Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu bidang ilmu agama Islam yang dikembangkan dalam lingkungan
perguruan tinggi ialah hukum Islam dan pranata sosial. Ia terdiri atas berbagai bidang
studi, di antaranya peradilan Islam (al-Qaḍâ` fî al-Islâm) yang mendapat perhatian cukup
besar di kalangan fuqaha dan para pakar di bidang lain. Demikian halnya peradilan Islam
di Indonesia, yang secara resmi dikenal sebagai peradilan agama, mendapat perhatian
dari kalangan pakar hukum Islam, hukum tata negara, sejarah, politik, antropologi dan
sosiologi. Ia menjadi sasaran pengkajian, yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan
penelitian, monografi, skripsi, tesis, disertasi dan buku daras. Hasil pengkajian itu,
sebagian diterbitkan dan disebarluaskan.
Di samping itu, peradilan Islam menjadi bahan pengkajian dalam berbagia
pertemuan ilmiah, baik yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi maupun di kalangan
pembina badan peradilan dan organisasi profesi di bidang itu. Publikasi hasil pengkajian
itu dapat ditemukan dalam berbagai kumpulan karangan dan dalam jurnal. Ia akan tetap
menarik sebagi sasaran pengkajian, khususnya di Indonesia, karena memiliki keunikan
tersendiri sebagi satu-satunya institusi keislaman yang menjadi bagian dari
penyelenggaraan kekuasaan negara. Dengan sendirinya, muncul tuntutan pemetaan
wilayah pengkajian dan metode yang tepat untuk digunakan. Bahkan, membutuhkan
perumusan model pengkajian yang jelas, agar pengkajian peradilan Islam dapat dilakukan
secara berkesinambungan dan produknya mendekati gambaran yang sebenarnya.
Hukum Islam merupakan salah satu unsur agama Islam yang terkait erat dengan
akidah dan syariah. Akidah adalah sesuatu keyakinan (iman) tumbuh dari jiwa yang
mendalam yang harus lalui oleh setiap orang untuk menjadi muslim. Sedangkan syariah
adalah mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang untuk menjadi muslim yang
sebenar-benarnya. Jadi syariah pada mulanya memiliki pengertian yang lebih luas. Dalam
hal ini, istilah syariah dalam perkembangan terminologinsya dipahami oleh banyak orang
dalam arti yang luas, bahkan ia sudah menjadi istilah identik dengan fikih atau hukum
Islam yang sifatnya berbeda dari akidah. Meskipun demikian, keduanya tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Peradilan Islam ?
2. Apa Dasar Hukum Peradilan Islam ?
3. Bagaimana Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW ?
4. Bagaimana Hukum peradilan pada masa Rasulullah saw ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Islam


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peradilan adalah segala
sesuatu mengenenai perkara pengadilan sedangkan pengadilan memiliki arti
yang banyak yaitu dewan atau majlis yang mengadili perkara, mahkamah,
proses mengadili, keputusan hakim yang mengadili perkara, dan mahkamah
perkara.1
Sedangkan menurut istilah, peradilan adalah daya upaya untuk mencari
keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut
peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Adapun
dalam Islam, istilah peradilan diambil dari kata qadla yang secara etimologi
berarti menetapkan sesuatu dan menghukuminya, sedangkan kata qadla
menurut istilah adalah memutuskan perselisihan yang terjadi pada dua orang
yang berselisih atau lebih dengan hukum Allah SWT.2
Orang-orang yang menjalankan peradilan disebut qadli (hakim) karena
diambil dari wazan isim fa‟ilnya yang lafadz qadla yang berarti orang yang
menetapkan hukum, sedangkan disebut hakim karena qadli adalah orang yang
menjalankan hukum Allah SWT terhadap orang yang berperkara.
Dengan demikian, peradilan dimaksudkan untuk menetapkan suatu
perkara secara adil sesuai dengan ketentuan hukum yang bersumber dari al-
Qur‟an dan sunnah, yang mana peradilan dalam Islam diposisikan sejajar
dengan imamah (kepemimpinan) sebagai kewajiban yang bukan bersifat
personal tetapi merupakan fardlu kifayah. Yakni kewajiban yang dapat gugur
dengan adanya salah seorang dari kaum Muslimin yang mendudukinya,
artinya apabila ada beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi
hakim kemudian tidak satupun yang mendudukinya sekalipun pemimpin
1
. Zaini Ahmad Nuh, Hakim Agama dari Masa ke Masa, cet. 1 (Jakarta: Munas Ikaha, 1995,),
hlm. 15.
2
. Muhammad ibn Ahmad al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,juz 2 (Bairut; Dar
al-Kutub al-„ilmiyah, 1998), hlm. 602.

3
mengharapkannya, maka berdosalah semua orang karena tidak ada yang
mewakili kepentingan semua orang dalam mencari keadilan melalui
peradilan.3
Dengan demikian, peradilan merupakan hal penting dan menjadi pusat
perhatian bagi keberlangsungan kehidupan insan manusia karena pada
umumnya kewajiban yang bersifat sosial itu bertujuan untuk menjaga
stabilitas kehidupan sosial dan melindungi kewajiban personal dari setiap
individu. Sebab merupakan kategori fardlu kifayah karena sebagai upaya
memerintahkan pada amar ma’ruf nahi munkar (kebaikan dan mencegah
perbuatan munkar). Sepintas terkesan bahwa hukum untuk menjadi hakim
bagi setiap orang adalah fardlu kifayah terutama orang-orang yang dianggap
layak dan mampu menjadi wakil dari pemimpin dalam mengurusi masalah
peradilan.4
Peradilan Islam tidak hanya menetapkan hukum antara manusia dengan
lainnya, tetapi juga menetapkan segala sesuatu menurut hukum Islam, dengan
kata lain bahwa peradilan Islam tidak hanya menyangkut pada perkara
perselisihan yang bersifat perdata saja tetapi juga menyangkut hal-hal yang
bersifat pidana dan kenegaraan.5

B. Dasar Hukum Peradilan Islam


Adapun dasar pembentukan peradilan Islam paling tidak atas dasar prinsip
bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib,
pelarangan apabila mengikuti ajaran lain selain syariah Islam, dan stetmen
dalam Islam bahwa ajaran selain Islam adalah kafir (orang yang mengingkari
Allah SWT). Peradilan tidak hanya diperlukan dalam rangka penegakan
keadilan dan pemeliharaan hak-hak individu dalam kehidupan bermasyarakat,
tetapi juga diperlukan untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia dalam

3
. Muhyiddin Yahya ibn Syarf, Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, juz 9 (Bairut, Dar al-
Fikr,1994), hlm. 263.
4
. Ibid , hlm. 263.
5
. Ahmad ibn Ahmad al-Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Amirah, juz 4 (Bairut;Dar al-Fikr, 1998),
hlm. 296-297.

4
bingkai amar ma’ruf nahi munkar (mencegah kejahatan dan mengedepankan
kebaikan).
Atas dasar prinsip-prinsip inilah, sistem peradilan Islam dibangun dan
diselenggarakan untuk memberikan putusan-putusan yang sah berdasarkan
hukum Allah SWT. Selain prinsip-prinsip di atas, ada lagi landasan sistem
peradilan Islam yang berdasarkan al-Qur`an dan sunnah yang antara lain
sebagai berikut :
1. Al-Qur’an
a. Surah Shad ayat 26

‫اس ِب ْال َح ِّق َواَل َت َّت ِب ِع‬


ِ ‫ض َفاحْ ُك ْم َبي َْن ال َّن‬ ِ ْ‫ك َخلِ ْي َف ًة فِى ااْل َر‬ َ ‫دَاو ُد ِا َّنا َج َع ْل ٰن‬
ٗ ‫ٰي‬
ٌ‫ك َعنْ َس ِبي ِْل هّٰللا ِ ۗاِنَّ الَّ ِذي َْن يَضِ لُّ ْو َن َعنْ َس ِبي ِْل هّٰللا ِ َل ُه ْم َع َذاب‬ َ َّ‫ْال َه ٰوى َفيُضِ ل‬
ِ ‫َش ِد ْي ٌد ِۢب َما َنس ُْوا َي ْو َم ْال ِح َسا‬
‫ب‬
Artinya :
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah SWT akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan”. (QS. Shad/;26).6

b. Surah Al-Maidah ayat 42

ْ‫ك َفاحْ ُك ْم َب ْي َن ُه ْم اَ ْو اَعْ ِرض‬ ِ ۗ ْ‫ب اَ ٰ ّكلُ ْو َن لِلسُّح‬


َ ‫ت َف ِانْ َج ۤاء ُْو‬ ِ ‫َس ٰ ّمع ُْو َن ل ِْل َك ِذ‬
‫مْت َفاحْ ُك ْم َب ْي َن ُه ْم‬ َ ‫َع ْن ُه ْم َۚو ِانْ ُتعْ ِرضْ َع ْن ُه ْم َف َلنْ َّيضُرُّ ْو‬
َ ‫ك َش ْيـًٔا ۗ َو ِانْ َح َك‬
‫ِب ْالقِسْ ۗطِ اِنَّ هّٰللا َ ُيحِبُّ ْال ُم ْقسِ طِ ي َْن‬
Artinya :
“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan)
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad
untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau
berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka
mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau
memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang adil.”. (Qs. Al-Maidah/:42).

6
. Muhammad ibn Habib al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi al-Fiqh al-Islami, juz 20 (Bairut;
Dar al-Kutub al-„ilmiyah, t.t), hlm. 53.

5
Ayat ini, menjadi dasar legalitas peradilan Islam yang menjelaskan tentang
perintah Allah SWT atas Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum harus berasaskan
pada keadilan sekalipun yang meminta keadilan itu adalah orang Yahudi. Padahal
dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang Yahudi yang datang itu suka mendengar berita
bohong dan suka memakan barang haram. Ibnu Abbas menjelaskan kaitannya dengan
hal ini bahwa orang Yahudi ketika menetapkan hukum pada suatu perkara mereka
menerima pemberian dan menetapkan hukum berdasarkan kebohongan. 7
2. Al Hadist
Dalam catatan sejarah Islam, bahwa Rasulullah SAW sendiri langsung
memimpin sistem peradilan saat itu beliaulah yang menghukumi umat yang
bermasalah sebagaimana disamapaikan Aisyah isteri Rasulullah SAW bahwa
beliau berkata, Sa‟ad Ibn Abi Waqqash dan Abd Zama‟a berselisih satu sama
lain mengenai seorang anak laki-laki. Sa‟ad berkata: “Rasulullah SAW, adalah
anak dari saudaraku Utbah Ibn Abi Waqqash yang secara implisit dia
menganggap sebagai anaknya. Lihatlah kemiripan wajahnya.”. Abd Ibn Zama‟a
berkata: “Rasulullah SAW, dia adalah saudaraku karena dia lahir diatas tempat
tidur ayahku dari hamba sahayanya. Rasulullah SAW lalu melihat persamaan itu
dan beliau mendapati kemiripan yang jelas dengan Utbah. Tapi beliau bersabda,
“Dia adalah milikmu wahai Abd Ibn Zama‟a, karena seorang anak akan
dihubungkan dengan seseorang yang pada tempat tidurnya ia dilahirkan, dan
hukum rajam itu adalah untuk pezina.”
Hal ini membuktikan bahwa Rasulullah SAW menghukumi umat dan
bahwa keputusannya memiliki otoritas untuk dilaksanakan, selain catatan di atas
bahwa masih banyak riwayat-riwayat lain yang menegaskan tentang
penyelenggaraan pengadilan Islam yang antara lain sebagai berikut :
a. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‟i dan Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hakim itu ada 3, 2 diantaranya akan
masuk api neraka dan satu akan masuk surga. Seseorang yang mengetahui
kebenaran dan menghakiminya dengan kebenaran itu ?dialah yang akan
masuk surga, seseorang yang mengetahui kebenaran namun tidak memutuskan
berdasarkan kebenaran itu, dia akan masuk neraka. Yang lain tidak

7
. Muhammad ibn Jarir al-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz 6 (Bairut; al-
Ma‟rifah, 1990), hlm. 154.

6
mengetahui kebenaran dan memutuskan sesuatu dengan kebodohannya, dan
dia akan masuk neraka”.
b. Ahmad dan Abu Daud mengisahkan: Ali ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Wahai Ali, jika 2 orang datang kepadamu untuk meminta keadilan
bagi keduanya, janganlah kamu memutuskan sesuatu dari orang yang pertama
hingga kamu mendengarkan perkataan dari orang kedua agar kamu tahu
bagaimana cara memutuskannya (menghakiminya).”
c. Bukhori, Muslim dan Ahmad meriwayatkan Ummu Salamah berkata: “Dua
laki-laki telah berselisih tentang warisan dan mendatangi Rasulullah SAW,
tanpa membawa bukti. Beliau bersabda: kalian berdua membawa perselisihan
kalian kepadaku, sedang aku adalah seseorang yang seperti kalian dan salah
seorang diantara kalian mungkin berbicara lebih fasih, sehingga aku mungkin
menghakimi berdasarkan keinginannya. Dan apabila aku menghukumnya
dengan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dan aku mengambilnya sebagai
hak saudaranya maka ia tidak boleh mengambilnya karena apapun yang aku
berikan padanya akan menjadi serpihan api neraka dalam perutnya dan dia
akan datang dengan menundukkan lehernya dihari pembalasan. Kedua orang
itu menangis dan salah satu dari mereka berkata, aku berikan bagianku pada
saudaraku. Rasulullah SAW bersabda: “Pergilah kalian bersama-sama dan
bagilah warisan itu diantara kalian dan dapatkan hak kalian berdua serta
masing-masing dari kalian saling mengatakan, “Semoga Allah SWT
mengampunimu dan mengikhlaskan apa yang dia ambil agar kalian berdua
mengdapat pahala”.
d. Baihaqi, Darqutni dan Thabrani berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang diuji Allah SWT dengan membiarkannya menjadi seorang
hakim, maka janganlah dia membiarkan satu pihak yang berselisih itu duduk
didekatnya tanpa membawa pihak lainnya untuk duduk didekatnya. Dan dia
harus takut pada Allah SWT atas persidangannya, pandangannya terhadap
keduannya dan keputusannya pada keduanya. Dia harus berhati-hati agar tidak
merendahkan yang satu seolah-olah yang lain lebih tinggi, dia harus berhati-
hati untuk tidak menghardik yang satu dan tidak kepada yang lain dan diapun
harus berhati-hati terhadap keduanya.”

7
e. Muslim mengabarkan Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW sedang
melewati pasar dan beliau melihat seseorang sedang menjual makanan. Dia
meletakkan tangannya di atas sepiring kurma dan ditemukan kurma-kurmanya
basah dibagian bawahnya. Beliau bertanya, apa ini” Dia menjawab, hujan dari
surga Ya Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus
meletakkannya diatas, barangsiapa mencuri timbangan bukan dari golongan
kami”.

C. Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW


Pada dasarnya kekuasaan kehakiman ada pada Rasulullah saw sendiri yang
diperolehnya dari Allah swt melalui firman-Nya: “Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. 5:48).
Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Nabi sendiri pada awalnya karena ia satu-
satunya referensi untuk mendapatkan putusan hukum untuk kasus-kasus yang terjadi.
Meskipun begitu, ada kalanya rasul mendelegasikan tugas menyelesaikan kasus
hukum kepada seseorang . Tidak ada keterangan bahwa rasul mengangkat seseorang
khusus untuk menangani peradilan menjadi hakim untuk wilayah tertentu. Tidak ada
sistem tertentu untuk pengangkatan hakim.
Beralih ke proses sidang-sidang peradilannya, Rasulullah memiliki banyak
metode untuk membuktikan kebenaran suatu perkara. Di antara metode yang pernah
rasul gunakan adalah bayyinah, sumpah, kesaksian saksi yang adil,
qasamah, undian, qiyafah. Penting untuk dicatat adalah semua metode ini diadopsi
dari tradisi penyelesaian perkara di kalangan Arab dengan beberapa modifikasi dan
penyempurnaan seperti modifikasi pada teks sumpah yang sesuai dengan tauhid.
Rasulullah berkata kepada seseorang:
“Siapa yang bersumpah maka janganlah bersumpah kecuali dengan nama Allah.
Orang-orang Quraisy dahulu bersumpah atas nama nenek moyang mereka.” 8
Hukum yang bertentangan dengan nilai moral batal secara otomatis seperti
tampak pada putusannya dalam kasus hak waris anak terhadap isteri bapaknya. Dalam
hukum Arab, seorang anak mewarisi janda mendiang bapaknya. Ketika anak laki-laki
Abu Qays bin al-Aslat al-Anshari ingin mengeksekusi hukum ini isteri bapaknya itu

8
. Muslim, Shahih…, Juz II, hal. 20.

8
dan perempuan-perempuan Madinah menggugat hukum ini kepada Rasulullah saw
dan ia lalu membatalkannya.9
Hukum harus menjamin kemaslahatan sebanyak-banyaknya orang, bukan
kemaslahatan orang seorang. Atas dasar prinsip ini, Rasulullah saw mencabut paksa
hak milik seseorang terhadap pohon kurma yang tumbuh pada batas tanah seorang
Anshar. Yang terakhir ini menghadapi berbagai kesulitan karena keberadaan pohon
korma itu yang karena itu ia bermaksud membelinya tetapi pemilik pohon menolak.
Ketika pemilik pohon tidak menerima penawaran apapun, Nabi berkata kepadanya:
“Kamu menyulitkan.” Nabi menyuruh orang Anshar itu untuk mencabut pohon
korma.10 Prinsip ini juga tampak pada kasus suami yang tidak mau membayar nafkah
isterinya.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, berkata:
“Wahai Rasulullah, Abu Sufyan sungguh pelit. Ia tidak memenuhi kebutuhanku dan
anakku kecuali aku ambil sendiri dan ia tidak tahu.” Nabi saw bersabda: “Ambillah
sekedar kebutuhanmu dan anakmu dengan baik. 11” Dengan demikian ia membolehkan
isteri mengambil harta suaminya sesuai kebutuhannya, tanpa sepengetahuannya, tanpa
menghukumnya dengan hukuman pencurian.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia seperti tampak pada kasus sarana
eksekusi yang tidak layak. Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa seorang lelaki
mengakui dirinya berzina. Rasulullah meminta cemeti untuk mencambuk terpidana.
Nabi diberi cemeti yang pecah-pecah tetapi beliau meminta cambuk yang lebih baik.
Ketika diberi cambuk baru, Nabi juga menolaknya dan meminta yang pertengahan.
Nabi lalu diberi cambuk yang pernah dipakai mencambuk orang lain. Lalu orang itu
dicambuk.12 Demikian pula kasus penundaan eksekusi hukuman razam terhadap
perempuan berzina yang sedang hamil. Rasulullah saw menunda eksekusi sampai
perempuan itu menyapih bayinya. 13 Kasus lainnya yang menunjukkan prinsip
penghormatan hak asasi manusia adalah kasus pembatalan eksekusi oleh Ali bin Abi
Thalib terhadap budak perempuan berzina yang baru saja mengalami nifas. Kata
Ali: “Aku khawatir kalau aku mencambuknya aku membunuhnya” Nabi
membenarkan putusan Ali.14
9
Ahmad Amin, Fajr Musyrifah, al-Qadha`…, hal. 28
10
. Abu Dawud, h. Sunan…, Juz II, h. 178
11
. Al-Jawziyah, A’lamul-Muwaqqi’in…, Juz II, h. 307; Musyrifah, al-Qadha`…, h. 89.
12
. Malik ibn Anas, Al-Muwaththa` (Kairo: al-Halabi, 1951), h. 307
13
. Muslim, Shahih…, Juz II, h. 40.
14
. Muslim, Shahih…, Juz II, h. 56.

9
Pada masa Rasul segala urusan pemerintahan memang diadukan kepada beliau,
kebanyakan sahabat pada saat itu hanya sekedar meminta fatwa saja kepada Rasul,
setelah mereka mendapat fatwa mereka sendiri yang menyelesaikan perkaranya.
Begitu juga perkara-perkara yang diputuskan Rasul dengan cepat segera mereka
jalankan, tidak perlu lagi Rasul campur tangan dalam urusan mentanfiszkan putusan
tersebut. Mereka sangat patuh kepada segala putusan yang diberikan Rasul.
Dalam sebuah hadis imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul
pernah bersabda “kepada dua orang laki-laki yang bersengketa tentang harta pusaka
antara keduanya yang telah lenyap bukti-buktinya, dan kedua pihak dihadapan Rasul,
masin-masing bebas (mengemukakan isi hatinya) sehingga masing-masing dapat
mendengarkan pembicaraan pihak lawannya. Sedang alat-alat bukti baginya adalah:
Pengakuan, saksi, sumpah, firasat, diundi dan lain-lainnya.”
Setelah dakwah Islam mulai tersebar, maka rasul memberi izin kepada sahabatnya
untuk memutuskan hukum perkara yang mereka hadapi karena jauhnya tempat, dan
bahkan diizinkan juga di antara sahabatnya untuk memutuskan perkara dan memimpin
bangsa, serta membimbing dan menyiapkan bolehnya mengangkat pengusa-penguasa
dan hakim-hakim.
Orang yang pertama menjadi hakim dalam Islam adalah Rasulullah SAW sendiri
berdasarkan perintah Allah SWT. Rasulullah SAW menyelesaikan suatu permasalahan
berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah SWT. Dan ketika wahyu tidak turun,
Rasulullah menetapkan suatu perkara berdasarkan ijtihadnya. Dan ketika ijtihad Rasul
keliru, Allah SWT akan segera menegurnya dengan diturunkannya wahyu mengenai
perkara tersebut.
Dikala dunia Islam telah mulai berangsur luas, telah banyak kota-kota yang
menjadi majlis peradilan, barulah Rasul mengutus beberapa wali negeri ke daerah-
daerah itu. Pada masa Nabi masih hidup, wali-wali negeri bertindak sebagai
pemangku urusan umum rakyat dan bertindak pula sebagai hakim di dalam
wilayahnya. Wali-wali itu berkuasa memutuskan segala rupa perkara. Nabi
mengangkat Mu’adz menjadi gubernur di negeri Yaman dan ‘Attab ibn Asied menjadi
Gubernur di negeri Makkah. Segala perkara yang mereka putuskan terus berlaku, tidak
perlu meminta atau menunggu pengesahan Nabi. Pendelegasian tugas yudikatif
dilaksanakan dalam tiga bentuk:

10
1. Rasulullah SAW mengutus sahabatnya menjadi penguasa di daerah tertentu
sekaligus memberi wewenang bertindak sebagai hakim untuk mengadili
sengketa di antara warga masyarakat.
2. Rasulullah SAW menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai hakim guna
menyelesaikan masalah tertentu, penugasan ini biasanya dilaksanakan atas
perkara tertentu saja.
3. Rasulullah SAW terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi
sahabat yang lain untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu dalam suatu
daerah.
Sebelum penugasan diberikan, Rasulullah saw. terlebih dahulu menguji atau
lazim dikenal fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) kepada sahabat yang
ditugaskan. Ini digambarkan ketika Rasulullah saw. menanyakan kepada Mu’az bin
Jabal perihal sikapnya dalam menyelesaikan perkara. Rasulullah saw. pun sangat
selektif dalam memilih sahabat untuk diangkat menjadi hakim hanya yang berkualitas
dan berkredibilitaslah yang terpilih.
Jadi urusan peradilan di daerah-daerah diserahkan kepada penguasa yang dikirim
ke daerah-daerah itu dan sekali-sekali pernah pula Rasul menyuruh seseorang sahabat
bertindak sebagai hakim di hadapan beliau sendiri. Beliau juga bertindak selaku mufti
memberi fatwa kepada orang-orang yang memerlukannya. Maka pada diri beliau
berpadulah tiga kedudukan, yaitu selaku hakim, selaku muballigh, dan selaku
musysyarri.

D. Hukum peradilan pada masa Rasulullah saw


Ketika Allah swt mengutus nabinya Muhamad saw dan memerintahkannya untuk
menyampaikan dakwah dan risalah Allah swt sekaligus menegakkan keadilan dan
kebenaran juga sebagai sumber hokum dan aturan untuk memutuskan perkara-perkara
perselisihan dan pertikaian yang saat itu terjadi
Dan penetapan keputusan hukum pada masa Rasulullah saw melalui
perantara :
1. Al bayyinah atau bukti
2. Sumpah
3. Saksi
4. Al kitabah atau penulisan

11
5. Al farosah atau firasat
6. Al qur’an
Pada masa Rasulullah saw, beliau juga mengakui ketetapan hukum
peradilan yang diputuskan oleh beberapa sahanatnya, termasuk pengkuan
beliau saw terhadap hukum yang diputuskan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Disebutkan dalam riwayat hadist, saat dihadapkan kepada sayyibina Ali bin
Abi Tholib ra, suatu perkara hukum, sayyidina Ali berkata kepada mereka,”
jika kalian ridho terhadap keputusan hukum yang aku tetapkan maka itulah
yang harus kalian laksanakan, tapi jika kalian tidak menyukai keputusan
hukum tersebut maka datanglah kepada Rasulullah saw agar beliau yang
memutuskan hukum perkara kalian, ternyata setelah imam Ali menetapkan
perkara hukum mereka, terlihat mereka menolaknya, kemudian saat mereka
melihat Rasulullah saw dimusim haji disamping maqom Ibrahim, mereka
menceritakan dan bertanya apakah keputusan hokum sayyidina Ali ra, itu
benar,dan ternyata Rasulullah saw menyetujui keputusan hukum perkara
tersebut dan membenarkannya.

BAB III
PENUTUP

12
A. Kesimpulan
Nabi Muhammad SAW diutus kedunia ini selain menyampaikan wahyu illahi,
juga membawa peradaban risalah Islamiyah, salah satu dari sekian banyak peradaban
itu berupa sistem peradilan yang dipraktekkan di masa Rasul SAW yang sampai saat
ini masih diperhitungkan bahkan lebih-lebih masih dipraktekkan dari lingkup
kuluarga sampai pada sistem tatanegara dewasa ini.
Rasulullah SAW ditugaskan untuk memutuskan hukum dan menjelaskan
persengketaan yang terjadi diantara anggota masyarakat. Rasul diperintahkan
memimpin umat, mengendaliakan pengadilan, dan memutuskan perkara.
Pada masa Rasul segala urusan pemerintahan memang diadukan kepada beliau,
Setelah dakwah Islam mulai tersebar, maka Rasul memberi izin kepada sahabatnya
untuk memutuskan hukum perkara yang mereka hadapi Pendelegasian tugas yudikatif
dilaksanakan dalam tiga bentuk, pertama; Rasulullah saw. mengutus sahabatnya
menjadi penguasa di daerah tertentu sekaligus memberi wewenang bertindak sebagai
hakim untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat. Kedua; Rasulullah saw.
menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai hakim guna menyelesaikan masalah
tertentu, penugasan ini biasanya dilaksanakan atas perkara tertentu saja. Ketiga;
Rasulullah saw. terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi sahabat
yang lain untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu dalam suatu daerah.
Peradilan dalam Islam sangat penting, untuk mewujudkan keadilan dan
kemaslahatan serta sebagai upaya melindungi hak dan kewajiban individu, kelompok
dan masyarakat secara keseluruhan, hal ini sesuai dengan asas prinsip dan tujuan dari
hukum Islam itu sendiri. Dengan adanya peradilan Islam, kebebasan yang dimiliki
oleh setiap individu pun terlindungi, persamaan hak setiap individu didepan hukum
maupun dalam kehidupan sosial terjaga, dan jaminan sosial bagi setiap individu dan
masyarakat dapat terwujudkan. Berdasarakan tujuan dari, pelaksanaan peradilan Islam
sebagai wadah melaksanakan atau menjalankan hukum-hukum Allah SWT dan
mengesakan Allah SWT maka dari sini dapat disimpulakan bahwa pelaksanaan
peradilan Islam merupakan ibadah. Namun bukan berarti setiap orang bisa menjadi
hakim sebagai pelaksanaan pengadilan sebab bisa saja akan terjadi kekeliruan apabila
posisi hakim tidak dilaksanakan orang-orang yang berilmu.

DAFTAR PUSTAKA

13
al-Syarbini, Muhammad ibn Ahmad,. al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,
juz 2, Bairut; Dar al-Kutub al-„ilmiyah, 1998.
al-Qalyuby, Ahmad ibn Ahmad,. Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Amirah, juz 4,
Bairut;Dar al-Fikr, 1998.
al-Mawardi, Muhammad ibn Habib,. al-Hawi al-Kabir fi al-Fiqh al-Islami, juz
20, Bairut;Dar al-Kutub al-„ilmiyah, t.t.
al-Suyuthi, Muhammad ibn Ahmad Syamsuddin,. Jawahir al-‘Uqud wa
Mu’ayyan al-Qadlah wa al-Muwaqqi’in wa al-Syuhud,juz 2, Bairut; Dar al-
Kutub al-„Ilmiyah, 1996
al-Thabary, Muhammad ibn Jarir,. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz 6, Bairut; al-
Ma‟rifah, 1990.
al-Mawardy, Ali bin Muhammad,. al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-wilayah al-
Diniyah,Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy`ats,. Sunan Abi Dawud, juz 6,
Bairut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.t.
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasby,. Peradilan dan Hukum Acara Islam,cet. 2,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.

14

Anda mungkin juga menyukai