Anda di halaman 1dari 20

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM ASCARIASIS

DISUSUN OLEH:
A.Difa Apriliani
Sylvania Rizqilitha R

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Kartika Paramita,Sp.PK

DI BAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN


KLINIK DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama:

A.Difa Apriliani
Sylvania Rizqilitha R

Judul Referat : Aspek Laboratorium Ascariasis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen


Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 5 Maret 2023

Mengetahui,

Residen Pembimbing, Supervisor Pembimbing,

dr. Hasna dr. Kartika Paramita,Sp.PK

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur tidak henti-hentinya kami panjatkan atas segala limpahan
rahmat, hidayah, kesehatan, kekuatan, dan kasih sayang Allah SWT sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas refarat kami yang berjudul “Aspek
Laboratorium Ascariasis”. Sepanjang penyusunan referat ini, berbagai pihak telah
meluangkan waktu, memberikan ide-ide dan tenaga sehingga kami dapat
menyelesaikan refarat kami tepat waktu. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya supervisor pembimbing kami
dr. Kartika Paramita,Sp.PK, dan residen pembimbing dr. Hasna.
Kami menyadari penyusunan refarat ini belum dapat dikatakan sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan pembuatan refarat di masa yang akan datang.

Makassar, 5 Maret 2023

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................II
KATA PENGANTAR...........................................................................................III
DAFTAR ISI.........................................................................................................IV
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3

2.1. DEFINISI......................................................................................................3

2.2. EPIDEMIOLOGI..........................................................................................3

2.3. ETIOLOGI....................................................................................................3

2.4. MORFOLOGI DAN DAUR HIDUP ASCARIS LUMBRICOIDES.............5

2.5. PATOFISIOLOGI.........................................................................................7

2.6. MANIFESTASI KLINIS.............................................................................8

2.7. DIAGNOSIS.................................................................................................9

2.8. TATALAKSANA.......................................................................................12

2.9. PENCEGAHAN.......................................................................................13
BAB III KESIMPULAN........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi cacing usus merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuknya cacing usus ke
dalam tubuh manusia.1 Infeksi ini disebabkan oleh soil-transmitted helminths (STH) spesies
Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, dan Trichuris trichiura
pada anak-anak di negara berkembang.2 Pada anak-anak, penyakit ini dapat menimbulkan
malaise yang bisa mempengaruhi kemampuan belajar, serta dapat menyebabkan malnutrisi
yang bisa mengganggu pertumbuhan.1 Infeksi cacing usus yang ditransmisikan melalui tanah
(STH) menyebar luas pada daerah tropis dan merupakan masalah kesehatan umum di
Indonesia.1
Prevalensi terbanyak ditemukan pada anak balita dan usia SD.3 Hasil Survei Subdit Diare
pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi 2,2%- 96,3%. 4
Penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2008 menunjukkan tingginya prevalensi
infeksi kecacingan pada anak SD, yaitu 70-80% untuk Askariasis, dan 25,3-68,4% untuk
Trikuriasis.5
Angka morbiditas kecacingan dapat dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi individu dan
keluarga. Rendahnya tingkat ekonomi kerap menyebabkan kurangnya akses terhadap fasilitas
dasar. Kepemilikan air keran dan kamar mandi masih sedikit ditemukan pada keluarga miskin
di Indonesia6, padahal infeksi kecacingan berhubungan erat dengan sanitasi yang buruk dan
kurangnya air bersih .7
Hasil survei kesehatan rumah tangga menyebutkan bahwa sebagian
besar rumah tangga (62,43%) belum mempunyai fasilitas buang air besar yang tidak
mencemari lingkungan.8 Data dari Badan Pusat Statistik pada bulan Maret 2009
menunjukkan sekitar 323.200 penduduk miskin di DKI Jakarta. 9
Penelitian yang dilakukan di Cirebon, Jawa Barat menunjukkan prevalensi kecacingan
berhubungan dengan status sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan, yaitu tingginya angka
infeksi pada kelompok sosial ekonomi kurang dan lingkungan buruk dibandingkan kelompok
sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan sedang dan baik. Didapatkan angka 80% untuk
askariasis, 92,4% untuk trikuriasis, dan 82,4% untuk infeksi cacing tambang pada status
sosial ekonomi kurang.10 Sedangkan menurut penelitian Nurlila (2002), anak yang berada
pada status ekonomi rendah memiliki risiko 4,75 kali lebih besar untuk terinfeksi kecacingan
dibandingkan anak dengan status ekonomi tinggi.8 Kondisi ekonomi yang buruk merupakan
faktor yang menguntungkan bagi infeksi kecacingan, mungkin berkaitan dengan kurangnya

1
sarana yang memadai untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan persediaan air bersih
serta jamban yang memenuhi syarat kesehatan.8

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Askariasis adalah infeksi usus kecil yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides
(nematoda atau cacing gelang terbesar). Askariasis paling banyak terjadi pada anak-
anak baik di negara tropis serta berkembang. umumnya terjadi tanpa adanya gejala
serta bisa bermanifestasi menjadi retardasi pertumbuhan, pneumonitis ,obstruksi usus,
atau cedera hepatobilier dan pankreas. Cacing ini artinya parasit yg menggunakan
tubuh manusia menjadi inang buat pertumbuhan dari larva atau telur hingga menjadi
cacing dewasa. di tubuh manusia, cacing gelang dewasa yg berkembang biak bisa
mempunyai panjang sampai lebih dari 30 sentimeter. Penyakit ini ditularkan melalui
telur cacing di feses insan yg mengkontaminasi tanah di daerah yg rendah sanitasinya.
Ascaris lumbricoides menginfeksi kira-kira 807 juta hingga 1,2 milyar penduduk
sesuai data WHO pada tahun 2020.
Telur cacing yang ada pada feses insan yg mengkontaminasi tanah akan
ditularkan kepada orang lain melalui sayuran atau bahan makanan yang menggunakan
kotoran menjadi pupuk. Kecacingan juga bisa ditimbulkan karena kebiasaan mencuci
tangan yang rendah dimana makan menggunakan tangan mengandung tanah yang
terkontaminasi telur cacing. Cacing ini ialah parasit yang kosmopolit yaitu tersebar
diseluruh dunia, lebih banyak di temukan di wilayah beriklim panas dan lembab. pada
beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% berasal penduduk. di
umumnya lebih banyak ditemukan di anak-anak berusia lima - 10 tahun menjadi host
(penjamu) yang juga memberikan beban cacing yg lebih tinggi (Haryanti, E, 1993).
Cacing bisa mempertahankan posisinya didalam usus halus sebab kegiatan otot-
otot ini. Bila otot-otot somatik di lumpuhkan menggunakan obat-obat antelmintik,
cacing akan dimuntahkan menggunakan pergerakan peristaltik normal Ascariasis
terjadi waktu cacing gelang masuk ke dalam tubuh manusia. Cacing penyebab
penyakit ini bisa menginfeksi paru-paru atau usus. Bila dibiarkan tidak terobati, cacing
ini akan terus berkembang biak serta menginfeksi organ lain, seperti hati dan pankreas.
Ascariasis dapat ditemukan di mana saja, namun lebih tak jarang terjadi pada wilayah
yg beriklim hangat serta pada area yg memanfaatkan feses menjadi pupuk. Indonesia
artinya salah satu negara yang memiliki banyak masalah ascariasis. Resiko penyakit

3
ini meningkat di beberapa negara pada bawah garis kemiskinan serta negara
berkembang. Telur serta larva cacing dapat hinggap di lingkungan luar dan perabot
rumah tangga. Telur cacing bisa bertahan pada suhu panas sehingga banyak pula
masalah yang ditemukan di beberapa negara di iklim tropis. Jika tidak diobati,
ascariasis akan terus berkembang biak di dalam usus, bahkan menginfeksi organ lain,
seperti hati serta pankreas yg akan menyebabkan gejala serius.

2.2. EPIDEMIOLOGI

Terdapat lebih dari 1 milyar orang di dunia dengan infeksi askariasis. Infeksi
askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh area tropis di
dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk. Telur cacing bisa
didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi askariasis lebih
banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang terkena tanah ke
dalam mulut.12 Kurangnya pemakaian jamban menimbulkan pencemaran tanah dengan
tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan tempat
pembuangan sampah.11 Telur bisa hidup hingga bertahun-tahun pada feses, selokan,
tanah yang lembab, bahkan pada larutan formalin 10% yang digunakan sebagai
pengawet feses.12 Di Jakarta, angka infeksi askariasis pada tahun 2000 adalah sekitar
62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80% pada tahun 2008.5

2.3. ETIOLOGI

Ascariasis terjadi bila telur cacing Ascaris lumbricoides masuk ke dalam tubuh.
Telur cacing tersebut dapat ditemukan pada tanah yg tercemar oleh tinja manusia. oleh
sebab itu, bahan kuliner yg tumbuh pada tanah tersebut, bisa menjadi penyebab
ascariasis. Telur yg masuk ke dalam tubuh akan menetas pada usus dan menjadi larva.
kemudian, larva akan masuk ke paru-paru melalui sirkulasi darah atau sirkulasi getah
bening. sesudah berkembang di paru-paru selama satu minggu, larva akan menuju ke
tenggorokan. di tahap ini, penderita akan batuk sehingga larva tersebut keluar, atau
bisa juga larva kembali tertelan serta kembali ke usus. Larva yang balik ke usus akan
tumbuh menjadi cacing jantan dan betina, dan berkembang biak.
Askariasis tidak ditularkan secara langsung dari satu orang ke orang lainnya.
seorang umumnya terinfeksi setelah terdapat hubungan dengan tanah yang tercampur
feses manusia yg mengandung telur askariasis maupun menggunakan air yg

4
terinfeksi. Di relatif banyak negara berkembang, feses manusia digunakan sebagai
popok. Selain itu, pada area menggunakan sanitasi rendah, feses manusia juga dapat
bercampur dengan tanahdi lapangan, ladang, atau selokan. Selain itu, anak-anak juga
bisa bermain di dekat tanah, serta infeksi juga bisa terjadi bila mereka memasukkan
tangan yg kotor ke pada mulut. butir dan sayuran yang belum dicuci dan tumbuh di
tanah yang terkontaminasi juga bisa menyebabkan transmisi berasal telur askariasis.

Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan askariasis adalah:


 Usia. Sebagian besar orang yang mengalami askariasis berusia 10 tahun atau
kurang. Anak-anak pada kelompok usia ini dapat memiliki risiko yang lebih tinggi
karena dinilai lebih sering terpapar tanah atau kotoran.
 Cuaca yang hangat. Askariasis lebih prevalen di negara-negara berkembang dengan
cuaca yang hangat sepanjang tahun.
 Sanitasi yang buruk. Askariasis sering ditemui di negara berkembang yang memiliki
area di mana feses dapat bercampur dengan tanah lokal.
 Gaya hidup, misalnya higienitas diri yang buruk, kebiasaan defekasi di tanah sekitar
rumah, tidak mencuci tangan sebelum makan, bermain di tanah tanpa menggunakan
alas kaki, kebiasaan memakan tanah (geofagia).

2.4. MORFOLOGI DAN DAUR HIDUP ASCARIS LUMBRICOIDES

Ascaris lumbricoides memiliki tiga bibir (prominent lips) yang masing masing
memiliki dentigerous ridge (peninggian bergigi), tetapi tidak memiliki interlabia atau
alae. Ascaris lumbricoides jantan memiliki panjang 15-31 cm dan lebar 2-4 mm,
dengan ujung posterior yang melingkar ke arah ventral, dan ujung ekor yang tumpul.
Ascaris lumbricoides betina memiliki panjang 20-49 cm dan lebar 3-6 mm, dengan
vulva pada sepertiga panjang badan dari ujung anterior. Ascaris betina memiliki
ovarium yang luas dan dapat mengandung 27 juta telur pada satu waktu, dengan
200.000 telur dikeluarkan setiap harinya.12

5
Gambar 1. Makroskopis Ascaris lumbricoides12

Telur yang sudah dibuahi berbentuk oval sampai bulat, dengan panjang 45-75 mm dan
lebar 35-50 mm. Dinding uterina cacing menghasilkan lapisan luar yang tebal dan
bergumpal pada telur, sehingga saat telur dikeluarkan melalui feses, lapisan ini
terwarnai oleh cairan empedu sehingga menjadi berwarna cokelat keemasan. Embrio
biasanya belum membelah ketika masih berada di feses. 12

Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides12

Cacing betina yang belum mengalami inseminasi biasanya mengeluarkan telur yang
belum dibuahi. Telur yang belum dibuahi ini memiliki bentuk yang lebih panjang dan
ramping daripada telur yang telah dibuahi, yaitu sepanjang 88- 94 mm dan lebarnya 44
mm. Lapisan vitelina, kitin, dan lipid pada telur baru terbentuk setelah penetrasi
sperma terhadap oosit, karena itu pada telur yang belum dibuahi, hanya dapat terlihat
lapisan proteinase.12 Embrio membutuhkan waktu 9 sampai 13 hari untuk menjadi
telur matang. Embrio resisten terhadap suhu rendah, kekeringan, dan zat kimia yang
kuat. Namun, embrio bisa mati dalam waktu singkat bila terpapar sinar matahari dan
suhu tinggi.12

6
Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides12

Infeksi terjadi ketika telur infektif (telur berisi larva) yang belum menetas tertelan
bersama air dan makanan yang tercemar. Telur akan menetas di duodenum, menembus
mukosa dan submukosa, kemudian memasuki limfe. Setelah melewati jantung kanan,
cacing ini memasuki sirkulasi paru dan menembus kapiler menuju daerah-daerah yang
mengandung udara. Pada paru, cacing tumbuh hingga mencapai panjang 1,4-1,8 mm
dalam 10 hari. Selanjutnyacacing akan naik ke faring dan tertelan. Cacing yang tahan
terhadap asam lambung akan masuk ke usus halus dan matang di sana. Dalam 60-65
hari setelah tertelan, cacing akan menjadi dewasa dan mulai bertelur. Cacing dewasa
memiliki panjang 20-40 cm dan hidup dalam usus halus manusia hingga bertahun- 11
tahun.

2.5. PATOMEKANISME
Kebanyakan infeksi ringan tidak menimbulkan gejala. Cacing yang baru menetas
menembus mukosa usus sehingga terjadi sedikit kerusakan pada daerah tersebut.
Cacing yang tersesat, berkeliaran, dan akhirnya mati di bagian tubuh lain seperti
limpa, hati, nodus limfe, dan otak. Cacing ini juga menyebabkan perdarahan kecil
pada kapiler paru yang mereka tembus. Infeksi yang berat dapat menyebabkan
akumulasi perdarahan sehingga akan terjadi edema dan ruang-ruang udara tersumbat.
Akumulasi sel darah putih dan epitel yang mati akan memperparah sumbatan sehingga
akan terjadi Ascaris lumbricoides pneumonitis (Loeffler’s pneumonia) yang bisa
menyebabkan kematian.
7
Makanan utama A. lumbricoides adalah cairan pada lumen usus. Pada infeksi
sedang hingga berat, dapat terjadi malnutrisi pada anak-anak yang nutrisinya diambil
oleh cacing. Dapat terjadi nyeri abdomen, urtikaria, eosinofilia, nyeri pada mata, asma
dan insomnia sebagai respon alergi terhadap metabolit11,12 yang dihasilkan cacing. Jika
jumlah cacing terlalu banyak di usus, maka cacing bisa berkeliaran ke apendiks, anus,
pankreas, saluran empedu, hati, lambung, esofagus, trakea, tuba eustachius, telinga
tengah, bahkan keluar melalui hidung dan mulut. Cacing betina juga bisa berkeliaran
di dalam tubuh jika tidak ada cacing jantan. Larva pada 12 dahak dan telur cacing di
feses bisa membantu menegakkan diagnosis.

2.6. MANIFESTASI KLINIS


Setelah telur askariasis yang berukuran mikroskopis masuk melalui mulut, telur
dapat menetas di usus halus dan larva dapat bermigrasi melalui aliran darah atau aliran
limfe menuju paru-paru. Pada tahap tersebut, dapat timbul beberapa tanda dan gejala .
Gejala umum yang muncul ketika seseorang terinfeksi berbeda-beda tergantung
dimana ia mengalami infeksi tersebut. misalnya jika paru-paru yang terkena maka
penderita akan mengalami gejala asma atau pneumonia seperti:
 Batuk,
 Sesak napas,
 Mengi, dan
 Demam
Cacing-cacing tersebut akan hidup di usus sampai akhirnya mati dan akan
menimbulkan beberapa gejala berikut:
 Rasa sakit atau tidak nyaman pada perut
 Mual dan muntah
 Diare atau feses berdarah
 Sakit perut hebat
 Tubuh merasa lemas
 Kehilangan nafsu makan
 Penurunan berat badan atau malnutrisi

 Terdapat cacing pada muntahan atau feses.

8
2.7. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti askariasis adalah ditemukannya cacing dewasa pada atau
muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan empedu
penderita.15 Cacing pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan kolangiografi
intravena.16 Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi, dengan mengamati
cacing yang memakan barium.12 Cacing tampak sebagai gambaran memanjang
radiolusen.16
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat didapatkan bila:
- cacing di usus belum menghasilkan telur.
- hanya ada cacing jantan.
- penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk larva.

Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, yaitu16 :
- telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40 x 60 mm dengan dinding
albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli, dengan lapisan hialin
tebal transparan pada bagian bawahnya.
- telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40 x 90 m, bentuknya lebih
panjang dan lebih langsing daripada telur yang dibuahi, dan tampak sejumlah
granula di dalamnya.
- telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol-benjol, dibuahi
atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya terkadang ditemukan, dan sangat
mungkin merupakan artefak.

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan pada askariasis, seperti
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan.

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk membantu diagnosis askariasis,
antara lain:
 Analisis mikroskopik feses basah langsung, untuk melihat telur A. Lumbricoides.
Penghitungan telur per gram feses dengan teknik Kato-Katz untuk menentukan berat
ringannya infeksi
 Pemeriksaan cacing yang keluar melalui anus, mulut, atau hidung
9
 Analisis sputum, untuk melihat larva atau kristal Charcot-Leyden, yaitu penumpukan
protein eosinofilik yang membentuk kristaloid
 Pemeriksaan darah, misalnya darah lengkap untuk menilai eosinofilia, IgE, IgG dan
antibodi askaris-spesifik

2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang diperlukan untuk membantu diagnosis askariasis,
antara lain:
 Pemeriksaan rontgen, misalnya rontgen toraks untuk melihat infiltrat pada
pneumonia fase migrasi larva, dan rontgen abdomen untuk mencari tanda obstruksi,
misalnya air-fluid level, dan cigar bundle appearance (bolus cacing askaris)
 USG abdominal, dalam posisi lateral dekubitus kiri, cairan per oral, dan penekanan
oleh transducer untuk memicu pergerakan cacing. USG juga bisa untuk mendeteksi
askaris di sistem hepatobilier
 CT scan abdominal: double contrast CT scan abdominal digunakan untuk evaluasi
pasien dengan gejala akut abdomen yang sugestif obstruksi usus atau gejala emergensi
lain.
 Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP): deteksi cacing dewasa di
duktus koledokus dan duktus pankreatikus, apabila tidak terlihat pada pemeriksaan
USG.

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi STH berupa


mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia. Pemeriksaan feses merupakan
pemeriksaan gold standard dapat dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makrokospis dilakukan dengan menilai bentuk, warna,
konsistensi, jumlah, bau dan ada tidaknya mukus. Sedangkan, pemeriksaan
mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing. Spesimen feses
sebaiknya langsung ditransporke laboratorium, atau disimpan pada pendingin bersuhu
4 derajat celcius maksimal selama 4 jam. Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari dua
pemeriksaan yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif.
Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan
secara natif (direct slide), pemeriksaan dengan merode apung, modifikasi merthiolat
iodine formaldehyde, metode selotip, metode konsentrasi, teknik sedian tebal dan
metode sedimentasi formol ether (ritchie).

10
Pemeriksaan kuantitatif dikenal dengan dua metode yaitu metode kato katz
dan metode stoll. Teknik pemeriksaan mikroskopik adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Kualitatif
a. Pemeriksaam secara natif (direct slide)
Metode pemeriksaan ini sangat baik digunakan untuk infeksi berat tetapi pada
infeksi ringan telur cacing sulit ditemukan. Prinsip pemeriksaan ini dilakukan
dengan mencampurkan feses dengan 1- 2 tetes NaCl fisiologis 0,9% atau eosin 2%
lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Penggunaan eosin 2%
digunakan agar lebih jelas membedakan telur cacing dengan kotoran.
b. Pemeriksaan dengan metode apung (floatation methode)
Prinsip dari metode ini adalah berat jenis telur yang lebih ringan daripada berat
jenis larutan yang digunakan sehingga telur terapung dipermukaan dan digunakan
untuk memisahkan partikel besar yang ada didalam tinja. Metode ini menggunakan
larutan NaCl jenuh atu larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas
berat jenis telur sehingga telur akan mengapung.
c. Modifikasi Metode Merthiolat Iodine Formation (MIF)
Metode ini menyerupai sedimentasi. Metode ini digunakan untuk menemukan
telur cacing nematoda, trematoda, cestoda dan amoeba di dalam tinja.
d. Metode Konsentrasi
Prosedur pemeriksaan ini yaitu 1 gr tinja dimasukkan ke dalam tabung reaksi
lalu ditambahkan akuadest dan diaduk hingga homogen. Masukkan ke tabung
sentrifusi dan sentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit. Larutan
dibuang, sedimennya diambil dengan menggunakan pipet pasteur lalu diletakkan di
atas kaca objek dan ditutup dengan cover glass dan dilihat dibawah mikroskop.
Pemeriksaa ini dapat dilakukan sampai 2-3 kali.
e. Teknik Sedian Tebal (teknik kato)
Teknik ini digunakan untuk pemeriksaan tinja secara massal karena lebih
sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosis.
f. Metode Sedimentasi Formol Ether (ritchie)
Metode pemeriksaan tinja ini cocok untuk feses yang telah diambil beberapa
hari sebelumnya. Misalnya kiriman dari daerah yang jauh dan tidak memiliki sarana
laboratorium.

11
2. Pemeriksaan Kuantitatif
a. Metode Stoll
Metode ini menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Metode ini cocok untuk
infeksi berat sedang dan kurang baik untuk infeksi ringan.
b. Metode Kato-Katz
Metode dilakukan dengan menghitung jumlah telur cacing yang didapat dalam
feses yang dikeluarkan seseorang dalam sehari. Pemeriksaan ini untuh cacing STH.
Jumlah telur yang didapat kemudian dicocokkan dengan skala pembagian berat
ringan penyakit kecacingan yang diderita.

2.8. TATALAKSANA
Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol, mebendazol,
dan piperazin. 15,16
- Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg/kgBB menghasilkan angka penyembuhan 85-
100%. Efek samping dapat berupa mual, muntah, diare, dan sakit kepala, namun
jarang terjadi.
- Albendazol diberikan dalam dosis tunggal (400 mg) dan menghasilkan angka
penyembuhan lebih dari 95%, namun tidak boleh diberikan kepada ibu hamil. Pada
infeksi berat, dosis tunggal perlu diberikan selama 2-3 hari.
- Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Pada infeksi
ringan, mebendazol dapat diberikan dalam dosis tunggal (200 mg).
- Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting. Dosis piperazin
adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama 2 hari, sebelum atau sesudah makan
pagi. Efek samping yang kadang ditemukan adalah gejala gastrointestinal dan sakit
kepala. Gejala sistem saraf pusat juga bisa ditemukan, tetapi jarang. Piperazin tidak
boleh diberikan pada penderita dengan insufisiensi hati dan ginjal, kejang atau
penyakit saraf menahun. 16

2.9. PENCEGAHAN
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik dan tepat guna, hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti :
a. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

12
b. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih
dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
c. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci
bersih dengan air mengalir.
d. Mengadakan terapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah
yang rawan terhadap penyakit askariasis.
e. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
f. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing
misalnya memakai jamban/WC.
g. Makan makanan yang dimasak saja.
h. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja
sebagai pupuk.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun- tahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan di beberapa negara


berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan ini masih cukup tinggi
terutama pada kelompok masyarakat dengan higienisitas dan sanitasi yang rendah. Penyakit
13
kecacingan ini disebabkan oleh organisme multi seluler yang mempunyai masa hidup
panjang dan siklus hidup yang kompleks. Prevalensi terbanyak infeksi cacing usus
disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus). Sepanjang siklus hidupnya, cacing usus mengalami
perkembangan stadium yang yang dapat berpindah, melewati atau memasuki organ tertentu
serta mampu memodulasi respon imun yang kuat dan khas pada hospes.
Menentukan diagnosis pada askariasis umumnya dilakukan berdasarkan anamnesis yang
mendetail, pemeriksaan fisik secara langsung, dan pemeriksaan penunjang tertentu. Pada
infeksi yang berat, dapat ditemukan cacing setelah batuk atau muntah, atau pada feses.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:

 Analisa feses. Cacing betina yang terdapat di dalam usus dapat menetaskan telur. Telur
yang terdapat di saluran cerna dapat ditemukan pada feses. Untuk menentukan diagnosis
askariasis, dokter dapat memeriksa feses untuk melihat adanya telur dan larva secara
mikroskopis. Namun, telur tidak tampak pada feses hingga setidaknya 40 hari setelah
terinfeksi.
 Pemeriksaan darah. Darah dapat diperiksa untuk mengevaluasi adanya peningkatan sel
darah putih jenis tertentu, yang disebut eosinofil. Askariasis dapat menyebabkan
peningkatan eosinofil, namun hal ini juga dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
kesehatan lainnya.
 Pencitraan. Pemeriksaan foto rontgen dengan menggunakan sinar X, ultrasonografi
(USG), computerized tomography (CT), atau magnetic resonance imaging (MRI) juga
dapat dilakukan bila dinilai dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jourdan PM, Lamberton PHL, Fenwick A, Addiss DG, 2018. Soil-transmitted helminth
infections. Lancet, 391, pp. 252–65.World Health Organization. 2018. Soil Transmitted
Helminthiases definition.

14
2. Sekartini R, Wawolumaya C, Kesume W, Memy YD, Yulianti, Syihabul S, et al.
Pengetahuan, sikap, dan perilaku Ibu yang memiliki anak usia SD tentang penyakit cacingan
di Kelurahan Pisangan Baru, Jaktim. [serial on the internet]. [cited 2016 September 29 ].
Available from: http://www. tempo.co.id/medika/arsip/102002/art-1.htm.

3. World Health Organization. 2019. Soil Transmitted Helminths Infections. Dalam


http://www.who.int/news-room/facsheets/detail.

4. Kementrian Kesehatan, 2018. Penanggulangan Cacingan. Jakarta : Kementrian Kesehatan

5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman


Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, Maret 2009.
[homepage on the internet]. Jakarta : Badan Pusat Statistik; c2009. [cited 2018 September
28]. Available from:http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
tabel=1&daftar=1&id_subyek=23 &notab=3.

6. Standard of living in the developing world. [homepage on the internet]. New York:
GiveWell. [cited 2019 September 29]. Available
from:http://www.givewell.org/international/technical/additional/Standard of-
Living#footnote18_3n78gaw.

8. Hotez PJ, Bundy DAP, Beegle K, Brooker S, Drake L, de Silva N, et al. Helminth
infections: soil-transmitted helminth infections and schistosomiasis. [serial on the internet].
[cited 2019 September 29]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11748/.

9. Loukas A, Hotez PJ, Diemert D, Yazdanbakhsh M, McCarthy JS, Correa-Oliveira R,


Croese J, Bethony JM. Hookworm infection. Nat Rev Dis Primers. 2019 Dec 08;2:16088.

10. Centers for Disease Control and Prevention. Parasites – Hookworm, September
2020. https://www.cdc.gov/parasites/hookworm/

11. Alhssan O. Ghodeif & Hanish Jain. 2021. Hookworm – StatPearls – NCBI

15
Bookshelf. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2268732/.
Diakses pada 13 September 2021

12. S Brooker et al. 2004. Human Hookworm Infection in the 21st Century – NCBI.
Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546648/. Diakses tanggal 13
September 2021

13. Moser W, Schindler C, Keiser J. Efficacy of recommended drugs against soil transmitted
helminths: systematic review and network meta-analysis. BMJ. 2017;358:j4307..

14. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern. [homepage on the


internet]. Atlanta: Centers for Disease Control & Prevention Center for for Global Health;
c2004 [cited 2020 September 29]. Available from: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx.

15. Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 2021. P:237-238

16. Riswanda Z, Kurniawan B. Infeksi Soil Transmitted Helminth: Ascariasis, Trichiuriasis


dan Cacing Tambang. Jurnal Majority. 2016 Dec 1;5(5)61-8

16

Anda mungkin juga menyukai