Anda di halaman 1dari 15

MENGANALISIS DAN MENCARI ALTERNATIF PEMECAHAN

HAMBATAN DALAM PENGELOLAAN KELAS

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Kelas

Dosen pengampu: Dr. Mohammad Thoha, M. Pd.I

Oleh :
Insyiroh
(21381042023)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

MEI 2023
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengenalan Masalah Anak Dalam Pengelolaan Kelas


Saat berada di lingkungan sekolah guru akan menghadapi berbagai
macam perilaku anak seperti anak agresif, tidak bisa tenang, suka
bertengkar, pemalu, suka menyendiri, suka menangis, dan suka memukul.
Perilaku-perilaku tersebut merupakan tanda bahwa ada masalah pada diri
anak dan guru perlu memahami latar belakangnya. Dalam hal ini, guru perlu
memahami penyebab dari masalah yang dihadapi anak tersebut. Dengan
memahami penyebab masalah, guru dapat membantu anak untuk mengatasi
masalah dan memperbaiki perilakunya di sekolah.1
Perilaku seorang anak di dalam kelas, di hadapan guru, teman-
temannya, atau di hadapan orang lain dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Faktor-faktor tersebut mencakup pengalaman-pengalaman yang
dialami anak, kondisi yang dihadapinya pada saat itu, serta keinginan yang
dimilikinya. Beberapa faktor tersebut dapat berkembang dalam diri anak,
sementara faktor lainnya dapat timbul akibat interaksi dengan lingkungan
sekitarnya, termasuk di dalamnya lingkungan rumah, sekolah, dan
masyarakat. Sebagai pendidik, penting bagi guru untuk memahami faktor-
faktor yang memengaruhi perilaku anak dan membantu mereka untuk
mengembangkan perilaku yang positif di dalam dan di luar kelas. Menurut
Jone dan Jones, perilaku seorang anak di dalam kelas dapat mencerminkan
kondisi keluarganya. 2 Keluarga yang kurang stabil dapat menyebabkan
ketegangan pada anak dan mempengaruhi keberhasilannya dalam
memenuhi tuntutan akademik dan sosial di sekolah. Oleh karena itu, penting
bagi sekolah dan keluarga untuk bekerja sama dan memberikan dukungan
yang dibutuhkan untuk membantu anak mengatasi masalah yang mungkin
muncul. Dengan cara ini, anak akan lebih mampu mengembangkan

1
Setiadi Cahyono Putro dan Ahmad Mursyidun Nidhom, Bahan Ajar Perencanaan Pembelajaran
Jilid 2, (Malang: Ahlimedia Press, 2020), 51.
2
Ibid, 52.

1
kemampuan sosial dan akademik yang diperlukan untuk berhasil di dalam
dan di luar kelas.
Banyak orang beranggapan bahwa masalah-masalah yang dihadapi
anak di rumah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan di sekolah. Hal ini
karena masalah tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan keadaan
emosional anak di sekolah, sehingga mengganggu proses pembelajaran.
Terkadang, tekanan batin yang dialami anak karena merasa tidak aman,
tidak terpenuhi kebutuhan psikologisnya, terkucilkan, tidak dihargai, atau
tidak disenangi, dapat menghambat kemampuannya untuk belajar. Oleh
karena itu, guru perlu memahami bahwa kondisi emosional dan psikologis
anak dapat mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran. Sebagai guru,
tugasnya adalah memberikan lingkungan belajar yang kondusif dan
mendukung bagi anak agar dapat mengatasi masalah yang dihadapi,
sehingga dapat mencapai potensi terbaiknya.
Kunci kesuksesan dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya
terletak pada kemampuan guru untuk mengajar, tetapi juga pada
kemampuannya untuk memahami anak. Oleh karena itu, guru perlu
melakukan pengelolaan kelas yang melibatkan pemahaman yang mendalam
terhadap masalah-masalah yang dihadapi anak. Dengan pemahaman yang
tepat, guru dapat mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mengatasi
masalah tersebut dan meningkatkan efektivitas pembelajaran di kelas.
B. Jenis Masalah Anak Dalam Pengelolaan Kelas
Masalah pengelolaan kelas yang bersumber dari anak dapat
dikelompokkan pula menjadi dua kategori, yaitu masalah individual dan
masalah kelompok. 3 Disadari bahwa masalah individual dan masalah
kelompok seringkali menyatu dan amat sukar dipisahkan yang satu dari
yang lain. Namun demikian, pembedaan antara kedua jenis masalah itu akan
bermanfaat terutama apabila guru ingin mengenali dan menangani masalah
yang ada dalam kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Masalah
pengelolaan kelas tersebut, yaitu:

3
Irja Putra Pratama, Manajemen Kelas (Peran Guru, Problem, dan Solusinya), Jurnal Takzirah:
Transformasi Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 4 No.2 (2021), 240.

2
1. Masalah Individual
Masalah Individual adalah masalah pengelolaan kelas yang
sumber penyebabnya adalah individu anak. Dasar pengelolaan masalah
individu adalah anggapan bahwa manusia cenderung berperilaku untuk
mencapai tujuan. Setiap individu memiliki kebutuhan dasar untuk
merasa memiliki dan berguna. Jika seseorang tidak berhasil
mengembangkan perasaan memiliki dan nilai dirinya, maka ia akan
cenderung menunjukkan perilaku menyimpang. Terdapat empat jenis
perilaku menyimpang, yaitu perilaku yang mencari perhatian orang lain,
perilaku yang mencari kekuasaan, perilaku yang menuntut balas, dan
perilaku yang memperlihatkan ketidakmampuan. Keempat perilaku ini
semakin berat dampaknya jika dibiarkan terus menerus. Sebagai contoh,
jika seorang anak gagal menarik perhatian orang lain, ia mungkin akan
menjadi anak yang mencari kekuasaan. Berikut ini akan penulis
paparkan empat jenis perilaku menyimpang dalam masalah Individual
kelas, yakni:
a. Attention getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian)
Attention getting behaviors atau pola perilaku mencari
perhatian adalah perilaku individu yang berusaha untuk
mendapatkan perhatian atau pengakuan dari orang lain. Orang yang
mengalami masalah Attention getting behaviors akan cenderung
menggunakan berbagai cara untuk menarik perhatian orang lain.
Ketika seorang siswa merasa kesulitan untuk menemukan
tempatnya dalam lingkungan sosial yang ramah dan inklusif,
seringkali dia akan mencari perhatian dari orang lain, baik secara
aktif maupun pasif.4 Perilaku mencari perhatian aktif yang merusak
bisa diamati pada anak-anak yang suka memamerkan diri, membuat
onar, memperlihatkan kenakalan, terus menerus bertanya atau
dikenal sebagai “tukang rewel”. Di sisi lain, perilaku mencari
perhatian pasif yang merusak bisa diamati pada anak-anak yang
malas atau terus-menerus meminta bantuan dari orang lain.

4
Holmes Parhusip, dkk., Manajemen Kelas, (Batu: Literasi Nusantara, 2021), 18.

3
Contoh kasus Attention getting behaviors (pola perilaku
mencari perhatian) yakni, anak laki-laki berusia 8 tahun, yang akan
saya sebut sebagai Andi, seringkali melakukan perilaku mencari
perhatian aktif di kelas. Saat guru sedang memberikan penjelasan,
Andi seringkali mengalihkan perhatian teman-temannya dengan
cara mengoceh, tertawa terbahak-bahak, dan bahkan mengganggu
teman-temannya yang duduk di sekitarnya. Selain itu, Andi juga
seringkali meminta perhatian dengan cara meminta diberikan
kesempatan untuk memimpin kelompok atau memperagakan suatu
kegiatan di depan kelas. Andi juga sering menunjukkan perilaku
mencari perhatian pasif, seperti sering bertanya pada guru tentang
hal-hal yang sudah dijelaskan sebelumnya atau meminta bantuan
teman-temannya untuk menyelesaikan tugas. Meskipun Andi
memiliki kemampuan akademik yang baik, perilaku mencari
perhatian yang ditunjukkannya seringkali mengganggu
pembelajaran dan interaksi sosial di kelas.
b. Power seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan kekuatan atau
kekuasaan)
Power seeking behaviors adalah pola perilaku individu yang
menunjukkan upaya untuk mencari dan mempertahankan kekuatan
atau kekuasaan atas orang lain. Tingkah laku mencari kekuasaan ini
merupakan bentuk perilaku mencari perhatian yang lebih kompleks
dan intensif. Individu yang menunjukkan perilaku ini cenderung
ingin menjadi pemenang, mengambil alih situasi, dan memiliki
kendali atas orang atau lingkungan di sekitarnya. 5 Namun, mereka
seringkali melakukannya dengan cara yang manipulatif atau bahkan
merugikan orang lain. Pencari kekuasaan yang aktif seringkali
menggunakan cara-cara manipulatif seperti pendekatan, berbohong,
menyebabkan pertentangan, menolak untuk menuruti perintah orang
lain, dan secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak patuh.
Sedangkan, perilaku mencari kekuasaan pasif dapat diamati pada

5
Cucun Sunaengsih, Pengelolaan Pendidikan, (Sumedang: UPI Sumedang Press, 2017), 21.

4
anak-anak yang sangat menonjolkan kemalasannya sehingga tidak
melakukan apa-apa. Anak-anak tersebut cenderung pelupa, keras
kepala, dan pasif dalam menunjukkan ketidakpatuhan.
Sebagai contoh lebih spesifik dari pola perilaku Power
seeking behaviors, penulis mengambil contoh seorang siswa
bernama Ahmad di sekolah menengah pertama. Ahmad selalu ingin
memimpin dan menjadi pusat perhatian di antara teman-temannya.
Ketika ada kelompok kerja di kelas, Ahmad selalu mencoba untuk
memimpin dan mengambil alih tanggung jawab utama dalam proyek
tersebut. Dia seringkali mengabaikan opini dan ide-ide dari anggota
kelompoknya, dan cenderung memaksakan pendapatnya sendiri.
Selain itu, Ahmad juga cenderung membangkang terhadap otoritas
dan aturan di sekolah. Dia seringkali menentang guru-guru dan
petugas sekolah, dan terkadang menolak untuk mengikuti instruksi
atau peraturan yang diberikan. Ahmad juga sering mencoba untuk
menunjukkan kekuasaannya melalui intimidasi atau ancaman,
seperti mengancam akan memukul atau menyerang teman-temannya
jika mereka tidak mengikuti kehendaknya. Sikap Ahmad yang selalu
ingin menunjukkan kekuasaan dan menjadi pusat perhatian
seringkali membuatnya terlibat dalam konflik dengan teman-
temannya. Dia cenderung sulit untuk bekerja sama dengan orang
lain dan seringkali bertindak secara otoriter. Hal ini menyebabkan
dia kesulitan untuk membangun hubungan yang sehat dan inklusif
dengan orang lain di lingkungannya.
c. Revenge seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan balas
dendam)
Dalam pola perilaku menunjukkan balas dendam siswa
cenderung merespon kegagalan, ketidakadilan, atau perlakuan buruk
dengan cara yang merusak atau menyakiti orang lain.6 Perilaku ini
dapat berupa ancaman, intimidasi, kekerasan fisik, sabotase, atau
perilaku merusak lainnya. Siswa yang menuntut balas mengalami

6
Erwin Widiasworo, Cerdas Pengelolaan Kelas, (Yogyakarta: Diva Press, 2018), 176.

5
frustasi yang amat dalam dan tidak menyadari bahwa dia sebenarnya
mencari sukses dengan jalan menyakiti orang lain. Keganasan,
penyerangan secara fisik (mencakar, menggigit, menendang)
terhadap sesama siswa sering dilakukan anak-anak ini. Anak-anak
seperti ini akan merasa sakit kalau dikalahkan, dan mereka bukan
pemain-pemain yang baik (misalnya dalam pertandingan). Anak-
anak yang suka menuntut balas ini biasanya lebih suka bertindak
secara aktif daripada pasif. Anak-anak penuntut balas yang aktif
sering dikenal sebagai anak-anak yang ganas dan kejam, sedang
yang pasif dikenal sebagai anak-anak pencemberut dan tidak patuh
(suka menentang).
Contoh kasus ketika seorang murid di sekolah menengah
sering di bully oleh sekelompok siswa yang lebih tua. Bullying
tersebut termasuk ancaman fisik dan verbal, dan seringkali terjadi di
hadapan teman-teman yang lain. Murid tersebut merasa marah dan
tidak berdaya terhadap kejadian tersebut, dan merencanakan balas
dendam dengan cara merusak motor salah satu siswa yang
mengintimidasi dia. Dia meminta bantuan teman-temannya untuk
menjalankan rencana tersebut, dan menghancurkan motor tersebut
dengan batu dan benda tumpul lainnya. Aksi balas dendam ini
menyebabkan kerusakan pada mobil, dan membuat para siswa yang
terlibat merasa puas dan merasa bahwa keadilan telah ditegakkan.
Dalam kasus ini, faktor penyebab revenge seeking behaviors adalah
bullying dan perasaan tidak berdaya dan marah dari murid tersebut.
Dia merasa bahwa balas dendam adalah satu-satunya cara untuk
memperoleh keadilan dan menghilangkan perasaan tidak adil yang
ia alami. Namun, tindakan balas dendam ini sebenarnya tidak
memecahkan masalah dan dapat menimbulkan masalah baru, seperti
tuntutan hukum dari pemilik motor.
d. Helplessness (peragaan ketidakmampuan)
Masalah individu helplessness atau peragaan
ketidakmampuan merujuk pada kecenderungan individu untuk

6
merasa tidak mampu dalam mencapai tujuan atau memecahkan
masalah yang dihadapi. Hal ini dapat terjadi karena adanya rasa
putus asa atau hilangnya motivasi untuk mencoba, serta kurangnya
keyakinan diri dalam kemampuan mereka untuk mengatasi
7
masalah. Individu yang mengalami masalah Helplessness
seringkali merasa cemas dan khawatir terhadap tugas yang dihadapi,
bahkan sebelum mereka mencoba mengerjakannya. Mereka
cenderung menghindari tantangan dan mengalami kesulitan untuk
memulai tugas. Ketika mereka menghadapi masalah atau kesulitan,
mereka cenderung merasa putus asa dan menyerah dengan cepat.
Contohnya Seorang siswa bernama Ahmad selalu merasa
tidak mampu saat diminta untuk memberikan presentasi di depan
kelas. Setiap kali guru memberikan tugas presentasi, Ahmad selalu
cemas dan merasa tidak mampu untuk melakukannya. Ia merasa
tidak memiliki kemampuan untuk berbicara di depan umum dan
cenderung menyerah sebelum mencoba. Ketika teman-temannya
mengajaknya untuk bergabung dalam kegiatan kelompok atau klub,
Ahmad seringkali menolak dan memilih untuk menghabiskan waktu
sendiri. Sikapnya yang pasif dalam mengatasi masalah akademik
atau sosial sering membuatnya merasa terisolasi dan tidak dihargai
oleh teman-temannya.
2. Masalah Kelompok
Masalah kelompok adalah masalah pengelolaan kelas yang
sumber penyebabnya adalah kelompok. Dikenal adanya tujuh masalah
kelompok dalam kaitannya dengan pengelolaan kelas, yakni:
a. Kelas kurang kohesif
Kelas yang kurang kohesif bisa terlihat dari kurangnya
hubungan yang baik antara siswa-siswi di dalam kelas. Misalnya,
dalam kelas yang terdiri dari siswa-siswi dari berbagai latar
belakang sosial dan budaya, terkadang terjadi kurangnya interaksi

7
Tabrani Rusyan, dkk., Seni Pembaharuan Pendidikan Membangun Kelas Aktif Dan Inspiratif,
(Sleman: Deepublish, 2020), 156.

7
antar siswa karena perbedaan latar belakang tersebut. Siswa-siswa
yang berasal dari kota atau daerah yang berbeda, memiliki suku atau
budaya yang berbeda-beda, atau bahkan memiliki tingkat ekonomi
yang berbeda, mungkin merasa canggung untuk berinteraksi dengan
siswa-siswa lainnya. 8 Hal ini bisa memperburuk hubungan antar
siswa, dan dapat menghambat kolaborasi dan kerja sama dalam
kelas. Misalnya, dalam suatu tugas kelompok, siswa-siswa yang
berasal dari latar belakang yang berbeda-beda bisa saling menutup
diri dan tidak bekerja sama secara efektif, sehingga kinerja
kelompok menjadi terhambat.
Contoh kasus yakni, di sebuah kelas terdapat 30 siswa yang
berasal dari beragam latar belakang suku dan agama. Siswa-siswa
tersebut dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk
mengerjakan tugas-tugas dalam kelompok. Namun, terdapat
beberapa kelompok yang tidak terlalu kompak dan seringkali terjadi
konflik di antara anggotanya. Misalnya, ada kelompok yang terdiri
dari tiga siswa, dua siswa berasal dari suku yang sama sedangkan
satu siswa lagi berasal dari suku yang berbeda. Kedua siswa yang
berasal dari suku yang sama kerap mengabaikan keberadaan siswa
yang berasal dari suku yang berbeda, sehingga siswa tersebut merasa
tidak diakui dalam kelompok tersebut. Akibatnya, siswa yang
merasa tidak diakui tersebut cenderung tidak memiliki motivasi
untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok dan tidak ada kerja
sama yang terjalin di antara anggota kelompok tersebut. Hal ini
dapat berdampak pada penurunan kualitas hasil kerja kelompok.
b. Kelas mereaksi negatif terhadap salah satu anggota
Dalam suatu kelas, sering kali terjadi bahwa anggota kelas
yang dianggap “berbeda” menjadi sasaran lelucon atau cemoohan
dari teman-teman sekelasnya. 9 Contohnya, ketika seorang siswa
diolok-olok karena suaranya sumbang saat bernyanyi. Akibat dari

8
Holmes Parhusip, dkk., Manajemen Kelas, (Baru: Literasi Nusantara, 2021), 20
9
Ibid.

8
reaksi negatif terhadap siswa tersebut bisa menyebabkan masalah
dalam kelas, seperti terjadinya tawa bersama dan penghinaan, yang
mengganggu kenyamanan dan kondusivitas belajar. Tipe siswa yang
menjadi korban cemoohan seringkali adalah siswa pemalu, cengeng,
atau yang penampilannya dianggap kurang menarik oleh anggota
kelas yang lain.
Contoh lebih spesifik yakni sebuah kelas sedang
menyanyikan lagu bersama-sama. Namun, ketika giliran seorang
siswa untuk bernyanyi solo, teman-teman sekelas mulai mengejek
dan menertawakannya karena suaranya yang dianggap sumbang dan
tidak enak didengar. Hal ini membuat siswa tersebut merasa malu
dan minder di depan teman-temannya. Selain itu, reaksi negatif
teman-temannya juga mengganggu suasana kelas dan membuat
kelas menjadi ribut, sehingga mengganggu konsentrasi siswa-siswa
yang ingin belajar dengan baik. Kondisi ini dapat membuat siswa
yang menjadi korban menjadi merasa tidak nyaman dan terganggu
dalam kegiatan belajar mengajar, serta dapat berdampak pada
kesehatan mentalnya di masa depan.
c. Penerimaan kelas (kelompok) atas tingkah laku yang menyimpang
Penerimaan kelompok terhadap anggota yang bertingkah
laku menyimpang dapat terjadi ketika kelompok tersebut
sebenarnya mendukung atau bahkan mendorong perilaku tersebut.
Sebagai contoh, dalam sebuah kelas, terdapat seorang siswa yang
secara terbuka mengejek atau mengejek guru yang kurang
disukainya. Meskipun perilaku tersebut jelas tidak sopan dan tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku, namun ada kemungkinan
anggota kelompok lain dalam kelas dapat memberikan reaksi positif
atau malah bergabung dengan perilaku tersebut.
Sebagai contoh, mereka mungkin juga mulai mengejek guru
tersebut atau memberi gelar yang tidak pantas, sebagai bentuk
dukungan terhadap teman mereka yang bertingkah laku
menyimpang. Hal ini kemudian memperkuat perilaku negatif

9
tersebut dan dapat memperburuk situasi di kelas. Jika kelompok ini
terus membiarkan perilaku negatif ini terjadi tanpa melakukan
tindakan untuk mengatasi masalah tersebut, maka akan semakin
sulit bagi kelompok tersebut untuk menciptakan lingkungan yang
positif dan produktif bagi anggota kelompoknya.
d. Tidak mampu mengikuti peraturan kelompok
Apabila suasana kelas menunjukkan bahwa para siswa tidak
patuh terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan, maka akan
muncul masalah kedua yaitu kurang mampu mengikuti aturan dalam
10
kelompok. Contohnya, siswa-siswa seringkali membuat
kegaduhan, mengganggu teman sekelas ketika seharusnya tenang,
berbicara dengan keras saat sedang ada penjelasan dari guru,
mengganggu teman sekelas saat sedang bekerja di tempat duduknya
masing-masing, dorong-mendorong atau menyela waktu saat antri
di kantin, dan sebagainya. Semua perilaku ini menunjukkan bahwa
siswa kurang mampu mengikuti aturan dalam kelompok dan hal ini
bisa mengganggu proses belajar mengajar serta kenyamanan siswa
lainnya.
Contohnya, di sebuah kelas, terdapat aturan yang
mengharuskan siswa untuk tenang dan fokus saat sedang belajar.
Namun, beberapa siswa dalam kelas sering kali berbicara dengan
keras, bergerak-gerak, atau melakukan tindakan lain yang
mengganggu ketenangan belajar siswa lainnya. Hal ini membuat
suasana kelas menjadi tidak kondusif untuk belajar, dan beberapa
siswa mulai merasa kesulitan dalam memperoleh pemahaman
materi.
e. Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang
tengah dikerjakan
Anggota kelompok seringkali menjadi kurang fokus dan
mudah teralihkan dari tugas yang sedang mereka kerjakan.11 Mereka

10
Rusman, Manajemen Pengelolaan Kelas, (Surabaya: UM Surabaya Publishing, 2022), 11.
11
Ibid.

10
dapat terganggu tidak hanya karena perilaku yang kurang teratur,
tetapi juga karena faktor-faktor lain yang dengan cepat menarik
perhatian mereka, seperti melihat peralatan atau mainan baru dari
rekan mereka, tindakan iseng dari teman-teman, serta lingkungan
sekolah yang kurang mendukung konsentrasi dalam kegiatan
belajar.
Contohnya, di sebuah kelas, sedang ada tugas yang harus
diselesaikan oleh siswa. Namun, beberapa siswa dalam kelompok
cenderung mudah teralihkan perhatiannya dari tugas yang tengah
dikerjakan. Beberapa siswa sibuk memainkan gadget, melihat
mainan kawan yang baru, atau bahkan bergosip dengan teman
sekelompok. Hal ini menyebabkan tugas yang seharusnya dapat
diselesaikan dengan cepat menjadi berlarut-larut.
f. Semangat kerja rendah
Ketidaksukaan untuk bekerja, tingkah laku agresif, atau
protes adalah masalah yang rumit dalam sebuah kelompok.
Terkadang, anggota kelompok dapat mengeluarkan protes terbuka
atau terselubung dan menolak untuk melakukan kegiatan tertentu.12
Beberapa contoh dari protes atau keengganan belajar termasuk
sering meminta penjelasan tentang tugas, kehilangan alat tulis, lupa
mengerjakan tugas rumah, atau mengalami gangguan yang
menghalangi mereka untuk mengerjakan tugas. Meskipun protes
atau keengganan belajar dapat disampaikan secara terselubung,
terkadang anggota kelompok juga dapat menyampaikan secara
terbuka. Hal ini dapat menyulitkan proses belajar di dalam
kelompok dan perlu diatasi dengan cara yang tepat.
Contohnya sebuah kelompok siswa sedang bekerja sama
untuk menyelesaikan sebuah proyek. Namun, salah satu anggota
kelompok, Maria, terlihat tidak tertarik dan seringkali absen dari
pertemuan kelompok. Ketika ditanya tentang hal ini, Maria sering

12
Nurasma dan Zaiyasni, Pengelolaan Kelas Teori Dan Praktik Dalam Pembelajaran, (Padang: FIP
UNP, 2017), 101.

11
meminta penjelasan berulang-ulang tentang tugas yang harus
dilakukan dan mengeluh bahwa tugasnya terlalu sulit. Dia juga
sering terlihat memainkan ponselnya selama waktu pertemuan
kelompok dan tidak terlibat dalam diskusi atau kerja sama dengan
anggota kelompok lainnya. Ketika kelompok mulai menunjukkan
kemajuan dalam proyek, Maria mengalami keengganan untuk
melanjutkan dan mengeluarkan protes bahwa tugas yang diberikan
oleh guru tidak adil. Situasi ini menyebabkan anggota kelompok lain
merasa frustrasi dan merasa sulit untuk bekerja sama dengan Maria,
sehingga memperlambat kemajuan proyek secara keseluruhan.
g. Ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan
Ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan kelas terjadi apabila kelompok (kelas) mereaksi secara
tidak wajar terhadap peraturan baru atau perubahan peraturan seperti
perubahan jadwal kegiatan, pergantian guru dan lain-lain. Apabila
hal itu terjadi sebenarnya para siswa (anggota kelompok) mereaksi
terhadap suatu perubahan tertentu, mereka menganggap bahwa
perubahan tersebut tidak adil atau mengganggu rutinitas mereka.
Hal ini seringkali mengakibatkan ketidakmampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan kelas yang baru.13
Sebagai contoh, ketika seorang guru pengganti masuk ke
kelas, anggota kelompok mungkin merasa tidak nyaman karena
mereka tidak terbiasa dengan cara mengajar dan gaya pengajaran
guru tersebut. Beberapa anggota kelompok mungkin merasa
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan dapat
menunjukkan perilaku yang tidak wajar, seperti melawan atau tidak
mengikuti instruksi dari guru pengganti. Selain itu, jika jadwal
kegiatan berubah secara tiba-tiba, anggota kelompok juga mungkin
merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dan memahami

13
Nana Suryana dan Rahmad Fadhli, Manajemen Pengelolaan Kelas, (Bandung: Penerbit Indonesia
Emas Group, 2022), 180.

12
perubahan tersebut. Mereka dapat menjadi kebingungan dan tidak
yakin tentang tugas-tugas atau aktivitas yang harus dilakukan, yang
kemudian dapat mengganggu proses belajar di kelas.
C. Pendekatan-Pendekatan Penanggulangan Masalah Anak Dalam
Pengelolaan Kelas
Ketika mengelola kelas, penting bagi seorang guru untuk memahami
penyebab perilaku yang tidak diinginkan dari siswa. Terdapat dua
pendekatan dalam memahami masalah perilaku siswa yang perlu dipahami
oleh para guru di kelas yaitu pendekatan dari luar (surface approach), dan
pendekatan kausal (causal approach). Schaefer telah mengemukakan
bahwa kedua pendekatan tersebut harus dipahami oleh para guru agar
mereka dapat menangani masalah pengelolaan kelas dengan efektif.
Pendekatan pertama adalah pendekatan dari luar (surface
approach), Pendekatan Surface Approach dalam mengelola kelas lebih
berfokus pada pengendalian dan penguasaan terhadap perilaku yang terlihat
atau diamati dari siswa.14 Pendekatan ini sering digunakan oleh guru yang
bersikap kaku dan otoriter, yang mengharapkan siswa patuh dan taat
terhadap aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Tipe guru seperti ini
cenderung menilai kesalahan siswa berdasarkan konsekuensi praktis dari
tindakan tersebut. Sebagai contoh, jika seorang siswa secara tidak sengaja
menumpahkan air ke lantai saat minum sambil berdiri dan menyebabkan air
mengenai teman sekelasnya yang duduk di sebelahnya sehingga teman
tersebut menangis, maka kesalahan siswa tersebut akan dinilai lebih berat
dibandingkan dengan siswa yang sengaja menumpahkan air ke lantai.
Pendekatan kedua adalah pendekatan kausal (causal approach),
Pendekatan Kausal dalam mengelola kelas mencoba untuk mencari dan
memahami motif yang mendasari tindakan siswa, serta mencari tahu
mengapa siswa melakukan tindakan tersebut. Pendekatan ini berusaha
untuk menyelesaikan masalah dengan mencari dan menghilangkan akar
penyebab yang tersembunyi dari perilaku tersebut.15 Dalam pendekatan ini,

14
Nur Afni dan Abrina Maulidnawati Jumrah, Manajemen Kelas Di SD, (Yogyakarta: Penerbit
Samudra Biru, 2019), 71.
15
Ibid, 72.

13
guru cenderung memandang setiap perilaku siswa memiliki alasan atau
motif tertentu yang mendorongnya melakukan tindakan tersebut.
Sehubungan dengan hal itu Schaefer mengemukakan pula bahwa di antara
motif-motif yang umum dari tingkah laku salah pada anak disebabkan oleh:
1. Perhatian, anak-anak ingin mendapatkan perhatian, bahkan peringatan
dan kritik.
2. Pembalasan, anak-anak memberikan pembalasan karena merasa pernah
disakiti dan terhalangi keinginannya.
3. Salah pengertian, anak tidak mengerti tentang apa yang diharapkan dari
dirinya, atau karena lupa peraturan-peraturan.
4. Perjuangan hak, anak-anak menginginkan agar ia dibiarkan melakukan
cara dan kehendaknya sendiri dalam suatu perselisihan.
5. Sebab keadaan jasmani, anak merasa mudah tersinggung dan marah
karena dia letih, lapar atau sakit.
6. Persaingan, anak bersifat cemburu untuk memperoleh perhatian dan
kelebihan terhadap teman sebayanya.
7. Pemindahan, anak menderita karena beberapa harga diri yang terluka
yang dialaminya, dan mencoba memindahkan kepada orang lain.
8. Nilai-nilai anak hanya memikirkan diri sendiri (egosentris) dan hampir
tidak memperdulikan orang lain, dan tidak merasa bersalah atas suatu
perbuatannya.

14

Anda mungkin juga menyukai