Anda di halaman 1dari 4

Hubungan Istimewa dalam PPN

Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan pihak


yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
(BKP/JKP) dapat terjadi karena ketergantungan atau keterkaitan satu
dengan yang lain yang disebabkan karena faktor kepemilikan atau
penyertaan, atau adanya penguasaan melalui manajemen atau
penggunaan teknologi.
Hubungan istimewa ini dapat menyebabkan adanya kemungkinan harga
dapat ditekan lebih rendah dari harga pasar. Apabila harga jual dipengaruhi
hubungan istimewa, maka harga jual dihitung atas dasar harga pasar wajar
pada saat penyerahan BKP atau JKP itu dilakukan.
Dalam pengertian harga jual pada Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang PPN
terdapat frasa “biaya yang diminta atau seharusnya diminta”. Makna dari
biaya yang seharusnya diminta relevan untuk transaksi yang dipengaruhi
hubungan istimewa.
Jika nilai kontrak sudah termasuk PPN dan PPnBM maka dalam kontrak
atau perjanjian tertulis wajib disebutkan nilai kontrak tersebut termasuk PPN
dan PPNnBM. Dalam hal kontrak tidak menyebutkan nilai kontrak tersebut
termasuk PPN danPPnBM, nilai yang tercantum dalam kontrak tersebut
dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Apabila PPN menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan
Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak, PPN yang terutang dihitung 11/110
dari harga atau pembayaran atas penyerahan BKP/JKP.
Sedangkan apabila dalam hal penyerahan BKP juga terutang PPnBM dan
telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas BKP, perhitungan
PPN dan PPnBM menggunakan rumus berikut:
 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) = (11 / (110 + t)) x harga atau
pembayaran atas penyerahan BKP
 Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) = (t / (110 + t)) x harga atau
pembayaran atas penyerahan BKP
Untuk transaksi yang dilakukan dengan menggunakan mata uang asing,
penghitungan besarnya PPN dan PPnBM yang terutang, harus dikonversi
kedalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan
Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.

Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM)
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif PPN dan PPnBM
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
o ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
o ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
o ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua
ratus persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).
Contohnya: Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang
tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya
dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:
o Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
o PPN = 10% x Rp5.000.000,00
= Rp500.000,00
o PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00
= Rp1.000.000,00
Saat Pelaporan PPN/PPnBM
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa
dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi
segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri
oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Sarana Pembayaran/Penyetoran Pajak
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak
(SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang
disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib
Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro,
atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran

Pajak Masukan dalam PPN


Pajak Masukan penjelasannya diatur berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU PPN. Pajak masukan
dalam PPN adalah pajak yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP atas perolehan barang/jasa
kena pajak, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, dan/atau impor BKP
dalam masa pajak tertentu. Singkatnya, pajak masukan dalam PPN adalah pajak yang
dikenakan ketika PKP melakukan pembelian atas barang kena pajak.
Secara spesifik, pajak masukan adalah PPN yang harus dibayar PKP untuk pemanfaatan
sebagai berikut:
 Perolehan BKP dan/atau JKP
 Pemanfataan BKP/JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean
 Impor BKP/JKP yang telah dipungut PKP pada saat pembelian dalam masa pajak
tertentu.
Pencatatan Pajak Penghasilan, PPN, dan PPnBM. Pembukuan digunakan
untuk menunjukkan pekerjaan mencatat dalam rekening, baik Rekening
Buku Besar maupun Rekening Buku Pembantu. Istilah lain dari pembukuan
adalah posting.  Pada dasarnya posting dapat dipisahkan menjadi dua,
yaitu:
1. Menuliskan tanggal, keterangan, dan jumlah dalam rekening.
2. Menambahkan atau mengurangkan.
Pencatatan pajak dalam proses pembukuan perlu dipisahkan sesuai
dengan jenis pajaknya, sebagai berikut:
1. Pencatatan PPh
2. Pencatatan PPN
3. Pencatatan PPnBM
Pencatatan PPh
Sebelum dilakukan pencatatan atas berbagai pemotongan, pemungutan
atau pelunasan pajak, perlu ditentukan terlebih dahulu kode dan nomor
rekening yang akan digunakan untuk menampung berbagai jenis PPh
tersebut. Sesuai dengan pengakuan PPh pada setiap transaksi, pencatatan
PPh disesuaikan dengan PPh yang diakui oleh Wajib Pajak. Pencatatan
atau jurnal dari PPh dapat dibedakan menjadi:
1. Pencatatan Utang PPh
Pengakuan utang pada berbagai jenis pajak harus diberikan kode dan
nomor rekening tersendiri, karena pelunasan utang PPh tersebut harus
mempergunakan Surat Setor Pajak (SSP) sendiri-sendiri, dengan kode Mata
Anggaran Pajak yang juga berbeda-beda. Pemberian nomor rekening
berbagai utang pajak tersendiri tersebut akan memudahkan pelaksanaan
posting dan perhitungan pelunasan berbagai jenis pajak tersebut.
Pencatatan PPN
Sebelum dilakukan pencatatan atas berbagai pemungutan atau pelunasan
PPN, terlebih dahulu perlu ditentukan nomor rekening yang akan digunakan
untuk menampung berbagai transaksi berkaitan dengan PPN tersebut.
Pencatatn PPN dapat dibedakan menjadi seperti berikut:
1. Pencatatan Utang PPN
Utang PPN terjadi apabila Wajib Pajak menjual BKP atau JKP, sehingga
pada harga yang harus dibayar oleh pembeli terdapat PPN yang harus
dipungut oleh Wajib Pajak. Utang PPN bagi Wajib Pajak sama dengan pajak
keluaran harus diberi kode rekening tersendiri, dan tidak dapat digabung
dengan utang PPh, karena utang PPN ini nanti dalam perhitungannya akan
diposting dengan piutang PPN. Apabila utang PPN ini digabung dengan
rekening PPh maka pada posting itu akan terjadi kesulitan.
2. Pencatatan Piutang PPN
Piutang PPN terjadi apabila Wajib Pajak membeli BKP atau JKP sehingga
pada harga yang harus dibayar terdapat PPN yang harus dibayar oleh Wajib
Pajak. Piutang PPN bagi Wajib Pajak sama dengan pajak masukan, harus
diberi kode rekening tersendiri, dan tidak dapat digabungkan dengan
piutang PPh, karena piutang PPN ini nanti dalam perhitungannya akan
diposting dengan utang PPN. Apabila piutang PPN ini digabung dengan
rekening piutang PPh, dalam posting itu nanti akan mengalami kesulitan.
Pencatatan PPnBM
Sebelum dilakukan pencatatan atas berbagai pemungutan atau pelunasan
PPnBM perlu ditentukan terlebih dahulu nomor rekening yang akan
digunakan untuk menampung berbagai PPnBM itu. Pencatatan PPnBM
dibedakan menjadi seperti berikut:
1. Pencatatan Utang PPnBM
Utang PPnBM terjadi apabila Wajib Pajak sebagai pabrikan menjual BKP
barang mewah sehingga pada harga yang harus dibayar oleh pembeli
terdapat PPnBM yang harus dipungut oleh Wajib Pajak sebagai pabrikan.
2. Pencatatan Pelunasan PPnBM
Utang PPnBM bagi Wajib Pajak pabrikan harus dibayar tanggal 15 bulan
berikutnya.
3. Pencatatan Biaya PPnBM
Bagi Wajib Pajak pembeli BKP mewah tersebut besarnya PPnBM
diperlakukan sebagai biaya, yang pembebanannya secara langsung atau
melalui penyusutan tergantung masa manfaat BKP tersebut.

Anda mungkin juga menyukai