Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

DISUSUN OLEH:

1. NABILA AJENG PERMATA PUTRI C1021025


2. WIWIN ARIANI C1021041
3. SUSI SUSANTI C1021042
4. CECYLIA DWIE AMELIA C1021053
5. DINI FITRIAENI C1021010
6. DESTIA AZEFA IRVA C1021009
7. MOH. AKHDAN FALAH C1021022

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI

2022
KATA PENGATAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
NYA sehingga Karya Tulis Ilmiah dengan judul " Asuhan Keperawatan pada
klien Benigna Prostate Hyperlasia (BPH) .
Dalam penyusunan proposal karya tulis ilmiah ini penulis banyak
mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak S1 Ilmu Keperawatan
Universitas Bhamada Slawi Dwi Budi Prastiani, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom. Deni
Irawan, M.Kep selaku pembimbing utama yang telah banyak memberi
pengarahan, motivasi dan masukan dalam penyusunan proposal ini. Beserta
seluruh civitas akademik program studi S1 Ilmu Keperawatan. Ungkapan
terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tuaku yang selalu memberi
do'a, dukungan dan semangat tiada henti dan selalu memberi dukungan baik
moral maupun material dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
Serta teman-teman S1 Ilmu Keperawatan yang aku sayangi sudah menjadi
teman yang luar biasa selama tiga tahun ini yang selalu membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung memberikan saran dan dorongan sehingga
terselesaikannya Makalah ini. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya dan
semua pihak yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan bantuan
menyelesaikan Makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
proposal karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, mengingat
keterbatasan kemampuan penulis, namun peneliti berusaha semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan, maka dengan segala kerendahan hati penulis
mengharap saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan proposal
karya tulis ilmiah ini, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
profesi keperawatan Aamiin.

Slawi, September 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR........................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan...................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI.........................................................................................................6
2.1 Pengertian BPH (Benigna Prostate Hyperplasia)................................................6
2.2 Etiologi BPH...........................................................................................................6
2.3 Tanda dan gejala....................................................................................................7
2.4 Patofisiologi & Pathways.......................................................................................8
2.5 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................10
2.6 Komplikasi............................................................................................................11
2.7 Penatalaksanaan ( Medis & Keperawatan ).......................................................12
BAB III...........................................................................................................................14
ASUHAN KEPERAWATAN........................................................................................14
3.1 Pengkajian............................................................................................................14
3.2 Prioritas DX. Keperawatan.................................................................................17
3.3 Intervensi Keperawatan.......................................................................................18
BAB IV............................................................................................................................24
JURNAL ILMIAH.........................................................................................................24
4.1 Judul......................................................................................................................24
4.2 Tujuan Penelitian.................................................................................................24
4.3 Metode...................................................................................................................24
4.4 Hasil dan Pembahasan.........................................................................................25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BPH sampai sekarang masih menjadi penyakit sistem perkemihan urutan


kedua di Indonesa setelah ISK. Penyakit BPH ini merupakan penyakit yang
menyebabkan penekanan pada uretra menembus prostat sehingga berkemih
menjadi sulit, mengurangi kekuatan aliran urine, atau menyebabkan urine
menetes (Corwin, 2009). Pada pasien BPH sering muncul keluhan nyeri,
pengeluaran urine tidak lancar, dan pembesaran prostat menunjukkan tanda
gejala BPH yang sering di keluhkan pasien. Gangguan-gangguan sistem lain
seperti saluran kemih yang terinfeksi karena kuman patogen berkembang
dalam kandung kemih disebabkan kembalinya urine dari kandung kemih ke
ginjal, hal tersebut terjadi karena pembengkakan kelenjar prostat atau BPH.
Ketidakmampuan melakukan pencegahan terjadinya pembesaran prostat
ketidakmampuan mengenal tanda gejala BPH mengakibatkan keparahan yang
mungkin terjadi (Barbara, 2010). Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah
cedera akut penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat
dengan ukuran intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan
berlangsung untuk waktu singkat (Smletzer, 2009).
Jumlah kematian pasien BPH disebagian besar negara maju pada tahun
1980-an adalah 0,5 sampai 1.5/100.000, kematian akibat BPH jarang di
Amerika Serikat. Insidensi BPH di Amerika diperkirakan sekitar 34,4 / 1000
jiwa pertahun. Di seluruh dunia, sekitar 30 juta pria memiliki gejala yang
berhubungan dengan BPH (Deters, 2013). Angka kejadian BPH di Indonesia
yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran di dua rumah sakit
besar di Jakarta dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040
kasus (Rahardjo, 2011).

3
Penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui secara pasti,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan dihidrosteron (DHT) dan proses aging (penuaan) (Purnomo,
2011). Pembesaran prostate menyebabkan rangsangan pada kandung kemih
atau vesika, sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Adanya
pengangkatan jaringan prostate lewat uretra menggunakan resektroskop
(TUR-P) akan menyebabkan respon nyeri saat buang air kecil dan dapat
menyebabkan komplikasi yang lebih parah seperti gagal ginjal akibat
terjadinya aliran balikke ginjal. Selain itu dapat juga menyebabkan radang
perut akibat terjadinya infeksi pada kandung kemih (Andre,Tereence &
Eugene, 2011).
Metode dan teknik yang dilakukan perawat dalam upaya untuk mengatasi
nyeri antara lain dengan mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri,
memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan tehnik distraksi, tehnik
relaksasi menganjurkan klien untuk nafas dalam dan mengisi paru-paru
dengan udara, menghembuskan secara perlahan, melemaskan otot-otot tangan,
kaki, perut dan punggung, serta mengulang hal yang sama sambil terus
berkonsentrasi hingga didapat rasa nyaman, tenang, dan rileks (Hidayat,
2012). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menangani BPH adalah
dengan melakukan tindakan operasi terbuka atau dapat disebut dengan open
prostatectomi, tindakan yang dilakukan adalah dengan cara memberikan
sayatan pada bagian perut yang bawah sampai prostat tanpa membuka
kandung kemih selanjutnya akan dilakukan pengangkatan jaringan prostat
lewat uretra dengan menggunakan resektroskop yang terjadi pembesaran
(Sjamsu Hidajat, 2010).

1.2 Tujuan Penulisan


1.1.1 Tujuan Umum
Mendapatkan pengalaman nyata tentang pemberian asuhan keperawatan
pada pasien dengan Post-Op TURP BPH dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan secara komprehensif.

4
1.1.2 Tujuan khusus
Ada beberapa tujuan khusus diantaranya:
1. Melaksanakan proses keperawatan pada pasien dengan diagnosis
Post- Op TURP BPH.
2. Membahas kesenjangan antara teori dan praktik asuhan
keperawatan pada pasien dengan diagnosis Post-Op TURP BPH.
3. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam
melaksanakan proses keperawatan pada pasien dengan diagnosis Post-
Op TURP BPH.
4. Melaksanakan pemecahan masalah pada pasien dengan diagnosis
Post- Op TURP BPH.

5
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian BPH (Benigna Prostate Hyperplasia)


Hiperplasia prostat jinak atau BPH (benign prostatic hyperplasia)
merupakan sebuah diagnosis histologik yang merujuk kepada proliferasi
jaringan epitel dan otot halus di dalam zona transisi prostatika.1 BPH kerap
menyebabkan disfungsi pada saluran kemih bagian bawah pria dan paling
sering ditemukan pada pria lanjut usia. Sekitar 18 – 25% laki-laki dengan usia
diatas 40 tahun dan lebih dari 90% laki-laki dengan usia di atas 80 tahun
mengalami BPH.2

BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari
pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana elin, 2011). BPH
adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker (Corwin, 2009). BPH adalah
penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Price&Wilson, 2005).

BPH adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia


kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya
dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah
hyperplasia (Sabiston, David C,2005).

2.2 Etiologi BPH


Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan (Purnomo, 2007). Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron

6
3. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
4. Interaksi stroma – epitel
5. Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
6. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
7. Teori sel stem
Menerangkan bahwa terjadinya poliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan (Basuki B Purnomo,2008).

2.3 Tanda dan gejala


Gejala awal BPH termasuk kesulitan dalam mulai buang air kecil dan
perasaan buang air kecil yang tidak lengkap. Saat kelenjar prostat tumbuh
lebih besar, ia menekan uretra dan mempersempitnya. Ini menghalangi
aliran urin. Kandung kemih mulai mendorong lebih keras untuk
mengeluarkan air seni, yang menyebabkan otot kandung kemih menjadi
lebih besar dan lebih sensitif. Ini membuat kandung kemih tidak pernah
benar-benar kosong, dan menyebabkan perasaan perlu sering buang air
kecil. Gejala lain termasuk aliran urin yang lemah.

Obstruki prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih


maupun keluhan di luar saluran kemih (Arora P. Et al,2006).

1. Gejala iritatif meliputi :


a. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
b. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
c. Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran urin melemah

7
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin
dan inkontinensia karena penumpukan berlebih
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia
(akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal
3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi
menjadi :
a. Derajat I : Penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih,
kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada
malam hari
b. Derajat II : Adanya retensi urin maka timbulah infeksi.
Penderita akan mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria)
dan kencing malam bertambah hebat
c. Dejarat III : Timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap
ini maka bisa timbul aliran reflek ke atas, timbul infeksi
ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan
pielonfritis, heronefrosi.

8
2.4 Patofisiologi & Pathways
1. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus
(Purnomo, 2012).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau
tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka
jalan keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial,
Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi
terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasia insisi
transuretral melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar
jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat untuk memperbesar lumen
uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi kelenjar prostat
(Price & Wilson, 2012). Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen
stroma terhadap kelenjar.
Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1,
sedangkan pada BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini
menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat

9
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang
menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang
merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat
(Purnomo, 2012).

2. pathways

Usia Lanjut

Produksi hormon estrogen & testosterone tidak


seimbang

Testosterone Kadar
estrogen
Hyperplasia sel stoma
Mempengaruhi RNA dalam inti sel
pada jaringan

Proliferasi sel-sel prostat BPH

Operasi/pembedahan Resiko impotensi

Resiko Infeksi Insisi prostatektomi


Perubahan
disfungsi
Terputusnya kontinuitas jaringan seksual
Resiko perdarahan

Pelepasan mediator
kimiawi nyeri

Nyeri akut

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi:

10
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus
sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam
rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinealisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisis ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
blood cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau
hematuria (Prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep peritoneal lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen
dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5. Ureum, elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA (Patologi anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan
menjadi landassn untuk treatment selanjutnya.

2.6 Komplikasi
Komplikasi umum pada BPH meliputi :

a. Retensi urin akut merupakan ketidakmampuan mendadak untuk buang air


kecil. Kandung kemih menjadi bengkak dan nyeri. Ini adalah keadaan
darurat yang memerlukan perhatian medis segera.
b. Infeksi saluran kemih

11
Urin sisa yang disebabkan oleh BPH dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih rekuren.
c. Batu kandung kemih
BPH dapat meningkatkan risiko pembentukan batu kandung kemih.
d. Gangguan fungsi kandung kemih
BPH dapat menyebabkan obstruksi saluran kandung kemih. Bila kandung
kemih harus bekerja lebih keras untuk mendorong urin keluar dalam
jangka waktu yang lama, maka dinding otot kandung kemih membentang
dan melemahkan sehingga tidak lagi berkontraksi dengan benar.
e. Gangguan fungsi ginjal
BPH berat dapat menyebabkan air seni kembali ke dalam dan merusak
ginjal.

2.7 Penatalaksanaan ( Medis & Keperawatan )


Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-
buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non
selektif yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi
dan mengurangi keluhan miksi.

Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang-


kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja
(Purnomo, 2012). Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada
derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien
yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari tanpa terapi
(watchful waiting), medikamentosa.

1. Tanpa terapi (watchful waiting)


Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS <8
dan ≥8, tetapi gejala LUTS tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien
tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai
sesuau hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya tidak

12
boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol sebelum tidur malam, kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau
cokelat), dan hindari penggunaan obat dekongestan atau antihistamin
(McVary & Roehrborn, 2010; Purnomo, 2012)
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor
yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu
urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk daripada
sebelumnya, mungkin dipikirkan untuk memilih terapi yang lain
(Purnomo, 2012).
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik-α
(adrenergic α-blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron melalui penghambat 5α-reduktase. Selain
kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan fitofarmaka
yang mekanisme kerjanya masih belum jelas (Purnomo,2012).

13
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Menurut Hidayat (2012), pengkajian adalah langkah awal dari
tahapanproses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus
memperhatikan data dasar dari pasien, untuk informasi yang diharapkan
dari pasien. Pengkajian pada seluruh tingkat analisis (individu, keluarga,
komunitas) terdiri atas data objektif dari pemeriksaan diagnostic dan
sumber lain. Pengkajian individu terdiri atas riwayat kesehatan (data
subyektif) dan pemeriksaan fisik (data objektif). Terdapat dua jenis
pengkajian yang dilakukan untuk menghasilkan diagnose keperawatan
yang akurat, komprehensif dan focus. Pengkajian komprehensif
mencangkup seluruh aspek kerangka pengkajian keperawatan seperti 11
pola kesehatan fungsional Gordon.

Hidayat (2009) bahwa pengkajian pada masalah pemenuhan kebutuhan


nyeri adalah sebagai berikut:

a. Identitas
Data yang dikumpulkan perawat klien dengan kemungkinan BPH
meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam
masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua,
pekerjaan, agama, dan suku bangsa.
b. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama yang dirasakan pasien biasanya nyeri saat miksi,
pasien juga sering BAK berulang ulang (anyang-anyangan). Data
fokus yang dapat diambil dari riwayat penyakit sekarang adalah
pengkajian nyeri yang meliputi (PQRST).
P (Paliatif Provocatif = yang menyebabkan timbulnya masalah) :
Pada pasien post operasi TUR-P biasanya nyeri dirasakan karena bekas

14
operasi. Q (Quality dan Quantity = kualitas dan kuantitas nyeri yang
dirasakan) : Nyeri yang dirasakan terus-menerus, nyeri yang dirasakan
pasien seperti diremas-remas ataupun rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk.
R (Region = lokasi nyeri) : Pasien biasanya mengeuh nyeri di bawah
kandung kemih.
S (Saverity = keparahan) : Skala penilaian numerik (Numerical
rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Penilaian skala nyeri dapat dikelompokkan
menjadi :

1. Skala nyeri 0: Tidak ada rasa sakit (nyeri), merasa normal.

2. Skala nyeri 1-3 (nyeri ringan): Masih bisa ditahan, tidak


mengganggu aktivitas.

3. Skala nyeri 4-6 (nyeri sedang): Mengganggu aktivitas fisik.

4. Skala nyeri 7-10 (nyeri berat): Tidak dapat melakukan aktivitas


secara mandiri.

Untuk penilaian skala nyeri pada pasien BPH, tergantung pada


kondisi pasien saat kita mengkaji. Jadi pada setiap pasien tidak bisa
sama, namun yang biasa muncul adalah rentang skala nyeri 1-6.

T (Timing = waktu) : Kapan pasien merasakan nyeri dan seberapa


sering gejala itu muncul. Biasanya nyeri pada pasien BPH dapat hilang
timbul dalam waktu yang lama. Misalkan paien merasakan nyeri selama
1-2 menit, kemudian rasa nyeri itu hilang. Sering terasa nyeri saat
digunakan beraktivitas.

c. Riwayat penyakit dahulu


Tentang pengalaman penyakit sebelumnya pada pasien post operasi
TUR-P, apakah ada penyakit yang dapat berpengaruh pada penyakit
yang di derita pasien sekarang, yang juga dapat mempengaruhi

15
kelancaran pengobatan, serta apakah pernah mengalami pembedahan
sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti
hipertensi, diabetes militus, gangguan jiwa dan penyakit menular
seperti hepatitis dan TBC. Tidak terdapat keluarga yang menderita
penyakit seperti pasien. Dan tidak terdapat penyakit keturunan.
e. Pola fungsi kesehatan
1) Pola hidup dan tatalaksana hidup sehat

Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan,


alkohol dan kebiasaan olahraga (lama frekuensinya),
bagaimana status ekonomi keluarga, kebiasaan merokok dalam
mempengaruhi penyembuhan luka. Biasanya penderita BPH
mempunyai gaya hidup yang tidak sehat, makanan yang
kurang sehat, dan suka mengkonsumsi alkohol, dan merokok.

2) Pola tidur dan istirahat


Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat
sehingga dapat menganggu kenyamanan pola tidur klien. Klien
sering mengeluh pola tidurnya terganggu.
3) Pola aktivitas
Aktivitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak
karena rasa nyeri luka operasi, aktivitas biasanya terbatas
karena harus bedrest beberapa waktu yang cukup lama setelah
pembedahan. Pada pasien post operasi TUR-P mudah
berkeringat saat melakukan aktivitas, mengalami gangguan saat
melakukan aktivitas mandiri.
4) Pola hubungan dan peran
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak
bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam
masyarakat.Penderita mengalami emosi yang tidak stabil.

16
Namun, tidak begitu banyak mengganggu sosialisasi pasien
terhadap lingkungan dan masyarakat.
5) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, peran
serta pendengaran, kemampuan berpikir, mengingat masa lalu,
orientasi terhadap orang tua, waktu, dan tempat. Pada pasien
post operasi TUR-P fungsi indra penciuman, pendengaran,
penglihatan, perasa, peraba tidak mengalami gangguan. Pasien
merasakan nyeri. Pasien mengetahui penyakit yang dialaminya
akan segera sembuh dengan dilakukannya pengobatan medis.
6) Pola penanggulangan stress
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah
tersebut. Pada pasien post operasi TUR-P emosi masih
stabil,sabar dalam proses pengobatan.
7) Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien terhadap agamanya dan
bagaimana cara klien mendekatkan diri dengan Tuhan selama
sakit. Pasien dengan post operasi TUR-P dapat melakukan
ibadah agama yang dianutnya dengan kemampuan yang
dimilikinya.

3.2 Prioritas DX. Keperawatan


Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan
yang dialami baik aktual ataupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan
untuk mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017). Diagnosis
keperawatan merupakan suatu langkah yang dilakukan dengan mengambil
sebuah kesimpulan tentang hal yang menjadi keluhan pasien (Lingga, 2019).
Diagnosis keperawatan adalah setepat data yang ada karena ditunjang oleh
data terbaru yang dikumpulkan. Diagnosis keperawatan ini mencatat
bagaimana situasi pasien pada saat itu dan harus mencerminkan perubahan

17
yang terjadi pada kondisi pasien. Identifikasi masalah dan penentuan
diagnostik yang akurat memberikan dasar untuk memilih intervensi
keperawatan (Doengoes, 2014). Menurut (Nurarif dan Kusuma 2015),
diagnosis keperawatan yang akan dialami klien BPH:

1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal:


bekuan darah, edema.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agent injury fisik (insisi pembedahan).
3. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek
sekunder dari prosedur pembedahan.
4. Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping
pembedahan.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri akut.

3.3 Intervensi Keperawatan


a. Diagnosis pertama:
Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal:
bekuan darah, edema.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan pola berkemih klien kembali normal dan jumlah keluaran urine
normal tanpa adanya retensi urine.

Kriteria hasil:

1) Klien dan keluarga klien memahami tentang pentingnya sediaan


waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih (10 menit).
2) Klien dan keluarga klien melaporkan hasil output urine.
3) Klien mampu mendemonstrasikan ulang cara untuk menghindari
konstipasi.
4) Kandung kemih kosong secara penuh, tidak ada residu urine >100-200
cc, intake cairan dalam rentang normal, tidak ada spasme bladder,
balance cairan seimbang, bebas dari ISK.

18
Intervensi :

1) Jelaskan pada klien dan keluarga klien tentang pentingnya sediaan


waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih (10 menit).
2) Anjurkan klien dan keluarga klien untuk merekam output urine.
3) Ajarkan klien cara-cara untuk menghindari konstipasi atau impaksi
tinja.
4) Pantau asupan dan keluaran urine.
5) Pantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi.
6) Memantau penggunaan obat dengan sifat antikolinergik atau property
alpha agonis.
7) Merujuk ke spesisialis kontinensia kemih.

b. Diagnosis kedua:

Nyeri akut berhubungan dengan agent injury fisik (insisi pembedahan).

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan nyeri klien berkurang /terkontrol.

Kriteria hasil:

1) Klien dan keluarga klien memahami tentang penyebab nyeri dan cara
mengatasi bila timbul rasa nyeri.

2) Keluarga klien melaporkan bahwa nyeri yang dirasakan klien


berkurang/terkontrol.

3) Klien mampu mendemonstrasikan ulang teknik distraksi dan


relaksasi dengan benar.

4) TTV dalam batas normal= TD: Sistole= 100-120 mmHg, diastole=


60-80 mmHg S= 36,8-37,4°C, N= 60-80x/menit, RR= 18-24x/menit,
skala nyeri berkurang berdasarkan penilaian 0= tidak nyeri, 1-3=

19
nyeri ringan, 4-6= nyeri sedang, 7-9= nyeri berat, 10= nyeri sangat
berat dan klien tampak rileks serta nyaman, klien akan tidur/istirahat
dengan tenang.

Intervensi:

1) Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang penyebab nyeri yang


timbul pada klien.

2) Anjurkan penggunaan teknik distraksi dan relaksasi pada klien dan


keluarga.

3) Ajarkan teknik ditraksi dan relaksasi serta latihan nafas dalam bila
nyeri timbul.

4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antispasmodic dan


analgesik.

c. Diagnosis Ketiga:
Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek
sekunder dari prosedur pembedahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi.

Kriteria hasil:

1) Klien dan keluarga klien mampu memahami tentang proses


penularan penyakit, faktor yang memengaruhi penularan serta
penatalaksanaannya.

2) Klien dan keluarga klien melaporkan bahwa klien mau menambah


intake cairan 3) Klien menunjukkan kemampuannya untuk mencegah
timbulnya infeksi. 4) TTV dalam batas normal : TD : Sistole = 100-
120 mmHg, diastole = 6080 mmHg, S = 36,8-37,4 °C, N=

20
60-80x/menit RR = 18-24x/menit, klien dapat mencapai waktu
penyembuhan, tidak ada tanda-tanda syok dan demam.

Intervensi :

1) Jelaskan kepada klien dan keluarga klien tentang cara penularan


penyakit, faktor yang memengaruhi penularannya serta
penatalaksanaannya.

2) Anjurkan pada klien untuk intake cairan (2500-3000ml). Dapat


menurunkan potensi infeksi.

3) Ajarkan kepada klien cara-cara menghindari infeksi.

4) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan fecal.

5) Monitor hitung granulosit, WBC.

6) Observasi Urine: warna, jumlah dan bau.

7) Observasi TTV, laporkan jika ada tanda-tanda syok dan demam. 8)


Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotik.

d. Diagnosis Keempat:

Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping


pembedahan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan pada klien tidak terjadi perdarahan.

Kriteria hasil:

1) Klien memahami penyebab dari perdarahan.

2) Klien melaporkan mau melakukan diet makanan sesuai saran


tenaga medis.

21
3) Klien mengikuti instruksi untuk membatasi aktivitas setelah
pembedahan. 4) Tidak ada hematuria dan hematemesis. 5) TTV dalam
batas Normal: TD : Sistole = 100-120 mmHg, diastole = 60- 80
mmHg, S = 36,8-37,4 °C, N= 60-80x/menit RR = 18-24x/menit 6)
Hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal, plasma, PT, PTT
dalam batas normal

Intervensi:

1) Jelaskan pada klien tentang penyebab terjadi perdarahan setelah


pembedahan dan tanda-tanda perdarahan.

2) Anjurkan pada klien untuk diet makanan tinggi serat dan rutin
minum obat untuk memudahkan defekasi.

3) Instruksikan klien untuk membatasi aktivitas

4) Pantau traksi kateter : catat waktu traksi dipasang dan kapan traksi
akan dilepas.

5) Observasi TTV tiap 4 jam, observasi masukan dan haluaran serta


warna urine.

6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian produk darah


(platelet/fresh frozen plasma).

e. Diagnosis kelima:

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri akut

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan klien dapat beraktivitas.

Kriteria hasil:

1) Klien memahami tujuan dari peningkatan mobilitas.

22
2) Klien melaporkan mau melakukan mobilisasi sesuai kemampuan.

3) Klien mampu meningkatkan aktivitas fisiknya, mampu mengubah


posisi, memenuhi kebutuhan ADL sehari-hari secara mandiri.

4) Tanda vital dalam batas normal: Tekanan darah: Sistole: 100-120


mmHg, Diastole: 60-80 mmHg, nadi: 80 -100x/menit, suhu: 36,4-
37,4°C, RR: 15-24x/menit

Intervensi:

1) Jelaskan tujuan dari meningkatkan mobilitas fisik untuk proses


penyembuhan.

2) Motivasi klien untuk berlatih dalam memenuhi kebutuhan ADL


secara mandiri.

3) Dampingi dan bantu klien dalam mobilisasi dan bantu penuhi


kebutuhan ADL klien.

4) Kaji tanda vital klien setelah melakukan latihan.

23
BAB IV

JURNAL ILMIAH

4.1 Judul
Literatur Review : Pengaruh PMR (Progressive Muscle Relaxation)
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Op BPH (Benign
Prostate Hiperlansia).

4.2 Tujuan Penelitian


4.2.1 Mencari Persamaan

Mencari persamaan sebuah literature penelitian yang berhubungan


dengan Pengaruh PMR (Progressive Muscle Relaxation) Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Op BPH (Benign Prostate Hiperlansia).

4.2.2 Mencari Kelebihan.

Mencari sebuah kelebihan literature penelitian yang berhubungan


dengan Pengaruh PMR (Progressive Muscle Relaxation) Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Op BPH (Benign Prostate Hiperlansia).

4.2.3 Mencari Kekurangan.

Mencari kekurangan sebuah literature penelitian yang berhubungan


dengan asuhan keperawatan pada Pengaruh PMR (Progressive Muscle
Relaxation) Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Op BPH
(Benign Prostate Hiperlansia).

4.3 Metode
4.3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain quasy


experiment dengan rancangan one group pretest-posttest. Peneliti
menggunakan desain pra eksperimen dengan rancangan desain one
group pre-post test.

24
4.4 Hasil dan Pembahasan
Dari Hasil uji statistik, Analisa Data Univariat skala intensitas nyeri
sebelum dan setelah diberikan terapi PMR, di dapatkan hasil yaitu pasca
operasi nilai sebelum terapi PMR didapatkan hasil mean 5.30, median
5.00, standar deviasi 0.844, nilai minimum 4 dan nilai maksimum 6.
Sedangkan skala intensitas nyeri pasca operasi nilai sesudah terapi PMR
didapatkan hasil mean 3.50, median 4.00, standar deviasi 0.671, nilai
minimum 2 dan nilai maksimum 5.Sedangkan Data Perbandingan skala
intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi PMR yaitu 5.30
dengan standar deviasi 0.844. Sedangkan sesudah diberikan terapi PMR
adalah 3.50 dengan standar deviasi 0.671. Hasil uji statistik dengan
menggunakan uji wilcoxon didapatkan nilai !-value 0.000 (!-value 0.000
< .0.05), sehingga ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna rata-rata skala intensitas nyeri pasca operasi sebelum dan
sesudah diberikan terapi PMR.
Hasil penelitian yang menunjukkan nilai rata-rata intensitas nyeri
sebelum diberikan terapi PMR adalah 5.30 dengan standar deviasi 0.844
yang menunjukkan nyeri sedang, setelah diberikan terapi PMR adalah
3.60 dengan standar deviasi 0.671 yang termasuk nyeri ringan. Selisih
perbedaan mean antara skala intensitas nyeri sebelum dan sesudah adalah
0.273, Sedangkan hasil uji statistik didapatkan nilai !-value 0.000 (!-value
0.000 < .0.05), ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna
antara rata-rata skala intensitas nyeri pasca operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia) sebelum dan sesudah diberikan terapi PMR. Menurut
Prasetyo (2010), menyatakan bahwa reaksi individu terhadap nyeri
dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperi usia, jenis kelamin, lingkungan,
kecemasan, keletihan dan lainnya, dimana faktorfaktor tersebut dapat
meningkatkan atau menurunkan toleransi terhadap nyeri, dan
mempegaruhi sikap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang tidak
mengalami nyeri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton (1996) dalam
Datak (2008), dimana mekanisme yang pertama dirasakan individu di
lokasi pembedahan adalah implamasi, dan banyak substansi-substansi
yang dilepaskan, seperti substansi P, prostaglandin, leukotrin, histamine,
serotonin, dan bradikin. Pelepasan mediator inflamasi merupakan respon
perlukaan. Ketika hipotalamus diaktivasi oleh nyeri pasca bedah, maka
saraf simpatik mengeluarkan respon stress dimana akan menstimulasi
medullaadrenal, pengeluaran norephineprin meningkatkan sensitifitas atau
secara langsung mengaktifkan reseptor nyeri pada lokasi pembedahan,
sehingga akan menyebabkan peningkatan rasa nyeri post operasi.

25
Sedangkan menurut Snyder & Lindquist (2010), nyeri yang dirasakan
setiap orang bersifat subjektif, sehingga skala nyeri yang dihasilkan
responden berbeda-beda setiap orangnya.
Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Ada dua manajemen untuk
mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen
nonfarmakologi. Teknik farmakologiadalah cara yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang
berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode pereda
nyeri non farmakologis bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan,
tindakan tesebut diperlukan untuk membantu meringankan nyeri yang
berlangsung hanya beberapa detik atau menit (Black & Hawks,2014).
Relaksasi merupakan salah satu terapi perilaku-kognitif pada
intervensi nonfarmakologi yang dapat mengubah persepsi pasien tentang
nyeri, mengubah perilaku nyeri dan memberi pasien rasa pengendalian
yang lebih besar terhadap nyeri. (Potter dan Perry, 2006 dalam Datak,
2008). Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika
terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan skala nyeri setelah
dilakukan terapi relaksasi progresif. Menurut Potter & Perry (2006) dalam
Aprina, et al. (2017), bahwa relaksasi progresif meliputi kombinasi
latihan pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi
kelompok otot. Klien menarik nafas dengan perlahan menggunakan
diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan
dada mengembang penuh. Saat klien melakukan pola pernapasan yang
teratur, perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi setiap daerah yang
mengalami ketegangan otot, berfikir bagaimana rasanya, menegangkan
otot sepenuhnya, dan kemudian merelaksasikan otototot tersebut.
Kegiatan ini menciptakan sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan
stress. Secara bertahap, klien dapat merelaksasikan otot-otot tersebut. Saat
klien mencapai relaksasi penuh, maka persepsi nyeri berkurang dan rasa
cemas terhadap pengalaman nyeri menjadi minimal.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang oleh Fitria &
Ambarwati (2015), dengan judul Efektifitas Teknik Relaksasi Progresif
Terhadap Intensitas Nyeri Pasca Operasi Laparatomi di ruang Mawar II
RSUD Dr. Moewardi rata-rata nyeri sebelum diberikan intervensi adalah
5.93 atau dalam kategori nyeri sedang dan setelah diberikan intervensi
ratarata nyeri adalah 3.93 atau dalam kategori nyeri sedang. Analisis
secara statistik membuktikan bahwa perbedaan skala nyeri antara sebelum

26
dan sesudah relaksasi progresif dinyatakan signifikan (thitung = 6,481 >
tabel = 2,145 atau p = 0,000 < 0,05).
Penelitian lain yang mendukung adalah Sandi (2015) dengan judul
Perbedaan intensitas nyeri setelah dilakukan tindakan teknik distraksi dan
relaksasi pasien post sectio caesarea di Ruang Delima RSUD Dr. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2015. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian Comparative. Menggunakan
teknik Accidental Sampling dengan besar sampel berjumlah 26
responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai rata-rata intensitas
nyeri terhadap responden setelah dilakukan teknik distraksi sebesar 2.69
dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif sebesar 4.69 dengan nilai
p-value=0,0. ,05 yang menunjukan bahwa ada perbedaan intensitas nyeri
setelah melakukan teknik distraksi dan relaksasi di Ruang Delima RSUD
Dr. H. Abdul moeloek Provinsi Lampung Tahun 2015.

4.5 KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari hasil penelitian yang dilaksanakan di RS.
TK II Pelamonia Makassar pada tahun 2017 yaitu:
1. Rata-rata intensitas nyeri pada post operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia) sebelum diberikan terapi relaksasi progresif (PMR)
adalah 5.20.
2. Rata-rata intensitas nyeri pada post operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia) setelah diberikan terapi relaksasi progresif (PMR)
adalah 3.60.
3. Terdapat perbedaan rata-rata intensitas nyeri sebelum dan sesudah
terapi relaksasi progresif (PMR) pada post operasi BPH (Benigna
Prostat Hyperplasia) didapatkan Hasil uji statistik dengan
mengguanakan uji wilcoxon didapatkan nilai !value 0.000!-
value .000 <.α 0.005)

4.6 SARAN
Setelah mengetahui bahwa terapi non farmakologi relaksasi progresif
dapat menurunkan intensitas nyeri diharapkan:

27
1. Perawat RS. TK II Pelamonia Makassar untuk dapat memberikan
terapi relaksasi progresif (PMR) yang dapat diterapkan sebagai
bagian dari intervensi keperawatan dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya pada pasien yang mengalami nyeri pasca
operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) ataupun dengan
keluhan nyeri pada diagnose lainnya.
2. Perawat dapat memberikan pengarahan, membimbing, dan
menganjurkan pasien untuk dapat melaksanakan relaksasi
progresif (PMR) untuk mengatasi keluhan nyeri dan untuk pasien
sebaiknya mempelajari berbagai tehnik manajemen nyeri
khususnya relaksasi progresif (PMR) agar secara mandiri dapat
mempraktekkan sendiri ketika merasakan nyeri, sehingga nyeri
dapat teralihkan dan bisa berkurang setelah melakukan terapi
relaksasi progresif (PMR).
4.6

28
DAFTAR PUSTAKA

Astutik, Asri., Asuhan Keperawatan Klien Benigna Prostate Hyperlasia


(BPH) Post Tur-P Hari Ke 1 Dan 2 Dengan Masalah Nyeri Akut
[skripsi]. Jombang : Program Studi Doplima III Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika ; 2019
Ananta, Sultan Rudlof., Asuhan Keperawatan pada Tn.L Dengan Post-op
Turp Benign Prostatic Hyperplasia Di ruang Anggrek A RSUD
dr.H.Jusuf SK Tarakan [skripsi]. Tarakan : Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Borneo Tarakan ; 2022
A. Kapoor, “Benign prostatic hyperplasia (BPH) management in the
primary care setting,” Can. J. Urol., hlm. 8, 2012.
Aprina., Yowanda, N.I., Sunarsih, (2017). Relaksasi Progresif terhadap
Intensitas Nyeri Post Operasi BPH (BenignaProstat
Hyperplasia), Jurnal Kesehatan, Volume VIII, Nomor 2,
Agustus 2017, hlm
289-29,http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK/article/do
wnload/505/457, di akses tanggal 20 desember 2017
Black, J.M., Hawks, J.H. (2014). Medical surgical nursing; Clinical
management for positive outcomes. Singapore.Elsevier
Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak. Jurnal Kedokteran &
Farmasi Medika. 2002. No 7 http://fkui.co.id/urologi/ppj.mht
(diakses pada tanggal 15 Februari 2016)
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, ECG
Dr. Leonardo Paskah Suciadi.2010. Kesehatan Ginjal dan Saluran Kemih
Leveillee. Prostate Hyperplasia, Benign. 2016. http://www.emedicine.com.
(diakses 15 Februari 2016).
Lismidar, H., 2009. Proses Keperawatan. Jakarta, Universitas Indonesia.
Mery Digiolino, Donna Jackson, Jim Keogh. 2014. Keperawatan Medikal
Bedah.Yokyakarta: Rapha
Patrick Pevey 2009. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC.Purnomo B. 2012. Dasar-
dasar urologi. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

29
P. R, “BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA: UPDATED REVIEW,”
Int. Res. J. Pharm., vol. 4, no.8, hlm. 45–51, Sep 2013.
Schauer IG, Rowley DR. 2012. The functional role of reactive stroma in
benign prostatic hyperplasia. NIH Public Access. 82(4):
200−210.

Sherwood L. 2012. Fisiologi manusia; dari sel ke sistem. Edisi ke-6.


Jakarta: EGC.59

Singh M, Shaheen F, Singh B, Khwaja R, Gojwari T, Hussain H. 2006.


Transrectal ultrasonography of prostate-correlation with
histopatology. JK-Practitioner. 13(3): 138−139.
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. 2012.
Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De jong. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC.

Sandi, Andika. 2015. Perbedaan Intensitas Nyeri Setelah Dilakukan


Tindakan Teknik Distraksi dan Relaksasi PasienPost Sectio
Caesarea di Ruang Delima RSUD Dr. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung. Karya Ilmiah. PoltekkesTanjungkarang

Sutanti, Reynaldi Larope., hiperlasia prostat jinak : manajemen tatalaksana


dan pencegahan [skripsi]. Jakarta : fakultas kedokteran
universitas Indonesia Jakarta ; 2021

30

Anda mungkin juga menyukai