Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

MINERALOGI PETROGRAFI
GEL 0103

Disusun oleh:
Nama : Ali Muta’aly Muhammad
NIM : 18/423603/GE/08652
Hari : Selasa
Waktu : 11.00 – 13.00 WIB
Asisten : 1. Luthfia Adlina
2. Zulfa Sirlina Rofi, S.Si.

LABORATORIUM GEOMORFOLOGI DAN MITIGASI BENCANA


DEPARTEMEN GEOGRAFI LINGKUNGAN
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN MINERALOGI PETROGRAFI
I. Latar Belakang
Pegunungan Selatan, termasuk wilayah DI Yogyakarta dan Jawa
Tengah sering dijumpai batuan-batuan gunung api Tersier (Hartono dan Bronto,
2009), baik itu berupa batuan ekstrusi atau lava yang membentuk batuan beku
luar dan intrusi maupun klastika gunung api fraksi halus sampai dengan kasar
(Bronto dkk., 2008). Batuan gunung api tersebut, secara litostratigrafis dibagi
menjadi beberapa satuan, diantaranya yaitu diawali dengan adanya
pengendapan Batuan Malihan, Formasi Gamping-Wungkal dimana formasi
tersebut tidak selaras ditindih oleh Formasi Kebo-Butak dan Formasi
Mandalika, di atasnya selaras dengan Formasi Semilir, Formasi Nglanggeran,
dan Formasi Sambipitu (Surono dkk., 1992). Hartono dan Syafri (2007)
mengemukakan bahwa Zona Pegunungan Selatan Yogyakarta dan sekitarnya
disusun oleh batuan gunung api yang minimal dihasilkan oleh lima pusat erupsi
purba, sementara Bronto (2007) membagi keberadaan fosil gunung api menjadi
empat, yakni (1) Kelompok Gunung Api purba Parangtritis – Sudimoro, (2)
Kelompok Gunung Api purba Baturagung – Bayat, (3) Kelompok Gunung Api
purba Wonogiri – Wediombo, dan (4) Kelompok Gunung Api purba
Karangtengah – Pacitan.
Terdapat dua proses yang berbeda serta pada umur yang berbeda
berdasarkan pandangan geologi sedimenter selama ini (Bronto, 2006). Proses
yang pertama adalah sedimentasi batuan gunung api dalam suatu cekungan
pengendapan yang mana sumber asal batuan tidak dipermasalahkan. Proses
yang kedua adalah pembentukan magma di bawah cekungan pengendapan
tersebut yang bergerak ke atas, sehingga menerobos perlapisan batuan sedimen.
Sifat dari batuan sedimen sangat bervariasi karena pembentukannya terkontrol
oleh asal materialnya, tenaga pengangkut, proses diagenesis, dan kondisi
lingkungan daerah pengendapan (Suharta, 2007). Batuan sedimen tersebut
mengalami proses pemadatan dan juga pengompakan dari bahan lepas
(endapan) hingga menjadi batuan sedimen yang utuh. Proses ini dinamakan
diagenesa, dimana proses diagenesa sendiri dapat terjadi pada uhu sampai
dengan 300oC dan juga dengan tekanan (1 – 2) kilobar yang berlangsung mulai
dari sedimen mengalami penguburan hingga terangkat dan juga tersingkap
kembali di atas lapisan atmosfer bumi (Sari, 2016). Batuan metamorf atau biasa
dikenal dengan batuan malihan merupakan batuan yang terbentuk dari batuan
yang sudah ada sebelumnya dimana batuan tersebut terbentuk akibat
metamorfosa dari batuan beku dan sedimen (Achmad, 2010).
Mempelajari mineralogi dan petrografi dibutuhkan kemampuan yang
baik dalam melakukan analisis, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Analisis secara kualitatif dan kuantitatif tersebut harus dibuktikan dengan
adanya kegiatan lapangan (survei secara langsung ke lapangan). Praktikum
lapangan mineralogi dan petrografi ini dilakukan di empat lokasi (stopsite).
Lokasi tersebut diantaranya, yaitu singkapan Formasi Semilir yang berada di
Piyungan, singkapan Formasi Nglanggeran yang berada di Sungai Oyo,
singkapan Formasi Sambipitu yang ada di Kali Ngalang, dan singkapan yang
ada di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

II. Tujuan
Tujuan dari praktikum lapangan ini yaitu :
1. Mengidentifikasi petrografi batuan beku, batuan sedimen, dan batuan
metamorf
2. Mengetahui perbedaan karakter fisik dan kimia petrografi batuan beku,
batuan sedimen, dan batuan metamorf
3. Mengetahui persebaran batuan di wilayah Piyungan, Sungai Oyo, Kali
Ngalang, dan Bayat, Klaten

III. Deskripsi Wilayah


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara astronomis berada pada
70o 33’ LS – 8o 12’ LS dan 110o 00’ BT – 110o 50’ BT. DI Yogyakarta terletak
di bagian selatan tengah Pulau Jawa yang berbatasan dengan Samudera Hindia
pada bagian selatan, dan Provinsi Jawa Tengah pada bagian lainnya . Provinsi
DI Yogyakartaterdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yaitu Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo,
dan Kabupaten Gunung Kidul.
Gunung Kidul merupakan salah satu dari empat kabupaten di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mana pusat pemerintahannya di Kecamatan
Wonosari. Secara astronomis, Kabupaten Gunung Kidul terletak pada 7o46’ LS
– 8o09’ LS dan 110o21’ BT – 110o50’ BT serta secara geografis di sebelah
utara, Kabupaten Gunung Kidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Sukoharjo, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul
dan Kabupaten Sleman, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Kabupaten Gunung Kidul memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata
pada tahun 2010 yaitu 1,954 mm/tahun dimana suhu rata-rata harian sekitar
27,7oC. Kabupaten Gunung Kidul memiliki luas wilayah hingga 1.485,36 Km2
dimana kabupaten ini memiliki luas hampir setengah dari luas Provinsi DI
Yogyakarta. Penduduk yang menempati Kabupaten Gunung Kidul yakni
mencapai 748.119 jiwa pada tahun 2010 dengan kepadatan penduduknya
mencapai 503,66 jiwa/Km2 yang mana kepadatan penduduknya termasuk
rendah dibandingkan dengan kepadatan penduduk di tiga kabupaten lainnya di
Provinsi DI Yogyakarta.
Kabupaten Gunung Kidul memiliki topografi yang terbagi menjadi tiga
macam, yaitu Zona Utara, Zona Tengah, dan Zona Selatan. Zona Utara
merupakan Zona Pegunungan Baturagung dengan ketinggian sekitar 200 – 700
meter di atas permukaan laut. Pegunungan Baturagung memiliki material
batuan yang berasal dari letusan gunung dan sedimen tuff. Zona Utara
Kabupaten Gunung Kidul ini tersusun atas Formasi Semilir dan Formasi
Nglanggeran. Zona Tengah dari Kabuaten Gunung Kidul yakni Ledok atau
Basin Wonosari. Zona ini memiliki topografi relatif datar daripada Zona Utara
dan Zona Selatan dengan ketinggian mencapai sekitar 150 – 200 meter di atas
permukaan laut yang tersusun atas Formasi Wonosari. Zona Selatan merupakan
Zona Perbukitan Karst yang memiliki ketinggian mencapai sekitar 0 – 300
meter di atas permukaan laut. Zona ini tersusun atas material dengan induk
kapur yang menandakan wilayah ini dulunya merupakan dasar laut yang
mengalami pengangkatan akibat proses tektonik.
Kabupaten Klaten terletak pada Kecamatan 7o 32’ LS – 7o 48’ LS dan
110o 26’ BT – 110o 47’ BT. Kabupaten Klaten berbatasan dengan Kabupaten
Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur, Kabupaten
Gunungkidul di sebelah selatan, dan Kabupaten Sleman di daerah barat.
Kecamatan Bayat merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten,
Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Bayat ini terletak di wilayah selatan dari
Kabupaten Klaten yang berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul. Bayat
memiliki ketinggian mencapai sekitar 500 – 1000 meter di atas permukaan laut
dan luasnya mencapai 39,43 Km2 dengan jumlah penduduk sebesar 56.040 jiwa
dan kepadatan penduduknya sebesar 1,421 jiwa/Km2. Bayat memiliki batuan
penyusun batuan kapur dengan berbagai macam batuan lainnya, karena Bayat
merupakan wilayah bancuh, yaitu timbunan sedimen yang disebabkan karena
adanya subduksi. Kecamatan Bayat memiliki iklim tropis dengan curah hujan
mencapai 153 mm/bulan dan suhu rata-rata mencapai 28oC – 30oC.

IV. Metode
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum lapangan ini adalah :
a. Alat tulis
b. Checklist lapangan mineralogi petrografi
c. GPS
d. HCL
e. Kamera
f. Kacamata
g. Komparator batuan
h. Kompas geologi
i. Lup
j. Pipet tetes
k. Palu geologi
l. Sampel batuan beku, sedimen, dan metamorf
2. Metode yang digunakan dalam praktikum lapangan ini adalah
menggunakan pendekatan kuantitatif. Musianto (2004) berpendapat bahwa
pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang dalam usulan penelitian,
proses, hipotesis, turun ke lapangan, analisis data, dan kesimpulan
menggunakan aspek pengukuran, perhitungan dan kepastian numerik.
Praktikum lapangan ini menggunakan data primer yaitu dengan survei
langsung lokasi pengamatan. Objek dan lokasi yang dikaji adalah petrografi
batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf berdasarkan karakter fisik
dan kimia serta kondisi geologi dan geomorfologi di Piyungan,Sungai Oyo,
Kali Ngalang, dan Bayat.
3. Langkah kerja yang dilakukan dalam praktikum lapangan ini sebagai berikut :

Alat tulis, checklist lapangan mineralogi


petrografi, GPS, HCL, Kamera,
Kacamata, Komparator batuan, Kompas
geologi, Lup, Pipet tetes, Palu geologi,
Sampel batuan beku, sedimen dan
metamorf

Tentukan lokasi pengamatan petrografi

Plotting lokasi pengamatan petrografi menggunakan GPS

Ukur iep and stike di lokasi pengamatan petrografi menggunakan


kompas geologi
Selanjutnya
Lanjutan

Ambil sampel batuan menggunakan palu geologi dan kacamata

Uji sifat fisik serta amati struktur dan tekstur batuan menggunakan lup
dan komparator batuan

Uji sifat kimia menggunakan HCL dan pipet tetes

Catat hasil pengamatan pada checklist, gambar sketsa dan foto


menggunakan kamera

Hasil identifikasi berdasarkan checklist dan


deskripsi analisis setiap lokasi pengamatan

Keterangan :
Input
Proses
Output
V. Hasil dan Pembahasan
1. Stopsite 1 Singkapan Formasi Semilir, Piyungan
Stopsite pertama
berlokasi di Piyungan
dengan titik koordinat
442750,571 mT dan
9133537,364 mU.
Pengamatan pada stopsite

Gambar. 10.1. Singkapan Formasi Semilir (Sumber: Husnulawati, 2019)


ini mulai dilakukan pada
tanggal 1 Mei 2019 pukul
08.35 WIB, setelah diukur dip and strike nya, maka didapatkan dip 4o dan
strike N 60 E. Lokasi ini merupakan Singkapan dari Formasi Semilir
dimana materialnya dari endapan piroklastik yang bersumber dari erupsi
eksplosif Gunung Merapi (Smyth dkk., 2005). Wilayah ini merupakan
bagian dari cekungan Pegunungan Selatan bagian barat yang letaknya di
antara gawir sesar perbukitan Baturagung dan sesar Sungai Opak (Sanjoto,
2009). Hasil identifikasi batuan yang berada di lokasi tersebut, terlihat
struktur perlapisan yang berbeda
yang merupakan struktur graded
bedding. Perlapisan tersebut
merupakan hasil dari letusan
gunung api yang mana pada
lapisan paling bawah
Gambar. 10.2. Batuan Tuff (Sumber : Husnalawati, 2019)
menunjukkan letusan awal dan
lapisan paling atas menunjukkan letusan terakhir. Batuan yang ada di lokasi
tersebut merupakan tuff karena dilihat dari warnanya, putih dan uji HCl
tidak berbuih. Batu tuff memiliki jenis batuan klastik dengan tekstur halus,
membulat, dan sortasinya baik dengan kemas tertutup serta fragmen, semen,
dan matriksnya abu, batuan tuff ini didominadi mineral feldspar.
2. Stopsite 2 Singkapan Formasi Nglanggeran, Sungai Oyo, Pathuk
Stopsite kedua
berlokasi di Sungai
Oyo, Pathuk dengan
titik koordinat
445097,667 mT dan

Gambar 10.4. Singkapan Formasi Nglanggeran (Sumber: Husnulawati, 2019) 9131418,932 mU.
Pengamatan dimulai pada pukul 10.34 WIB. Lokasi ini berada di lembah
sungai yang berfokus pada singkapan batuan yang ada di dasar dan di
sekitar sungai. Singkapan batuan banyak terdapat di sungai karena adanya
proses erosi yang menyebabkan batuan tersingkap. Batuan di lokasi ini
memiliki butir yang lebih besar daripada stopsite yang pertama. Selain itu,
di lokasi ini terdapat tiga perlapisan, yaitu deposit 1 (bawah), deposit 2
(tengah), dan deposit 3 (atas). Fragmen membulat dan didominasi oleh
batuan konglomerat yang merupakan sedimen klastik dengan warna coklat
kehitaman dan struktur masif dapat ditemui pada deposit 1 dan 3,
sedangkan pada deposit 2 didominasi oleh batuan breksi dengan warna
coklat kemerahan berstruktur masif.
Batuan-batuan yang tersusun pada wilayah cekungan sungai ini
memiliki batuan sedimen klastik yang merupakan hasil dari aktivitas
vulkanisme Gunungapi Purba Nglanggeran. Setelah dilakukan uji fisik dan
kimia, bahwa batuan yang menyusun wilayah ini merupakan batuan
sedimen klastik dengan kekerasan lebih dari 6 karena batuan tersebut tdak
mudah digores dengan kuku maupun pisau dan setelah ditetesi larutan HCl
tidak menunjukkan reaksi apapun sehingga batuan tersebut tidak
mengandung karbonat.
Gambar 10.5. Batuan Konglomerat Gambar 10.6. Batuan Breksi
(Sumber : Husnalawati, 2019)

3. Stopsite 3 Singkapan Formasi Sambipitu, Kali Ngalang


Stopsite ketiga
berlokasi di Kali Ngalang
yang berada di titik
koordinat 453151,820 mT
dan 9128300,890 mU.
Pengamatan dimulai pada
pukul 13.10 WIB dalam
kondisi cuaca cerah. Sekitar
Gambar 10.7. Singkapan Formasi Nglanggeran (Sumber: Husnalawati, 2019)

16 juta tahun lalu


(permulaan Miosen Tengah) terbentuk endapan laut dari hasil fasa
sedimentasi setelah gunungapi Nganggeran meletus. Longsoran yang terjadi
di bawah laut tersusun atas sedimen pasir, lempung dan serpih yang
menghasilkan struktu sedimen yang khas seperti lapisan terpelintir. Fosil
binatang meliang juga dapat ditemukan di lokasi tersebut dimana dulunya
banyak binatang meliang yang hidup di pinggir laut. Uji fisik dan kimia
petrografi menunjukkan bahwa batuan yang menyusun wilayah tersebut
yaitu batuan sedimen non klastik dengan kekerasan lebih dari 3, ketika
diuju kasat tangan terasa lengket dan berpasir yang menandakan bahwa
batuan tersebut mengandung lempung pasiran, ketika ditetesi HCl
menunjukkan reaksi dengan adanya buih, hal tersebut menandakan bahwa
batuan tersebut mengandung karbonat. Sebenarnya batuan yang ada di
wilayah ini merupakan batuan
tuff yang berasal dari letusan
gunung Merapi dan di atasnya
terselimuti batuan breksi,
sehingga banyak yang
menyebut dengan sebutan
batuan breksi tuff. Semen pada
batuan ini merupakan karbonat
Gambar 10.8. Fosil binatang meliang (Sumber : Husnalawati, 2019)
dan banyak ditemukan di
bagian kekar batuan sebagai sisipan.

4. Stopsite 4 Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten


Stopsite ketiga
berlokasi di
Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
yang berada di titik
koordinat
463944,126 mT dan
9141305,463 mU.
Gambar 10.9. Singkapan Bayat, Kabupaten Klaten (Sumber: Husnalawati, 2019)
Pengamatan dimulai
pada pukul 15.20 WIB dalam kondisi cuaca cerah-berawan. Batuan yang
ditemukan pada lokasi ini ada empat, yaitu batuan diorit, skis, dan
gampng numulit, dan marmer. Batuan pertama, yaitu batuan diorit yang
termasuk jenis batuan beku yang memiliki kekerasan lebih dari 5.
Struktur dari batuan ini yaitu intermediet dengan tekstur fanerik (batuan
beku luar), komposisi minerlnya adalah plagioclass feldspar. Batuan
kedua yaitu batuan skis yang termasuk batuan metamorf, memliliki
kekerasan 2,5 berwarna perak. Struktur dari batuan skis adalah foliasi
dengan tekstur porfiroblastik. Batuan ketiga yaitu batuan gamping
nulumit yang termasuk batuan sedimen klastik berwarna putih dengan
tekstur anerit, membulat, sortasi baik, dan kemas terbuka. Batuan ini
merupakan batuan fosil Nummulites yang dapat dibuktikan dengan
dibuktikan dengan melakukan uji kimia menggunakan larutan HCl. Fosil
berukuran krakal ini saat ditetesi larutan HCl bereaksi atau menghasilkan
buih yang mana dapat disimpulkan bahwa batu tersebut mengandung
karbonat sisa dari makhluk hidup. Batuan keempat yaitu batuan marmer,
dimana batuan tersebut termasuk batuan klastik yang memiliki kekerasan
mencapai 3. Struktur dari batuan marmer yaitu non-foliasi dengan tekstur
xenoblastik.

Gambar 10.10. Batuan Diorit Gambar 10.11. Batuan Skis


(Sumber: Husnalawati, 2019)

Gambar 10.12. Batuan Gamping Numulit Gambar 10.13 Batuan Marmer


(Sumber: Husnalawati, 2019)

VI. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum lapangan petrografi ini adalah :
1. Petrografi batuan beku, sedimen, dan metamorf dapat diidentifikasi langsung
di lapangan berdasarkan jenis batuan, tekstur, struktur, kekerasan, warna,
dan komposisi mineralnya.
2. Karakteristik setiap petrografi batuan beku, sedimen, dan metamorf berbeda-
beda, tergantung dari mineral penyusunnya yang dapat diamati dengan uji
kimia menggunakan larutan HCl yang apabila bereaksi (berbuih), maka
batuan tersebut mengandung karbonat dan uji fisik menggunakan lup dan
komparator batuan untuk mengetahui karakteristik fisik batuan.
3. Persebaran batuan di wilayah Piyungan, Sungai Oyo, Kali Ngalang, dan
Bayat, Klaten memiliki batuan yang berbeda. Batuan tuff terdapat di wilayah
Piyungan, batuan konglomerat dan breksi terdapat di wilayah Sungai Oyo,
batuan breksi tuff berada di Kali Ngalang, dan batuan diorit, skis, gampng
numulit, dan marmer berada di wiliayah Kecamatan Bayat, Kabupaten
Klaten.

VII. Daftar Pustaka

Achmad, F., 2010. Tinjauan Sifat-sifat Agregat untuk Campuran Aspal Panas (Studi
Kasus Beberapa Quarry di Gorontalo. Saintek, Vol. 5 No. 1.
Bronto, S., 2006. Fasies Gunung Api dan Aplikasinya. Jurnal Geologi Indonesia,
Vol. 1 No. 2.
Bronto, S., 2007. Fosil Gunung Api di Pegunungan Selatan Jawa Tengah. Seminar
dan Workshop “Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan
Wilayah”. Yogyakarta.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G., Astuti, B., 2008. Gunung Api purba
Watuadeg: Sumper erupsi dan posisi stratigrafi. Jurnal Geologi Indonesia,
Vol. 3. No. 3.
Hartono, G., dan Syafri, I., 2007. Peranan Merapi untuk Mengidentifikasi Fosil
Gunung Api pada “Formasi Andesit Tua”: Studi Kasus di Daerah Wonogiri.
Geologi Indonesia: Dinamika dan Penduduknya, Publikasi Khusus, Pusat
Survei Geologi Bandung.
Hartono, H.G., dan Bronto, S., 2009. Analisis Stratigrafi Awal Kegiatan Gunung Api
Gajahdangak di Daeah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya Terhadap Stratigrafi
Batuan Gunung Api di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah. Jurnal Geologi
Indonesia, Vol. 4 No. 3.
Musianto L.S., 2004. Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dengan Pendekatan Kualitatif
dalam Metode Penelitian. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.4 No.2
Sari, M., 2016. Batuan Sedimen: Pengertian, Proses, dan Jenisnya. Diakses oleh Ali
Muta’aly Muhammad pada tanggal 6 Mei 2019 pukul 23. 44 WIB.
<http://ilmugeografi.com/geologi/batuan-sedimen>
Sanjoto, S., 2009. Kwalitas Breksi Pumis Sebagai Bahan Bangunan Kecamatan
Piyungan, Pleret, Imogiri Kabupaten Bntul Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Teknologi, Volume 2 No. 1.
Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., and Kinny, P., 2003. Volcanic origin of quartz-rich
sediments in East Java; Indonesian Petroleum Association, Proceedings 29th
Annual Convention Jakarta, Halaman 541-559
Suharta, N., 2007. Sifat dan Karakteristik Tanah dari Batuan Sedimen Masam di
Provinsi Kalimantan Barat serta Implikasinya Terhadap Pengelolaan Lahan.
Jurnal Tanah dan Iklim. No. 25.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I., 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta dan
Giritontro, Jawa, Skala 1:100.000. Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.

Anda mungkin juga menyukai