KMB 2 Baru
KMB 2 Baru
DISUSUN OLEH:
2022
KATA PENGATAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
NYA sehingga Karya Tulis Ilmiah dengan judul " Asuhan Keperawatan pada
klien Benigna Prostate Hyperlasia (BPH) .
Dalam penyusunan proposal karya tulis ilmiah ini penulis banyak
mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak S1 Ilmu Keperawatan
Universitas Bhamada Slawi Dwi Budi Prastiani, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom. Deni
Irawan, M.Kep selaku pembimbing utama yang telah banyak memberi
pengarahan, motivasi dan masukan dalam penyusunan proposal ini. Beserta
seluruh civitas akademik program studi S1 Ilmu Keperawatan. Ungkapan
terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tuaku yang selalu memberi
do'a, dukungan dan semangat tiada henti dan selalu memberi dukungan baik
moral maupun material dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
Serta teman-teman S1 Ilmu Keperawatan yang aku sayangi sudah menjadi
teman yang luar biasa selama tiga tahun ini yang selalu membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung memberikan saran dan dorongan sehingga
terselesaikannya Makalah ini. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya dan
semua pihak yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan bantuan
menyelesaikan Makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
proposal karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, mengingat
keterbatasan kemampuan penulis, namun peneliti berusaha semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan, maka dengan segala kerendahan hati penulis
mengharap saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan proposal
karya tulis ilmiah ini, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
profesi keperawatan Aamiin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR........................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan...................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI.........................................................................................................6
2.1 Pengertian BPH (Benigna Prostate Hyperplasia)................................................6
2.2 Etiologi BPH...........................................................................................................6
2.3 Tanda dan gejala....................................................................................................7
2.4 Patofisiologi & Pathways.......................................................................................8
2.5 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................10
2.6 Komplikasi............................................................................................................11
2.7 Penatalaksanaan ( Medis & Keperawatan ).......................................................12
BAB III...........................................................................................................................14
ASUHAN KEPERAWATAN........................................................................................14
3.1 Pengkajian............................................................................................................14
3.2 Prioritas DX. Keperawatan.................................................................................17
3.3 Intervensi Keperawatan.......................................................................................18
BAB IV............................................................................................................................24
JURNAL ILMIAH.........................................................................................................24
4.1 Judul......................................................................................................................24
4.2 Tujuan Penelitian.................................................................................................24
4.3 Metode...................................................................................................................24
4.4 Hasil dan Pembahasan.........................................................................................25
iv
BAB I
PENDAHULUAN
3
Penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui secara pasti,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan dihidrosteron (DHT) dan proses aging (penuaan) (Purnomo,
2011). Pembesaran prostate menyebabkan rangsangan pada kandung kemih
atau vesika, sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Adanya
pengangkatan jaringan prostate lewat uretra menggunakan resektroskop
(TUR-P) akan menyebabkan respon nyeri saat buang air kecil dan dapat
menyebabkan komplikasi yang lebih parah seperti gagal ginjal akibat
terjadinya aliran balikke ginjal. Selain itu dapat juga menyebabkan radang
perut akibat terjadinya infeksi pada kandung kemih (Andre,Tereence &
Eugene, 2011).
Metode dan teknik yang dilakukan perawat dalam upaya untuk mengatasi
nyeri antara lain dengan mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri,
memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan tehnik distraksi, tehnik
relaksasi menganjurkan klien untuk nafas dalam dan mengisi paru-paru
dengan udara, menghembuskan secara perlahan, melemaskan otot-otot tangan,
kaki, perut dan punggung, serta mengulang hal yang sama sambil terus
berkonsentrasi hingga didapat rasa nyaman, tenang, dan rileks (Hidayat,
2012). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menangani BPH adalah
dengan melakukan tindakan operasi terbuka atau dapat disebut dengan open
prostatectomi, tindakan yang dilakukan adalah dengan cara memberikan
sayatan pada bagian perut yang bawah sampai prostat tanpa membuka
kandung kemih selanjutnya akan dilakukan pengangkatan jaringan prostat
lewat uretra dengan menggunakan resektroskop yang terjadi pembesaran
(Sjamsu Hidajat, 2010).
4
1.1.2 Tujuan khusus
Ada beberapa tujuan khusus diantaranya:
1. Melaksanakan proses keperawatan pada pasien dengan diagnosis
Post- Op TURP BPH.
2. Membahas kesenjangan antara teori dan praktik asuhan
keperawatan pada pasien dengan diagnosis Post-Op TURP BPH.
3. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam
melaksanakan proses keperawatan pada pasien dengan diagnosis Post-
Op TURP BPH.
4. Melaksanakan pemecahan masalah pada pasien dengan diagnosis
Post- Op TURP BPH.
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari
pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana elin, 2011). BPH
adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker (Corwin, 2009). BPH adalah
penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Price&Wilson, 2005).
6
3. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
4. Interaksi stroma – epitel
5. Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
6. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
7. Teori sel stem
Menerangkan bahwa terjadinya poliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan (Basuki B Purnomo,2008).
7
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin
dan inkontinensia karena penumpukan berlebih
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia
(akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal
3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi
menjadi :
a. Derajat I : Penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih,
kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada
malam hari
b. Derajat II : Adanya retensi urin maka timbulah infeksi.
Penderita akan mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria)
dan kencing malam bertambah hebat
c. Dejarat III : Timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap
ini maka bisa timbul aliran reflek ke atas, timbul infeksi
ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan
pielonfritis, heronefrosi.
8
2.4 Patofisiologi & Pathways
1. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus
(Purnomo, 2012).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau
tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka
jalan keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial,
Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi
terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasia insisi
transuretral melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar
jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat untuk memperbesar lumen
uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi kelenjar prostat
(Price & Wilson, 2012). Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen
stroma terhadap kelenjar.
Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1,
sedangkan pada BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini
menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
9
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang
menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang
merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat
(Purnomo, 2012).
2. pathways
Usia Lanjut
Testosterone Kadar
estrogen
Hyperplasia sel stoma
Mempengaruhi RNA dalam inti sel
pada jaringan
Pelepasan mediator
kimiawi nyeri
Nyeri akut
10
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus
sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam
rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinealisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisis ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
blood cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau
hematuria (Prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep peritoneal lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen
dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5. Ureum, elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA (Patologi anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan
menjadi landassn untuk treatment selanjutnya.
2.6 Komplikasi
Komplikasi umum pada BPH meliputi :
11
Urin sisa yang disebabkan oleh BPH dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih rekuren.
c. Batu kandung kemih
BPH dapat meningkatkan risiko pembentukan batu kandung kemih.
d. Gangguan fungsi kandung kemih
BPH dapat menyebabkan obstruksi saluran kandung kemih. Bila kandung
kemih harus bekerja lebih keras untuk mendorong urin keluar dalam
jangka waktu yang lama, maka dinding otot kandung kemih membentang
dan melemahkan sehingga tidak lagi berkontraksi dengan benar.
e. Gangguan fungsi ginjal
BPH berat dapat menyebabkan air seni kembali ke dalam dan merusak
ginjal.
12
boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol sebelum tidur malam, kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau
cokelat), dan hindari penggunaan obat dekongestan atau antihistamin
(McVary & Roehrborn, 2010; Purnomo, 2012)
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor
yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu
urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk daripada
sebelumnya, mungkin dipikirkan untuk memilih terapi yang lain
(Purnomo, 2012).
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik-α
(adrenergic α-blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron melalui penghambat 5α-reduktase. Selain
kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan fitofarmaka
yang mekanisme kerjanya masih belum jelas (Purnomo,2012).
13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Menurut Hidayat (2012), pengkajian adalah langkah awal dari
tahapanproses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus
memperhatikan data dasar dari pasien, untuk informasi yang diharapkan
dari pasien. Pengkajian pada seluruh tingkat analisis (individu, keluarga,
komunitas) terdiri atas data objektif dari pemeriksaan diagnostic dan
sumber lain. Pengkajian individu terdiri atas riwayat kesehatan (data
subyektif) dan pemeriksaan fisik (data objektif). Terdapat dua jenis
pengkajian yang dilakukan untuk menghasilkan diagnose keperawatan
yang akurat, komprehensif dan focus. Pengkajian komprehensif
mencangkup seluruh aspek kerangka pengkajian keperawatan seperti 11
pola kesehatan fungsional Gordon.
a. Identitas
Data yang dikumpulkan perawat klien dengan kemungkinan BPH
meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam
masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua,
pekerjaan, agama, dan suku bangsa.
b. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama yang dirasakan pasien biasanya nyeri saat miksi,
pasien juga sering BAK berulang ulang (anyang-anyangan). Data
fokus yang dapat diambil dari riwayat penyakit sekarang adalah
pengkajian nyeri yang meliputi (PQRST).
P (Paliatif Provocatif = yang menyebabkan timbulnya masalah) :
Pada pasien post operasi TUR-P biasanya nyeri dirasakan karena bekas
14
operasi. Q (Quality dan Quantity = kualitas dan kuantitas nyeri yang
dirasakan) : Nyeri yang dirasakan terus-menerus, nyeri yang dirasakan
pasien seperti diremas-remas ataupun rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk.
R (Region = lokasi nyeri) : Pasien biasanya mengeuh nyeri di bawah
kandung kemih.
S (Saverity = keparahan) : Skala penilaian numerik (Numerical
rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Penilaian skala nyeri dapat dikelompokkan
menjadi :
15
kelancaran pengobatan, serta apakah pernah mengalami pembedahan
sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti
hipertensi, diabetes militus, gangguan jiwa dan penyakit menular
seperti hepatitis dan TBC. Tidak terdapat keluarga yang menderita
penyakit seperti pasien. Dan tidak terdapat penyakit keturunan.
e. Pola fungsi kesehatan
1) Pola hidup dan tatalaksana hidup sehat
16
Namun, tidak begitu banyak mengganggu sosialisasi pasien
terhadap lingkungan dan masyarakat.
5) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, peran
serta pendengaran, kemampuan berpikir, mengingat masa lalu,
orientasi terhadap orang tua, waktu, dan tempat. Pada pasien
post operasi TUR-P fungsi indra penciuman, pendengaran,
penglihatan, perasa, peraba tidak mengalami gangguan. Pasien
merasakan nyeri. Pasien mengetahui penyakit yang dialaminya
akan segera sembuh dengan dilakukannya pengobatan medis.
6) Pola penanggulangan stress
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah
tersebut. Pada pasien post operasi TUR-P emosi masih
stabil,sabar dalam proses pengobatan.
7) Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien terhadap agamanya dan
bagaimana cara klien mendekatkan diri dengan Tuhan selama
sakit. Pasien dengan post operasi TUR-P dapat melakukan
ibadah agama yang dianutnya dengan kemampuan yang
dimilikinya.
17
yang terjadi pada kondisi pasien. Identifikasi masalah dan penentuan
diagnostik yang akurat memberikan dasar untuk memilih intervensi
keperawatan (Doengoes, 2014). Menurut (Nurarif dan Kusuma 2015),
diagnosis keperawatan yang akan dialami klien BPH:
Kriteria hasil:
18
Intervensi :
b. Diagnosis kedua:
Kriteria hasil:
1) Klien dan keluarga klien memahami tentang penyebab nyeri dan cara
mengatasi bila timbul rasa nyeri.
19
nyeri ringan, 4-6= nyeri sedang, 7-9= nyeri berat, 10= nyeri sangat
berat dan klien tampak rileks serta nyaman, klien akan tidur/istirahat
dengan tenang.
Intervensi:
3) Ajarkan teknik ditraksi dan relaksasi serta latihan nafas dalam bila
nyeri timbul.
c. Diagnosis Ketiga:
Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek
sekunder dari prosedur pembedahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi.
Kriteria hasil:
20
60-80x/menit RR = 18-24x/menit, klien dapat mencapai waktu
penyembuhan, tidak ada tanda-tanda syok dan demam.
Intervensi :
d. Diagnosis Keempat:
Kriteria hasil:
21
3) Klien mengikuti instruksi untuk membatasi aktivitas setelah
pembedahan. 4) Tidak ada hematuria dan hematemesis. 5) TTV dalam
batas Normal: TD : Sistole = 100-120 mmHg, diastole = 60- 80
mmHg, S = 36,8-37,4 °C, N= 60-80x/menit RR = 18-24x/menit 6)
Hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal, plasma, PT, PTT
dalam batas normal
Intervensi:
2) Anjurkan pada klien untuk diet makanan tinggi serat dan rutin
minum obat untuk memudahkan defekasi.
4) Pantau traksi kateter : catat waktu traksi dipasang dan kapan traksi
akan dilepas.
e. Diagnosis kelima:
Kriteria hasil:
22
2) Klien melaporkan mau melakukan mobilisasi sesuai kemampuan.
Intervensi:
23
BAB IV
JURNAL ILMIAH
4.1 Judul
Literatur Review : Pengaruh PMR (Progressive Muscle Relaxation)
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Op BPH (Benign
Prostate Hiperlansia).
4.3 Metode
4.3.1 Desain Penelitian
24
4.4 Hasil dan Pembahasan
Dari Hasil uji statistik, Analisa Data Univariat skala intensitas nyeri
sebelum dan setelah diberikan terapi PMR, di dapatkan hasil yaitu pasca
operasi nilai sebelum terapi PMR didapatkan hasil mean 5.30, median
5.00, standar deviasi 0.844, nilai minimum 4 dan nilai maksimum 6.
Sedangkan skala intensitas nyeri pasca operasi nilai sesudah terapi PMR
didapatkan hasil mean 3.50, median 4.00, standar deviasi 0.671, nilai
minimum 2 dan nilai maksimum 5.Sedangkan Data Perbandingan skala
intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi PMR yaitu 5.30
dengan standar deviasi 0.844. Sedangkan sesudah diberikan terapi PMR
adalah 3.50 dengan standar deviasi 0.671. Hasil uji statistik dengan
menggunakan uji wilcoxon didapatkan nilai !-value 0.000 (!-value 0.000
< .0.05), sehingga ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna rata-rata skala intensitas nyeri pasca operasi sebelum dan
sesudah diberikan terapi PMR.
Hasil penelitian yang menunjukkan nilai rata-rata intensitas nyeri
sebelum diberikan terapi PMR adalah 5.30 dengan standar deviasi 0.844
yang menunjukkan nyeri sedang, setelah diberikan terapi PMR adalah
3.60 dengan standar deviasi 0.671 yang termasuk nyeri ringan. Selisih
perbedaan mean antara skala intensitas nyeri sebelum dan sesudah adalah
0.273, Sedangkan hasil uji statistik didapatkan nilai !-value 0.000 (!-value
0.000 < .0.05), ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna
antara rata-rata skala intensitas nyeri pasca operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia) sebelum dan sesudah diberikan terapi PMR. Menurut
Prasetyo (2010), menyatakan bahwa reaksi individu terhadap nyeri
dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperi usia, jenis kelamin, lingkungan,
kecemasan, keletihan dan lainnya, dimana faktorfaktor tersebut dapat
meningkatkan atau menurunkan toleransi terhadap nyeri, dan
mempegaruhi sikap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang tidak
mengalami nyeri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton (1996) dalam
Datak (2008), dimana mekanisme yang pertama dirasakan individu di
lokasi pembedahan adalah implamasi, dan banyak substansi-substansi
yang dilepaskan, seperti substansi P, prostaglandin, leukotrin, histamine,
serotonin, dan bradikin. Pelepasan mediator inflamasi merupakan respon
perlukaan. Ketika hipotalamus diaktivasi oleh nyeri pasca bedah, maka
saraf simpatik mengeluarkan respon stress dimana akan menstimulasi
medullaadrenal, pengeluaran norephineprin meningkatkan sensitifitas atau
secara langsung mengaktifkan reseptor nyeri pada lokasi pembedahan,
sehingga akan menyebabkan peningkatan rasa nyeri post operasi.
25
Sedangkan menurut Snyder & Lindquist (2010), nyeri yang dirasakan
setiap orang bersifat subjektif, sehingga skala nyeri yang dihasilkan
responden berbeda-beda setiap orangnya.
Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Ada dua manajemen untuk
mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen
nonfarmakologi. Teknik farmakologiadalah cara yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang
berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode pereda
nyeri non farmakologis bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan,
tindakan tesebut diperlukan untuk membantu meringankan nyeri yang
berlangsung hanya beberapa detik atau menit (Black & Hawks,2014).
Relaksasi merupakan salah satu terapi perilaku-kognitif pada
intervensi nonfarmakologi yang dapat mengubah persepsi pasien tentang
nyeri, mengubah perilaku nyeri dan memberi pasien rasa pengendalian
yang lebih besar terhadap nyeri. (Potter dan Perry, 2006 dalam Datak,
2008). Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika
terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan skala nyeri setelah
dilakukan terapi relaksasi progresif. Menurut Potter & Perry (2006) dalam
Aprina, et al. (2017), bahwa relaksasi progresif meliputi kombinasi
latihan pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi
kelompok otot. Klien menarik nafas dengan perlahan menggunakan
diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan
dada mengembang penuh. Saat klien melakukan pola pernapasan yang
teratur, perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi setiap daerah yang
mengalami ketegangan otot, berfikir bagaimana rasanya, menegangkan
otot sepenuhnya, dan kemudian merelaksasikan otototot tersebut.
Kegiatan ini menciptakan sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan
stress. Secara bertahap, klien dapat merelaksasikan otot-otot tersebut. Saat
klien mencapai relaksasi penuh, maka persepsi nyeri berkurang dan rasa
cemas terhadap pengalaman nyeri menjadi minimal.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang oleh Fitria &
Ambarwati (2015), dengan judul Efektifitas Teknik Relaksasi Progresif
Terhadap Intensitas Nyeri Pasca Operasi Laparatomi di ruang Mawar II
RSUD Dr. Moewardi rata-rata nyeri sebelum diberikan intervensi adalah
5.93 atau dalam kategori nyeri sedang dan setelah diberikan intervensi
ratarata nyeri adalah 3.93 atau dalam kategori nyeri sedang. Analisis
secara statistik membuktikan bahwa perbedaan skala nyeri antara sebelum
26
dan sesudah relaksasi progresif dinyatakan signifikan (thitung = 6,481 >
tabel = 2,145 atau p = 0,000 < 0,05).
Penelitian lain yang mendukung adalah Sandi (2015) dengan judul
Perbedaan intensitas nyeri setelah dilakukan tindakan teknik distraksi dan
relaksasi pasien post sectio caesarea di Ruang Delima RSUD Dr. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2015. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian Comparative. Menggunakan
teknik Accidental Sampling dengan besar sampel berjumlah 26
responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai rata-rata intensitas
nyeri terhadap responden setelah dilakukan teknik distraksi sebesar 2.69
dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif sebesar 4.69 dengan nilai
p-value=0,0. ,05 yang menunjukan bahwa ada perbedaan intensitas nyeri
setelah melakukan teknik distraksi dan relaksasi di Ruang Delima RSUD
Dr. H. Abdul moeloek Provinsi Lampung Tahun 2015.
4.5 KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari hasil penelitian yang dilaksanakan di RS.
TK II Pelamonia Makassar pada tahun 2017 yaitu:
1. Rata-rata intensitas nyeri pada post operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia) sebelum diberikan terapi relaksasi progresif (PMR)
adalah 5.20.
2. Rata-rata intensitas nyeri pada post operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia) setelah diberikan terapi relaksasi progresif (PMR)
adalah 3.60.
3. Terdapat perbedaan rata-rata intensitas nyeri sebelum dan sesudah
terapi relaksasi progresif (PMR) pada post operasi BPH (Benigna
Prostat Hyperplasia) didapatkan Hasil uji statistik dengan
mengguanakan uji wilcoxon didapatkan nilai !value 0.000!-
value .000 <.α 0.005)
4.6 SARAN
Setelah mengetahui bahwa terapi non farmakologi relaksasi progresif
dapat menurunkan intensitas nyeri diharapkan:
27
1. Perawat RS. TK II Pelamonia Makassar untuk dapat memberikan
terapi relaksasi progresif (PMR) yang dapat diterapkan sebagai
bagian dari intervensi keperawatan dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya pada pasien yang mengalami nyeri pasca
operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) ataupun dengan
keluhan nyeri pada diagnose lainnya.
2. Perawat dapat memberikan pengarahan, membimbing, dan
menganjurkan pasien untuk dapat melaksanakan relaksasi
progresif (PMR) untuk mengatasi keluhan nyeri dan untuk pasien
sebaiknya mempelajari berbagai tehnik manajemen nyeri
khususnya relaksasi progresif (PMR) agar secara mandiri dapat
mempraktekkan sendiri ketika merasakan nyeri, sehingga nyeri
dapat teralihkan dan bisa berkurang setelah melakukan terapi
relaksasi progresif (PMR).
4.6
28
DAFTAR PUSTAKA
29
P. R, “BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA: UPDATED REVIEW,”
Int. Res. J. Pharm., vol. 4, no.8, hlm. 45–51, Sep 2013.
Schauer IG, Rowley DR. 2012. The functional role of reactive stroma in
benign prostatic hyperplasia. NIH Public Access. 82(4):
200−210.
30