Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 13 MODUL 3
KELAINAN CARDIO PULMONAL

KELOMPOK 4

FAIZ IBNU HAJID                                                2010016007

A. LUTHFIAH NANDA                          2010016030

BELLA MAULIDYA PUTRA                              2010016032

SONIA INDAH RAMADHANI                             2010016036

SIREGAR, LUCKY WILSON I.                           2010016041

DELLA AYU LESTARI                                        2010016042

ANDI HAFIZ RAJENDRA                                   2010016051

KARMELIA UTAMI                        2010016063

MEYLALIAZKA RAHMA N.                              2010016068

VIVI ARSI RAHMANIA SARI                             2010016076

LIRANA IMUTE SYAHDUMAWARTA             2010016069

Tutor : dr. Yetty O. Hutahean, Sp. S

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “Kelainan
Cardio Pulmonal” pada waktunya. Laporan ini kami susun dari berbagai sumber ilmiah
sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
terselesaikannya laporan ini, antara lain :

1. dr. Muhammad Buchori, M. Sc., Sp. A selaku penanggung jawab kuliah Blok 13
Modul 3 yang telah membimbing kami.

2. dr. Yetty O. Hutahean, Sp. S selaku tutor kelompok 4 yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan diskusi kelompok kecil (DKK).

3. Teman-teman kelompok 4 yang telah menyampaikan pemikiran dan usulannya


sehingga Diskusi Kelompok Kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik, serta
dapat menyelesaikan laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil (DKK).

4. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan


2020.

Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun laporan ini sangat terbatas.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil (DKK) ini.

Samarinda, 28 Agustus 2022

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................... 1

Kata Pengantar.................................................................................................... 2

Daftar Isi.............................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang............................................................................................... 4

1.2 Tujuan ........................................................................................................... 4

1.3 Manfaat ......................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN DAN ISI .................................................................... 6

2.1 Skenario......................................................................................................... 6

2.2 Klarifikasi Istilah........................................................................................... 6

2.3 Identifikasi Masalah...................................................................................... 7

2.4 Analisis Masalah............................................................................................ 7

2.5 Strukturisasi Konsep...................................................................................... 10

2.6 Learning Objective ........................................................................................ 10

2.7 Belajar Mandiri............................................................................................... 11

2.8 Sintesis............................................................................................................ 11

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 30

3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 30

3.2 Saran .............................................................................................................. 30

Daftar Pustaka....................................................................................................... 31

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga
dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Penyakit paru
kronik semakin sering menjadi penyebab penyakit jantung, dan sebaliknya, penyakit
jantung yang disertai dekompensasi atau penyakit vascular dapat mengakibatkan
perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi paru. Salah satu penyakit paru yang dapat
menyebabkan penyakit jantung adalah PPOK. Salah satu contoh dari kelainan
kardiovaskular yang diakibatkan oleh PPOK adalah Hipertensi pulmonal yang nantinya
dapat berkembang menjadi Cor Pulmonal hingga Gagal Jantung.
Kor Pulmonal adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang meyerag struktur, fungsi paru, dan atau
pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
Gagal jantung merupakan akhir dari semua penyakit kardiovaskular, yaitu
merupakan sindroma klinis yang didasari ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah keseluruh tubuh secara adekuat akibat adanya gangguan struktural dan fungsional
jantung.
Oleh karena itu, penting bagi seorang calon dokter untuk mengetahui dan memahami
hubungan antara penyakit respirasi dengan gagal jantung.

1.2 Tujuan
Diskusi yang telah kami lakukan memiliki beberapa tujuan pembelajaran, yaitu :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis, penyebab, dan mekanisme dari nyeri
dada
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis, penyebab, dan mekanisme dari ronki
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi komplikasi dari PPOK meliputi :
A. Cor Pulmonale

4
B. Gagal Jantung
C. Hubungan antara cor pulmonale dan gagal jantung
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis komplikasi dari PPOK
meliputi:
A. Cor pulmonale
B. Gagal jantung
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana komplikasi dari PPOK meliputi :
A. Cor pulmonale
B. Gagal jantung

1.3 Manfaat
Setelah mempelajari Blok 13 Modul 3, mahasiswa diharapkan mampu memahami
mengenai gangguan dalam bidang kardiovaskular meliputi cor pulmonale dan gagal
jantung.

5
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI

2.1 Skenario
Seorang laki-laki Tn. N berusia 65 tahun dibawa ke IGD rumah sakit dengan keluhan
sesak napas. Sesak dirasakan sejak 2 tahun yang lalu yang timbul saat aktivitas yang
berlebihan, tetapi dalam tiga bulan terakhir ini sesak semakin memberat bahkan timbul
sat aktivitas yang ringan. Tn. N juga mengeluhkan terdapat bengkak pada kedua
tungkainya dan perut membesar. Kadang-kadang juga timbul batuk dan terdapat
keluhan nyeri dada. Penderita merupakan perokok beat sejak usia 15 tahun dan sudah
pernah didiagnosis oleh dokter dengan par kronis.
Pemeriksaan tanda vital didapatkan didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 110
x/menit, pernapasan 32 x/menit, suhu 36,5°C. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan
perkusi hipersonor, ronkhi dan wheezing pada kedua lapangan par serta pembesaran
batas jantung. Pemeriksaan perkusi abdomen didapatkan shifting dullness positif.
Pemeriksaan ekstremitas didapatkan bengkak pada kedua tungkai yang apabila ditekan
lekukan kulut tidak langsung Kembali normal. Tn. N kemudian dilakukan serangkaian
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kelainan yang mendasarinya dan
menegakkan diagnosis.

2.2 Klasifikasi Istilah


1. Ronki : Merupakan suara napas tambahan. Terbagi menjadi dua, yaitu basah dan
kering. Ronki basah terdengar saat inspirasi sedangkan ronki kering terdengar saat
ekspirasi.
2. Hipersonor : Merupakan suara sonor yang dapat meningkat karena adanya udara
yang berlebih di paru. Biasanya ditemukan saat perkusi pada pasien PPOK atau
pneumothorax.

6
3. Shifting Dillness : Merupakan salah satu teknik untuk memeriksa apakah ada asites
dalam abdomen atau tidak, dengan meminta pasien untuk berbaring miring dan
dilakukan perkusi, dilihat apakah ada perubahan suara dari timpani menjadi pekak.

2.3 Identifikasi Masalah


1. Apa yang menyebabkan timbulnya nyeri dada pada tuan N?
2. Mengapa tuan N semakin sesak saat beraktivitas, baik berat ataupun ringan?
3. Mengapa terjadi bengkak pada kedua tungkai tuan N dan mengapa bukan ekstremitas
atas?
4. Mengapa perut tuan N membesar?
5. Mengapa terjadi pembesaran jantung?
6. Mengapa terjadi suara hipersonor dan shifting dullness pada perkusi?
7. Mengapa pada pemeriksaan didapatkan suara ronki?
8. Apa hasil interpretasi pemeriksaan tanda vital pada tuan N?
9. Apakah ada hubungan antara riwayat perokok berat dan riwayat penyakit terhadap
keluhan yang dialami sekarang?
10. Apa saja pemeriksaan yang perlu dilakukan pada tuan N?
11. Apa kemungkinan penyakit yang dialami tuan N?
12. Apa tatalaksana awal untuk tuan N?

2.4 Analisis Masalah


1. Apa yang menyebabkan timbulnya nyeri dada pada tuan N?
Disebabkan karena pasien mempunyai riwayat perokok sedari muda yaitu 15 tahun,
dan kebiasaan ini dilakukan hingga usia tua. Kemudian pasien juga sudah
didiagnosis PPOK, dimana kebutuhan oksigen tidak bisa digunakan dengan baik dan
perfusi jaringan kurang baik sehingga bisa timbul nyeri dada pada pasien tersebut.

2. Mengapa tuan N semakin sesak saat beraktivitas, baik berat ataupun ringan?
Sesak memberat karena tubuh sudah tidak bisa lagi mengkompensasi terutama
karena jantung terus bekerja keras karena Tuan N terus merokok, maka PPOK

7
menjadi progresif dan manifestasi ppok memberat. Usia dari Tuan N yang cukup tua
dimana imunitas menurun dan kemampuan sel tubuhnya bergenerasi berkurang
ditambah dengan ketidakseimbangan protease dan anti protesi terganggu akibat terus
merokok.

3. Mengapa terjadi bengkak pada kedua tungkai tuan N dan mengapa bukan
ekstremitas atas?
Edema terjadi karena adanya peningkatan hidrostatik dan penurunan tekanan
osmotik serta retensi Na dan air, edema bisa terjadi ditempat lain bahkan di paru dan
otak. Edema terjadi karena PPOK komplikasi yang progresif mengakibatkan kapiler
vasokonstriksi dan terjadi gangguan aliran balik vena yang mengakibatkan edema
pada tungkai. Mengapa di tungkai? Karena adanya gaya gravitasi, darah dapat
berkumpul di tungkai dan apabila terlalu banyak dapat menyebabkan edema tungkai.

4. Mengapa perut tuan N membesar?


Pada pemeriksaan dilakukan perkusi, jika terdengar pekak berarti terdapat akumulasi
cairan maka shifting dullness positif dan terjadilah pembesaran perut. Perut
membesar juga terjadi akibat adanya asites. Asites terbentuk karena kurangnya
albumin, apabila tidak ada yang mengikat (albumin) maka cairan akan bocor.

5. Mengapa terjadi pembesaran jantung?


Berkaitan dengan cor pulmonale. Terjadi vasokonstriksi pada arteri pulmonale,
jantung akan mengkompensasi dengan bekerja lebih keras untuk memompa
darahnya, sehingga otot jantung terutama ventrikel kanan akan mengalami penebalan
dan menyebabkan terjadinya hipertrofi pada ventrikel kanan.

6. Mengapa terjadi suara hipersonor dan shifting dullness pada perkusi?


- Hipersonor : Karena terjadi air tripping (terdapat banyak suara dan perkusinya
sonor)
- Shifting dullness : Karena adanya cairan yang berpindah-pindah

8
7. Mengapa pada pemeriksaan didapatkan suara ronki?
Karena adanya hambatan dan penumpukan cairan pada saluran nafas. Ronki sendiri
terbagi menjadi dua, yaitu basah dan kering.

8. Apa hasil interpretasi pemeriksaan tanda vital pada tuan N?


- Tekanan darah (1450/90 ) : Hipertensi
- Nadi (110x/ menit) : Takikardi
- Pernapasan (32x/menit) : Takipneu
- Suhu (36,5°C) : Normal
- Hipersonor : Adanya udara berlebih pada cavitas alveolar di paru
- Ronkhi dan weezing : Obstruksi pada saluran nafas

9. Apakah ada hubungan antara riwayat perokok berat dan riwayat penyakit
terhadap keluhan yang dialami sekarang?
Hubungan antara riwayat perokok berat dengan PPOK sangat erat karena merokok
merupakan faktor resiko utama terjadinya PPOK. PPOK akan semakin progresif dan
kronis serta berlangsung bertahun-tahun. Pada PPOK terjadi destruksi septum
alveolar lalu terjadi gangguan ventilasi dan difusi. Kemudian arteri pulmonal akan
mengkompensasi dengan melakukan vasokonstriksi sehingga resistensi akan
meningkat. Hal ini akan membuat ventrikel kanan akan lebih sulit untuk memompa
darahnya ke paru sehingga bisa terjadi hipertofi.

10. Apa saja pemeriksaan yang perlu dilakukan pada tuan N?


- Pemeriksaan EKG untuk melihat irama jantung dan cairan edemanya
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan chapter jantung
- Pemeriksaan oxsimeter
- Pemeriksaan poste-anterior

11. Apa kemungkinan penyakit yang dialami tuan N?

9
Cor pulmonale atau gagal jantung

12. Apa tatalaksana awal untuk tuan N?


- Terapi oksigen
- Kelanjutan pengobatan penyakit PPOK (pemberian bronkidilator)
- Obat yang menarget kerja jantungnya
- Obat yang menurunkan hipertensi

2.5 Strukturisasi Konsep

Riwayat merokok

1. Nyeri dada
2. Hipersonor
PPOK 3.Ronki dan wheezing (+)

1. Edema tungkai
2. Shifting dullness (+)
Hipertensi Pulmonale 3. Cardiomigali

Cor Pulmonale Gagal Jantung

Tatalaksana

2.6 Learning Objective


1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis, penyebab, dan mekanisme dari nyeri
dada
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis, penyebab, dan mekanisme dari ronki

10
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi komplikasi dari PPOK meliputi :
A. Cor Pulmonale
B. Gagal Jantung
C. Hubungan antara cor pulmonale dan gagal jantung
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis komplikasi dari PPOK
meliputi:
A. Cor pulmonale
B. Gagal jantung
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana komplikasi dari PPOK meliputi :
A. Cor pulmonale
B. Gagal jantung

2.7 Belajar Mandiri


Pada tahapan ini, masing-masing anggota diskusi melakukan proses belajar mandiri
berdasarkan learning objective yang telah ditentukan sebelumnya untuk mengetahui
lebih dalam terhadap materi yang akan dibahas pada Diskusi Kelompok Kecil (DKK) 2.

2.8 Sintesis
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis, penyebab, dan mekanisme dari
nyeri dada
1) Nyeri Dada Cardiac
a. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner dapat diklasifikasikan menjadi penyakit jantung
koroner kronis, sindroma koroner akut, dan kematian mendadak. Klinis
penyakit jantung koroner bermacam-macam, mulai dari asimptomatik sampai
fatal. Angina pektoris merupakan nyeri dada kardiak yang disebabkan oleh
insufisiensi pasokan oksigen miokardium. Pasien seringkali mengemukakan
rasa ditekan beban berat atau diremas yang timbul setelah aktivitas atau stress
emosional. Gejala penyerta meliputi diaforesis, mual, muntah, dan
kelemahan. Nyeri dada dan diaforesis merupakan 2 gejala paling umum dari
infark miokard. Tanda Levine, dimana pasien meletakkan kepalan tangannya

11
di atas sternum ketika mencoba untuk menggambarkan nyeri dadanya juga
merupakan salah satu tanda nyeri iskemik. 
b. Stenosis Aorta
Penyebab stenosis aorta meliputi katup bikuspid kongenital, sklerosis aorta,
demam rematik. Penyakit jantung koroner seringkali ada bersamaan dengan
sklerosis aorta. Nyeri dada aorta stenosis bergantung pada aktivitas. Tanda
dan gejala dari gagal jantung juga dapat dijumpai. Sinkop merupakan gejala
lanjutan dan berhubungan dengan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
murmur ejeksi sistolik yang paling jelas didengar di ruang antar iga kedua
kanan yang menjalar ke karotis. Splitting paradoks bunyi jantung kedua juga
dapat dijumpai pada stenosis aorta. Pola kenaikan denyut karotis terlambat
dan beramplitudo rendah. Tanda lainnya adalah adanya kuat angkat (heaving)
pada apeks jantung dan thrill pada ruang antar iga kedua kanan. 
c. Kardiomiopati Hipertrofi
Hipertrofi septum interventrikel pada kardiomiopati hipertrofi menyebabkan
obstruksi aliran ventrikel kiri. Gejala paling umum kardiomiopati hipertrofi
adalah dispnea dan nyeri dada. Berkurangnya pengisian ventrikel kiri yang
dikenal sebagai disfungsi diastolik menyebabkan dispnea. Sinkope juga
sering dijumpai dan dipengaruhi aktivitas. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
murmur sistolik yang bertambah keras pada Valsalva maneuver, bunyi
jantung (S4), denyut karotis bifid, dan denyut triple apikal karena adanya S4
dan celah tekanan midsistolik. Nyeri dada pada kardiomiopati hipertrofi
menyerupai angina. 
d. Vasospasme Koroner
Angina Prinzmetal atau variant angina disebabkan vasospasme koroner.
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada wanita di bawah 50 tahun dan
biasanya terjadi pagi hari, saat baru bangun tidur. Pasien mengalami nyeri
dada iskemik berulang yang berbeda dari angina tipikal karena dirasakan
pada saat istirahat. Spasme koroner dapat terlihat jelas pada angiografi. 
e. Diseksi Aorta

12
Pasien diseksi aorta biasanya mengeluh nyeri dada hebat akut anterior
menjalar ke belakang atas. Marfan syndrome merupakan salah satu penyebab
diseksi aneurisma aorta. Hipertensi sering dijumpai dan merupakan faktor
risiko. Diseksi tipe A terjadi pada aorta asendens, sedangkan tipe B terjadi
pada distal arteri sub klavia sinistra. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
murmur insufisiensi aorta. Intensitas denyut arteri radialis dapat berbeda-
beda. 
f. Perikarditis
Perikarditis bisa disebabkan oleh infeksi virus, tuberkulosis, penyakit
autoimun, keganasan, uremia, radiasi, dan setelah infark miokard (Sindrom
Dressler). Cocksackie dan echovirus merupakan penyebab tersering. Nyeri
dada perikarditis menyerupai nyeri dada pleura. Nyeri biasanya berkurang
apabila pasien duduk dan condong ke depan dan biasanya bertambah bila
pasien terlentang. Demam merupakan gejala penyerta umum. Friction rub
adalah tanda utama adanya perikarditis. 
g. Prolaps Katup Mitral
Nyeri dada pasien prolaps katup mitral bersifat tajam di apeks. Gejala
penyerta lain meliputi dispnea, lelah, dan palpitasi. Pasien akan merasakan
nyeri berkurang ketika terlentang. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
murmur sistolik akhir didahului klik midsistolik yang jelas terdengar di
apeks. Murmur bertambah keras bila pasien berdiri. Kebanyakan pasien
prolaps katup mitral adalah wanita kurus. 

2) Nyeri Dada Non Cardiac

a. Kelainan Esofagus

Perforasi esofagus bisa disebabkan oleh pemakaian instrumen secara


iatrogenik, muntah hebat, dan penyakit esofagus (contoh: esofagitis atau
neoplasma). Erosi esofagus yang terjadi pada saat endoskopi mencapai 10-
70% dari pasien nyeri dada nonkardiak. Pasien perforasi esofagus
mengeluhkan nyeri hebat, mendadak, dan terus menerus dari leher sampai

13
epigastrium yang diperberat dengan menelan. Pemeriksaan fisik
menunjukkan adanya pembengkakan leher dan emfisema subkutan yang jelas
dirasakan sebagai krepitasi. Hal ini disebabkan oleh udara yang merembes ke
mediastinum dan jaringan sekeliling. Efusi pleura juga dapat ditemukan.

b. Kondisi Abdomen Atas

Kondisi abdomen atas meliputi kolesistitis, pankreatitis akut, dan perforasi


ulkus peptikum dapat menyerupai tanda dan gejala infark atau iskhemia
miokard inferior. Kondisi abdomen atas patut dipertimbangkan sebagai salah
satu penyebab nyeri dada bawah. Tanda Murphy, yang merupakan tanda
kolesistitis akut, dapat diperlihatkan dengan menginstruksikan pasien menarik
nafas dalam sementara dokter melakukan palpasi daerah sub kosta kanan.
Terhentinya inspirasi karena nyeri merupakan hasil positif tanda Murphy.
Pankreatitis akut menyebabkan nyeri terus menerus di daerah epigastrium.
Riwayat alkoholik, kolelitiasis, dan hipertrigliseridemia meningkatkan
kecurigaan pankreatitis akut. Pasien perforasi ulkus peptikum umumnya
menderita nyeri epigastrium hebat. Tanda-tanda peritonitis, seperti perut
keras seperti papan, dapat segera ditemukan pada pasien perforasi ulkus
peptikum. 

c. Kelainan Pulmonal

Nyeri dada yang sering berkaitan dengan penyakit paru mempunyai sifat
nyeri pleura. Terminologi nyeri pleura mengimplikasikan nyeri yang berubah-
ubah sesuai dengan siklus pernapasan (bertambah ketika inspirasi dan
berkurang ketika ekspirasi). Nyeri pleura bersifat tajam dan unilateral.
Pleuritis merupakan penyebab klasik yang menimbulkan nyeri pleura.
Pleuritis disebabkan oleh inflamasi pleura akut. Pleuritis umumnya
disebabkan oleh infeksi saluran nafas bawah. Penyebab lain pleuritis adalah
penyakit autoimun. Nyeri bersifat tajam dan bertambah ketika batuk, menarik
nafas dalam, atau bergerak. Pleural friction rub biasanya terdengar dengan

14
auskultasi. Penyebab paru lain adalah pneumotoraks spontan, emboli paru,
pneumonitis, bronkitis, dan neoplasma intratorakal.

d. Kelainan Muskuloskeletal

Nyeri dinding dada mencapai 28% dari seluruh penyebab nyeri dada
nonkardiak pasien Unit Perawatan Koroner. Penyebab muskuloskeletal
(dinding dada) dari nyeri dada akut meliputi kostokondritis (Sindrom Tietze),
yang disebabkan oleh inflamasi costochondral junction; fraktur iga, dan
mialgia. Untuk pasien dengan nyeri dinding dada, palpasi dada dapat
mencetuskan nyeri. Pergerakan vertebra pasif seperti fleksi, ekstensi, dan
rotasi vertebra thorakal dan servikal juga dapat menimbulkan nyeri. 

e. Herpes Zoster

Herpes zoster dapat menimbulkan nyeri dada akut. Nyeri disebabkan herpes
zoster menyerupai sensasi terbakar dan mengikuti distribusi dermatom
unilateral bagian yang sakit. Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai hal yang
spesifik karena nyeri biasanya timbul sebelum adanya lesi vesikuler. 

f. Psikologis

Serangan panik dapat menimbulkan nyeri dada akut. Nyeri dapat berupa rasa
tertekan, ditusuk, seringkali disertai sesak dan berlangsung 30 menit atau
lebih. Nyeri ini tidak berkaitan dengan aktivitas dan dari anamnesis dapat
diperoleh riwayat gangguan emosional sebelumnya.

Juga ada pembagian berdasarkan tingkat keparahan berdasarkan clinical guide to


Cardiologi :

a. Life Threatening : Acute Pulmonary Syndrom, Pulmonary Embolism


b. Non Life Treahtening : Gastroesophageal reflux, pneumonia, Anxiety

15
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis, penyebab, dan mekanisme dari
ronki
Ronki adalah suara tambahan pernafasan atau suara gaduh yang dalam. Ronki
disebabkan oleh gerakan udara yang  melewati jalan napas yang menyempit
(obstruksi jalan napas). Obstruksi adalah sumbatan akibat sekresi, edema, atau
adanya suatu keganasan. Suara ronki bernada rendah sehingga bersifat sonor,
terdengar tidak mengenakkan (raspy) dan dapat terjadi saat inspirasi maupun
ekspirasi. 

a. Ronki Basah (Krepitasi)


Ronki basah adalah bunyi tambahan yang terdengar tidak kontinyu atau putus-
putus pada waktu inspirasi seperti bunyi ranting kering yang terbakar, disebabkan
oleh sekret di dalam alveoli atau bronkiolus. Ronki basah dapat halus, sedang,
dan kasar. Ronki halus dan sedang dapat disebabkan cairan di alveoli misalnya
pada pneumonia dan edema paru. Sedangkan ronki kasar misalnya pada
bronkiektasis.

b. Ronki Kering

Suatu bunyi tambahan yang terdengar kontinyu terutama waktu ekspirasi disertai
adanya mucus/secret pada bronkus dan kolapsnya saluran udara di bagian distal
dan alveoli.  Ada yang high pitch (menciut) misalnya pada asma dan low pitch
oleh karena secret yang meningkat pada bronkus yang besar, yang dapat juga
terdengar waktu inspirasi. Terdapat tiga macam ronki kering diantaranya halus
(fine rales), sedang (medium rales), dan kasar (coarse rales). Ronki kering
terdengar berdesis dan kadang disertai dengan wheezing.

Perbedaan Ronki dan Mengi : Mengi berasal dari bronkus dan bronkiolus yang lebih
kecil salurannya, bernada tinggi dan terdengar bersiul. Biasanya terdengar jelas pada
pasien asma. Sedangkan ronki berasal dari bronkus dan bronkiolus yang lebih besar
salurannya, mempunyai nada yang rendah, sonor. Biasanya terdengar jelas pada
orang ngorok (snoring).

16
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi komplikasi dari PPOK meliputi :
A. Cor Pulmonale
Cor pulmonale yang disebabkan oleh komplikasi sebuah PPOK yang memang
akan terjadi apabila tidak adanya penanganan yang menyeluruh dan serius pada
pasien PPOK. Terjadi pada pasien PPOK akan mengalami kerusakan pada
alveolus maupun kapiler di sekitar alveolus yang menyebabkan darah sulit untuk
mendapatkan oksigen dan terjadilah hipoksia, hipoksia ini membuat seluruh
organ berkompensasi. Pada ginjal melakukan produksi hormon eritropoetin
hormon ini membuat polisitemia yang menyebabkan hyperviscositas pada darah.
Pada jantung hipoksia membuat vasokonstriksi pulmonal yang menyebabkan
meningkatnya retensi vaskular. Hyperviscositas dan peningkatan retensi vaskular
menyebabkan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal terjadi apabila terdapat lonjakan tekanan hingga >25
mmHg, pada hipertensi pulmonal terjadi hipertrofi ventrikel kanan karena harus
bekerja keras untuk menyetarakan tekanan agar darah dapat mengalir kembali
untuk mendapatkan oksigen. Apabila terjadi dalam waktu yang lama tanpa diberi
tatalaksana yang memadai akan berakhir gagal jantung.

B. Gagal Jantung
Pada umumnya gagal jantung bukan suatu penyakit tersendiri, namun adalah
komplikasi dari suatu penyakit lain yang dapat bersifat akut atau kronis. Gagal
jantung dapat didefinisikan sebagai kelainan fungsi jantung yang menyebabkan
kegagalan jantung memompa darah pada kecepatan yang sepadan dengan
kebutuhan metabolisme tubuh. Terdapat banyak cara untuk mengklasifikasikan
gagal jantung menurut mekanisme terjadinya sebagai berikut :
1) Gagal Jantung Kiri Vs Kanan
Pada gagal jantung kiri, ventrikel kiri dari jantung mengalami disfungsi
sehingga gagal untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Umumnya terjadi karena
iskemia yang disebabkan oleh hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi dapat terjadi
dalam jangka panjang bila jantung tidak bisa memompa darah ke seluruh
17
tubuh karena hipertensi sistemik sehingga ventrikel kiri beradaptasi menjadi
lebih besar. Konsekuensinya, kebutuhan oksigen ventrikel menjadi lebih
besar dan tubuh tidak akan dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga
scar tissue terbentuk di ventrikel kiri, secara efektif menghentikan kerjanya.
Darah yang tidak bisa dipompa akhirnya akan mengalir kembali ke paru-paru
sehingga menyebabkan oedema paru. Perfusi terganggu dan pasien akan
mengalami dyspnea. Cairan tambahan di paru juga sumber suara ronki. 
Gagal jantung kanan merupakan salah satu komplikasi yang dapat muncul
pada pasien-pasien PPOK yang mengalami cor pulmonale atau hipertrofi
ventrikel kanan. Kolaps dari alveolus serta vasokonstriksi pembuluh darah di
paru-paru meningkatkan resistensi arteri pulmoner. Ventrikel kanan harus
beradaptasi bila ingin memompa darah ke paru-paru sehingga mengalami
hipertrofi. Darah yang tidak dipompa dapat mengalir kembali ke sistem tubuh
dan menyebabkan oedema ekstremitas, hepatomegali, splenomegali, distensi
vena jugularis dan asites. Gagal jantung kanan tidak unik sebagai komplikasi
PPOK karena mayoritas gagal jantung kanan terjadi karena gagal jantung
kiri.
2) Gagal Jantung Sistolik Vs Diastolik
Fraksi ejeksi menjadi parameter yang dipakai untuk membedakan gagal
jantung sistolik atau diastolik. Pada gangguan sistolik, fraksi ejeksi lebih
rendah dari normal, ini karena volume darah yang dipompa dibandingkan
volume yang terdapat di ventrikel lebih rendah daripada normal (50-75%).
Fraksi ejeksi normal dengan tanda-tanda gagal jantung menandakan bahwa
masalah terjadi saat darah berpindah dari atrium ke ventrikel. Volume darah
yang memenuhi ventrikel lebih rendah dari seharusnya, sehingga jumlah
darah yang dipompa juga berkurang. Hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan
gangguan sistolik dan juga diastolik. 
3) Mekanisme Kompensasi Gagal Jantung
Saat aliran darah yang dipompa dari jantung ke tubuh berkurang,
baroreseptor akan merespon dengan aktivasi neurohormonal untuk
meningkatkan aliran darah dari jantung. Mekanisme kompensasi seperti

18
aktivasi saraf simpatis dan
sistem renin- angiotensin-
aldosteron.

Aktivasi sistem-sistem tersebut meningkatkan tekanan darah sistemik melalui


mekanisme vasokonstriksi. Kerja sistem renin-angiotensin-aldosteron dapat
terlihat pada munculnya gejala pitting oedema di ekstremitas pasien dan
meningkatnya preload serta afterload. Mekanisme kompensasi tubuh akan
menjadi detrimental bila terus berlanjut karena upaya tubuh meningkatkan
tekanan darah direspon oleh remodelling ventrikel. 

C. Hubungan antara cor pulmonale dan gagal jantung

19
Remodelling atau hipertrofi ventrikel kanan disebabkan meningkatnya resistensi
pulmonal karena komplikasi PPOK. Hipertrofi menyebabkan volume ventrikel
kanan berkurang serta meningkatkan kebutuhan oksigennya. Jumlah darah
beroksigen yang bersirkulasi di tubuh berkurang secara total karena stroke
volume ventrikel kanan berkurang. Kegagalan darah masuk paru-paru untuk
perfusi menjadi penyebab berkurangnya fungsi organ-organ tubuh lain akibat
hipoksemia dan hiperkapnea. Saat ventrikel kanan mengalami iskemia, fungsinya
sebagai pompa darah terhambat dan kegagalannya untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh menjadikan gagal jantung. 

4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis komplikasi dari PPOK


meliputi:
A. Cor pulmonale
1) Anamnesis
a. Riwayat merokok 
b. Riwayat penyakit paru kronis (tanda tanda PPOK)
c. Sesak
d. Nyeri dada pleuritik 
e. Batuk / hemoptisis 
f. Berkeringat 

2) Pemeriksaan Fisik 

o Gangguan respirasi : takipneu, hipoksia, sianosis, somnolen 


o Edema ekstremitas inferior 
o Takikardia 
o Thrombophlebitis 
o Auskultasi : murmur trikuspid, S3 or S4 gallop, S2 mengeras

3) Pemeriksaan penunjang 

20
o Elektrokardiografi : adanya sinus takikardia, perubahan gelombang
segmen ST gelombang T non spesifik, abnormalitas emboli paru, right
ventricular sign 
o Laboratorium : troponin meningkat, hipoksemia, hipokarbia, alkalosis
respiratorik 
o Foto toraks : kardiomwgali, kolaps pembuluh darah (Westermark’s sign),
infark paru (Hampton’s sign), arteri pulmonalis prominen (Fleischner
sign) 
o Ekokardiografi : memastikan abnormalitas anatomi 
o CT Scan Toraks 

B. Gagal jantung
1) Anamnesis 
Pemeriksa menggali gejala utama: Fatigue, dyspnea, shortness of breath.
Keluhan lain dapat berupa keluhan saluran pencernaan seperti anoreksia,
nausea, dan rasa penuh. Keluhan berat dapat terjadi konfusi, disorientasi,
gangguan pola tidur dan mood.
2) Pemeriksaan Fisik 
Posisikan pasien tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah dapat
normal atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena
disfungsi ventrikel kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian
tekanan pengisian vena, adanya murmur sistolik, murmur diastolik, dan irama
gallop perlu dideteksi dalam auskultasi jantung. Kongesti paru ditandai
dengan ronki basah pada kedua basal paru. Penilaian vena jugular dapat
normal saat istirahat tetapi dapat meningkat dengan adanya tekanan pada
abdomen (abdominojugular reflux positif). Pada abdomen adanya
hepatomegali merupakan tanda penting pada gagal jantung, asites, ikterus
karena fungsi hepar yang terganggu. Edema ekstremitas yang umumnya
simetris dapat ditemukan.
3) Pemeriksaan Penunjang 

21
o EKG 
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal
jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung. Jika EKG normal, diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10%).
o Foto toraks 
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Foto toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura,
dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada
gagal jantung akut dan kronik.
o Laboratorium 
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin, estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR), glukosa, tes fungsi
hepar, dan urinalisa. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai
gambaran klinis. Gangguan hematologi atau elektrolit yang bermakna
jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang
belum diberikan terapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada
pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/ atau ACE-I (angiotensin
converting enzyme inhibitor), ARB (angiotensin receptor blocker), ARNI
(angiotensin receptor nephrilysin inhibitor), atau antagonis aldosteron. 
o ECG 
Istilah ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasonografi jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler,
colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis
gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien

22
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk
membedakan antara dengan HFREF dan HFPEF.

5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana komplikasi dari PPOK meliputi :


A. Cor pulmonale
Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama
dengan pengobatan cor pulmonal pada umumnya, yaitu untuk : (1)
Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal;
(3) Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan penyakit dasar dan
komplikasinya
Pengobatan cor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan
hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan
diawali dengan menghentikan merokok serta tatalaksana lanjut adalah sebagai
berikut :
1. Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui. Ditemukan 2 hipotesis: (I) Terapi Oksigen
mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi vaskular paru yang
kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan; (2) Terapi oksigen
meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung, otak dan organ vital lain.
Pemakaian oksigen secara kontinu selama 12 jam (National institute of
Health/NlH, Amerika); 15 jam (British Medical Research Council / MRC
dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan
pasien tanpa terapi oksigen. Indikasi terapi Oksigen (di rumah) adalah : 
(a) Pa02 < 55 mmHg atau Sa02 <88%;
(b) Pa02 55-59 rnmHg disertai salah satu dan:
(b. 1) Edema disebabkan gagal jantung kanan;
(b.2) P pulmonal pada EKG: (b.3) Eritrositosis hematokrit >56%).
2. Vasodilator

23
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik,
inhibitor ACE, dan prostaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan
pemakaiannya secara rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan
vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik yang meliputi: (a)
Resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20%; (b) Curah jantung
meningkatkan atau tidak berubah; (c) Tekanan arteri pulmonal menurunkan
atau tidak berubah; (d)Tekanan darah sistemik tidak berubah secara
signifikan.
Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah
keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak. Pemakaian
sildenafil untuk melebarkan pembuluh darah Paru pada Priimary Pulmonary
Hertensionil, sedang ditunggu hasil penelitian untuk kor pulmonal lengkap.
3. Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan
pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan digoksin
bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Di samping itu pengobatan dengan
digitalis menunjukkan peningkatan terjadinya komplikasi aritmia.
4. Diuretika 
Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian diuretika yang
berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu
peningkatan hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah
jantung menurun.
5. Flebotomi 
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi
untuk menurunkan hematokrit sampai dengan nilai 59% hanya merupakan
terapi tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut.
6. Anti Koagulan

24
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan atas kemungkinan
terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan
dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.
Di samping terapi di atas pasien kor pulmonal pada PPOK harus mendapat
terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta. Terapi optimal
kor pulmonal karena PPOK harus dimulai dengan terapi optimal PPOK untuk
mencegah atau memperlambat timbulnya hipertensi pulmonal. Terapi
tambahan baru diberikan bila timbul tanda-tanda gagal jantung kanan.

B. Gagal jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung
tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah
penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap
kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai.
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI kadang-
kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Kontraindikasi pemberian ACEI yaitu adanya Riwayat angioedema, Stenosis
renal bilateral, Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, Serum kreatinin > 2,5
mg/dL, dan Stenosis aorta berat.
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung melalui inisiasi pemberian ACEI
dengan Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit dan Periksa kembali fungsi
ginjal dan serum elektrolit 1– 2 minggu setelah terapi ACEI. Naikan dosis
secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.

25
o Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di
rumah sakit
o Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
o Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan
sekali.
2. β Blocker
Kecuali kontraindikasi, Indikasi pemberian penyekat β dangan Fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 %, Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV
NYHA) ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah
diberikan, dan Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,
tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat).
Kontraindikasi pemberian penyekat β pada pasien Asma dan Blok AV
(atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit).
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β
yakni Hipotensi simtomatik, Perburukan gagal jantung, Bradikardia. Cara
pemberian penyekat β pada gagal jantung dengan cara Inisiasi pemberian
penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Naikan dosis secara titrasi
o Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik
atau bradikardi (nadi < 50 x/menit).
o Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi.
3. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa

26
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Indikasi pemberian antagonis
aldosteron Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, Gejala sedang sampai berat
(kelas fungsional III- IV NYHA), Dosis optimal β blocker dan ACEI atau
ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB).
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron Konsentrasi serum kalium >
5,0 mmol/L, Serum kreatinin> 2,5 mg/dL, Bersamaan dengan diuretik hemat
kalium atau suplemen kalium dan Kombinasi ACEI dan ARB.
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian
spironolakton yaitu Hiperkalemia, Perburukan fungsi ginjal, Nyeri dan/atau
pembesaran payudara.
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung melalui
Inisiasi pemberian spironolakton dengan Periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit. Naikan dosis secara titrasi.
o Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
o Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis
o Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
4. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun
sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada pasien
intoleran ACEI. Kontraindikasi pemberian ARB Sama seperti ACEI, kecuali
angioedema, Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan,
dan Monitor fungsi ginal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperit ACEI, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk.
Cara pemberian ARB pada gagal jantung melalui Inisiasi dengan

27
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit. Naikan dosis secara titrasi
o Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
o ika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi
o Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan sete mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan
sekali.
5. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB, Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau
antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi dan Jika gejala pasien menetap
walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis
aldosterone. Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN pada Hipotensi
simtomatik, Sindroma lupus, Gagal ginjal berat. Efek tidak menguntungkan
yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN yakni Hipotensi
simtomatik dan Nyeri sendi atau nyeri otot.
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung melalui
Inisiasi dengan dosis awal hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari.
Naikan dosis secara titrasi.
o Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
o Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
o Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50
mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
6. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus dan Fibrilasi atrial
dengan irama ventrikular saat istirahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -

28
120 x/menit. Kontraindikasi pemberian dengan Blok AV derajat 2 dan 3
(tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga sindroma sinus sakit,
Sindroma pre-eksitasi dan Riwayat intoleransi digoksin. Efek tidak
mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin yakni Blok
sinoatrial dan blok AV, Aritmia atrial dan ventrikular terutama pada pasien
hypokalemia dan Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan
gangguan melihat warna.
Cara pemberian digoksin pada gagal jantung melalui inisiasi. pemberian
digoksin dosis awal 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal
normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan
menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari. Periksa kadar digoksin dalam plasma
segera saat terapi kronik. Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL.
Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
7. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.
Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit. Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong.
Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) merupakan salah satu penyakit penyebab
terjadinya cor pulmonale atau disebut cardiopulmonary disease. Cor Pulmonale
adalah hipertofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang
disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak
berhubungan dengan kelainan jantung kiri.
Pada PPOK terjadi hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis yang terjadi secara kronik
sehingga menyebabkan rangsangan kemoreseptor yang kemudian menimbulkan
berbagai regulasi neurohormonal melalui peningkatan aktivitas simpatis. Salah satu
perubahan tersebut adalah terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah paru
sehingga pada waktu yang cukup lama menyebabkan hipertensi pulmoner. Untuk
menjaga perfusi jaringan dan keseimbangan sistem cardiopulmonal akan terjadi
berbagai mekanisme adaptasi dan kompensasi. Ventrikel kanan meningkatkan
kerjanya untuk mencukupi sirkulasi ke paru sehingga terjadi perubahan struktur
berupa dilatasi dan hipertropi. Kondisi tersebut disebut sebagai Cor pulmonal.
Sampai
mekanisme tersebut berlanjut terus yang akan mengakibatkan terjadinya kondisi
gagal jantung kanan.

30
3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, maupun dalam penulisan laporan, untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang
memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2020 dan dari berbagai pihak
demi kesempurnaan laporan. Dan kami berharap semoga laporan ini bisa berguna
bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.

Buku Ajar Respirasi FK USU (2017).

dr.Halim Danusantoso, S. (2012). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC.

IDAI. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

Isselbacher, Kurt J et al. 2000. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Jakarta: EGC.

Kapita Selekta FKUI, Ed. V, Jilid I (2020).

Loscalzo, Joseph. 2018. Harrison’s Pulmonary and Critical Care Medicine. New York :
The McGraw-Hill Companies.

Rampengan, S. H. (2012). Mencari Penyebab Nyeri Dada?: Kardiak atau Non-Kardiak.


Media Neliti:FK SAM RATULAGI

Sugiman, Tantani & Ida Bernida (Ed.). (2012). Sesak napas (edisi 1). Jakarta : Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia.  

31
Puspitasari SD. Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK) di RS Paru Jember [skripsi]. Jember: Fakultas Farmasi
Universitas Jember;2012

32

Anda mungkin juga menyukai