H. Syamrudin Nasution, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, Pekanbaru-Riau, Yayasan


Pusaka Riau,2013,h. 28-60

Gulen, M. Fethullah, Versi Terdalam Kehidupan Rasulullah MuhammadSaw., cet. Ke-1,


Jakarta: RajaGrafindo persada, 2002.

Hawwa, Said, Ar-Rasulullah Muhammad SAW, terj. Khatur Suhardi, cet. Ke-4, Solo:
Pustaka Mantiq, 1993.

Al-khotob, Imam Taufik, Kepemimpinan Muhammad, makalah dipresantasikan dalam


diskusi Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) Pamekasan wilayah
Yogyakarta, 13 Februari 2011.

M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. Ke-II, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2009.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press,1984.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco, 1981.

Q. Zaman,SHI.,M.SI,Zaman:NEGARA MADINAH,Jurnal Agama dan Hak Azazi


Manusia,2012

Rahman, Afzalur, Muhammad : Encyclopaedia of Seerah, terj. Taufik Rahman, cet. ke-1,
Bandung: Pelangi Mizan, , 2009.

Sjazali, Munawir, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1992.

As-Sijistany, Abi Dawud Sulaiman bin Asy’ab, Sunan Abi Daud, Bairut: Dar Ibn Hazm,
1998.

Ubaidillah, et. all., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat


Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.

Zuhri, M., Potret Keteladanan Kiprah Pilitik Muhammad Rasulullah, cet. 1, Yogyakarta:
LESFI, , 2004.

26

Anda mungkin juga menyukai