Anda di halaman 1dari 22

REFARAT Kepada Yth,

Divisi Alergi Immunologi

DRUG REACTION WITH EOSINOPHILIA AND SYSTEMIC SYMPTOMS (DRESS) PADA


ANAK
Penyaji :
Hari/Tanggal :
Pembimbing : dr.
Supervisor : dr.

Pendahuluan
Reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik, yang dikenal dengan akronimnya dalam bahasa
Inggris sebagai DRESS (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms), adalah reaksi
merugikan serius yang disebabkan oleh obat dengan presentasi klinis yang lambat.1
Insiden DRESS sangat beragam, karena dapat bervariasi tergantung pada jenis obat dan status
kekebalan masing-masing pasien. Hal ini juga karena banyak kasus yang tidak terdiagnosis ataupun
tidak diobati.1 DRESS telah dilaporkan terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih jarang
terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.2 Insidennya di antara populasi pediatrik tidak
diketahui dan sampai saat ini. 3 Pada populasi umum, perkiraan kejadian DRESS adalah lebih dari 1
kasus per 10.000 paparan obat. Data lain menunjukkan kejadian 0,9/100.000 penduduk dan 10
kasus per juta pada populasi umum. Insiden DRESS yang lebih tinggi telah diamati pada populasi
kulit hitam dan pada wanita.1
Berbeda dengan dewasa, DRESS pada anak memiliki prognosis yang lebih baik dan tingkat
mortalitas yang lebih rendah sekitar 1% dibandingkan 10% pada dewasa. Tetapi manifestasi klinis,
tatalaksana, dan outcomes pada anak dengan DRESS sampai saat ini belum jelas.4
Obat yang paling sering terlibat dalam mencetuskan DRESS adalah antikonvulsan aromatik
(fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital), sulfonamida, sulfon (dapson), obat antiinflamasi
nonsteroid (piroksikam, ibuprofen, dan diklofenak), antibiotik betalaktam, vankomisin, allopurinol,
minosiklin dan antiretroviral. Namun, pada 10–20% kasus, obat pencetus tidak dapat diidentifikasi.1

1
Secara umum, sindroma DRESS biasanya dimulai dengan gejala prodromal seperti malaise,
pruritus dan demam (38-40OC), dimana demam didahului oleh manifestasi kulit selama beberapa
hari dan dapat bertahan selama berminggu-minggu. Limfadenopati hadir pada hingga 75% pasien.
Hal ini biasanya berkonsistensi lunak dengan ukuran antara 1 dan 2 cm dan berada di daerah
servikal, aksila, dan inguinal.1
Pada kebanyakan pasien reaksi terjadi 2 hingga 6 minggu setelah memulai obat, periode laten ini
lebih lama daripada kebanyakan erupsi obat.1 Tetapi gejala ini dapat timbul kurang dari 15 hari
pada populasi anak.3,11
Hingga saat ini, belum terdapat trial klinis prospektif dalam tatalaksana sindroma DRESS pada
anak. Rekomendasi saat ini berdasarkan laporan kasus dan pendapat ahli. 18 Selama beberapa
dekade, kortikosteroid sistemik telah dianjurkan sebagai agen lini pertama pada pasien dengan
DRESS sedang hingga berat, meskipun kurangnya bukti kuat yang menunjukkan keunggulan
pilihan ini dibandingkan pilihan lainnya. Rekomendasi ini sebagian berasal dari kekerapan sebagian
besar dokter dalam menggunakan kortikosteroid sistemik untuk penyakit yang dimediasi imunitas
lainnya.19
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Drug
Reaction With Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) pada anak

Definisi
Reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik, yang dikenal dengan akronimnya dalam bahasa
Inggris sebagai DRESS (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms), adalah reaksi
merugikan serius yang disebabkan oleh obat dengan presentasi klinis yang lambat, yang biasanya
dimulai dengan gejala prodromal yang terdiri dari malaise, pruritus, dan demam (38-40oC).
Selanjutnya, hal ini berkembang dengan keterlibatan kulit dan sistemik dengan ruam morbilliform,
scaling difus, edema fasial, dan eritroderma serta limfadenopati, kelainan hematologis, dan end
organ damage (hati, ginjal, jantung, paru-paru, sistem endokrin, dll).1

Epidemiologi
Insiden DRESS sangat beragam, karena dapat bervariasi tergantung pada jenis obat dan status
kekebalan masing-masing pasien. Hal ini juga karena banyak kasus yang tidak terdiagnosis ataupun

2
tidak diobati.1 DRESS telah dilaporkan terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih jarang
terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.2 Insidennya di antara populasi pediatrik tidak
diketahui dan sampai saat ini, pengetahuan tentang ini didasarkan pada laporan kasus dan case
series kecil.3 Pada populasi umum, perkiraan kejadiannya adalah lebih dari 1 kasus per 10.000
paparan obat. Data lain menunjukkan kejadian 0,9/100.000 penduduk dan 10 kasus per juta pada
populasi umum. Pada pasien rawat inap, insiden berkisar antara 2,18 hingga 40/100.000 pasien
rawat inap. Insiden DRESS yang lebih tinggi telah diamati pada populasi kulit hitam dan pada
wanita.1
Pada anak-anak, meskipun telah didapatkan beberapa laporan DRESS pada anak, hal ini belum
dipelajari dengan luas. Berbeda dengan dewasa, DRESS pada anak memiliki prognosis yang lebih
baik dan tingkat mortalitas yang lebih rendah sekitar 1% dibandingkan 10% pada dewasa. Tetapi
manifestasi klinis, tatalaksana, dan outcomes pada anak dengan DRESS sampai saat ini belum
jelas.4

Etiologi
Terdapat 44 obat telah dikaitkan dengan DRESS. Dimana obat yang paling sering terlibat adalah
antikonvulsan aromatik (fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital), sulfonamida, sulfon
(dapson), obat antiinflamasi nonsteroid (piroksikam, ibuprofen, dan diklofenak), antibiotik
betalaktam, vankomisin, allopurinol, minosiklin dan antiretroviral. Namun, pada 10–20% kasus,
obat pencetus tidak dapat diidentifikasi. Antibiotik seperti amoksisilin dapat menyebabkan
DRESS, namun, dalam kebanyakan kasus, obat ini bertindak sebagai faktor yang memperberat
DRESS yang diinduksi oleh obat lain.1
Pada RegiSCAR (registrasi multinasional untuk reaksi obat kulit yang berat), ditemukan bahwa
obat antiepilepsi, terutama karbamazepin dan lamotrigin, fenobarbital, fenitoin, asam valproat,
dan zonisamida, terlibat dalam 35% kasus, allopurinol dalam 18% kasus, sulfonamida dan
dapson 12%, dan antibiotik lain 11%, dan interval rata-rata gejala setelah minum obat adalah 22
hari. Reaksi obat yang merugikan biasanya dimulai dalam 2 bulan setelah konsumsi obat
pencetus, paling sering antara 2 sampai 6 minggu setelah penggunaan pertama. Namun, gejala
dapat muncul lebih cepat dan lebih berat pada pajanan berikutnya.5

3
Tabel 1. Obat yang paling sering berhubungan dengan DRESS.6
Golongan Obat
Antiepilepsi Obat antiepilepsi aromatik (Karbamazepin, lamotrigin,
fenobarbital, fenitoin, oxcarbazepin)
Antibiotik Amoxicillin, ampicillin, azithromisin, levofloxacin, minosiklin,
sulfametoksazoltrimetoprim, vankomisin
Antituberkulosis Etambutol, isoniazid, pirazinamid, rifampisin
NSAID Aspirin, celecoxib, diklofenak, ibuprofen, piroksikam
Lainnya Allopurinol, amitriptyline, dapson, hidroksiklorokuin, imatinib,
nevirapine, omeprazole, sulfasalazine

Patogenesis
Patogenesis sindrom DRESS dihipotesiskan terdiri dari interaksi kompleks sebagai berikut:7
1. Defisiensi genetik enzim detoksifikasi yang menyebabkan akumulasi metabolit obat.
Metabolisme secara kovalen mengikat makromolekul sel yang menyebabkan kematian sel atau
menyebabkan fenomena imunologis sekunder. Aktivasi eosinofil serta aktivasi kaskade
inflamasi dapat diinduksi oleh pelepasan interleukin-5 dari sel T spesifik obat.
2. Asosiasi genetik antara antigen leukosit manusia (HLA) dan hipersensitivitas obat dapat teriadi.
Hal ini meliputi HILA-B*1502, yang terkait dengan sindroma Stevens-Johnson (SJS) diinduksi
karbamazepin (CBZ) dan nekrolisis epidermal toksik (TEN): HLA-B*1508, terkait dengan
allopurinol yang menginduksi SJS/TEN; dan banyak lainnya. Juga diamati bahwa asosiasi HLA-
B*1502 dan CBZ yang menginduksi SJS/TEN dapat menjadi ciri khas sekelompokc etnis seperti
yang diamati pada populasi Cina. Reaksi hipersensitivitas obat yang diinduksi CBZ
kemungkinan spesifik fenotipe.
3. Interaksi virus-obat yang terkait dengan reaktivasi virus juga mungkin ada. Fenomena ini
sebelumnya telah diamati untuk virus herpes (terutama virus Epstein-Barr [EBVI). Manifestasi
klinis tampaknya merupakan hasil perluasan spesifik virus dan sel T nonspesifik. Faktanya, sel T
spesifik obat telah disolasi dari darah dan kulit pasien yang sindrom DRESS dinduksi oleh
lamotrigin dan CBZ. Shiohara et al meninjau bukti terbaru mengenai hubungan antara infeksi
virus dan ruam obat sebagai Begitu juga mekanisme bagaimana infeksi virus dapat
menvebabkan ruam obat. Mereka mengamati bahwa reaktivasi berurutan dari beberapa virus
herpes (HHV-6, HHV-7, EBV, dan cytomegalovirus) dapat dideteksi bersamaan dengan gejala
4
reaksi hipersensitivitas obat. Pola reaktivasi virus herpes diketahui sebagai mirip dengan yang
diamati pada penyakit graft-versus-host (GVHD), sehingga menunjukkan bahwa DRESS
mungkin menyerupai GVHD dalam arti bahwa sel T antivirus dapat bereaksi silang dengan obat-
obatan dan tidak hanya timbul dari ekspansi oligoklonal sel-sel spesifik obat. Penelitian Kano et
al juga mempelajari apakah kondisi imunosupresif yang memungkinkan reaktivasi HHV-6 dapat
terdeteksi secara khusus dalam sindroma hipersensitivitas antikonvulsan (AHS). Untuk menguji
gagasan ini, mereka melakukan tes serologis untuk titer antibodi untuk berbagai virus dan
menemukan bahwa tingkat serum imunoglobulin G (IgG) dan jumlah sel B yang beredar pada
pasien dengan AHS secara signifikan menurun saat onset dibandingkan dengan kelompok
kontrol (P <0,001 dan P = 0,007, masing-masing). Perubahan kembali ke tingkat normal terjadi
saat pemulihan pasien. Selain itu, mereka mengamati bahwa pengaktifan ulang HHV-6 yang
diukur dengan peningkatan titer IgG HHV-6 lebih dari empat kali lipat secara eksklusif
terdeteksi pada pasien dengan AHS yang mengalami penurunan kadar IgG dan jumlah sel B.
Temuan ini menunjukkan hubungan antara tingkat keparahan sindrom AHS dan sindroma
DRESS.

5
Gambar 1. Patogenesis DRESS, Hipersensitivitas terhadap antikonvulasan.8
Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti dari DRESS belum diketahui dengan pasti, terdapat 3 komponen utama
dalam patofisiologi DRESS yaitu:1
1. Kerentanan genetik dengan alel tertentu dari human leukocyte antigen (HLA)
2. Perubahan jalur metabolisme obat, terutama antikonvulsan aromatik
3. Reaktivasi HHV yang menimbulkan respon inflamasi yang dimediasi oleh limfosit T
sehingga terjadi kerusakan jaringan.
Studi farmakogenetik telah menemukan hubungan antara haplotipe HLA dan kerentanan DRESS.
HLA-B*5701 telah dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan DRESS yang diinduksi
abacavir. Kehadiran HLA-B*5801 pada kelompok etnis Han China merupakan faktor risiko
Stevens Johnson Syndrome (SJS), Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) dan DRESS yang disebabkan
oleh allopurinol. HLA-DR3, HLA-DQ2 dan HLA-A*31:01 telah dikaitkan dengan DRESS yang
6
diinduksi oleh carbamazepine. Marker alelik ini memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi,
menunjukkan bahwa marker tersebut diperlukan tetapi tidak cukup untuk menghasilkan respon
alergi.1
Antikonvulsan aromatik seperti fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, okskarbazepin, dan
lamotrigin, dimetabolisme oleh enzim hepatik sitokrom P450. Oleh karena itu, defek pada fungsi
detoksifikasi yang dimediasi oleh epoksida hidroksilase atau glutathione transferase dapat
menyebabkan produksi reactive oxygen metabolites. Akumulasi dari metabolit ini menyebabkan
toksisitas seluler, menghasilkan sinyal alarm yang dapat merangsang limfosit T dan menginduksi
respons imun.1
HHV-6 biasanya berada secara laten pada limfosit T dan monosit yang dapat diaktivasi kembali
selama masa imunosupresi. Infeksi primer diperoleh melalui droplet sekitar 6-15 bulan kehidupan
dan biasanya asimtomatik tetapi dalam 20% kasus dapat bermanifestasi dengan demam, gejala
gastrointestinal dan pernapasan, serta gejala neurologis seperti kejang. Reaktivasi virus HHV-6
selama berlangsungya DRESS [serta virus EpsteinBarr (EBV), cytomegalovirus (CMV) dan HHV-
7] telah ditunjukkan melalui peningkatan imunoglobulin G (IgG) terhadap HHV-6 dan identifikasi
materi genetik virus pada studi.1

Manifestasi Klinis
Secara umum, sindroma DRESS biasanya dimulai dengan gejala prodromal seperti malaise,
pruritus dan demam (antara 38 dan 40 C), dimana demam didahului oleh manifestasi kulit selama
beberapa hari dan dapat bertahan selama berminggu-minggu. Limfadenopati hadir pada hingga
75% pasien. Ini biasanya berkonsistensi lunak dengan ukuran antara 1 dan 2 cm dan berada di
daerah servikal, aksila, dan inguinal.1
Pada kebanyakan pasien reaksi terjadi 2 hingga 6 minggu setelah memulai obat, periode laten ini
lebih lama daripada kebanyakan erupsi obat. Namun, pada pasien yang terpapar kembali dengan
obat pencetus, serta pada pasien dengan perubahan fungsi hematologis dan hati, gejala dapat
muncul lebih cepat dan dengan tingkat keparahan yang lebih berat.1

7
Gambar 2. Gambaran anak 3 tahunn dengan DRESS (A) ruam makulopapular diffus, (B)
edema fasial dan cheilitis.9
Keterlibatan kulit biasanya dimulai sebagai ruam morbiliform pruriginous, yang berkembang
dengan cepat. Awalnya dapat melibatkan wajah, bagian atas tubuh, ekstremitas atas, dan akhirnya
ekstremitas bawah. Ruam yang menandakan DRESS dipertimbangkan jika ruam lebih dari 50%
total luas permukaan tubuh. Selain itu, vesikel atau bula (kemungkinan berhubungan dengan edema
dermis), lesi target atipikal, lesi purpura, dan pustula folikular kecil dapat muncul. Sekitar setengah
dari pasien mengalami edema wajah, yang simetris, persisten, dan terletak di daerah midface dan
periorbital, yang dapat disalah sangka sebagai angioedema. Keterlibatan membran mukosa terjadi
pada 50% pasien. Hal ini biasanya melibatkan satu area (keilitis, faring eritematosa, tonsil
hipertrofik), dan kadang-kadang dapat berkembang menjadi erosi. Seiring waktu ruam kulit terlihat
lebih keunguan terkait dengan scaling difus, dan pada 20-30% kasus eritema berkembang menjadi
eritroderma (eritema difus dan scaling mempengaruhi lebih dari 90% total luas permukaan tubuh).
Manifestasi klinis ini dapat bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah
menghentikan obat penyebab.1,10

Gambar 3. Ruam makulopapular pada DRESS. 5


8
Pada studi Kim et al. 2020 yang mengevaluasi DRESS pada anak, ditemukan dari 148 anak dengan
DRESS, ruam ditemukan hampir pada semua pasien yaitu sebanyak 145 anak (97.9%) dengan
presentasi klinis yang bervariasi. Morfologi tersering yaitu makulopapular/morbiliform pada 101
pasien (69.7%), diikuti exfoliative/desquamative pada 40 pasien (27.6%), ruam erytrodermic pada
20 (3.8%), dan sandpaper-like rash pada 2 pasien (3.8%). Distribusi ruam ini bersifat gereralisata
atau diffus (71.6%) dan sering melibatkan lebih dari 50% total luas permukaan tubuh), dimana juga
terdapat beberapa distribusi ruam yang terlokalisir. Ketika terlokalisir, ruam biasanya melibatkan
ekstremitas (23.6%), trunkus bawah (22.6%), dan wajah (16%). Ruam ini muncul mendahului
gejala lain seperti demam atau jaundice.5

Gambar 4. Ruam makulopapular morbiliform diseminata non-spesifik pada DRESS. 5


Pada studi Metterle et al. 2020 meneliti DRESS pada 130 kasus pediatrik. Presentasi klinis yang
paling umum termasuk demam, ruam morbiliform, dan limfadenopati. Hati adalah organ yang
paling sering terlibat (80%). Waktu dari inisiasi obat hingga gejala pertama pada anak adalah 3
sampai 60 hari (rata-rata, 24 hari), dan sindrom DRESS dihasilkan dari antiepilepsi pada 50% dan
antibiotik pada 30,8% pasien. Pada studi ini menunjukkan bahwa sindrom DRESS pada populasi
anak dapat terjadi kurang dari 15 hari setelah pemberian obat. 3,11
Terdapat beberapa manifestasi atipikal pada DRESS seperti scarring conjungtivitis, yang
berhubungan dengan lamotrigin dan levetiracetam, ulkus oral yang berhubungan dengan celecoxib
dan ethambutol, disfagia yang berhubungan dengan amoxicillin, dan yang lebih jarang ditemui
berupa inverse typhys fever, berhubungan dengan parasetamol, fenitoin, dan metamizole. Beberapa
organ lain yang dapat terlibat berupa sistem muskuloskeletas dengan miositis dan peningkatan
kreatin fosfokinase, dan sistem saraf perifer dengan polineuritis.1
9
Diagnosis banding
Pada anak DRESS memiliki presentasi klinis yang dapat mirip dengan Steven Johnson
Syndrom(SJS)/Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) dan Acute Generalized Exanthematous
Pustulosis (AGEP). Tetapi pada pemeriksaan histopatologis DRESS berbeda secara substansial
dengan TEN dan AGEP dimana DRESS tidak memiliki baik full-thickness necrosis ataupun sterile
subcorneal pustules. Dimana pada SJS/TEN biasanya bisa didapatkan full-thickness, extensive
keratinocyte necrosis yang berkembang menjadi bula subepidermal. AGEP biasanya menunjukkan
pustula epidermal superfisial spongiform disertai dengan edema papila dermis dan infiltrat
perivaskular campuran yang banyak. 12
Selain itu, dari waktu timbulnya gejala, reaksi yang
ditimbulkan oleh AGEP sangat cepat setelah pemberian antibiotik ataupun pemicu lainnya. DRESS
memiliki waktu laten minimal 2-3 minggu dan SJS/TEN dapat muncul 4 hari sampai dengan 8
minggu setelah medikasi awal.13

Gambar 5. Gambaran hematoksilin-eosin TEN yang menunjukkan subepidermal bullae under


full-thickness epidermal necrosis.12

10
Gambar 6. Gambaran hematoksilin-eosin AGEP yang menunjukkan spongiform superficial
intraepidermal pustules dan polymorphous perivascular infiltrates.12

Penegakan diagnosis
Anamnesis
Dikarenakan variabilitas yang tinggi dari DRESS, diagnosis membutuhkan tingkat kecurigaan yang
tinggi dan presentasi klinis yang memadai. Pada anamnesis hal yang paling perlu ditanyakan berupa
riwayat eksposur pada medikasi tinggi resiko, seperti allopurinol atau obat anti-epilepsi dalam 2-6
minggu sebelum gejala awal penyakit.5

Pemeriksaan Fisik
Kasus DRESS secara tipikal pada anak mempunyai ruam morbiliform dan dapat juga dermatitis
eksfoliatif atau infiltrated erythema yang berdampak pada >90% total luas permukaan tubuh.
Dimana total luas tubuh yang terdampak dapat dihitung menggunakan rule of nines ataupun palm
method. Beberapa gejala sistemik dan keterlibatan organ pun dapat dijumpai yang sangat
bergantung pada organ yang terlibat, yang dapat meliputi demam (38-40 OC), pembesaran kelenjar
limfa, dan beberapa temuan lainnya bergantung dengan organ yang terlibat.5

Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi hematologis pada DRESS meliputi leukositosis (didahului leukopenia dan limfopenia),
adanya limfosit atipikal (reaktif), trombositopenia, dan anemia. Eosinofilia terjadi pada 60-70%
kasus dan seringkali membutuhkan waktu 1-2 minggu untuk muncul dan bahkan dapat terjadi
setelah enzim hati telah kembali normal. Sindrom hemofagositik (demam, ikterus,
hepatosplenomegali, feritin rendah, peningkatan laktat dehidrogenase (LDH), dan peningkatan
trigliserida) juga dapat terjadi meskipun jarang. Hingga 90% pasien mengalami gangguan pada
setidaknya 1 organ. Dimana hati merupakan organ yang paling sering terkena (60-80% kasus). Hal
ini umumnya bermanifestasi sebagai hepatitis asimtomatik, tetapi hepatomegali dan jaundice juga
dapat ditemukan.1
Tes fungsi hati mungkin abnormal dan mencakup peningkatan lebih dari 2 kali nilai normal enzim
alanine aminotransferase (ALT) dan nilai >1,5 kali alkali fosfatase (FA). Perubahan ini umumnya

11
ringan dan sementara. Namun, peningkatan enzim hati dapat bertahan selama beberapa hari setelah
penghentian obat dan bahkan dapat memakan waktu berbulan-bulan untuk sembuh. Penyebab
utama kematian pada DRESS adalah nekrosis hati, yang dapat meluas dan menyebabkan gagal hati
berat dengan koagulopati, ensefalopati, dan ALT lebih besar dari 10 kali batas atas.14,15
Perubahan ginjal dapat terjadi hingga 30% dari kasus. Hal ini dapat termasuk peningkatan moderat
dalam kreatinin dan BUN (blood urea nitrogen), proteinuria, dan perubahan dalam sedimen urin
dengan adanya eosinofil. Dalam kebanyakan kasus, gangguan ginjal ringan dan sembuh setelah
menghentikan obat pencetus. Namun, terdapat kemungkinan kasus di mana nefritis interstitial berat
terjadi dan berkembang menjadi gagal ginjal. Obat yang paling umum diketahui menyebabkan
cedera ginjal adalah: allopurinol, carbamazepine, dan dapson. Pasien dengan penyakit ginjal yang
mendasari dan lansia memiliki risiko lebih tinggi mengalami gagal ginjal.1
Penyakit paru terjadi hingga 25% dari kasus DRESS, dapat muncul dengan dispnea, batuk
nonproduktif, hipoksemia, dan tanda-tanda pneumonitis interstisial dan/atau efusi pleura pada
rontgen dada dan CT-scan. Obat yang paling sering dikaitkan dengan kerusakan paru-paru adalah
minocycline.1
Keterlibatan jantung, seperti miokarditis eosinofilik atau perikarditis, dapat terjadi beberapa bulan
setelah penghentian obat dan berpotensi fatal. Tanda dan gejala khasnya meliputi nyeri dada,
takikardia, dispnea, dan hipotensi. Dapat terjadi peningkatan enzim jantung, kardiomegali pada
rontgen dada, dan perubahan gelombang ST dan T, sinus takikardi, dan aritmia pada EKG.
Keterlibatan jantung ini lebih sering dikaitkan dengan minosiklin dan ampisilin.16
Saluran pencernaan juga dapat terpengaruh dan bermanifestasi dengan dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal, yang memerlukan endoskopi saluran cerna atas (EGD) dan kolonoskopi untuk
evaluasi.1
Abnormalitas endokrin hadir sebagai sekuele jangka panjang sekitar 2 sampai 4 bulan setelah
penghentian obat, dan temuan tersering adalah tiroiditis. Manifestasi klinis tiroiditis antara lain
jantung berdebar, iritabilitas, gangguan tidur, dan lain-lain. Tes fungsi tiroid rutin
direkomendasikan setidaknya 2 tahun setelah kejadian. Manifestasi lain seperti pankreatitis dan
diabetes mellitus (DM) tipe 1 dapat muncul antara 3 minggu dan 10 bulan setelah dimulainya
DRESS.1

12
Manifestasi neurologis jarang terjadi dan termasuk meningitis dan ensefalitis. Ini mungkin
bermanifestasi 2 sampai 4 minggu setelah dimulainya DRESS dan mungkin terkait dengan
reaktivasi HHV-6. Sakit kepala, kejang, kelumpuhan saraf kranial, dan kelemahan otot adalah
beberapa gejala yang mungkin dapat ditemukan.1
Analisis histopatologi kulit dapat membantu memastikan diagnosis DRESS. Temuan yang paling
umum adalah infiltrasi limfositik perivaskular yang padat di papila dermis, eosinofil, dan edema
dermal, dan umumnya lebih tebal daripada yang diamati pada reaksi kulit serius lainnya.5
Tes diagnostik dapat digunakan untuk reaksi tertunda (delayed reaction), seperti PT dan LTT,
untuk mencoba mengidentifikasi obat penyebab. Karena pada imunosupresi akut reaktivitas kulit
dapat menurun, atau mungkin terdapat false positive saat kulit masih terangsang, waktu optimal
untuk melakukannya minimal 6 minggu setelah resolusi gejala.5
Kehadiran temuan berikut dalam biopsi kulit dapat sugestif terhadap diagnosis DRESS: spongiosis,
akantosis, vakuolisasi, infiltrasi limfositik pada papila dermis, dan predominan perivaskular, adanya
eosinofil, limfosit atipikal, atau bahkan granuloma.17 Tetapi pada studi oleh Bedouelle et al. 2021
pada 49 pasien pediatri, tidak ditemukan gambaran histologis.3

Gambar 7. Gambaran hematoksilin-eosin DRESS yang menunjukkan diffuse interface


change, several necrotic keratinocytes, dan considerable spongiosis with spongiotic bullae.12

Beberapa pemeriksaan penunjunang dapat dilakukan dalam rangka menemukan obat yang memicu
terjadinya DRESS, dapat berupa:1
1. Patch test

13
Secara tradisional, tes ini merupakan tes pilihan untuk menemukan obat pencetus
jika LTT tidak tersedia. Performa tes ini sangat bergantung pada obat yang diuji dan telah
ditunjukkan aman pada pasien imunokompeten.
Semua tes ini harus dilakukan 4 – 6 minggu setelah reaksi, dan pasien tidak boleh
dalam terapi immunosupresan atau kortikosteroid paling tidak 4 minggu. Hal ini untuk
mengurangi tingkat false negative pemeriksaan ini. Direkomendasikan konsentrasi 10%
dalam petroleum jelly menggunakan bentuk komersial obat, tetapi ini dapat ditingkatkan
sampai 30%. Konsentrasi harus ditentukan sesuai dengan obat yang diperiksa.
Direkomendasikan untuk memulai awal pembacaan hasil 48 jam setelah pemberian patch
dan pembacaan kedua setelah 96 jam. Tetapi pada beberapa medikasi, pembacaan 7 – 10
hari dapat direkomendasikan.
2. Intradermal test
Tes ini ditemukan bermanfaat dalam menemukan pencetus DRESS. Tes ini
dianjurkan jika pada patch test mendapatkan hasil negatif dengan implikasi obat yang
teredia secara intravena. Pembacaan hasil dilakukan setelah 6 – 24 jam. Untuk beberapa
obat seperti beta-laktam, tes intradermal dapat lebih bermanfaat dibandingkan patch test.

3. Lymphocyte transformation test


Tes ini dapat bermanfaat dalam menemukan obat pencetus dengan mengukur
proliferasi limfosit terhadap respon obat yang diperiksa. Hal ini dilakukan 4 – 8 minggu
setelah reaksi dan dianjurkan dalam 6 bulan pertama. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas
73% dan spesifisitas 85%, yang dikombinasikan dengan patch test dapat meningkatkan
probabilitas diagnosis.
Salah satu keuntungan dibandingkan skin tests adalah dikarenakan metode
pemeriksaan yang in vitro, tidak terdapat kemungkinan reproduksi reaksi setelah eksposur
obat, dan meskipun kemungkinan ini kecil, hal ini dapat relevan pada pasien
immunosupresi.
Terdapat beberapa tes lain seperti cytokine release assays dengan ELISA, seperti
deteksi IFN-γ pada DRESS. Tetapi bukti untuk pemeriksaan ini tidak cukup untuk
merekomendasikan metode ini secara rutin.

14
Gold Standard
Dalam membantu klinisi untuk konfirmasi ataupun eksklusi diagnosis DRESS, the European
Register of Severe Cutaneous Adverse Reactions (RegiSCAR) telah menciptkan sistem pengukuran
berdasarkan temuan klinis, ekstensi dari kulit yang terlibat, keterlibatan organ dan perjalanan
penyakit. DRESS diklasifikasikan dari skoring ini menjadi definitive, probable, possible ataupun
negative. Dimana skoring akhir < 2 merepresentasikan negative case, skoring 2-3 possible case,
skor 4-5 probable case, dan skor >5 merupakan definitive case.1,5
Tabel 3. Kriteria Diagnosis RegiSCAR untuk Sindroma DRESS.1 U(Unkown)
Kriteria SKOR
-1 0 +1 +2
Demam >= 38.5oC Tidak Ya
Pembesaran nodus limfatik Tidak/U Ya
Eosinofil 700-1499/µL ≥1500/ µL
Eosinofil, jika leukosit <4.000 10-19.9% ≥20%
Limfosit atipikal (atau reaktif) Tidak/U Ya
Ruam luas (>50% total luas permukaan Tidak/U Ya
tubuh)
Ruam sugestif DRESS Tidak U Ya
Biopsi sugestif DRESS Tidak Ya/U
Gangguan hati Tidak/U Ya
Gangguan renal Tidak/U Ya
Gangguan paru Tidak/U Ya
Manifestasi otot/jantung Tidak/U Ya
Gangguan pankreas Tidak/U Ya
Gangguan organ lainnya Tidak/U Ya
Resolusi ≥15 hari Tidak/U Ya
Evaluasi kemungkinan lain: Ya
 ANAS
 Kultur darah
 Serologi hepatitis A/B/C
15
 Klamidia./Mycoplasma pneumoniae
 Serologis lain/PCR/kultur
Jika tidak ada (+) dan jika ≥3 (-)

Menurut studi Francesca et al. 2019 re-challenging dengan obat penyebab telah dianggap sebagai
gold standard untuk mendiagnosa erupsi obat, tetapi dalam kasus yang diduga DRESS, sebaiknya
tidak digunakan karena sifat yang mengancam jiwa dari sindrom ini. Patch tests dapat berguna
untuk membuktikan respons imun spesifik obat pada sindrom DRESS. Tetapi, patch tests untuk
berbagai alergen seperti makanan memiliki akurasi diagnostik yang rendah. Patch tests in vivo
merupakan metode berisiko rendah untuk mereproduksi delayed hypersensitivity dengan
memaparkan kembali pasien ke sejumlah kecil obat penyebab yang dicurigai. Dimana sensitivitas
dan spesifisitas patch tests berbeda-beda menurut obat yang diuji. Pemeriksaan alergi, berupa patch
tests pada kebanyakan anak mendapatkan hasil positif pada sekitar 65.4% kasus.18

Tatalaksana
Non-Farmakologi
Hingga saat ini, belum terdapat trial klinis prospektif dalam tatalaksana sindroma DRESS pada
anak. Rekomendasi saat ini berdasarkan laporan kasus dan pendapat ahli. Langkah pertama dalam
tatalaksana DRESS adalah withdrawal obat pencetus, dikarenakan prognosis yang lebih baik
dikaitkan dengan pemberhentian obat yang lebih awal.18
Pada kasus ringan, tatalaksana utama bersifat supportif dan simptomatik, terapi non-farmakologis
termasuk pelembab (emollient) untuk ruam. Pada pasien dengan dermatitis eksfoliatif, diperlukan
cairan yang adekuat, elektrolit dan dukungan nutrisi.18

Farmakologi

16
Pada kasus ringan, tatalaksana farmakologis termasuk steroid topikal, antihistamin anti-H1 sistemik
untuk ruam dan gatal. Pada pasien dengan kasus moderat tanpa keterlibatan visceral, kortikosteroid
biasanya adekuat.18
Pada pasien dengan keterlibatan organ dalam, tatalaksana dengan kortikosteroid sistemik
direkomendasikan. Pengobatan dengan kortikosteorid sistemik memungkinkan untuk terjadinya
kekambuhan dan hal ini sering berkepanjangan dan membawa resiko infeksi. Dalam berbagai studi
observasi dan tinjauan literatur, kortikosteroid sistemik digunakan pada 43-100% kasus pada orang
dewasa dan anak-anak, sedangkan penggunaan steroid topikal jarang didapatkan.9
Dalam penelitian Bedouelle et al. 2021, enam anak menerima imunoglobulin intravena, dengan
durasi rata-rata ruam 15 hari. Pengobatan dengan imunoglobulin intravena dijelaskan dalam
beberapa kasus yang berat dengan hasil yang bervariasi. Pada serangkaian 7 kasus pediatri
menunjukkan bahwa pengobatan yang menggabungkan imunoglobulin intravena dan kortikosteroid
sistemik menyebabkan perbaikan cepat pada kondisi umum pasien anak-anak. Di sisi lain, dalam
serangkaian dari enam pasien dewasa yang diobati dengan imunoglobulin intravena saja, lima
memiliki efek samping yang berat, yang menunjukkan bahwa imunoglobulin intravena tidak boleh
digunakan sebagai pengobatan mandiri pada DRESS. Siklosporin direkomendasikan ketika
kortikosteroid sistemik dikontraindikasikan atau dalam kasus resistensi kortikosteroid. Hal ini
dilaporkan dalam beberapa kasus sebagai alternatif yang baik.3
Selama beberapa dekade, kortikosteroid sistemik telah dianjurkan sebagai agen lini pertama pada
pasien dengan DRESS sedang hingga berat, meskipun kurangnya bukti kuat yang menunjukkan
keunggulan pilihan ini dibandingkan pilihan lainnya. Rekomendasi ini sebagian berasal dari
kekerapan sebagian besar dokter dalam menggunakan kortikosteroid sistemik untuk penyakit yang
dimediasi imunitas lainnya. Dimana pada DRESS memiliki strategi dosis yang berbeda, mulai dari
pengobatan metilprednisolon intravena awal (10–30 mg/kg/dosis) hingga pengobatan oral dengan
prednison (0,5–2 mg/kg/hari), diturunkan bertahap selama setidaknya 2– 3 bulan, meskipun
terkadang dapat jauh lebih lama.19
DRESS pada dasarnya tampak berbeda dari kondisi peradangan lainnya (misalnya, asma, artritis,
lupus eritematosus sistemik) yang biasanya diberikan kortikosteroid jangka pendek dan efektif.
Misalnya, sementara sebagian besar kondisi inflamasi menunjukkan perbaikan yang cepat setelah
inisiasi steroid, tidak jarang gejala yang terkait dengan DRESS membaik secara perlahan atau

17
bahkan dapat mengalami perburukan. Hal ini terlepas dari dosis atau rute pemberian kortikosteroid.
Kedua, DRESS cenderung kambuh dan sangat sensitif terhadap perubahan dosis yang relatif kecil.
Misalkan, ketika terapi steroid parenteral dialihkan ke pengobatan oral, atau ketika dosis prednison
harian dikurangi sebanyak 5 mg, tidak jarang diamati intensifikasi gejala dan penanda laboratorium
yang memburuk. Selain itu, peningkatan aktivitas penyakit pada DRESS dapat disertai dengan
perkembangan fitur yang awalnya tidak ada saat diagnosis, seperti keterlibatan satu organ baru
(misalnya hepatitis atau miokarditis). Ini berbeda secara signifikan dengan pasien dengan kondisi
inflamasi lainnya, yang biasanya mentolerir perubahan dosis pengobatan dengan baik, dan pada
pasien dengan kekambuhan penyakit terkait dengan perubahan dosis yang kecil umumnya bersifat
ringan. DRESS biasanya memerlukan pemberian kortikosteroid yang berkepanjangan, seringkali
dalam jangka waktu 2 sampai 3 bulan, dan seringkali lebih lama, untuk menghindari kekambuhan
dalam aktivitas penyakit. Ini secara signifikan lebih lama dari jadwal yang digunakan untuk
sebagian besar kondisi peradangan lainnya. Meskipun kortikosteroid sering dapat mencegah
perkembangan penyakit dan penggunaannya segera mungkin diperlukan untuk mengelola
komplikasi spesifik DRESS (misalnya, sindrom hemofagositik), kortikosteroid adalah "instrumen
tumpul" yang tidak menargetkan patogenesis DRESS secara langsung.19

Gambar 8. Rekomendasi Algoritma tatalaksana sindroma DRESS.1

18
Pada studi Descamps et al., direkomendasikan beberapa algoritma terapi pada sindroma DRESS,
yang terdiri dari:1,20
1) Pada kasus tanpa tanda gejala berat : pengobatan dengan kortikosteroid topikal, penghentian
obat yang dicurigai mencetuskan DRESS, emollients dan anti-histamin.
2) Pada kasus dengan tanda berat seperti transaminasi 5 kali dari nilai normal, gagal ginjal,
penyakit paru, hemophagocytosis, atau abnormalitas kardiak : tatalaksana termasuk
kortikosteroid sistemik seperti prednisolone (1mg/kg/hari).
3) Pada kasus dengan tanda mengancam jiwa (hemophagocytosis, kerusakan spinal cord,
ensefalitis, gagal hati, dan gagal pernafasan), hal ini harus di tatalaksana dengan
kortikosteroid disertai immunoglobulin intervena dengan dosis 2 gram/kgBB dalam 5 hari.
4) Pada kasus tanda gejala berat bersamaan dengan konfirmasi aktivasi virus : ditatalaksana
dengan kortikosteroid, immunoglobulin intravena, dan antivirus seperti ganciclovir.

Prognosis
DRESS anak memiliki prognosis yang lebih baik dan tingkat mortalitas yang lebih rendah sekitar
1% dibandingkan 10% pada dewasa.4 Perkiraan mortalitas akibat DRESS menurut Calle et al. 2023
adalah sekitar 3,8%, terutama karena hepatitis fulminan dan nekrosis hati. Indikator prognosis
negatif pada kasus ini adalah adalah jumlah eosinofil di atas 6000 x 103/mL, adanya
trombositopenia, pansitopenia, leukositosis, koagulopati, adanya penyakit penyerta seperti penyakit
ginjal kronis, dan penggunaan obat-obatan seperti minosiklin dan allopurinol.1
Komplikasi dapat terjadi akibat DRESS pediatrik, seperti tanda dan gejala sepsis, hepatitis
fulminan, dan sindrom gangguan pernapasan akut harus dipantau selama masa follow-up. Setelah
penyakit sembuh, uji tempel atau drug lymphocyte stimulation testing digunakan untuk konfirmasi
kepekaan terhadap obat penyebab, terutama bila ada beberapa obat yang dicurigai.4

Monitoring dan Follow up


Ruam kulit dan kerusakan organ secara perlahan membaik setelah dilakukan pemberhentian obat
yang terlibat. Rata-rata masa pemulihan adalah 6 sampai 9 minggu. Namun, pada lebih dari 20%
kasus, penyakit ini dapat bertahan selama beberapa bulan dengan kekambuhan. Ada beberapa
faktor yang dijelaskan sehubungan dengan perjalanan penyakit yang lebih lama, seperti keterlibatan

19
hati dan adanya limfosit atipikal. Pasien dengan DRESS berisiko mengalami gejala sisa jangka
panjang dan oleh karena itu pemantauan jangka panjang yang berfokus pada pendeteksian penyakit
autoimun direkomendasikan.1
Pasien dengan DRESS berisiko mengalami gejala sisa autoimun sistemik, yang dapat muncul mulai
dari beberapa bulan hingga 4 tahun setelah resolusi manifestasi kulit dan keterlibatan sistemik akut.
Manifestasi autoimun mungkin merupakan kelanjutan dari keterlibatan organ yang muncul selama
fase akut. Hal ini diperkirakan terjadi karena hilangnya fungsi regulasi limfosit T secara bertahap
dan akibatnya hilangnya toleransi terhadap autoantigen. Kortikosteroid sistemik yang diberikan
selama fase akut penyakit tampaknya memiliki peran preventif dalam kondisi ini, dengan
memulihkan aktivitas regulator limfosit T.1
Pada studi retrospektif oleh Chen et al., melaporkan 11.5% tingkat sekuel jangka panjang dan
mendapatkan sekuel autoimun lebih sering didapatkan pada pasien yang lebih muda. 3 Follow-up
direkomendasikan dilakukan pada 2,3,4,5,6, 12 bulan dan kemudian setiap tahunnya.18

Ringkasan
DRESS merupakan reaksi hipersensitivitas dengan kondisi manifestasi klinis yang terkait dengan
obat pencetus. Pada anak-anak, meskipun telah didapatkan beberapa laporan DRESS pada anak, hal
ini belum dipelajari dengan luas. Pada pasien anak, DRESS memiliki presentasi klinis yang sangat
bervariasi. Mengidentifikasi obat pencetus adalah salah satu faktor terpenting, karena ini akan
menentukan tes diagnostik di masa mendatang serta tindakan pencegahan. Sebagai bagian dari
proses perawatan, follow-up pada rawat jalan memungkinkan identifikasi gejala sisa setelah
kejadian sindroma DRESS ini.

Daftar Pustaka
1. Calle AM, Aguirre N, Ardila JC, Cardona Villa R. DRESS syndrome: A literature review
and treatment algorithm. World Allergy Organ J [Internet]. 2023;16(3):100673. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.waojou.2022.100673 doi: 10.1016/j.waojou.2022.100673
2. Han XD, Koh MJA, Wong SMY. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms in
a cohort of Asian children. Pediatr Dermatol. 2019;36(3):324–9.
https://doi.org/10.1111/pde.13812
3. Bedouelle E, Ben Said B, Tetart F, Milpied B, Welfringer-Morin A, Maruani A, et al. Drug
Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS): Series of 49 French Pediatric
Cases. J Allergy Clin Immunol Pract. 2022;10(1):267-274.e5.
https://doi.org/10.1016/j.jaip.2021.07.025
20
4. Kim GY, Anderson KR, Davis DMR, Hand JL, Tollefson MM. Drug reaction with
eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) in the pediatric population: A systematic
review of the literature. J Am Acad Dermatol [Internet]. 2020;83(5):1323–30. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.jaad.2020.03.081 doi: 10.1016/j.jaad.2020.03.081
5. Belver MT, Michavila A, Bobolea I, Feito M, Bellón T, Quirce S. Severe delayed skin
reactions related to drugs in the paediatric age group: A review of the subject by way of three
cases (Stevens-Johnson syndrome, toxic epidermal necrolysis and DRESS). Allergol
Immunopathol (Madr). 2016;44(1):83–95. https://doi.org/10.1016/j.aller.2015.02.004
6. Cho YT, Yang CW, Chu CY. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS): An interplay among drugs, viruses, and immune system. Int J Mol Sci.
2017;18(6). https://doi.org/10.3390/ijms18061243
7. Choudhary S, McLeod M, Torchia D, Romanelli P. Drug Reaction with Eosinophilia and
Systemic Symptoms (DRESS) Syndrome. J Clin Aesthet Dermatol. 2013 Jun;6(6):31–7.
8. De A, Rajagopalan M, Sarda A, Das S, Biswas P. Drug Reaction with Eosinophilia and
Systemic Symptoms: An Update and Review of Recent Literature. Indian J Dermatol.
2018;63(1):30–40. https://doi.org/10.4103/ijd.IJD_582_17
9. Bedouelle E, Said B Ben, Tetart F, Milpied B, Welfringer-morin A. Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms ( DRESS ): Series of 49 French Pediatric Cases. 2021;
https://doi.org/10.1016/j.jaip.2021.07.025
10. Cacoub P, Musette P, Descamps V, Meyer O, Speirs C, Finzi L, et al. The DRESS
syndrome: a literature review. Am J Med. 2011;124(7):588–97.
11. Metterle L, Hatch L, Seminario-Vidal L. Pediatric drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms: A systematic review of the literature. Pediatr Dermatol.
2020;37(1):124–9. https://doi.org/10.1111/pde.14044
12. Orime M. Review Article Immunohistopathological Findings of Severe Cutaneous Adverse.
2017;2017.
13. Khan DA, Banerji A, Blumenthal KG, Phillips EJ, Solensky R, White AA, et al. Practice
parameter Drug allergy : A 2022 practice parameter update. J Allergy Clin Immunol
[Internet]. 2022;150(6):1333–93. Available from: https://doi.org/10.1016/j.jaci.2022.08.028
doi: 10.1016/j.jaci.2022.08.028
14. Lee T, Lee YS, Yoon SY, Kim S, Bae YJ, Kwon HS, et al. Characteristics of liver injury in
drug-induced systemic hypersensitivity reactions. J Am Acad Dermatol [Internet].
2013;69(3):407–15. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2013.03.024 doi:
10.1016/j.jaad.2013.03.024
15. Lin IC, Yang HC, Strong C, Yang CW, Cho YT, Chen KL, et al. Liver injury in patients
with DRESS: A clinical study of 72 cases. J Am Acad Dermatol [Internet]. 2015;72(6):984–
91. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2015.02.1130 doi:
10.1016/j.jaad.2015.02.1130
16. Husain Z, Reddy BY, Schwartz RA. DRESS syndrome: Part I. Clinical perspectives. J Am
Acad Dermatol [Internet]. 2013;68(5):693.e1-693.e14. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2013.01.033 doi: 10.1016/j.jaad.2013.01.033
17. Ortonne N, Wechsler J, Feraudy S De, Duong T. Histopathology of drug rash with
eosinophilia and systemic symptoms syndrome : a morphological and phenotypical study.
2015;50–8. https://doi.org/10.1111/bjd.13683
18. Mori F, Caffarelli C, Caimmi S, Bottau P, Liotti L, Franceschini F, et al. Drug reaction with

21
eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) in children. Acta Biomed. 2019;90(8):66–79.
https://doi.org/10.23750/abm.v90i3-S.8167
19. Verstegen RHJ, Phillips EJ, Juurlink DN. First-line therapy in drug reaction with
eosinophilia and systemic symptoms (DReSS): Thinking beyond corticosteroids. Front Med.
2023;10. https://doi.org/10.3389/fmed.2023.1138464
20. Descamps V, Ben Saïd B, Sassolas B, Truchetet F, Avenel-Audran M, Girardin P, et al.
Management of drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). Ann
Dermatol Venereol. 2010;137(11):703–8. https://doi.org/10.1016/j.annder.2010.04.024

22

Anda mungkin juga menyukai