Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DI SD

MODUL 2

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK

PROGRAM STUDI PGSD


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UPBJ-UNIVERSITAS TERBUKA PALEMBANG
TAHUN 2023
MODUL 2 : PEMEROLEHAN BAHASA ANAK

Kegiatan Belajar 1

Pemerolehan Bahasa Pertama

1.      Pengertian Pemerolehan Bahasa


Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa
secara alamiah. Proses pemerolehan bahasa memiliki karakteristik berikut:
a.       Berjalan secara spontan, tanpa sadar, dan tanpa beban.
b.      Terjadi secara langsung dalam situasi informal, tanpa melalui pembelajaran formal.
c.       Didorong oleh kebutuhan, baik kebutuhan untuk memahami maupun dipahami orang lain.
d.      Berlangsung secara terus-menerus dalam konteks berbahasa yang nyata dan bermakna.
e.       Diperoleh secara lisan melalui tindak berbahasa menyimak/mendengarkan dan berbicara.

Kegiatan pemerolehan bahasa melibatkan dua kemampuan. Pertama, kemampuan reseptif,


yaitu kemampuan menyerap, menerima, dan memahami tuturan orang lain. Kedua, kemampuan
produktif, yaitu kemampuan menghasilkan tuturan, untuk mengekspresikan diri atau menanggapi
rangsang bahasa yang disampaikan oleh orang lain. Ketika anak melakukan kegiatan berbahasa
secara langsung, secara perlahan dan tentu saja tanpa disadari, telah terbangun unsur dan kaidah
bahasa (kosakata, struktur, dan makna) dan kaidah berbahasa.

Bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang pertama kali dipelajari dan dikuasai oleh seorang
anak. Bahasa pertama itu bisa hanya satu bahasa atau dua bahasa yang dikuasai anak secara
bersamaan. Sementara itu, bahasa kedua adalah bahasa yang dikuasai anak setelah menguasai
bahasa pertama. Dalam menguasai dua bahasa atau lebih, anak dapat melakukannya secara
serempak atau berurut. Pemerolehan serempak dua bahasa (simultaneous bilingual acquisition)
terjadi pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat bilingual (dua bahasa) atau multilingual
(lebih dari dua bahasa). Anak mengenal, mempelajari, dan menggunakan kedua bahasa tersebut
sama baiknya secara bersamaan. Pemerolehan berurut dua bahasa (successive bilingual
acquisition) terjadi apabila penguasaan anak atas dua bahasa atau lebih terjadi dalam rentang
waktu yang berjauhan.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak biasanya terjadi karena beberapa hal berikut:

a.       Pasangan suami istri hanya menguasai bahasa Indonesia.


b.      Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang berbeda. Masing-masing pihak tidak menguasai
bahasa pasangannya dengan baik.
c.       Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang sama, dengan situasi berikut:
1)      Lingkungan sekitar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
kesehariannya.
2)      Lingkungan sosial sekitar tempat tinggal keluarga tersebut menggunakan bahasa daerah
yang tidak dikuasai oleh keluarga tersebut (mungkin keluarga pendatang).
3)      Lingkungan sekitar menggunakan bahasa daerah yang sama dengan bahasa yang
digunakan dalam suatu keluarga. Tetapi karena pertimbangan praktis, keluarga tersebut
memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
 
2.      Teori Pemerolehan Bahasa
a.      Pandangan Nativistis
Menurut pandangan nativistis, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan
kemampuan bawaan atau alami untuk dapat berbahasa. Bukan lingkungan yang membuat
anak mampu berbahasa. Juga bukan karena meniru orang lain karena banyak juga ungkapan
kreatif yang dimunculkan anak ketika berbahasa, yang belum pernah dicontohkan
sebelumnya. Jadi, kalau bukan karena kemampuan bawaan, mustahil anak dapat mempelajari
dan menguasai suatu bahasa yang komponen dan aturannya begitu rumit hanya dalam waktu
yang begitu singkat. Hanya dalam waktu sekitar empat tahun anak telah dapat berbahasa
dengan rapi dan komunikatif. Selama belajar bahasa, sedikit demi sedikit potensi berbahasa
yang secara genetis telah terprogram menjadi terbuka dan berkembang.
Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan bahasa’
(language acquisition device atau LAD) yang berpusat di otak. Piranti itulah yang membuat
anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip dan ekor yang memungkinkan seekor ikan
bisa berenang.
Cara kerja LAD yaitu Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak memberikan
masukan kepada anak. Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD dengan memakai potensi
gramatika bahasa anak sehingga tersusunlah pola-pola kaidah bahasa dan kaidah berbahasa
pada diri anak, kemudian tercermin dalam tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak
yang sesuai dengan pola ujar orang dewasa.
b.      Pandangan Behavioristis
Menurut behavioris, penguasaan bahasa anak ditentukan oleh rangsangan yang
diberikan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya sebagai penerima pasif.
Perkembangan bahasa anak terutama ditentukan oleh kekayaan dan lamanya latihan yang
diberikan oleh lingkungan, serta peniruan yang dilakukan anak terhadap tindak berbahasa
lingkungannya.
c.       Pandangan Kognitif
Menurut pandangan kognitif, penguasaan dan perkembangan bahasa anak ditentukan
oleh daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta memberikan pengaruhnya terhadap
perkembangan intelektual dan bahasa anak, kalau si anak sendiri tidak melibatkan secara
aktif dengan lingkungannya. Dengan kata lain, anaklah yang berperan aktif untuk terlibat
dengan lingkungannya agar penguasaan bahasanya dapat berkembang secara optimal.
 
3.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
a.      Faktor Biologis
Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak adalah otak (sistem
syaraf), alat dengar, dan alat ucap. Ketergantungan pada salah satu, apalagi ketiganya, akan
menghambat kemampuan berbahasa anak. Kemampuan berbahasa anak-anak tunarungu,
lemah mental, gagap atau tunawicara maka kemampuan berbahasa mereka pasti berbeda
dengan anak yang ketiga perangkat biologisnya sehat dan normal.
b.      Faktor Lingkungan Sosial
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap anak memiliki kemampuan bawaan dan
kelengkapan berbahasa. Namun demikian, untuk menumbuhkembangkan kemampuan
berbahasanya, seorang anak memerlukan lingkungan sosial sebagai contoh atau model
berbahasa, memberikan rangsangan, dan tanggapan, serta melakukan latihan dan uji coba
berbahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Lingkungan sosial di sini adalah perilaku berbahasa orang tua, saudara, kerabat,
keluarga, teman atau anggota masyarakat. Lingkungan yang kaya sumber, mendukung, dan
aktif dalam berinteraksi dengan anak, akan membuat pemerolehan bahasa anak semakin
beraneka dan cepat. Sebaliknya, lingkungan yang miskin dengan aktivitas berbahasa, terlalu
banyak menekan dengan melakukan pelarangan dan menyalahkan, dan rendah dalam
berinteraksi, akan menjadikan pemerolehan bahasa anak pun tidak beragam, miskin, dan
lambat. Dukungan dan keterlibatan sosial begitu penting bagi anak dalam belajar bahasa.
Inilah yang disebut dengan ’Sistem Pendukung Pemerolehan Bahasa’ atau Language
Acquisition Support System atau LASS.
Cara lingkungan sosial memberikan dukungan kepada anak dalam belajar pemeroleh
bahasa adalah sebagai berikut:
1)        Bahasa semang (motherless), yaitu cara bahasa yang dilakukan orang dewasa terhadap
bayi atau balita melalui penyederhanaan kata atau kalimat, dengan penggunaan tempo
yang lebih lambat dan nada yang lebih lembut. Cara bahasa ini memiliki peran penting
untuk dapat menangkap perhatian dan memelihara komunikasi dengan anak.
2)        Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang
berbeda, untuk membantu anak belajar bahasa.
3)        Menegaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang disampaikan anak, terutama
apabila tuturannya tidak lengkap, tidak jelas atau tidak sesuai dengan maksud.
4)        Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang disampaikan anak
dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks.
5)        Menamai (labeling), yaitu melakukan identifikasi suatu benda dengan nama yang sesuai.
6)        Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi dan memberikan respons positif atas
perilaku berbahasa anak.
7)        Pemodelan (modelizing), yaitu pemberian contoh atau model berbahasa yang
ditunjukkan orang dewasa kepada anak.
c.       Faktor Intelegensi
Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam berpikir atau bernalar, termasuk
memecahkan suatu masalah. Inteligensi bersifat abstrak dan tak dapat diamati langsung,
kecuali melalui perilaku. Dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa, anak-anak yang
bernalar tinggi tingkat pencapaiannya cenderung lebih cepat, lebih kaya, dan lebih bervariasi
khasanah bahasanya, daripada anak yang bernalar sedang atau rendah. Jadi, pengaruh
inteligensi terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas perkembangan bahasanya.
d.      Faktor Motivasi
Dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri. Anak belajar
bahasa karena adanya kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar, haus, sakit, serta
perhatian dan kasih sayang. Inilah yang disebut dengan motivasi intrinsik, yang berasal dari
diri anak itu sendiri.
Pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak untuk membuatnya
kian bergairah belajar bahasa. Anak yang dibesarkan dengan motivasi belajar bahasa yang
tinggi akan kian memicu proses belajar bahasa anak. Pemicuan motivasi itu, di antaranya
dengan cara merespons dengan bijak pertanyaan dan komentar anak, memperbaiki tindak
berbahasa anak secara halus dan tidak langsung, dan tidak segera menyalahkan bila anak
melakukan suatu kesalahan.
 
4.      Strategi Pemerolehan Bahasa
Sejumlah strategi dalam belajar suatu bahasa, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.       Mengingat
Mengingat memainkan peranan yang cukup penting dalam belajar bahasa atau belajar
apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, dicatat dalam benaknya. Ketika dia
menyentuh, menyerap, mencium, mendengar, dan melihat sesuatu, memori anak
merekamnya.
Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang bunyi
dan kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang merujuk pada sesuatu yang dia dengar atau alami.
Ingatan itu akan semakin kuat apabila penyebutan akan benda atau peristiwa itu terjadi
berulang-ulang. Dengan cara ini anak akan mengingat bunyi, kombinasi bunyi atau kata,
tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengungkapkannya. Hanya saja, ketika
diungkapkan bunyinya tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya tidak pas, strukturnya terbalik
atau hanya suku kata awal atau akhir yang terucapkan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan
otak dan kelengkapan fisik berbahasa anak masih sedang berkembang. Oleh karena itu,
dalam berbahasa anak-anak biasanya dibantu oleh ekspresi muka, gerak tangan, gerak tubuh,
dan konteks.
b.      Meniru
Dalam belajar bahasa anak pun menggunakan strategi peniruan. Peniruan di sini bisa
berarti mencontoh secara kreatif atau menginspirasi. Pada dasarnya, peniruan yang dilakukan
anak tidak selalu berupa pengulangan yang persis sama atas apa saja yang didengarnya. Hal
ini karena dalam belajar bahasa, seorang anak tidak sekadar menangkap kata-kata.
Dia juga mencerna dan mengolah prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami.
Dengan demikian, peniruan yang dilakukan anak bersifat dinamis dan kreatif. Karena strategi
peniruan itu pula maka orang yang menjadi model (memberikan contoh dan masukan)
berbahasa akan sangat mempengaruhi corak bahasa yang dimiliki anak. Apabila modelnya
baik maka anak pun akan mempelajari versi bahasa yang baik, logis, dan santun. Sebaliknya,
apabila modelnya kurang baik maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan
dipelajari dan digunakan anak.
c.       Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertamanya adalah mengalami
langsung kegiatan berbahasa dalam konteks yang nyata. Anak menggunakan bahasanya baik
ketika berkomunikasi dengan orang lain, maupun sewaktu sendirian. Dia menyimak dan
berbicara langsung, dan sekaligus memperoleh tanggapan dari mitra bicaranya. Dari
tanggapan yang diperolehnya, secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang
kewajaran dan ketepatan perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga si anak
mendapat masukan dari tindak berbahasa yang dilakukan mitra berbicaranya.
d.      Bermain
Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan kemampuan
berbahasa anak. Dalam bermain, si anak kadang berperan sebagai orang dewasa; sebagai
penjual atau pembeli dalam bermain dagang-dagangan; ibu, bapak atau anak dalam bermain
rumah-rumahan; sebagai dokter, perawat atau pasien; atau sebagai guru dan murid dalam
bermain sekolah-sekolahan. Tanpa disadari, mereka sedang bermain drama, sekaligus mereka
berlatih berbicara dan menyimak.
e.       Penyederhanaan
Di samping perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya, perkembangan
kemampuan anak yang bertahap yang membuat tuturan yang digunakannya lebih sederhana
dan langsung. Satu atau dua kata mewakili satu kalimat. Ciri berbahasa anak seperti itu
disebut penyederhanaan atau reduksi. Strategi itu tentu saja tidak disadari si anak. Meskipun
sederhana, kita sebagai orang dewasa akan memahaminya karena dibantu oleh konteks
terjadinya perilaku berbahasa anak.
 
5.      Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa
a.       Tahap Pralinguistik
Pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin mendekati bunyi
vokal atau konsonan tertentu. Tetapi, umumnya bunyi-bunyi tersebut belumlah mengacu
pada kata atau kalimat dengan makna tertentu. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak
pada fase ini disebut tahap pralinguistik.
Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur sekitar 12 bulan.
1)      Pada umur 0 - 2 bulan, anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi refleksif untuk
menyatakan rasa lapar, haus, sakit atau ketidaknyamanan, serta bunyi-bunyi vegetatif
yang berkaitan dengan aktivitas tubuh, seperti batuk, bersin, sendawa, telanan (ketika
makan), dan tegukan (ketika menyusu atau minum).
2)      Pada umur 2 – 5 bulan, anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyibunyi vokal yang
bercampur dengan bunyi-bunyi mirip konsonan. Bunyi itu biasanya muncul sebagai
respons terhadap senyum atau ucapan orang tuanya.
3)      Pada umur 4 – 7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi yang agak utuh dengan rentang
waktu yang lebih lama. Bunyi mirip vokal dan konsonannya lebih bervariasi. Konsonan
nasal /m/ dan /n/ sudah mulai muncul. d. Pada umur 6 – 12 bulan, anak mulai berceloteh.
Celotehannya berupa reduplikasi atau pengulangan konsonan dan vokal yang sama,
seperti /ba-ba-ba/, /ma-ma-ma/, dan /da-da-da/. Vokal yang muncul adalah vokal dasar /a/
dengan konsonan hambat labial /p, b/, nasal /m, n, n/, dan alveolar /t, d/. Selanjutnya,
celotehan reduplikasi tersebut berubah lebih bervariasi. Vokalnya sudah mulai menuju
vokal /u/ dan /i/. Konsonan frikatif pun, seperti /s/ sudah mulai muncul.
b.      Tahap Satu-Kata atau Holofrasis
Fase ini berlangsung ketika anak berusia 12 – 18 bulan. Pada tahap ini, anak
menggunakan satu kata yang bermakna mewakili keseluruhan ide yang disampaikannya.
Tegasnya, satu kata yang diucapkan anak mewakili satu frasa, kalimat atau wacana. Karena
itu, fase ini disebut juga tahap holofrasis. Kata-kata yang diucapkan anak adalah kata-kata
yang telah dikenal dan dikuasainya. Kata-kata itu biasanya sering muncul dalam tuturan
keseharian di lingkungan anak. Kata-kata itu umumnya berkaitan dengan kegiatan rutin anak,
pemanggilan orang-orang sekitar, dan benda atau objek yang dekat dengan anak.
c.       Tahap Dua-Kata
Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada tahap ini
kosakata dan gramatika anak berkembang dengan cepat, seiring dengan kematangan otak dan
alat ucapnya. Dalam bertutur anak-anak mulai menggunakan dua kata: papa ikut, mamah
main, mau bobo, dan sebagainya. Hanya kata-kata pokok yang diucapkan anak, seperti kata
benda, kata kerja (dasar), dan/atau kata sifat. Tak ada kata tugas seperti kata depan atau kata
penghubung.
d.      Tahap Telegrafis
Antara usia 2 – 3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk kalimat-kalimat
pendek. Ciri yang paling mencolok pada fase ini bukanlah pada jumlah kata yang dihasilkan
anak, tetapi pada variasi bentuk kata yang sudah mulai muncul. Namun demikian, pada fase
ini, anak belum menggunakan kata tugas dalam bertutur. Oleh karena itu, perkembangan
bahasa anak pada fase ini disebut dengan tahap telegrafis. Seiring dengan bertambahnya usia
dan perkembangan otak dan perangkat biologis lainnya maka kemampuan anak pun (kaidah
bahasa dan kaidah berbahasa) akan semakin meningkat hingga mendekati tuturan orang
dewasa.

 
Kegiatan Belajar 2

Pemerolehan Bahasa Kedua

1.      Pengertian dan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua


Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut dikuasai anak melalui
belajar secara formal. Dalam memperoleh B2 banyak cara yang dilakukan. Secara umum, tipe
perolehan B2 dapat dibedakan menjadi pemerolehan B2 secara terpimpin, secara alamiah,
serta terpimpin dan alamiah (Lihat Subyakto-Nababan, 1992). Pemerolehan B2 secara
terpimpin dilakukan melalui aktivitas pembelajaran, baik di sekolah maupun kursus atau les.
Umumnya, ragam bahasa yang dipelajari bersifat formal atau baku. Sementara itu,
pemerolehan B2 secara alamiah dilakukan secara spontan. Dengan demikian seorang anak
bisa memiliki beberapa bahasa pertama dan juga beberapa bahasa kedua.
Kunci keberhasilan belajar B2 adalah kemauan belajar, keberanian mempraktikkan
dalam situasi riel, dan keintensifan dalam berkomunikasi dengan B2. Memang penting belajar
kosakata dan kaidah bahasa dengan menggunakan berbagai sumber. Tetapi, tak kalah
pentingnya adalah faktor individu pembelajar B2, dalam hal ini keberanian menggunakan
bahasa tersebut dalam interaksi dengan penutur asli atau pengguna B2. Tidak malu, tidak
takut salah, dan tidak perlu khawatir ditertawakan kalau unjuk berbahasanya kurang pas.
Semakin berani dalam berbahasa dan semakin intensif dalam berinteraksi, biasanya semakin
cepat B2 tersebut dikuasai.
 
2.      Teori Pemerolehan Bahasa Kedua
a.       Model Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan baru. Dalam
pemerolehan B2, akulturasi dipandang penting karena bahasa sebagai ungkapan budaya
serta berhubungan dengan saling menilai antara masyarakat B1 dengan B2. Akulturasi
ditentukan oleh jarak sosial dan jarak psikologis antara pembelajar (B1) dengan budaya
bahasa sasaran (B2). Jarak sosial adalah pengaruh faktor-faktor pembelajar sebagai
anggota masyarakat yang harus berhubungan dengan masyarakat ’pemilik’ B2. Sementara
itu, jarak psikologis adalah pengaruh faktor afeksi pembelajar sebagai pribadi pembelajar.
Faktor-faktor yang menentukan jarak sosial antara kelompok B1 dan B2 adalah:
1)        kesamaan derajat sosial;
2)        timbulnya keinginan asimilasi;
3)        saling terlibatnya antardua kelompok;
4)        kelompok belajar B2 kecil dan tidak kohesif;
5)        kesesuaian budaya;
6)        saling memiliki sikap positif;
7)        lama tidaknya berasimilasi antara kelompok B1 dan B2.
Sementara itu, faktor-faktor penentu jarak psikologis yang sebenarnya lebih bersifat
afektif, meliputi kejutan bahasa, guncangan budaya, motivasi, dan batas-batas keakuan.
b.      Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam
berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor berikut akan
mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam mempelajari B2:
1)        Anggapan pembelajar B2 bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat B2.
2)        Tidak memandang rendah kelompok masyarakat B2.
3)        Persepsi pembelajar tentang pentingnya etnolinguistik.
4)        Terbuka dan tidak ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1 dengan B2.
5)        Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya dengan kelompok
sosial lainnya.
c.       Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan makna bahasa
melalui keterlibatannya dalam berkomunikasi. Melalui kesertaannya dalam komunikasi,
pembelajar dapat mengembangkan kaidah gramatika dan penggunaan bahasanya. Teori
wacana mempunyai sejumlah prinsip utama berikut:
1)        Pemerolehan B2 mengikuti urutan alamiah dalam perkembangan sintaksis.
2)        Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna yang disepakati
bersama penutur nonasli.
3)        Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang disepakati dan
masukan mempengaruhi kecepatan dan urutan pemerolehan B2.

Menurut teori wacana interaksi sosial sangat penting karena dapat memberikan data
terbaik bagi pembelajar untuk dapat diolah oleh otak. Melalui data tersebut disusunlah
suatu model masukan yang pantas dan terkait.

d.      Model Monitor


Monitor adalah proses konstruksi kreatif dalam berbahasa. Model Monitor memiliki
lima hipotesis berikut yang mempengaruhi pemerolehan B2:
1)        Hipotesis pemerolehan-pembelajaran
2)        Hipotesis urutan alamiah
3)        Hipotesis monitor
4)        Hipotesis masukan
5)        Hipotesis saringan afektif
e.       Model kompetensi variabel
Model ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan
mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk
penggunaan bahasa terdiri atas berbagai macam produk bahasa (wacana) dari yang tidak
terencana sampai yang terencana. Produk yang tidak direncanakan adalah wujud
penggunaan bahasa yang penyampaiannya bersifat spontan, tanpa persiapan, dan tidak
melalui pemikiran yang matang. Penggunaan bahasa ini terjadi dalam komunikasi rutin
seperti tutur-sapa, percakapan.
Model kompetensi variabel menyampaikan prinsip-prinsip berikut:
1)        Pembelajar menyimpan pengetahuan tunggal yang berisi kaidah-kaidah bahasa antara
(interlangue). Secara otomatis, penyimpan ini akan aktif apabila dirangsang, didorong,
dan dipicu untuk berlatih menerapkan B2.
2)        Pembelajar memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa. Kemampuan itu
berbentuk:
a)      proses wacana primer,
b)      proses wacana sekunder
c)      proses kognitif
3)        Tampilan B2 merupakan variable yang dihasilkan melalui proses primer dalam
wacana yang tidak terencana atau proses sekunder dalam wacana yang direncanakan.
4)        Perkembangan pemerolehan B2 terjadi sebagai akibat:
a)      pemerolehan kaidah-kaidah baru dari B2 melalui keterlibatan pembelajar dalam
berbagai tipe wacana;
b)      pengaktifan kaidah-kaidah B2 yang sudah ada pada dalam bentuk tidak teranalisis
dan tidak otomatis atau teranalisis sehingga dapat digunakan untuk wacana yang
tidak direncanakan.
f.       Hipotesis Universal
Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah bahasa
dengan bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti. Contoh gramatika universal,
umumnya bahasa memiliki struktur kalimat yang berpola subjek-predikat. Dalam
pembelajaran B2 jika pembelajar menemukan kaidah B2 yang bermarkah, pembelajar
tersebut tergoda untuk kembali ke kaidah B1, terutama apabila B1 itu memiliki kaidah
universal yang sama.
g.      Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi syaraf. Dua
daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan (daerah Wernickle) dan belahan otak kiri
(daerah Brocka), menentukan pemerolehan B2. Belahan otak kanan berkaitan dengan
proses menyeluruh dan berfungsi untuk merekam dan memproses ujaran yang berpola.
Sementara belahan otak kiri berkaitan dengan penggunaan bahasa secara kreatif yang
meliputi pemrosesan secara sintaktik dan semantik, serta pengendali aktivitas berbicara
dan menulis. Dalam kaitannya dengan pemerolehan B2, fokus teori ini berkenaan dengan
perbedaan usia (pada usia kritis otak berada pada kesiapan sempurna untuk belajar
bahasa), fosilisasi (aspek bahasa yang telah terkuasai bertahun-tahun hingga usia dewasa
menjadi unsur kompetensi yang otomatis dan memfosil atau menetap secara permanen),
ujaran terpola, dan pola latihan di kelas dalam mempelajari B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan
dua hal. Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan untuk berkomunikasi. Kedua,
tingkatan mana dalam system syaraf tersebut yang dilibatkan.

Anda mungkin juga menyukai