Atrial Fibrilasi
Atrial Fibrilasi
ATRIAL FIBRILASI
DISUSUN OLEH:
Srisurya Ningsi Indra Patiku
C014212160
RESIDEN PEMBIMBING :
Dr. Ahmad Thoucing
SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr. Bogie Putra Palinggi, Sp.JP
I. PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. RN
Umur : 37 tahun (09-09-1985)
Jenis Kelamin : Perempuan
No. Rm : 997327
Alamat : Perum Anging mamiri blok D5 No1
Pekerjaan : IRT
Tgl Masuk Rs : 27 Februari 2023
ANAMNESIS
Keluhan utama:
Lemas sisi tubuh kiri
Anamnesis Terpimpin:
Seorang pasien rujukan dari RS Gristelina dengan keluhan lemas sisi tubuh kiri
dan bibir mencong sebelah kiri yang dialami 1 hari yang lalu, terjadi secara tiba-tiba saat
sedang berkegiatan, keluhan diawali dengan sulit berbicara, tubuh pasien sempat kaku
selama kejadian. Nyeri kepala tidak ada, demam tidak ada, muntah tidak ada. keluhan
berdebar hilang timbuk dialami sejak 3 bulan yang lalu memberat 1 bulan terakhir, sesak
nafas dan nyeri dada tidak ada. Riwyat sesak dan nyeri dada tidak ada. Pasien Riwayat
berobat di poli jantung PJT bulan oktober 2022 dengan severe mitral stenosis dan
diberikan terapi warfarin 2 mg, furosemide 40 mg, bisprolol 2,5 mg dan digoksin 0,25 mg.
PEMERIKSAAN FISIK
Deskripsi umum
Tanda Vital
Suhu : 36,6 0C
Pernapasan : 20 kali/menit
Kepala : Normocephal
Paru
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Abdomen : Datar ikut gerak napas, peristaltik kesan normal. hepar dan lien
tidak teraba pembesaran
Ekstremitas : Akral hangat, Edema ekstremitas tidak ada, CRT <2 detik
Skor NHSS= 17
LABORATORIUM
Glukosa Darah
Glukosa Darah
Fungsi Hati
Koagulasi
INR 1.08 -
Elektrolit
Fungsi Ginjal
Supraventricular rhythm, HR 70 bpm, irregularly irregular, normoaxis, fibrilatory P wave, T inverted II,III,aVF
Kesimpulan : AF NVR
PEMERIKSAAN PENCITRAAN
Foto Thorax 22/02/2023
Cardiomegaly dengan Penonjolan cardiac waist
Cranialisasi vascular paru
Sinus dan diafragma normal
Kesan: Cardiomegaly, dengan tanda bendungan paru, susp mitral stenosis disease
Echocardiography 03/02/2023
Normal LV systolic function EF 60
Normal RV systolic function TAPSE 1,72
Global Normokinetik
Severe mitral regurgitasi due to prolapse PNL
Moderate Tricuspid regurgitasi with high probability of PH
LA dilatation
ASSESSMENT
Atrial Fibrilasi NVR
Severe Mitral Stenosis due to Rheumatic Heart Desease
Severe Mitral Regurgitasi
TATALAKSANA
IVFD NaCL 0.9% 20 TPM
Mecobalamin 500 mcg/12 Jam/IV
Citicholin 500 mg/12 jam/Iv(bila TDS > 110 mmHg)
Clopidogrel 75mg/24 Jam/Oral
Ranitidin 150 mg/12 jam/IV
Fargoxin 0,25 mg/24 jam/IV
Bisoprolol 5 mg/12 jam/oral
Ceftriaxone 1 gr/8 jam/IV (H2)
Acetin 200 mg/8 jam/oral
BAB III
2.2 Epidemiologi
Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari.
Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang (Philips
dkk, 2001). Framingham Heart Study yang merupakan studi kohort pada tahun 1948 dengan
melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan
bahwa dalam periode 20 tahun, angka kejadian AF adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada
perempuan (Wolf dkk, 1996). Sementara itu data dari studi observasional (MONICA-
multinational MONItoring of trend and determinant in CArdiovascular disease) pada populasi
urban di Jakarta menemukan angka kejadian AF sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2 (Setianto dkk, 1998).
Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan, persentase populasi usia lanjut di
Indonesia yaitu 7,74% (tahun 2000- 2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050),
maka angka kejadian AF juga akan meningkat secara signifikan. Di Indonesia masih belum ada
data terkait prevalensi atrial fibrilasi, namun pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita di Jakarta menunjukkan bahwa persentase kejadian AF pada pasien rawat
selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011),
9,3% (2012) dan 9,8% (2013) (PERKI, 2014). 6Atrial Fibrilasi merupakan aritmia yang paling
sering terjadi. Insidensinya di negara berkembang di antara akhir abad ke-20 dan awal abad ke-
21 menunjukkan peningkatan menjadi 0,5% dan 1% (Murphy dkk, 2007). Prevalensi atrial
fibrilasi di Amerika dan Eropa Barat menunjukkan terjadi peningkatan angka atrial fibrilasi
pada 20 tahun terakhir dari 2,7-6,1 juta meningkat menjadi 5,6-12,1 juta (Phillips dkk, 2001).
regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, maka
periode refrakter atrium akan kembali normal (ESC, 2010) Gangguan fungsi
kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya AF. Mekanisme
yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan
pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika myofibril (Fuster
dkk, 2011)
2.3.2. Mekanisme elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu
(trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis AF dapat
dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme reentri
mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat. Meskipun demikian,
keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan (Issa, 2012;
Fuster dkk, 2011). Mekanisme fokal adalah mekanisme AF dengan pemicu dari
daerah-daerah tertentu, yakni 72% di vena pulmonalis dan sisanya (28%)
bervariasi dari vena kava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%),
krista terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%),
dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin
melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena Pulmonalis (VP)
memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan melanggengkan takiaritmia atrium,
karena VP memiliki periode refrakter yang lebih pendek serta adanya perubahan
drastis orientasi serat miosit (ESC, 2010) Pada pasien dengan AF paroksismal,
intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan
(umumnya berada pada atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan
menghasilkan perlambatan frekuensi AF secara progresif dan selanjutnya terjadi
konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan AF persisten, daerah
yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium, sehingga
lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama sinus (Issa,
2012). Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis), AF dilanggengkan
oleh adanya konduksi beberapa wavelet independen secara kontinyu yang
menyebar melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama
kali dikemukakan oleh Moe yang menyatakan bahwa AF dilanggengkan oleh
banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan saling bertabrakan satu sama
lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet lain yang terus-
menerus merangsang atrium. Oleh karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil,
beberapa menghilang, sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini
memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6
wavelet mandiri untuk melanggengkan AF (PERKI, 2014).
(Sistem RAA) dapat mencegah proses remodeling miokard dan rekurensi AF. Sebuah studi
analitik yang mencoba melihat perbedaan obat antihipertensi pada terjadinya AF, menunjukkan
adanya efek positif dari penghambat EKA/PRA dibanding obat lain. Penghambat EKA/PRA
dapat mengurangi rekurensi AF pascakardioversi bila diberikan dengan obat antiaritmia. Studi
ini juga didukung oleh beberapa metaanalisis yang menunjukkan efek penghambat EKA/PRA
dalam menurunkan rekurensi AF (Schneider dkk, 2010)
2.4.5 Obesitas
Obesitas meningkatkan risiko AF sesuai dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT).
Pasien obesitas dapat memiliki disfungsi diastolik yang lebih berat, peningkatan aktivitas
simpatetik, inflamasi, dan infiltrasi lemak pada atrium. Obesitas juga dapat menjadi faktor risiko
untuk stroke iskemik, tromboemboli, dan kematian pada pasien dengan AF (Overvad dkk, 2013).
Penurunan berat badan (10- 15 kg) yang disertai dengan manajemen faktor risiko kardiovaskular
dapat menurunkan angka rekurensi AF dibandingkan dengan manajemen umum pada pasien
obesitas (Pathak dkk, 2013). Kebugaran kardiorespirasi juga memiliki dampak baik terhadap
insidens AF pada pasien obesitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko rekurensi FA setelah
ablasi kateter bila disertai dengan obstructive sleep apnea (OSA). Obesitas juga berkaitan
dengan peningkatan dosis radiasi yang diterima pasien saat ablasi (Meredith dkk, 2015).
dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling sering pada
sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya
kecepatannya melebihi 450x/ menit.
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan
durasi episodenya, terdapat beberapa kategori AF tambahan menurut ciri ciri dari pasien: (Fuster
dkk, 2006)
1. AF sorangan (lone) : AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran
atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. AF non-valvular : AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung
prostatik atau operasi perbaikan katup mitral.
3. AF sekunder : AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF, seperti
infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru,
pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan
penyakit katup disebut AF valvular. Respon ventrikel terhadap AF, sangat tergantung pada Sifat
elektrofisiologi dari AV Node dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis,
ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat dibedakan
menjadi: (Fuster dkk, 2006)
1. AF dengan respon ventrikel cepat : Laju ventrikel >100x/ menit
2. AF dengan respon ventrikel normal : Laju ventrikel 60- 100x/menit
3. AF dengan respon ventrikel lambat : Laju ventrikel <60x/ meni
2.7 Komplikasi
Dampak penyakit ini, selain berdebar-debar dan mudah sesak bila naik tangga atau
berjalan cepat, juga dapat menyebabkan emboli, bekuan darah yang lepas, yang bisa
menyumbat pembuluh darah di otak, menyebabkan stroke atau bekuan darah di bagian tubuh
yang lain.
Kelainan irama jantung (disritmia) jenis atrial fibrilasi seringkali menimbulkan masalah
tambahan bagi yang mengidapnya, yaitu serangan gangguan sirkulasi otak (stroke). Ini terjadi
karena atrium jantung yang berkontraksi tidak teratur menyebabkan banyak darah yang
tertinggal dalam atrium akibat tak bisa masuk ke dalam ventrikel jantung dengan lancar. Hal
ini memudahkan timbulnya gumpalan atau bekuan darah (trombi) akibat stagnasi dan
turbulensi darah yang terjadi. Atrium dapat berdenyut lebih dari 300 kali per menit padahal
biasanya tak lebih dari 100. Makin tinggi frekuensi denyut dan makin besar volume atrium,
makin besar peluang terbentuknya gumpalan darah. Sebagian dari gumpalan inilah yang
seringkali melanjutkan perjalanannya memasuki sirkulasi otak dan sewaktu-waktu menyumbat
sehingga terjadi stroke.
Pada penyakit katup jantung, terutama bila katup yang menghubungkan antara atrium dan
ventrikel tak dapat membuka dengan sempurna, maka volume atrium akan bertambah,
dindingnya akan membesar dan memudahkan timbulnya rangsang yang tidak teratur. Sekitar
20 persen kematian penderita katup jantung seperti ini disebabkan oleh sumbatan gumpalan
darah dalam sirkulasi otak. Fibrilasi atrium (kontraksi otot atrium yang tidak terorganisasi dan
tidak terkoordinasi) biasanya berhubungan dengan penyakit jantung aterosklerotik, penyakit
katup jantung, gagal jantung kongestif, tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit jantung
kongenital.
2.8 Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol irama jantung yang tidak
teratur, menurunkan peningkatan denyut jantung dan mencegah terjadinya komplikasi
tromboembolism. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion).
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah
adanya komplikasi dari AF.Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan
atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi.
Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari
berbagai macam, diantaranya adalah :
Warfarin
Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung.Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien.Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang
abnormal dari atrium ke ventrikel.Hal ini mengakibatkan peningkatan
pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.
β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis.Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi
kinerja jantung.
Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung akibat
dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati Ca2+
channel yang terdapat pada membran sel.
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam
(bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR
(nodus sinus rhythm). Pasien AF hemodinamik yang tidak stabil akibat laju
ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop peru segera
dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200
joule.Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 joule.Pasien dipuasakan
dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.
3. Operatif
Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan
pada daerah paha.Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah
utma hingga masuk kedalam jantung.Pada bagian ujung kateter terdapat
elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya AF.
Maze operation
Prosedur maze operation hampeir sama dengan catheter ablation, tetapi
pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi
untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.
Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di
jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.
2.10 Pr ognosis
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus
hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga
menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuJuan
untuk asimtomatik pada pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa terapi medis yang ditujukan untuk mengendalikan irama jantung tidak
menghasilkan keuntungan keberhasilan dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan
antikoagulan.
KESIMPULAN
Fibrilasi atrium adalah disritmia atrium yang terjadi sewaktu atrium berdenyut
dengan kecepatan lebih dari 350-600x/menit. Depolarisasi ventrikel menjadi ireguler dan
mungkin dapat mengikuti depolarisasi atrium mungkin pula tidak. Pengisian ventrikel tidak
secara total bergantung pada kontraksi atrium yang terorganisasi, sehingga aliran darah yang
masuk dan keluar ventrikel biasanya cukup kecuali pada waktu-waktu terjadi peningkatan
kebutuhan misalnya, selama berolahraga.
Fibrilasi atrium adalah depolarisasi muncul di banyak tempat di atrium,
menyebabkan depolarisasi yang tidak terkoordinasi dengan frekuensi tinggi. Sentakan fokus
ektopik pada struktur vena yang dekat dengan atrium (biasanya vena pulmonal) merupakan
penyebab tertinggi.
Fibrilasi atrium didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik
jantung yang cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus
menghantarkan impuls ke nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Atrial
fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik.
Dalam laporan kasus ini, pasien di diagnosis dengan atrial fibrilasi karena dilihat dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta dari pemeriksaan penunjang yang didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
2. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A
prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792–7.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
6. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
(2): 755–9.
9. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.
10. Noer S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ketiga . Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 1996.
12. Smeltzer, SC. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
13. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic
assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 973–7.
14. Guyton (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: 287-305.
15. Ganong William F (1999). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. EGC: 682-
712.
16. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit) Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.